You are on page 1of 15

S Volume 1, No 1, Juni 2018 (1-15)

KAIROS ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print)


Jurnal Teologi Lutheran http://ejournal.sttgkli.ac.id/index.php/kairos

Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran


Esra Sinaga
Sekolah Tinggi Theologi GKLI Sihabonghabong
pdtesra_sinaga@yahoo.com

Abstract: The Church often ignores the identity that God has given that so called double
identity. The fact shows that there are two extreme points of view from the polar circles, which
then render this as the expression of life, have church. First, the church is likened to the pole
only as a container or club that is home to the saints who express their lifestyle to become a
community. They only take care of spiritual matters, demanding piety of life (pietis), but forget
that they are also called on to pay attention to their surroundings and fellow. The second pole,
the church is a group of people who only pay attention to activities and social life solely.
Through qualitative descriptive study through analyzing the facts on the ground, the study tries
to see how the views about the identity of Lutheran Church. With describe the views that are
found in the literature, it can be concluded that the church has a clear identity and call in view
of Lutherans. The Principle of the Priesthood of believers that all Christians are paralleled in
the faith, then all the potential of the faithful must be actuated for the work of the Lord. They
are also called to take part in the ministries of the church and the community with the aim of
seeking a Christian life in all sectors of life.

Keywords: identity; called; church; perspective; Lutheran

Abstrak: Gereja sering mengabaikan identitasnya yang telah diberikan Allah yang disebut
dengan identitas ganda. Kenyataan menunjukkan bahwa terdapat dua kutub pandang yang
ekstrim dari kalangan gereja, yang kemudian menjadikan hal ini sebagai ekspressi dalam
kehidupan bergereja. Kutub pertama, gereja diibaratkan hanya sebagai wadah atau klub yaitu
tempat bagi orang-orang kudus yang mengekspresikan gaya hidup mereka menjadi suatu
komunitas yang eksklusif. Mereka hanya mengurusi perkara-perkara rohani, menuntut
kesalehan hidup (pietis), namun lupa bahwa mereka juga dipanggil untuk memperhatikan
sekeliling dan sesama mereka. Kutub kedua, gereja merupakan kumpulan orang-orang yang
hanya memperhatikan aktifitas dan kehidupan sosial semata. Melalui kajian deskriptif kualitatif
dengan menganalisa fakta-fakta di lapangan, penelitian ini mencoba melihat bagaimana
pandangan Lutheran tentang identitas gereja. Dengan mendeskripsikan pandangan-pandangan
yang ditemukan dari literatur, dapat disimpulkan bahwa gereja memiliki identitas dan panggilan
yang jelas dalam pandangan Lutheran. Prinsip Imamat Am orang percaya bahwa semua orang
kristen sejajar dalam soal iman, maka semua potensi orang beriman harus digerakkan bagi
pekerjaan Tuhan. Mereka juga terpanggil untuk mengambil bagian dalam pelayanan gereja dan
masyarakat dengan tujuan mengupayakan perikehidupan yang kristiani di semua sektor
kehidupan.

Kata kunci: identitas; panggilan; gereja; perspektif; Lutheran

Article History
Submitted: Juni 2018 -- Revised: Juni 2018 -- Published: Juni 2018

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 1


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

PENDAHULUAN
Gereja masa kini telah melalui perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai
aneka sejarah yang mengikuti perjalanan itu sendiri. Gereja dalam hakekatnya adalah
persekutuan orang orang percaya yang telah dibawa dari kegelapan kepada terang
dimana Allah dalam semua rangkaian keselamatan telah menempatkan Gereja di dunia
ini dengan suatu maksud yang mulia membawa damai sejahtera bagi sesama. Kutipan
Firman Tuhan diatas menyatakan dengan jelas akan posisi orang percaya sebagai
suatu bangsa yang terpilih yang telah menempat kannya pada posisi yang sangat
penting karena status mereka yang sangat penting di hadapan Allah, dimana Allah
sebagai yang memanggil dan memilih serta menugaskan mereka di dunia untuk
membawa kabar baik serta mewartakan perbuatan-perbuatan Allah yang begitu besar
dengan demikian bahwa dalam tugas mulia ini ada suatu tuntutan yang harus dilakukan
orang percaya.
Sebagaimana hakekat Gereja yang dipanggil dengan panggilan yang kudus dari
Allah menjadi suatu komunitas baru milik Allah tentunya dari awal Allah telah
menetapkan visi bagi Gereja-Nya, yang idealnya terlihat dalam gambaran sebuah
Gereja yang hidup sebagai mana John Stoot membuat asumsi-asumsi tentang hal itu.
Pertama, bahwa Gereja adalah komunitas milik Allah dimana didalam tujuan-Nya
bukan hanya menyelamatkan individu-individu yang terpisah tetapi lebih untuk
membangun Gereja Allah, yaitu untuk memanggil orang orang dari tengah tengah
dunia. Kedua, Gereja terikat akan panggilan melakukan misi. Memang panggilan dan
identitas Gereja adalah unik, karena di satu pihak orang percaya dipanggil keluar dari
dunia untuk menjadi milik Allah, namun dipihak lain bahwa pada hakekatnya kita
kembali diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani. Yesus sendiri telah
memberikan teladan bagi kita karena Ia bersabda; bahwa sama seperti Bapa mengutus
Aku, demikianlah Aku mengutus kamu. Yesus tidak tinggal di zona aman kemuliaan
sorgawi-Nya tetapi sebaliknya Ia memberikan diri-Nya dan merendahkan diri-Nya
melayani masuk dalam dunia kita. Dengan teladan ini sekarang Ia memanggil orang
percaya untuk masuk ke dunia lain sebagai mana Ia masuk ke dunia kita. Ketiga, Gereja
yang diperbaharui. Di banyak belahan dunia saat ini seperti di Afrika, Amerika Latin
dan Asia secara statistic terjadi pertumbuhan gereja yang pesat namun secara kualitas
tidak terlalu menggembirakan. Di belahan dunia lain seperti di Barat misalnya terjadi

