You are on page 1of 70

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EVALUASI EKONOMI TERAPI TAWA


PADA DEPRESI LANJUT USIA DI PANTI WERDHA

PROPOSAL DISERTASI

YANTI HARJONO HADIWIARDJO


NPM 1906429634

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN PROMOSI
KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU DEPOK
2023
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EVALUASI EKONOMI TERAPI TAWA


PADA DEPRESI LANJUT USIA DI PANTI WERDHA

PROPOSAL DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar


Doktor Kesehatan Masyarakat

YANTI HARJONO HADIWIARDJO


NPM 1906429634

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN PROMOSI
KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU DEPOK
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
DAFTAR TABEL 4
DAFTAR GAMBAR 5
BAB 1 PENDAHULUAN 6
1.1 Latar Belakang 6
1.2 Rumusan Masalah 11
1.3 Pertanyaan Penelitian (diperbaiki dan ditambahkan) 12
1.4 Tujuan Penelitian 13
1.4.1 Tujuan Umum 13
1.4.2 Tujuan Khusus 13
1.5 Manfaat Penelitian 13
1.5.1 Bagi Lanjut usia 13
1.5.2 Bagi Panti Werdha 13
1.5.3 Bagi Pemerintah 13
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 14
2.1 Lanjut Usia 14
2.2. Kesehatan Mental pada Lanjut Usia 14
2.2.1. Demensia 14
2.2.2. Depresi 14
2.2.2.1. Prevalensi Gangguan Depresi 15
2.2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi 15
2.2.2.3. Patofisiologi Depresi 22
2.2.2.4. Gejala dan Tanda Depresi 23
2.2.2.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding Depresi 24
2.2.2.6. Tatalaksana dan Pencegahan Depresi 25
2.2.2.7. Prognosis Depresi 26
2.2.2.8 Komplikasi depresi 27
2.2.2.9. Penilaian Tingkat depresi 27
2.3. Terapi Tawa 28
2.3.1. Definisi Tertawa 28
2.3.2. Kategori Tertawa 28
2.3.3. Definisi dan Macam Terapi Tawa 28

2
Universitas
2.3.4. Manfaat Terapi Tawa 29
2.3.5. Langkah dari terapi 32
2.3.6. Kontraindikasi terapi tawa 35
2.4. Evaluasi Ekonomi 36
2.4.1. Tipe evaluasi ekonomi 37
2.4.1.1. Evaluasi ekonomi parsial 38
2.4.2.2. Evaluasi ekonomi lengkap 38
3. Cost Utility Analysis 41
2.5. Ringkasan Penelitian terkait 42
2.6. Kerangka Teori 45
BAB 3 KERANGKA KONSEP 47
3.1. Kerangka Konsep 47
3.2. Definisi Operasional 48
3.3. Hipotesis 50
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 51
4.1. Desain Penelitian 51
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 52
4.3. Populasi dan Sampel 52
4.3.1. Kriteria Inklusi 52
4.3.2. Kriteria Eksklusi 53
4.4. Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 53
4.4.1. Besar Sampel 53
4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel 54
4.5. Tahapan Penelitian 54
4.5.1. Pra Experimental 54
4.5.1.1. Pembuatan Modul Terapi Tawa 54
4.5.1.2. Pelaksanaan Studi Pendahuluan (Pilot Study) 55
4.5.2. Tahap Experimental 56
4.5.2.1. Teknik Pengumpulan Data 56
4.5.2.2. Analisis Data 58
4.5.2.2.1 Analisis Univariat 58
4.5.2.2.2 Analisis Bivariat dan Multivariat 59
4.5.2.2.3 Analisis Ekonomi 60
DAFTAR PUSTAKA 61

3
Universitas
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis depresi berdasarkan DSM-5 24


Tabel 2.2 Jenis-jenis evaluasi ekonomi dalam bidang kesehatan 37
Tabel 2.3. Perbandingan evaluasi ekonomi 39
Tabel 3.1 Definisi Operasional 48
Tabel 4.1 Perhitungan besar sampel dari penelitian terdahulu 53
Tabel 4.2 Contoh Perhitungan Incremental Cost Effectiveness Ratio untuk depresi 60

