You are on page 1of 157

MICROCOCCACEA

Dr. Latre Buntaran Sp.MK (K)


Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
UKRIDA

1
(1)
Klasifikasi bakteri
Grup Spesies terpenting
 Staphylococcus spp.
 Kokus  Streptococcus spp.
 Enterococcus spp.
Positif-gram
aerob  Bacillus spp.
 Batang  Listeria spp.
 Corynebacterium
spp.

2
(2)
Klasifikasi bakteri

 Escherichia spp.
 Klebsiella spp.
 Coliform  Proteus spp.
(Enterobacteriacae )  Salmonella spp.
 Shigella spp.

Batang aerob  Vibrio  Vibrio spp.


negatif-gram
 Campylobacter  Campylobacter spp.
 Helicobacter spp.

 Pseudomonas  Pseudomonas spp.


3
(3)
Klasifikasi bakteri

 Haemophilus spp.
 Neisseria spp.
Negatif-gram  Legionella spp.
( fastidious )  Bordetella spp.

 Bentuk spora  Clostridium spp.

 Bentuk non-spora  Bacteroides spp.


 Fusobacterium spp.
Anaerob
 Spirochaetes  Treponema spp.
 Borrelia spp.
 Leptospira spp. 4
(4)
Klasifikasi bakteri

Mikobakteri Mycobacterium spp.

Mikoplasma  Mycoplasma spp.


 Ureaplasma spp.

Khlamidia Chlamydia spp.

Riketsia  Rickettsia spp.


 Coxiella spp. 5
 Sifat umum:

 coccus, bergerombol , Gram (+).

 aerob, tetapi dapat bersifat fakultatif anaerob.

 dapat tumbuh dengan 7.5% NaCl.

 katalase (+) 6
 Spesies yang penting untuk medik:

 Staphylococcus aureus → penyebab berbagai infeksi pada manusia.

 S.epidermidis → penyebab infeksi oportunis pada penderita


immunocompromise.

 S.saprophyticus → penyebab infeksi oportunis pada saluran kemih


wanita.

 Struktur dinding sel:

 Teichoic acid: S.aureus → ribitol teichoic acid


S.epidermidis → glycerol teichoic acid.

 peptidoglycan: anyaman muramic acid dengan cross link pentaglycine.


7
S.aureus S.epidermidis S.saprophyticus
 Warna koloni kuning Putih Putih-abu2

 Hemolysis +  -

 Coagulase + - -

 Fermentasi manitol + - +

 Novobiocin sensitif sensitif resisten

8
9
 S.aureus
 Ada dimana-mana

 30% normal berkolonisasi pada hidung, ketiak, perineum.

 Penyebaran dirumah-sakit sering melalui tangan petugas medis

 CNS ( Coagulase Negative Staphylcoccus )


 Terdapat pada permukaan mukosa dan kulit ( flora normal )

 Infeksi biasanya endogen dan sering menjadi penyebab infeksi


nosokomial ( nosocomial line infections )
 Bakteri ini patogenisitasnya rendah, tapi sering jadi penyebab
infeksi karena adanya benda asing

10
 Kolonisasi mendahului terjadinya infeksi

 Awal infeksi, S.aureus melekat pada jaringan melalui reseptor yang


melibatkan interaksi protein tubuh

 Reservoir utama adalah hidung ( pada pasien dialisa ) dan orofarings


( pada pasien yang diintubasi )

 Kolonisasi meningkat pada keadaan-keadaan :


 Lama dirawat di RS
 DM
 Eczema
 Pasien hemodialisa
 Narkoba suntik
 Orang-tua
 HIV 11
 Jarang pada orang sehat

 Faktor penting dari infeksi CNS adalah adanya


defek pada membran mukosa / kulit,
imunosupresi dan adanya benda asing

 Neonatus dengan infus cairan lipid merupakan


faktor yang dapat meningkatkan terjadinya
infeksi oleh CNS

 Faktor lain adalah pemberian antibiotik 12


13
14
 Take home message :

 Faktor terpenting sehubungan dengan


infeksi CNS adalah adanya benda asing
pada tubuh seperti : indwelling catheters,
intravascular catheters, CSF shunts,
prosthetic joints, dll.

15
 Invasi
langsung  merusak jaringan 
penyebaran lokal atau hematogen

 Efek toxin

16
1. Superfisial
 Pyoderma termasuk impetigo, paronychia

 Infeksi kulit dan jaringan lunak mis. bisul, selulitis

2. Dalam
 Septic arthritis

 Osteomyelitis

 Pyomyositis

17
a. Pyoderma (impetigo)

 infeksi kulit yang sangat menular.


 berupa vesikula berbagai ukuran terisi cairan jernih atau kekuningan.
 terutama pada ekstremitas setelah digigit nyamuk atau trauma lain.
 penyebab: S.aureus, mungkin juga S.epidermidis atau Streptococcus

b. Folliculitis, furuncle dan hordeolum (bintit)

 akibat infeksi akar rambut.


 Folliculitis → infeksi terbatas pada akar rambut (kecil), dapat disebabkan
S.aureus, S.epidermidis atau Pseudomonas aeruginosa (whirlpool folliculitis).
 Furuncle → infeksi lebih luas, perlu drainage supaya sembuh.

c. Abscess dan carbuncle

 (multiple abses yang saling berhubungan akibat infeksi akar rambut atau
kelenjar minyak/sebaceous).
 Infeksi ini lebih serius karena dapat menjadi sumber bakteremia.

18
 Bakteremia  septic shock or multiple
organ system failure

 Absesmetastase di berbagai organ ( otak,


paru, hati, limpa, ginjal, saluran genital,
retroperitoneum )
19
 Osteomyelitis

 S.aureus paling sering menyebabkan osteomyelitis,


khususnya pada anak-anak, biasanya sumber infeksi dari
tempat lain → hematogen → tulang.

 Pneumonia.

 Endocarditis akut.

 Timbul infeksi pada katup jantung,


 Sering pada intravenous drug abuser dan penderita ganti
katup jantung.
 Endocarditis awal sering disebabkan S.epidermidis,
sedang yang lambat ( 2 bulan) disebabkan S.viridans.

 Arthritis, infeksi otak, bakteremia, septicemia.


20
Impetigo bullosa

Scalded Skin
Syndrome

21
Staphylococcus aureus
Pewarnaan Gram Scalded Skin syndrome

Carbuncl
e

22
 Kulit : staphylococcal
scalded-skin syndrome

 Gastro-intestinal : gastroenteritis

 Multi-sistem organ :toxic shock syndrome


23
 Enzymes mis. catalase, hyaluronidase, lipase, beta-
lactamase

 Toxins mis. β-toxins, leukocidin ( mematikan PMN dan


makrofag ), enterotoxin, TSS toxin 1

 Faktor sistim-imun mis. antigen-antibody complexes,


superantigens

 Komponen dinding sel mis. activated C, tnf, cytokines, dll

 Hemolysin (, ,  dan ).


