You are on page 1of 27

Pelaksanaan Uuqubat Cambuk Di Lembaga Kemasyarakatan Menurut

Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018


(Studi Kasus di Wilayah Hukum Kutacane)

Asyura Rafiza1, Dr, Ali Abubakar, M.Ag2, Dr. Jamhir, S.Ag., M.Ag3
Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda
Aceh
1
Email: 160106025@student.ar-raniry.ac.id
2
3

ABSTRACT
The Governor of Aceh, Irwandi Yusuf, has issued Governor Regulation Number 5 of
2018 concerning Jinayat Law regarding the transfer of the implementation of
uqubat whipping in correctional institutions and has been ratified as a rule in the
field of Islamic Sharia as a daily guide for all Acehnese people and as a legal
umbrella for the people of Aceh. However, almost most districts/cities in Aceh have
not effectively implemented Governor Regulation Number 5 of 2018 concerning the
law of jinayat, such as in Southeast Aceh. This can be seen that there are still many
parties authorized in the implementation of the uqubat whip, such as the Prosecutor
in collaboration with the Wilayatul Hisbah and the Satpol PP, who are still
carrying out the process of implementing the uqubat caning in an open place on the
grounds that prior to the mandatory order from the Governor of Aceh regarding the
transfer of the implementation of the uqubat. whipping in a correctional institution,
the competent authorities such as the Prosecutor in collaboration with the
Wilayatul Hisbah (WH) and the Satpol PP continue to carry out the uqubat
whipping in an open place. Southeast. In this study, the empirical juridical research
method is used, namely examining the applicable legal provisions and what
happens in reality in society. The results of this study through direct interviews with
the Southeast Aceh Prosecutor and one of the community that there are several
obstacles that become obstacles in the implementation of the uqubat whipping
process at the Penitentiary for violators of Islamic Shari'a in Aceh Tenggara,
namely related to very large costs and inadequate facilities that cannot
accommodate the number of spectators present. Fear of disturbing the peace and
psychology of people in prison. The last obstacle is the need for transparency of
policies that have been made by the Southeast Aceh government towards the
community in the process of transferring uqubat whips to correctional institutions,
in addition so that people can see for themselves the policies that have been made,

1
Mahasiswa fakultas syari‟ah dan hukum, prodi ilmu hukum
2
Dosen pembimbing skripsi 1
3
Dosen pembimbing skripsi 2

1
so that in the implementation of uqubat whips can reduce the process of
manipulating policies that will occur.

Keyword: Governor’s Regulation, Implementation Of Uqubat Whips and


Correctional Institutions

s
ABSTRAK
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mneggeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 5
Tahun 2018 tentang Hukum Jinayat atas pemindahan pelaksanaan uqubat cambuk
di lembaga pemasyarakatan dan telah disahkan sebagai aturan dalam bidang Syariat
Islam sebagai pedoman sehari-hari untuk seluruh masyarakat Aceh serta sebagai
payung hukum bagi masyarakat Aceh. Namun hampir sebagian besar
Kabupaten/Kota di Aceh belum efektif menjalankan Peraturan Gubernur Nomor 5
Tahun 2018 tentang hukum jinayat, seperti di Aceh Tenggara. Hal ini terlihat masi
banyak pihak-pihak yang berwenang dalam pelaksanaan uqubat cambuk seperti
Jaksa yang bekerjasama dengan pihak Wilayatul Hisbah dan Satpol PP masih
melakukan proses pelaksanan uqubat cambuk tetap dilaksanakan di tempat terbuka
dengan alasan sebelum adanya perintah yang wajib dari Gubernur Aceh terkait
pemindahaan pelaksanaan uqubat cambuk di lembaga pemasyarakatan maka pihak
yang berwenang seperti Jaksa yang bekerjasama dengan pihak Wilayatul Hisbah
(WH) dan Satpol PP tetap melaksanakan pelaksanaan uqubat cambuk di tempat
yang terbuka.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui permasalahan penolakan
uqubat cambuk di Lembaga Pemasyarakatan (LP) di kota Aceh Tenggara. Dalam
penelitian ini digunakan metode penelitian yuridis empiris yaitu mengkaji ketentuan
hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan di masyarakat. Hasil
penelitian ini melalui wawancara langsung dengan Jaksa Aceh Tenggara dan salah
satu --masyarakat bahwa terdapat beberapa kendala yang menjadi hambatan dalam
terlaksanakanya proses uqubat cambuk di Lembaga Pemasyarakatan bagi pelanggar
Syariat Islam di Aceh Tengara yaitu terkait biaya yang sangat besar dan fasilitas
yang kurang memadai yang tidak dapat menampung jumlah penonton yang hadir.
Ditakutkan mengganggu ketenangan dan psikologis orang yang berada di dalam
Lapas. Kendala terakhir yaitu perlu adanya transparansi kebijakan yang telah dibuat
pemerintah Aceh Tenggara terhadap masyarakat dalam proses pemindahan uqubat
cambuk ke dalam lembaga pemasyarakatan., selain itu agar masyarakat bisa melihat
sendiri atas kebijakan yang telah dibuat, sehingga dalam pelaksanaan uqubat
cambuk dapat mengurangi proses manupulasi kebijakan yang akan terjadi.

Kata Kunci : Peraturan Gubernur, Pelaksanaan Uqubat Cambuk dan Lembaga


Pemasyarakatan

2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum.
Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara
Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtstaat) bukan negara kekuasaan
(Machtstaat). Pernyataan tersebut kemudian dalam Undang-Undang Dasar
hasil amandemen tahun 1999-2002 diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang
menetapkan bahwa “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. 4 Di Negara
kesatuan Republik Indonesia ini memiliki daerah-daerah atau provinsi, dan
di setiap daerah di indonesia juga mempunyai peraturan atau hukum masing-
masing, seperti di Aceh. Aceh diberi kewenangan khusus untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan perundang-undangan dalam system dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh Gubernur.5
Dimulai dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang ini menegaskan, bahwa
status keistimewaan Aceh terletak pada, “Kewenangan khusus untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan ulama dalam
penetapan kebijakan daerah”.6 Pemerintah pusat mengesahkan Undang-
Undang ini sebagai bagian dari akomodasi terhadap tuntuntan masyarakat
Aceh yang merasa diperlakukan tidak adil pada masa rezim sebelumnya.
Lalu pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid kembali memperkuat
kedudukan keistimewaan Aceh dengan “otonomi khusus” melalui
4
Muhammad Tahir,Negara Hukum, (Jakarta:Kencana, 2003), hlm. 20.
5
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 11 Tahun 2006.
6
Gubernur Aceh mulai mengeluarkan peraturan-peraturan berbasis Syariah setelah
pengesahan UU tersebut. Peraturan yang dikeluarkan, antara lain, menyangkut pengaturan
tentang busana Muslim, larangan alkohol dan judi. Lihat, Keputusan Gubernur No.
451.1/21249 (disahkan pada 6 September 1999).

