You are on page 1of 32

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

DENGAN PENYAKIT KUTU

Disusun oleh : Kelompok 2

Nama : Aurelia Elvina Damayanti (201923043)


Bernadetta Arum Suryaningtyas (201923045)
Emilia Denanda Primandari (201923052)
Malvin Chandra Wijaya (201923058)
Natalia Putri Widiawati (201923067)
Nur Zahra Ikaputri Ardianto (201923068)
Patricia Hesti Muliawati (201923070)
Siska Mastifa (201923072)
Vincencia Setyaningtyas Ari Fardani (201923075)
Tingkat / Kelas : III / B
Mata Kuliah : Keperawatan Komunitas II
Dosen Pengampu : Emmelia Ratnawati, M.Kep., Ns.Sp.Kep.Kom

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Komunitas dengan Penyakit Kutu”. Dalam penyusunan makalah, penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi dalam memberikan
sumbangan pemikirannya, orang tua, dan dosen yang telah membantu dan memberi
dukungan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis butuhkan dalam penyempurnaan
makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman serta memberi manfaat yang positif bagi para pembaca.

Yogyakarta, 9 Juni 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................................. 2
1.4 Manfaat................................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Community as as Partner........................................................... ............ 4


2.2 Konsep Masalah Kutu....................................................................................... 9
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Penyakit Kutu........................ 13
BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................... 25

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan......................................................................................................... 27
4.2 Saran.................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kutu kepala sering menjadi masalah kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup
anak-anak di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Penyakit kutu kepala ini sering disebut
juga Pedikulosis kapitis. Penyakit ini disebabkan oleh infestasi parasit Pediculus humanus
var. capitis. Ektoparasit ini dapat berinfestasi di kulit kepala dan rambut manusia. Kutu
kepala dapat bertahan hidup dengan menghisap darah manusia (Anggraini et al., 2018).
Penularan kutu kepala yang paling umum adalah dari kepala ke kepala dan melalui kontak
tidak langsung karena kebiasaan dari penderita yang tidak memperhatikan personal
hygiene (Yunida et al., 2017). Umumnya penyakit ini masih tertinggi kedua setelah
Scabies terutama pada anak usia sekolah. Pediculosis capitis perlu mendapatkan perhatian
karena penyakit ini menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin. Perempuan adalah
populasi yang sering terinfeksi terutama pada perempuan usia sekolah karena pada
umumnya perempuan berambut panjang daripada laki-laki, sehingga membutuhkan
perawatan yang baik dan rambut yang kotor, lembab, jarang disisir, dan dikeramas
merupakan tempat yang disukai kutu untuk berkembang biak (Zulinda, 2010).
Prevalensi dan insidensi Pedikulosis kapitis di seluruh dunia cukup tinggi dan
bervariasi. Penyakit ini sering terjadi bahkan di negara maju maupun di negara
berkembang. Studi melaporkan bahwa prevalensi di Iran Tenggara sebesar 67,3 %, Kota
Bangkok Thailand sebesar 23,32 %, dan pada Bilbao Spanyol 9,39 % (Soleimani-Ahmadi
et al., 2017). Sekitar 0,7% - 59% juga ditemukan pada populasi di Turkey, 0,48 – 22,4% di
Eropa, 37,4% di Inggris, 13% di Australia, sekitar 58,9% di Afrika, dan 3,6% - 61,4% di
Amerika (Guenther, 2015). Infestasi P.h. capitis pada murid sekolah dasar di Kota Sabang
Provinsi Aceh adalah 27,1% (Nindia, 2016). Pada penelitian Eliska (2015) masalah P.h.
capitis di Indonesia di perkirakan sekitar 15% (Soedarto, 2011).
Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu penyebaran kutu kepala antara lain
faktor sosial-ekonomi, tingkat pengetahuan, personal hygiene, kepadatan tempat tinggal
(misalnya di asrama, panti asuhan, sekolah dasar), dan karakteristik individu (umur,
panjang rambut, dan tipe rambut). Akibat dari serangan kutu kepala yang tidak diobati

1
dapat menimbulkan berbagai dampak pada penderitanya, antara lain berkurangnya kualitas
tidur anak pada malam hari akibat rasa gatal, stigma sosial, rasa malu, dan rendah diri
(Sinaga, 2013).
Pentingnya asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah kutu pada
sebuah komunitas terutama komunitas anak sekolah, baik pencegahan dan peningkatan
kesehatan masyarakat. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka makalah ini akan
membahas mengenai asuhan keperawatan komunitas dengan penyakit kutu.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Apa yang dimaksud dengan community as a partner?


1.2.2. Apa yang dimaksud dengan penyakit kutu?
1.2.3. Apa faktor risiko dari penyakit kutu?
1.2.4. Apa dampak dari penyakit kutu?
1.2.5. Bagaimana pencegahan dari penyakit kutu?
1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit kutu?
1.2.7. Bagaimana konsep pengkajian keperawatan komunitas dengan penyakit kutu?
1.2.8. Bagaimana konsep diagnosa keperawatan komunitas dengan penyakit kutu?
1.2.9. Bagaimana konsep rencana keperawatan komunitas dengan penyakit kutu?

1.3 Tujuan

1.3.1. Dapat mengetahui definisi dari community as a partner.


1.3.2. Dapat mengetahui definisi dari penyakit kutu.
1.3.3. Dapat mengetahui faktor risiko dari penyakit kutu.
1.3.4. Dapat mengetahui dampak dari penyakit kutu.
1.3.5. Dapat mengetahui pencegahan dari penyakit kutu.
1.3.6. Dapat mengetahui penatalaksanaan dari penyakit kutu.
1.3.7. Dapat mengetahui konsep pengkajian keperawatan komunitas dengan penyakit
kutu.
1.3.8. Dapat mengetahui konsep diagnosa keperawatan komunitas dengan penyakit
kutu.
1.3.9. Dapat mengetahui konsep rencana keperawatan komunitas dengan penyakit
kutu.

