You are on page 1of 24

p-ISSN 1410-5632

Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

ASPEK HUKUM PELAKSANAAN QANUN JINAYAT


DI PROVINSI ACEH
(Law Aspects Of “Jinayat Qanun” Implementation In Aceh Province)

Ahyar Ari Gayo


Peneliti Hukum pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
Jalan HR. Rasuna Said Kavling 4-5, Kuningan, Jakarta Selatan 12940
Telepon (021) 2525015 Faksimili (021) 2526438
Email: ahyararigayo@yahoo.com, ahyararigayo@gmail.com
Tulisan Diterima: 29-03-2017; Direvisi: 23-05-2017; Disetujui Diterbitkan: 30-05-2017

ABSTRACT
On 2 October 2014, the Aceh`s governor has ratified the Aceh Law (Qanun Aceh) Number
6/2014 concerning Jinayat Law and Aceh Qanun on the principles of Islamic Shari`a. Its
implementation has led pro-cons, that is refusal and resistance especially non-government
organizations both local and international Then, the questions come up to how the
implementation of regulated provisions in Qanun Jinayat. This purpose of this research is to
find out the description of the implementation and the Qanun Jinayat law enforcement. It is
an empirical law with the qualitative approach. The results of this research stress on no
resistances of Qanun Jinayat`s implementation in Aceh. It applies only to the Muslim
community in Aceh, while non muslims will carry out if they subject themselves against
Qanun Jinayat. The conclusion of this research is that Jinayat Law implemented in order to
maintain the honour, dignity and to protect the people of Aceh so that they do not conduct
immoral behaviour to Allah. Qanun Jinayat implementation proves that degree of violation of
the Shari'a turns down amongst the Aceh people.
Keywords : Qanun, Law, Jinayat

ABSTRAK
Pada tanggal 2 Oktober 2014 Gubernur Aceh telah mengesahkan Qanun Aceh Nomor 6
Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-
pokok Syariat Islam. Pemberlakuan Qanun Aceh ini menimbulkan pro kontra terutama dari
kalangan lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun internasional. Pro dan kontra
tersebut mengarah pada penolakan dan penentangan terhadap pemberlakuan Qanun
Jinayat.Adanya pro dan kotra terhadap penolakan pemberlakuan qanun jinayat sehingga
menimbulkan pertanyaan bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
qanun jinayat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang pelaksanaan dan
penegakan hukum qanun jinayat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik dengan
pendekatan kualitatif. Dengan jenis dan pendekatan penelitian tersebut, peneliti akan
mengumpulkan data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Hasil penelitian ini
menekan bahwa tidak ada pertentangan pemberlakuan qanun jinayat di Aceh. Qanun jinayat
berlaku bagi kalangan masyarakat Aceh yang beragama Muslim, sdangkan bagi non muslim
berlaku apabila mereka menundukan diri terhadap qanun jinyat. Adapun kesimpulan
penelitian ini adalah hukum jinayat dilaksanakan dalam rangka menjaga harkat, martabat dan
memproteksi dan melindungi masyarakat Aceh agar tidak lagi berbuat maksiat kepada Allah.
Melalui pelaksanaan qanun jinayat berdampak berkurangnya tingkat pelanggaran syariat di
tengah-tengah masyarakat Aceh.
Kata kunci: Hukum, Qanun, Jinayat

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17, Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 131
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

PENDAHULUAN
Sebagai suatu Negara Kesatuan, keputusan tentunya harus dapat mengatasi
Indonesia dihuni berbagai kemajemukan berbagai kemajemukan yang ada.Tentu
budaya, suku, ras dan agama, dengan saja tidak semua produk hukum dapat
sendirinya keberadaan suku bangsa yang memenuhi atau memuaskan semua
majemuk juga melahirkan berbagai keinginan masyarakat, terutama pada
kemajemukan pedoman perilaku maupun masyarakat majemuk.Namun demikian,
pola pikir. Hal demikian itu merupakan apabila sebagian besar saja sendi-sendi
suatu tantangan bagi perkembangan kehidupan pada masyarakat sudah
hukum Formal (Nasional).. terlindungi serta diakui oleh warga
Berkenaan dengan kemajemukan masyarakat sebagai batasan tingkah laku
sosial, budaya dan ekonomi yang ada pada dalam masyarakat maka dapat dikatakan
saat ini, terdapat sejumlah masalah produk hukum yang bersangkutan telah
nasional yang antara lain mencakup: memenuhi rasa keadilan dan kepastian
Pertama, Integrasi Nasional yang hukum masyarakatnya.
mencakup; hubungan antar suku bangsa, Dalam kemajemukan sosial budaya
hubungan antar ras, hubungan antara pusat Indonesia, fungsi hukum dapat dikatakan
dengan daerah, hubungan antar berbagai sangat berpengaruh untuk mengatur
pelaku pembangunan, kepedulian sosial tatanan masyarakat.Sebab, pada dasarnya
antar warga masyarakat dan sebagainya. hukum tidak memandang perbedaan suku
Kedua, Perubahan Sosial Budaya yang bangsa, golongan, kedudukan, pendidikan
mencakup; perubahan dasar orientasi nilai dan sebagainya.Selain itu, Hukum
budaya, perubahan dalam sistem sosial Nasional Indonesia bersumber pula dari
tradisional, perubahan dalam pelaksanaan hukum-hukum adat yang berlaku di suatu
sistem hukum, stratifikasi sosial, pola daerah.Misalnya, Hukum Agraria
kepemimpinan, kemajuan teknologi bersumber dari hukum tanah adat yang
komunikasi, dampak pariwisata dan tidak tertulis. Demikian pula yang
sebagainya.Ketiga, Pendidikan yang berkaitan dengan warisan dan perkawinan
mencakup; kesenjangan antara pendidikan selain dari hukum adat juga dari hukum
yang ideal dengan kenyataan pada syariah Islam sebagaimana saat ini
berbagai situasi lokal dan budaya, persepsi diberlakukan qanun di daerah Aceh yang
pendidikan bagi berbagai kebudayaan bersumberkan pada syariat Islam.Syariat
yang berbeda, fungsi sosial politis sekolah Islam merupakan serangkaian norma
sebagai institusi non tradisional, agama yang bersifat imperatif bagi
kesenjangan kemajuan pendidikan antar pemeluknya, yang mewajibkan umatnya
daerah dan sebagainya.Keempat, untuk melaksanakan seluruh ajaran
Pembangunan Masyarakat yang agamanya secara menyeluruh, integral dan
mencakup; perubahan pada penghasilan komprehensip, dalam segala aspek
dan pengeluaran keluarga, hambatan kehidupan tidak terkecuali masyarakat
pembangunan pada daerah tertentu, Aceh.
derasnya arus globalisasi, dampak Masyarakat Aceh yang dikenal juga
kemajuan teknologi, kesenjangan dengan sebutan “Serambi Makkah”
kesempatan berusaha, kesenjangan akses mayoriras penduduknya Muslim.
terhadap hukum, dan sebagainya(Gayo, Berdasarkan data tahun 2010 yang
2007: 2)Masalah-masalah tersebut diatas, dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
tentunya membutuhkan penangan yang bahwa Provinsi Nangroe Aceh
integratif dengan instrumen-instrumen DarussalamJumlah Penduduk
yang tepat sasaran. Berbagai produk Muslim:4.413.244 jiwa,
hukum yang berupa peraturan serta Persentase:98,19%.((http://www.dokume

132 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

npemudatqn.com/2013/07/persentase- Pada tanggal 2 Oktober 2014 Gubernur


jumlah-umat-islam- Aceh telah mengesahkan Qanun Aceh
berbagai.html#ixzz4D2C3I4RJ, diakses Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
30 Juni 2016.) Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun
Masyarakat Aceh amat tunduk kepada 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.
ajaran Islam dan mereka taat serta Qanun Aceh ini relatif banyak
memperhatikan fatwa ulama, karena menimbulkan pro kontra di berbagai
ulamalah yang menjadi pewaris Nabi Saw. kalangan baik akadmisi, praktisi maupun
Penghayatan terhadap ajaran Islam telah masyarakat biasa. Pro kontar terhadap
melahirkan budaya Aceh yang tercermin suatu kebijakan daerah, apalagi berkaitan
dalam kehidupan adat berdasarkan dari dengan pembentukan materi hukum
renungan para ulama kemudian di syariah adalah hal wajar yang perlu
praktekkan, dikembangkan dan disikapi secara arif dan bijaksana. Pro
dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi kontra terhadap Qanun Hukum Jinayah
“Adat bak Poteomeureuhom, hukom bak tidak hanya muncul di daerah, tetapi juga
Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, di tingkat nasional dan bahkan
Reusam bak laksamana” yang artinya internasional. Pada taraf tertentu pro
“Hukum adat di tangan pemerintah dan kontra tersebut mengarah pada penolakan
hukum syari’at ada di tangan dan penentangan terhadap pemberlakuan
Ulama”. Kata-kata ini merupakan Qanun Hukum Jinayah di Aceh.(Dinas
pencerminan dari perwujudan Syari’at Syariat Islam Aceh, 2015: xi)
Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi Penolakan terhadap penerapan hukum
masyarakat Aceh. Dengan kata lain dalam cambuk bagi non muslim terlihat dari
masyarakat Islam Aceh yang berkembang pelaksanaan cambuk yang telah dilakukan
sekarang ini adalah adat dengan syariat Remita Sinaga alias Mak Ucok (60) yang
tidak mungkin untuk dipisah bagaikan beragama Kristen Protestan sebanyak 20
benda senyawa yang tidak mungkin kali seusai terbukti menjual minuman
dipisahkan menjadi dua bagian. keras (miras), dimana kasus ini mendapat
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 protes dari berbagai pihak
tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah (http://aceh.tribunnews.com/2016/04/15/
Aceh diberikan beberapa kewenangan cambuk-sesuai-qanun-jinaya, diakses
istimewa dalam mengurus 30-6-2016). Berbagai komentar dan dasar
daerahnya.Salah satu kewenangan yang penolakan yang sering dimunculkan
dimiliki oleh Pemerintah Aceh adalah adalah hukum jinayah melanggar Hak
penerapan nilai-nilai syari’at Islam kepada Asasi Manusia (HAM), hukum jinayah
masyarakat setempat yang diatur bersifat kejam dan berbaris barena
berdasarkan Qanun. Qanun sendiri menyiksa pisik manusia, sehingga hukum
merupakan peraturan perundang-undangan jinayah dianggap tidak layak tumbuh
sejenis peraturan daerah dalam kehidupan modern.
provinsi/kabupaten/kota yang mengatur Menilik diterbitkannya dua Qanun
penyelenggaraan pemerintahan dan tersebut dengan memperhatikan Pasal 125
kehidupan masyarakat Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Berdasarkan ketentuan Pasal 125 UU tentang Pemerintahan Aceh. Pertama,
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Aceh disebutkan bahwa syari’at Islam Hukum Jinayat. Qanun Aceh tentang
yang dilaksanakan di Aceh meliputi Hukum Jinayat ini mengatur tentang
aqidah, syar’iyah dan akhlak. Adapun larangan terhadap perbuatan-perbuatan
bagian-bagian lebih lanjut dari syari’at yang meliputi: khamar (minuman
Islam ini meliputi ahwal al-syakshiyah keras),maisir (judi), khalwat (perbuatan
(hukum keluarga), muamalah (hukum tersembunyi antara dua orang berlainan
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ jenis yang bukan mahram),ikhtilath
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), (bermesraan antara dua orang berlainan
dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. jenis yang bukan suami istri), zina,