4
Universitas
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Persentase anak dibawah 5 tahun dan lansia di dunia tahun 1950-2050 6
Gambar 1.2 Distribusi umur di Indonesia dari tahun 1972-2020 7
Gambar 2.1 Model Biopsychosocial 16
Gambar 2.2 Jalur hubungan Biologi, Psikologis dan Sosial 16
Gambar 2.3 Pendekatan Biopsikososial faktor yang mempengaruhi kesehatan 17
Gambar 2.4 Faktor Biopsikososial yang mempengaruhi kesehatan mental 17
Gambar 2.5 Proses interaktif biopsikososial-spiritual 18
Gambar 2.6 Faktor biopsikososial yang mempengaruhi depresi pada lansia 19
Gambar 2.7 Efek positif dan negatif terapi tawa pada kesehatan mental 30
Gambar 2.8 Manfaat terapi tawa 31
Gambar 2.9 Cost Effectiveness Plane 40
Gambar 2.9 Kerangka Teori Penelitian 45
Gambar 2.10 Kerangka Teori Cara Kerja Terapi Tawa 46
Gambar 3.1 Kerangka Konsep 47
Gambar 4.1 Desain Crossover pada penelitian 51
Gambar 4.2 Alur Pengembangan Modul Terapi Tawa 56
Gambar 4.3 Alur penelitian 59

5
Universitas
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 2019, secara global WHO menyatakan bahwa terdapat 703 juta
orang yang berusia 65 tahun atau lebih dimana populasi yang terbesar di dunia adalah di
Asia Timur dan tenggara (260 juta) yang kemudian diikuti oleh Eropa dan Amerika
Utara (lebih dari 200 juta). (United Nations Department of Economic and Social Affairs
Population Division, 2019). Sejak pertama kali jumlah anak-anak dibawah 5 tahun
lebih melebihi jumlah yang orang tua, namun dalam waktu lima tahun ke atas jumlah
orang berusia 65 tahun atau lebih akan melebihi jumlah anak dibawah usia 5 tahun
seperti yang terlihat pada gambar 1.
Hal ini didorong oleh penurunan tingkat kesuburan dan peningkatan harapan
hidup yang sebagian besar karena majunya ilmu kedokteran. (Tanveer & Batool, 2019;
WHO, 2011) Penuaan populasi akan terus berlanjut dan bahkan semakin cepat. Jumlah
orang berusia 65 tahun atau lebih diproyeksikan tumbuh dari perkiraan 524 juta pada

tahun 2010 menjadi hampir 1,5 miliar pada tahun 2050, dan diperkirakan
meningkat dari sekitar 12-22% diantara 2015 dan 2050 dengan sebagian besar
peningkatan di negara-negara berkembang. (WH0, 2017; WHO, 2011)

Gambar 1.1 Persentase anak dibawah 5 tahun dan lansia di dunia tahun 1950-2050
:
Sumber
(WHO,2011)
Di Indonesia dari tahun 1971- 2020 proporsi anak yang berusia 0-14 tahun
menurun dari 44.12 di tahun 1971 dan 23.33 persen di tahun 2020 sedangkan pada
6
Universitas
lansia yang berusia 65 tahun dan lebih meningkat dari 2.49 persen di tahun 1971 dan
m enjadi 5.95 persen di tahun 2020. Hal ini terlihat pada gambar 2 (Badan
S Pusat tatistik, 2021).