3
pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 inilah Aceh
diperkenankan menerapakan syariah sebagai sistem hukum formal.
Membentuk pengadilan Syariah, dan mengartikulasikan aturan-aturan ke
dalam bentuk qanun. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 dengan gamblang menyatakan, “Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di
wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan
otonomi khusus. Qanun sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia bukanlah peraturan baru. Khususnya di Aceh, Qanun
sudah dikenal sejak lama. Salah satu naskah yang dapat dirujuk adalah
tulisan dari Tengku di Mulek pada tahun 1257 yang berjudul Qanun Syara‟
Kerajaan Aceh.7
Secara lebih spesifik, jarimah atau perbuatan yang dilarang di dalam
qanun ini terdiri dari 10 tindak pidana, sebagaimana dijelaskan lebih detail
didalam Pasal 3 ayat (2) Qanun Hukum Jinayat, yaitu: khamar, maysir,
khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan seksual,pemerkosaan, qadhaf, dan liwat
mussahaqah. Ada berbagai Macam-macam hukuman didalam Qanun Jinayat
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah yaitu hukuman hudud dan
ta‟zir. Uqubat hudud berbentuk hukuman cambuk. Sedangkan uqubat ta‟zir
terdiri terdiri atas dua yaitu „uqubat ta‟zir utama dan „uqubat ta‟zir tambahan.
. Jarimah hudud adalah jarīmah yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT,sebagaimana dikemukakan

7
Ahyar Ari Gayo, “Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat di Provinsi Aceh,”
dalam Jurnal Penelitian Hukum de Jure, Volu. 17, No. 2, Juni 2017, hlm. 137.

4
oleh Abdul Qadir Audah yang artinya: “Hukuman hadd adalah hukuman
yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah.”8
Hukuman cambuk adalah sebagai salah satu bentuk hukuman
pelangaran Qanun Jinayat. Pelaksanaan cambuk mulai diberlakukan di
Provinsi Aceh pada 10 Juni 2005. Hukuman cambuk ini dilakukan dalam
wilayah hukum kota Banda Aceh. Tahun-tahun berikutnya, hukuman
cambuk terus dilakukan bagi setiap pelanggar Qanun Syariat Islam.
Hukuman cambuk merupakan sejenis hukuman badan yang dikenakan atas
terhukum dengan cara mencambuk badannya. Pelaksanaan cambuk adalah
kewenangan dan tanggung jawab jaksa.
Pencambukan dilakukan setelah putusan hakim mempunyai kekuatan
hukum tetap yang berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini
dan/atau ketentuan yang diatur dalam Qanun tentang hukum formil.9
Hukuman cambuk diaceh relavan dengan kondisi sosial kultur
masyarakatnya dan itu dapat mempengaruhi tingkah laku dan hubungan
sosial terhadap hukum itu sendiri. Tempat dan waktu pencambukan
ditentukan oleh jaksa dan berkoordinasi dengan ketua Mahkamah Syar‟iyah
untuk menyiapkan hakim pengawas yang harus hadir pada waktu
pelaksanaan hukuman cambuk, kepala dinas kesehatan untuk menyiapkan
dokter yang akan memeriksa kesehatan terhukum sebelum dan sesudah
pelaksanaan pencambukan dan mengirimkan nama dokter yang ditunjuk
pada jaksa sebelum waktu pemeriksaan dan instansi yang membawahi
Wilayatul Hisbah10 untuk menyiapkan pecambuk dan memberitahukan pada
jaksa tentang kesiapan pecambuk sebelum waktu pencambukan.

8
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟y al-Islami, jld. I, Beirut: Muasasahal-
Risalah, 1992, hlm. 79.
9
Wahbah Juhaili. Fikih Imam Syafi’i (Al-Mahira, Jakarta:2010) cet 1 hlm.259.
10
Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan
melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat
Islam dalam rangka mekasanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

5
Pada awalnya hukuman cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka
yang dapat dihadiri oleh orang banyak dengan tidak dibenarkan untuk
memoto atau merekam, kecuali untuk kepentingan dokumentasi Kejaksaan
dan Polisi Wilayatul Hisbah. Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan diatas
alas (panggung) berukuran minimal 3x3 meter. Jarak antara terhukum
dengan pecambuk antara 0,70 meter sampai 1 (satu) meter dengan posisi
pecambuk berdiri disebelah kiri terhukum. Jarak antara pecambuk dengan
orang yang menyaksikan paling dekat 12 (dua belas) meter. Jaksa, hakim
pengawas, dokter yang ditunjuk dan petugas pencambuk berdiri di atas atau
disekitar alas (panggung) berukuran 3x3 meter, selama pencambukan
berlangsung.11
Namun setelah dikeluarkannya pergub yang baru oleh Gubernur
Aceh yaitu Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 pasal 30 ayat 3 bahwa
tempat terbuka yang dimaksud pada ayat (1)12 bertempat di Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan. Peraturan Gubernur Nomor 5 tahun
2018 tentang Hukum Jinayat atas pemindahan pelaksanaan uqubat cambuk
di lapas yang telah disahkan sebagai aturan dalam bidang syariat islam
sebagai pedoman sehari-hari untuk seluruh komponen masyarakat serta
sebagai payung hukum bagi masyarakat Aceh. hampir sebagian besar
kabupaten/kota di aceh belum efektif menjalankan Peraturan Gubernur
Nomor 5 tahun 2018 tentang hukum jinayat. Masih banyak pihak-ihak yang
berwenang seperti Kejaksaan, Wilayatul Hisbah atau Satpol pp melakukan
proses pelaksanaan Uqubat Cambuk di pekarangan masjid atau tempat
terbuka yang dapat disaksikan oleh siapapun.
B. Rumusan Masalah

11
Lihat Pasal 6 Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2005 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
12
Uqubat Cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh
orang yang hadir.

