You are on page 1of 21

Meningitis Tuberkulosa

Hazirah binti Hashim*

Pendahuluan

Sistem saraf pusat merupakan sistem dalam tubuh yang sangat penting karena di situ
letaknya otak dan medulla spinalis yang berfungsi sebagai pusat pengendalian segala aktivitas
tubuh manusia. Seandainya terjadi infeksi di bagian tersebut, tidak mustahil bagian tubuh yang
lain akan turut terpengaruh karena sistem saraf manusia berhubungan dengan pusat kawalannya.
Bagian otak dan medulla spinalis tertentu memiliki fungsi yang berbeda-beda, berkaitan erat
dengan pembuluh darah dan saraf yang melaluinya.

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piamater, arakhnoid,
dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang
superfisial. Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi
virus, bakteri, dan jamur. Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan obat-obatan tertentu.
Meningitis tuberkulosa merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Dibandingkan dengan jenis-jenis tuberkulosa lain,
meningitis tuberkulosis paling banyak menyebabkan kematian.1

*Alamat korespondensi: Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta
11510. Email: hashimhazirah@yahoo.com

1
1. Anamnesis
Anamnesis adalah pengumpulan data status pasien yang didapat dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keadaan pasien. Tujuan dari anamnesis antara
lain: mendapatkan keterangan sebanyak mungkin mengenai penyakit pasien, membantu
menegakkan diagnosa sementara dan diagnosa banding, serta membantu menentukan
penatalaksanaan selanjutnya. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarah masalah
pasien dengan diagnosa penyakit tertentu. Pada pasien anak, anamnesis biasanya akan dilakukan
secara aloanemnesis yaitu dengan bertanyakan kepada orang tua atau ahli keluarga terdekat
tentang pasien. Adapun anamnesis meliputi: pencatatan identitas pasien, keluhan utama pasien,
riwayat penyakit pasien serta riwayat penyakit keluarga.

a. Identitas penderita
- Nama - Agama, suku bangsa
- Umur/tanggal lahir (60 tahun) - Pendidikan/pekerjaan
- Jenis kelamin (Pria)
- Alamat

b. Keluhan utama

Keluhan utama perlu diketahui, yaitu keluhan yang menyebabkan pasien dibawa berobat.
Pada kasus ini, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya ke UGD RS karena kejang
kaku di seluruh tubuhnya dan berulang sejak 1 hari yang lalu.

c. Riwayat penyakit sekarang

Tanyakan sejak kapan terjadinya kejang kaku, frekuensi kejang, keadaan saat kejang dan
pasca kejang dan interval kejang. Keluhan tambahan seperti demam, suhu sebelum dan selepas
kejang serta batuk pilek juga turut ditanyakan.1

Pada kasus ini, kejang kaku seluruh tubuh berlangsung sebanyak 3 kali dalam waktu 24
jam selama 5 menit setiap episode kejang. Di antara episode kejang pasien tampak lemah dan
sering tidur. Demam subfebris sejak 2 bulan yang lalu dan sudah berobat kemantri namun tidak
kunjung sembuh. Berat badan turun 2 kg.

2
d. Riwayat penyakit dahulu

Kemudian, tanyakan riwayat penyakit dahulu kemungkinan pasien ini sudah sering
terjadi hal yang sama atau baru pertama kali.

e. Riwayat penyakit keluarga

Ditanyakan riwayat penyakit keluarga yaitu orang tuanya ada atau tidak mengalami hal
yang serupa. Pada kasus ini, nenek pasien meninggal 1 tahun yang lalu karena batuk-batuk
kronis dan batuk berdarah. Kemungkinan anak tersebut telah terpajan tuberkulosa yang dihidapi
neneknya.

f. Riwayat imunisasi

Riwayat imunisasi ditanyakan untuk memastikan pasien mendapat imunisasi cukup. Pada
kasus ini, pasien sudah mendapatkan imunisasi lengkap kecuali BCG. BCG bertujuan mencegah
penyakit tuberculosis. Bisa diberikan sejak bayi baru lahir, namun paling efektif saat bayi usia 1-
2 bulan. Imunisasi BCG diberikan sekali dan tidak perlu diulang, kecuali kalau gagal, karena
antibody akan terus ada seumur hidup.

