Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Bantuan sosial menjadi salah satu strategi pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Artikel ini
menganalisis dampak dan efektivitas berbagai alternatif kebijakan
bansos terhadap pengentasan kemiskinan dan pengurangnan
ketimpangan di Indonesia serta menganalisis distribusi manfaat
masing-masing kebijakan bansos di Indonesia. Analisis dampak
dilakukan dengan metode benefit incidence analysis menggunakan
data Susenas Maret 2017, sedangkan masalah-masalah di lapangan
diketahui dari analisis literatur dan media masa. Hasil penelitian
menyimpulkan bantuan sosial di Indonesia berdampak terhadap
pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan serta bersifat
progresif absolut. Rastra merupakan program yang paling mampu
mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan dibandingkan PKH
dan PIP. Meskipun demikian, dibutuhkan perbaikan lebih lanjut untuk
mengatasi kebocoran dalam penyaluran bantuan sosial. Review atas
literatur dan media masa menunjukkan masalah atas data penerima
bantuan yang belum mutakhir dan penyaluran bantuan yang tidak
sesuai ketentuan yang berlaku.
0,368 0,367
0,37 8%
0,36 6%
Social Assistance Expenditure (IDR Trillion)
Percent of GDP
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang bertujuan untuk menjawab
masalah praktis (Sekaran dan Bougie, 2016), bukan untuk mengatasi masalah teoritis.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kuantitatif
dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Benefit Incidence
Analysis (BIA) sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan
sistematika review. Pendekatan kuantitatif diterapkan terlebih dahulu dan kemudian
pendekatan kualitatif digunakan untuk menjelaskan hasil kuantitatif. Penjelasan lebih
lanjut untuk kedua metode tersebut adalah sebagai berikut.
3.1. Analisis Insiden Manfaat (BIA)
Benefit Incidence Analysis (BIA) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
dampak kebijakan perpajakan atau subsidi pemerintah terhadap pemerataan
kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, BIA dapat digunakan untuk mengevaluasi
distribusi kebijakan subsidi atau belanja sosial pemerintah kepada berbagai kelompok
pendapatan di masyarakat (Cuenca, 2008). Hasil analisis BIA dapat menentukan apakah
program pemerintah belanja sosial merupakan sasaran yang baik, yaitu manfaat yang
diterima oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Jika kelompok termiskin
sebagai sasaran utama anggaran sosial pemerintah hanya menikmati sedikit manfaat
anggaran, dan sebagian besar manfaat yang diterima oleh masyarakat berpenghasilan
menengah dan tinggi, maka kebijakan bantuan sosial pemerintah dapat dikategorikan
sebagai program yang gagal. McIntyre dan Ataguba, 2010).
Hasil akhir BIA dapat diinterpretasikan dengan membandingkan kurva konsentrasi
yang menunjukkan hasil distribusi manfaat antara kelompok pengguna jasa publik dengan
garis diagonal 45 derajat. Selain itu, hasilnya juga dapat dibandingkan dengan kurva The
Lorenz. Gambar 4 menunjukkan kurva konsentrasi, kurva Lorenz dan berbagai tolok ukur
untuk menilai dampak distribusi suatu kebijakan.
Rastra
Berdasarkan analisis data Susenas, manfaat subsidi Rastra dari pemerintah lebih banyak
dinikmati oleh masyarakat miskin.
4.000,00
3.500,00
3.000,00
2.500,00
2.000,00
1.500,00
1.000,00
500,00
-
Household Decile
3,00 52.000,00
2,50 50.000,00
2,00 48.000,00
46.000,00
1,50
44.000,00
1,00
42.000,00
0,50
40.000,00
- 38.000,00
Household Decile
Dari tinjauan literatur dan media massa terkait, permasalahan utama dalam
pendistribusian Rastra adalah penerima yang tidak tepat, pencairan yang terlambat,
jumlah beras yang diterima kurang, dan kualitas beras yang rendah (Rachman, Agustian,
dan Wahyudi, 2018). Ketidaksesuaian penerima Rastra, artinya penerima bukan golongan
pendapatan atau orang yang dituju oleh program, adalah karena fakta bahwa database
penerima tidak diperbarui secara berkala. Berdasarkan Pedoman Umum Subsidi Rastra
2017, penyaluran dan pengalihan Rastra dilakukan oleh penyalur kepada rumah tangga
penerima (KPM) yang tercatat dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) di suatu wilayah
tertentu. DPM merupakan hasil pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) 2015 yang juga
disesuaikan dengan berbagai data lainnya seperti Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS) 2011, Raskin , Penerima Bantuan Iuran (PBI) program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), Kartu Perlindungan Sosial (KPS), dan Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu,
BDT dikalibrasi dengan Susenas 2011 hingga 2014 untuk mendapatkan data pengeluaran
rumah tangga bulanan (TNP2K, 2017). Semua prosedur bertujuan untuk memilih rumah
tangga penerima yang sesuai, namun literatur kaya akan laporan tentang ketidaksesuaian
penerima Rastra.