6
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka yang
menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Norma Pelaksanaan Uqubat Cambuk dalam Qanun
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat?
2. Bagaimana Persepsi Masyarakat Terhadap Uqubat Cambuk didalam
Lembaga Pemasyarakatan Kutacane?
3. Bagaimana Kendala dan Dampak Pelaksanaan Uqubat Cambuk di
Lembaga Pemasyarakatan.
C. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kegiatan yang dilakukan unruk mempelajari
penemuan terdahulu.Dengan mendalami, membandingkan, menelaah, dan
mengidentifikasi hal-hal yang sudah ada, dan untuk mengetaui hal-hal yang
ada dan yang belum ada.13 Ada beberapa tulisan dan penelitian yang
berkaitan dengan judul ini namun berbeda dengan fokus pembahasan dan
lokasi penelitian nya berbeda.
Skripsi Amellia Putri Akbar, Tahun 2017 dengan judul, Pelanggaran
HAM dalam Pemidanaan (Perbandingan Hukuman Cambuk dengan
Penjara), dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.14Inti dari hasil
penelitiannya membahas tentang untuk mengetahui bagaimana bentuk-
bentuk pemidanaan yang dianggap melanggar HAM serta bagaimana
perlindungan terhadap HAM dalam hukuman cambuk dan hukuman
penjara.Dengan ini fokus pembahasan penulis berbeda dengan penelitian ini
yang mana penulis lebih berfokus hanya pada bagaimana pelaksanaan
Uqubat Cambuk bagi pelangar qanun jinayat dan hukum cambuk itu sendiri
dalam pandangan HAM.

13
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.
58.
14
Amellia Putri Akbar, Pelanggaran HAM dalam Pemidanaan (Perbandingan
Hukuman Cambuk dengan Penjara). 2017.

7
Judul lain yang berkaitan dengan judul ini ialah Skripsi Munawir Sajali,
Tahun 2018 dengan judul, Pelaksanaan Qanun Nomor 6 Tahun 2014
Terhadap Peminum Khamar, dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.15 Inti dari ahsil penelitiannya membehas tentang pelaksanaan
Uqubat Cambuk terhadap pelaku peminum Khamar (secara khusus) dan
membahas bahwa Uqubat Cambuk tidak bertentangan dengan Hukum Islam
maupun KUHAP. Sedangkan yang penulis teliti berfokus pada pelaksanaan
uqubat cambuk yang harus diberlakukan di Aceh bagi setiap pelangar qanun
jinayat dan tidak dapat dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia.Dengan ini
fokus pembahasan penulis berbeda dengan penelitian ini.
D. Kerangka Teoritik
Menjelaskan istilah-istilah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
tentang pelaksanaan uqubat cambuk di lembaga pemesyarakatan menurut
peraturan gubernur nomor 5 tahun 2018. Pengertian cambuk, tindak pidana
Qanun,lembaga pemasyarakatan dan pelaksanaan.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah cara melakukan atau mengerjakan sesuatu
dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan
untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun
laporan. Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris
dengan kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologis atau penilitian
lapangan (field research) yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku
serta apa yang terjadi dalam kenyataan dimasyarakat. Dengan maksud untuk
mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan pada

15
Munawir Sajali, Pelaksanaan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Terhadap Peminum
Khamar, dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2018.

8
akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.16 Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara mempelajari
perundang-undangan, buku-buku, jurnal, study lapangan yaitu
mengumpulkan fakta-fakta melalui obsevasi/pengamatan dan wawancara
dalam proses pengumpulan data dengan cara terjun langsung kelapangan.
II. PEMBAHASAN
A. Norma dalam Al-quran dan Hadist
Uqubat cambuk berasal dari dua kata yaitu ‘uqubah dan cambuk.
Lafadz ‘uqubah menurut bahasa diambil dari kata: ‘aqaba yang sinonimnya
khalafahu waja’a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan datang di
belakangnya.17
Kata „uqubat berasal dari kata kerja ‘aqaba-ya’qubu atau bentuk
masdarnya ‘aqaba, berarti balasan atau hukuman digunakan dalam kasus
jinayat. Kata „uqubah diartikan balasan karena melanggar perintah syarak
yang telah ditetapkan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum dan
menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadat.18 „Uqubah adalah hukuman
yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah.19 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Hukuman adalah siksa dan sebagainya yang
dikenakan kepada yang melanggar Undang-Undang dan sebagainya.20
Abdul Qadir Audah juga memberikan definisi hukuman sebagai
berikut:

16
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika,
2002), hlm. 15
17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm, 136.
18
Dedy Sumardi, Hudud dan Ham dalam Pidana Islam, (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2011), hlm,43.
19
Dinas Syariat Islam, Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, (Banda Aceh:
Naskah Aceh, 2015), hlm, 6.
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa,
Edizi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm, 511.