-hemolysin → menimbulkan kerusakan jaringan.

 Protein A  merupakan protein permukaan sel yang


terikat pada peptidoglycan 24
 Protein A mengikat bagian Fc IgG → mencegah
antibodi mengikat bakteri → menghambat
timbulnya opsonisasi.

 Protein A-IgG dapat mengaktivasi komplemen →


timbul reaksi radang.

 Bila S.aureus masuk dalam darah → baik protein


A-IgG maupun peptidoglycan → dapat
mengaktivasi komplemen dalam jumlah besar →
diduga berperan dalam timbulnya septic shock
syndrome

25
 Eksotoksin.

 Eksotoksin pirogenik.

Cara kerja:

 Eksotoksin mengikat molekul MHC class II dari makrofag


dengan T Cell Receptor dari limfosit T helper ( ikatan ini tidak
antigen specific ) →
 aktivasi makrofag dan limfosit T helper dalam jumlah besar →
membebaskan dalam jumlah besar IL-1, TNF-α dan IL-6 →
 demam, kebocoran kapiler, kegagalan sirkulasi dan shock 
karena itu disebut sebagai superantigen.

 Enterotoksin.
 tahan panas dan tahan enzim pencernaan ( enterotokin A s/d F
)  diare dan muntah
26
 Kolonization  carriage / penebalan  produksi toxin
 Barier rusak / putus
 Invasi
 Bakteremia atau or septikemia
 Syndrom sepsis berat ( activated C, cytokines, toxin,
mediator lain )
 Komplikasi ( suppurative and inflammatory )
 Kematian 27
1. Mikroskopik.

 Kokus bergerombol, Gram (+)

2. Biakan.

 Staphylococcus mudah tumbuh pada media yang diperkaya,


 Aerob dan dapat tumbuh pada 7,5-10% NaCl atau 40% bile dimana bakteri
lain terhambat
 Agar darah utk. isolasi.
 MSA (Mannitol Salt Agar) utk isolasi
 S.aureus meragi mannitol , sedang S. epidermidis tidak meragi mannitol.

 Micrococcaceae → katalase (+).

3. Identifikasi.

 S.aureus dibedakan dari S. epidermidis dengan uji coagulase, S. aureus


( coagulase (+) )
 Coagulase mengaktivasi thrombin → plasma membeku.
28
SENTRY Program 1997-1999

50 46.8
41.6
39.2
40 37.1
% Prevalence

31.9
30

20

10

0
All regions Western Pacific U.S. Latin America Europe

Adapted from Diekema DJ, et al. Clin Infect Dis. 2001;32(suppl 2):S114-132. 29
Presumed Source of Bacteremia n (%)

Primary surgical wound infection 49 (67)

Intravascular catheter 12 (16)

Post-operative pneumonia 4 (5.5)

Other (biliary drains, etc) 6 (8.2)

Unknown 2 (2.7)

Adapted from Gottlieb GS, et al. J Am Coll Surg. 2000;190:50-57.


30
Superficial Staphylococcus
infection Streptococcus

Gram-
negative
Deep Bacilli
infection
Anaerobes

Nichols RL, et al. Clin Infect Dis. 2001;33(suppl 2):S84-S93.

31
32
Vanc (I)
1997
S. aureus

Mupirocin (R)
1987 S. aureus

1975 MRSA (multi-drug resistant)

1961 “Classic” MRSA

1944 Penicillin-resistant S. aureus

1950 1960 1970 1980 1990 2000


33
Year
100

80
% resistant

MRSE
60 MRSA

40
CA-MRSA
20 VRE
VISA VRSA

* 1975-2004
Lee SY, et al. Surg Infect. 2005;6:283-295. 34
100%

80%
% Resistance

60%

40%

20%

0%
Australia Hong Kong Japan Singapore Taiwan

Diekema DJ, et al Clin Infect Dis. 2001;32(suppl 2):S114-132 35


Prevalence of nosocomial MRSA
country author (year) % MRSA

China1 Li (2001) 81.8 %

Taiwan2 Hsueh (2004) 77 %

Korea3 Lee (2006) 68 %

USA4 NNIS (2004) 59.5 %

France5 van der Mee-Marquet (2004) 33 %


1
Li J, et al. Zhonghua Yi Xue Za Zhi. 2001;81:8-16.
2
Hsueh PR, et al. Antimicrob Agents Chemother. 2004;48:1361-1364.
3
Lee K, et al. Yonsei Med J. 2006;47;43-54.
4
NNIS System. Am J Infect Control. 2004;32:470-485.
36
5
van der Mee-Marquet N, et al. J Clin Microbiol. 2004;42:5650-5657.
SENTRY Program 1997-1999
60
Sentry Data
50

40
Percent (%) Resistant

30

20

10

0
Bloodstream Lung Skin/Soft Urine Overall
Tissue
Diekema DJ, et al. Clin Infect Dis. 2001:32;S114-S132. 37
 1961 : Barber, Europe

 Mid 1970 : Boyce J.M , USA

 1978 : Scragg J.N , South Africa

 1982 : Mc Donald P.J , Australia


38
 Transfer

 Community

 Nosocomial

F.Moreno et al , Clinical Infectious Diseases 1995 ; 21 : 1308 - 1312

39
WARDS POSITIVE
 Third class pediatric ward 31 ( 37.4% )
 PICU 9 ( 10.8% )
 First class pediatric ward 7 ( 8.4% )
 NICU/ LEVEL II 7 ( 8.4% )
 Second class pediatric ward 7 ( 8.4% )
 VIP class pediatric ward 2 ( 2.4% )
 Transitional neonatal ward 2 ( 2.4% )
 Surgical pediatric ward 1 ( 1,2% )
-------------------------------------------------- --------------------------------------------------
• In patients • 66 ( 79,5% )
• 17 ( 20,5% )
•Out patients

40
Specimens Positive
 Stools  40 ( 48.2% )
 Urines  24 ( 29% )
 Blood  9 ( 10.8% )
 Throat swab  4 ( 4.8% )
 Endotracheal tubes  2 ( 2.4% )
 Bronchial discharge  2 ( 2.4% )
 Peritoneal lavage  1 ( 1.2% )
 Neck abcess  1 ( 1.2% )

------------------------------------------ ---------------------------------------
 Total  83 ( 100 % )