2
1.4 Manfaat

1.4.1. Manfaat Akademis


Diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan dalam bidang Keperawatan
Komunitas, khususnya pada asuhan keperawatan dengan penyakit kutu dan
dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2. Manfaat Praktisi
1.4.2.1 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk memperluas wawasan
mahasiswa mengenai asuhan keperawatan komunitas dengan penyakit
kutu, juga mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan.
1.4.2.2 Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat menjadi gambaran bagi masyarakat untuk
mendukung keluarga yang terinfeksi kutu agar dapat menjaga pesonal
hygiene untuk mencegah infeksi yang berlanjut.
1.4.2.3 Bagi Profesi
Diharapkan dapat dijadikan acuan bagi perawat untuk memberikan
asuhan keperawatan dengan penyakit kutu kepada komunitas.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Community as a Partner

Asuhan keperawatan komunitas merupakan suatu bagian integral dari proses


keperawatan yang didasarkan pada teori dan model keperawatan yang ditujukan langsung
kepada masyarakat dengan menekankan pada kelompok yang berisiko tinggi dalam upaya
pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, dan pengobatan serta rehabilitasi (Stanhope & Lancaster, 2018). Community as
partner merupakan roda pengkajian pada komunitas dan proses keperawatan. Konsep roda
pengkajian komunitas terdiri dari dua bagian utama yaitu inti komunitas (core) dan 8
subsistem. Core terdiri dari demografi, statistik penting, sejarah, etnis/budaya, dan persepsi
terhadap kesehatan, sedangkan subsistem terdiri dari lingkungan fisik, pendidikan,
ekonomi, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintah, pelayanan kesehatan dan
sosial, komunikasi, dan rekreasi (Akbar, 2019).

Proses asuhan keperawatan komunitas adalah metode asuhan atau bentuk


pelayanan yang bersifat ilmiah, sistematis, dinamis, berkelanjutan, dan berkesinambungan
yang berfokus pada pemecahan masalah kesehatan klien (individu, kelompok, dan
masyarakat) berdasarkan tahap pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, maupun
evaluasi. Aspek utama dari praktik pelayanan asuhan keperawatan komunitas adalah
aplikasi dari pendekatan dan solusi untuk masalah-masalah kesehatan yang memastikan
bahwa masyarakat mendapatkan manfaat yang maksimal (Nies & McEwen, 2018).

Asuhan keperawatan Community as a Partner, meliputi :

A. Pengkajian
Pengkajian dalam komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi faktor positif dan
negatif yang berhubungan dengan kesehatan dalam rangka membangun strategi
untuk melakukan promosi kesehatan. Aspek-aspek yang terdapat dalam pengkajian
dapat dikaji melalui pengamatan secara langsung (observasi), data statistik, angket
maupun wawancara wawancara.

4
1. Pengkajian Data Inti
a. Riwayat atau sejarah perkembangan komunitas
Riwayat terbentuknya sebuah komunitas (lama/baru). Tanyakan pada orang-
orang yang kompeten atau yang mengetahui sejarah area atau daerah itu.
b. Data demografi
Data demografi meliputi karakteristik orang-orang yang ada di area atau
daerah tersebut, distribusi (jenis kelamin, usia, status, perkawinan, etnis), dan
jumlah penduduk.
c. Vital statistik
Meliputi kelahiran, kematian, kesakitan dan penyebab utama kematian atau
kesakitan.
d. Nilai dan kepercayaan
Nilai yang dianut oleh masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan,
kepercayaan yang diyakini yang berkaitan dengan kesehatan, kegiatan
keagamaan di masyarakat, serta kegiatan dalam masyarakat yang
mencerminkan nilai-nilai kesehatan.
2. Pengkajian 8 Subsistem
a. Lingkungan fisik
Meliputi lingkungan tentang mutu air, flora, perumahan, ruang, area hijau,
binatang, orang-orang, bangunan buatan manusia, keindahan alam, air, dan
iklim.
b. Pelayanan kesehatan dan sosial
Apakah terdapat klinik, rumah sakit, profesi kesehatan yang praktek, layanan
kesehatan publik, pusat emergency, rumah perawatan atau panti werda,
fasilitas layanan sosial, layanan kesehatan mental, dukun
tradisional/pengobatan alternatif.
c. Ekonomi
Apakah perkembangan ekonomi di wilayah komunitas tersebut maju dengan
pesat, industri, toko, dan tempat-tempat untuk pekerjaan, adakah pemberian
bantuan sosial (seperti makanan), seberapa besar tingkat pengangguran, rata-
rata pendapatan keluarga, karakteristik pekerjaan.

5
d. Keamanan dan transportasi
Apa jenis transportasi publik dan pribadi yang tersedia di wilayah komunitas,
catat bagaimana orang-orang bepergian, apakah terdapat trotoar atau jalur
sepeda, apakah ada transportasi yang memungkinkan untuk yang cacat, jenis
layanan perlindungan apa yang ada di komunitas (misalnya: pemadam
kebakaran, polisi, dan lain-lain), apa saja jenis kegiatan yang sering terjadi,
apakah orang-orang merasa aman.
e. Politik dan pemerintahan
Apakah ada tanda aktivitas politik, apakah ada pengaruh partai yang
menonjol, bagaimana peraturan pemerintah terdapat komunitas (misalnya:
pemilihan kepala desa, walikota, dewan kota), apakah orang-orang terlibat
dalam pembuatan keputusan dalam unit pemerintahan lokal mereka.
f. Komunikasi
Apakah orang-orang memiliki tv dan radio, apa saja sarana komunikasi
formal dan informal yang terdapat di wilayah komunitas, apakah terdapat
surat kabar yang terlihat di stan atau kios, apakah ada tempat yang biasanya
digunakan untuk berkumpul.
g. Pendidikan
Apa saja sekolah-sekolah dalam area beserta kondisi, pendidikan lokal,
reputasi, tingkat drop-out, aktifitas-aktifitas ekstrakurikuler, layanan
kesehatan sekolah, dan tingkat pendidikan masyarakat.
h. Rekreasi
Dimana anak-anak biasa bermain, apa saja bentuk rekreasi utama, siapa saja
yang berpartisipasi, fasilitas untuk rekreasi dan kebiasaan masyarakat
menggunakan waktu senggang.
B. Diagnosa Keperawatan
Data-data yang dihasilkan dari setelah dilakukan pengkajian, kemudian dianalisa
seberapa besar stressor yang mengancam masyarakat dan seberapa berat reaksi
yang timbul dalam masyarakat tersebut. Kemudian dijadikan dasar dalam
pembuatan diagnosa atau masalah keperawatan. Diagnosa keperawatan terdiri dari
masalah kesehatan, karakteristik populasi dan lingkungan yang dapat bersifat
aktual, ancaman dan potensial. Selanjutnya dirumuskan dalam tiga komponen yaitu
problem, etiologi, sign symptom.