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 2


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

stagnasi dan tidak bertumbuh. Kondisi ini sangat membutuhkan perubahan dan
pembaharuan.1
Dalam perjalanan yang panjang dari kehidupan Gereja , betapa Gereja sering
mengabaikan identitas sebenarnya yang disebut sebagai identitas ganda yang telah
diberikan Allah karena kenyataannya terdapat dua kutub pandang yang ekstrim dari
Gereja yang kemudian menjadi ekspresinya dalam kehidupan bergereja. Kutub pertama,
Gereja diibaratkan hanya sebagai wadah atau club bagi tempat orang-orang kudus
yang yan mengekespresikan gaya hidup mereka menjadi suatu komunitas yang
ekskusif yang hanya mengurusi perkara-perkara rohani , menuntut kesalehan hidup
(pietis)2 namun lupa bahwa mereka dipanggil juga untuk memperhatikan sekeliling
dan sesama mereka. Pada kutub yang lain, Gereja diposisikan sebagai suatu wadah
untuk misi sekuler3. Biasanya isu yang menjadi bahan untuk digarap adalah persoalan
social, ketidak adilan, HAM, lingkungan, ekonomi dan politik. Mereka tidak tertarik
dengan perkara-perkara rohani dan pekabaran Injil. Bagi mereka melakukan pekerjaan
sosial, memperjuangkan hak azasai manusia, menggugat kerusakan lingkungan adalah
persamaan dari ibadah dan pelayanan kepada Allah, namun mereka lupa hakekat yang
pertama panggilan Allah kepada Gereja supaya menjadi umat yang kudus. Maka
untuk lebih memahami gambaran dan panggilan Gereja, perlu kiranya menarik ke
belakang apa yang telah terjadi dalam perjalanan panggilan gereja itu sendiri.

METODOLOGI
Metode yang dipergunakan dalam melakukan kajian terhadap identitas dan
panggilan gereja dalam prespektif Lutheran adalah deskriptif kualitatif. Fakta yang

1
John Stoot, The living Church: Menanggapi Pesan Kitab Suci yang Bersifat Tetap Dalam
Budaya yang Berubah ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 1-3.
2
Sebuah gerakan yang muncul dalam abad ke 17 dan 18 di Eropa yang berusaha mencari di
dalam “agama hati yang bersifat pribadi” suatu alternatif kehidupan menghadapi sistem skolastisisme
ortodoksi Luther. Gerakan ini dipelopori oleh Philip Jacob Spener (1635-1705), seorang pendeta Lutheran
di Frankfurt. Dalam bukunya Pia Desideria ia mendorong suatu studi bersifat devosional terhadap
Alkitab. Usahanya ini, kendati mendapat perlawanan, namun tersebar ke mana-mana. Muridnya, yang
bernama A.H.Francke (1663-1727), menjadikan Universitas Halle dan Rumah Yatim Francke sebagai
pusat pekabaran Injil dan pendidikan, termasuk penerbitan. Gerakan ini, yang belakangan mengalami
semacam pembaruan di abad ke 19 masuk ke Indonesia bersama-sama dengan gencarnya upaya-upaya
pekabaran Injil. Buku-buku yang bisa diperiksa untuk studi lebih mendalam mengenai pietisime: M.
Schmidt, Pietismus, 1972; F.E.Stoeffler,The Rise of Evangelical Pietism, 1965; Johannes Wallman,
Philip Jacob Spener und die Aufgabe des Pietismus, 1970. Di Indonesia terbit sebuah buku tulisan
Leonard Halle, Jujur Terhadap Pietisme, 1997
3
Gereja sering terjebak akan panggilannya, seolah-olah bahwa tugasnya sudah dicakup dalam
pelayanan bersifat sosial semata dan dilakukan dengan cara-cara dunia ?

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 3


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

berhubungan dengan masalah anggota gereja yang tidak memahami identitas dan
panggilannya dideskripsikan dengan memaparkan kenyataan dilapangan dan
pandangan-pandangan yang menegaskan akan masalah tersebut. Sehingga masalah akan
semakin tajam dan membawa kepada kesimpulan yang tepat bahwa gereja tidak
memahami identitas dan panggilannya.
Penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yakni pandangan-
pandangan dari literatur yang menjelaskan bahwa dalam prespektif Lutheran, identitas
gereja itu seharusnya tidak lagi merupakan pemisahan antara dua kutub. Dalam
prespektif Lutheran untuk memahami identitas dan tanggung jawab gereja dipakai teori
atau ajaran tentang dua kerajaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identitas Gereja Abad pertama sampai Pertengahan


