You are on page 1of 18

HAKIKAT BELAJAR DI SEKOLAH DASAR DITINJAU DARI

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Pajar Reza Pitria, Neneng Widya Sopa Marwa


Email: pajar_1113822005@mhs.unj.ac.id, neneng_1113822026@mhs.unj.ac.id

Abstract
Learning is something very important and complex that humans experience
continuously without stopping. Therefore, it is necessary to habituate the
conditioning of learning in elementary school because at that time a child is
entering the golden age where his growth and development are developing
rapidly. Thus, the author feels the need to examine the nature of learning in
elementary schools in terms of the foundation of educational philosophy so that
prospective educators and educators can better understand the nature of learning
that should occur in elementary schools. The research method used is a literature
review method with a descriptive approach, because the researcher examines
some literature that can be used as a reference that supports and is relevant to
the object being studied, the object studied in this study is the nature of learning
in elementary school in terms of the foundation of educational philosophy. The
results of this study show three main discussions about the nature of learning in
elementary schools including: (1) discussing why humans should learn, (2)
discussing what is the importance of learning in elementary schools, and (3) the
nature of basic education in terms of educational philosophy including ontology,
epistemology and axiology.
Keywords: the nature of learning; study in elementary school; philosophy of
education.

Abstrak
Belajar merupakan sesuatu yang sangat penting dan kompleks yang dialami
manusia secara terus-menerus tanpa henti. Oleh karena itu, perlu adanya
pembiasaan pengkondisian belajar di sekolah dasar karena pada masa tersebut
seorang anak sedang memasuki usia emas atau golden age yang mana pertumbuhan
dan perkembangannya berkembang secara pesat. Dengan demikian, penulis merasa
perlu mengkaji hakikat belajar di sekolah dasar yang ditinjau dari landasan filsafat
pendidikan agar para calon pendidik maupun pendidik bisa lebih memahami
hakikat belajar yang seharusnya terjadi di sekolah dasar. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kajian pustaka (library research) dengan pendekatan
deskriptif, karena peneliti mengkaji beberapa literatur yang dapat dijadikan
referensi yang menunjang dan relevan dengan objek yang dikaji, Adapun objek
yang dikaji dalam penelitian ini adalah hakikat belajar di sekolah dasar ditinjau
dari landasan filsafat pendidikan. Hasil dari kajian ini menunjukan tiga bahasan
pokok mengenai hakikat belajar di sekolah dasar diantaranya: (1) membahas
mengenai mengapa manusia harus belajar, (2) membahas apa pentingnya belajar
di sekolah dasar, dan (3) hakikat pendidikan dasar yang ditinjau dari filsafat
pendidikan meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Kata kunci: hakikat belajar; belajar di sekolah dasar; filsafat pendidikan.
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan dengan
akal dan pikirannya. Dengan menggunakan akal dan pikirannya manusia bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya dan bertahan hidup, berbeda dengan binatang ia
akan mencari makan demi bertahap hidup hanya dengan menggunakan instingnya
(Marandika, 2018). Hal tersebutlah yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Sejatinya akal dan pikiran manusia harus dilatih agar terbiasa untuk
memecahkan segala permasalahan kehidupan. Pendidikan merupakan sarana atau
wadah yang tepat untuk manusia belajar dalam menggunakan akal dan pikirannya
dengan bijak. Pendidikan memiliki peran penting dalam membangun arah
pemikiran manusia, karena dengan pendidikan mampu meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM), meningkatkan pertumbuhan ekonomi, percepatan
teknologi dan informasi serta membangun peradaban (Walidin, 2016).
Sebuah bangunan akan berdiri kokoh dan tegak jika ditopang oleh landasan
yang kuat, begitupun dalam bidang pendidikan. Landasan berarti tumpuan, dasar
atau alas sehingga dapat diartikan sebagai tempat bertumpu atau titik tolak atau
dasar pijakan (Rasid, 2018). Agar pendidikan dapat berjalan sesuai fungsinya, maka
pengembangan pendidikan memerlukan landasan-landasan yang kokoh dan dapat
dipertanggungjawabkan karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap
pengembangan manusia dan masyarakat (Junaid, 2012). Permasalahan dalam
bidang pendidikan termasuk dalam bidang pendidikan dasar tidak selalu dapat
diselesaikan secara metode keilmiahan, terkadang permasalahan tersebut
memerlukan landasan filosofis untuk mengingat kembali ke mana sebetulnya arah
dan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Landasan filosofis lahir dari arah pemikiran filsafat yang memiliki arti cinta
kebijaksanaan. Arti dari filsafat itu tersendiri merupakan suatu cara berpikir kritis
dan analitis terhadap suatu fenomena untuk mencari kebenarannya secara bijak
(Sugiarta et al., 2019). Maka dari itu, peran filsafat dalam melandasi pendidikan
memiliki peranan penting, karena landasan filsafat pendidikan yang disebut dengan
landasan filosofis berperan dalam merumuskan tujuan, isi, strategi, peserta didik
dan peranan pendidik dalam dunia pendidikan (Mubarok et al., 2021). Pada UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa,
“Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Bertolak dari pernyataan tersebut maka
pendidikan erat kaitannya dengan belajar dan proses pembelajaran.
Sejatinya, manusia tidak akan terlepas dari proses berpikir setiap harinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berpikir secara bijak tersebut, harus dilatih sejak
dini atau pada anak usia sekolah dasar, karena pada masa tersebut hampir 80%
anak sedang mengalami masa pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan yang
sangat pesat sehingga sering disebut dengan usia emas/golden age (Damanik,
2016). Oleh karena itu, anak pada usia sekolah dasar dituntut untuk belajar agar
dapat merespons fenomena yang dihadapinya sebagai hasil dari proses berpikir
untuk menghasilkan sebuah tindakan yang bijak sejak dini. Suatu kondisi yang
dapat dihadapkan bagi anak agar ia senantiasa menggunakan cara berpikirnya
untuk mengatasi segala permasalahannya dengan bijak ialah dengan belajar.