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 133
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

pelecehan seksual, dan pemerkosaan, Pemerintahan Aceh dalam Pasal 129


qadzaf (menuduhorang melakukan zina mengatur bahwa:
tanpa dapat mengajukan paling kurang (1) Dalam hal terjadi perbuatan
empat saksi), liwath (homo seksual) dan jinayah yang dilakukan oleh dua
musahaqah (lesbian). Kedua, ialah Qanun orang atau lebih secara bersama-
Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang sama yang di antaranya
Pokok-Pokok Syariat Islam yang mengatur beragama bukan Islam, pelaku
tentang seluruh aspek dalam kehidupan yang beragama bukan Islam
masyarakat dan seluruh aparatur di Aceh, dapat memilih dan menundukkan
meliputi: aqidah, syariah dan akhlak (Pasal diri secara sukarela pada hukum
2 Ayat 1). Adapun Pelaksanaan Syariat jinayah.
Islam bidang Syariah meliputi: a) ibadah; (2) Setiap orang yang beragama
b) ahwalal-syakhshiyah (hukum keluarga); bukan Islam melakukan
c) muamalah (hukum perdata); d) jinayat perbuatan jinayah yang tidak
(hukum pidana); e) qadha’ (peradilan); f) diatur dalam Kitab Undang-
tarbiyah (pendidikan); dan g) pembelaan Undang Hukum Pidana atau
Islam (Pasal 2 Ayat 2). Sedangkan ketentuan pidana di luar Kitab
Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akhlak Undang-undang Hukum Pidana
meliputi: syiar dan dakwah (Pasal 2 Ayat berlaku hukum jinayah.
3). (3) Penduduk Aceh yang melakukan
Dari dua qanun yang diterbitkan perbuatan jinayah di luar Aceh
tersebut di atas, secara tahapan langkah berlaku Kitab Undang-Undang
legislasi, terdapat beberapa hal yang patut Hukum Pidana.
mendapat perhatian. Dalam paragraf Lebih lanjut, Pasal 7 Qanun Pokok-
konsideran kedua Qanun tersebut, Pokok Syariat Islam mengatur hal yang
disebutkan: “bahwa al-Qur’an) dan al- senada, namun dengan penambahan kata
Hadits adalah dasar utama agama Islam ‘menghormati’:
yang membawa rahmat bagi seluruh alam (1) Setiap orang beragama Islam di
dan telah menjadi keyakinan serta Aceh wajib mentaati dan
pegangan hidup masyarakat Aceh.” mengamalkan Syariat Islam.
Dengan demikian, pada prinsipnya (2) Setiap orang atau badan hukum
pengaturan dalam Qanun Hukum Jinayat yang berdomisili atau berada di
merupakan aturan moral yang beranjak Aceh wajib menghormati
hanya dari ajaran Agama Islam. Namun pelaksanaan Syariat Islam.
demikian, mengingat penerapannya Pada Qanun tersebut, kata
(imposition) bersifat indisciminate (tidak ‘menghormati’ berpotensi menimbulkan
membeda-bedakan) antar pemeluk agama kerancuan dalam penerapannya karena
di Aceh, membuat Qanun Hukum Jinayat dapat secara bebas ditafsirkan oleh
dan Pokok Syariat Islam dari sudut penegak aturan Qanun. Sedangkan Pasal 5
pandangan golongan masyarakat Qanun Hukum Jinayat mengatur hal yang
bertentangan dengan prinsip non- sama dengan Pasal 129 UU Pemerintahan
diskriminasi, dalam arti pemerintah Aceh, yakni:
berupaya menyeragamkan pelaksanaan Qanun ini berlaku untuk:
agama/keyakinan individu di wilayah a. setiap orang beragama Islam
Aceh, sebagaimana komentar-komentar yang melakukan jarimah di
pro dan kontra masyarakat. Aceh;
Indikasi penerapan norma Agama b. setiap orang beragama bukan
Islam kepada pemeluk agama di luar Islam yang melakukan
Agama Islam dalam kedua Qanun dapat jarimah di Aceh bersama-
dilihat dalam formulasi pengaturannya. sama dengan orang Islam dan
Sebelum lebih jauh, sebagai payung memilih serta menundukkan
hukum pembentukan Qanun, UU diri secara sukarela pada
Hukum Jinayat;

134 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

c. setiap orang beragama bukan uqubuat (hukuman yang dapat dijatuhkan


Islam yang melakukan oleh hakim terhadap pelaku jarimah).
perbuatan jarimah di Aceh Tindak pidana dalam qanun ini merupakan
yang tidak diatur dalam Kitab konsolidasi dari beberapa qanun jinayat
Undang-Undang Hukum sebelumnya (Khamar, Maisir dan
Pidana (KUHP) atau Khalwat) ditambah dengan tindak pidana
ketentuan pidana di luar baru yakni Ikhilath (cumbu rayu), Zina,
KUHP, tetapi diatur dalam Pelecehan seksual, pemerkosaan, qazhaf,
Qanun ini; dan (tuduhan zina palsu), Liwath (sodomi) dan
d. badan usaha yang mushahaqaf (praktek lesbian). Qanun ini
menjalankan kegiatan usaha diundangkan DPR Aceh pada akhir
di Aceh Oktober 2014, berdasarkan ketentuan
Sehubungan dengan pelaksanaan qanun peralihan, maka Qanun ini efektif berlaku
jinayat dan pokok-pokok syariat tersebut pada Oktober 2015.
di atas terdapatnya pro dan kontra dalam Keberhasilan penerapan pelaksanaan
pemberlakunnya, sehingga menimbulkan qanun jinayat dan qanun syariat Islam di
pertaaan yaitu bagaimana pelaksanaan Aceh sangat tergantung kesiapan materi
hukum qanun jinayat dan legitimasi qanunnya sendiri, aparatur pelaksana dan
pemberlakuan qanun jinayat terkait dengan kesiapan masyarakatnya menerima aturan
hukum nasional ? tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Lawrence M. Friedman
KERANGKA TEORI bahwa keberhasilan penegakan hukum
Syariat (legislasi) adalah semua selalu mensyaratkan berfungsinya semua
peraturan agama yang ditetapkan oleh komponen sistem hukum. Sistem hukum
Allah untuk kaum muslimin, baik yang dalam pandangan Friedman terdiri dari
ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun tiga komponen, yakni komponen struktur
dengan sunnah Rasul (Musa,1998 :3) hukum (legal structure), komponen
Menurut Nurhafni dan Maryam syariat substansi hukum (legal substance) dan
Islam secara harfiah adalah jalan(ketepian komponen budaya hukum (legal
mandi), yakni jalan lurus yang harus culture).Struktur hukum (legal structure)
diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk
merupakan jalan hidup muslim, syariat abadi dari suatu sistem. Substansi hukum
memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, (legal substance) aturan-aturan dan norma-
baik berupa larangan maupun suruhan norma aktual yang dipergunakan oleh
yang meliputi seluruh aspek manusia lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk
(Nurhafni dan maryam, 2006:3). perilaku dari para pelaku yang diamati di
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat dalam sistem. Adapun kultur atau budaya
Islam merupakan keseluruhan peraturan hukum (legal culture) merupakan gagasan-
atau hukum yang mengatur tata hubungan gagasan, sikap-sikap, keyakinan-
manusia dengan Allah, manusia dengan keyakinan, harapan-harapan dan pendapat
manusia, manusia dengan alam tentang hukum.(, Friedman, 1977:.6-7)
(lingkungannya), baik yang diterapkan Friedman menambahkan pula
dalam al-Qur’an maupun hadits dengan komponen yang keempat, yang disebutnya
tujuan terciptanya kemashlahatan, komponen dampak hukum (legal impact).
kebaikan hidup umat manusia di dunia dan Dengan komponen dampak hukum ini
di akhirat yang dimaksudkan adalah dampak dari
Qanun Jinayat merupakan kesatuan suatu keputusan hukum yang menjadi
hukum pidana syariat yang berlaku bagi objek kajian peneliti.(Friedman,1984:
masyarakat Aceh yang dibentuk 16.)
berdasarkan nilai-nilai syariat Islam, Berkaitan dengan budaya hukum (legal
Qanun jinayat ini juga mengatur tentang culture) ini, menurut Roger Cotterrell,
Jarimah (perbuatan yang dilarang oleh konsep budaya hukum itu menjelaskan
syariat Islam), pelaku jarimah, dan keanekaragaman ide tentang hukum yang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 135
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

ada dalam berbagai masyarakat dan melalui pembaharuan-pembaharuan hukum


posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini dan penegak hukumnya
menjelaskan tentang praktik-praktik Karakter keberpihakan hukum yang
hukum, sikap warga Negara terhadap responsif ini, sering disebutkan sebagai
hukum dan kemauan dan hukum yang emansipatif. Hukum yang
ketidakmauannya untuk mengajukan emansipatif mengindikasikan sifat
perkara, dan signifikansi hukum yang demokratis dan egaliter, yakni hukum
relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan yang memberikan perhatian pada upaya
perilaku yang lebih luas di luar praktik dan memberikan perlindungan hak-hak asasi
bentuk diskursus khusus yang terkait manusia dan peluang yang lebih besar
dengan lembaga hukum. Dengan kepada warga masyarakat yang lemah
demikian, variasi budaya hukum mungkin secara sosial, ekonomi dan politis untuk
mampu menjelaskan banyak tentang dapat mengambil peran partisipatif dalam
perbedaan-perbedaan cara di mana semua bidang kehidupan bermasyarakat,
lembaga hukum yang nampak sama dapat berbangsa dan bernegara. Dikatakan
berfungsi pada masyarakat yang bahwa hukum yang responsif terdapat di
berbeda.(Cotterrell, 1984: 25) dalam masyarakat yang menjunjung tinggi
Substansi hukum dalam wujudnya semangat demokrasi. Hukum responsif
sebagai peraturan perundang-undangan, menampakkan ciri bahwa hukum ada
telah diterima sebagai instrumen resmi bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi
yang memperoleh aspirasi untuk kepentingan praktisi hukum, juga bukan
dikembangkan, yang diorientasikan secara untuk membuat pemerintah senang,
pragmatis untuk menghadapi masalah- melainkan hukum ada demi kepentingan
masalah sosial yang kontemporer. Hukum rakyat di dalam masyarakat (Peters dan
dengan karakter yang demikian itu lebih Koesriani Siswosoebroto, 1998:483)
dikenal dengan konsep hukum law as a
tool of social engineering dari Roscoe METODE PENELITIAN
Pound, atau yang di dalam terminologi Penelitian ini merupakan penelitian
Mochtar Kusumaatmadja disebutkan hukum empirik dengan pendekatan
sebagai hukum yang berfungsi sebagai kualitatif. Dengan jenis dan pendekatan
sarana untuk membantu perubahan penelitian tersebut, peneliti akan
masyarakat.(Kusumaatmadja, 1986: 11) mengumpulkan data yang dapat menjawab
Menurut Sardjono Yatiman (1997:25) dua pertanyaan penelitian, yang meliputi:
bahwa sebagai instrumen pembangunan, pertama,gambaranberkaitan dengan
hukum merupakan alat yang penting dalam ketentuan-kenetuan yang diatur dalam
proses pembangunan, dimana hukum Qanun Hukum Jinayat; kedua, gambaran
tersebut berperan sebagai alat rekayasa tentang akibat yang ditimbulkan dari
sosial (social engineering) dan pedoman ketentuan pengaturan Qanun Hukum
bagi masyarakat. Hukum akan berfungsi Jinayat secara sosilogis. Terhadap kedua
sebagai alat pengatur, pemberi data yang diperlukan tersebut, peneliti
keseimbangan, dan sebagai katalisator. akan mengumpulkan data dan informasi
Dalam fungsinya sebagai alat yang melalui wawancara dengan pihak-pihak
mengatur, hukum memberikan suatu terkait dengan pelaksanaan qanun jinayat,
kerangka yang digunakan untuk tata cara yaitu Dinas Syariat Islam Aceh,
prosedur dalam proses pembangunan. Mahkamah Syariah, Kejaksaan,
Dalam menyelaraskan antara kepentingan- Kepolisian, Majeleis Adat Aceh, Dewan
kepentingan negara dan masyarakat, hukum Perwakilan Rakyat Aceh, Kantor Wilayah
bertindak sebagai pemberi keseimbangan Kementerian Hukum Aceh, Akademisi
antara dua kepentingan tersebut. Dan dalam dan tokoh-tokoh masyarkat Aceh. Selain
tugasnya sebagai katalisator, hukum telah itu, juga digunakan bahan hukum primer,
memberikan serta mendorong terjadinya yaitu peraturan perundang-undangan yang
perubahan-perubahan dalam masyarakat berhubungan dengan penelitian ini dan
bahan hukum sekunder yaitu buku, hail-