6
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan rencana tindakan dalam pencegahan primer,
sekunder, dan tersier yang sesuai dengan kondisi klien (komunitas) dan dengan
diagnosa yang sudah ditentukan. Proses pada tahap perencanaan keperawatan ini
meliputi penyusunan, pengurutan masalah berdasarkan diagnosa komunitas sesuai
dengan prioritas (penapisan masalah), penetapan tujuan dan sasaran, menetapkan
strategi intervensi dan rencana evaluasi.
D. Pelaksanaan / Implementasi Keperawatan
Leavell & Clark (1958) dalam Pakpahan, dkk (2020) mengidentifikasi tiga level
pencegahan dalam praktek kesehatan, yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan pencegahan tersier. Dari ketiga pencegahan tersebut, level
pencegahan primer adalah sebagai dasar. Nies & McEwen (2019) menjelaskan
ketiga pencegahan tersebut secara rinci, sebagai berikut :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan awal sebelum sakit atau disfungsi
dan diaplikasikan ke populasi sehat pada umumnya yang mencakup kegiatan
kesehatan. Pencegahan ini berkaitan dengan kegiatan yang diarahkan pada
pencegahan sebuah masalah sebelum masalah tersebut terjadi dengan mengubah
kerentanan atau mengurangi paparan pada individu yang rentan. Pencegahan
primer terdiri dari promosi kesehatan, edukasi kesehatan, dan perlindungan
spesifik. Bentuk upaya promosi kesehatan, yaitu pola makan seimbang, kegiatan
berolahraga, pola tidur cukup dll, sedangkan perlindungan kesehatan, yaitu
imunisasi, pemurnian air, dll.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya
perubahan derajat kesehatan masyarakat dan ditemukannya masalah kesehatan.
Pencegahan ini ditujukan kepada individu yang berisiko. Pencegahan sekunder
berupa deteksi dini dan intervensi segera selama periode awal patogenesis
penyakit. Contoh pencegahan sekunder, yaitu mamografi, skrining, tekanan
darah, pap smear.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan kegiatan pengembalian individu pada tingkat
fungsinya secara optimal dari ketidakmampuan keluarga. Pencegahan ini

7
ditujukan kepada individu yang telah mengalami penyakit atau cedera dan
berfokus kepada pembatasan kecacatan serta rehabilitasi. Hal ini bertujuan untuk
mencegah masalah kesehatan menjadi semakin buruk, untuk mengurangi efek
dari penyakit, cedera dan mengembalikan fungsi individu ke level optimal.
Contoh pencegahan tersier, yaitu fisioterapi dan terapi okupasi pada pasien
stroke dan cedera tulang, mengajarkan pemakaian insulin dirumah pada pasien
diabetes melitus dan keluarga.
E. Evaluasi
Evaluasi terdiri dari tiga, yaitu evaluasi struktur, evaluasi proses, dan evaluasi hasil.
Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai
dengan kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat
keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan.
1. Evaluasi Struktur
Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau keadaan sekeliling
tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek lingkungan secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi dalam pemberian pelayanan. Persediaan
perlengkapan, fasilitas fisik, rasio perawat-klien, dukungan administrasi,
pemeliharaan dan pengembangan kompetensi staf keperawatan dalam area yang
diinginkan.
2. Evaluasi Proses
Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan apakah perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok, tanpa tekanan, dan
sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian pada evaluasi proses mencakup
jenis informasi yang didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik,
validasi dari perumusan diagnosa keperawatan, dan kemampuan teknikal
perawat.
3. Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons perilaku klien
merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat pada
pencapaian tujuan dan kriteria hasil.

8
2.2 Konsep Masalah Kutu

2.2.1. Definisi Penyakit Kutu


Rassami & Soonwera (2012) dalam Purdiani, Wardani, & Sulistyowati
(2021) menjelaskan bahwa kutu rambut atau pediculus humanus capitis
merupakan parasit yang menyerang rambut serta kulit kepala manusia dan
bertahan hidup dengan menghisap darah dari kulit kepala manusia. Sanford,
Jong, & Pottinger (2016) dalam Sulistyani & Khikmah (2019) juga mengatakan
bahwa pediculus humanus capitis atau yang biasa masyarakat kenal dengan
sebutan tuma merupakan parasit penyebab terjadinya pediculosis capitis.
Pediculus humanus capitis ini biasanya menyukai daerah rambut bagian
belakang. Selain itu, Yuniaswan et.al (2020) menyatakan bahwa kutu kepala
atau kutu rambut adalah parasit obligat berukuran panjang 2-3 mm, berwarna
abu-abu kehitaman, memiliki antena yang pendek, mulut penghisap yang
digunakan untuk menghisap darah pada kepala, dan memiliki 3 pasang kaki
seperti cakar untuk berpegangan pada rambut serta tidak bersayap.
Menurut beberapa pengertian di atas, pediculus humanus capitis atau yang
biasa dikenal dengan kutu rambut (tuma) merupakan parasit obligat berwarna
abu-abu kehitaman yang berukuran sangat kecil. Parasit tersebut tinggal di
rambut kepala manusia dan bertahan hidup dengan menghisap darah pada kulit
kepala manusia menggunakan mulut penghisapnya. Kutu rambut merupakan
penyebab dari penyakit pediculosis capitis. Kutu rambut ini dapat melekat pada
rambut manusia karena memiliki kaki seperti cakar sehingga dapat berpegangan
kuat pada rambut manusia.
2.2.2. Faktor Risiko Penyakit Kutu
Nafi’a, Chaterina, Rusnoto, & Supardi (2021) menyebutkan bahwa faktor
risiko dari terkenanya kutu rambut ini sebagai berikut :
2.2.2.1 Usia
Pada anak-anak yang berusia 3-11 tahun dan remaja usia 12-18 tahun
merupakan usia yang sering terkena kutu rambut. Usia tersebut masih
sering tertular kutu rambut karena belum bisa menjaga kebersihan diri
dengan baik (Anwar, Riswanda, & Ghiffari, 2022).