9
ْ ‫ي ا َ ْل َجزَ ا ُء اْل ُوقَ ِ ّز ُر ِل َو‬
َ ‫ص لَ َح ِة اْل َج َوا‬
‫ع ِة‬ َ ‫ا َ ْلعُقُ ْى بَةٌ ھ‬
َّ ‫اى ا َ ْه ِز ال‬
‫شار‬ ْ ‫علَى ِع‬
ِ ٍَ‫ص‬ َ
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syarak.”
Cambuk yang dimaksud didalam Qanun adalah: suatu alat pemukul
yang berdiameter antara 0,75 cm samapai 1 (satu) sentimeter, panjang 1
(satu) meter dan tidak mempunyai ujung yang ganda atau dibelah.
Diriwayatkan bahwa pada suatu saat Rasulullah saw akan menjilid
seseorang, lalu diberikan kepada beliau cambuk yang kecil. Maka beliau
meminta cambuk yang agak lebih besar. Lalu beliau menyebutkannya terlalu
besar dan menyatakan cambuk yang pertengahan diantara keduanya itulah
yang digunakan. Maka dapat disimpukan bahwa untuk hukuman cambuk
harus digunakan cambuk yang sedang. Disamping itu juga diisyaratkan
bahwa cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari satu, dan apabila lebih
dari satu ekor maka jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyak ekor atau
ujung cambuk yang ganda tersebut. Hukuman tidak boleh sampai
menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum, karena hukuman ini
bersifat pencegahan . oleh karena itu hukuman tidak boleh dilaksanakan
dalam keadaan panas terik atau cuaca yang sangat dingin. Dan tidak boleh
dilaksanakan atas orang yang sakit sampai dia sembuh dan wanita yang
sedang hamil sampai ia melahirkan.
Ada beberapa ayat Al-quran yang menyebutkan tentang hukum
cambuk, seperti yang terdapat pada beberapa ayat di bawah ini, yaitu:
Surat An-Nur ayat 2 yang berbunyi:
‫ َوالَ تأ ْ ُخ ْذ ُك ْن‬,ٍ‫اح ٍد ِه ٌْ ُه َوا ِهارئةَ َج ْلدَة‬ ِ ‫الزاًًِ فَاجْ ِلدُوا ُك َّل َو‬ َّ ‫الزاًٍَِةُ َو‬ َّ
َّ ‫ بِ ِه َوا َرأْفَةٌ فِ ًْ ِدٌ ِْي‬,‫اَخ ِز‬
ِ‫ّللا‬ ِ ‫اَّللِ َو ْالٍَ ْى ِم‬
َّ ِ‫إِ ْى ُك ٌْت ُ ْن تُؤْ ِهٌُ ْىىَ ب‬
‫طائِفَةٌ ِهيَ ْال ُوؤْ ِهٌٍِْي‬
َ ‫عذَابَ ُه َوا‬َ ‫َو ْلٍَ ْش َه ْد‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas

10
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (palaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang beriman.”
B. Norma dalam Pendapat Ulama Fiqh
Batas hukuman cambuk utuk pidana ta‟zir menurut Abu Hanifah,
Muhammad Syafi‟iyah dan Hanbaliyah adalah tidak boleh melebihi
hukuman cambuk paling rendah dalam hudud yaitu 40 kali untuk khamar,
maka batas tertinggi untuk ta‟zir adalah 39 kali. Akan tetapi menurut Abu
Yusuf jumlah hukuman cambuk bagi pidana ta‟zir tidak boleh lebih dari 75
kali dengan rumus cambukkan had terendah adalah 80 kali dikurang 5 kali.
Menurut malikiyah tidak ada batasan dalam jumlah cambukan ta’zir.
Akan tetapi sepenuhnya terserah kepada ijtihad dan Pemerintah. Bahkan
pemerintah dapat dan berhak untuk menetapkan hukuman ta’zir setara,
kurang atau melebihi hukuman had. Pelaksanaan Uqubat Cambuk sendiri
didalam hukum islam berbeda-beda jumlah bilangannya. Apabila seseorang
meminum khamar, maka hukumannya adalah dipukul atau dicambuk. Para
ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa
menggunakan beberapa alat seperti tangan kosong, sandal, ujung pakaian
atau cambuk. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, yang artinya bentuknya
sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti
dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan
sebagainya atau disebut sebagai hukuman hudud, yaitu hukum yang bentuk
syarak, pembuktian dan tata caranya sudah diatur oleh Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda, barang siapa yang meminum khamar maka
pukullah. Hadist ini termasuk hadist mutawatir. Hadits ini diriwayatkan oleh
12 orang sahabat yang berbeda. Dan mereka adalah Abu Hurairah,
Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid,
Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jahir bin Abdillah, Ibnu Mas‟ud,

11
Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits. Ada perbedaan pendapat dikalangan
Ulama dalam menentukan jumlah pukulan.

Jumhur ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi


syarat untuk dihukum maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak
80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan sayyiddina Ali ra.,
yaitu bila seseorang meminum khamar maka akan mabuk dan apabila mabuk
maka merancau, bila merancau maka tidak ingat, dan hukumannya adalah 80
kali cambuk. Didalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra berkata,
Rasulullah saw mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali, Abu Bakar
juga mencambuk sebanyak 40 kali cambuk bagi peminum khamar.
Sedangkan Ustman 80 kali cambuk, dan semuanya itu adalah sunnah.
Sedangkan Imam Syafi‟i ra berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk
sebanyak 40 kali. Dan dasar hukumnya adalah hadist Rasulullah saw yang
artinya; dari anas ra, berkata bahwa Rasulullah saw mencambuk orang yang
meminum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali.

C. Perbuatan Pidana yang di Kenakan Uqubat Cambuk dalam Qanun


Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014
Perbuatan Perbuatan Pidana yang dikenakan „uqubah cambuk dalam
Qanun Jinayat Aceh nomor 6 Tahun 2014 ada 10 (sepuluh) antara lain
sebagai berikut:
1) Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji.21 Menurut
ketentuan umum pasal 1 angka 26 zina adalah persetubuhan antara seorang
laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan
perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.22
2) Qazab

21
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm, 37.
22
Pasal 1 Angka 26 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

12
Qazab adalah menuduh seseorang melkaukan zinatanpa dapat
mengajukan paling kurang 4 (empat) orang saksi.23
3) Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur
orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang
digunakan pelaku terhadap faraj atau zakar korban denga mulut pelaku atau
mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau
terhadap korban.24
4) Maisir
Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau
unsur untung-untungan yang dilkukan antara 2 (dua) pihak atau lebih,
disertai kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat
bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah, baik secara langsung
atau tidak langsung.25
5) Khalwat
Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat atau tersembunyi
antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan
tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah
kepada perbuatan zina.26
6) Ikhtilat
Ikhtilat adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh
sentuhan, berpelukan dan beriuman antara laki-laki dan perempuan yang
bukan suami istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik padda tempat
tertutup maupun tempat terbuka.27
7) Pelecehan seksual
23
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat
24
Pasal 1 Angka 30 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
25
Pasal 1 Angka 2 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
26
Pasal 1 Angka 23 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
27
Pasal 1 Angka 24 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014

13
Pelecehan seksual adalah perbuata asusila atau perbuatan cabul yang
sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai
korban, baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban.28
8) Khamar
Khamar adalah minuman yang memabukkan dan/atau mengandung
alkohol 2% atau lebih.29
9) Liwat
Liwat adalah perbuatan seorang laki-laki denga cara memasukkan
zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah
pihak.30
10) Musahaqah
Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan
cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk
memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah
pihak.31
D. Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang
menerapkan syariat Islam.Pada hakikatnya penerapan syariat Islam sudah
menjadi impian masyarakat Aceh sejak dulu.Syariat Islam yang
berlandaskan agama Islam telah diperjuangkan terus menerus oleh
masyarakat dan para pemimpin Aceh. Dalam Nota Kesepahaman antara
Pemerintahan Republik sIndonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menjelaskan
bahwa Qanun Aceh akandisusun kembali untuk Aceh dengan menghormati
tradisi sejarah dan adat istiadat masyarakat Aceh yang akan mencerminkan
kebutuhan hukum terkini Aceh.