41
 Spread between hospital by movement of
colonised or infected patients and staff

 Often multiple resistant

 Vancomycin or Teicoplanin - “drug of choice”

 Sepsis occurs in 5 -60% of this colonised --->


more frequently in ICU or surgical patients
( David Wilkis ) 42
 Beta-lactam antibiotics act by binding to Penicillin
Binding Proteins (PBPs)

 PBPs are enzymes involved in peptidoglycan synthesis

 MRSA produces a new PBP: PBP2’ or PBP2a

 PBP2’ binds poorly to methicillin, cloxacillin and


cephalosporins
43
 Hospital LOS >2 weeks
 Invasive procedure
 Intravascular catheterization
 Prolonged mechanical ventilation
 Prolonged stay in high-risk areas of
hospital
 ICU patients
 Orthopedic surgery
Rojo P et al. J Hosp Infect. 1999;42:135-41.
 Cardiovascular surgeryJensen AG et al. Arch Intern Med. 1999;159:1437-44.
44
 Diabetes
 End-stage renal disease
 Known colonization
 Long-term care
 Prior antibiotic administration
 Anergy
 Immunosuppressive therapy
 Liver failure
Hershow RC et al. Infect Control Hosp Epi. 1992;13:587.
Fierobe L et al. Clin Infect Dis. 1999;29:1231-8. 45
SENTRY Program 1997-1999
40

30
Percent (%) Prevalence

20

10

0
Latin America United States Europe Western Pacific

46
Diekema DJ, et al. Clin Infect Dis. 2001:32;S114-S132.
 Prolonged hospitalization1,2

 Increased morbidity1

 Increased risk of mortality3

 Linked to increased cost1,3,4 1. Carbon C. J Antimicrob Chemother. 1999;44:31-36.


2. The Brooklyn Antibiotic Resistance Task Force. Infect Control Hosp Epidemiol. 2002;23:106.
3. Rubin RJ, et al. Emerg Infect Dis. 1999;5:9-17.
47
4. Abramson MA, Sexton DJ. Infect Control Hosp Epidemiol. 1999;20:408-411.
21
25

20
Estimated Attributable

15
Mortality (%)

8
10

MRSA infections MSSA infections


48
Association Between
Mortality and Infection with MRSA
MSSA (n=165) MRSA (n=121) P Value
Clinical parameter
Mortality, 90 days 6.7% 20.7% <0.001

LOS, median days


After surgery 14 (7-25) 23 (12-38) <0.001
After infection 10 (4-17) 15 (7-30) 0.001
Hospital Costs
Median $52,791 $92,363
Mean $73,165 $118,415
Range $29,074 – $91,805 $40,198 – $136,479 <0.001
a
Mortality rates in these studies were attributable to bacteremia per se.
b
Relative risk by random-effect model (95% CI) = 2.03 (1.55-2.65) (P<0.001).
49
Adapted from Whitby M, et al. Med J Aust. 2001;175:264-267.
Red line: All
Yellow line: ICU
Green: Inpatients
Blue: Outpatients

* USA (1998-2005)
50
Styers D, et al. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2006;5:2.
40
35
30
Percent Resistance

25
20
15
10
5
0
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Non-ICU patients ICU patients 51


90
80
70
Percent Resistance

60
50
40
30
20
10
0
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Non-ICU patients ICU patients


52
 Emerging infection

 Occurs in patients with no known exposure to


hospitals or other MRSA-risk factors

 Generally sensitive to non-betalactam antibiotics


(non-multiresistant MRSA)

 Differ from typical nosocomial strains


(multiresistant MRSA)
Chambers HF. Emerging Infect Dis 2002; 7:178-82
53
CA-MRSA : an emerging threat in USA
500
nosocomial
Total cases of MRSA infections, No.

450
400 community-acquired with risk factors
350 community-acquired without risk factors
300
250
200
150
100
50
0
1990 91 92 93 94 95 96 97 98 90 2000 01 02 03

* 14-year study at Driscoll Children’s Hospital, Texas


Purcell K et al. Arch Pediatr Adolesc Med. 159;980-985, 2005 54
CA-MRSA : an emerging threat in USA

3,578 isolates of S. aureus from community-acquired


infections at Texas Children’s Hospital (Aug. 2001  Jul .2004)
2001-2002 2002-2003 2003-2004 P value

% MRSA 71.5 73.5 76.4 0.008

95.6 % of CA-MRSA : Skin and soft tissue infections


62 % of skin and soft tissue infections : CA-MRSA

Kaplan SL et al. Clin Infect Dis. 40;1785-91, 2005 55


CA-MRSA in Taiwan

464 children with S. aureus infections between 1997-2001 in NTUH

Incidence of CA-MRSA :
CA-MRSA / total community S. aureus infections 59 / 80 (74 %)
CA-MRSA / total MRSA infections 59 / 373 (15.8 %)

CA-MRSA with risk factors : only 51 % of CA-MRSA infections

Major infections by CA-MRSA : SSTI (92 %), bacteremia (7 %),


osteomyelitis (3 %), pneumonia (2 %)

Fang YH et al. J Microbiol Immunol Infect. 37;29, 2004 56


57
58
CA-MRSA : in vitro susceptibility

100

80
% Susceptible

60
,

40

20

0
in n n Z lid e
yc pi ici M o lin yc
in
acin ycin
m ifa
m m P-
S ez y c
am ox m
co R ta iL n ra
c d fl ro
n Ge
n TM t i n ro
yt
h
Va Te Cl Ci
p
Er

Fridkin SK, et al. N Engl J Med. 2005;352:1436-1444. 59


MRSA/ORSA

60
Setting Risk Factors for Infection and Colonization
 Previous hospital stay1,2
 Prolonged length of stay prior to infection1
Hospitals  Surgical procedure(s)1
 Enteral feeding1
 Levofloxacin use1

Presence of decubitus ulcer3
Long-Term Care Facilities 
Presence of wounds3
Prior Antibiotic Exposure4,5
 Third-generation cephalosporins6
 Fluoroquinolones1,7,8

1. Graffunder EM, Venezia RA et al. J Antimicrob Chemother. 2002;49:999-1005.


2. Asensio A, et al. Infect Control Hosp Epidemiol. 1996;17:20-28.
3. Terpenning MS, et al. J Am Geriatr Soc. 1994;42:1062-1069.
4. Hershow RC, et al. Infect Control Hosp Epidemiol. 1992;13:587-593.
5. Law MR, et al. Epidemiol Infect. 1988;101:623-629.
6. Peacock JE, et al. Ann Intern Med. 1980;93:526-532.
7. Evans ME, et al. J Antimicrob Chemother. 1998;41:285-288.
61
8. Harbarth S, et al. Clin Infect Dis. 2000;31:1380-1385.
 Antibiotic exposure

 Cephalosporins

 Vancomycin

 Quinolones
Law MR, et al. Epidemiol Infect. 1988;101:623-629.
Asensio A, et al. Infect Control Hosp Epidemiol. 1996;17:20-28.
Peacock JE, et al. Ann Intern Med. 1980;93:526-532.
Hershow RC, et al. Infect Control Hosp Epidemiol. 1992;13:587-593.
Harbarth S, et al. Clin Infect Dis. 2000;31:1380-1385.
Evans ME, et al. J Antimicrob Chemother. 1998;41:285-288.
62
 Interventions
 Reduced use of selected antibiotics
 3rd-generation cephalosporins
 clindamycin

 vancomycin

 Increased use of beta-lactam/beta-


lactamase- inhibitor combinations
Piperacillin/tazobactam is not appropriate therapy for known MRSA or ESBL infections.