Belajar dipandang sebagai sebuah kegiatan yang melibatkan fisik dan psikis
sehingga menyebabkan terjadinya perubahan perilaku pada anak yang bukan
disebabkan oleh kematangan atau sesuatu yang bersifat sementara (Hanafy, 2014).
Belajar dapat membantu anak untuk terus mengasah pola berpikirnya dan merubah
cara berperilakunya ke arah yang lebih baik. Belajar juga merupakan sesuatu yang
kompleks yang dialami manusia sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, banyak teori
belajar yang berusaha menjelaskan bagaimana proses belajar itu terjadi. Setiap
teori belajar tentunya memiliki kelebihan, kekurangan dan fokusnya masing-
masing, diantaranya ada yang berfokus pada proses belajar, hasil belajar, isi atau
apa yang sedang dan akan dipelajari serta ada yang menekankan pada
pemprosesan informasi dan pembangunan pengetahuan (Warsita, 2018). Maka,
seorang pendidik perlu memahami teori belajar untuk menentukan keberhasilan
dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan kajian filosofi yang mengacu pada aliran filsafat progresivisme,
manusia merupakan makhluk yang akan terus berkembang dan berubah.
Perkembangan tersebut tentunya tidak hanya secara kuantitatif saja namun juga
secara kualitatif. Dalam perkembangan secara kualitatif, maka setiap harinya
manusia perlu belajar agar ia bisa berproses untuk menjadi lebih baik.
Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti (never ending process)
sehingga manusia akan terus berkembang dan mengalami perubahan secara terus-
menerus (change over time) baik secara kognitif, afektif dan psikomotor yang
dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar (Jannah, 2015). Begitupun anak usia
sekolah dasar yang masih perlu bimbingan dan arahan untuk menjadi individu yang
baik, karena pada masa tersebut merupakan masa yang penting bagi anak dalam
membekali berbagai macam kemampuan baik dari segi pengetahuan, sikap maupun
keterampilan.
Bertolak dari beberapa penjelasan di awal, maka penulis merasa perlu
meneliti lebih jauh mengenai hakikat belajar di sekolah dasar yang ditinjau dari
landasan filsafat pendidikan. yang mana ketika kita berbicara hakikat tentunya
akan bersinggungan dengan ontologi yang merupakan salah satu bidang kajian
filsafat, yang mana dalam bidang pendidikan ontologi mengkaji tentang hakikat
pendidikan, hakikat tujuan pendidikan, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan
yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum
pendidikan (Chasanah, 2017). Akan tetapi, yang akan menjadi fokus pada kajian ini
yaitu berfokus pada hakikat belajar di sekolah dasar yang ditinjau dari perspektif
filsafat pendidikan. Mengingat belajar merupakan sesuatu yang sangat kompleks
dan penting yang harus terus dilalui manusia sepanjang hayat maka fokus
persoalan yang akan dikaji meliputi: mengapa manusia harus belajar, apa
pentingnya belajar di sekolah dasar, dan apa sumbangsih yang diberikan filsafat
terhadap terselenggaranya pembelajaran di sekolah. Adapun tujuan dari kajian ini
diharapkan kita sebagai manusia yang merupakan makhluk pembelajar mampu
memahami esensi dari hakikat belajar itu tersendiri khususnya bagi para calon
pendidik maupun pendidik untuk lebih memahami hakikat belajar yang seharusnya
terjadi di sekolah dasar.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka
(library research), karena peneliti mengkaji beberapa literatur yang dapat
dijadikan referensi yang menunjang dan relevan dengan objek yang dikaji (Rosita &
Abadi, 2019). Penelitian ini juga menggunakan pendekatan deskriptif untuk
menggambarkan dan menginterpretasi objek yang dikaji sesuai dengan realita yang
terjadi (Alfurqan et al., 2020). Adapun objek yang dikaji dalam penelitian ini
adalah hakikat belajar di sekolah dasar ditinjau dari landasan filsafat pendidikan.
Guna memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan objek yang dikaji,
penulis menggunakan beberapa tahapan-tahapan kajian pustaka diantaranya
penulis melakukan pencarian dan pengumpulan referensi, kemudian penulis
mengkaji referensi yang relevan secara mendalam serta menganalisis referensi
untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulkan. Referensi penulisan pada penelitian
ini bersumber pada buku, artikel, dan hasil penelitian lain yang masih relevan
dengan objek yang dikaji.

Mengapa manusia harus belajar?


Manusia lahir ke muka bumi dengan kondisi suci dan tidak bisa apa-apa, oleh
Tuhan manusia dibekali akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran manusia menjadi
makhluk ciptaan tuhan yang yang memiliki derajat yang paling tinggi dari pada
makhluk lainnya. Hal yang menjadi pembeda antara manusia dan ciptaan tuhan
lainnya adalah manusia memiliki perasaaan, akal dan keyakinan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan derajat hidupnya (Dardiri et al.,
2021; Simbiak, 2016). Untuk mewujudkannya manusia perlu belajar yang dapat
ditempuh melalui proses pendidikan.
Pendidikan dipandang sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku
seseoroang atau kelompok orang sebagai bentuk pendewasaan melalui pengajaran
(Gandamana, 2021). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
proses mendidik. Pendapat lain mengemukakan pendidikan asebagai bimbingan
atau pertolongan yang diberikan orang dewasa terhadap orang belum dewasa
untuk memperoleh kedewasaannya dengan tujuan agar anak tersebut mampu
menjalankan kehidupannya secara mandiri atau tidak perlu pertolongan orang lain
(Rasid, 2018).