g. Riwayat antenatal dan persalinan

Riwayat antenatal dan persalinan juga penting ditanyakan untuk memastikan kesehatan ibu
saat kehamilan dan tiada berlaku infeksi atau komplikasi sewaktu kelahiran.2

2. Pemeriksaan fisik

Dilaporkan bahawa anak tersebut mempunyai berat badan 15 kg (normal 18 kg), letargi,
tampak pucat, konjungtiva anemis, pembesaran kalenjar getah bening positif dan suara nafas
ronki basah halus pada paru kanan bawah.

Anak yang datang harus dinilai tingkat kesadarannya. Ia adalah ukuran dari kesadaran
dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan. Orang normal dapat berada dalam
keadaan sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh rangsang, misalnya

3
rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang
berfungsi mempertahankan kesadaran.2

Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi dan
bila perlu memberikan rangsang nyeri:

1. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual,
auditoar dan taktil yang ada disekitarnya.
2. Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau
dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara
yang kuat?
3. Nyeri. Bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?

Penyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu: meningkatkan atau
menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului penurunan
kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau eksitasi serebral
dapat ditemukan tremor, euphoria dan mania. Pada mania, penderitanya dapat merasakan ia
hebat (“grandiose”); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara dan insomnia.

Penderita delirium menunjukkan panurunan kesadaran disertai peningkatan yang


abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini,
pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat,
meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, di antaranya adalah kurang tidur oleh berbagai obat,
dan gangguan metabolic toksik.

Secara sederhana, tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal (kompos
mentis), somnolen, spoor, koma-ringan dan koma.

1. Somnolen ialah keadaan mengantuk. Kesadran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai: latergi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh
mudahnya penderita dibangunkan, mampu member jawaban verbal dan menangkis
rangsang nyeri.
2. Sopor (stupor) ialah kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat

4
mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang
nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak
konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
3. Koma-ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap rangsang
verbal. Reflex (kornea, pupil) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons
terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban “primitive”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
4. Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali
terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan
rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.2

Eye ( respon membuka mata) Score


spontan 4
dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). 3
dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) 2
tidak ada respon 1

Verbal (respon verbal) Score


orientasi baik 5
bingung, berbicara mengacau, disorientasi tempat dan waktu. 4
kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,tidak dalam satu kalimat 3
suara tanpa arti (mengerang) 2
tidak ada respon 1

5
Motor (respon motorik) Score
mengikuti perintah 6
melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) 5
withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi 4
rangsang nyeri)
flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat 3
diberi rangsang nyeri).
extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal 2
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
tidak ada respon 1

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E, V dan M.
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Dilakukan juga pemeriksaan saraf kranial pada pasien. Dilaporkan nervus III, IV dan VI
abnormal. Untuk memeriksa N. III, IV dan VI, pemeriksa harus memerhatikan apakah kelopak
mata jatuh (ptosis). Pasien diminta mengikuti gerakan jari pemeriksa dengan mata membentuk
huruf H. Juga perhatikan gerakan mata mulus atau jerky, adakah nistagmus yaitu gerakan bola
mata diluar kemauan pasien. Turut ditanyakan apakah diplopia (melihat kembar).

Selain itu di tes juga tanda rangsang meningeal dengan melakukan pemeriksaan kaku
kuduk, tanda brudinzki, tanda laseque dan tanda kernig.

a. Kaku kuduk: Untuk memeriksa kaku kuduk, tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau
berat.

b. Kernig sign: Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada

6
persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135° terhadap paha. Bila terdapat tahanan
dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.

c. Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien
yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut,
kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik
berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini positif.

e. Lasegue sign: Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua
tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi)
persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi
(lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila
sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Lasegue positif.
Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.2

Gambar 1: Pemeriksaan Brudzinski dan Kernig.