Gambar 1.2 Distribusi umur di Indonesia dari tahun 1972-


2020
Sumber: (BPS,
Menurut data BPS didapatkan bahwa persentase lanjut usia (lansia) di Indonesia
meningkat sekitar dua kali lipat yakni 9.6 persen (25 juta-an) dimana lansia perempuan
sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10.10 persen banding
9.10 persen) dalam waktu lima dekade. Berdasarkan data lansia yang ada di Indonesia,
jumlah dari lansia muda (60-69 tahun) lebih banyak dari lansia madya dan lansia tua
yaitu sebesar 63.82 (Maylasari et al., 2019). Pada lansia yang berusia 60 tahun atau
lebih masih memberikan kontribusi yang penting kepada masyarakat sebagai anggota
keluarga, sukarelawan dan sebagainya.
Sebagian besar lansia memiliki kesehatan mental yang baik namun banyak
orang lansia yang memiliki risiko untuk mengalami gangguan mental, gangguan
neurologis atau masalah penggunaan zat serta kondisi lainnya seperti diabetes,
gangguan pendengaran dan osteoarthritis (WH0, 2017). Penduduk lanjut usia (Lansia)
didefinisikan sebagai penduduk yang berusia lebih dari 65 tahun (OECD, 2021; Orimo
et al., 2006). Usia tua berhubungan dengan status kesehatan seperti adanya penyakit
penyerta, gangguan kesehatan mental dan kerusakan dari fungsi kognitif yang mana
akan menurunkan kualitas hidup (C. F. Kuok et al., 2017).