9
2.2.2.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin perempuan biasanya yang paling sering terserang kutu
rambut daripada laki-laki. Hal ini karena anak perempuan biasanya
memiliki rambut yang panjang sehingga lebih sulit dalam menjaga
kebersihan dan pada anak perempuan lebih sering memakai aksesoris
rambut secara bersamaan (Nafi’a et.al, 2021).
2.2.2.3 Menggunakan Tempat Tidur atau Bantal yang Sama
Apabila seseorang yang memiliki kutu rambut meletakkan kepalanya
pada suatu benda seperti pada bantal atau tempat tidur maka kutu serta
telurnya kemungkinan besar dapat terjatuh di benda tersebut. Kutu
dewasa dapat hidup di luar kulit kepala selama 1-2 hari sedangkan
telurnya dapat bertahan hidup selama seminggu (Stone et.al, 2012
dalam Anwar et.al, 2022). Jika orang lain menggunakan tempat tidur
atau bantal yang sama dengan penderita maka kutu ataupun telur yang
terjatuh tersebut dapat bersarang pada rambut orang lain tersebut.
2.2.2.4 Menggunakan Sisir atau Aksesoris Rambut Bersama
Penggunaan sisir ataupun aksesoris rambut secara bersamaan dapat
menjadi faktor risiko tertular kutu rambut. Hal ini karena kutu dewasa
ataupun telur kutu dapat tertinggal pada sisir atau aksesoris rambut
tersebut sehingga jika digunakan secara bersamaan dapat menularkan
kutu rambut (Nafi’a et.al, 2021).
2.2.2.5 Panjang Rambut
Seseorang yang memiliki rambut panjang lebih berisiko terkena kutu
rambut karena rambut yang panjang akan lebih sulit untuk
membersihkannya (Nafi’a et.al, 2021).
2.2.2.6 Frekuensi Cuci Rambut
Frekuensi cuci rambut akan mempengaruhi kebersihan rambut dan kulit
kepala. Rambut perlu dicuci menggunakan sampo sebanyak 2 kali
dalam seminggu. Terlalu sering mencuci rambut dapat menyebabkan
seseorang terkena pedikulosis kapitis. Hal ini karena terlalu sering
mencuci rambut akan membuat kulit kepala bersih sehingga kutu
mendapatkan suplai makanannya secara optimal. Selain itu, jika sering
mencuci rambut maka kulit kepala akan menjadi lembab sehingga akan

10
menguntungkan bagi telur kutu untuk berkembangbaik (Nurmatialila,
Widyawati, & Utami, 2019). Masyarakat beranggapan bahwa mencuci
rambut dapat mengurangi kutu rambut, tetapi pada kenyataannya
mencuci rambut saja tidak dapat menghilangkan kutu. Setelah mencuci
rambut harus diikuti dengan menyisir rambut menggunakan serit supaya
kutu terangkat (Gunning, Pippit, Kiraly, & Sayler, 2012 dalam Lukman,
Armiyanti, & Agustina, 2018).
2.2.2.7 Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi yang rendah signifikan dengan kejadian infestasi kutu.
Selain itu, tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang tidak
mampu dalam mengobati kutu dengan efektif (Nafi’a et.al, 2021).
2.2.2.8 Jenis Rambut
Pada jenis rambut keriting jarang terinfeksi kutu karena pada rambut
yang keriting, kutu akan susah menempelkan telurnya pada rambut
(Nuqsah, 2020 dalam Nafi’a et.al, 2021).
2.2.3. Dampak Penyakit Kutu
Analdi & Santoso (2021) menyatakan bahwa dampak dari infestasi kutu
kepala yaitu sebagai berikut :
2.2.3.1 Pruritus
Rasa gatal yang timbul diakibatkan oleh air liur dan ekskresi dari kutu
yang masuk ke dalam kulit kepala saat kutu menghisap darah pada kulit
kepala manusia (Nafi’a et.al, 2021).
2.2.3.2 Iritasi Kulit Kepala
Rasa gatal yang timbul akibat gigitan kutu akan merangsang seseorang
untuk menggaruk bagian kulit kepala. Kebiasaan menggaruk yang
sering dilakukan akan menyebabkan iritasi pada kulit kepala penderita
(Bugayong et.al, 2011 dalam Sulistyani & Khikmah, 2019).
2.2.3.3 Ketidaknyamanan dan Insomnia
Rasa gatal yang ditimbulkan terus menerus menyebabkan seseorang
merasa tidak nyaman dan sulit untuk tidur. Hal tersebut karena aktivitas
kutu meningkat pada malam hari sehingga rasa gatal yang ditimbulkan
pun meningkat (Cohen, 2013 dalam Sulistyani & Khikmah, 2019).

11
2.2.3.4 Kecemasan Orangtua
Kutu rambut ini dapat menimbulkan kecemasan pada orang tua
penderita kutu rambut. Biasanya orang tua cemas karena tidak tahu cara
mengobati kutu rambut tersebut (Analdi & Santoso, 2021).
2.2.3.5 Gangguan Sosial
Gangguan sosial yang dapat terjadi akibat infestasi kutu rambut ini
yaitu rasa malu, takut, terisolasi, rendah diri bahkan frustasi. Hal ini
diakibatkan adanya stigma dalam masyarakat yang beranggapan bahwa
kutu rambut identik dengan kebersihan yang buruk, tingkat ekonomi
yang rendah serta kurangnya perhatian dari orang tua (Widniah,
Sulistiawati, & Indarwati, 2019).
2.2.3.6 Anemia
Infestasi kutu rambut dapat menyebabkan anemia karena kutu rambut
ini menghisap darah pada kulit kepala sehingga berpotensi terjadi
anemia. Anemia ini mengakibatkan penderita menjadi lesu dan
mengantuk sehingga mengganggu kinerja belajar dan fungsi kognitif
(Hardiyanti, Kurniawan, & Mutiara, 2019).
2.2.3.7 Dermatitis
Dermatitis merupakan salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Kutu rambut dapat memicu dermatitis karena
menyebabkan gatal dan iritasi pada kulit kepala (Srisantyorini &
Cahyaningsih, 2019).
2.2.3.8 Infeksi Sekunder
Infeksi sekunder yang dimaksud berupa impetigo dan limfadenopati.
Infeksi sekunder tersebut terjadi akibat bekas garukan yang
menimbulkan luka pada kulit kepala. Luka tersebut dapat menjadi
tempat bertumbuhnya bakteri sehingga menyebabkan infeksi sekunder
(Analdi & Santoso, 2021).
2.2.4. Pencegahan Penyakit Kutu
Helvian, Sakinah, & Faradilah (2020) mengatakan upaya pencegahan kutu
rambut yang dapat dilakukan yaitu :
2.2.4.1 Menghindari kontak kepala ke kepala dengan penderita saat
beraktivitas.