Perkembangan pertama pada Abad pertama (Rasul), adalah perkembangan
secara institusional (pelembagaan). Hal ini sebagai bagian dari konsolidasi dari semua
kelompok dan terjadilah keseragaman tata gereja dan diberlakukannya jabatan dalam
gereja, setiap jemaat dipimpin satu orang uskup saja, uskup dipilih dari dan disertai
presbuteros (majelis) dan dibantu oleh diakonos. Jabatan-jabatan ini menjadi hierarki,
dari atas kebawah, coraknya digambarkan dalam Gereja Episkopal.
Perkembangan ke dua adalah gejala bahwa gereja menjadi lebih dari yang
dahulu, karena perluasan gereja dari abad pertama telah tersebar di seluruh kekaisan
Romawi, bahkan sampai keluar dari kekaisaran itu, dengan demikian kesatuan gereja
semakin kurang Nampak. Artinya bagi orang Kristen pada waktu itu kesatuan itu tidak
hanya karena kesatuan iman di dalam Yesus Kristus tetapi juga karena Gereja4. Maka
gereja menjadi pengikat antar sesama umat Kristen dan semua yang menerima Kristus
sebagai Tuhan dan Juruselamat menyadari melalui baptisan mereka telah memasuki
suatu persekutuan keselamatan yang khusus, yaitu gereja yang tersebar di seluruh
dunia.5 Karena perkembangan ini gereja sendiri menjadi pokok iman. Gereja mulai
dipercaya sebagai lembaga dimana orang – orang percaya memperoleh keselamatan
yang diberikan Allah melalui sakramen Perjamuan Kudus yang dilayani para imam,

4
Chr. de Jonge, Jan S. Aritonang, Apa & Bagaimana Gereja ? Pengantar sejarah Eklesiologi
(Jakarta: Penerbit PT. BPK Gunung Mulia, 2013), 8-9.
5
Ibid.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 4


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

terutama uskup-uskup. Perjamuan Kudus menjadi sakramen dalam arti upacara kudus
dimana keselamatan ilahi dibadikan di dalam roti dan anggur. Perayaan Perjamuan
Kudus dihayati sebagai inti dan puncak kebaktian.
Van den End menuliskan bahwa pada abad ke 2 agama Kristen tersebar di
daerah yang terbentang laus. Organisasi gereja semakin rapih dan orang-orang Kristen
terkemuka mulai menjawab tantangan yang dihadapkan kepada gereja oleh
lingkungannya6. Sekitar tahun 150 gereja menghadapi krisis sebagai akibat mulainya
praktek sinkritisme yang menghasilkan beberapa aliran keagamaan yang disebut dengan
Gnostik. Bagi gereja Kristen, Gnostik merupakan tantangan yang berat. Pada satu pihak,
Gnostik membawa ajaran yang rasanya bertolak belakang dengan azas-azas iman
Kristen seperti yang dianut oleh kebanyakan jemaat-jemaat Kristen. Pada pihak lain, ia
memakai istilah-istilah Kristen dan rupanya mengembangkan gagasan-gagasan yang
sudah terdapat dalam Alkitab dan dalam gereja Kristen sendiri. 7
Untuk memahami lebih jauh mengapa bidat Gnostik menjadi tantangan yang
begitu berat yang dialami oleh gereja pada masa itu (sekitar 100-150 M) , ada dua hal
yang perlu diperhatikan. Pertama. Organisasi Gereja. Pada masa itu setiap jemaat masih
berdiri sendiri. Para rasul dan pengganti mereka sudah meninggal. Tidak ada tokoh-
tokoh yang berwibawa seperti mereka. Belum ada sinode–sinode belum ada pengakuan
iman yang rinci yang diterima umum dalam gereja. Belum ada pendapat yang mantap
mengenai batas-batas iman Kristen. Hubungan antar jemaat bersifat kebetulan dan

6
Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2011), 30.
7
Kata Gnostik berasal dari kata Yunani: gnosis = pengetahuan. Istilah gnostik secara khusus
dipakai sebagai sebutan bagi beberpa “aliran kepercayaan“ pada abad ke-2, misalnya aliran Valentinus
dan aliran Basilides. Kedua tokoh ini dan para pengikut mahzab-mahzab Gnostik lainnya menyatakan
bahwa mereka mempunyai pengetahuan “gnosis” yang lama dan lebih tinggi dari pada iman Kristen
seperti yang dianut oleh angota jemaat biasa. Pokok-pokok utama dalam ajaran ini adalah: asal dunia,
tabiat manusia dan persoalan yang paling berat itu adalah: asal kejahatan. Salah satu system gnostik, yaitu
system Valentinus yang menyatakan bahwa dunia yang penuh dengan penderitaan yang kita pandang ini,
katanya tidak mungkin merupakan ciptaaan suatu Allah yang baik. Allah adalah terang, dikelilingi oleh
malaikat-malaikat yang rohani murni. Tetapi ada malaikat yang ingin mengenal hakikat Allah yang
tertinggi itu. Hal itu tidak mungkin sehingga dalam diri malaikat itu timbul rasa sedih dan kegelisahan.
Kesedihan dan kegelisahan ini dibuang keluar dari dunia terang, dan dengan demikian terbentuklah
materi (zat, jasmani). Dari materi itu oknum pembuat dunia menciptakan dunia yang kita pandang ini.
Dunia itu menjadi pernjara bagi percikan-percikan terang ikut terbuang dari dunia atas. Oknum pembuat
dunia itu menjadi Allah bagi Israel. Jadi Allah yang menyatakan diri dalam Perjanjian Lama bukanlah
Allah Bapa yang Mahabaik. Baru Kristuslah yang memperkenalkan Allah yang Maha baik itu kepada
kita. Ia adalah salah seorang dari roh-roh yang hidup dalam dunia terang, tetapi Ia turun dari dunia atas itu
untuk menebus percikan-percikan terang yang telah menjadi roh orang-orang tertentu dan yang terkurung
dalam tubuh. Kepada roh-roh itulah Kristus mengajar tentang asal usul mereka dan tentang jalan untuk
kembali ke dunia terang (Van den End, Harta Dalam Bejana Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta,
cetakan ke 12 : 2011) hal 35-36