Landman D, et al. Clin Infect Dis. 1999;28:1062-1066. 63


25
P=0.03
20

15
per 1,000 Discharges
No. of New Patients

10
P=0.02
5

0
MRSA MRSA CTZ-Resistant K. pneumo
Ceftazidime-resistant
K. pneumoniae
Baseline period Postintervention period

Landman D, et al. Clin Infect Dis. 1999;28:1062-1066.


64
4.0
MRSA
3.0 MSSA
OR

2.0

1.0

0.0
Levofloxacin Ciprofloxacin

Reprinted with permission from Weber SG, et al. Emerg Infect Dis. 2003;9:1415-1422.

65
Evolution of monthly % MRSA and
 Antimicrobial drug use has a monthly sum of lagged antimicrobial use
substantial causal effect on the
50 – – 900
rate of MRSA
40 –
– 800
 Antimicrobial drug use
30 –
possibly a more important

Antimicrobial Consumption
(DDD/1,000 patient-days)
– 700
ecologic risk factor at start of

% MRSA
20 –
outbreak – 600
10 –

 Macrolides, third-generation 0– – 500


cephalosporins, and Jan 96 Jan 97 Jan 98 Jan 99 Jan 00

fluoroquinolones are % MRSA Sum of lagged macrolide, third-generation cephalosporin, and


fluoroquinolone
independent variables consumption series

responsible for the increase in


MRSA rate

Reprinted with permission from Monnet DL, et al. Emerg Infect Dis. 2004;10:1432-1441.
66
VISA
• Vancomycin intermediate susceptibility Staphylococcus aureus (VISA)
first described in Japan in 1977

• VISA now reported in many countries worldwide

• Majority are heterogenous

• In the Western Pacific VISA has been reported from Hong Kong,
Australia, Thailand, Korea and Singapore

67
•Associated with vancomycin treatment failures
68
Definitions
 Vancomycin intermediate S aureus (VISA) NCCLS
standards
=/< 4 mg/L: sensitive
8 – 16 mg/L: intermediate
=/> 32 mg/L: resistant

 Countries not using NCCLS standards


=/> 8 mg/L: resistant – Vancomycin resistant
S aureus (VRSA)

 More important to know actual MIC


69
VRSA
 First VRSA (MIC > 128 g/ml) reported in Michigan,
US in June 2002. (MMWR 2002; 51:565) isolated
from a 40 year old dialysis patient

 Isolate was vanA and mecA positive

 VRSA and VRE isolated from foot ulcer

 ? in vivo transfer of vancomycin resistance from E


faecalis to S aureus

 Similar in-vitro transfer achieved in 1994 70


VRSA
 2nd US case reported in Sept 2002 in
Pennsylvania. (MMWR. 2002; 51:902 )
isolated from a patient with a foot ulcer

 3rd US case in March 2004 in New York in a


urine culture from a long-term care facility
patient (MMWR 2004 : 53: 322)

 No reports of VRSA outside US so far 71


Vancomycin-nonsusceptible S. aureus
4th-6th VRSA 7th & 8th VRSA
(2005) (2006)
2nd VRSA 3 VRSA VISA
rd

1st VRSA (2002) (2004) Belgium (3) Germany (1) VRSA


(2002) (1999) (1993)
U.K (1)
(2001) Korea (1)
France (1) (1997)
(1995) Japan (1)
USA (7) Greece (1) (1996)
(1997-2000) (2000)
Taiwan (1)
(2005)
Brazil (5)
(1998-1999)
South Africa (2)
(1998)

72
Vancomycin-resistant S. aureus : India

 Two S. aureus strains out of 783 isolates (2002-2005)


VRSA # 1 VRSA # 2
Vancomycin MIC 64 32
Teicoplanin MIC 64 32
Specimen Pus Pus
H/O vanco use Yes Yes
Ward Surgery ward Skin ward
Pen, Oxa, Gen, Amik, Pen, Oxa, Gen, Amik,
In vitro resistance Cip,Chl, Ery, TMP-SMX, Van Cip,Chl, Ery, TMP-SMX, Van
In vitro
Tet, Nit Tet, Cefo/Sul
susceptible
Van A gene Negative Negative

Tiwari HK & Sen MR. BMC Infect Dis. 6:156, 2006 73


 Staphylococcus aureus is a major nosocomial and
community pathogen.

 Prevalence of resistant strains ( MRSA, VISA,


VRSA) continues to increase

 MRSA infections are associated with increases in


mortality and treatment costs

 Emphasises the need for appropriate antibiotic


use and effective infection control
74
SKIN INTEGUMENT
STREPTOCOCCACEAE

Dr. Latre Buntaran Sp.MK (K)

BAGIAN MIKROBIOLOGI
FK UKRIDA

75
Streptococcaceae
Streptococcus
 Flora normal pharynx dan GI tract

 Menyebabkan caries gigi sampai infeksi berat (necrotizing fasciitis,


toxic shock, rheumatic fever, glomerulonephritis).

 Sifat umum.
 Kokus, Gram (+), membentuk rantai.
 Katalase (-).
 Kebanyakan aerob, beberapa anaerob.
 Tumbuh baik pada agar darah, dimana bakteri
mendapatkan katalase.
76
Streptococcus
 Klasifikasi.
a. Berdasarkan Pola hemolisis.
1. Hemolisis .
 Hemolisis tidak sempurna / hemodigesti → tampak zona
kehijauan disekitar koloni
 Mis. S.viridans dan S.pneumoniae.
2. Hemolisis β.
 Hemolisis lengkap, timbul zona jernih sekitar koloni.
 Contoh: S.pyogenes.
3. Hemolisis .
Tidak ada hemolisis, kelompok ini biasanya tidak patogen..