136 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

hasil penelitian, jurnal, majalah ilmiah, Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif
serta surat kabar. sangat populer dan tetap digunakan di
tengah masyarakat, karena salah satu
HASIL PENELITIAN pepatah adat yang menjelaskan hubungan
A. Pengertian adat dan syari’at yang tetap hidup dan
1. Pengertian Qanun bahkan sangat sering dikutip
Di masyarakat Aceh, penyebutan qanun menggunakan istilah ini. Dalam literatur
terhadap suatu aturan hukum atau untuk melayu Aceh pun qanun sudah digunakan
penamaan suatu adat telah lama dipakai sejak lama, dan diartikan sebagai aturan
dan telah menjadi bagian kultur adat dan yang berasal dari hukum Islam yang telah
budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan menjadi adat. Salah satu naskah tersebut
juga yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh berjudul Qanun Syara’ kerajaan Aceh
banyak yang dinamakan dengan qanun. yang ditulis oleh Tengku di Mulek pada
Qanun biasanya berisi aturan-aturan tahun 1257 Hak Milik atas perintah Sultan
syariat Islam yang telah beradaptasi Alauddin Mansur Syah yang wafat pada
menjadi adat istiadat Aceh. tahun 1870 M. Naskah pendek (hanya
Pengertaian qanun sendiri dalam beberapa halaman) ini berbicara beberapa
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal asfek di bidang hukum tata negara,
dengan nama: Kanun, yang artinya adalah pembagian kekuasaan badan peradilan dan
: undang-undang, peraturan, kitab undang- kewenangan mengadili, fungsi kepolisian
undang, hukum dan kaidah (kamus Besar dan kejaksaan, serta aturan protokoler
Bahasa Indonesia, tt:42). Adapun dalam berbagai upacara kenegaraan.
pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Dapat disimpulkan bahwa dalam arti
Arab adalah undang-undang, kebiasaaan sempit, qanun merupakan suatu aturan
atau adat (Yunus, 1989:357). Jadi dapat yang dipertahankan dan diberlakukan oleh
disimpulkan bahwa pengertian dari Qanun seorang Sultan dalam wilayah
adalah suatu peraturan perundang- kekuasaannya yang bersumber pada
undangan atau aturan hukum yang berlaku hukum Islam. Sedangkan dalam arti luas,
di suatu daerah (dalam hal ini di Aceh). qanun sama dengan istilah hukum atau
Istilah qanun telah digunakan sejak adat. Di dalam perkembangannya boleh
lama sekali dalam bahasa atau budaya juga disebutkan bahwa qanun merupakan
melayu. Kitab “Undang-undang Malaka” suatu istilah untuk menjelaskan aturan
yang disusun pada abad ke lima belas atau yang berlaku di tengah masyarakat yang
enam belas masehi telah menggunakan merupakan penyesuaian dengan kondisi
istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang setempat atau penjelasan lebih lanjut atas
sebagiamana dikutip Al Yasa Abubakar, ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan
istilah ini dalam budaya Melayu oleh Sultan.
digunakan semakna dengan adat dan Sekarang ini qanun digunakan sebagai
biasanya dipakai ketika ingin membedakan istilah untuk “peraturan Daerah” atau lebih
antara hukum yang tertera dalam adat tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi
dengan hukum yang tertera dalam kitab peraturan pelaksanaan langsung untuk
fiqih.(Abubakar, 2006: 6) undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam
Kuat dugaan istilah qanun masuk pasal 1 angka 21 “Ketentuan Umum”
kedalam budaya Melayu dan bahasa Arab dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
karena mulai digunakan bersamaan dengan 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang
kehadiran agama Islam dan penggunaan berbunyi “Qanun Aceh adalah peraturan
bahasa Arab Melayu di Nusantara. perundang-undangan sejenis peraturan
Bermanfaat disebutkan, dalam literatur daerah provinsi yang mengatur
Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak penyelenggaraan pemerintahan dan
lama, diantaranya merujuk kepada hukum kehidupan masyarakat Aceh”
Kristen (canon Law) yang sudah ada sejak Sejak dimulainya penyelenggaraan
sebelum zaman Islam. otonomi khusus berdasarkan UU No.18
Tahun 2001, sudah banyak qanun yang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 137
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

disahkan. Yang terakhir adalah Qanun dikatakan dengan hukuman yaitu sanksi
Hukum Jinayat dan Qanun Aceh tentang yang diberikan kepada seseorang yang
Pelaksanaan Syariat Islam. telah melaksanakan pelanggaran hukum
baik pidana dan perdata.
2. Qanun Jinayat Diungkapkan responden (Kasi
Para fuqaha sering kali menggnakan Peraturan Perundang-undangan dan
kata jinayah dengan maksud jarimah. Kata Syariat Islam, Satpol PP & Wilayatul
jinayah merupakan bentuk verbal noun Hisbah Banda Aceh), pada praktiknya,
(masdar) dari kata jana. Secara etimologi, hukuman cambuk ini dilakukan di depan
kata jana berbuat dosa atau salah, khalayak ramai yang bertujuan untuk
sedangkan jinayah diartikan perbuatan mempermalukan pelaku jarimah di depan
dosa atau perbuatan salah. Kata jana juga masyarakat. Dalam Qanun Jinayat,
berarti memetik buah dari pohonya. Orang hukuman cambuk dikenakan mulai dari 10
yang berbuat jahat disebut jani dan orang kali sampai 200 kali tergantung dengan
yang dikenai perbuatan disebut mujna tindak pidana yang dilakukan. Selain itu,
‘alaih. Kata jinayah dalam istilah hukum terdapat juga beberapa ketentuan yang
sering disebut dengan delik atau tindak menduplikasi ketentuan-ketentuan yang
pidana. sudah diatur pada Kitab Undang-Undang
Secara terminologi, kata jinayah Hukum Pidana namun dengan sanksi
mempunyai pengertian, seperti yang pidana yang lebih eksesif
diungkapkan Imam Al-Mawardi yakni: Berdasarkan informasi yang
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang diperoleh dari Mahkamah Syariah Aceh
dilarang olah Syara’ yang diancam oleh dari tahun 2005 sampai dengan Juli Tahun
Allah dengan hukuman hadd atau ta’zir. 2016 sudah 1.000-an (seribuan) warga
(Lubis dan Bakti Ritonga, 2016: 2.) masyarakat Aceh yang dijatuhi
Berdasarkan pengertian di atas, hukuman/uqubat berdasarkan hukum
maka secara prinsip pengertian “jinayah” qanun jinayat (Panitra Mahakamah
atau Jarimah” tidak berbeda dengan Syariah Provinsi Aceh).
pengertian tindak pidana (peristiwa
pidana), delik dalam hukum positif B. Lembaga Pelaksana Syariat Islam
(pidana). Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Berlakunya Qanun Jinayat sangat ditentukan oleh instansi mapun
merupakan kesatuan hukum pidana yang lembaga-lembaga yang terkait dengan
berlaku bagi masyarakat Aceh yang penegakan hukum qanun. Pelaksanaan
dibentuk berdasarkan nilai-nilai syari’at penegakan syari’at Islam khususnya
Islam. Qanun Jinayat mengatur tentang penerapan hukum jinayat di Aceh
Jarimah (perbuatan yang dilarang oleh merupakan fenomena yang sangat penting
syariat Islam), pelaku jarimah, dan uqubat untuk dicermati, sebab dari sisi penegakan
(hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hukum, hal ini merupakan suatu usaha
hakim terhadap pelaku jarimah).Salah satu awal yang baru dalam sebuah penegakan
bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan hukum Islam di Indonesia yang selama ini
kepada pelaku jarimah berdasarkan Qanun merupakan sebuah negara yang identik
Jinayat adalah hukuman cambuk. dengan hukum Positif.
Hukuman cambuk berasal dari dua Oleh sebab itu, dalam implementasinya
kata yaitu hukuman dan cambuk. Yang qanun jinayat dan pokok-pokok syariat
dimaksud dengan hukuman di dalam Islam, aspek peran dan tanggungjawab
kamus besar bahasa Indonesia adalah siksa pihak atau lembaga yang mengawasi
dan sebagainya yang dikenakan kepada pelaksanaan qanun tersebut sangat penting
orang yang melanggar undang-undang dan demi tercapainya tujuan terciptanya
sebagainya, keputusan yang dijatuhkan kepastian hukum dan adanya keadilan,
oleh hakim (Departemen Pendidikan keamanan ditengah-tengah masyarakat.
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Lembaga-lembaga yang berkopenten dan
Indonesia, :315.) Atau dapat juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan

138 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

syariat Islam di Aceh adalah sebagai mana hukum Jinayah (hukum pidana)
di uraikan dibawah ini merupakan bahagian dari syartiat Islam
Berdasarkan informasi Panitra Kantor yang dilaksanakan di Aceh
Mahkamah Syariyah Provinsi Aceh., 6. Pasal 126 ayat (1) Undang-undang
bahwa latar belakang (landasan historis, Pemerintahan Aceh, mengatur bahwa
filosofis dan uyridis) dibentuknya setiap pemeluk agama Islam di Aceh
Lembaga-lembaga terkait dengan wajib mentaati dan megamalkan syariat
penerapan hukum syariat Islam di Aceh: Islam;
1. Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 7. Pasal 126 ayat (2) Undang-undang
1945, negara menjamin kemerdekaan Nomor 11 Tahun 2006 tentang
tiap-tiap penduduk untuk memeluk Pemerintahan Aceh, mengatur bahwa
agamanya masing-masing dan setiap orang yang bertempat tinggal
beribadat meurut agama dan atau berada di Aceh wajib
kepercatyaannya itu; menghormati pelaksanaan syariat
2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Islam;
tentang penyelenggaraan keistimewaan 8. Pasal 128 ayat (1) Undang-undang
Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Pemerintahan Aceh, mengatur bahwa
tentang Otonomi Khusus Bagi Darah peradilan syariat Islam di Aceh adalah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi bagian dari sistem peradilan nasional
Nanggroe Aceh Darussalam yang telah dalam lingkungan peradilan agama
dicabut dengan Undang-undang Nomor yang dilakukan oleh Mahkamah
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Syariah yang bebas dari pengaruh
Aceh, memberikan otonomi yang luas manapun;
kepada Aceh dalam tata kelola 9. Pasal 128 ayat (2) Undang-undang
pemerintahan, ekonomi, politik, Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pendidikan, adat budaya dan syariat Pemerintahan Aceh mengatur bahwa
Islam Mahkamah Syariah merupakan
3. Alinea terakhir Penjelasan umum pengadilan bagi setiap orang yang
Undang-Undang Nomor 44 Tahun beragama Islam dan berada di Aceh;
1999, menjelaskan bahwa Undang- 10. Pasal 128 ayat (3) Undang-undang
undang ini mengatur hal-hal pokok Nomor 11 Tahun 2006 tentang
untuk selanjutnya memberi Pemerintahan Aceh mengatur bahwa
kebebabasan kepada daerah dalam Mahkamah Syariah berwenang
mengatur pelaksanaannya sehingga memeriksa, mengadili, memutus, dan
kebijakan daerah lebih akomodatif menyelesaikan perkara meliputi
terhadap aspiransi masyarakat Aceh; bidang ahwal al-ssyakhiyah (hukum
4. Pasal 39 Undang-undang Nomor 16 keluarga), muamalah (hukum perdata)
Tahun 2004 tentang Kejaksaaan RI, dan jinayah (hukum pidana) yang
mengatur bahwa Kejaksanaan didasarkan atas syariat Islam;
berwenang menangani perkara pidana 11. Pasal 128 ayat (4) Undang-undang
yang diatur dalam qanun sebagaimana Nomnor 11 Tahun 2006 tentang
dimaksud dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh bahwa Ketentuan
Nomor 18 Tahun 2001 tentang lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah syakhsiyah (hukum keluarga),
Istimewa Aceh sebagai Provinsi muamalah (hukum perdata) dan jinayah
Nanggroe Aceh Darusasalam, sesuai (hukum pidana) sebagaimana dimaksud
dengan undang-undang Nomor 8 ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh
Tahun 1981 tentang Hukum Acara (sekarang sudah ada Qanun Aceh Nomr
Pidana 6 Tahun 2014 tentang Hukum
5. Pasal 125 Undang-undang Nomor 11 Jninayah);
Tahun 2006 tentang 12. Pasal 129 ayat (1) Undang-undang
PemerintahanAceh, mengatur bahwa Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 139
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Pemerintahan Aceh mengatur bahwa penegakan hukum termasuk


dalam hal terjadi perbuatan jinayah pelaksanaan syariat Islam.
yang dilakukan oleh dua orang atau 17. Keputusan Ketua Mahkamah Agung
lebih secara bersama-sama yang Nomor KMA/070/SK/X/2004, tentang
diantaranya beragama bukan Islam, pelimpahan sebahagian kewenangan
pelaku yang beragama bukan Islam dari Peradilan Umum kepada
dapat memilih dan menundukkan diri Mahkamah Syariah di Provinsi
secara suka rela pada hukum jinyah; Nanggroe Aceh Darussalam.
13. Pasal 129 ayat (2) Undang-undang Adapun lembaga-lembaga yang terkait
Nomor 11 Tahun 2006 tentang dengan pelaksanaaan hukum syariat Islam
Pemerintahn Aceh mengatur bahwa di provinsi Aceh adalah sebagai
bahwa setiap orang yang beragama berikut:Dinas Syariat Islam, Wilayatul
bukan Islam melakukan perbuatan Hisbah , Kepolisian, Kejaksaan.,
jinayah yang tidak diatur dalam dalam Mahkamah Syari’ah, Majelis Adat Aceh
KUHP atau ketentuan pidana diluar Pelaksanaan syariat Islam khususnya di
KHUP, berlaku hukum jinayah; Provinsi Aceh terutama bidang hukum
14. Pasal 132 ayat (1) Undang-undang jinayat (pidana) sesungguhnya sudah lama
Nomor 11 Tahun 2006 tebntang dilaksanakan, karena masyarakat Aceh
Pemerintahan Aceh mengatur bahwa menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman
hukum acara yang berlaku pada hidup mereka sehari-hari. Apalagi daerah
Mahkamah Syariah adalah hukum Aceh merupakan pusat penyebaran agama
acara yang diatur dalam qanun Aceh Islam ke nusantara.
(sekarang sudah ada qanun Aceh Aceh merupakan wilayah Indonesia
Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum yang memiliki peradaban Islam yang
Acara Jinayah; menyejarah. Keberadaannya dalam peta
15. Pasal 132 ayat (2) Undang-undang sebaran Islam negeri ini amatlah vital.
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Tidak aneh jika Aceh seringkali dijuluki
Pemerintahan Aceh mengatur bahwa negeri Serambi Mekkah. Islam di sana
sebelum Qanun Aceh tentang Hukum telah berurat akar dan membentuk suatu
acara pada ayat (1) dibentuk: daur kehidupan yang dipenuhi nuasa
a. Hukum acara berlaku pada keagungan (Gazali, 2016: 25).
Mahkamah Syariah sepanjang Keluarnya Undang-Undang Nomor 18
mengenai ahwal-al-syakhsiyah dan tahun 2001 menyangkut penegakan syariat
muamalah adalah hukum acara Islam di Aceh dimana ketika sedang
sebagaimana yang berlaku pada bergulir wacana otonomi daerah dan Aceh
pengadilan dalam lingkungan diberikan otonomi khusus oleh pemerintah
peradilan agama kecuali yang diatur pusat berbeda dengan pelaksanaan
secara khusus dalam undng-undang otonomi daerah yang ada di provinsi lain
ini; di Indonesia. Kemudian setelah Undang-
b. Hukum acara yang berlaku pada Undang Nomor 18 tahun 2001 keluarlah
Mahkamah Syariah sepanjang Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006
mengenai jinayah adalah hukum tentang Pemerintahan Aceh yang diantara
acara sebagaimana yang berrlaku Pasalnya memuat secara tegas pelaksanaan
pada pengadilan dalam lingkungan syariat Islam di Provinsi Aceh salah
peradilan umum kecuali yang diatur satunya pemberlakuan
secara khusus dalam undang-undang hukum jinayat Islam yang diatur dalam
ini qanun.
16. Pasal 208 ayat (2) Unang-undang Pelaksanaan Syariat Islam bidang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jinayat yang telah diatur dalam qanun
Pemerintahan Aceh mengatur bahwa Aceh tentu saja merupakan pertanda
Kejaksaaan di Aceh melaksanakan bahwa pelaksanaan pembangunan hukum
tugas dan kewajiban teknis dibidang berjalan di Indonesia, ini disebabkan telah
terjadinya transformasi nilai-nilai syariat

140 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Qanun yang sebagian besar berada dalam
Aceh. Meskipun pelaksanaan jinayat di kategori miskin.
Aceh masih menimbulkan masalah dan Ketiga, berpotensi melanggar fair trial
kontra karena ada yang menilai akan bagi tersangka dan terdakwa karena dalam
terjadi dualisme hukum di Indonesia. prakteknya implementasi qanun bersifat
Institute for Criminal Justice Reform selektif, diskriminasi, dan tidak diatur
(ICJR) tidak menolak produk Qanun dengan hukum acara yang benar. Sesuai
sebagai regulasi khusus di wilayah Aceh, degan standar hukum acara pidana.
namun khusus terhadap Qanun Jinayat (http://icjr.or.id/organisasi-masyarakat-
(pidana) ICJR memandang bahwa sipil-siapkan-upaya-hukum-judicial-
beberapa ketentuan yang ada dalam Qanun review-terhadap-qanun-aceh-no-6-
tersebut justru bertentangan dalam sistem tahun-2014-tentang-hukum-jinayat,
hukum Indonesia, dan bertentangan diakses 26 September 2016.)
dengan produk regulasi diatasnya. menurut Atas dasar tersebut, ICJR menilai
ICJR, beberapa hal menjadi pertentangan bahwa Qanun Jinayat akan berpotensi
antara Qanun Jinayat dan kerangka hukum menjadi masalah dalam sistem hukum di
nasional Indonesia, termasuk Konstitusi Indonesia, khususnya dalam isu pidana
dan beberapa Ketentuan Internasional dan HAM. Beberapa ketentuan dalam
yang sudah positif berlaku di Indonesia, Qanun Jinayat pada prinsipnya akan
yakni: merusak kesatuan hukum di Indonesia,
Pertama, mengenai perumusan norma lebih jauh menghancurkan rencana besar
pidananya (multitafsir, diskriminatif, over Pemerintah untuk melakukan unifikasi
criminalisasi, duplikasi dengan kebijakan hukum pidana lewat Rancangan KUHP.
hukum pidana nasional), yang berpotensi Masih terdapatnya sebagian masyarakat
menyasar kelompok rentan yakni: berpendapat bahwa Qanun Jinayat
perempuan, anak dan LGBT. Seharusnya melanggar HAM dan masih tumpang
kehadiran Qanun Aceh 6/2014 adalah tindih dengan peraturan perundang-
untuk upaya mengisi kekosongan undangan nasional. Namun pendapat ini
ketentuan pada KUHP namun dengan dibantah oleh responden (Kepala Bagian
tidak bertentangan dengan ketentuan di Hukum Dinas Syariat Islam Kabupaten
atasnya, akan tetapi Qanun telah Aceh Tengah) bahwa Qanun ini tidaklah
menghadirkan aturan baru yang melanggar HAM karena dasar penerapan
berbenturan dengan KUHP. Ada beberapa hukum jinayat adalah keadilan,
tindak pidana dalam KUHP yang diatur kemaslahatan, kepastian hukum dan
ulang dalam Qanun. Situasi seperti ini penerapan aturannya sudah sesuai menurut
telah menimbulkan ketidakjelasan hukum, derivasi hukum nasional yaitu sesuai
ketidakpastian hukum di Indonesia. dengan UUD 1945 Pasal 18 dimana Aceh
Kedua, mengenai pemidanaannya yang memiliki kekhasan daerah dan Undang-
bersifat merendahkan martabat manusia Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang
termasuk penggunaan corporal diberikan kewenangan untuk mengatur
punishment (pidana cambuk), dalam hal tentang pendidikan, adat, agama dan peran
ini hukuman cambuk di depan umum. ulama ditambah dengan asas hukum Lex
Selain itu, jenis pidana cambuk Specialis Derograt Legi Generalis (hukum
berbenturan dengan pengaturan dalam yang bersifat khusus mengesampingkan
KUHP karena hukuman cambuk bukanlah hukum yang umum).
suatu sanksi pidana yang dikenal di Menurut responden (Dosen Hukum
Indonesia, KUHP telah mengatur secara pada Fakultas Hukum Universitas
limitatif jenis sanksi pidana apa saja yang Syiah Kuala Banda Aceh), bahwa
dapat dikenakan terhadap tindak pidana. pelaksanaan pidana cambuk di Aceh tidak
Pidana denda yang masuk dalam Uqubat bertentangan dengan HAM sepanjang
Ta zir, juga terlalu besar (dihitung dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
berdasarkan gram emas) sehingga menjadi yang berlaku. Pidana cambuk sudah
beban ekonomi para pelaku pelanggar memiliki dasar hukum dan sudah menjadi