Untuk mencapai kualitas hidup yang diinginkan, manusia perlu tumbuh dan
terus berkembang. pertumbuhan dan perkembangan tersebut akan menghasilkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku manusia perlu didampingi dengan proses
belajar. Belajar adalah usaha sadar manusia dalam menciptakan perubahan
perilaku dalam dirinya yang diwujudkan melalui latihan dan pengalaman
(Akhiruddin et al., 2019; Fakhrurrazi, 2018; Suarim & Neviyarni, 2021). Seorang
individu dapat dikatakan belajar apabila individu tersebut dihadapkan dengan
“situasi belajar” yang memungkinkan terjadinya perubahan kinerja (kemampuan)
dalam diri individu tersebut (Tarihoran et al., 2021; Warsita, 2018). Terdapat dua
faktor yang dapat mempengaruhi kondisi belajar individu yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Sebagai contoh, seorang siswa yang sedang belajar mengikat tali
sepatunya tidak memulai pembelajaran ini “dari awal”; dia sudah tahu cara
memegang tali, cara melilitkan satu sama lain, dan sebagainya. Contoh lain, siswa
yang belajar mengalikan bilangan asli telah diperoleh banyak kemampuan,
termasuk kemampuan menambah dan menghitung, mengenal angka dan
menggambarnya dengan pensil. Dari kedua contoh kejadian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kondisi belajar dapat dipengaruhi oleh faktor: Pertama,
capaian kemampuan internal (kemampuan awal) individu. Kedua, stimulus atau
situasi di luar dari diri individu.
Secara umum manusia perlu belajar karena tiga aspek, yaitu manusia perlu
bertahan hidup, manusia perlu memperbaiki hidup, dan manusia perlu menggapai
ujuan hidupnya. Pada hakikatnya manusia juga merupakan makhluk yang perlu
dididik dan memperoleh pendidikan (Fadhilah & Maunah, 2021), alasan
mendasarnya yaitu: (1) Manusia terlahir dalam keadaan tidak berdaya, dan
membutuhkan orang lain untuk bertahan hidupnya; (2) Manusia lahir tidak langsung
dewasa, melalui pendidikan manusia akan diberikan pertolongan oleh orang
dewasa untuk memperoleh kedewasaan; (3) Manusia pada dasarnya sebagai
makhluk sosial, yang memerlukan orang lain dalam melaksanakan proses
kehidupannya. Selain alasan mendasar yang tersebut, manusia juga disebut sebagai
animal educable, animal educandum dan animal educandus yang dikaitkan dengan
proses pendidikan dimana di dalamnya terdapat proses belajar. Adapun hubungan
manusia dengan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Hubungan Manusia dengan Pendidikan


Hubungan Manusia dengan Pendidikan
Animal educable Manusia merupakan makhluk yang dapat
dididik
Animal educandum Manusia dasarnya adalah makhluk yang perlu
dididik
Animal educandus Manusia merupakan makhluk yang dapat dan
perlu dididik, tetapi juga dapat mendidik
Apa pentingnya belajar di sekolah dasar?
Berdasarkan kajian filosofis diperoleh kesimpulan bahwa manusia lahir
dengan keadaan tidak berdaya sehingga manusia perlu menggunakan akal dan
pikirannya dengan sebaik mungkin untuk memecahkan segala permasalahannya
sehingga dapat mempertahankan hidupnya. Agar dapat menggunakan akal dan
pikirannya sebaik dan sebijak mungkin maka manusia harus belajar. Pada dasarnya
belajar tidak hanya dilakukan di dalam ruang kelas melainkan dapat dilakukan
dimana saja dan dalam kondisi apapun, yang mempu merubah individu dari tidak
tahu menjadi tahu (Arfani, 2016). Oleh karena itu, proses belajar harus
dikondisikan sejak dini termasuk pada anak usia sekolah dasar, karena pada usia
tersebut dikenal dengan usia emas atau golden age dimana terjadi pertumbuhan
dan perkembangan kecerdasan yang sangat pesat sehingga anak perlu dibekali pola
pikir, keterampilan dan kompetensi untuk menghadapi tuntutan di jenjang
selanjutnya (Suryawan, 2022).
Karakteristik belajar anak pada usia sekolah dasar tentunya akan berbeda
dengan karakteristik bagaimana orang dewasa belajar. Karakteristik cara belajar
anak perlu diketahui untuk menentukan acuan dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran bagi anak di sekolah dasar. Adapun karakterisktik cara
belajar anak pada usia sekolah dasar adalah (Wahab & Rosnawati, 2021): (1)
belajar dengan cara bermaian agar lebih menyenangkan, (2) membangun
pengetahuan dan kerangka berpikirnya, (3) Anak aakan belajar secara alamiah, (4)
anak akan belajar sendiri dengan baik ketika didukung dengan aspek-aspek yang
mendukungnya.
Proses pembelajaran saat ini dimulai segera setelah manusia pertama lahir
sampai menjelang akhir hayatnya. Karakteristik terpenting yang dapat
membedakan manusia dari spesies lain yang hidup di lingkungan serupa adalah
kemampuan mereka untuk belajar. Kajian tentang kemampuan belajar manusia,
khususnya tentang bagaimana belajar terjadi ketika seseorang memiliki latar
belakang yang kuat dalam suatu mata pelajaran dan telah mengembangkan
berbagai macam teori yang biasa disebut dengan teori belajar. Teori belajar
diartikan sebagai integrasi yang menuntun di dalam merancang kondisi demi
tercapainya tujuan pendidikan (Margaretha, 2020). Melalui teori belajar pendidik
akan dimudahkan dalam melakukan dan memilih model pembelajaran yang akan
digunakan. Banyak sekali teori belajar yang ada, namun terdapat tiga teori belajar
yang menjadi fokus bahasan diantaranya: teori belajar behaviorisme, kognitivisme
dan konstruktivisme.