77
Streptococcus
b. Berdasarkan Lancefield system.
Berdasarkan antigen karbohidrat dinding sel streptococcus (C
substance) → dibagi dalam group A – R.

 Grup yang menimbulkan penyakit pada manusia A, B, C, D dan G.

 Determinan patogenitas.
 Streptococcus yang patogen pada umumnya membentuk kapsul
hyaluronic acid dan protein M pada permukaan sel.

 Diagnosis lab.
 Isolasi dan identifikasi bakteri penting karena gejala infeksi
Streptococcus sulit dibedakan dengan infeksi bakteri lain dan virus.
78
Identifikasi berdasarkan pola hemolisis, reaksi biokimia, sensitivitas terhadap bahan-bahan
tertentu dan serologi (antibodi yang dilabel fluorescein atau EIA).

grup A grup B Viridan Entero- S.pneu


s coccus monia
e
Pola hemolisis β β  , β, 

Tumbuh pd 6.5% - - - + -
NaCl
Sensitivitas thd + - - - -
Bacitracin
Larut dalam - - - - +
empedu (bile
solubility)
Sensitivitas thd - - - - +79
Streptococcus grup A (S.pyogenes) (cont.)
 Determinan patogenitas.
a. Protein.
1. Protein M.
2. merupakan faktor virulensi paling besar dari grup A.
 antifagosit, antikomplemen dan juga sitotoksik untuk neutrophil.
 sangat immunogenik, ada 80 antigenic type → antibodi yang
terbentuk menimbulkan reaksi otoimun.

2. Protein F (fibronectin-binding protein), bersama protein M 


untuk adhesi pada sel epitel pharynx.

3. Protein G, mengikat Fc IgG → menghindari terikat antibodi


dan opsonisasi.

b. Kapsul hyaluronik → menghindari fagositosis.

80
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
c. Eksotoksin.
 Erythrogenic toxin → menimbulkan demam dan rash
pada scarlet fever.
• Eksotoksin A → menimbulkan Toxic Shock Syndrome dan
merupakan super antigen.

• Eksotoksin B → merupakan cysteine protease, menimbulkan


kerusakan jaringan pada necrotizing fasciitis.
d. Hemolysin.
1. Streptolysin O → yang menyebabkan hemolisis sekitar koloni,
toksik untuk leucocyte.
• Sangat antigenik → timbul antibodi: ASO (Anti Streptolysin O)
→ sebagai indikator telah terinfeksi Streptococcus grup A.

2. Streptolysin S → juga cytotoxic dan hemolytic.


81
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
e. Faktor penyebaran.
 Hyaluronidase, proteinase, streptokinase, nuclease  membantu
Streptococcus menyebar kedalam jaringan, menyebabkan lisis sel dan
kerusakan jaringan.
 Penyakit yang ditimbulkan.

a. Pyogenic.
 1. Pharyngitis.

Streptococcus grup A merupakan bakteri penyebab tersering pharyngitis


dan tonsilitis, selain virus.

2. Pyoderma dan impetigo.


3. Erysipelas dan cellulitis.
4. Demam nifas (puerperal fever).
5. Necrotizing fasciitis.
• Nekrosis yang luas jaringan subkutan dan fascia
akibat infeksi Streptococcus grup A yang
membuat eksotoksin B.

82
83
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)

Necrotizing fasciitis  Pasca operasi sendi panggul. 84


Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
b. Toxigenic.

1. Scarlet fever.
 Disebabkan Streptococcus grup A yang membuat toksin
erythrogenic,
 Biasanya setelah pharyngitis atau infeksi kulit.
 Gejalanya demam + rash (ruam), papular, kecil-kecil
tersebar diseluruh tubuh (“sandpaper rash”) dan
“strawberry tongue”
 Rash bukan petechiae → kalau ditekan hilang / pucat.

2. Streptococcal toxic shock syndrome.


 Jarang terjadi
 Disebabkan Streptococcus grup A yang membuat
eksotoksin A yang merupakan superantigen →
demam tinggi, bisa fatal.
85
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
Scarlet fever rash
“sandpaper rash” Strawberry tongue

86
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
c. Immunologic.
1. Rheumatic fever. (cont.)
 Setelah infeksi Streptococcus grup A ( biasanya pharyngitis ) → 2 minggu
kemudian timbul gejala demam, polyarthritis dan carditis.

 Carditis menimbulkan kerusakan myocard dan katup jantung (terutama


mitral dan aorta).

 ASO dan LED .

 Infeksi kulit oleh Streptococcus grup A tidak menimbulkan rheumatic fever.

 Penyebab RF karena adanya antibodi terhadap protein M yang bereaksi silang dengan
antigen dari sendi dan jaringan jantung → otoimun

 Akan kambuh bila ada reinfeksi → perlu prevensi supaya tidak kambuh (prophylactic
penicillin) seumur hidup.

 Infeksi Streptococcus grup A bila diobati dalam waktu 8 hari sejak sakit → tidak timbul RF.
87
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
2. Glomerulonephritis akut (GNA).

 Timbul 2-3 minggu setelah infeksi kulit oleh Streptococcus grup A (protein M type 49)

 Terutama pada anak (pharyngitis juga mungkin, tetapi infeksi kulit paling sering).

 Gejala berupa hypertensi, edema (periorbita dan tungkai), urin yang keruh (“smoky”).

 Kebanyakan penderita sembuh sempurna, jarang kambuh walaupun reinfeksi.

 Penyebab timbulnya GNA karena adanya komplex Ag-Ab pada glomerulus (glomerular
basement membrane).

88
89
Prevention of acute rheumatic fever
and rheumatic heart disease

Cilliers, A. M BMJ 2006;333:1153-1156 90


91
92
93
94
Diagnosis laboratorium
1. Pewarnaan langsung.

 Spesimen dari pharynx bila ditemukan coccus, membentuk


rantai Gram (+) → tidak ada artinya karena
Streptococcus viridans merupakan flora normal
pharynx.
 Tetapi bila dari luka kulit Streptococcus (+) →
suspected.

95
2. Biakan.

Diagnosis laboratorium
 Pada agar darah → koloni kecil, hemolisis β, bacitracin (+), katalase
(-) → grup A.

 Grup B → menghidrolisa hippurate dan CAMP test (+) (memperkuat


hemolisis beta dari Staphylococcus aureus).

 Grup D → bila ada empedu (bile) dapat menghidrolisa esculin →


membentuk pigmen hitam pada bile-esculin agar.

 Grup D dibagi enterococcus dan non-enterococcus, enterococcus


dapat tumbuh pada 6,5% NaCl.