28
Pasal 1 Angka 27 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
29
Pasal 57 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
30
Pasal 1 Angka 28 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
31
Pasal 1 Angka 29 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

14
Penerapan syariat Islam bukan berarti tidak mendapat
kendala.Penerapannya bahkan menghadirkan berbagai pendapat.Masih ada
masyarakat yang pro terhadap penerapan syariat Islam dan ada juga yang
kontra walaupun penerapan Syari‟at Islam di Aceh telah berlangsung selama
beberapa tahun.Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat dan elemen-
elemen di dalam masyarakat menyetujui segala kebijakan yang diterapkan
pemerintah.
Berdasarkan Pasal 262 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang
Hukum Acara Jinayat yang menyebutkan „Uqubat cambuk diselenggarakan
di tempat terbuka, namun menurut Pasal 30 Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 5 Tahun 2018, Uqubat cambuk dilaksanakan di tempat tertutup,
khususnya dilakukan di lembaga pemasyarakatan / rutan / cabang rutan. Hal
ini bertolak belakang dengan tujuan pemidanaan pada umumnya. Namun
sejauh ini belum ada acuan/kesepakatan untuk dilaksanakan di tempat
tertutup.
Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 Pasal 30 Ayat (1) Uqubat
cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang
yang hadir; ayat (2) Pelaksanaan Uqubat cambuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak anak dibawah usia 18 (delapan
belas) tahun. Dan ayat (3) bahwa tempat terbuka yang dimaksud pada ayat
(1)32 bertempat di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.)
Prof. Al Yasa‟ sebagai tokoh intektual yang disegani masyarakat
akan kiprah dan ilmunya dalam membangun syariat Islam di Aceh
mengeluarkan pendapatnya bahwa Implementasi hukum cambuk yang
seharusnya di laksanakan adalah anak-anak tidak boleh masuk, tempatnya
yang lapang, dan mempertimbangkan kepentingan terhukum dalam arti harus

32
Uqubat Cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh
orang yang hadir.

15
dilindungi psikologisnya. Mengenai pemberlakuan syari‟at Islam yang harus
dipertahankan, menurut Prof Al Yasa‟ bahwa, pelaksanaan Islam yang baik
adalah hilangnya kemaksiatan, dan juga pelaksanaan syari‟at Islam yang baik
adalahtidak adanya lagi pelaksanaan hukuman, jika hukuman masih sering
berjalan maka pemberlakuan syari‟at Islam masih buruk.

III. HASIL PENELITIAN


A. Pelaksanaan Uqubat Cambuk Menurut Peraturan Gubernur Nomor 5
Tahun 2010
Pada dasarnya Pelaksaan uqubat cambuk dilakukan ditempat terbuka
yang dapat dilihat oleh siapapun, namun setelah terbitnya Peraturan
Gubernur Nomor 5 Tahun 2018,yang sempat menjadi pro dan kontra
dikalangan masyarakat dengan alasan proses eksekusi cambuk tidak berjalan
sesuai dengan peraturan Syariat Islam yang telah ditetapkan dalam Qanun
Jinayat di Aceh. Namun Gubernur Irwandi juga mengatakan alasan
pemindahan lokasi pelaksanaan eksekusi cambuk kedalam lembaga
pemasyarakatan ditempuh agar investasi di Provinsi Aceh tidak terganggu.
Pak Irwandi juga menyebutkan alasan pemindahan lokasi pelaksanaan
hukuman cambuk tersebut agar insvertor tidak fobia untuk menanam saham
di Aceh.agar dapat membantu peningkatan dan lajur ekonomi di Aceh.Selain
itu pelaksanaan hukuman cambuk dilakasankan didalam lapas untuk
menghindari beredarnya video wajah terpidana di media sosial.33
Dan alasan lainnya dalam pemindahan hukuman cambuk ke lapas
Pak Irwandi mengatakan agar anak-anak yang masi berumur dibawah
delapan belas tahun tidak menyaksikan eksekusi cambuk, atas dasar itu
pergub tentang pelaksanaan eksekusi cambuk didalam Lapas dikeluarkan,

33
Tribunnews.com edisi Kamis 12 Apri 2018

16
agar tidak terganggu nya efek psikologis sang anak dengan melihat
kekerasan.34
Adapun bunyi dari peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 pasal
30 ayat (1) Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat
dilihat oleh orang yang hadir; ayat (2) Pelaksanaan Uqubat cambuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak anak
dibawah usia 18 (delapan belas) tahun. Dan ayat (3) bahwa tempat terbuka
yang dimaksud pada ayat (1) bertempat di Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan. Sudah jelas bahwa pelaksanaan
uqubat cambuk yang dimakmasud pada pasal 30 ayat (1) bertempat di
Lembaga Pemasyarakatan, akan tetapi masi banyak pihak-pihak yang
berwenang melaksanakannya di tempat umum termasuk juga pelaksanaan
uqubat cambuk di Aceh Tenggara hingga saat ini masi melaksanakan
eksekusi cambuk di tempat umum yang dapat dihadiri oleh masyarakat.
Sejak penerapan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Hukum
Jinayat atas pelaksanaan pemindahan uqubat cambuk di Aceh hingga saat ini
Kota Aceh Tenggara belum pernah melaksanakan proses hukuman cambuk
di dalam Lapas, yang dimana semua proses eksekusi cambuk masih
dilaksanakan ditempat terbuka.
Peneliti langsung menyaksikan pelaksaan eksekusi cambuk di
Kutacane pada hari senin 21-Desember-2020 sekitar jam 9:00 pagi sampai
dengan selesai yang dilaksanakan lokasinya tepat didepan Kantor Kejaksaan
Negeri Aceh Tenggara dan terbuka untuk umum. Yang dihadiri oleh aparat
kepolisian, TNI, Tenaga Kesehatan dan disediakan 1 mobil ambulan jika
terhukum membutuhkan perawatan medis, Satpol PP/WH sebagai
pengamanan, dan dihadiri oleh beberapa tokoh penting di aceh tengara
seperti Wakil Bupati Aceh Tenggara, salah satu anggota DPRK,dan beberapa