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 5


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

sukarela. Jika ada jemaat yang dipengaruhi ajaran Gnostik, maka bagi jemaat lain yang
agak jauh, malah tidak mengetahui akan hal itu. Dan kalau tahu dan mau protes tidak
bisa dibawa kemana-mana. Oleh karena itu penolakan terhadap Gnostik kemudian
hanya bias terjadi melalui terbentuknya pendapat umum dalam gereja yang memakan
waktu yang cukup lama. Kedua. Kitab Suci. Faktor lain yang mempersulit perlawanan
terhadap gnostik adalah soal Kitab suci. Perlawanan dari penganut-penganut gnostik
yang selalu mengkounter dan memutar balikkan penafsiran Alkitab secara allegori juga
seringnya penganut Gnostik mencatut nama rasul sebagai penulis kitab tertentu
sehingga tidak ada patokan yang jelas untuk menentukan mana yang patut berwibawa
dan mana yang tidak.
Maka dalam perjalanan pergumulan yang panjang selama puluhan tahun bagi
gereja masa itu hingga terbentuknya pendapat umum dalam gereja dimana didalamnya
terjadi suatu proses kesepakatan untuk membendung ajaran Gnostik dan aliran-aliran
lain dengan apa yang disebut Tiga azas yang menjadi senjata Gereja . Pertama adalah,
Kanon. Kata Kanon (Yun) berarti ukuran, patokan atau juga daftar. Gereja masa itu
telah memiliki Perjanjian Lama sebagai ukuran bagi kepercayaan dan kehidupan
anggota-anggotanya. Disamping itu ada karangan-karangan dari murid Tuhan; Injil-
Injil, surat-surat dan lainnya yang oleh penganut Gnostik mengendarkan dengan
menyebut tulisan tersebut juga karangan dari murid Tuhan Yesus. Gereja perlu
menentukan, kitab , tulisan manakah yang dapat dianggap benar-benar berasal dari
murid Tuhan, maka dengan proses Kanonisasi tersusunlah Alkitab yang sah. Kitab-kitab
yang bersifat Gnostik tidak diterima sehingga garis batas antara gereja Kristen dengan
Gnostik menjadi lebih jelas. Kedua, Pengakuan Iman. Gereja Kristen membutuhkan
pegangan iman yang kuat agar jangan diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran
(Ef. 4:14). Pengakuan yang tertua hanyalah mengenai Kristus; “ Yesus adalah Tuhan
(1Kor. 12:3). Tetapi dalam zaman PB pengakuan ini telah diperluas, seperti halnya
dalam Roma 1:3; Filipi 2:5-1. Kemudian pengakuan ini berkembang menjadi
Pengakuan Iman yang lengkap: Pengakuan Iman “Rasuli “. Inilah sebagai alat melawan
ajaran Gnostik tersebut. Ketiga, Jabatan Uskup. Kanon dan pengakuan iman
merupakan senjata yang kuat melawan ajaran Gnostik dan aliran-aliran sesat lainnya.
Tetapi untuk menggerakkannya dibutuhkan seseorang yang mengartikan dan
menerapkannya. Orang itu adalah Uskup. Uskup-uskup dipandang sebagai pengganti

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 6


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

para rasul. Mereka ini menurut pendapat pada abad ke -2 telah menahbiskan seseorang
menjadi uskup di setiap jemaat yang mereka dirikan, dan meneruskan kepadanya ajaran
yang diterimanya dari Kristus sendiri dalam hal ini terjadi pewarisan jabatan rasuli
(succesio apostolica) . kemudian Uskup-uskup ini meneruskan kembali ajaran itu
kepada pengganti-pengganti mereka. Dengan demikian tersusunlah suatu rangkaian
saksi-saksi kebenaran yaitu Uskup-uskup yang dapat dpercaya ajarannya, sebab ajaran
itu telah diterimanya secara tidak langsung dari Kristus sendiri.
Kemudian selanjutnya dalam Perjalanan kehidupan gereja yang panjang pada
abad pertengahan (590 – 1500) pemahaman bahwa gereja adalah lembaga keselamatan
semakin diperkokoh. Gereja sebagai persekutuan semua orang percaya tidak mendapat
penekanan, sebab semua perhatian teologis diberikan kepada segi institusional8
Para pejabat gereja atau klerus membagikan keselamatan kepada kaum awam.
Perkembangan ini berakar dari gereja kuno dimana jabatan uskup telah menjadi dasar
gereja. Juga pemahaman bahwa uskup Roma atau Paus mempunyai kedudukan khusus
ditengah-tengah semua uskup gereja.

Pada Masa Reformasi


Reformasi Luther dimulai bukanlah dengan pembaharuan gereja tetapi dimulai
dengan pembaharuan dalam pemahaman mengenai cara manusia memperoleh
keselamatan. Bertitik tolak dari pemahamannya terhadap Roma 1:16-17, ia kemudian
memformulasikan imannya akan keselamatan dengan rumusan “tiga sola” yakni ; sola
fide, sola gratia dan sola scriptura. Pemahaman ini membawanya untuk menuntut
kekeliruan Gereja Katolik dengan menempelkan 95 dalil (tesis) di depan pintu Gereja
Wittenberg yang mengumumkan pemahamannya akan penyalahgunaan surat
penghapusan siksa, dengan menyatakan bahwa paus tidak berhak untuk mengampuni
dosa sebab hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Tugas gereja serta pejabat-
pejabatnya adalah memberitakan rahmat Allah melalui pemberitaan Firman dan
melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus). Dengan demikian Luther tidak
lagi menghubungkan kebenaran Gereja dengan wewenang Paus untuk menentukan
ajaran, tetapi hanya dengan sumber kebenaran itu yaitu pengajaran rasul yang
terkandung dalam Alkitab.