96
Streptococcus grup A (S.pyogenes)
(cont.)
3. Rapid Diagnostic Test.

 Spesimen usap tenggorok + enzim → meng-ekstraksi protein antigen → ditambahkan antibodi


spesifik yang dilekatkan pada butir latex berwarna → uji (+) bila ada aglutinasi butir latex.

 Serologi:

 Titer ASO yang tinggi menunjukkan sebelumnya pernah terinfeksi oleh Streptococcus
grup A, walaupun biakan (-).

 Pengobatan.

 Semua Streptococcus grup A sensitif terhadap penicillin G.

 Penderita allergi thd. penicillin → erythromycin (azithromycin).

97
98
99
Streptococcus grup B. (β-hemolisis).
 S.agalactiae
 Sering diisolasi dari nasopharynx, rongga mulut, intestinum dan
vagina orang sehat.

 Pada 5-10% wanita hamil terdapat Streptococcus grup B pada


urogenital.

 Sering menimbulkan infeksi pada neonatus yang tertular ketika


melewati jalan lahir, berupa: pneumonia, meningitis, bakteremia.

 Pengobatan: Ampicillin.

 Pencegahan: Wanita hamil yang membawa Streptococcus grup


B diobati dulu.

100
Streptococcus agalactiae ( Group
B)
 Chronic bovine mastitis
 promoted by milking machines

 slowly progressing inflammation, fibrosis

 fibrin plugs in smaller milk ducts: loss of milk-producing


capacity (agalactia)

 Neonatal meningitis in humans


 early onset septicemia (≈ 15% of all neonatal septicemias)

 late onset: purulent meningitis (average 4 - 8 weeks after


birth)
 5 - 10 % of pregnant women are reproductive tract carriers

101
102
Streptococus grup D (β-
hemolisis).
 Terdiri dari Enterococcus (E.faecalis dan E.faecium) dan non-enterococcus (S.bovis).

 Enterococcus merupakan flora normal dari colon

 Menimbulkan infeksi pada saluran kemih, empedu dan kardiovaskuler.

 Tumbuh pada media hypertonik (6,5% NaCl)

 Resisten terhadap penicillin → obat pilihan vancomycin. Sekarang timbul


Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE) → infeksi nosokomial yang berbahaya.

 S.bovis juga dapat menimbulkan infeksi seperti enterococcus, tetapi S.bovis :


 tidak dapat tumbuh pada 6,5% NaCl dan

 peka terhadap penicillin

103
104
105
106
VRE
 Spectrum of disease
 Urinary tract infection
 Bacteremia
 Endocarditis
 Wound infectiona

 Rare community pathogen but important


nosocomial pathogen
Present in polymicrobial milieu.
a

Moellering RC Jr. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds. Principles and Practice of
Infectious Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 2000:2147-2156.

107
Increase in VRE Over Time
40
% Resistant to Antibiotics

20

0
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 19981998-2003
2002
Year

Salgado CD, et al. Infect Med. 2003;20:194-200. NNIS System. Am J Infect Control. 2004;32:470-485. 108
Vancomycin in the Western Pacific
Region
1999-2000
0.3
27

0.25
Percent Resistant at Breakpoint

0.2

0.15

0.1
7 7

0.05
0 0 0 0
0 (n=41) (n=11) (n=41)
Year (n=28) (n=18) (n=10) (n=149)
Australia China Japan Korea Singapore Taiwan Region
Bell JM, et al. J Antimicrob Chemother. 2003;51:339-345.109
Summary
 VRE a problem in certain countries in Asia Pacific
 Australia
 Korea

 Infection control critical to prevent or control outbreaks

 Judicious usage of certain antimicrobials required to


prevent or limit emergence
 vancomycin
 3rd-generation cephalosporins
 fluoroquinolones

111
Streptococcus non-β-
hemolisis.
 Strep -hemolisis: viridans grup dan S.pneumoniae
(dibahas tersendiri).

 Viridans grup (S.mitis, S.sanguis dan S.mutans) berbeda


dengan S.pneumoniae karena :
 tidak larut dalam empedu dan optokhin tes (-)

 Merupakan flora normal pharynx → kadang-kadang


menyebabkan endocarditis, karena tindakan operasi gigi.

 S.mutans membuat dextran untuk melekat pada gigi →


caries.
112
113
114
Peptostreptococcus
Streptococcus
Pewarnaan Gram

 Anaerob atau microaerophilic

 Hemolysis bervariasi

 Flora nomal rongga mulut, usus dan alat kelamin wanita.

 Berpartisipasi dalam infeksi anaerob campuran (“mixed anaerobic


infection”), mis. peptostreptococcus dengan viridans strep. →
sering dijumpai pada abscess otak setelah pembedahan
gigi.

115
Dr. Latre Buntaran Sp. MK (K)
Clinical Microbiologist
FK Ukrida-Infection Control Officer

116
 Fam.Bacilaceae mempunyai 2 genus yang penting:

 Bacillus → aerob.
 Clostridium → anaerob.

 Spesies yang penting untuk medik pada genus Bacillus:

 B.anthracis
 B.cereus
 B.subtilis

 Dari genus Clostridium yang penting:


 C.tetani
 C.perfringens
 C.botulinum
 C.difficile.

117
118
 Sifat umum.

 Batang Gram (+)


 Spora oval, sentral.
 Gerak (-)
 Obligat aerob.

 Determinan patogenitas.

a. Kapsul.
 Dalam jaringan atau media khusus B.anthracis membentuk kapsul yang berbeda
dengan bakteri lain terdiri dari polypeptida d-glutamat.

 b. Eksotoksin.
 Menyebabkan kematian sel dan edema. 119
 Patogenesis dan gejala klinik.

 Patogenesis.

 Infeksi didapat dari luka-luka di kulit, inhalasi atau tertelan


B.anthracis.

 Gejala klinik.

 Anthrax kulit → paling sering dijumpai.

 2-5 hari setelah infeksi → papula kecil, tidak nyeri → vesikula →


pecah, keluar cairan kehitaman + nekrosis dasar vesikula dan
120
edema besar sekitar vesikula → malignant pustula (bisul ganas).
Malignant pustule
Sembuh dari anthrax
Bisul ganas anthrax 121
 Anthrax paru-paru (wool sorter’s disease).

 Karena menghirup spora anthrax → mula-mula seperti


influenza → batuk kering + nyeri substernal →
hemorrhagic mediastinitis → bloody pleural effusion →
sering fatal (batuknya tidak menular).

 Anthrax gastro-intestinal.
 Akibat menelan spora anthrax → mual, muntah, diare
yang berat + darah → shock → bisa fatal.

