Professional Documents
Culture Documents
Bahan IPI
Bahan IPI
Pengertian secara ilmiah yang paling sering digunakan, ilmu adalah kumpulan
pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode
ilmiah. Pengetahuan merupakan akuisisi terendah yang diperoleh dari rangkaian
pengalaman tanpa melalui kegiatan penelitian yang lebih intensif.
Pendidikan adalah proses belajar mengajar terhadap peserta didik, agar memiliki
kecerdasan dan berkarakter yang baik, baik untuk diri sendiri maupun untuk
masyarakat. Sebuah pendidikan biasanya diajarkan oleh seorang guru, dan biasanya
lokasinya disekolah, namun sebenarnya pendidikan tak hanya dapat diberikan disekolah
saja, pendidikan dapat kita dapatkan dimana saja. Guru merupakan seseorang yang
perlu di gugu dan ditiru, artinya apabila kita menjadi sesosok guru, kita harus bersikap
yang pantas agar murid-murid dapat mencontohnya dengan baik. Mulai dari sikap
terhadap murid, cara berbicara, sampai cara berpakaian, haruslah yang sesuai. Karena
guru menjadi sorotan dikelas dan juga memiliki peran penting disekolah, jadi guru harus
memiliki kompetensi standar yang baik.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah
sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual).
Oleh karena itu, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan
direncanakan, baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan
kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun
operasional (proses pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap
kegiatan pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana
diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini
bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan
menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan
lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari
benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, saya menangkap
pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak
pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap
potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, saya
juga melihat ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan
suasana belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan
sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yang menurut hemat
saya sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an,
pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler,
bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi
pendidikan yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok
pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan
karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar
menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas
tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana
seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
Secara sederhana yang dimaksud dengan Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang
membahas dan memuat teori tentang pendidikan Islam. Akan tetapi, yang menjadi
pertanyaan apakah dalam Ilmu Pendidikan Islam, terdapat teori yang tidak berdasarkan
Islam?. Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Ilmu Pendidikan
Islam ini, maka akan diulas terlebih dulu mengenai pengertian ilmu itu sendiri. Menurut
Ahmad Tafsir, Ilmu merupakan pengetahuan yang logis dan mempunyai bukti empirik
dan dilakukan dengan cara riset (penelitian).[11] Singkatnya—menurut Tafsir—yang
dimaksud dengan ilmu haruslah memuat objek yang empiris serta dapat diterima dengan
logis. Lebih lanjut, Tafsir membuat matriks pengetahuan manusia sebagai berikut:
Berdasarkan pengertian dan matriks di atas, maka yang dimaksud dengan ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh manusia atas dasar riset, bersifat empiris dan dapat
dilakukan dengan menggunakan indera dan akal. Pertanyaannya kemudian, apakah
Pendidikan Islam sudah memenuhi aspek-aspek tentang Ilmu tersebut atau belum?. Jika
sudah maka Pendidikan Islam dapat dikategorikan sebagai ilmu (science), akan tetapi
jika salah satu syaratnya hilang, maka Pendidikan Islam belum “layak” dikategorikan
sebagai suatu ilmu (science). Seperti disinggung dimuka, bahwa Ilmu Pendidikan Islam
secara teoritikal merupakan pengetahuan yang membahas tentang teori-toeri pendidikan
yang berdasarkan atas Islam, yang oleh karenanya pembahasan yang dimuat dalam Ilmu
Pendidikan Islam adalah teori-teori yang terkait dengan pendidikan dalam perspektif Al-
Qur’an dan Al-Hadits.
https://wahdi.lec.uinjkt.ac.id/articles/ilmupendidikanislam#:~:text=Muhammad
%20Athiyah%20Al%20Abrasyi%3B%20%E2%80%9CPendidikan,katanya%20baik
%20lisan%20maupun%20tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
• Roesminingsih, Prof. Dr. MV. Teori dan Praktek Pendidikan. Surabaya: Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan.
• Santoso S. Hamijoyo. 1974. Indonesia Pendidikan. IKIP Bandung
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. ke-4, h.
27-28