7
Juga dilakukan reflex babinski yang merupakan indikasi kelainan pada jalur control
motorik utama dari korteks serebral. Refleks Babinski ialah tindakan reflex jari-jari kaki, yang
normal selama masa bayi tetapi abnormal setelah usia 12 sampai 18 bulan Tes reflex babinski
ditimbulkan dengan stimulus gesekan pada telapak kaki, yang menghasilkan dorsofleksi jari
besar dan pengembangan jari-jari yang lebih kecil. Biasanya menyebabkan semua jari-jari kaki
menekuk ke bawah.

Gambar 2: Refleks Babinski

Pada kasus anak laki-laki ini dilaporkan pemeriksaan kaku kuduk (+), brudzinski I dan II
(+) dan reflex Babinski (+).2

3. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis meningitis tuberkulosa mungkin sukar pada permulaan perjalanan yang


memerlukan tingkat kecurigaan yang tinggi pada pihak klinisi. Uji kulit tuberculin yang tidak
reaktif ada pada sampai 50% kasus dan 20-50% anak mempunyai radiografi dada normal. Uji
laboratorium yang paling penting untuk diagnosis meningitis tuberkulosa adalah pemeriksaan
dan biakan CSS lumbal. Cairan serebrospinal jernih atau santokrom. Angka leukosit CSS
biasanya berkisar dari 10-500 sel/mm3. Leukosit polimorfonuklear mungkin ada pada mulanya,
tetapi limfosit dominan pada sebagian besar kasus. Glucose CSS khas kurang dari 40 mg/dL
tetapi jarang dibawah 20 mg/dL. Kadar protein naik dan mungkin sangat tinggi (400-5.000
mg/dl) akibat hidrosefalus dan blockade spinal.3

Keberhasilan pemeriksaan mikroskop CSS yang diwarnai tahan asam dan biakan
mikobakterium terkait secara langsung dengan ukuran sampel CSS. Pemeriksaan atau biakan
sejumlah kecil CSS tidak mungkin memperagakan M. tuberculosis. Jika 5-10 mL CSS lumbal

8
dapat diambil, pewarnaan tahan asam sedimen CSS positif sampai 30% kasus dan biakan positif
pada 50-70% kasus.

Biakan cairan lain seperti aspirat lambung atau urin, dapat membantu memperkuat
diagnosis. Dari pemeriksaan radiologi, foto toraks dapat menunjukkan adanya gambaran
tuberkulosis. Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada
80% kasus berupa kelainan difus atau fokal. CT-scan kepala dapat menentukan adanya dan
luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari
pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis
tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran
yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans
yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu,
dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus.2,3

Hasil pada kasus ini, pemeriksaan darah lengkap: Hb 10 g/dL, Ht 35%, leukosit 6.000/uL,
trombosit 200.000/uL. Pemeriksaan darah lengkap normal. Lumbal pungsi: warna kuning jernih,
predominan limfosit 30/uL, protein 150 mg/dL, glukosa 20 mg/dL.

Tabel 1: Analisis Cairan Serebrospinalis.

Warna Leukosit Glukosa Protein Mikrobiologi


(mg/dL) (mg/dL)
Normal Jernih 0-5 50-75 15-40 Negatif
limfosit
0 PMN
Meningitis Normal/ 100-500 Berkurang Meningkat Pewarnaan
TBC santokrom ↑(monon <40 >100 BTA, PCR,
uclear) kultur

4. Anatomi

Sistem saraf pusat terdiri daripada otak dan medulla spinalis, meninges pula berperan
sebagai jaringan ikat yang melindungi kedua otak dan medulla spinalis. Terdapat tiga jaringan
ikat yang melindung otak dan medulla spinalis yang terdiri dari duramater, araknoidmater dan
piamater.