8
Chr. de Jonge, Jan S. Aritonang, Apa & Bagaimana Gereja ? 23.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 7


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

Kemudian Bagi Calvin sendiri, sesuai dengan pandangan Agustinus, Gereja


yang benar tidak kelihatan. Gereja ini sebagai tubuh Kristus, tidak dapat lain dari satu
atau esa. 9Yang dapat dilihat adalah gereja di dunia. Sedang Gereja yang tidak kelihatan
adalah terdiri dari orang-orang yang dipilih Allah. Dalam gereja yang kelihatan di dunia
ini orang yang tidak dipilih dapat saja masuk. Bukan hak manusia untuk memisahkan
yang dipilih dan yang ditolak, atau untuk memisahkan diri dari gereja yang kelihatan.
Dalam pandangannya sama seperti Luther, Paus serta gereja Katolik Roma yang telah
memisahkan diri dari gereja yang benar karena telah menyimpang dari kebenaran
Firman Allah. Bagi Calvin tentang keesaan gereja yang kelihatan tidak perlu terwujud
dengan keesaan organisasi. Organisasi gereja dapat berbeda-beda tetapi yang perlu
adalah masing-masing jemaat memiliki Firman dan sakramen dan saling mengakui
maka keesaan akan terwujud.

Pada Masa Kini


Untuk memahami gereja masa kini, kita perlu melihat sejarah yang terjadi
dibelakangnya. Perkembangan gereja pasca reformasi oleh Martin Luther, Johannes
Calvin serta tokoh reformasi lainnya di Eropa diwarnai dengan adanya gerakan pietisme
pada abad ke XVI. Gerakan ini lahir sebagai sikap atas semakin suamnya gereja
Lutheran yang telah sibuk dengan organisasi dan aturan gereja. Dalam perkembangan
selanjutnya diyakini bahwa semangat pietisme (revival) inilah kemudian melahirkan
badan-badan zending di Jerman (RMG) dan Belanda yang mengutus para Misionaris ke
berbagai belahan dunia di luar Eropa termasuk Indonesia.
Perkembangan gereja di Indonesia patut diperhatikan dengan melihat keadaan
sejak datang VOC pada abad XVI sebagai kongsi dagang. Dalam kebijakannya VOC
telah membawa mandat dari Gereja Gerefomeerd Belanda untuk menyebarluaskan
iman Kristen Protestan di wilayah yang didudukinya10. Dengan bubarnya VOC pada
tahun 1799 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggungjawab itu
karena merasa bahwa adalah kewajiban Negara untuk memperhatikan nasib gereja
secara resmi, karena penggembalaan, baik terhadap orang Belanda sendiri di Indonesia,
maupun terhadap kaum Kristen pribumi adalah termasuk tanggungan yang diwarisi

9
Ibid., 33-34.
10
Aritonang , Berbagai aliran Gereja di sekitar kita, 12.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 8


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

pemerintah dari VOC11. Khusus di wilayah jajahan (Indonesia) dibentuklah satu Gereja
Protestan yaitu GPI (Gereja Protestan di Indonesia) dan menjadikannya gereja negara
yang mencakup semua jemaat asuhan peninggalan VOC12. Sebagai gereja yang diatur
pemerintah, gereja ini tidak memiliki kebebasan, segala sesuatu diatur dan kegiatan-
kegiatan keluar gereja dilumpuhkan. Kebutuhan akan fasilitas, tenaga pelayan gereja
dan pendeta adalah pegawai negara dan hal lainnya diurusi pemerintah 13. Hal yang
telah terjadi pada gereja pada masa penjajahan itu telah membekas pada pemahaman
gereja sampai masa kini pada sebagian besar gereja di tanah air akan pola hubungan
gereja dengan Negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, Van den End mengatakan sampai abad ke
XIX , suku suku Batak hidup terpencil. Gereja VOC tidak mengindahkan mereka.
Sekitar pertengahan abad XIX Islam mulai memasuki wilayah Batak. Beberapa usaha
mengabarkan Injil di wilayah itu tidak berhasil. Ahirnya tahun 1861 , tanah Batak
menjadi lapangan kerja RMG14. Kehadiran RMG telah membawa suasana baru dalam
kehidupan orang Batak dimasa selanjutnya. Melalui pekerjaan pekabaran Injil oleh I.L.
Nommensen (1834-1918) yang memilih daerah Silindung sebagai pusat pekabaran
Injil yang pertama di Tapanuli, telah berhasil memenangkan jiwa bagi Kristus salah
satunya adalah Raja Pontas Lumban Tobing, seorang tokoh yang dihormati di kaumnya
yang kemudian bersamanya telah berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dan bahaya-
bahaya yang dihadapinya dalam tahun-tahun pertama. Sesudahnya Injil dimenangkan di
tanah Batak dengan begitu pesat.15 Hasil pekabaran Injil di tanah Batak dan di Indonesia
pada umumnya telah melahirkan gereja-gereja dengan berbagai aliran teologi dan
denominasi. Sampai saat kini Allah terus memanggil dan menugaskan gereja dengan
Tritugas panggilan itu untuk setia dalam persekutuan dengan Allah dan sesama,
bersaksi mewartakan berita keselamatan dalam Yesus Kristus dan melakukan pelayanan
sosial kemasyarakatan sebagai bentuk tanggung jawab gereja. Ketiga hal ini dalam
pelaksanaannya diharapkan untuk senantiasa dilakukan secara berimbang sehingga
nyata bahwa panggilan iman Kristen itu bersifat holistik. Hal itu terlihat pada awal
pelayanan misionaris dan sampai era tahun 60 - an, pelayanan gereja menjadi sentral