12
2.2.4.2 Menghindari penggunaan pakaian dan alat pribadi seperti sisir,
aksesoris rambut, handuk, dan sebagainya secara bergantian.
2.2.4.3 Pakaian atau barang-barang penderita dicuci dengan air panas. Hal
ini bertujuan agar kutu dan telur yang menempel pada pakaian atau
barang penderita dapat mati.
2.2.4.4 Menghisap debu di lantai dan perabotan rumah/kamar untuk
menghindari reinfestasi kutu.
2.2.5. Penatalaksanaan Penyakit Kutu
Anwar et.al (2022) menjelaskan bahwa terdapat pengobatan farmakologis dan
nonfarmakologis untuk menghilangkan kutu rambut. Pengobatan farmakologis
yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan bahan insektisida yang banyak
ditemui di pasaran seperti permethrin, hexachlorocyclohexane (lindane),
malathion, dan piretrin. Selain itu, bahan alami juga dapat dijadikan sebagai
insektisida, misalnya daun sirsak, bunga lawang, dan bawang putih. Sedangkan
pengobatan non farmakologis yang dapat dilakukan yaitu dengan mengambil
kutu dan telurnya secara manual, menggunakan sisir serit, dan mencukur rambut
untuk mencegah infestasi kutu (Burn, 2004 dalam Hayati & Nopitasari, 2020).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Penyakit Kutu

2.3.1. Pengkajian Keperawatan


N No. Variabel Subvariabel Elemen
1. Pengkajian a. Demografi a. Demografi
Inti b. Nilai, Kepercayaan, Sejarah  Usia
 Jenis Kelamin
 Riwayat pediculosis capitis /
kutu rambut pada komunitas
 Suku anggota komunitas
 Tradisi atau kepercayaan
tertentu yang mempengaruhi
kesehatan dalam komunitas.
Khususnya pada masalah kutu
rambut (pediculosis capitis)

13
 Kehidupan sosial dan
bermasyarakat (kutu rambut
sering terjadi pada agregat
anak dan sekolah, maka ini
perlu dikaji lebih dalam)
 Adanya makanan tertentu yang
dilarang untuk dikonsumsi
berdasarkan suku dan tradisi
komunitss
 Cara berpakaian dalam
komunitas
 Keyakinan atau kebudayaan
yang ada dalam komunitas
tentang kutu rambut
b. Nilai, Kepercayaan, Sejarah
 Agama/kepercayaan yang
dianut
 Keaktifan dalam kegiatan
keagamaan
 Apa yang komunitas lakukan
untuk mengatasi kutu rambut?
 Apakah ada ramuan tertentu
yang digunakan untuk
menghilangkan kutu rambut?
2. Pengkajian a. Lingkungan Fisik a. Lingkungan Fisik
8 Subsistem b. Pelayanan Sosial dan Kesehatan  Tipe rumah (perumahan,
c. Ekonomi apartemen, komplek, ruli)
d. Transportasi dan Keamanan  Jumlah jendela/ventilasi udara
e. Politik dan Pemerintahan  Letak kamar mandi
f. Komunikasi (observasi apakah ada
g. Pendidikan pegangan kamar mandi atau
h. Rekreasi tidak)
 Kepadatan penduduk

14
 Jarak sumber air dengan septic
tank
 Kebiasaan membersihkan
lingkungan (gotong royong)
 Kelompok usia yang dominan
Lingkungan yang padat penduduk
memungkinkan penyebaran kutu
rambut menjadi lebih cepat dan
memakan banyak waktu untuk diatasi.
 Sanitasi:
 Ketersediaan air bersih
untuk MCK dan air
minum
 Pengelolaan jamban
(jenisnya)
 Jarak dengan sumber
air
 Sarana pembuangan air
limbah (SPAL)
 Pengelolaan sampah :
apakah ada sarana
pembuangan sampah
dan bagaimana cara
pengelolaannya:
dibakar, ditimbun, dsb.
 Polusi udara, air, tanah,
atau suaran/kebisinga;
Sumber polusi : pabrik,
rumah tangga, industry
Sanitasi lingkungan yang baik akan
membantu dalam mengatasi masalah
kutu rambut di komunitas.

15
b. Pelayanan Sosial dan Kesehatan
 Masalah kesehatan yang
sering terjadi dan sedang
terjadi (kaji tentang riwayat
kutu rambut)
 Ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan di
sekitar lingkungan. Seberapa
jauh jaraknya.
 Adakah kunjungan rutin dari
perawat komunitas?
 Frekuensi kunjungan kader
 Sistem rujukan
 Pengetahuan komunitas
mengenai masalah kesehatan
kutu rambut
c. Ekonomi
• Jenis pekerjaan
• Rata-rata penghasilan
• Rata-rata pengeluaran
• Jumlah pekerja dan agregatnya
• Karakteristik pendapatan
• Karakteristik Pekerjaan
• Penerima dana bansos
Biasanya, yang terkena kutu
rambut adalah kelompok
masyarakat menengah ke bawah.
d. Transportasi dan Keamanan
• Adanya kendaraan umum di
lingkungan sekitar
• transportasi yang biasa dipilih
(umum/pribadi)
• Kondisi jalan