9
Duramater adalah lapisan paling luar dan merupakan lapisan fibrosa yang padat dan kuat,
yang membungkus otak. Ia terdiri dari dua lapisan fibrosa yang melekat erat yaitu lapisan
periosteal dan lapisan meningeal. Lapisan luar dura atau lapisan periosteal adalah periosteum
untuk lempeng bagian dalam tulang tengkorak. Lapisan dalam dura yang juga disebut lapisan
meningeal, tertanam sampai ke dalam fissura otak dan terlipat kembali ke arahnya. Ia
mempertahankan hubungan yang erat dengan otak di dalamnya. Lapisan ini juga merupakan
selubung tubular bagi saraf-saraf otak, pada saat saraf otak melalui foramina di basis cranii. Di
luar tengkorak, selubung ini menyatu dengan epineurium saraf. 1

Lapisan meningeal membentuk empat septum ke arah dalam yang membagi cavum cranii
menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian dalam
otak. Fungsi septum-septum ini adalah untuk menghambat pergeseran otak. Septum pertama
adalah falx cerebri yang terletak dalam fissura longitudinal antara hemispherium serebri
langsung memisahkan hemisfera kiri dan kanan. Ujung depannya yang sempit melekat pada
crista galli tulang ethmoid. Septum kedua pula ialah falx serebelli yang membentuk bagian
pertengahan antara hemispherium serebelli. Septum ketiga yaitu tentorium serebelli pula
memisahkan serebrum dari serebellum. Manakala septum yang terakhir yaitu diaphragma sellae
memanjang di atas sela tursika. Tangkai kecil di tengahnya dilalui oleh tangkai glandula
hypophysis cerebri.

Pada saat lapisan periosteal dan lapisan meningeal terpisah, sewaktu pembentukan
pemisah-pemisah lapisan ini, kedua jenis lapisan ini membentuk sebuah rongga. Rongga-rongga
ini dilapisi oleh endotel dan membentuk sinus-sinus venosus rongga kepala. Ruang subdural
memisahkan duramater dari arachnoid pada regia kranial dan medulla spinalis. Ruang epidural
pula adalah ruang potensial antara periosteal luar dan lapisan meningeal dalam pada duramater di
regia medulla spinalis.2

Arachnoidmater adalah selaput halus yang meliputi otak dan terletak di antara piamater di
sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarachnoideum yang terisi
oleh liquor cerebrospinalis (LCS) dan mengandung pembuluh darah yang mendarahi otak.
Terdapat juga villi arachnoidales yang terdapat paling banyak di sepanjang sinus sagittalis
superior. Ia berfungsi sebagai tempat perembesan LCS ke dalam aliran darah.3

10
Piamater adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak.
Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah untuk mensuplai jaringan saraf.

Gambar 3: Meningens di Sistem Saraf Pusat

5. Working diagnosis

Working diagnosis pada kasus ini adalah meningitis tuberculosis. Meningitis tuberculosis
adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberculosis primer. Secara histologik meningitis
tuberculosis merupakan meningo-ensefalitis (tuberkulosa) dimana terjadi peradangan pada
selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke
berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput
otak.4

Diagnosis meningitis tuberkulosis diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, yang mana
pemeriksaan neurologis (kaku kuduk, brudzinski dan babinski) positif. Juga pemeriksaan lumbal
pungsi yaitu warna kuning jernih, predominan limfosit 30/uL, protein 150 mg/dL, glukosa 20
mg/dL yang mengarahkan kepada meningitis. Adanya riwayat pajanan tuberkulosa sebelumnya
seperti pada anak ini yaitu melalui neneknya, dapat membantu menegakkaan diagnosis

11
tuberkulosis. Selain itu, anak ini tidak mendapatkan imunisasi BCG dan ini menyebabkan dia
rentan untuk terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberkulosis.

Meningitis tuberkulosa biasanya berasal dari pembentukan lesi pengkejuan metastatic


didalam korteks serebri atau meningens yang berkembang selama penyebaran limfohematogen
infeksi primer. Lesi awal ini bertambah besar dan mengeluarkan basil tuberkel ke dalam ruang
subarachnoid. Hasilnya berupa eksudat gelatin yang dapat menginfiltrasi pembuluh darah
kortikomeningeal, menimbulkan radang, obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Batang otak
sering merupakan tempat keterlibatan yang paling besar, yang memberi penjelasan seringnya
keterkaitan disfungsi saraf III, VI dan VII.1,4

Gambar 4: Meningens yang telah terinfeksi

6. Differential diagnosis
a. Meningitis bakterialis

Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh


infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Bakteri penyebab meningitis terbanyak disebabkan oleh:
Hemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis. Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis, trauma
kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya. Gejala klinis pada bayi
dan anak-anak adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle),
konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea,
vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat
hipotermia. Melalui metode lumbal punksi, dapat dilihat adanya inflamasi pada meningen

12
ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan
LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai.5

Tabel 2: Perbandingan LCS meningitis bakterialis dan meningitis TBC.