7
Universitas
Menurut WHO (2017), 20 persen orang dewasa berusia di atas 60 tahun telah
didiagnosis dengan gangguan mental atau neurologis. The American Psychological
Association (2019) memperkirakan jumlah lanjut usia di Amerika Serikat dengan
masalah kesehatan mental dan perilaku dapat mencapai 15 juta pada tahun 2030
(Johnson & Son, 2021). Depresi merupakan masalah kesehatan mental sering terjadi
pada yang berusia lebih dari 65 tahun dengan persentase sebesar 12%-16%. Depresi
dapat menurunkan fungsi kehidupan sehari-hari. Depresi juga sering dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian, dan hasil pengobatan yang lebih rendah pada gangguan
fisik yang ada dan menurunkan kualitas hidup (Heidari, Borujeni, Rezaei, Abyaneh, &
Heidari, 2020; Sivertsen, Bjørkløf, Engedal, Selbæk, & Helvik, 2015).
World Health Organization (WHO) memperkirakan 3.8% dari populasi
menderita depresi termasuk 5% diantara dewasa dan 5.7% diantara dewasa yang berusia
lebih dari 60 tahun. Sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi (World Health
Organization, 2021). Menurut hasil Riskesdas 2018 dapat dilihat bawah pada usia
remaja yaitu 14-24 tahun sudah ada yang mengalami gangguan depresi yang kemudian
prevalensinya meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Prevalensi tertinggi pada
usia 75 tahun keatas sebesar 8.9%, usia 65-75 tahun sebesar 8.0% dan 55-64 tahun
sebesar 6.5% (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Terdapat beberapa faktor biopsikososial yang mempengaruhi terjadinya depresi
termasuk depresi pada lansia. Faktor biologi yang mempengaruhi terjadinya depresi
adalah herediter atau genetik, jenis kelamin wanita, kurang aktifnya neurotransmisi
serotonergik, hipersekresi kortisol, kadar testosteron yang rendah, stroke, penyakit
medis dan gangguan fungsional. Faktor psikologis yang mempengaruhi kejadian
depresi adalah gangguan kepribadian, neurotisisme, ketidakberdayaan dengan yang
akan dipelajari, distorsi kognitif, dan lokus kontrol eksternal. Faktor sosial yang
mempengaruhi depresi adalah peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, berkabung,
dan kerugian sosial ekonomi (Blazer, 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua memiliki dua atau tiga kali
lipat peningkatan risiko kematian akibat penyakit dalam satu sampai empat tahun,
terutama gangguan kardiovaskular. Depresi juga berkaitan dengan meningkatnya angka
kematian, angka kesakitan dan angka bunuh diri yang mengakibatkan kenaikan dari
kebutuhan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang akhirnya meningkatkan biaya
8
Universitas
pelayanan kesehatan. Terdapat bukti bahwa terjadinya gejala depresi meningkat seiring
bertambahnya usia terutama pada wanita dan lebih tinggi terjadi di panti jompo dimana
bisa mencapai 30%. Ada studi juga yang menemukan bahwa prevalensi depresi pada
lanjut usia yang menjalani rawat jalan dan tinggal di rumah adalah sebesar 13 hingga
40% (Babatsikou et al., 2017).
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa prevalensi depresi pada
lansia yang tinggal di komunitas berkisar 16.5% hingga 41.8% (Chamroon et al., 2020;
Charoensakulchai et al., 2019; Mirkena, Reta, Haile, Nassir, & Sisay, 2018; Vanoh,
Shahar, Yahya, & Hamid, 2016), sedangkan beberapa penelitian menyatakan bahwa
prevalensi depresi di panti jompo berkisar 44.73% hingga 74.6% (Mali, Poudel, Mali,
Poudel, & Joshi, 2021; Ranjan, Bhattarai, & Dutta, 2014). Di Indonesia terdapat
beberapa penelitian mengenai prevalensi depresi di panti jompo yang menyatakan
bahwa prevalensi lansia di panti jompo sebesar 49% hingga 67%. Menurut penelitian
yang dilakukan Ilannoor (2020) dapat dilihat bahwa prevalensi lansia yang mengalami
depresi di Panti Sosial sebesar 67%, penelitian yang dilakukan Puspadewi (2017)
sebesar 57.4% dan penelitian yang dilakukan oleh Ballo (2012) sebesar 49% (Ballo &
Kaunang, 2012; Ilannoor, Wati, & Ibnusantosa, 2020; Puspadewi & Rekawati, 2017).
Menurut Sare (2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa lansia yang
tinggal di panti jompo lebih memiliki self-esteem yang rendah, depresi yang lebih tinggi
dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tinggal di rumah nya
sendiri.(Šare, Ljubičić, Gusar, Čanović, & Konjevoda, 2021). Terdapat beberapa
penelitian yang menyatakan bahwa tingkat depresi lansia yang tinggal di panti jompo
lebih tinggi dibandingkan yang tinggal di rumah. Marsa (2021) menyatakan bahwa nilai
rata-rata dan standar deviasi DASS-21 pada lansia yang tinggal di panti jompo lebih
tinggi dibandingkan yang tinggal di rumah yang menandakan bahwa tingkat stress,
ansietas dan depresi pada lansia yang tinggal di panti jompo lebih tinggi dibandingkan
lansia yang tinggal di rumah (Marsa, Younesi, Barekati, Ramshini, & Ghyasi, 2020).
Hal ini dapat disebabkan karena jauh dari rumah dan keluarga meningkatkan
kehilangan akan efektivitas hubungan dengan teman dan saudara sehingga menurunkan
keakraban dalam hubungan, dukungan materi, dan dukungan psikologis pada lansia
yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis (Marsa et al., 2020). Menurut Fransiska
dkk dalam Melati (2013) menyatakan bahwa lansia yang tinggal di panti akan lebih
9
Universitas
memiliki rasa kesepian yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal bersama
dengan keluarga. Rasa kesepian dan dikucilkan atau tidak dibutuhkan ini menyebabkan
lansia mengalami harga diri yang rendah (Melati, Elita, & Agrina, 2013). Penurunan
tingkat harga diri yang rendah berhubungan dengan terjadinya peningkatan tingkat
depresi (Šare et al., 2021). Tinggal di panti werdha dapat juga menjadi stress karena
lansia yang tinggal di panti werdha belum tentu dapat menerima keputusan keluarga
untuk menempatkannya di panti werdha dan mungkin mereka akan merasa terbuang,
tidak dibutuhkan lagi, terisolasi dan kehilangan akan orang-orang yang dicintainya.