16
• Sistem keamanan di
lingkungan
• Sumber api yang biasa
digunakan untuk memasak
• Adanya kantor pemadam
kebakaran
• sistem pembuangan limbah
(sampah dan selokan) dan
penanggulangan polusi
e. Politik dan Pemerintahan
• Kebijakan pemerintah dalam
pelayanan kesehatan setempat
• Sistem organisasi
• Kelompok organisasi dalam
komunitas
• Peran kelompok organisasi di
bidang kesehatan
• Pemerintahan (RT, RW, Lurah,
dsb)
• Kelompok pelayanan
masyarakat (Posyandu)
f. Komunikasi
• Alat komunikasi yang
digunakan (tradisional/modern)
• Cara penyebaran informasi
g. Pendidikan
• Tingkat pendidikan dalam
komunitas
• Fasilitas pendidikan di sekitar
• Sumber daya manusia yang
tersedia
• Bahasa yang digunakan
h. Rekreasi

17
• Pendapat tentang rekreasi
• Rekreasi yang sering dilakukan
• Frekuensi melakukan rekreasi
• Ketersediaan sarana rekreasi
yang dapat diakses

2.3.2. Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan rasa nyaman

No Kriteria Komponen Nilai Bobot Jumlah


1 Nature/jenis Status kesehatan 3 1 3
x1=1
3
Sumber daya 2
Terkait kesehatan 1
2 Severitas/magnitude 75-100% 4 3 2 1
x3=12
4
50-74% 3
25-49% 2
<25% 1
3 Modifiabilitas Tinggi 3 4 3
x4=4
3
Sedang 2
Rendah 1
Tidak dapat 0
dimodifikasi
4 Preventabilitas Tinggi 3 1 3
x1=1
3
Sedang 2
Rendah 1
5 Perhatian sosial Penting 3 1 3
x1=1
3
Tahu tapi tidak 2
penting 1
Tidak konsisten
Total nilai 1
8
2

18
2. Gangguan citra tubuh

No Kriteria Komponen Nilai Bobot Jumlah


1 Nature/jenis Status kesehatan 3 1 3
x1=1
3
Sumber daya 2
Terkait kesehatan 1
2 Severitas/magnitude 75-100% 4 3 3
x1=3/4
4
50-74% 3
25-49% 2
<25% 1
3 Modifiabilitas Tinggi 3 4 3
x4=4
3
Sedang 2
Rendah 1
Tidak dapat 0
dimodifikasi
4 Preventabilitas Tinggi 3 1 2
x1=2/3
3
Sedang 2
Rendah 1
5 Perhatian sosial Penting 3 1 3
x1=1
3
Tahu tapi tidak 2
penting 1
Tidak konsisten
Total nilai 5
712

19
3. Defisit pengetahuan

No Kriteria Komponen Nilai Bobot Jumlah


1 Nature/jenis Status kesehatan 3 1 1
x1= 1/3
3
Sumber daya 2
Terkait kesehatan 1
2 Severitas/magnitude 75-100% 4 3 2 1
x3=12
4
50-74% 3
25-49% 2
<25% 1
3 Modifiabilitas Tinggi 3 4 1
x4=4/3
3
Sedang 2
Rendah 1
Tidak dapat 0
dimodifikasi
4 Preventabilitas Tinggi 3 1 1
x1=1/3
3
Sedang 2
Rendah 1
5 Perhatian sosial Penting 3 1 1
x1=1/3
3
Tahu tapi tidak 2
penting 1
Tidak konsisten
Total nilai 5
36

20
2.3.3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan Rasional TTD
1 Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan tindakan Perawatan Rambut 1. Untuk mengetahui
keperawatan selama 5x30 (I.11357) adanya masalah atau
menit diharapkan status 1. Identifikasi kondisi tidak pada pasien terkait
kenyamanan meningkat, pasien (mis. kesadaran, dengan pembersih
dengan kriteria hasil: alergi shampoo, rambut yang digunakan.
1. Kesejahteraan fisik hemodinamik, 2. Untuk melihat
meningkat kontraindikasi cuci banyaknya kerontokkan
2. Perawatan sesuai rambut, kebersihan kulit masih dalam batas
kebutuhan meningkat kepala dan rambut, normal atau tidak
3. Keluhan tidak nyaman kekuatan rambut) 3. Memberikan fasilitas
menurun 2. Monitor kerontokan perawatan rambut
4. Gatal menurun rambut 4. Untuk membersihkan
5. Iritabilitas menurun 3. Siapkan peralatan sesuai rambut dan mencegah
6. Pola tidur membaik fasilitas yang ada kerontokan.
4. Cuci rambut dengan 5. Untuk menghilangkan
melakukan pemijatan kutu dan gangguan rasa
5. Lakukan pemberantasan gatal
kutu dan telur di rambut 6. Supaya tidak lembab,

21
6. Keringkan rambut dengan karena kutu suka
haidryer dikepala yang lembab
7. Jelaskan prosedur dan 7. Untuk menambah
tujuan perawatan rambut pengetahuan dan
8. Ajarkan mencuci rambut kemampuan dalam
sesuai kemampuan melakukan perawatan
rambut.
2 Gangguan citra tubuh Stelah dilakukan tindakan Promosi Citra Tubuh 1. Untuk mengetahui faktor
keperawatan selama 5x30 (I.09305) gangguan isolasi sosial
menit diharapkan citra tubuh 1. Identifikasi perubahan 2. Untuk melihat
meningkat, dengan kriteria citra tubuh yang pandangan terhadap diri
hasil: mengakibatkan isolasi sndiri
1. Verbalisasi perasaan sosial 3. Supaya penderita bisa
negatif tentang perubahan 2. Monitor frekuensi menerima dirinya sendiri
tubuh menurun pernyataan kritik 4. Menambah pengetahuan
2. Verbalisasi kekhawatiran terhadap diri sendiri dan kemampuan terkait
pada penolakan/reaksi 3. Diskusikan perbedaan perawatan perubahan
orang lain menurun penampilan fisik terhadap citra tubuh yang terjadi
3. Menyembunyikan bagian harga diri 5. Untuk memberikan
tubuh berlebihan menurun 4. Jelaskan kepada keluarga kepercayaan kepada diri
4. Fokus pada penampilan tentang perawatan sendiri