 Bakteremia / meningitis akibat lanjut dari infeksi anthrax.


122
123
124
 Diagnosis.

 Sediaan hapus langsung: batang besar, Gram (+), biasanya spora tidak terlihat pada eksudat.
 Agar darah: koloni besar, hemolisis (-), yang khas gambaran caput medussa (keriput pada
koloni).
 Mencairkan gelatin,
 Gerak (-)
 Adanya toksin dapat dideteksi dengan ELISA atau gene probe.

 Pengobatan.

 Penicillin → drug of choice.


 Insisi dan drainage lesi kulit → kontraindikasi, karena akan menyebarkan infeksi.
 Ciprofloxacin atau fluoroquinolone yang lain dianjurkan sebagai profilaksis bagi mereka
yang terpapar spora anthrax.

125
 Penularan.
 B.anthracis banyak dijumpai di tanah → menginfeksi hewan herbivora (kambing,
biri-biri, sapi) → manusia tertular dari hewan yang terinfeksi (daging, kulit,
bulu/wool, gading) → penyakit zoonosis.
 Di USA tahun 2001 outbreak anthrax akibat kiriman spora lewat pos → 18 kasus
anthrax, 5 meninggal.
 Spora anthrax dapat bertahan dalam waktu lama

 Pencegahan.
 Vaksin live attenuated pertama digunakan oleh Louis Pasteur 1881 → efektif untuk
imunisasi hewan ternak.
 Selanjutnya vaksin menggunakan: spora hidup Sterne strain → untuk vaksin pada
hewan ternak, tidak untuk manusia.
 Vaksin untuk manusia: Alum precipitated toxoid.

126
127
128
129
130
2. Infeksi sistemik → terutama pada penderita immunocompromised.

 Diagnosis lab.

 Sisa makanan memudahkan diagnosis, bila ditemukan B.cereus  108 per gram
dan tidak ditemukannya bakteri lain → cukup untuk diagnosis.

 Bedanya dengan B.anthracis, B.cereus gerak (+).

 Pengobatan.

 Clindamycin → drug of choice


 Untuk infeksi sistemik dapat juga digunakan erythromycin, tetracycline.
 B.cereus resisten penicillin.

131
132
 B.subtilis banyak dijumpai dialam, biasanya tidak berbahaya.

 Dapat menimbulkan infeksi pada pend. Immunocompromised, mis. iv drug-abuser.

 Penicillin → obat pilihan.

 B.subtilis, B.pumilis dan B.licheniformis → dapat menimbulkan keracunan makanan


seperti B.cereus.

 B.stearothermophilus, spora tahan 121oC selama 12 menit → untuk uji sterilisasi


autoclave.

 B.globigi, berpigmen merah untuk uji sterilitas sterilisator ethylene oxide.

 B.pumilis → untuk uji sterilisasi dengan radiasi.


133
 Sifat umum.

 Batang, Gram (+), membentuk spora.

 Obligat anaerob.

 Gerak (+), kecuali C.perfringens gerak (-).

 Spesies yang penting untuk medik.

 C.perfringens → gas gangren.

 C.botulinum → keracunan makanan.

 C. tetani → tetanus.

134
 C.difficile → pseudomembranous colitis.
 Determinan patogenitas.

 C.tetani membuat neurotoksin yang kuat (tetanospasmin) yang menghambat


pelepasan inhibitory transmitter → spastic paralysis.

 Lethal dose pada mencit 0,0001 μg.

 Patogenesis dan gejala klinik.

 Infeksi biasanya pada luka yang dalam → bakteri anaerob dapat tumbuh →
membuat toksin → transport toksin intra-axon retrograde → medulla spinalis

 Inkubasi beberapa hari – 3 minggu.

 Tetanospasmin → hanya 1 antigenic type.

135
 Gejala klinik Tetanus berupa :
 Kejang spastik pada sekitar mulut  trismus (lockjaw) & muka 
risus sardonicus, tubuh → opistotonus,
 Kejang-kejang
 Arrhythmia
 Kelumpuhan pernafasan.

 Diagnosis laboratorium.
 Pewarnaan Gram ( pus ) tampak gambaran khas :
 Batang Gram (+), dengan spora besar pada ujungnya (drumstick /
racket – shaped).
 Gerak (+), flagel peritrich.
136
 Biakan : spesimen eksudat luka atau jaringan nekrotik pada agar darah & diinkubasi secara
anaerob.

 Pengobatan.

 Pengobatan harus sudah dimulai berdasarkan gejala klinik, tidak menunggu hasil isolasi.

 Debridement → membersihkan luka dari jaringan nekrotik dan mencegah luka jadi
anaerob.

 Antibiotika: Penicillin atau metronidazole → menghambat bakteri tumbuh.

 Anti Tetanus Serum (ATS) dan Tetanus Toksoid (TT) → diberikan untuk luka yang dalam
→ ber-potensi menjadi tetanus.

 ATS equinum atau humanum (HTIG = human tetanus immunoglobulin) 10.000 unit.

 Penunjang.

 Alat bantu nafas


 Penderita ditempatkan pada ruang yang gelap dan sunyi, suara keras → memicu kejang.
137
 Epidemiologi.

 C.tetani banyak dijumpai pada tinja hewan dan tanah.


 Kasus tetanus di Barat jumlahnya tidak banyak (50-150 kasus di USA), di negara
berkembang kasus banyak. Angka kematian 15-30%.
 Pada negara berkembang tetanus bayi karena pemotongan umbilicus yang tidak
steril, anak karena sirkumsisi.

 Pencegahan.

 Pemberian vaksin tetanus toksoid sejak usia 6-8 minggu bersama dengan toksoid
pertussis dan difteria → efektif.
 Penderita luka yang berpotensi tetanus dapat diberikan profilaksis HTIG 250-500
unit im dan tetanus toksoid  harus menggunakan syringe yang berlainan dan
tempat suntikan berbeda (kontralateral).
138
Dr. Latre Buntaran Sp. MK (K)
Clinical Microbiologist
FK Ukrida-Infection Control Officer

139
 Fam.Bacilaceae mempunyai 2 genus yang penting:

 Bacillus → aerob.
 Clostridium → anaerob.

 Spesies yang penting untuk medik pada genus Bacillus:

 B.anthracis
 B.cereus
 B.subtilis

 Dari genus Clostridium yang penting:


 C.tetani
 C.perfringens
 C.botulinum
 C.difficile.

140
141
 Sifat umum.

 Batang Gram (+)


 Spora oval, sentral.
 Gerak (-)
 Obligat aerob.