Warna Leukosit Glukosa Protein Mikrobiologi


(mg/dL) (mg/dL)
Meningitis Keruh/ 100-5000 <40 >100 60%
Bakterial purulen >80% PMN pewarnaan
gram
80% kultur
Meningitis Normal/ 100-500 Berkurang Meningkat Pewarnaan
TBC santokro Dominasi <40 >100 BTA, PCR,
m sel MN kultur

b. Ensefalitis

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai virus, contohnya herpes simpleks,
cytomegalovirus, adenovirus, herpes zoster dan HIV. Pada encephalitis terjadi peradangan
jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medula spinalis. Secara umum,
gejala berupa Trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. Adapun
tanda dan gejala Ensefalitis sebagai berikut:

 Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia


 Kesadaran dengan cepat menurun
 Muntah
 Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di
muka)
 Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal
paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya

c. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

Kejang demam kompleks hampir sama dengan kejang demam sederhana dari segi usia anak dan
demam. Kebiasaanya terjadi pada anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun dan anak dalam
keadaan demam sebelum kejang. Namun begitu, kejang ini berlangsung lama (> 15 menit) atau

13
kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum yang didahului kejang parsial.1

d. Epilepsi

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang
dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik neuron-
neuron serebral secara eksesif dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Etiologi utama
epilepsy adalah idiopatik. Antara faktor lain adalah herediter, genetik, kelainan congenital otak,
gangguan metabolik; hipokalsemia, hiponatremia, infeksi, trauma, Neoplasma otak dan
selaputnya serta kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen. Epilepsi dapat dibagi
dalam tiga golongan utama antara lain:

 Epilepsi Grand Mal


Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron
diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak dan
talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
 Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan kesadaran
selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini penderita merasakan beberapa
kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan
mata.
 Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regional setempat pada korteks
serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal
disebabkan oleh lesi organik setempat atau adanya kelainan fungsional.5

7. Epidemiologi

Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas


tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur

14
dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka
kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 20-50%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual.6

8. Etiologi

Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulos jenis hominis, jarang oleh
jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis varian hominis merupakan basilus tahan
asam yang merupakan penyebab pathogen yang banyak menginfeksi sistem nervus.
Mycobacterium tuberculosis berbentuk pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 - 3 μ, mempunyai
sifat bakteri tahan asam, dan dapat hidup selama berminggu – minggu dalam keadaan kering,
serta lambat bermultifikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Pewarnaan Ziehl-Neelsen
dapat dilakukan identifikasi bakteri tahan asam ini.7

Gambar 5: Mycobacterium Tuberculosis pada pewarnaan Ziehl- Neelsen.

9. Patogenesis

Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput


otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi
infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis
primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses
reaktivasi tersebut adalah trauma kepala.

Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan


protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas

15
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal
otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.5

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:

1. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan
saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada
stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf
yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan
timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil
saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen.

2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi
sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.

16
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.

3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan


mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi secara perlahan-
lahan atau cepat.4,5

Peningkatan permeabilitas sawar otak menyebabkan masuknya protein lebih banyak ke


dalam ruang subarachnoid, dan menahan lebih banyak air. Penurunan aliran darah otak
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak, keadaan ini menyebabkan suatu hipoksia,
sehingga metabolisme berubah dari sistem aerob menjadi anaerob, dan pemakaian gula darah
menjadi lebih banyak digunakan dan penghasilan asam laktat yang meningkat, keadaan ini
dikenal sebagai ensefalopati toksik, terkadang jika kondisi ini dapat ditegakkan maka
diagnosisnya akan menjadi meningoensefalitis. Peradangan pada selaput otak sendiri akan
memberikan sarangan pada saraf sensoris sehingga menimbulkan refleks-refleks yang khas yang
dikenal sebagai tanda meningeal, seperti kaku kuduk, tanda burdzinki dan kernig; namun pada
neonatus tanda ini tidak spesifik timbul, oleh karena sistem mielinisasi yang belum sempurna.
Jika mengenai nerve roots maka akan timbul tanda-tanda seperti hiperestesi dan fotofobia.