Teori Belajar Behaviorisme
Belajar adalah perubahan konstan, menurut teori behaviorisme. Seseorang
beranggapan bahwa mereka telah belajar sesuatu jika mereka mampu
mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari mereka yang
lebih mendukung tingkah laku ke arah mereka. (Amsari, 2018). Teori ini
berpandangan, saat ini perlu menekankan pentingnya input dan output berbasis
stimulus dan respon. Namun, apa yang terjadi antara stimulus dan respon
umumnya tidak penting untuk dipahami karena tidak dapat dipahami atau
diprediksi. Satu-satunya hal yang mampu dipahami adalah rangsangan dan
tanggapan. Secara implisit, kegiatan pembelajaran di kelas dipandang sebagai
kegiatan “mimetik” yang mendorong siswa untuk meninjau kembali materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Materi untuk instruksi kelas disediakan yang
mengikuti aturan dari satu ujung ke ujung lainnya. Pendidikan dan evaluasi
memperkuat hasil. Selain itu, tulang rahang yang jelas menandakan bahwa siswa
tersebut telah menyelesaikan tugas-tugas yang diperlukan untuk dipelajarinya.
Setiap teori belajar pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Begitupun dengan teori behaviorisme memiliki kelebihan dan
kekurangannya tersendiri. Adapun kelebihan dari teori behaviorisme diantaranya
(Gunawan & Karimah, 2022): (1) Peserta didik akan terbiasa untuk fokus dan jeli
saat melaksanakan pembelajaran; (2) Tepat untuk upaya dalam memperoleh
kemampuan yang berkaitan dengan praktek dan pembiasaan yang melibatkan
banyak unsur; (3) Peserta didik terbiasa belajar secara mandiri; (4) Peserta didik
akan terbiasa berpikir linier dan konvergen: (5) Peserta didik akan mudah
mencapai tergetan dan capaian tertentu; (6) Materi yang diberikan akan
sangat detail, karena dalam proses pembelajaran memberikan stimulus
berupa pengetahuan dan pengalaman pendidik kepada para peserta didik.
Sedangkan kekurangan dari teori behaviorisme ini adalah (Shahbana et al.,
2020): (1) Membatasi kreatifitas, produktifitas, dan imajinasi peserta didik; (2)
Pembelajaran hanya berpusat pada pendidik, sehingga memberikan kesan peserta
didik bersikap pasif; (3) Berpotensi menimbulkan hukuman verbal dan fisik kepada
para peserta didik yang melanggar aturan pendidik: (4) Menimbulkan kesulitan
dalam menjelaskan kondisi pembelajaran yang kompleks disebabkan beracuan
pada stimulus dan respon. Meskipun terdapat banyak kekurangan dan kelebihan
dari teori behavioristik, namun teori ini paling banyak dipakai oleh para pendidik
saat ini, karena teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Teori Belajar Kognitivisme
Teori kognitivisme adalah satu-satunya teori belajar yang sering merujuk
pada model kognitif dalam berbagai konteks akademik.Menurut teori belajar ini,
adalah umum bagi seseorang untuk disadarkan akan suatu situasi yang
berhubungan dengan tujuannya melalui persepsi atau pemahamannya. Oleh karena
itu, teori ini menyatakan bahwa belajar harus dipandang sebagai perkembangan
pribadi dan intelektual. (Pane & Dasopang, 2017). Kognisi adalah kapasitas pikiran
manusia untuk hal-hal seperti memahami, memperhatikan, berempati dengan,
mengingat, dan membedakan.Dengan kata lain, kognisi difokuskan pada gagasan
asal-usul.Teoria belajar kognitif lebih erat paralel dengan proses belajar daripada
hasil belajar. (Nurhadi, 2020). Belajar lebih dari sekedar menguasai hubungan
antara input dan respon; melainkan menguasai proses belajar biola yang sangat
rumit. Belajar adalah proses perubahan yang konstan, dan pemahaman tidak selalu
terfokus pada perubahan kecil yang dapat dipahami .
Adapun kelebihan dari teori kognitivisme antara lain (Hapudin, 2021): (1)
memudahkan pendidik untuk memilih dan memilah materi yang sesuai dengan usia
peserta didik; (2) mengarahkan pendidik untuk memberikan dasar-dasar dari
materi yang diajarkan; (3) memungkinkan peserta didik untuk meningkatkan daya
ingat karena teori ini menekankan pada kemampuan daya ingat peserta didik; (4)
memungkinkan peserta didik melakukan sesuatu hal yang baru (berkreasi);
Sedangkan kekurangan dari teori ini diantaranya (Rahmah, 2022): Tidak ada teori
yang mencakup setiap aspek pendidikan; sulit untuk mempraktikkan teori,
terutama di tingkat yang lebih tinggi; dan beberapa prinsip, seperti pemahaman,
sulit dipahami dan memerlukan studi lebih lanjut.
Teori Konstruktivisme
Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme dapat dipahami sebagai
sesuatu yang dimaksudkan untuk dibangun, seperti gaya hidup tata susunan
modern. Sebagai aturan umum, teori konstruktivis bukan hanya teori pendidikan.
Teori ini bersumber dari disiplin filsafat, khususnya filsafat ilm. Dalam tataran
filsafat, teori ini membahas bagaimana proses pemahaman manusia dilakukan.