11
Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 313.
12
Aritonang, Berbagai aliran Gereja di sekitar kita, hal 13.
13
Van den End, Sejarah Gereja Ringkas, 250.
14
Ibid., 267.
15
Ibid., 269.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 9


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

kehidupan masyarakat dengan adanya gerakan pelayanan yang dilakukan di kawasan “


pargodungan “16

Identitas Gereja dalam Perspektif Lutheran


Dalam memahami identitas dan tanggung jawab Gereja di dunia, Luther
menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan” (The Two Kingdom) atau “dua
pemerintahan”17. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang
berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan Roh Kudus,
dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran
dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga
menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran”
atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”. Ukuran
Allah tentang keadilan mempersoalkan semua perkara di dunia ini. Luther mengatakan
bahwa keteraturan akan dikenakan untuk menciptakan kedamaian dan untuk menekan
dosa dan semua ini didasarkan atas firman Allah dan merefleksikan kehendak Ilahi
untuk membangun dan memelihara bidang duniawi.18 Atau dengan kata lain, Allah
memberi kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah
berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada Negara, Allah memberikan
kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertibkan orang-orang jahat, sekaligus
menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen itu bisa masuk ke
dalam naungan kerajaan Allah karena para raja dan bangsawan itu adalah warga gereja.
Sebagaimana prinsip Imamat Am Orang Percaya bahwa semua orang Kristen sejajar
dalam soal iman, maka semua potensi orang beriman harus digerakkan bagi pekerjaan
Tuhan. Mereka juga terpanggil untuk membaharui gereja dan mengambil bagian dalam
pelayanan gereja terutama dalam memberantas kejahatan dan mengupayakan

16
Pargodungan adalah kompleks Gereja Protestan Batak pada awal masuknya injil di tanah
Batak. Dari Pargodungan inilah bergema Firman Allah melalui mimbar Gereja setiap kali ada kegiatan
kegerejaan. Pargodungan merupakan pusat pemberitaan Firman Allah . Bahkan Firman-Nya diberitakan
bukan saja melalui mimbar gereja, tetapi melalui persekutuan dan kerukunan hidup keseharian seluruh
warga yang bermukim di pargodungan. Kerukunan pargodungan lazimnya menjadi contoh dan panutan
bagi warga jemaat disekitarnya. Selain gereja sebagai pusat pemberitaan Firman Allah dan pusat
peribatan, di pargodungan juga terdapat poliklinik kesehatan sebagai pusat kesehatan masyarakat,
bangunan sekolah sebagai pusat pendidikan masyarakat dan lahan pertanian sebagai pusat percontohan
bagi warga jemaat, sehingga kehadiran gereja membawa misi holistik dan hal tersebut menunjukkan
bagaimana gereja menjalankan tugas panggilan itu. Lihat dalam J. Boangmanalu, Praeses Pdt.Cyrellus
Simanjuntak, Pendidik, Misionaris dan Motivator, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 229-302.
17
Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 127.
18
Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 270.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 10


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

perikehidupan yang Kristiani. Prinsip yang dianut Luther untuk melihat Negara
berangkat dari pemahaman Paulus (Roma 13 dan 1Petrus 2:13-17), tentang ketaatan
kepada pemerintah, dengan mengatakan ketaatan kepada pemerintah adalah perintah
Allah19 juga mengembangkan istilah yang sesungguhnya tidak berbeda dengan rumusan
Paulus, bahwa pemerintah itu kehendak Allah dan perintah Allah dan sekaligus
berupaya membangun hukum, maka untuk itu Luther berkata ; we must firmly
establish law and sword that no one doubt that it is in the world by God’s will and
ordinance.20
Konfessi Augusburg menegaskan itu dengan berkata bahwa pemerintahan sipil
dan semua peraturan serta undang-undang, ditetapkan oleh Allah demi ketertiban.
Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam
pemerintahan. Konfessi itu mengutuk Anababtis yang mengajarkan bahwa setia pada
pemerintah tidak sesuai dengan kekristenan21. Injil tidak menolak pemerintah, Negara
dan perkawinan, karena itu orang Kristen wajib tunduk kepada pemerintah. Namun kita
harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia (Kisah Para Rasul 5:29)22. Hal
ini juga merupakan lanjutan pemikiran Agustinus yang membedakan kerajaan di
dalam dua konteks, dimensi spiritual dan temporal dimana ada batas kuasa
pemerintahan duniawi; merumuskan ketentuan pemerintahan Kristen, bahwa mereka
harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik23.
Dalam Katekismus Besar Luther, juga disebutkan bahwa kuasa itu berasal dari
Allah. Luther meneruskan penjelasannya yang mengatakan bahwa pemerintah tercakup
di dalam kedudukan orang tua. Artinya ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan
kepada seorang bapak, sebab pejabat bukan hanya bapak dari satu keluarga melainkan
bapak dari rakyat. Para penguasa bagaikan orang tua24 dan penguasa itu meneladani