Perubahan atau pemutakhiran Daftar Penerima Rastra (DPM) diamanatkan kepada
pemerintah daerah yang dilakukan melalui musyawarah desa/musdes atau musyawarah
kelurahan/muskel pada tahun pelaksanaan atau tahun realisasi Rastra. Rumah tangga yang
dihapus dari daftar penerima adalah rumah tangga yang merantau ke desa/daerah lain,
rumah tangga yang seluruh anggota keluarganya meninggal dunia, dan rumah tangga yang
tidak layak lagi menerima Rastra berdasarkan evaluasi Musdes/Muskel. Namun dalam
prakteknya permasalahan tersebut terjadi karena banyaknya dan kompleksnya kriteria
evaluasi yang digunakan dalam pembinaan Rastra dan dalam menentukan rumah tangga
miskin di suatu wilayah seringkali mempersulit penentuan rumah tangga penerima Rastra.
Ternyata keputusan Musdes/Muskel menjadi lebih subjektif (Angrawati dkk., 2016;
Berliana dkk., 2018; Dewi dan Ariyanto, 2015; Saputra dkk., 2018).
Masalah lain terkait distribusi Rastra adalah keterlambatan pencairan, jumlah beras
yang diterima lebih sedikit dari regulasi, dan kualitas beras yang rendah. Penelitian di Desa
Merak Ulu, Kutai Barat, menemukan pembagian Rastra dilakukan setiap tiga sampai enam
bulan sekali, sedangkan peraturannya mewajibkan penyaluran setiap bulan. Oleh karena
itu, masyarakat pernah menerima 90 kg beras, karena keterlambatan pencairan pada
bulan-bulan sebelumnya. Sebagian masyarakat miskin kemudian menggunakan bantuan
beras tersebut bukan untuk konsumsi sendiri tetapi digunakan untuk memberi makan
hewan atau dijual kembali (A. E. Saputra et al., 2018). Keterlambatan dan waktu
pendistribusian yang tidak menentu juga terjadi di Desa Sungi Lengkop, Kecamatan Bintan
(Juwita, 2016).
Dalam studi di 22 kecamatan di Bandung, Makassar, Surabaya, Jakarta Barat, dan Bekasi
(Rachman et al., 2018), Rastra didistribusikan setiap dua hingga tiga bulan sekali; padahal
peraturan mengatur harus dicairkan setiap bulan. Adapun tata cara pendistribusian, Perum
Bulog bertanggung jawab atas penyediaan dan pengangkutan Beras Rastra dari gudang
sampai ke titik distribusi (Tempat Distribusi, TD); sedangkan pengangkutan dari TD ke
Tempat Bagi, TB merupakan tanggung jawab pemerintah daerah yang biasanya dilakukan
oleh Pj Penyalur Rastra (Pelaksana Distribusi Rastra).
Selain itu juga disimpulkan bahwa jumlah beras yang seharusnya diterima rumah
tangga adalah 15 kg/bulan dan dijual dengan harga Rp1.600/kg, namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa rumah tangga hanya menerima 4—6 kg/bulan dan dijual dengan
harga Rp2, 000/kg. Berdasarkan hasil pengolahan data Susenas 2017, rata-rata harga beli
beras Rastra adalah Rp2.000,00 per kg dan masyarakat rata-rata membeli beras Rastra
sebanyak 6,5 kg per bulan dari 15 kg yang disediakan pemerintah. . Namun perlu
diperhatikan bahwa alokasi sebanyak 15 kg per rumah tangga adalah untuk setiap KPM
tanpa mempertimbangkan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga.
Pada prinsipnya harga pembelian Beras Rastra (Harga Tebus Rastra, HTR) oleh
rumah tangga adalah sebesar Rp1.600,00/kg. Namun berdasarkan Pedoman Umum Subsidi
Rastra 2017, ada kemungkinan dan diperbolehkan untuk menambah biaya distribusi
tambahan dari TD ke TB. Apabila biaya tambahan tersebut tidak atau kurang dialokasikan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka biaya tersebut dapat
dibebankan kepada masyarakat secara sukarela, sedangkan Distributor Rastra hanya dapat
membayar dan mentransfer sebesar beras rastra resmi (HTR). Penambahan biaya
transportasi Rastra dapat menyebabkan kenaikan harga Beras Rastra yang tidak terukur
dan pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk membeli beras
Rastra, yaitu dengan membeli dalam jumlah yang lebih sedikit.
Selanjutnya masih berdasarkan penelitian Rachman et al. (2018), 51 persen
responden mengungkapkan bahwa kualitas beras Rastra perlu ditingkatkan. Salah satu
faktor penurunan kualitas beras adalah lama penyimpanan beras di gudang. Berdasarkan
informasi Detik.com (2018a, 2018b), dari hasil evaluasi yang dilakukan Perum Bulog tahun
2018, diketahui bahwa beras tersebut telah disimpan selama 1,5 tahun yang idealnya
disimpan maksimal selama 4 bulan.