Prinsip yang mendasari teori konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan dapat
diperoleh melalui proses individu dan kolektif. (Parapat, 2019). Menurut teori ini,
hasil bagaimana manusia mengkonstruksikan dirinya dalam hubungannya dengan
realitas itulah pembentukan pengetahuan. Seiring perkembangannya, teori ini
menggabungkan wawasan dari disiplin psikologi lainnya, terutama psikologi
kognitivisme Piaget, yang terhubung dengan mekanisme psikologis yang mendorong
pemahaman mendalam.
Menurut seorang konstruktivis, belajar adalah proses aktif dimana siswa
mengkonstruksi pengetahuan. Proses yang dijelaskan di sini dipengaruhi oleh
beberapa hal berikut. (Waseso, 2018): 1) Pengertian belajar adalah “belajar
membangun sesuatu”, (2) “membangun sesuatu” adalah proses yang berlangsung
terus menerus sepanjang hidup seseorang, (3) “belajar membangun sesuatu”
bukanlah strategi untuk mengumpulkan fakta, tetapi lebih berfokus pada
bagaimana membangun pengetahuan baru. (4) "Belajar membangun sesuatu"
terjadi ketika seseorang duduk berbicara panjang dengan orang lain, dan (5)
"belajar membangun sesuatu" dihasilkan dari "belajar membangun sesuatu dengan
orang lain", dan (6) Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah
diketahuinya.
Adapun kelebihan dari teori konstruktivisme adalah (Hayati & Husnidar,
2022): (1) pembelajaran tidak hanya berfokus pada guru melainkan siswa perlu
membuat sebuah inovasi pembelajaran melalui berbagai cara seperti praktik
langsung, belajar dengan alam dan lainnya; (2) tingkat aktivitas dan kreativitas
siswa yang lebih tinggi di dalam kelas; (3) pendidikan menjadi lebih signifikan; (4)
pendidik diberikan tingkat kelonggaran di dalam kelas; (5) nilai yang diberikan
bersifat variative; (6) guru berpikir kritis untuk adanya pengetahun baru,
sedangkan siswa menggunakannya untuk memecahkan masalah dan membuat
keputusan.
Sedangkan kekurangan dari teori konstruktivisme ini adalah (Hayati &
Husnidar, 2022): (1) Proses belajar dari perspektif konstruktivis adalah salah satu
yang tidak memungkinkan transfer pengetahuan eksternal untuk representasi
internal belajar tentang dunia melalui seperangkat aturan berdasarkan
pertimbangan faktual dan etis, serta pada pembelajaran aktif dan lunak konstruksi
mental; (2) Posisi Pemangku Kepentingan: Pendidikan adalah metode untuk
menanamkan pengetahuan; (3) Peran Guru: Melakukan peran kunci dalam
mendukung pendidikan dan partisipasi Stakeholder; (4) teknik pembelajaran yang
menekankan pentingnya partisipasi aktif siswa dalam pembentukan pemahaman
diri selama proses pembelajaran berlangsung; (5) Evaluasi yang dilakukan
menunjukkan bahwa lingkungan belajar membantu siswa mengembangkan
perspektif dan interpretasi mereka sendiri tentang dunia berdasarkan pengalaman
mereka, kerangka konseptual, dan aktivitas lainnya.
Hakikat belajar di sekolah dasar ditinjau dari perspektif filsafat
pendidikan
Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik
tolak dalam rangka studi dan praktik pendidikan. Adapun peranan landasan
filosofis pendidikan adalah memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana
seharusnya pendidikan dilaksanakan. Rambu-rambu tersebut bertolak pada segi
ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan yang merupakan tugas fokus dalam
bidang kajian filsafat pendidikan (Dardiri et al., 2021).
Segi Ontologi
Belajar pada jenjang sekolah dasar akan berbeda pada jenjang sekolah menengah
dan lainnya, Perbedaan tersebut didasari atas tahap perkembangan, karakter dan
sosio-emosional yang berbeda, Dalam bidang pendidikan manusia terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu peserta didik dan pendidik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa. “Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara,tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan
lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan”.
Pendidik adalah seorang professional di suatu intansi pendidikan yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran serta membantu
dan mengajar peserta didik agar memiliki kemampuan dalam menjalani hidupnya
(Juhji, 2016). Sedangkan anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik
optimal kemampuan fitrahnya. Seorang guru harus memahami betul karakteristik
dari peserta didik yang merupakan objek dan subjek pendidikan dan yang akan
diajarnya. Adapun karakteristik anak SD yaitu (Intan Kusumawati, 2016): (1)
Konkret, konkret maksudnya proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkret
(dapat dilihat, didengar, diraba dan diotak-atik) dengan titik penekanan pada
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk
pencapaian proses dan hasil pembelajaran yang berkualitas bagi anak usia SD/MI;
(2) Integratif, integratif maksudnya adalah memandang sesuatu yang dipelajari
sebagai suatu keutuhan dan terpadu. Dengan demikian keterpaduan konsep tidak
dapat dipilah-pilah dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi dikait-kaitkan menjadi
pengalaman belajar yang bermakna (meaningfull learning); (3) Hierarkis, hierarkis
maksudnya adalah berkembang secara bertahap dari hal-hal yang sederhana ke
hal-hal yang lebih kompleks.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka
diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk
menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-
tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu
pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika
tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka
sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu,
pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan
tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi
saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini
(manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju
yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus
menginspirasi.