34
Okezone, 14 April 2018

17
Alim Ulama yang salah satu diantara mereka diutus untuk memberikan
tausiah sebelum eksekusi cambuk dilaksanakan.
Adapun tata cara Pelaksaaan Eksekusi Cambuk diawali dengan
sambutan Wakil Bupati Aceh Tenggara, dilanjutkan dengan Tausiah Abuya
dari salah satu Dayah atau Pasantren yang ada di Aceh Tengara yang peneliti
dengar memberikan tausiah tentang patuh kepada Allah dan Rasulullah
sebagai bimbingan rohani35, dan dilanjutkan dengan do‟a oleh Abuya
tersebut. Selanjutnya sebelum Eksekusi dilaksanakan diatas panggung yang
telah disediakan diawali dengan pembacaan Identitas Terhukum seperti
Nama, Alamat dan Jaksana Penuntut Umumnya kemudian Jenis Pelanggaran
yang Terhukum lakukan sesuai dengan Pasal 261 Qanun Aceh Nomor 6
Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat yaitu” sebelum pencambukkan,
Jaksa hanya membacakan identitas terhukum, Jarimah yang dilakukan dan
Uqubat yan di jatuhkan Mahkamah yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Terhukum Pertama melanggar Pasal 20 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 tetang Hukum Jinayat, Uqubat Cambuk sebanyak 30 (Tiga Puluh) kali
Cambukan didepan umum, karena terhukum telah menjalani masa
penahanan selama 123 (Seratus Dua Puluh Tiga) maka dikurangi 5 (Lima)
kali Cambuk, sehingga menjadi 25 (Dua Puluh Lima) kali Cambuk. Adapun
terhukum kedua dicambuk 28 (Dua Puluh Delapan) kali Cambuk, karena
terhukum telah menjalani masa penahanan selama 88 (Delapan Puluh
Delapan) maka dikurangi 3 (Tiga) kali Cambuk sehingga menjadi 25 (Dua
Puluh Lima) kali cambuk.
Mengenai tempat dan waktu pelaksanaan eksekusi cambuk sesuai
dengan perintah jaksa, tidak ada hari dan tempat khusus mengenai eksekusi
cambuk, pernah juga dilaksankan di lapangan Ahmad Yani tepat didepan

35
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinyat Pasal 260 yaitu
“Sebelum Pelaksanaan Pencambukan kepada terhukum dapat diberikan bimbingan rohani
singkat oleh seorang ulama atas permitaan Jaksa atau terhukum”

18
Masjid Agung At-taqwa Kutacane dan juga di Lapangan H.Syahadat
Kutacane,begitu juga mengenai hari dan waktu pelaksanaan, sesuai dengan
kesepakatan jaksa dan mahkamah syariyah. Mengenai hari dan jam
pelaksanaan eksekusi tidak ada waktu yang khusus, dilihat melalui situasi
dan kondisi yang tepat.
Proses pelaksaan uqubat cambuk di Aceh Tenggara yang langsung
Peneliti saksikan dilakukan diatas panggung berukuran 3x3 meter
sesuaidengan Pasal 262 diatas, setelah Terhukum sudah di bawa ke atas
panggung dan di Lanjutkan dengan Algojo yang diperintah kan untu
mencambuk naik ketas panggung denga menggunakan baju jubah berwarna
hitam lengkap dengan penutup wajah,hingga yang terlihat hanya mata
Algojo tersebut. jarak antara terhukum dengan Algojo yang bertugas untuk
mencambuk terhukum 0,70 meter dan berada disebelah kiri terhukum dengan
posisi berdiri, terhukum menggunakan baju jubah berwarna putih dan
mengguakan masker, dan masing-masing terhukum dicambuk sesuai dengan
hasil putusan dari mahkamah syar‟iyah.
Selain Algojo yang langsung Peneliti saksikan, diatas panggung yang
berukuran 3x3 meter itu terdapat :Jaksa, Dokter, Hakim Pengawas,dan
beberapa petugas pengamanan. Adapun alat cambuk yang digunakan terbuat
dari rotan dengan diameter 0,75 cm dan panjang 1 meter lalu diayunkan ke
punggung terhukum dengan perintah jaksa. Pencambukkan akan
diberhentikan apabila terhukum merasa sangat lemah dan langsung dibawa
turun dari atas panggung ke mobil ambulan untuk diperiksa lansung oleh
Tenaga Kesehatan yang bertugas lalu sementara itu terhukum pertama
digantikan oleh terhukum kedua dan pencambukkan dilanjutkan setelah
terhukum sudah merasa tidak lemah lagi.
Cambukan yang dilaksanakan pada anggota tubuh dari pelaku
jarimah tidak dibenarkan pada anggota tubuh seperti kepala, muka, leher,

19
dada dan kemaluan, dengan kata lain hanya mancakup dari bahu sampai
pinggul. Pada saat pelaksaan uqubat cambuk terhukum memang diharuskan
untuk menggunakan baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan.
Mengenai posisinya tersendiri pun tidak luput dari perhatian, dimana jika
terhukum laki-laki maka dalam posisi berdiri tanpa penyangga, sedangkan
bagi terhukum perempuan dalam posisi duduk. Kendati demikian,
berdasarkan permintaan terhukum atau dokter, terhukum dapat dicambuk
sambil duduk bersimpuh atau berdiri dengan penyangga, namun harus dalam
keadaan bebas.
Namun sangat disayangkan walau pun sangat banyak petugas
pengawasan yang ada disana tetapi masi banyak anak anak yang berumur
dibawah delapan belas tahun meyaksikan eksekusi cambuk, dimana itu
sangat tidak baik untuk perkembangan psikologis anak karna mnyaksikan
kekerasan, apalagi ketika melihat terhukum yang kesakitan sampai tubuhnya
gemetaran karna cambukan.
Setelah terhukum selesai dieksekusi cambuk kemudian terhukum
dibawa ke mobil ambulan untuk diperiksa kembali kesehatannya oleh tenaga
kesehatan. Kemudian dilanjutkan dengan pemusnahan barang bukti dengan
dibakar yang dilaksanakan di belakang kantor kejaksaan negeri Aceh
Tenggara yang dapat disaksikan oleh semua yang hadir dalam pelaksanaan
eksekusi cambuk.
B. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uqubat Cambuk didalam
Lembaga Pemasyarakatan Kutacane
Pada dasarnya masyarakat sangat setuju dengan adanya Syariat Islam di
Kutacane sebagai rujukan dalam penerapan hukum pidana serta juga sangat
memaklumi bahwa penerapan ini tidaklah berada pada tingkatan sempurna,
tentuya penerapan saat ini merupakan awal dalam tahap tahapan selanjutnya
yang akan semakin sempurna. Dengan demikian, antusias masyarakat dalam