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 141
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

hukum positif. Bukankah di dalam UUD diperdebatkan lagi sekalipun dunia


1945 dan UU RI NO. 39 / 1999 Tentang internasioanl mempersoalkannya (Media
HAM juga terdapat kewajiban asasi. Indonesia, 26 Oktober 2016, halaman
Sepanjang dilaksanakan sesuai dengan 2)”
ketentuan yang berlaku, maka tidak Sementara itu berdasarkan informasi
melanggar HAM. Apa pun jenis pidana, yang berhasil diperoleh peneliti dari
pidana penjara umpamanya, kalau responden (Kepala Seksi Intel pada
dilaksanakan bukan berdasarkan Kejaksaaan Negeri Takengon,) berkaitan
ketentuasn yang berlaku, maka berpotensi dengan pelaksanaan qanun, bahwa
melanggar HAM. pelaksanaan hukum jinayat, termasuk
Pada dasarnya Qanun Jinayat berlaku eksekusi cambuk terhadap warga non
untuk yang beragama Islam, kecuali kalau muslim sudah sesuai dengan Qanun
ada ketentuan yang sama sekali tidak ada Nomor 6 Tahun 2014. Dia berpedoman
di dalam Hukum Pidana nasional, baik pada Pasal 5 Juncto Pasal 72 Qanun Aceh
umum maupun khusus. Kalau ada Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum
perbuatan pidana yang tidak sama Jinayat. Di situ tertulis jelas bahwa
rumusannya di dalam hukum pidana hukuman ini diberlakukan bagi muslim
nasional yang dilakukan oleh non-muslim, maupun non-muslim.Berdasarkan Qanun
maka dikenakan Qanun Aceh. Banyak Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
orang lupa, bahwa ancaman pidana yang Jinayat berlaku untuk:
ada di dalam Qanun Jinayah itu bukan a) Setiap Orang beragama Islam yang
hanya cambuk, malainkan ada penjara dan melakukan Jarimah di Aceh,
denda. Qanun Jinayat tidak identik dengan (b) Setiap orang beragama bukan
pidana cambuk. Hakim bebas memilih Islam yang melakukan Jarimah di
pidana lain selain cambuk. Aceh bersama-sama dengan orang
Hal yang sama dikatakan responden Islam dan memilih serta
(Kepala Bagian Hukum Kantor menundukkan diri secara sukarela
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak pada Hukum Jinayah,
Asasi Manusia Provinsi Aceh), (c) Setiap Orang beragama bukan
pemberian cambuk terhadap pelanggar Islam yang melakukan perbuatan
qanun jinyat tidak bertentangan dengan Jarimah di Aceh yang tidak diatur
hak asasi manusia, karena Aceh sebagai dalam Kitab Undang-Undang
bagian dari Negara Kesatuan Republik Hukum Pidana (KUHP) atau
Indonesia memiliki keistimewaan dan ketentuan pidana di luar KUHP,
otonomi khusus. Salah satunya tetapi diatur dalam Qanun ini.
kewenangan untuk melaksanakan syariat (d) Badan Usaha yang menjalankan
Islam dengan menjunjung tinggi keadilan, kegiatan usaha di Aceh, Perempuan
kemaslahatan dan kepastian hukum. berusia 60 tahun itu didakwa
Menurut Ketua Badan Legislasi terbukti secara sah melanggar
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Qanun Hukum Jinayah Pasal 16
Iskandar Uman Al-Farlaky ayat (1) Qanun Nomor 6 Tahun
“menyesalkan pernyataan pihak tertentu 2014 karena menjual minuman
dan meminta organisasi di luar Aceh keras (jarimah khamar) kepada
supaya tidak mengomentari persoalan warga di daerah tersebut
Aceh. Terutama, bila mereka tidak Hal mana juga dikatakan Pakar
mengetahui kondisi sebenarnya. Iskandar Hukum Syariah Universitas Islam Negeri
mengingatkan Qanun Aceh Nomnor 6 Banda Aceh (sebagai salah seorang ketua
Tahun 2014 tentang hukum jinat Tim Penyusunan Pembentukan Qanun-
merupakan produk hukum yang qanun di Aceh) Al Yasa’abubakar (Dosen
kelahirannya menjadi bagian dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar
kewenangan istimewa pemerintah Aceh. Raniri Banda Aceh) beliau mengatakan
Penerapan syariat Islam itu kewenangan bahwa penerapan hukum jinayat tidak
khusus yang dimiliki Aceh dan tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia,

142 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

karena qanun adalah peraturan perundang- Pembangunan Nasional" sebagaimana


undangan yang sah. Qanun jinayat sesuai dikutip Sardjono Yatiman(BPHN, 1997:
dan sah sebagai produk hukum karena 15), dikemukakan pokok-pokok rumusan
tidak bertentangan dengan hak sasi mengenai arti dan fungsi hukum adalah:
mansuia. a. Arti hukum dan fungsinya dalam
Pendapat yang sama diungkapkan masyarakat; yang menunjukkan
Khaeruddin (Dekan Fakultas Syariah tentang ketertiban sebagai tujuan
dan Hukum Universitas Islam Negeri utama hukum.
Ar Raniri Banda Aceh,), Keberadaan b. Hukum sebagai kaidah sosial; dimana
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tidak diingatkan bahwa dalam memeran-
melanggar dengan sistem peraturan kan diri dalam mewujudkan dan
perundang-undangan nasoinal. Karena memelihara ketertiban masyarakat,
dalam undang-undang pemerintahan Aceh hukum sebagai salah satu kaidah
Nomor 11 Tahun 2016 mengatur tentang sosial bergerak bersama dengan
kewenangan Provinsi Aceh untuk kaidah-kaidah sosial.
memberlakukan syariat Islam di Aceh c. Hukum dan Kekuasaan; yang
secara kaffah dalam seluruh demensi menyimpulkan bahwa kekuasaan
kehidupan sebagai bentuk azas lex merupakan suatu unsur yang mutlak
specialis derogat lex generalis dalam masyarakat hukum
Menurut peneliti bahwa terlepas dari d. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya;
pro dan kontra terhadap pemberlakuan yang menjelaskan mengenai sifat
qanun jinayat tentunya penulis berharap hukum yang baik adalah hukum yang
kepada para akademisi dan praktisi sesuai dengan hukum yang hidup
selayaknya memberikan tafsir berdasarkan serta sesuai pula atau merupakan
tujuan filosofis dalam pembentukan suatu pencerminan dari nilai-nilai yang
peraturan perundang-undangan. Dimana berlaku dalam masyarakat itu.
dengan memperhatikan keinginan rakyat e. Hukum sebagai alat pembaharuan
Aceh yang sudah cukup lama untuk masyarakat, yang menunjukkan
melaksanakan syari’at Islam, yang oleh bahwa sifat hukum memelihara dan
undang-undang diakomodir dengan baik, mempertahankan ketertiban, serta
tetapi karena keterbatasan rumusan dan dibutuhkan bagi masyarakat yang
pilihan kata ternyata tidak mampu membangun, atau diistilahkan
menampung semuanya, perlu diatasi sebagai alat rekayasa sosial.
dengan cara memberikan tafsir berdasar Pun demikian menurut Sardjono
tujuan. Yatiman (BPHN, 1997:25), bahwa sebagai
Bahwa ketentuan yang diatur dalam instrumen pembangunan, hukum
qanun Aceh seyogyanya dipahami merupakan alat yang penting dalam proses
berdasarkan tujuannya yaitu memberikan pembangunan, dimana hukum tersebut
kesempatan kepada masyarakat Aceh berperan sebagai alat rekayasa sosial (social
untuk melaksanakan syari’at Islam secara engineering) dan pedoman bagi masyarakat.
sempurna melalui lembaga pengadilan di Hukum akan berfungsi sebagai alat
tengah masyarakatnya yang mayoritas pengatur, pemberi keseimbangan, dan
memeluk agama Islam. sebagai katalisator. Dalam fungsinya
Di samping itu, bahwa pembangunan sebagai alat yang mengatur, hukum
hukum dilaksanakan bukan hanya sekedar memberikan suatu kerangka yang
memenuhi tuntutan politik, tetapi juga digunakan untuk tata cara prosedur dalam
dimaksudkan untuk menjawab tuntutan proses pembangunan. Dalam
masyarakat agar hukum dapat memainkan menyelaraskan antara kepentingan-
peranan penting dalam mewujudkan cita- kepentingan negara dan masyarakat, hukum
cita keadilan dan kemakmuran. bertindak sebagai pemberi keseimbangan
Sebagaimana dikatakan Mochtar antara dua kepentingan tersebut.Dan dalam
Kusumaatmadja dalam tulisannya "Fungsi tugasnya sebagai katalisator, hukum telah
dan Perkembangan Hukum dalam memberikan serta mendorong terjadinya

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 143
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

perubahan-perubahan dalam masyarakat masing-masing daerah dalam wadah


melalui pembaharuan-pembaharuan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
dan penegak hukumnya. Oleh karena itu, upaya penguatan hukum-
Menilik apa yang diungkapkan hukum lokal (pembangunan hukum di
responden dan para ahli di atas bahwa daerah) harus terus dibina dan diarahkan
agama menjadi salah satu tumpuan dalam pada upaya untuk meningkatkan
mewujudkan kehidupan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga
pembinaan moral dalam rangka keberadaan hukum dapat memberikan
menciptakan kehidupan yang penuh konstribusi yang signifikan bagi
keseimbangan, yang dapat mengendalikan pembangunan ekonomi daerah dan
dampak-dampak yang dibawa oleh pembangunan manusia Indonesia
modernisasi. Dalam Islam terdapat seutuhnya.
seperangkat nilai yang disebut dengan Aceh, sejak dari tahun 1999 dengan
hukum Islam (fiqh), yang merupakan dikeluarkannya UU No. 44 tahun 1999
manisfestasi praktis nilai-nilai moral yang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
menjadi tujuan syariat. Aceh, telah dapat menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluknya secara legal, baik
C. Legitimasi Qanun Jinayah bidang perdata maupun pidana Islam.
Sesuatu yang sangat monumental yang Sebenarnya untuk bidang perdata Islam,
terjadi dalam periode pasca Orde Baru seperti perkawinan, pengelolaan zakat, dan
adalah dilakukannya amandemen terhadap wakaf, telah dilaksanakan, bukan hanya di
Undang-Undang Dasar Republik Aceh tetapi juga di Indonesia secara luas.
Indonesia Tahun 1945, yang pada rezim Telah banyak UU yang mengatur bidang
Orde Baru tidak akan dapat tersentuh sama perdata Islam, seperti UU No. 1 Tahun
sekali oleh ide-ide perubahan. Undang- 1974 tentang Perkawinan, UU No. 11
Undang Dasar 1945 hasil Amandemen IV, Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
menyatakan kembali terdapat penguatan dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
terhadap eksistensi hukum lokal (hukum Wakaf. Sedangkan untuk pidana Islam,
adat dan/atau hukum daerah), hal ini keizinan untuk memberlakukannya hanya
secara tegas diatur dalam Pasal 18B UUD- diberikan kepada Aceh sebagai daerah
1945 sebagai berikut: yang diberi otonomi khusus.
(1) Negara mengakui dan menghormati Menurut Zaini Rahman (2016 :14.)
satuan-satuan pemerintahan daerah yang mengutip pendapat Ismail Sunny,
yang bersifat khusus atau bersifat bahwa hukum Islam merupakan norma
istimewa yang diatur dengan yang hidup dan diyakini (living
undang-undang; law)masyarakat Islam Indonesia, maka
(2) Negara mengakui dan menghormati sejak awal perumusuan konstitusi, nilai
kesatuan-kesatuan masyarakat dan prinsip-prinsip ajaran Islam sudah
hukum adat beserta hak-hak mempengaruhi dan menjadi inspirasi
tradisionalnya sepanjang masih perumusan naskah konstitusi. Begitu juga
hidup dan sesuai dengan sudah banyak norma-norma hukum Islam
perkembangan masyarakat dan yang ditransformasikan ke dalam berbagai
prinsip Negara Kesatuan Republik peraturan perundang-undangan.
Indonesia, yang diatur dalam Kedudukan hukum Islam tidak hanya telah
undang-undang. dijadikan sebagai authoritative Source
Berdasarkan hukum konstitusi (sumber hukum yang telah mempuntyai
Republik Indonesia sebagaimana kekuatan hukum), akan tetapi juga telah
dikemukakan di atas, maka nafas diakui keberadaanya dan sebagian telah
pluralisme hukum kembali mendapat dibuktikan lewat legeslasi.
angin segar sehingga memungkinkan Selain UU No. 44 Tahun 1999 di atas,
untuk menumbuh kembangkan hukum- landasan hukum pemberlakuan syari’at
hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam di Aceh adalah UU No. 11 Tahun
daerah) yang sesuai dengan kearifan lokal 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang

144 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

mashur dikenal dengan UUPA. Turunan d. Ikhtilath (perbuatan bermesraan


lebih lanjut dari UUPA diatur dalam seperti bercumbu, bersentuh-
Qanun Aceh, termasuk berbagai ketentuan sentuhan, berpelukan dan berciuman
syari’at Islam.Dengan demikian, qanun antara laki-laki dan perempuan yang
merupakan peraturan pelaksana undang- bukan suami istri dengan kerelaan
undang.UUPA menyebutkan pengertian kedua belah pihak, baik pada tempat
qanun Aceh dalam pemerintahan Aceh tertutup atau terbuka);
adalah peraturan perundang-undangan e. Zina;
sejenis peraturan daerah provinsi yang f. Pelecehan seksual;
mengatur penyelenggaraan pemerintahan g. Pemerkosaan;
dan kehidupan masyarakat Aceh. h. Qadzaf (menuduh seseorang
Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 melakukan zina tanpa bukti);
berbunyi: i. Liwath (perbuatan homo seksual);
(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di dan
Aceh meliputi aqidah, syar’iyah j. Musahaqah (perbuatan lesbian).
dan akhlak. Uraian di atas menggambarkan bahwa
(2) Syari’at Islam sebagaimana cakupan materi jarimah dalam Qanun No.
dimaksud pada ayat (1) meliputi 6 Tahun 2014 lebih luas dari qanun yang
ibadah, ahwal al-syakhshiyah disusun pada Tahun 2003.Meski cakupan
(hukum keluarga), muamalah tersebut lebih luas, namun belum pernah
(hukum perdata), jinayah (hukum diterapkan, karena secara resmi mulai
pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah diberlakukan pada Tahun 2015.Dari
(pendidikan), dakwah, syiar, dan cakupan yang ada terlihat bahwa materi
pembelaan Islam. yang diperluas hanya terkait dengan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perilaku seks menyimpang secara
pelaksanaan syari’at Islam agama.Sisanya, dua lagi masih tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat mengatur masalah khamar (minuman
(1) diatur dengan Qanun Aceh keras) dan maisir (perjudian).Dengan
Terkait dengan qanun hukum jinayah, demikian, jarimah hudud lainnya, seperti
Pemerintah Aceh telah mengeluarkannya pencurian, perampokan, dan lainnya tidak
dalam dua tahapan. Pertama, pada tahun dimasukkan, demikian juga halnya dengan
2003 dikeluarkan tiga buah qanun, yaitu jarimah qishash/diyat, seperti pembunuhan
No. 12 Tahun 2003 tentang Pelarangan dan penganiayaan.
Khamar, No. 13 Tahun 2003 tentang Pembentukan Qanun Aceh Nomor 6
Maisir (perjudian), dan No. 14 Tahun2003 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
tentang Khalwat. Kemudian, ketiga qanun berlandaskan pada 4 (empat) prinsip
tersebut digabung dalam satu qanun falsafah hukum syariah., yaitu :
dengan tambahan tujuh materi jarimah Petama, Ketentuan pidana yang
(tindak pidana) lainnya.Qanun tersebut terdapat dalam Qanun Hukum Jinayat
adalah Qanun No. 6 Tahun 2014.Jadi, bersuber pada al- Qur’an dan al Sunnah,
perbuatan jarimah dalam Qanun No. 6 dan beberapa praktek sahabat.Kedua,
Tahun 2014 berjumlah 10 bentuk. Penafsiran atau pemahaman terhadap al-
Secara lengkap, jarimah dalam Pasal Qur’an dan al-Sunnah tersebut
3 ayat (2) Qanun No. 6 Tahun 2014 dihubungkan dengan keadaan dan
meliputi: kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh
a. Khamar (minuman memabukkan); pada khususnya, dan dunia Melayu
b. Maisir (perjudian); Indonesia pada umumnya, serta dngan tata
c. Khalwat (berdua-duaan di tempat aturan yang berlaku dalam Negara
tertutup atau tersembunyi antara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
laki-laki dan perempuan yang bukan Ketiga, Penafsiran dan pemahaman
mahram dan ikatan perkawinan tersebut diupayakan selalu berorientasi ke
yang mengarah pada perbuatan masa depan, demi memenuhi kebutuhan
zina); masyrakat Indonesia yang sedang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 145
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

membangun di awal abad kelima belas patokan berperilaku di dalam masyarakat


hijriah atau abad ke dua puluh satu masehi, ditujukan untuk menjaga ketentuan
serta mampu menyahui semangat zaman Agama. Begitu juga hadih maja Aceh
modern sepeerti isu perlindungan Hak “hukom ngon adat lage zat ngon sifeut”
Asassi Manusia (HAM), kesataraan yang kurang lebih maknanya sama.
gender dan mempertimbangkan kemajuan Kemudian secara yuridis seperti tadi saya
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama katakan, qanun tersebut merupakan
ilmu hukum yang perkembangannya elatif perintah dari UU Pemerintahan Aceh
sangat pesdat dan cepatKeempat, Guna Menurut Sardjono Yatiman (1997: 46),
melengkapi tiga prinsip di atas bahwa dengan perumusan hukum yang
dipedoamani prinsip yang dikandung diberikan, dapat dilihat bahwa hukum itu
dalam sebuah kaidah fiqhiyah kulliyah meliputi beberapa unsur, yaitu :
yang dikenal luas: al-muhafadhah ‘ala al- a. Peraturan mengenai tingkah laku
qadimi al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid manusia dalam pergaulan
al-ashlah yang artinya, memelihara dan masyarakat.
memakai ketentuan-ketebtuan lama b. Peraturan itu diadakan oleh badan-
(mazhab) yang masih baik (relevan), serta badan resmi yang berwajib.
berusaha mencari dan merumuskan c. Peraturan itu bersifat memaksa.
ketentuan yang baru yang lebih baik dan d. Sanksi terhadap peraturan tersebut
lebih unggul. Keempat prinsip ini menjadi adalah tegas.
dasar filosofis dan kerangka kerja Dengan mengenal ciri hukum berupa
permusan qanun jinayah sebagai hukum adanya sanksi, perintah dan/atau larangan,
(fiqh) positif di Aceh (Dinas Syariat dimana sanksi, perintah dan/atau larangan
Islam, 2015, Hal. XXXV): itu harus dipatuhi semua orang, maka setiap
Menurut Moh. Din (Dosen Hukum orang wajib bertindak sedemikian rupa
pada Fakultas Hukum Universitas dalam masyarakat, sehingga tata tertib
Syiah Kuala Banda Aceh), keberadaan dalam masyarakat itu tetap terpelihara
Qanun Aceh, dalam hal ini Qanun Aceh dengan sebaik-baiknya.
No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Untuk menjaga agar peraturan-peraturan
dan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 hukum itu dapat berlangsung terus dan
tentang Pokok-Pokok Syariat Islam diterima oleh seluruh anggota masyarakat,
adalah sudah final. Pertanyaan mengenai maka peraturan-peraturan hukum yang ada
keberlakuan tentu dilihat dari landasan harus sesuai dan tidak boleh bertentangan
pembentukan, yaitu Filosofis, sosiologis dengan asas-asas keadilan dari masyarakat
dan Yuridis.Secara yuridis qanun Aceh tersebut.Dengan demikian, hukum bertujuan
dibentuk atas amanah UU Pemerintahan menjamin adanya kepastian hukum dalam
Aceh. masyarakat dan hukum itu harus pula
Selanjutnya dikatakan Responden, berdasarkan pada asas-asas keadilan dari
meskipun di sana sini masih terdapat masyarakat itu.
beberapa kelemahan, Qanun Jinayat sudah Qanun Jinayat adalah sebuah hukum
memenuhi landasan tersebut. Landasan pidana terpadu, berbeda dengan qanun-
Filosofis biasanya disandarkan kepada qanun sebelumnya yang terpisah-pisah.
Pancasila dan di dalam pancasila telah Sebelum ini, hukum syariat di Aceh
ditempatkan sila ketuhanan sebagai sila mencakup tiga perkara: khalwat (mesum),
pertama, dari banyak kajian, pengaruh khamr (alkohol) dan maisr (perjudian).
agama terhadap hukum negara tidak dapat Qanun Jinayat memperluas cakupan
dinafikan bahkan dikatakan sesekuler pidana. Memasukan juga perbuatan yang
apapun negara itu. Masyarakat Aceh sebetulnya sudah diatur oleh KUHP
secara sosiologis terkenal dengan Indonesia, seperti perkosaan. Jinayat juga
masyarakat relegius yang antara lain antara lain memasukan homo seksualitas
tertuang di dalam pepatah petitih antara sebagai tindakan pidana. Yang juga
lain “edet mumegeri ukum” yang dianggap bermasalah, Qanun Jinayat ini
maknanya adat istiadat yang berupa berlaku juga buat kaum non-Muslim.

146 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Sebagaiman diungkapkan responden(Kasi Dari urain diatas dapat dipahami bahwa


intel pada Kejaksaaan Negeri Aceh Qanun Aceh berfungsi sebagai berikut:
Tengah)Pelaksanaan eksekusi hukum a. Menyelengggarakan peraturan hal-
cambuk yang diberikan kepada warga non- hal yang belum jelas, yang oleh
muslim, Remita Sinaga alias Mak Ucok, undang-undang kepada qanun untuk
warga Kampung Baru, Kecamatan Lut mengaturnya.
Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, b. Menyelenggarajkan pengaturan hal-
Selasa 12 April 2016. Pelaku (Mak Ucok) hal yang belum diatur oleh
itu terbukti dalam kasus khamar, dalam peraturan perundang-undangan yang
paasl 5 Juncto pasal 72 Qanun Aceh lebih tinggi yaitu undang-undang.
Nomor 6 Tahun 2014 tersebut c. Menyelenggarakan pengaturan hal-
menyebutkan, apabila aturan hukuman hal yang tidak bertentangan dengan
bagi perbuatan jarimah itu terdapat dalam peraturan perundangan-undangan
Undang-undang KUHP atau pidana luar yang lebih tinggi yaitu undang-
KUHP, maka tetap dilaksanakan sesuai undang.
qanun jinayatini. Menurut responden (Kepala Bagian
Selanjutnya dikatakan bahwa Hukum Dinas Syariat Islam Kabupaten
berdasarkan aturan itu, bagi yang Aceh Tengah) ada beberapa pertimbangan
melanggar syariat Islam wajib diberi dibentuknya Qanun Syari’at Islam yaitu;
hukuman sesuai Qanun Nomor 6 Tahun a. Aspek historis, kebiasaan
2014. Dalam ketentuan tersebut "Dalam masyarakat pendahulu dengan
kedua pasal tersebut lebih cenderung melaksanakan Syari’at Islam
menyatakan wajib bagi warga non-muslim b. Aspek psikologis, sudah menyatu
di Aceh yang melakukan perbuatan pada pribadi masyarakat
jarimah mengikuti qanun itu. c. Aspek yuridis, banyak hukum-
Seiring dengan itu, menurut DR. hukum yang dianut pada
Syukri, MA (Kepala Bidang Bina pemerintahan dahulu bahwa raja
Hukum , Dinas Syariat Islam Provinsi dan rakyat tunduk pada Al-Qur’an
Aceh.) bahwa diterapkannya qanun dan Al- Hadits.
Jinayat di Aceh adalah untuk menjaga Selanjutnya dikatan responden bahwa
harkat dan martabat manusia. Ini juga keragaman suku, agama dan etnis yang
untuk memproteksi dan melindungi ada di masyarakat menjadi pertimbangan
masyarakat Aceh agar tidak lagi berbuat dalam menyusun Qanun Syari’at Islam itu
maksiat kepada Allah. sendiri mengingat sejarah dasar pokok
Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. kesukuan melayu, sementara bagi agama
11 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa lain diperlakukan dengan mengambil
“Qanun Aceh adalah peraturan perundang- landasan pokok pada Al-Qur’an dan Al-
undangan sejenis peraturan derah provinsi Hadits.
yang mengatur penyelenggaraan Adapun keberlakuan dari qanun jinayat
pemerintahan dan kehidupan masyarakat ini merupakan penyempurnaan dari qanun
Aceh, yang dapat menyampingkan yang telah ada aturan yang mengatur
peraturan perundang-undangan yang lain terkait dengan pelaksanaan Syari’at Islam
dengan mengikuti asas lex specialis sebelum terbentuknya Qanun Syari’at
derogat lex generalis dan Mahkamah Islam itu sendiri.Adanya aturan
Agung berwenang melakukan uji materil pelaksanaan Syari’at Islam sebelum
terhadap qanun”. terbentuknya Qanun dapat dilihat dari tata
Pasal 269 disebutkan ayat (3) “ dalam cara pemerintahan dan kemasyarakatan
hal adanya rencana perubahhan undang- kerajaan Aceh.
undang ini dilakukan dengan terlebih Hal lain yang melatarbelakangi adanya
dahulu berkonsultasi dan mendapat pengesahan Qanun pokok-pokok
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat pelaksanaan Syari’at Islam dan Qanun
Aceh. Hukum Jinayat pada tahun 2014 oleh DPR
Aceh ialah dikarenakan hukum