 Determinan patogenitas.

a. Kapsul.
 Dalam jaringan atau media khusus B.anthracis membentuk kapsul yang berbeda
dengan bakteri lain terdiri dari polypeptida d-glutamat.

 b. Eksotoksin.
 Menyebabkan kematian sel dan edema. 142
 Patogenesis dan gejala klinik.

 Patogenesis.

 Infeksi didapat dari luka-luka di kulit, inhalasi atau tertelan


B.anthracis.

 Gejala klinik.

 Anthrax kulit → paling sering dijumpai.

 2-5 hari setelah infeksi → papula kecil, tidak nyeri → vesikula →


pecah, keluar cairan kehitaman + nekrosis dasar vesikula dan
143
edema besar sekitar vesikula → malignant pustula (bisul ganas).
Malignant pustule
Sembuh dari anthrax
Bisul ganas anthrax 144
 Anthrax paru-paru (wool sorter’s disease).

 Karena menghirup spora anthrax → mula-mula seperti


influenza → batuk kering + nyeri substernal →
hemorrhagic mediastinitis → bloody pleural effusion →
sering fatal (batuknya tidak menular).

 Anthrax gastro-intestinal.
 Akibat menelan spora anthrax → mual, muntah, diare
yang berat + darah → shock → bisa fatal.

 Bakteremia / meningitis akibat lanjut dari infeksi anthrax.


145
146
147
 Diagnosis.

 Sediaan hapus langsung: batang besar, Gram (+), biasanya spora tidak terlihat pada eksudat.
 Agar darah: koloni besar, hemolisis (-), yang khas gambaran caput medussa (keriput pada
koloni).
 Mencairkan gelatin,
 Gerak (-)
 Adanya toksin dapat dideteksi dengan ELISA atau gene probe.

 Pengobatan.

 Penicillin → drug of choice.


 Insisi dan drainage lesi kulit → kontraindikasi, karena akan menyebarkan infeksi.
 Ciprofloxacin atau fluoroquinolone yang lain dianjurkan sebagai profilaksis bagi mereka
yang terpapar spora anthrax.

148
 Penularan.
 B.anthracis banyak dijumpai di tanah → menginfeksi hewan herbivora (kambing,
biri-biri, sapi) → manusia tertular dari hewan yang terinfeksi (daging, kulit,
bulu/wool, gading) → penyakit zoonosis.
 Di USA tahun 2001 outbreak anthrax akibat kiriman spora lewat pos → 18 kasus
anthrax, 5 meninggal.
 Spora anthrax dapat bertahan dalam waktu lama

 Pencegahan.
 Vaksin live attenuated pertama digunakan oleh Louis Pasteur 1881 → efektif untuk
imunisasi hewan ternak.
 Selanjutnya vaksin menggunakan: spora hidup Sterne strain → untuk vaksin pada
hewan ternak, tidak untuk manusia.
 Vaksin untuk manusia: Alum precipitated toxoid.

149
150
151
 Sifat umum.

 Batang, Gram (+), membentuk spora.

 Obligat anaerob.

 Gerak (+), kecuali C.perfringens gerak (-).

 Spesies yang penting untuk medik.

 C.perfringens → gas gangren.

 C.botulinum → keracunan makanan.

 C. tetani → tetanus.

152
 C.difficile → pseudomembranous colitis.
 Pengobatan.

1. Gas gangren.

 Debridement → membuang jaringan nekrosis.


 Antibiotika: penicillin.
 Hyperbaric oxygen → menghambat pertumbuhan
bakteri dan pembuatan toksin.

2. Keracunan makanan → hanya supportive.

153
 C.septicum

 Gerak (+) dengan flagel peritrich → menyebabkan gas gangren.

 C. novyi

 Gerak (+) dengan flagel peritrich → menyebabkan gas gangren.

 C.sporogenes

 Gerak (+), sering dijumpai dalam eksudat luka bersama bakteri patogen
lain
 Dianggap tidak patogen dan tidak menimbulkan gas gangren (banyak
ditanah dan usus hewan).
154
 Determinan patogenitas.

 C.tetani membuat neurotoksin yang kuat (tetanospasmin) yang menghambat


pelepasan inhibitory transmitter → spastic paralysis.

 Lethal dose pada mencit 0,0001 μg.

 Patogenesis dan gejala klinik.

 Infeksi biasanya pada luka yang dalam → bakteri anaerob dapat tumbuh →
membuat toksin → transport toksin intra-axon retrograde → medulla spinalis

 Inkubasi beberapa hari – 3 minggu.

 Tetanospasmin → hanya 1 antigenic type.

155
 Gejala klinik Tetanus berupa :
 Kejang spastik pada sekitar mulut  trismus (lockjaw) & muka 
risus sardonicus, tubuh → opistotonus,
 Kejang-kejang
 Arrhythmia
 Kelumpuhan pernafasan.

 Diagnosis laboratorium.
 Pewarnaan Gram ( pus ) tampak gambaran khas :
 Batang Gram (+), dengan spora besar pada ujungnya (drumstick /
racket – shaped).
 Gerak (+), flagel peritrich.
156
 Biakan : spesimen eksudat luka atau jaringan nekrotik pada agar darah & diinkubasi secara
anaerob.

 Pengobatan.

 Pengobatan harus sudah dimulai berdasarkan gejala klinik, tidak menunggu hasil isolasi.

 Debridement → membersihkan luka dari jaringan nekrotik dan mencegah luka jadi
anaerob.

 Antibiotika: Penicillin atau metronidazole → menghambat bakteri tumbuh.

 Anti Tetanus Serum (ATS) dan Tetanus Toksoid (TT) → diberikan untuk luka yang dalam
→ ber-potensi menjadi tetanus.

 ATS equinum atau humanum (HTIG = human tetanus immunoglobulin) 10.000 unit.

 Penunjang.

 Alat bantu nafas


 Penderita ditempatkan pada ruang yang gelap dan sunyi, suara keras → memicu kejang.
157
 Epidemiologi.

 C.tetani banyak dijumpai pada tinja hewan dan tanah.


 Kasus tetanus di Barat jumlahnya tidak banyak (50-150 kasus di USA), di negara
berkembang kasus banyak. Angka kematian 15-30%.
 Pada negara berkembang tetanus bayi karena pemotongan umbilicus yang tidak
steril, anak karena sirkumsisi.

 Pencegahan.

 Pemberian vaksin tetanus toksoid sejak usia 6-8 minggu bersama dengan toksoid
pertussis dan difteria → efektif.
 Penderita luka yang berpotensi tetanus dapat diberikan profilaksis HTIG 250-500
unit im dan tetanus toksoid  harus menggunakan syringe yang berlainan dan
tempat suntikan berbeda (kontralateral).
158

You might also like