20
menjalankan dan menerapkan syariat islam sangat mengharapkan bahwa
Penerapan Syariat Islam di Kutacane semakin hari semakin menuju ke tahap
yng lebih sempurna.
Masyarakat sangat antusias terhadap pelaksanaan Syariat Islam di
Kutacane bisa dilihat dari kesediaan mereka dalam mengahiri dan
menyaksikan uqubat cambuk di tempat tebuka. Jalannya pelaksanaan selama
ini pun menuai pandangan positif dari masyarakat. Dari pelaksanaan uqubat
cambuk di tempat terbuka ini masyarakat merasakan adanya perubahan
Sangat berbanding terbalik ketika dihadapkan jika pelaksanaan
uqubat cambuk dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan ,
masyarakat bnayak menolak untuk sengaja menghadiri proses pelaksanaan
uqubat di lembaga pemasyarakatan dengan beberapa alasan tertentu.
Menurut Penjelasan Dari Masyarakat36 yang menolak Pelaksanaan
Uqubat Cambuk Dilaksankan di Lembaga Pemasyarakatan karena Hukum
Acara Jinayah tentang pelaksanaan cambuk itu dianggap harus memberi efek
jera dengan rasa malu jadi harus dilaksanakan di tempat terbuka bukan di
dalam penjara yang mana masyarakat menolak karna menafsirkan Lapas
adalah tempat tertutup, artinya tidak ada rasa jera karena tidak membuat dia
malu, bahkan mereka menganggap dia tidak dihukum,dan memang dinamika
dalam masalah ini wajar, tidak mungkin semua setuju.
Bahkan masi banyak masyarakat yang mengatakan ketidak
setujuannya jika Pelaksanaan Uqubat Cambuk dilaksanakan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan dengan alasan bahwa Lapas adalah tempat
tertutup dan tidak dapat memberikan pembelajaran atau efek jera terhadap
terhukum, minimal memberikan pembelajaran bagi setiap masyarakat yang
melihatnya agar tidak melanggar peraturan peraturan yang telah ditetatap
kan, sehingga terhukum menyepelekan hal tersebut dan masyarakat

36
Wawancara dengan Ibuk Rahayu Dewani, Masyarakat Aceh Tenggara.

21
menyakini jika itu terjadi akan lebih banyak lagi tidak kejahatan yang ada di
Aceh Tenggara.
Sebagian masyarakat berpendapat Pelaksanaan Eksekusi Cambuk di
Tempat yang terbuka selain agar mendapatkan pembelajaran dan efek jera
agar tidak mengulangi kesalahan yang sama bagi tehukum, bahwa agar
masyarakat melihat langsung pencambukan agar tidak ada ketidak adilan
bagi terhukum yang memilik jabatan khusus atau membeda bedakan antara
yang memilii banyak uang dan yang tidak memiliki uang. Lebih tepatnya
masyarakat mengharapkan adanya keadilan dalam penegakan hukum
terhadap pelanggar Qanun Aceh atau Syariat Islam di Aceh Tenggara,
sehingga penegak hukum tidak membeda bedakan antara anak pejabat dan
anak petani bahkan tidak jarang orang yang memiliki kedudukan yang
penting di Kutacane yang melanggar Qanun Aceh tiba tiba hilang beritanya
begitu saja.
Oleh Karena itu dapat disimpulkan pandangan masyarakat tentang
Pelaksanaan Uqubat Cambuk dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan maka
akan menghilangkan Efek Jera bagi terhukum, yaitu sanksi moral dengan
menimbulkan rasa malu karena ditonton khalayak ramai telah hilang. Dan
begitu juga dengan tujuan pencegahan dalam pemidanaan uqubat cambuk itu
sendiri.
C. Kendala dan Dampak dalam Pelaksanaan Uqubat Cambuk di
Lembaga Pemasyarakatan
Menurut penjelasan pak syam yang langsung peneliti tanyakan
mengenai kendala-kendala dalam pelaksanaan uqubat cambuk dilembaga
pemasyarakatan adalah yang pertama, tidak ada implementasi Pergub
Nomor 5 Tahun 2018 tentang hukum jinayat atas pemindahan eksekusi
cambuk di lapas, tidak ada perintah dari Pergub Nomor 5 Tahun 2018 yang
mengharuskan eksekusi cambuk dilaksanakan dilapas, yang ada hanya