Selain itu lansia juga dapat merasa kesepian karena menganggap keluarganya
telah melupakan orang tuanya dan panti werdha merupakan tempat yang relatif asing
bagi lansia dibandingkan dengan tinggal di rumah bersama keluarga sehingga mereka
harus beradaptasi dengan lingkungan (Lestari, 2011). Beberapa penelitian juga
mengatakan bahwa kualitas hidup di komunitas lebih tinggi dibandingkan di panti
jompo. Menurut penelitian Kiik (2020), terdapat perbedaan kualitas hidup lansia di
komunitas dan institusi sosial dan kualitas hidup lansia di komunitas lebih tinggi dari
yang tinggal di institusi sosial (Kiik & Nuwa, 2020). Menurut Nugraha (2020)
persentase kualitas hidup di komunitas lebih banyak yang baik dibandingkan dengan
yang buruk sedangkan di panti jompo persentase kualitas hidup lebih banyak yang
buruk (Nugraha & Aprillia, 2020)
Pengobatan utama depresi adalah dengan melakukan intervensi biologis,
psikososial dan psikoterapi (Babatsikou et al., 2017). Depresi pada lanjut usia dapat
ditangani secara efektif baik secara klinis dan non klinis yaitu farmakoterapi,
psikoterapi dan elektrokonvulsif terapi. Psikiater khusus pada lanjut usia mengusulkan
penggunaan kombinasi obat (antidepresan) dengan intervensi psikologis seperti CBT,
terapi interpersonal dan lain-lain untuk hasil yang efektif dalam menurunkan depresi
(Olabisi, 2020). Banyak intervensi lainnya juga yang digunakan untuk menurunkan
depresi seperti terapi musik, yoga, meditasi, terapi cahaya dan terapi tawa (Mahesh
Kumar, 2015).
Beberapa studi memperlihatkan bahwa terapi tawa mempunyai efek positif
terhadap depresi pada lansia. Menurut studi yang dilakukan Ko (2011) menyimpulkan
bahwa terapi tawa mempunyai efek positif terhadap depresi, insomnia dan kualitas tidur
yang terjadi pada orang lanjut usia (Ko & Youn, 2011).
1
Universitas
Beban ekonomi dapat terjadi berkaitan dengan kejadian gangguan depresi yang
sering terjadi pada lanjut usia. Sekitar 10-15% lansia dalam perawatan layanan primer
menderita penyakit depresi (Snow & Abrams, 2016). Beberapa studi telah
memperlihatkan bahwa depresi pada lansia berhubungan dengan penggunaan sumber
dan biaya yang lebih tinggi. Total biaya yang dikeluarkan pada pasien lansia yang
depresi di antara pasien yang memiliki komorbid lebih meningkat dibandingkan yang
tidak depresi, sehingga bertambahnya kejadian depresi dapat menimbulkan beban pada
sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat serta menjadi sangat penting dari sudut
ekonomi (Bock et al., 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Katon (2003)
memperlihatkan bahwa gejala depresi pada pasien berhubungan secara signifikan
dengan biaya pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Katon, Lin, Russo, & Unützer,
2003).
Penelitian efektivitas biaya dari terapi psikologis sebagai terapi tambahan
pengobatan depresi masih belum banyak dilakukan padahal diharapkan dengan adanya
penelitian terkait biaya terapi psikologis dapat menurunkan beban biaya pada terapi
depresi. Menurut Holman etc. (2011) CBT secara signifikan lebih mahal daripada
Therapy as Usual saja atau Therapy As Usual plus Talking Control, tetapi lebih efektif
secara klinis (Holman, Serfaty, Leurent, & King, 2011). Penelitian mengenai efektivitas
terapi tawa dalam menurunkan depresi pada lansia telah banyak dilakukan namun
penelitian terkait efektivitas biaya terapi tawa pada depresi lansia belum banyak
dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Proses menua dalam suatu kehidupan proses yang normal. Populasi di dunia
menua dengan cepat dan proporsi lansia diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat.
Hal ini dapat disebabkan oleh angka harapan hidup yang meningkat pula. Orang dewasa
yang lebih tua memiliki risiko untuk mengalami gangguan mental, gangguan neurologis
atau masalah penggunaan zat serta kondisi lainnya seperti diabetes, gangguan
pendengaran dan osteoarthritis yang semua ini dapat menurunkan kualitas hidup. Salah
satu gangguan mental yang sering terjadi pada lansia adalah depresi. Depresi dapat
menurunkan fungsi kehidupan sehari-hari.Depresi juga sering dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian, dan hasil pengobatan yang lebih rendah pada gangguan
1
Universitas
fisik yang ada serta menurunkan kualitas hidup. Depresi pada lansia lebih sering terjadi
pada lansia yang tinggal di panti werdha, hal ini dapat disebabkan karena keadaan yang
jauh dari rumah atau keluarga dapat mengakibatkan gangguan psikologis. Selain itu,
lansia yang tinggal di panti akan lebih merasa kesepian dibandingkan dengan yang
tinggal bersama keluarga, rasa kesepian dan dikucilkan inilah yang menyebabkan lansia
merasa memiliki harga diri rendah sehingga menyebabkan depresi. Tinggal di panti
werdha dapat juga menjadi stress karena lansia yang tinggal di panti werdha belum
tentu dapat menerima keputusan keluarga untuk menempatkannya di panti werdha dan
mungkin mereka akan merasa terbuang, tidak dibutuhkan lagi, terisolasi dan kehilangan
akan orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan masalah yang telah diuraikan,
diperlukan suatu solusi untuk dapat mengobati depresi yang terjadi pada lansia,
pengobatan utama depresi adalah dengan melakukan intervensi biologis, psikososial dan
psikoterapi. Salah satu cara untuk mengurangi tingkat depresi pada lansia adalah dengan
terapi tawa. Terapi tawa mempunyai efek positif terhadap depresi pada lansia, selain itu
terapi tawa juga merupakan salah satu terapi yang memiliki biaya rendah (cost
effectiveness). Penelitian mengenai efektivitas terapi tawa dalam menurunkan depresi
pada lansia telah banyak dilakukan namun penelitian terkait efektivitas biaya terapi
tawa pada depresi lansia belum banyak dilakukan. Sehingga penelitian ini akan
melakukan analisis efektivitas dan evaluasi ekonomi terapi tawa pada depresi lanjut usia
di Panti Werdha.