19
Martin Brecht, Martin Luther, Shaping and Defining Reformation 1521 -1532, (Minneapolis:
Fortress Press, 1994), 115.
20
Martin Luther, Work of Martin Luther,Vol III, (Philadelphia:,Muhlenberg Press, 1930), hal
229
21
Kebanyakan Anabaptis tidak berurusan dengan negara. Beberapa terang-terangan menolak
bekerja sama dengan negara. Banyak di antaranya yang percaya bahwa orang Kristen tidak selayaknya
maju perang. Mereka biasanya mengundurkan diri dari masyarakat dan membentuk komunitas tersendiri
yang tidak terkontaminasi oleh dunia di sekitar mereka.
22
Theodore G. Tappertt, Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2004), 44.
23
Mangisi S. E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther (Pematangsiantar: Kolportase Pusat
GKPI, 2008), 91.
24
Anwar Tjen, Marthin Luther, Katekismus Besar, terjemahan, (BPK Gunung Mulia : Jakarta
1996), 63-65

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 11


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

Kristus. Artinya ialah bahwa seorang penguasa harus mengosongkan dirinya seperti
Kristus. Ia tidak mengeksploitasi kekuasaan demi kepentingannya, melainkan demi
kepentingan orang lain.25 Itu sebabnya Negara/pemerintah tidak boleh merebut hak-hak
Allah. Allahlah yang memerintah jiwa-jiwa bukan Negara.
Luther mempertegas bahwa tugas tanggung jawab pemerintah atau penguasa
adalah mempraktekkan keadilan, mengizinkan kebebasan bagi setiap orang dalam
melaksanakan kepercayaannya, membela Negara dari semua musuh-musuhnya, dan
memuliakan Tuhan.
Selanjutnya dalam pandangan Luther bahwa pekerjaan Allah di bidang politik,
ekonomi dan lembaga-lembaga kebudayaan adalah pekerjaan “ tangan kiri Allah “ dan
pekerjaan Allah di bidang kerohanian, di dalam Injil Tuhan Yesus Kristus dan gereja,
dinamakannya sebagai “ tangan kanan Allah “. Kedua tangan ini bekerja dalam
harmoni dan perbedaan. Tetapi di dalam perbedaan inilah terletak nilai yang tinggi dari
kerjasama dua kerajaan itu26. Jadi pembedaan bukanlah pemisahan tangan kiri berbeda
dengan tangan kanan, tetapi kedua-duanya adalah tangan yang fungsinya adalah
memegang sesuatu. Pemerintahan politis duniawi sebagai tangan kiri Allah, bagi
manusia biasa adalah suatu hal yang tidak teologis, karena bagaimana Allah akan
mengotori diri-Nya dengan urusan politik? Tetapi Allah adalah Allah yang
menciptakandari ketiadaan dan mencipta sesuatu dari keterbalikannya, juga kekuasaaan
adalah ciptaan tangan-Nya27. Dalam berbagai pelayanan gereja, pendekatan yang
holistik adalah suatu keharusan, karena pendekatan yang dikotomis akan menuntun
gereja kepada pengasingan dari dunia , tetapi bukan berarti berkompromi dengan
kejahatan. Misalnya persoalan ekonomi bukanlah hanya urusan dunia tetapi juga
urusan rohani, sebab menyangkut kehidupan masa kini, dan urusan rohani bukan hanya
urusan kehidupan akhirat.
Dalam rangka menyampaikan damai sejahtera (shalom) kedalam dunia, kedua
kerajaan itu atau kedua bidang itu dapat bekerjasama secara kreatif, sehingga shalom
itu bukan saja bagi gereja dan anggota jemaat tetapi juga menjadi milik orang lain di
luar gereja. Itu sebabnya sebagaimana dikutip Saut Sirait, bahwa tanggung jawab orang

25
Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, 92-93.
26
Ibid., 94.
27
J. Verkuyl, Etika Kristen: Ras, Bangsa, Gereja dan Negara (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1982), 73.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 12


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

Kristen untuk menguasai dunia ini terwujud melalui tanggung jawab iman dan orang
Kristen juga memiliki peran dalam setiap Negara, sebab setiap warga Negara
bertanggungjawab terhadap Negara. Maka kekristenan tidak boleh melarikan diri dari
dunia ini, tetapi harus menatanya sedemikian rupa28. Hal yang sama disampaikan
H.W.B. Sumakul mengutip apa yang diargumentasikan Luther bahwa Tuhan Allah
memanggil manusia untuk memerintah atas ciptaan-Nya. Melarikan diri dari
tanggungjawab ini merupakan bentuk pengingkaran atas panggilan iman. Pada
prinsipnya Tuhan terus memelihara ciptaan-Nya dan manusia berpartisipasi dalam
memelihara kehidupannya dengan tugas, jabatan yang diberikan Tuhan29. Dengan
pandangan Luther akan tugas dan tanggungjawab orang Kristen dalam kehidupan
bermasyarakat sebagai keharusan, menjadi pendorong bagi kita untuk terus aktif
berpartisipasi sebagai wujud dari panggilan iman.