Segi Epistemologi
Banyak cara bagaimana individu belajar, ia bisa memperolehnya di berbagai
jenjang pendidikan termasuk pendidikan dasar. Jenjang pendidikan dasar
merupakan jenjang yang sangat penting dalam melaksanakan pembelajaran,
dikarenakan pada tahap perkembangan anak usia sekolah dasar masuk ke dalam
masa golden age (usia emas) karena pada usia tersebut pertumbungan dan
perkembangan berjalan sangat pesat. Dengan demikian, perlu adanya kajian
mengenai bagaimana cara belajar yang seharusnya di jenjang sekolah dasar yang
berlandaskan pada teori belajar. Adapun fungsi dari teori belajar adalah (Tauhid,
2020): (a) memberikan kerangka kerja konseptual bagi guru sebagai informasi
belajar; (b) memberi rujukan untuk menyusun rancangan pelaksanaan
pembelajaran; (c) mendiagnosa masalah-masalah yang berlangsung dalam kegiatan
belajar mengajar; (d) mengkaji kejadian dalam diri anak ketika belajar; dan (e)
mengkaji faktor eksternal yang memfasilitasi proses belajar.
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang menekankan pada pencarian
sumber kebenaran suatu pengetahuan (Barlia, 2011). Epistemologi juga dikenal
dengan “teori pengetahuan”. Persoalan pokok yang berkembang dalam
epistemologi meliputi sumber-sumber pengetahuan, watak dari pengetahuan
manusia, apakah pengetahuan itu benar (valid) ataukah tidak serta bagaimana
pengetahuan manusia itu didapat, dengan cara apa dan apa saja syarat-syarat
yang harus dipenuhi (Mujahidin, 2013). Maka, pada kajian epistemologi ini
persoalan yang dibahas meliputi mengenai cara belajar yang seharusnya atau
bagaimana konsep individu bisa belajar dilihat dari teori-teori belajar.
Segi Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axio berarti nilai atau
sesuatu yang berharga dan logos artinya akal, teori. Aksiologi artinya akal, teori,
nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan metafisik nilai. Lebih lanjut,
aksiologi menjelaskan bagaimana suatu ilmu pengetahuan dapat memiliki nilai
guna atau dengan kata lain dikenal dengan istilah teori tentang “nilai”. Sampai
saat ini tentulah ilmu memberikan kita banyak pengetahuan yang bermanfaat
sehingga kita bisa mengatasi kelaparan, kemiskinan, penyakit dan berbagai hal
duka lainnya. Akan tetapi, bisa juga berakibat sebaliknya yakni membawa manusia
menciptakan malapetaka. Tetapi sifat ilmu itu netral sebagai sumber pengetahuan,
yang terakhir tidak membahas masalah benar atau salah, dan mereka yang
mempraktikkannya harus memiliki kualifikasi yang diperlukan. Atau, dengan kata
lain, pengetahuan hanya berpegang pada prinsip epistemologis "jika dipukul, maka
pukul," dan "jika diletakkan, maka taruh," tanpa menawarkan dukungan kepada
siapa pun selain proposisi yang jelas-jelas benar. Sebaliknya, menurut ontologi dan
aksiologi, guru harus mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
karena hal itu akan menuntut guru untuk menjelaskan tentang apa pelajaran
tersebut.
Nilai dan perwujudan aksiologi di dalam pendidikan adalah menguji dan
mengintegrasikan semua nilai-nilai yang baik dalam kehidupan manusia dan
pembinaannya dalam kepribadian peserta didik. Setiap warga negara Indonesia
yang bersekolah di sekolah dasar dianggap sebagai anggota lembaga pendidikan
yang memiliki tanggung jawab untuk mengenali kemampuan dasarnya. SD juga
memiliki tujuan untuk menonjolkan kebutuhan pembelajaran di tingkat sekolah
dasar.
Fungsi dan tujuan pendidikan dasar mengacu kepada fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003
pasal 3 tentang sitem pendidikan nasional. “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Untuk sekolah dasar tujuan pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian yaitu:
a) Menanamkan Kemampuan Dasar Baca-Tulis-Hitung
Keterampilan baca-tulis-hitung sangat penting untuk berkomunikasi dan
meluncurkan tugas sehari-hari yang paling menantang. Agar berhasil
mempelajari modal utamana apa pun, siswa harus memiliki kemahiran baca-
tulis. Sesegera mungkin siswa di SD harus dibiasakan dengan kebiasaan
membaca karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan semua tata cara
pengajaran di sekolah.
b) Memberikan, menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat
bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya
Keterampilan utama yang diperlukan untuk tugas ini adalah pemikiran jernih
dan perhatian terhadap detail. Oleh karena itu disarankan agar guru menahan
diri untuk tidak menjelaskan semua hal teoretis yang berada di luar ranah
pengalaman anak. Karena kemampuan terbatas anak untuk memahami situasi
buta huruf secara teoritis.
c) Mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan di SLTP
K egiatan ini terutama diadakan di kelas atas, khususnya di kelas VI. Hasilnya,
mereka memiliki pemahaman yang jelas tentang perbedaan prakarsa
pendidikan SLTP dengan prakarsa sekolah tradisional.

Kesimpulan
Manusia lahir ke muka bumi dengan kondisi yang tidak berdaya, oleh Tuhan
manusia dibekali akal dan pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan tuhan yang lainnya. Manusia dengan menggunakan akal, pikiran, perasaan
serta keyakinannya dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya di
dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka manusia perlu belajar yang dapat
ditempuh melalui proses pendidikan. Kaitannya dalam pendidikan, manusia
dipandang sebagai makhluk yang perlu dididik dan memperoleh pendidikan
karena : (1) Manusia terlahir dalam keadaan tidak berdaya sehingga membutuhkan
orang lain untuk bertahan hidupnya; (2) Manusia lahir tidak langsung dewasa,
melalui pendidikan manusia akan diberikan pertolongan oleh orang dewasa untuk
memperoleh kedewasaan; dan (3) Manusia pada dasarnya sebagai makhluk sosial,
yang memerlukan orang lain dalam melaksanakan proses kehidupannya.