1.3 Pertanyaan Penelitian (diperbaiki dan ditambahkan)


1. Apakah intervensi terapi tawa dapat menurunkan depresi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pada lansia?
2. Apakah terdapat hubungan antara variabel terikat (kovariat) dengan kejadian
depresi pada lansia?
3. Bagaimana cost effectiveness terapi tawa pada lansia yang diberikan terapi dan
yang tidak diberikan terapi tawa?

1
Universitas
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui analisis efektivitas dan biaya terapi tawa dalam menurunkan depresi
meningkatkan kualitas hidup pada lanjut usia dan evaluasi ekonominya

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Menyusun intervensi pada lansia berdasarkan pedoman terapi tawa.
2. Mengetahui perbedaan tingkat depresi pada lanjut usia yang diberi intervensi
terapi tawa dengan yang tidak diberikan terapi tawa
3. Mengetahui hubungan antara variabel terikat (kovariat) dengan kejadian depresi
pada lansia
4. Mengetahui cost effectiveness terapi tawa pada depresi lanjut usia yang
diberikan terapi tawa dengan yang tidak diberikan terapi tawa

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Lanjut usia
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu upaya dalam
menurunkan tingkat depresi dan meningkatkan kualitas hidup pada lansia.

1.5.2 Bagi Panti Werdha


Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi Panti Werdha untuk menambah
suatu program atau kegiatan yang bermanfaat bagi lansia agar menurunkan kejadian
depresi yang ada.

1.5.3 Bagi Pemerintah


Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pemerintah untuk dapat dijadikan acuan untuk pembuatan program yang cost effective
pada panti werdha sosial dalam upaya menurunkan tingkat depresi pada lansia.