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 147
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

sebelumnya yang mengatur tentang Provinsi NAD dalam rangka


Syari’at Islam ini belum memiliki hukum penyelenggaraan otonomi khusus;
acara baik materil maupun formil dan Kedua, UU No. 12 Tahun 2011 tentang
kurang mengikat sehingga timbul Pembentukan Peraturan Perundang
kelemahan-kelemahan dalam praktek undangan. Penjelasan Pasal 7 ayat (2) a,
penegakan hukumnya. Maka dengan yang mengatakan bahwa: Termasuk dalam
adanya pengesahan Qanun pokok-pokok jenis peraturan daerah provinsi
pelaksanaan Syari’at Islam dan Qanun adalah Qanun yang berlaku di Aceh dan
Jinayat diharapkan dapat menjadi dasar perdasus serta perdasi yang berlaku di
hukum yang kuat dalam pelaksanaan propinsi Papua; ketiga, UU Pemerintahan
Syari’at Islam di Aceh. Aceh, Pasal 21 dan 22 UU Pemerintahan
Hal lain menjadi dasar pengesahan dan Aceh menyatakan bahwa : Qanun adalah
pemberlakuan qanun jinayah dan syariat peraturan perundang-undangan sejenis
Islam di Aceh ini adalah atas dasar peraturan daerah yang mengatur
masukan dan permintaan dari Para Ulama, penyelenggaraan pemerintahan dan
Tokoh Masyarakat dan Akademisi yang kehidupan masyarakat Aceh.
berkoordinasi dengan Dinas Syari’at Islam Selanjujtnya dalam ketentuan
Provinsi Aceh. Sedangkan dalam tentang Qanun terdapat di dalam UU
perumusan ataupun pembuatan qanun Pemerintahan Aceh, yaitu: 1. Qanun Aceh
tersebut dengan melibatkan Para Ulama adalah : peraturan perundang-undangan
Aceh, Tokoh Masyarakat dan Akademisi sejenis peraturan daerah provinsi yang
yang bekerja sama dengan Pemerintahan mengatur penyelenggaraan pemerintahan
Aceh beserta perangkat-perangkat terkait. dan kehidupan masyarakat Aceh. (Pasal 1
Peran Qanun Syari’at Islam dalam angka 21 UU Pemerintahan Aceh)
menopang kesadaran masyarakat 2. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan
diantaranya; perundang-undangan sejenis peraturan
1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 daerah kabupaten/kota yang mengatur
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam penyelenggaraan pemerintahan dan
di bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar kehidupan masyarakat kabupaten/kota di
Islam ditetapkan agar adanya Aceh. ( Pasal 1 angka 22 UU
keterlibatan keluarga, lembaga- Pemerintahan Aceh)
lembaga swasta dan pemerintah Kemudian dalam hal hirarki hukum di
untuk menerapkan Syari’at Islam. Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU
2. Qanun Nomor 9 Tahun 2008 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
tentang pembinaan kehidupan Adat Peraturan Perundang-undangan,
dan Adat Istiadat juga turut kedudukan Qanun dipersamakan dengan
menopang kesadaran masyarakat Perda di daerah lainnya. Menurut Pasal 7
dalam penerapan Syari’at Islam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
yang sudah menjadi kebiasaan Pembentukan Peraturan Perundang-
melekat dari masyarakat Aceh itu undangan, disebutkan bahwa: jenis dan
sendiri hierarki peraturan perundangundangan
Menurut peneliti dari uraian di atas adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun
dapat disimpulkan bahwa legitimasi 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti
Qanun terdapat di dalam peraturan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
perundang-undangan sebagai berikut: Presiden dan Peraturan Daerah. Pada
pertama, UU No. 18 Tahun 2001 tentang penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa:
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Termasuk dalam jenis peraturan daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe provinsi adalah Qanun yang berlaku di
Aceh Darussalam.Legitimasi Aceh dan Perdasus serta Perdasi yang
Qanun terdapat di dalam Pasal 1 angka 8 berlaku di Provinsi Papua.
yang mengatakan bahwa: Qanun Provinsi Berdasarkan ketentuan di atas, maka
NAD adalah peraturan daerah sebagai kedudukan Qanun diakui dalam hierarki
pelaksanaan undang-undang di wilayah perundang-undangan Indonesia dan

148 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

dipersamakan dengan Perda. Bahwa Keputusan Presiden (apalagi hanya dengan


pengaturan dalam UU No. 12 Tahun 2011 keputusan menteri) yang bersinggungan
tentang Pembentukan Peraturan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah
Perundang-undangan untuk mempermudah Agung tentu harus menyatakan bahwa
Pemerintah Pusat dalam melakukan qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi
pengawasan dan pembinaan terhadap Aceh, sedangkan Keputusan Presiden atau
daerah, terutama yang berhubungan Peraturan Menteri berlaku secara umum di
dengan pembentukan suatu kebijakan seluruh Indonesia.
daerah. Hanya saja tetap harus
diperhatikan tentang kekhususan yang D. Kendala
diberikan Pusat terhadap Aceh. Tingkat pendidikan, kondisi sosial
Selanjutnya juga terkait dengan ekonomi suatu masyarakat boleh jadi sangat
legitimasi Qanun dalam hubungan dengan berpengaruh bagi tingkat pemahaman serta
penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi interpretasi mereka terhadap keberadan
Aceh perlu dikaji dan dijelaskan oleh para aturan-aturan qanun sebagai hukum di
akademisi dan praktisi secara jernih dan ditengah-tengah masyarakat Aceh yang
tanpa prasangka, sehingga posisinya dan memiliki spirit Islami yang cukup tinggi.
kewenangannya yang diatas tadi jadi jelas. Bagi masyarakat Aceh, adat istiadat yang
Hal mana sebagaimna diungkap secara implisit juga mengandung aturan-
responden (Dekan Fakultas Syariah dan aturan kemasyarakatan sudah
Hukum Universitas Islam Negeri Ar terinternalisasi dalam dirinya.Kendatipun
Raniri Banda Aceh), bahwa Fakultas dasar-dasar pemikiran yang berada di
Syariah dan Hukum sesuai dengan tugas belakang suatu aturan tidak diketahui atau
dan fungsinya mempunyai kaitan erat dikenali secara fasih, keberadaan suatu
dalam mendidik tenaga ahli yang larangan, pantangan atau peraturan tetap
memahami qanun-qanun di aceh. memiliki kewibawaan yang dipatuhi secara
Disamping itu, sosialisasi tentang materi ketat.Hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh
qanun dalam sistem pemberlakuannya bagi sanksi-sanksi sosial budaya yang
para pemuka agama dan tokoh masyarakat menyertainya, namun selain itu masyarakat
sehingga tidak terjadi mis informasi di yang bersifat komunal tersebut, seringkali
tengah-tengah masyarakat terkait mematuhinya demi kepentingan warga
pelaksanaan qanun di Aceh. masyarakat lainnya.
Selain itu menurut responden, bahwa Pada masyarakat yang memiliki budaya
Perlu dibentuk semacam forum yang sudah melekat pada masyarakatnya
komunikasi yang melibatkan seluruh adat istiadat serta hukum adat disosialisasi
elemen masyarakat yang secara rutin secara turun temurun di dalam keluarga
melakukan diskusi ilmiah dan sosialisasi sebagai suatu kekuatan sosial yang
qanun-qanun syariat di Aceh. integral.Peranan warga masyarakat yang
Melalui pengkajian dan penjelasan ini menjadi panutan adalah sangat penting
nanti, para pembuat kebijakan dan pencari dalam hal ini, berkenaan dengan sifat
keadilan dan bahkan para pengamat masyarakat komunal di Aceh yang
hukum secara umum akan secara mudah paternalistik. Ketaatan kepada hukum adat
dapat memahami bahwa qanun dalam pada masyarakat kadangkala disebabkan
rangka pelaksaan otonomi khusus bagi oleh "sanksi" yang berupa kekuatan
Provinsi Acehdapat menyampingkan supernatural yang akan memberikan
peraturan lain yang lebih tinggi, yang hukuman bila ada pelanggaran.
dalam keadaan biasa tidak dapat Pada masyarakat modern, baik yang
disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan diperkotaan maupun di pedesaan, aturan
tetapi sebagai konsekuensi diberikannya Hukum Formal merupakan pedoman utama
otonomi khusus kepada Provinsi Aceh perilaku disamping keberadaan hukum adat
maka produk legilatif daerah ini dapat saja di berbagai kesatuan wilayah
menyimpang dan produk eksekutif kebudayaan.Bagi masyarakat dengan
ditingkat pusat. Misalnya suatu materi pendidikan yang relatif rendah, atau