10. Gejala klinis

Tanda-tanda dan gejala-gejala lebih sering memburuk perlahan-lahan selama beberapa


minggu dan dapat dibagi menjadi tiga stadium

Stadium I

Stadium pertama, yang secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh gejala-gejala non
spesifik, seperti demam, nyeri kepala, sakit perut, nausea, muntah, apatis/iritabel.Tanda-tanda
neurologis setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami stagnasi atau kehilangan
perkembangan kejadian yang penting. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, tidak ada
nafsu makan, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu.

17
Stadium II

Pada stadium kedua, gejala terlihat lebih berat. Pada anak kecil dan bayi terdapat kejang
umum atau fokal. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, Tanda Kernig atau
Brundzinki positif, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Kesadaran
makin menurun. Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela
dan pergelangan kaki. Terdapat gangguan nervi kraniales antara lain N.II, III, IV, VI, VII dan
VIII. Umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Dalam stadium ini dapat terjadi deficit neurologic fokal seperti hemiparesis,
hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Beberapa anak tidak mempunyai bukti
adanya iritasi meningeal tetapi dapat mempunyai tanda-tanda ensefalitis, seperti disorientasi,
gangguan gerakan, atau gangguan bicara.

Stadium III

Dalam stadium terminal ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak teratur dan terdapat
gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes, spasme klonik dan peningkatan suhu tubuh
sehingga 40°C. Gangguan miksi berupa retensi atau inkotinensia urin. Di dapatkan pula adanya
gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan sebagaimana
mestinya.

Tiga stadium di atas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang lainnya,
namun jika tidak diobati umunya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.6

11. Penatalaksanaan

Pengobatan meningitis tuberkulosa harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang
sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan peningktan tekanan intrakranial.
Pengobatan biasanya terdiri dari kombinasi INH, rifampisin dan pyrazinamide, kalau berat dapat
ditambahkan etambutol atau streptomisin. Pengobatan minimal 9 bulan, dapat lebih lama.
Pemberian kortikosteroid sebagai anti inflamasi, menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati

18
edema otak. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid selama 2-3 minggu
kemudian diturunkan secara bertahap sampai lama pemberian 1 bulan. Ada yang memberikan
sampai dengan 3 bulan.

Hidrosefalus diobati dengan pemasangan pirau ventrikulo-peritaneal oleh ahli bedah


saraf. INH bersifat bakteriosid dan bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20 mg/kg BB / hari
maksimum 300 mg/hari secara oral. Pemberian minimal selama 1 tahun. Komplikasi penggunaan
INH berupa neuropati perifer, dan dapat dicegah dengan pemberian piridoksin 20-50 mg/hari.
Pemberian piridoksin pada bayi dan anak tidak begitu perlu, yang perlu pada adolesens. Apabila
INH diberikan bersa-sama dengan rifampisin kejadian hepatotoksik meningkat terutama apabila
dosis melebihi 10 mg/kg BB/ hari.

Rifampisin bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari secara oral
sebelum makan, diberikan selama minimal 9 bulan. Rifampisin menyebabkan urin pasien
berwarna merah. Efek samping berupa hepatitis, kelainan gastrointestinal, dan trombositopenia.
Pirazinamide (PZA) bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari atau 50-
70 mg/kgBB dua kali seminggu dengan dibagi dalam 2-3 dosis, diberikan selama 2 bulan secara
oral. Ethambutol bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 50
mg/kgBB dua kali seminggu secara oral selama minimal 9 bulan. Pada anak usia muda dapat
terjadi neuritis optika atau atrofi optik, sehingga diberikan pada anak diatas 5 tahun. Streptomisin
bersifat bakteriosid diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB/hari. Efek samping berupa gangguan
vestibular atau auditori, tetapi lebih sering gangguan keseimbangan.1-3