22
masa lalu menurun perubahan citra tubu
5. Hubungan sosial 5. Latih peningkatan
membaik penampilan diri (mis.
berdandan)
3 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan (I.12383) 1. Untuk mengethaui
keperawatan selama 5x30 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan dan
menit diharapkan tingkat kemampuan menerima kesiapan pasien dalam
pengetahuan meningkat, informasi menerima informasi
dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi faktor-faktor 2. Untuk mengetahui faktor
1. Perilaku sesuai anjuran yang dapat meningkatkan apa saja yang dapat
meningkat dan menurunkan motivasi memberikan motivasi
2. Perilaku sesuai dengan perilaku hidup bersih dan atau menurunkan
pengetahuan meningkat sehat motivasi perilaku hidup
3. Sediakan materi dan bersih dan sehat
media pendidikan 3. Untuk membantu pasien
kesehatan mempermudah dalam
4. Jadwalkan pendidikan menerima informasi
kesehatan sesuai 4. Untuk membuat kontrak
kesepakatan waktu dengan pasien
5. Berikan kesempatan yang terjadwal.
untuk bertanya 5. Untuk memberikan

23
6. Jelaskan faktor risiko kesempatan pada pasien
yang dapat untuk bertanya hal yang
mempengaruhi kesehatan kurang dimegerti atau
7. Ajarkan perilaku hidup ingin diklarifikasi.
bersih dan sehat 6. Untuk meningkatkan
8. Ajarkan strategi yang pemahaman kepada
dapat digunakan untuk pasien apa saja hal yang
meningkatkan perilaku mempengaruhi
hidup bersih dan sehat kesehatan
7. Untuk menambah
pengetetahuan dan
kemampuan dalam
melakukan dan
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.

24
BAB III

PEMBAHASAN

Masalah kesehatan kutu rambut merupakan penyebab dari penyakit pediculosis


capitis. Kutu rambut atau pediculus humanus capitis merupakan parasit yang menyerang
rambut serta kulit kepala manusia dan bertahan hidup dengan menghisap darah dari kulit
kepala manusia. Masalah kutu rambut ini menyebabkan berbagai dampak pada kesehatan,
seperti pruritus, iritasi kulit kepala, gangguan sosial, anemia, dermatitis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, asuhan keperawatan diperlukan sebagai upaya pencapaian derajat
kesehatan pada komunitas yang optimal melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pengobatan, serta rehabilitasi. Proses asuhan keperawatan komunitas berfokus
pada pemecahan masalah kesehatan klien berdasarkan tahap pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi, maupun evaluasi.

Dalam tahap pengkajian klien dengan masalah kutu, terdiri dari dua bagian utama
yaitu pengkajian inti (core) dan 8 subsistem. Core terdiri dari demografi (struktur keluarga
dan daftar anggota keluarga), nilai, kepercayaan, dan sejarah (agama yang dianut,
Keaktifan dalam kegiatan keagamaan), sedangkan subsistem terdiri dari lingkungan fisik
(tipe rumah, Kepadatan penduduk), pelayanan sosial dan kesehatan (masalah kesehatan
yang sering terjadi dan sedang terjadi, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitar
lingkungan), ekonomi (jenis pekerjaan, rata-rata pengeluaran), transportasi dan keamanan
(adanya kendaraan umum di lingkungan sekitar, sistem keamanan di lingkungan), politik
dan pemerintahan (kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan setempat, peran
kelompok organisasi di bidang kesehatan ), komunikasi (alat komunikasi yang digunakan
(tradisional/modern, cara penyebaran informasi), pendidikan (tingkat pendidikan dalam
komunitas), dan rekreasi (pendapat tentang rekreasi, ketersediaan sarana rekreasi yang
dapat diakses). Setelah melakukan pengkajian, selanjutnya adalah merumuskan diagnosa
keperawatan. Terdapat 3 diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada klien dengan
masalah kutu rambut. Perumusan diagnosa keperawatan tersebut ditentukan berdasarkan
prioritas masalah. Gangguan rasa nyaman merupakan diagnosa keperawatan utama karena
memiliki total nilai paling besar diantara kedua diagnosa yang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa masalah gangguan rasa nyaman perlu dilakukan tindakan segera
25
(prioritas). Gangguan rasa nyaman pada klien dengan masalah kutu rambut disebabkan
karena pruritus atau rasa gatal yang timbul akibat air liur dan ekskresi dari kutu yang
masuk ke dalam kulit kepala saat kutu menghisap darah pada kulit kepala manusia.
Diagnosa keperawatan kedua adalah gangguan citra tubuh dengan total nilai 7. Gangguan
citra tubuh merupakan perubahan persepsi tentang penampilan, struktur dan fungsi fisik
individu. Klien dengan masalah kutu rambut mengalami gangguan citra tubuh karena
kegagalan adaptasi dengan perubahan penampilan yang menyebabkan masalah psikososial
atau rasa tidak percaya diri. Gangguan citra tubuh juga dapat terjadi akibat stigma dalam
masyarakat yang beranggapan bahwa kutu rambut identik dengan kebersihan yang buruk,
tingkat ekonomi yang rendah, serta kurangnya perhatian dari orang tua. Diagnosa
keperawatan ketiga adalah defisit pengetahuan dengan total nilai 3. Defisit pengetahuan
merupakan ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu. Klien dengan masalah kutu rambut mengalami defisit pengetahuan karena
kurangnya paparan informasi tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) atau cara
pencegahan kutu rambut.

Setelah menentukan diagnosa keperawatan, selanjutnya adalah merumuskan


rencana keperawatan. Perumusan rencana keperawatan sesuai dengan prioritas diagnosa
keperawatan klien. Rencana keperawatan yang akan dilaksanakan pada masalah gangguan
rasa nyaman bertujuan agar status kenyamanan klien meningkat, seperti keluhan tidak
nyaman menurun, gatal menurun, iritabilitas menurun, pola tidur membaik sehingga
kesejahteraan fisik meningkat. Dalam diagnosa keperawatan kedua, rencana keperawatan
yang akan dilaksanakan bertujuan agar citra tubuh klien meningkat dengan kriteria hasil
yang diharapkan seperti verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh menurun
sampai pada hubungan sosial klien membaik, sedangkan pada diagnosa keperawatan
ketiga, rencana keperawatan yang akan dilaksanakan bertujuan agar tingkat pengetahuan
klien meningkat. Rencana tindakan berupa edukasi kesehatan yang akan dilaksanakan
sesuai kesepakatan dengan klien. Setelah merumuskan intervensi keperawatan, selanjutnya
adalah melaksanakan tindakan sesuai pada rencana keperawatan (implementasi), sampai
pada evaluasi apakah tindakan yang dilakukan kepada klien efektif sehingga intervensi
dihentikan atau perlu dilanjutkan agar masalah kutu rambut pada klien teratasi.