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 149
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

masyarakat yang terikat pada aturan tradi- kemungkinan hanya diketahui oleh
sional, hukum formal seringkali dipandang lingkungan institusi sektoral
secara naif atau, bisa jadi dengan persepsi pemrakarsanya, apalagi jika tingkatan
yang kurang tepat. peraturan itu lebih rendah dari undang-
Permasalahan yang kerap dihadapi undang atau peraturan pemerintah,
pada saat pelaksanaan Qanun Jinayat dan misalnya peraturan atau keputusan-
syariat Syari’at Islam selama ini yaitu; keputusan Menteri dan sebagainya.
Adanya sikap dualisme peradilan terhadap Institusi-institusi penegak hukum,
pelimpahan wewenang adat dan syari’at khususnya aparat kepolisian, kejaksaan
menimbulkan sengketa dan ketidak puasan dan pengadilan, harus menjadi prioritas
di masyarakat. Pun juga terbatasnya sasaran sosialisasi peraturan atau bidang
sumber daya manusia, masih terbatasnya hukum baru. Bukan saja dalam lingkup
anggaran dan masih lemahnya koordinasi pendidikan bagi calon-calon aparat
dalam penegakan hukum jinayat penegak hukum, akan tetapi juga dalam
Oleh karenanya itu sangat diperlukan rangka pendidikan hukum lanjutan
sosialisasi atau penerangan hukum atau (continuing legal education) bagi mereka
penyuluhan materi peraturan perundang- yang sudah menduduki jabatan sebagai
undangan terhadap sesama jajaran aparat penegak hukum. Tujuannya agar
birokrasi, tidak saja akan sekedar mereka tidak tertinggal oleh
memberikan pengetahuan atau perkembangan bidang-bidang hukum baru
pemahaman terhadap suatu peraturan yang nantinya akan bersinggungan dengan
dalam rangka kinerja birokrasi, akan tetapi tugas dan fungsi mereka.
juga akan banyak membantu untuk Menurut responden, bahwa membagun
mensosialisasikan peraturan terkait kepada kesadaran hukum masyarakat perlu waktu
masyarakat umum. Penyuluhan atau panjang. Dengan pemberlakuakn syariat
penerangan hukum yang dilakukan Islam di Aceh, sedikit banyak sudah
terhadap masyarakat mungkin kurang memberi kesadaran hukum bagi
begitu efektif hasilnya jika hanya masyarakat terhadap pelanggaran-
melibatkan satu instansi atau satu unit pelanggaran syariat yang diatur dalam
sektoral saja. Berbeda halnya jika kegiatan qanun syariat, sehingga dalam waktu
itu dilakukan secara lintas sektoral, yaitu penilaian menunjukkan ada pengurangan
dengan koordinasi yang melibatkan semua kejatan. Hal ini dapat terlihat bahwa sudah
pemangku kepentingan (stakeholders) atau berkurangnya remaja d imalam hari
unit-unit teknis terkait, termasuk juga dari melakukan mabuk-mabukan
unsur-unsur pemerintah daerah terkait Berdasarkan informasi dari Responden
pelaksanaan hkum syariat Islam di Aceh (Dosen Fakultas Hukum Universitas
khususnya hukum qanun jinayat. Syiah Kuala, Banda Aceh),bahwa
perlunya upaya secara terus menerus
E. Upaya-upaya memberikan pemahaman kepada
Sosialisasi peraturan perundang- masyarakat dengan menunjukkan
undangan kepada masyarakat, baik itu politicalwill dari pemangku kepentingan,
warga masyarakat biasa maupun aparatur sehingga masyarakat dapat melihat wujud
pemerintah sangat penting. Tujuannya nyata dari pemberlakuan Qanun itu,
adalah agar peraturan yang telah artinya penegakannya harus secara
ditetapkan diketahui, difahami dan profesional. Aparat penegak hukum harus
dilaksanakan. Fiksi hukum bahwa “setiap memahami secara benar Qanun tersebut,
orang dianggap mengetahui hukum” yang dimaksud dengan aparat penegak
sudah tidak realistik terutama dan hukum di sini adalah pada semua
khususnya dalam masyarakat yang bersifat tingkatan. Selain itu pemerintah juga
multietnik dan agama serta masih jauh dari harus menyiapkan sarana dan prasarana
jangkauan informasi, termasuk informasi dalam penegakan qanun tersebut.
hukum. Tanpa adanya sosialisasi, suatu Disamping itu juga untuk kelancaran
peraturan perundang-undangan pelaksanaan qanun jinayah perlunya

150 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

ketersediaan dan peningkatan keterbatasan Kepolisian, Kejaksaan, Wilayatul Hisbah


anggaran, dan sumber daya manusia para (Polisi Syariah), Dinas Syrariat Islam,
penegak hukum baik di kepolisian, Majelis Adat Aceh sesui dengan yang
kejaksaan maupun di Mahkamah Syariah, diatur dalam Undang-unang Nomor 11
sehingga banyak kasus pelanggaran syariat Tahun 2011 tentang Pemerintahan Aceh
tidak diproses secara hukum. Legitimasi pemberlakuan qanun jinayat
Menurut responden (Wakil Ketua I, penerapan aturannya sesuai menurut
Majelis Adat Aceh,)bahwa terhadap derivasi hukum nasional yaitu sesuai
pemberlakuan qanun jinayat perlu dengan UUD 1945 Pasal 18 dimana Aceh
dikembangluaskan dalam maasyarakat oleh memiliki kekhasan daerah dan Undang-
para ahlinya ulama-ulama terkemuka, Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang
tokoh-tokoh adat yang dimuliakan dalam diberikan kewenangan untuk mengatur
masyarakat Aceh untuk memantapkan tentang pendidikan, adat, agama dan peran
persatuan dan kesatuan bangsa biar ada hal- ulama, begitupun berdasarkan Pasal 125
hal yang negatif segera diselesaikan secara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tuntunan syariat dan adat Aceh. Dengan tentang Pemerintahan Aceh,syariat Islam
demikian tidak terjadi perpecahan dan dilaksanakan meliputi ibadah, ahhwal al-
permusuhan dalam masyarakat Aceh, perlu syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah
penmbahan pengetahuan syariat dan adat (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
kepada pemuka-pemuka masyarakat. qadha (peradilan), tarbiyah pendidikan dan
Selanjutnya menurut responden dakwah.
(Kepala Bagian Hukum Dinas Syariat
Islam Kabupaten Aceh Tengah)bahwa
dalam rangaka penerapan pelaksanaan SARAN
Syariat Islam dan mencegah terjadinya Perlu dibentuk semacam forum
pelanggaran Syriat Islam dalam kampung komunikasi yang melibatkan seluruh
Kantor Dinas Syariat Islam Kabupaten elemen masyarakat yang secara rutin
Aceh tengah mengusulkan kepada melakukan diskusi ilmiah dan sosialisasi
pemerintah darah tingkat II Aceh tengah qanun-qanun syariat di Aceh.
untuk mengeluarkan Keputusan Bupati Perlu badan koordinasi/badan
Aceh Tengah tentang Penunukan/Penetapan kerjasama antar instansi untuk
Tim Pengawas Syariat Islam Tingkat mengevaluasi dan mendukung
Kampung Dalam Kabupaten Aceh Tengah pelaksanaan yang lebih baik
Tahun Anggaran 2016 pengawasan Perlunya peningkatan Sumber daya
pelaksanaan qanun jinayah kantor Dinas manusia dan anggaran di lembaga-
Syariat Islam Aceh dan Penunjukan lembaga terkait pelaksanaan qanun jinayah
/Penetapan Tim Peradilan Adat Kampung dan syariat Islam di Aceh.
Dalam Kabupaten Aceh Tengah Tahun
Anggaran 2016

KESIMPULAN
Pelaksanaan hukum jinayat yang diatur
dengan Qanun 14 Tahun 2014 tentang
Qanun Jinayat dilaksanakan dalam rangka
menjaga harkat dan martabat manusia dan
untuk memproteksi dan melindungi
masyarakat Aceh agar tidak lagi berbuat
maksiat kepada Allah. Melalui
pelaksanaan qanun jinayat berdampak
berkurangnya tingkat pelanggaran syariat
di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Penegakan qanun jinayat di Aceh
dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah,

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 151
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

DAFTAR KEPUSTAKAAN Yogyakarta: Universitas Gadjah


Mada,1993
Abubakar. Al Yasa’, Hukum Pidana Islam Musa .Muhammad Yusuf ,Islam: suatu kajian
Islam di Provinsi Nanggroe Aceh komprehensif, rajawali press. Jakarta.
Darussalam, Dinas Syariat Islam 1998,
Provinsi Nanggroe Aceh Darusmalam, Nurhafni dan maryam, pro dan kontra
Penerbit Dinas Syariat Islam Tahun penerapan syariat islam di NAD, Jakarta.
2006 2006,
Cotterrell.Roger, The Sociology of Law An Weber.Max dalam A.A.G. Peters dan
Introduction, (London: Butterworths, Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan
1984), Perkembangan Sosial (Buku I),
Dermawan. Mohammad Kemal, (Jakarta: Sinar Harapan,1998)
Mohammad Irvan Oli’i, Sosiologi
Peradilan Pidana, Yayasan Pusataka Peraturan Perundang-undangan:
Obor Indoneia, Tahun 2015. 1. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
.... Departemen Pendidikan dan tentang penyelenggaraan keistimewaan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Indonesia, 2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum tentang Otonomi Khusus Bagi Darah
Nasional Persfektif Kemaslahan Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Kebangsaaan, Penerbit Putaka Pelajar, Nanggroe Aceh Darussalam
Yogyakarta, 2016. 3. Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang
Friedman. Lawrence M, ,Law and Society Peradilan Syari’at Islam
An Introduction, (New Jersey: Prentice 4. Pergub No. 10 Tahun 2005 tentang
Hall Inc,1977). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat
Friedman. Lawrence M., American Law: Cambuk
An invalueable guide to the many faces 5. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
of the law, and how it affects our daily tentang Pemerintahan Aceh
lives, (New York: W.W. Norton & 6. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
Company,1984). tentang Perubahan kedua Undang-
Friedman. Lawrence M, The Legal System, undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Russel Sage Foundation, New York, Peradilan Agama
1975 7. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
Gazali, Umara dan Ulama di Aceh tentang Hukum Jinayat
Darusssalam Abad XVII, Penerbit, 8. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014
Mahara Publishing, Tangerang Banten, tentang Pokok-pokok Syariat Islam.
Tahun 2016
Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, Penelitian/Jurnal/Makalah/Koran:
Diperbanyak, Dinas Syariat Islam , cet Akhyar Ari Gayo, Penelitian Hukum
pertama, Penerbit Naaskah Aceh, Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di
Tahun 2015, Hal. XXXV Aceh, 2007
Kusumaatmadja.Mochtar, Fungsi dan Sardjono Yatiman, BPHN, Penelitiaan
Perkem-bangan Hukum dalam Hukum Tentang Hukum Sebagai Salah
Pembangunan Nasional, Bandung: Satu Instrumen Dalam Pembangunan
Binacipta, 1986 Hukum, Tanun 1997
Lubis. Zulkarnain dan Bakti Ritonga, .....Media Indonesia, DPR Aceh Minta
Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah, tidak campuri Hukuman Cambuk, 26
Penerbit PRENADAMEDIA Group, Oktober 2016
Jakarta Tahun 2016
Mahfud MD. Moh., Perkembangan Politik
Hukum: Studi tentang Pengaruh Politik Internet:
terhadap Produk Hukum di Indonesia, http://icjr.or.id/organisasi-masyarakat-
sipil-siapkan-upaya-hukum-judicial-

152 Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat Di Provinsi Aceh (Ahyar Ari Gayo)
p-ISSN 1410-5632
Jurnal Penelitian Hukum e-ISSN 2579-8561

De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

review-terhadap-qanun-aceh-no-6-
tahun-2014-tentang-hukum-jinayat,
diakses 26 September 2016.
(http://www.dokumenpemudatqn.com/201
3/07/persentase-jumlah-umat-islam-
berbagai.html#ixzz4D2C3I4RJ, diakses
30 Juni 2016.
http://aceh.tribunnews.com/2016/04/15/ca
mbuk-sesuai-qanun-jinaya, diakses 30-
6-2016
http://faisal-
arani.blogspot.co.id/2011/09/keduduka
n-qanun-dalam-sistem-perundang.html,
diakses 17 Oktober 2016.

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 153
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Volume 17 Nomor 2, Juni 2017 : 131 - 154 154

You might also like