12. Pencegahan

Meningitis tuberkulosa dapat dicegah dengan mendapatkan imunisasi BCG. Ia bertujuan


mencegah penyakit TB (tuberkulosis). Bisa diberikan sejak bayi baru lahir, namun paling efektif
saat bayi usia 1—2 bulan. Imunisasi BCG diberikan sekali dan tak perlu diulang (kecuali kalau
gagal), antibodi akan terus ada seumur hidup. Sering kunci untuk diagnosis yang benar adalah
mengenali orang dewasa yang berkontak dengan anak yang menderita tuberculosis infeksius.
Karena masa inkubasi meningitis tuberculosis pendek, pada banyak kasus orang dewasa yang
menularkan belum terdiagnosis.7

19
13. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang
terlambat. Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Pasien yang bertahan hidup menderita
kecacatan permanen, termasuk kebutaan, tuli, paraplegi, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
Dapat terjadi hidrosefalus akibat sumbatan, reasorbsi berkurang atau produksi berlebihan dari
likuor serebrospinalis. Bisa juga terjadi SIADH (Syndrome of inapropriate diuretic hormone), di
mana terdapat oligouria dan penahan cairan dalam ruang subarachnoid (hipervolumea) bahkan
pada keadaan hiposmoler sekalipun. Hal ini akan menimbulkan peningkatan TIK (tekanan
intrakranial) yang pada anak dengan fontanela mayor (ubun-ubun besar) belum tertutup dengan
sempurna bisa ditemukan pencembungan, dan timbul suatu bentuk water intoxication yang
menimbulkan penampakan klinis berupa letargi, mual dan muntah.6

14. Prognosis

Prognosis meningitis tuberculosis berkorelasi paling dekat dengan stadium klinis


penyakit pada saat pengobatan dimulai. Sebagian besar penderita pada stadium 1 mempunyai
hasil akhir yang sangat baik, sedang kebanyakan penderita pada stadium 3 yang bertahan hidup
menderita kecacatan permanen, termasuk kebutaan, tuli, paraplegi, diabetes insipidus, atau
retardasi mental. Prognosis pada bayi muda lebih jelek daripada anak yang lebih tua. Adalah
penting sekali bahawa pengobatan antituberkulosis dipikirkan pada setiap anak yang berkembang
meningitis basiler dan hidrosefalus tanpa etiologi lain yang jelas.5

Kesimpulan

Berdasarkan kasus, anak laki-laki tersebut mengalami meningitis tuberkulosa.


Penanganan meningitis tuberkulosa hendaknya dilaksanakan secara terpadu, dengan melakukan
anamnesis yang baik, pemeriksaan klinis yang teliti, pemeriksaan stadium klinik akhirnya
pemilihan cara pengobatan yang tepat.

20
Prognosa ketahanan hidup (survival) dan harapan hidup (expectancy of life) tergantung
dengan stadium klinis penyakit pada saat pengobatan dimulai. Sebagian besar penderita pada
stadium 1 mempunyai hasil akhir yang sangat baik, sedang kebanyakan penderita pada stadium 3
yang bertahan hidup menderita kecacatan permanen, termasuk kebutaan, tuli, paraplegi, diabetes
insipidus, atau retardasi mental. Prognosis pada bayi muda lebih jelek daripada anak yang lebih
tua.

Daftar Pustaka

1. Micheal J. Aminoff, DSc , MD. Current Medical Diagnosis and Treatment. 49th Edition.
Lange Medical Publications:2010; United Kingdom.p.949-956.

2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik, pemeriksaan fisik dan mental. Edisi ke-16. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta; 2013.p.87-151.

3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga Medical
Series; 2005.h.68-88.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatric. 17th ed.
Philadelphia: WB Suders company; 2003.p.566-8.

5. Neal MJ. At a glance, farmakologi medis. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h.42-3.

6. Dewanto G, Riyanto B. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Edisi pertama. Penerbit
Buku Kedokteran ECG: Jakarta; 2009.p. 58-65.

7. Suyitno, Hariyono. Pedoman Imunisasi Di Indonesia Ed 3. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan


Dokter Anak Indonesia; 2008.p. 45-67.

21

You might also like