26
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pediculus humanus capitis atau
yang biasa dikenal dengan kutu rambut (tuma) merupakan parasit obligat berwarna abu-
abu kehitaman yang berukuran sangat kecil dan memiliki gejala gatal. Pediculus humanis
capitas atau kutu sering menyerang pada anak dan remaja perempuan usia 3-18 tahun. Hal
tersebut terjadi karena beberapa faktor yaitu : menggunakan tempat tidur yang sama,
menggunakan sisir bersama, frekuensi cuci rambut, tingkat ekonomi yang rendah, dan jenis
rambut. Kondisi tersebut perlu dilakukan asuhan keperawatan komunitas menggunakan
acuan community as partner dalam melakukan pengkajian pada komunitas dan proses
keperawatan dalam masalah penyakit kutu yang terdiri dari dua bagian yaitu inti komunitas
(core) dan 8 subsistem. Core terdiri dari demografi, statistik penting, sejarah, etnis/budaya,
dan persepsi terhadap kesehatan, sedangkan 8 subsistem terdiri dari lingkungan fisik,
pendidikan, ekonomi, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintah, pelayanan
kesehatan dan sosial, komunikasi, rekreasi. Setalah dilakukan pengkajian, kemudian
menentukan diagnosa, perencanaan, implementasi, dan dilakukan evaluasi.

4.2 Saran

Dari kesimpulan di atas, disarankan bagi pembaca yang sedang di usia remaja 12-
18 tahun maupun memiliki saudara di usia yang rentan terkena kutu untuk :

1. Menghindari penggunaan barang pribadi seperti sisir, bantal, dan handuk secara
bergantian.
2. Menghindari kontak kepala langsung dengan penderita.
3. Merendam peralatan penderita menggunakan air panas.
4. Menjaga kebersihan rambut dan memperhatikan frekeunsi cuci rambut.

27
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. A. (2019). Buku Ajar Konsep-konsep Dasar dalam Keperawatan Komunitas.


Yogyakarta: Deepublish.

Analdi, V., & Santoso, I. D. (2021). Gambaran Perilaku Kebersihan Diri terkait Infestasi
Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) pada Santriwati di Pondok Pesantren
Anshor Al-Sunnah Riau. Tarumanagara Medical Journal, 3, 407-413.

Anwar, C., Riswanda, J., & Ghiffari, A. (2022). Determinan Pediculosis capitis. Jawa
Tengah: Penerbit NEM.

Hardiyanti, N. I., Kurniawan, B., & Mutiara, H. (2019). Hubungan Personal Hygiene
terhadap Kejadian Pediculosis capitis pada Santriwati di Pesantren Jabal An-Nur
Al-Islami Kecamatan Teluk Betung Barat Bnadar Lampung. Agromedicine Unila,
6, 38-45.

Hayati, I., & Nopitasari, H. (2020). Uji Efektivitas Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus limon)
dan Jeruk Lemon (Citrus aurantifolia) terhadap Mortalitas Kutu Kepala (Pediculus
humanus capitis). Jurnal Ilmiah Farmacy, 7, 26-32.

Helvian, F. A., Sakinah, A. I., & Faradilah, A. (2020). Status Keluhan Penyakit Kulit
Santri Pesantren Al Ikhlas, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal
Pengabdian Masyarakat : Humanity and Medicine, 1, 149–159.

Lukman, N., Armiyanti, Y., & Agustina, D. (2018). Hubungan Faktor-faktor Risiko
Pediculosis capitis terhadap Kejadiannya pada Santri di Pondok Pesantren Miftahul
Ulum Kabupaten Jember. Journal of Agromedicine and Medical Sciences, 4, 102-
109.

Nafi’a, N. B., Chaterina, C. H., Rusnoto, & Supardi. (2021). The Relationship Of
Pediculus Capitis In Santri Putri MA Manahijul Huda Pati. Prosiding 14th Urecol:
Seri Kesehatan, 626-632.

Nies, M. A., & McEwen, M. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga.
Singapore: Elsevier.

28
Nurmatialila, W., Widyawati, & Utami, A. (2019). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan
mengenai Pedikulosis Kapitis dan Praktik Kebersihan Diri dengan Kejadian
Pedikulosis Kapitis pada Siswa SDN 1 Tunggak Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobokan. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 8, 1081-1091.

Pakpahan, M., Hutapea, A. D., Siregar, D., Frisca, S., Sitanggang, Y. F., indah Manurung,
E., ... & Hardika, B. D. (2020). Keperawatan Komunitas. Medan: Yayasan Kita
Menulis.

Purdiani, D. A., Wardani, D. P., & Sulistyowati, R. (2021). Efektivitas Ekstrak Bawang
Putih (Allium sativum L.) dan Cuka Apel terhadap Mortalitas Pediculus Humanus
Capitis. Jurnal Labora Medika, 5, 1-7.

Simak, V. F., & Renteng, S. (2021). Keperawatan Komunitas Dua (Konsep Asuhan
Keperawatan Komunitas). Makassar: Tohar Media.

Srisantyorini, T., & Cahyaningsih, N. F. (2019). Analisis Kejadian Penyakit Kulit pada
Pemulung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Kelurahan Sumur Batu
Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 15,
135-147.

Sulistyani, N., & Khikmah, N. (2019). Hubungan Pedikulosis Kapitis, Status Anemia dan
Prestasi Belajar pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Saintek, 24, 65-74.

Widniah, A. Z., Sulistiawati, & Indarwati, R. (2019). Analisis Faktor Infestasi Pediculus
Humanus Capitis pada Santriwati Pondok Pesantren Martapura Theory Planned
Behavior. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 10, 247-252.

Yuniaswan, A. P., Mayashinta, D. K., Ekasari, D. P., Brahmanti, H., Nugraha, R. Y.,
Murlistyarini, S., Setia, Y. D. (2020). Infestasi Parasit dalam Dermatologi.
Malang: UB Press.

29

You might also like