1
Universitas
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Lanjut Usia


Lanjut Usia atau Lansia didefinisikan sebagai usia diatas 65 tahun atau lebih
dimana usia 65 – 74 tahun disebut sebagai lansia awal dan usia lebih dari 75 tahun
disebut lansia akhir.

2.2. Kesehatan Mental pada Lanjut Usia


Berdasarkan data World Health Organization tahun 2017, jenis kesehatan mental
yang paling sering terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

2.2.1. Demensia
Menurut World Health Organization (WHO, 2017), Demensia adalah sebuah
sindrom yang biasanya bersifat kronik atau progresif. Pada penderita demensia terjadi
kerusakan dalam memori, pemikiran, perilaku dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari. Sindrom ini biasanya terjadi pada orang tua, meskipun bukan
bagian normal dari penuaan. Diperkirakan 50 juta orang di seluruh dunia hidup dengan
demensia dan hampir 60% darinya tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah
hingga menengah.
Diproyeksikan jumlah total orang yang mengalami demensia akan meningkat
menjadi 82 juta orang pada tahun 2030 dan 152 juta orang pada tahun 2050 (WHO,
2017). Terdapat masalah sosial dan ekonomi yang signifikan mengenai biaya langsung
terhadap perawatan medis, sosial dan informal yang terkait dengan demensia. Selain itu,
terdapat pula tekanan fisik, emosional dan ekonomi yang dapat menyebabkan stres
besar bagi keluarga atau pengasuh dari si penderita. Dukungan yang besar diperlukan
mulai dari sistem kesehatan, sosial, keuangan hingga hukum untuk orang penderita
demensia dan pengasuh mereka.

2.2.2. Depresi
Depresi adalah gangguan mood yang menyebabkan perasaan sedih dan
kehilangan minat yang terus menerus. Untuk didiagnosa menderita depresi berat,
penderita harus memiliki mood tertekan atau anhedonia atau paling sedikit 5 dari 9

1
Universitas
gejala dibawah ini hampir setiap hari dan paling sedikit selama 2 minggu yaitu gejala
(Park & Reynolds, 2015):
1. Mood yang tertekan
2. Berkurangnya minat atau kesenangan
3. Gangguan tidur (peningkatan atau penurunan tidur)
4. Gangguan nafsu makan (nafsu makan meningkat atau menurun, biasanya dengan
perubahan berat badan)
5. Kelelahan atau kehilangan energi
6. Berkurangnya konsentrasi
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah berlebihan atau merasa tidak pantas
8. Retardasi atau agitasi psikomotor
9. Pemikiran berulang tentang kematian atau bunuh diri (tidak hanya takut akan
kematian)

2.2.2.1. Prevalensi Gangguan Depresi


Prevalensi dari gangguan depresi pada lansia yang berusia 65 tahun dan lebih
berkisar antara 1-5%. Gejala klinis dari depresi ini sebanyak 15% timbul pada lansia
yang tinggal di komunitas. Tingkat timbulnya depresi lebih banyak timbul pada lansia
wanita dibandingkan pada pria (Fiske, Wetherell, & Gatz, 2010; Koch, 2019). Pada
orang dewasa yang lebih tua, prevalensi depresi bervariasi antara 30%-45% dimana
yang datang ke layanan primer sekitar 6%-9%. Sekitar 12%-14% lansia yang tinggal di
panti werdha memenuhi kriteria depresi.

2.2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi


Konsep yang dominan dalam praktek dan penelitian klinis dalam kedokteran
psikiatri dan psikosomatik adalah model biopsikososial yang diperkenalkan oleh George
L Engel pada tahun 1977(Hefti, 2011). George L. Engel (1977) menegaskan bahwa
model biopsikososial mengungkapkan perkembangan penyakit melalui interaksi faktor
biologis: genetik, biokimia; faktor psikologis: suasana hati, kepribadian, perilaku; dan
faktor sosial: budaya, keluarga, sosial ekonomi, medis. Gambar 2.1 mengilustrasikan
model biopsikososial (Taukeni, 2020).