Berdasarkan kajian filosofis, manusia lahir dengan keadaan tidak berdaya
sehingga manusia perlu menggunakan akal dan pikirannya dengan sebaik mungkin
melalui proses belajar. Pada hakikatnya belajar secara luas tidak hanya diartikan
sebagai pembelajaran yang terjadi di dalam ruang kelas saja, melainkan segala
sesuatu dalam kehidupan ini yang dapat membuat seseorang yang dahulunya tidak
tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan sebagainya. Oleh karena itu,
proses belajar harus dikondisikan sejak dini termasuk pada anak usia sekolah
dasar, karena pada usia tersebut dikenal dengan usia emas atau golden age dimana
terjadi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan yang sangat pesat sehingga
anak perlu dibekali pola pikir, keterampilan dan kompetensi untuk menghadapi
tuntutan di jenjang selanjutnya.
Proses belajar dapat ditempuh melalui proses pendidikan sehingga
pendidikan tersebut haruslah direncanakan seefektif dan seefisien mungkin. Maka,
perlu adanya landasan yang kuat yang melatarbelakangi esensi dari adanya
pendidikan yang disebut dengan landasan filsafat pendidikan. Karena landasan
tersebut lahir dari buah pemikiran filsafat, maka pembahasan mengenai hakikat
belajar di sekolah dasar dapat ditinjau dari tiga bidang kajian filsafat yaitu
ontologi (hakikat tentang ada), epistemologi (hakikat tentang pengetahuan) dan
aksiologi (hakikat tentang nilai). Dengan demikian, peranan landasan filsafat
pendidikan adalah memberikan rambu-rambu tentang apa dan bagaimana
seharusnya pendidikan dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Akhiruddin, Sujarwo, Atmowardoyo, H., & Nurhikmah. (2019). Belajar dan
Pembelajaran (Pertama). CV. Cahaya Bintang Cemerlang.
Alfurqan, A., Trinova, Z., Tamrin, M., & Khairat, A. (2020). Membangun Sebuah
Pengajaran Filosofi Personal: Konsep dari Pengembangan dan Pendidikan
Dasar. Jurnal Tarbiyah Al-Awlad, 10(2), 213–222.
Amsari, D. (2018). Implikasi Teori Belajar E.Thorndike (Behavioristik) Dalam
Pembelajaran Matematika. Jurnal Basicedu, 2(2), 52–60.
https://doi.org/10.31004/basicedu.v2i2.49
Arfani, L. (2016). Mengurai Hakikat Pendidikan, Belajar dan Pembelajaran. Jurnal
PPKn & Hukum, 11(2), 81–97.
Barlia, L. (2011). Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD: Tinjauan
Epistemologi, Ontologi. dan Keraguan dalam Praksisnya. Cakrawala
Pendidikan, 3, 343–358.
Chasanah, U. (2017). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan. Tasyri’,
24(1), 76–91.
Damanik, S. H. (2016). Berdialog Dengan Ayah Sebagai Metode Stimulasi
Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini. Jurnal Bunga Rampai Usia Emas, 2(2),
35–41. https://doi.org/10.24114/JBRUE.V2I2.9422
Dardiri, A., Purwastuti, L. A., Li, Z., & Thontowi, S. (2021). Landasan filosofis
pendidikan dalam perspektif guru. SUKMA: Jurnal Pendidikan, 5(2), 201–222.
www.jurnalsukma.org
Fadhilah, I. A., & Maunah, B. (2021). Manusia Sebagai Makhluk yang Perlu dan
Dapat Dididik. Amirul, Izza & Maunah, Binti, 15(2), 254–268.
https://doi.org/10.30957/cendekia.v15i2.718.Manusia
Fakhrurrazi, F. (2018). Hakikat Pembelajaran Yang Efektif. At-Tafkir, 11(1), 85–99.
https://doi.org/10.32505/at.v11i1.529
Gagne, R. M. (1977). The Conditions of Learning. Holt, Rinehart and Winston.
Gandamana, A. (2021). Peranan Filsafat Dalam Mengatasi Problem Pendidikan
Seumur Hidup. JGK (Jurnal Guru Kita), 6(1), 52–56.
Gunawan, P., & Karimah, R. S. (2022). Memahami Teori Belajar Behavioristik dan
Implementasi dalam Pembelajaran. Asaatidzah: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Agama Islam, 2(1), 90–99.
Hanafy, M. S. (2014). Konsep Belajar Dan Pembelajaran. Lentera Pendidikan :
Jurnal Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 17(1), 66–79.
https://doi.org/10.24252/lp.2014v17n1a5
Hayati, R., & Husnidar, H. (2022). Studi Kepustakaan: Keterkaitan Kemampuan
Komunikasi Matematis Model Problem Based Learning Dan Teori
Konstruktivisme. VARIASI : Majalah Ilmiah Universitas Almuslim, 14(3), 179–
185. https://doi.org/10.51179/vrs.v14i3.1510
Intan Kusumawati. (2016). Landasan Filosofis Pengembangan Karakter Dalam
Pembentukan Karakter. Academy Of Education Journal, 7(1), 1–15.
Jannah, M. (2015). Tugas-Tugas Perkembangan pada Usia Kanak-kanak. Gender
Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 87–98.
Juhji. (2016). PERAN URGEN GURU DALAM PENDIDIKAN Juhji. STUDIA DIDAKTIKA
Jurnal Ilmiah Pendidikan, 10(1), 52–62.
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/studiadidaktika/article/view/73/75
Junaid, H. (2012). Sumber, Azas dan Landasan Pendidikan. Sulesana, 7(2), 84–102.