Refeksi Perayaan 500 tahun Reformasi Luther


Memaknai buah reformasi yang begitu membahana di seluruh dunia yang telah
berlangsung 500 tahun (1517 – 2017) pada umumnya di gereja gereja Lutheran di
seluruh dunia khususnya gereja – gereja yang bergabung dalam Federasi Lutheran
Sedunia (Lutheran World Federation – LWF) telah melakukan persiapan beberapa tahun
sebelum tahun 2017 dengan berbagai agenda aksi pelayanan. Salah satu contoh di
Wittenberg sejak tahun 2012 telah dilakukan pembangunan sebuah taman yang
dinamai taman Luther (Luther Garden ) sebagai refleksi terhadap gerakan reformasi
yang dilakukan Martin Luther yakni penanaman pohon untuk mengingatkan bahwa
bumi ciptaan Allah yang kita diami berserta semua isinya harus kita pelihara dan
bangun dengan baik. Penanaman pohon ini sendiri sebagai bentuk advokasi terhadap
lingkungan dan memerhatikan betapa pentingnya arti hidup dan kehidupan.
Sebagaimana Luther sendiri selalu mengingatkan : “ seandainya besok masih ada hari,
maka saya akan selalu menanam apel “ . Ini sebagai bentuk komitmen untuk
memperhatikan betapa orang Kristen dipanggil untuk salah satu tugas mulia yakni
pemeliharaan lingkungan hidup. Juga berbagai agenda lainnya yang bersifat nasional,
regional dan internasional telah dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap

28
Saut Sirat, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), 144.
29
H. W. B. Sumakul, Panggilan Iman dalam Teologi Luther dan Calvin, Suatu Kajian Etika
Sosial Politik dalam Gereja Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 53.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 13


Identitas dan Panggilan Gereja dalam Perspektif Lutheran – Esra Sinaga

gerakan reformasi ini dengan acara puncak pada LWF Assembly ke 12 di Windhoek,
Namibia – Afrika di bulan Mei 2017 dengan tema yakni : “ Liberated by God’s Grace
“Tema ini merujuk kepada keselamatan yang hakiki yakni hanya oleh anugerah Allah.
Maka keberadaan manusia secara totalitas di formulasikan melalui sub tema yakni :
Salvation - not for Sale, Human Beings - not for Sale, Creation – not for Sale. Dari tema
dan sub tema tersebut semakin memperjelas identitas dan posisi Gereja di dunia yang di
beri mandat oleh Allah untuk terus giat memelihara segala sesuatu yang telah
diserahkan Allah bagi Gereja dari dulu, kini dan masa depan.

KESIMPULAN
Dari uraian pada bagian sebelumnya penulis telah menjelaskan bagaimana
identitas yang Allah berikan bagi Gereja. Maka realisasi identitas ganda gereja ini
seharusnya berjalan secara seimbang. Terhadap kemungkinan terjadinya ketegangan
sebagai konsekwensi dari prinsip tersebut disinilah harus dilihat bahwa ketegangan
tersebut justru merupakan alat koreksi bagi gereja agar tidak terjatuh pada sikap berat
sebelah mementingkan identitasnya hanya sebagai komunitas iman yang bebas hama
dan imun dari pergumulan social konteksnya atau sebaliknya hanya mementingkan
identitasnya sebagai komunitas social dan hanya sibuk mengurusi urusan sekuler tetapi
lupa akan panggilannya sebagai komunitas iman. Dalam hal inilah pelaksanaan identitas
ganda tersebut berfungsi sebagai penyeimbang.

REFERENSI
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2000.
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2011.
Aritonang, Jan S. Garis Besar Sejarah Reformasi, Jurnal Info Media: Bandung:,2007
Berkhof, H. & I.H. Enklaar,Sejarah Gereja, Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, , 2011
Boangmanalu, J, Praeses Pdt.Cyrellus Siamnjuntak, Pendidik,Misionaris dan
Motivator, BPK Gunung Mulia, Jakarta: 2008
Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis bagi
Pekerjaan orang Kristen dalam Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.
Brecht, Martin. Martin Luther: Shaping and Defining the Reformation 1521-1532.
USA: Fortress Press, 1994.
de Jonge, Chr & Jan S. Aritonang, Apa & Bagaimana Gereja ? Pengantar sejarah
Eklesiologi, Penerbit : PT. BPL Gunung Mulia, Jakarta,2013
Kittelson, James M. Luther The Reformer: The Story of the Man and His Career.
Augsburg: Publishing House, 1986.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 14


KAIROS: Jurnal Teologi Lutheran; Volume 1, Nomor 1 (Juni 2018)

Koehler, Edward W.A. Inti Sari Ajaran Kristen. Pematang Siantar: Kolportase Pusat
GKPI, 2010.
Kooiman, W.J. Martin Luther, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006
Lohse, Bernhard. Martin Luther: An Introduction to His Life and Work. Philadelphia:
Fortress Press, 1986.
Luther, Martin. Work of Martin Luther:Vol III. Philadelphia: Muhlenberg Pers, 1930.
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Simorangkir, Mangisi S.E. Ajaran Dua Kerajaan Luther. Pematang Siantar: Kolportase
Pusat GKPI, 2008.
Sirait, Saut. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011.
Stott, John R.W. One People (Satu Umat): Menuntun Gereja menjadi Komunita yang
Melayani. Malang: Literatur Saat, 2004.
Stott, John R.W. The Living church: Menanggapi Pesan Kitab Suci Yang Bersifat
Tetap Dalam Budaya Yang Berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Sumakul, H.W.B. Panggilan Iman dalam Teologi Luther dan Calvin: Suatu Kajian
Etika Sosial Politik dalam Gereja Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011.
Tappertt ,Theodore G. Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran, Penerbit:PT BPK
Gunung Mulia, Jakarta : 2004
Tjen, Anwar, Marthin Luther, Katekismus Besar, terjemahan, BPK Gunung
Mulia,Jakarta,1996
Van den End, Th. Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 2011.
Van den End, Th. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011.
Van den End, Th & Weitjens, J. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860 –an –
Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Verkuyl, J. Etika Kristen : Ras, Bangsa, Gereja dan Negara. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982.
Vine,W.E. Ekspository Dictionary of New Testament Words. McLean, Va; MacDonald
Publishing Company.

Copyright© 2018, KAIROS, ISSN 2621-6574 (online), 2621-5772 (print) | 15

You might also like