Seperti terlihat pada Lampiran 1, pada tahun 2018 pemerintah meningkatkan
secara signifikan baik jumlah rumah tangga penerima maupun anggaran yang dialokasikan
untuk Rastra namun dengan skema yang berbeda. Dari total 15,8 juta KK, sebanyak 10,2
juta KK mendapatkan bantuan berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) dan selebihnya
sebanyak 5,6 juta KK (35,44%) mendapat bantuan berupa Rastra. Berdasarkan Pedoman
Umum Subsidi Rastra dan BNPT, manfaat BNPT adalah Rp110.000,- per KK per bulan yang
dapat ditukarkan dengan beras dan/atau telur sesuai kebutuhan di e-warong, sedangkan
Rastra dibagikan setiap bulan sebanyak 10 kg tanpa memerlukan biaya apapun.
Pada dasarnya penyaluran BNPT telah dilakukan pada tahun 2017 di 44 Kota yang
memiliki akses dan fasilitas yang memadai (Kementerian Sosial, 2017). Berdasarkan
penelitian perbandingan kepuasan konsumen antara Rasta dan BNPT di kecamatan dengan
jumlah penerima terbanyak di Jakarta Timur, dapat disimpulkan bahwa persentase
kepuasan konsumen BNPT lebih tinggi daripada konsumen Rastra (Junaidi et. al., 2017).
Namun, kesiapan e-warong, sinyal telekomunikasi di seluruh wilayah, target penerima, dan
kualitas beras adalah beberapa masalah yang teridentifikasi yang perlu diatasi. Seperti
penelitian lain yang telah dibahas sebelumnya (Rachman et al., 2018), hasilnya
menggarisbawahi perlunya memperbarui data penerima dan kualitas beras.
4.2.3. PKH
Di tingkat nasional, manfaat bantuan PKH lebih banyak diterima oleh masyarakat
miskin. Seperti terlihat pada Gambar 9, dari 3,5 juta penerima PKH, sebanyak 67,5 persen
(atau 2,3 juta rumah tangga) termasuk dalam kategori miskin dan hanya 3,4 persen (atau
110 ribu penerima) yang merupakan 20 persen kaya. Dari total manfaat PKH sebesar
Rp556 miliar, kelompok berpenghasilan rendah 40 persen menerima 67,46 persen (atau
setara Rp375 miliar), sedangkan 20 persen kelompok kaya hanya menerima 3,14 persen
(atau sekitar Rp17 miliar).
Selain itu, seperti terlihat pada Gambar 10, manfaat PKH berkontribusi sekitar 1,54
persen dari rata-rata pengeluaran 10 persen kelompok rumah tangga miskin terendah;
sementara itu hanya menyumbang 0,01 persen saja terhadap 10 persen pengeluaran
kelompok rumah tangga kaya. Dalam hal uang, setiap kelompok rumah tangga menerima
manfaat sebesar Rp157.500,00.
800
700
600
500
400
300
200
100
6.2. Keterbatasan
Beberapa batasan dalam artikel ini dijelaskan sebagai berikut. Pertama, penelitian
ini menggunakan ukuran tingkat efektivitas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 dan
Gambar 11. Metode pengukuran ini memiliki kelemahan karena tidak dapat
menginformasikan besaran anggaran bansos yang tepat atau optimal dari pemerintah.
Pengukuran tersebut mungkin tidak mencerminkan fakta yang sebenarnya karena
Hubungan antara volume transfer dan dampaknya terhadap kemiskinan dan ketimpangan
tidak linier. Misalnya, dalam pengukuran yang ada dimungkinkan jika efektivitas dan
transfer pemerintah digandakan, kemiskinan dan ketimpangan akan berkurang secara
proporsional. Namun, pada kenyataannya, pengurangan kemiskinan dan ketimpangan
adalah fungsi nonlinier terhadap volume transfer dan dengan demikian ada kemungkinan
bahwa bantuan sosial ganda dapat diklasifikasikan sebagai opsi yang lebih buruk karena
semata-mata nonlinier dan bukan karena ketidakefektifannya dalam mengurangi
ketimpangan.
Kedua, BIA pada dasarnya mampu memetakan distribusi manfaat bansos
berdasarkan kelompok pendapatan penerima. Namun, pemetaan yang ideal sebaiknya
menggunakan pendapatan pasar atau pendapatan rumah tangga sebelum membayar pajak
dan menerima transfer dari pemerintah. Prosedur yang ideal tidak dapat diterapkan dalam
penelitian ini karena tidak tersedianya data di Susenas. Misalnya, untuk mengembangkan
pendapatan pasar, diperlukan informasi pendukung berupa semua pajak yaitu pajak
penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran pensiun, subsidi, bantuan sosial,
dan asuransi pensiun. . Namun, informasi ini tidak tersedia di Susenas. Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan Pendapatan Pasar Bersih sebagai dasar pemetaan distribusi
kelompok pendapatan, sehingga diperlukan interpretasi dan klarifikasi ulang yang cermat.
Terakhir, penelitian ini menggunakan Susenas yang secara definisi menggunakan data
sampel, sehingga ada kemungkinan kesalahan inklusi maupun eksklusi yang dapat
menyebabkan bias data. Oleh karena itu, kehati-hatian dan klarifikasi ulang dalam
menginterpretasikan hasil pengolahan data mungkin juga diperlukan.