Marandika, D. F. (2018). Keterasingan Manusia menurut Karl Marx. Tsaqafah, 14(2),
229–322. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v14i2.2642
Margaretha, L. (2020). Teori- teori Belajar untuk Kecerdasan Bahasa Anak Usia
Dini. Early Child Research and Practice - ECRP, 1(1), 8–15.
Mubarok, A. A., Aminah, S., Sukamto, S., Suherman, D., & Berlian, U. C. (2021).
Landasan Pengembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia. Jurnal Dirosah
Islamiyah, 3(1), 103–125. https://doi.org/10.47467/jdi.v3i2.324
Mujahidin, A. (2013). Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu Sebagai Sumber Ilmu.
Jurnal Studi Keislaman, 17(1), 41–64.
Nurhadi, N. (2020). Transformasi Teori Kognitivisme dalam Belajar dan
Pembelajaran. Bintang: Jurnal Pendidikan Dan Sains, 2(1), 16–34.
Pane, A., & Dasopang, M. D. (2017). Belajar dan Pembelajaran. FITRAH: Jurnal
Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman, 3(2), 333–352.
Parapat, A. (2019). Pola Pembelajaran di Raudhatul Atfal Fajar Shiddiq Medan. At-
Tazakki:Juenal Kajian Ilmu Pendidikan Islam Dan Humaniora, 4(1), 49–62.
Rahmah, S. (2022). Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Profesi Guru Madrasah, 2(3), 23–34.
Rasid, A. (2018). Implikasi Landasan-Landasan Pendidikan. Al-Fikrah, 1(1), 1–15.
Rosita, I., & Abadi, A. P. (2019). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Berdasarkan Langkah-Langkah Polya. Prosiding Seminar Nasional Matematika
Dan Pendidikan Matematika, 1059–1065.
Shahbana, E. B., Farizqi, F. K., & Satria, R. (2020). Implementasi Teori Belajar
Behavioristik dalam Pembelajaran. Jurnal Serunai Administrasi Pendidikan,
9(1), 24–34.
Simbiak, M. (2016). Tinjauan etnoekologi dan beberapa penelitian di indonesia.
Novae Guinea Jurnal Biologi, 7(1), 274–282.
Suarim, B., & Neviyarni, N. (2021). Hakikat Belajar Konsep pada Peserta Didik.
Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(1), 75–83.
https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i1.214
Sugiarta, I. M., Mardana, I. B. P., Adiarta, A., & Artanayasa, W. (2019). Filsafat
Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3),
124–136. https://doi.org/10.23887/jfi.v2i3.22187
Suryawan, I. G. A. J. (2022). Kajian Kompetensi Siswa Menghadapi Tantangan Masa
Depan. Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama Dan Budaya, 6(1), 73–85.
Tarihoran, D., Nau Ritonga, M., & Lubis, R. (2021). Teori Belajar Robert Mills
Gagne dan Penerapan dalam Pembelajaran Matematika. JURNAL MathEdu
(Mathematic Education Journal), 4(3), 361–366.
https://doi.org/10.37081/mathedu.v4i3.2242
Tauhid, R. (2020). Dasar-Dasar Teori Pembelajaran. Jurnal PENDAS: Pendidikan
Dasar, 1(2), 32–38.
Wahab, G., & Rosnawati, R. (2021). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.
Walidin, W. (2016). Arah Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Dimensi
Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi, 2(2), 147–163.
Warsita, B. (2018). Teori Belajar Robert M. Gagne Dan Implikasinya Pada
Pentingnya Pusat Sumber Belajar. Jurnal Teknodik, XII(1), 064–078.
https://doi.org/10.32550/teknodik.v12i1.421
Waseso, H. P. (2018). Kurikulum 2013 Dalam Prespektif Teori Pembelajaran
Konstruktivis. TA’LIM : Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 59–72.
https://doi.org/10.52166/talim.v1i1.632

Profil Penulis
Penulis pertama bernama Pajar Reza Pitria yang lahir di Ciamis.
Riwayat pendidikan terakhir yang tengah di tempuh penulis yaitu
S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Pendidikan
Indonesia (2017) dan S2 Pendidikan Dasar di Universitas Negeri
Jakarta. Pengalaman profesional penulis yaitu menjadi penyusun
modul literasi nasional mengenai membaca permulaan di GTK
Dikdas Kemendikbud (2022), menjadi asisten penelitian dosen di
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (2021-sekarang). Adapun
beberapa jabatan struktural yang pernah diemban yaitu sebagai
Presiden BEM REMA UPI Tasikmalaya (2020), Koordinator Pusat
Aliansi BEM Tasikmalaya (2020), Ketua Badan Eksekutif HMPGSD UPI Tasikmalaya
(2019) dan Ketua Angkatan PGSD UPI Tasikmalaya (2017-sekarang).

Penulis kedua bernama Neneng Widya Sopa Marwa yang lahir di


Tasikmalaya. Riwayat pendidikan terakhir yang tengah di tempuh
penulis yaitu S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas
Pendidikan Indonesia (2017) dan S2 Pendidikan Dasar di
Universitas Negeri Jakarta. Pengalaman profesional penulis yaitu
menjadi asisten penelitian dosen di UPI Kampus Tasikmalaya
dengan fokus penelitian STEM dan keterampilan 4C (2018-2020),
guru di SDN 5 Mangunreja Kab. Tasikmalaya (2021-2022),
Instruktur Pelatihan Analisis Rasch di KKG Guru Kab. Ciamis
(2019). Adapun beberapa jabatan struktural yang pernah diemban
yaitu sebagai Pimpinan MPM REMA UPI Tasikmalaya (2020), Ketua Dewan Legislatif
HMPGSD UPI Tasikmalaya (2019) dan Sekretaris Umum IKMA PGSD Indonesia (2018).

You might also like