22
sekedar himbauan terkait pemindahan uquat cambuk kedalam lapas. Kedua,
mengenai psikologis orang yang dipenjara didalam lapas,kurangnya fasilitas
yang memadai dari lapas yang tidak dapat menampug jumlah penonton yang
hadir yang membuat penuhnya Lapas tersebut.
Selain itu dari pihak masyarakat masih menginginkan proses uqubat
cambuk ditempat terbuka atau tempat umum seperti yang masi dilakukan
hingga saat ini agar masyarakat bisa lebih leluasa dan bebas menyaksikan
proses hukuman cambuk tersebut, apabila dilaksanakan didalam lapas maka
pasti banyak pihak pihak yang menentang. Ketiga, dari pihak lapas juga
tidak menerima pelaksaan dilaksankan dilapas karna “biaya” Menurut
paparan pak syam “Biaya Cambuk itu sangat besar. Cambuk dilaksanakan
depan umum saja yang bisa dilihat oleh siapapun dari kalangan masyarakat
masi banyak yang melanggar, liat saja tingkat statistic pertahun,apalagi
dilaksanakan dilapas, masyarakat belum menjadikan ini sebagai
pembelajaran, malah ada terhukum yang masi mengulang perbuatannya”
Kendala Keempat, perlu adanya transparansi kebijakan yang telah
dibuat pemerintah terhadap pihak masyarakat, agar masyarakat bisa melihat
sendiri atas kebijakan yang telah dibuat, sehingga dalam pelaksanaan uqubat
cambuk dapat mengurangi proses manupulasi kebijakan yang akan terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dijelaskan bahwa masi banyak
kendala kendala untuk mengimplementasi suatu kebijakan, maka karna
kendala kendala tersebut hingga diterbitkannya pergub Nomor 5 Tahun 2018
hingga saat ini pemerintah Aceh Tenggara masi belum melaksanakan
eksekusi cambuk di lapas, pihak yang berwenang masi menerapkan eksekusi
cambuk ditempat terbuka sesuai dengan yang diatur didalam Qanun Jinayat.
Dalam hal ini Pemerintah Aceh mempunyai peranan yang sangat
penting terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh, terutama sekali
dalam rancangan regulasi yang berupa Pergub untuk pelaksanaan Proses

23
Syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu kebijakan dari Gubernur memerlukan
strategi yang terdiri dari program program, serta kegiatan kegiatan yang telah
diatur untuk mewejudkan pelayanan keagamaan bagi masyarakat Aceh yang
dilaksanakan secara intensif. Oleh karena itu Gubernur harus berkerjasama
degan Pemerintah daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah Dalam sebuah kebijakan
tidak semuanya berjalan seperti yang diinginkan, selalu ada pro dan kontra
sehingga apa yang dilaksanakan berada dalam taraf kemacetan begitupun
dalam pelaksanaan proses pemindahan lokasi eksekusi cambuk dari tempat
terbuka berpindah ketempat lembaga pemasyarakatan.

Terdapat beberapa hambatan didalam persepsi masyarakat yaittu


Lapas adalah tempat tertutup dan tidak dapat memberikan pembelajaran atau
efek jera terhadap si terhukum, minimal memberikan pembelajaran bagii
setiap masyarakat yang melihatnya agar tidak melanggar peraturan peraturan
yang telah ditetapkan.

Beberapa hambatan atau kendala yang terjadi dalam pelaksanaan


Pergub Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Hukum Jinayat atas Pelaksanaan
Uqubat Cambuk di Lapas di Kota Aceh Tenggara yaitu tidak ada perintah
dari Pergub Nomor 5 Tahun 2018 yang mengharuskan proses uqubat cambuk
dilaksanakan dilapas, yang ada hanya sekedar himbauan terkait pemindahan
pelaksanaan uqubat cambuk. Dan kendala berikutnya terkait biaya yang besar
dan fasilitas yang kurang memadai yang tidak dapat menampungjumlah
penonton yang hadir. Ditakutkan mengganggu ketenangan dan psikologis
orang yang berada didalam Lapas Dan kendala terakhir yaitu perlu adanya
transparansi kebijakan yang telah dibuat pemerintah terhadap masyarakat.

24
B. Saran
1. Kepada Pemerintah Aceh Tenggara dan Pihak yang memiliki
wewenang diharapkan untuk lebih konsisten dan mempunyai komitmen
dalam menegakkan hukum, sehingga bisa melahirkan nilai-nilai hukum
yang bagus, sehingga Syariat Islam dapat berjalan semaksimal mungkin.
Dan Pelaksanaan Uqubat Cambuk di Aceh Tenggara dapat dilaksanakan
didalam Lapas sesuai dengan Pergub.
2. Gubernur harus berkerjasama degan Pemerintah daerah yang
berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam
3. Disarankan kepada lembaga terkait agar segera membuat kerjasama
secara tertulis dengan lembaga permasyarakatan agar pelaksanaan
hukumancambuk dapat segera dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
sesuai dengan yang ada di Pergub Nomor 5 Tahun 2018 Pasal 3. Kepada
masyarakat agar ikut mengawasi anak-anak di bawah umur 18 tahun agar
tidak menyaksikan secara langsungpelaksanaan hukuman cambuk.
4. Penting adanya transparansi dalam membuat kebijakan dari pihak
yang punya wewenang seperti, Dinas Syariat Islam, Satpol PP dan WH,
untuk memberi pengarahan kepada masyarakat terhadap kebijakan yang
telah disahkan supaya tidak terjadi kesalah pahaman antara pihak yang
lain.

REFERENSI
Abdul Qadir Audah. 1992.al-Tasyri‟ al-Jina‟y al-Islami, jld. I, Beirut:
Muasasahal-Risalah.
Abubakar, Al Yasa dan Marahalim. 2006.Hukum Pidana Islam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam.
Ahmad Wardi Muslich, 2006. Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah cetakan
kedua, Jakarta: Sinar Grafika.
Al Yasa‟ Abubakar, Sekilas Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam, tt.

25
Dedy Sumardi. 2011.Hudud dan HAM dalam Pidana Islam, Banda Aceh.
Dyah Octorina Susanti dan A‟an Efendi. 2014. Penelitian Hukum (Legal
Research), Jakarta: Sinar Grafika.
Frans maramis, Hukum pidana umum dan tertulis di Indonesia,
Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.
Haji Ibrahim Haji Sa‟id. 1996. Qanun Jinayah Syari’ah dan Sistem
Kehakiman Dalam Perundangan Islam Berdasarkan Qur’an dan
Hadist. Kuala Lumpur: Darul Ma‟rifah.
Hasjmy, A., 1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung: Al-Ma‟arif.
Makarao, Taufik, Muhammad, 2005. Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana
Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan,
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Rafiq, Ahmad, 2003. Hukum Islam di Indonesia, Cet. 6, Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada.
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Pidana islam (Fiqih Jinayah), Bandung:
Pustaka Setia.
Riyadi Eko. 2018. Hukum Hak Asasi Manusia Perspektif Internasional,
Regional dan Nasional. Depok: GrafindoPersada.
Wahbah Juhaili. 2010. Fikih Imam Syafi’i, Jakarta: Al-Mahira.

26
27

You might also like