1
Universitas
Gambar 2.1 Model Biopsychosocial
Sumber : Taukeni (2020)

Ketika faktor biologi, psikologis dan sosial dilihat secara terpisah dapat dilihat
berbagai pengaruh yang dapat membawa perubahan pada faktor tersebut. Faktor
biologis dapat dipengaruhi oleh adanya infeksi, cedera, pola makan, paparan racun,
genetik, dan berbagai kelainan fungsi abnormal dan semua ini dapat menyebabkan
kelainan yang lebih lanjut pada kasus lainnya. Faktor psikologis dapat dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya dan faktor demografis. Dari faktor sosial dapat dipengaruhi oleh
perubahan organisasi sosial, norma sosial dan migrasi (Karunamuni, Imayama, &
Goonetilleke, 2020). Ketika mempertimbangkan ketiga faktor biologi, psikologi dan
sosial pada satu individu maka terdapat enam jalur yang berpotensial terjadi diantara
ketiga faktor tersebut yang tergambar pada gambar dibawah ini

Gambar 2.2 Jalur hubungan Biologi, Psikologis dan Sosial


Sumber: Sarafino (2011) Karunamuni, Imayama & Goonetilleke (2020)

Dari gambar dapat dilihat bahwa faktor biologi mempengaruhi faktor psikologi,
faktor psikologi mempengaruhi faktor sosial dan faktor sosial mempengaruhi biologi

1
Universitas
dan sebaliknya faktor sosial mempengaruhi faktor psikologi, faktor psikologi
mempengaruhi faktor biologi dan faktor biologi mempengaruhi faktor sosial
(Karunamuni et al., 2020). Menurut Levy-Storms (2018) bahwa terdapat pendekatan
biopsikososial yang mempengaruhi kesehatan pada manusia dan proses penuaan
memiliki aspek biologis, psikologis dan sosial yang berbeda dan aspek tersebut juga
tumpeng tindih seperti yang terlihat pada gambar 2.3. (Levy-Storms, Chen, &
Loukaitou-Sideris, 2018).

Gambar 2.3 Pendekatan Biopsikososial faktor yang mempengaruhi kesehatan


Sumber: Levy-Stroms (2018)

Faktor biopsikososial yang mempengaruhi kesehatan mental dapat dilihat pada


gambar 2.4 dibawah ini (Ahmad, 2016; Salkeld, 2015).

Gambar 2.4 Faktor Biopsikososial yang mempengaruhi kesehatan mental


Sumber: (Salkeld, 2015)

Pada model biopsikososial yang telah dikembangkan, agama dan spiritualitas


merupakan dimensi keempat dan pada model ini menggambarkan bahwa pada
1
Universitas
kesehatan mental dimana dilakukan pendekatan holistik harus mengintegrasikan
farmakoterapi, psikoterapi, sosioterapi dan unsur rohani (Hefti, 2011).

Gambar 2.5 Proses interaktif biopsikososial-spiritual


Sumber: Hefti (2011)

Agama dan spiritualitas dapat memiliki efek menguntungkan atau merugikan


bagi kesehatan. Secara umum orang yang memiliki keyakinan akan agama yang lebih
tinggi melaporkan memiliki kesehatan fisik dan penyesuaian psikologis yang lebih baik
serta tingkat permasalahan perilaku sosial yang lebih rendah (Hefti, 2011). Depresi pada
lansia memiliki faktor biopsikososial yang saling berinteraksi dan menimbulkan
munculnya gejala depresi yang berbeda pada suatu individu, namun sejauh mana faktor
tersebut berdistribusi pada munculnya gejala depresi tidak diketahui seperti yang
terlihat pada gambar 2.6.
Pemahaman mengenai faktor risiko biologis, psikologis dan sosial dapat
memberikan dampak yang signifikan terhadap upaya pencegahan untuk mengurangi
risiko depresi pada populasi (Diniz, 2020). Terdapat beberapa penelitian yang
memperlihatkan bahwa banyak faktor biopsikososial yang mempengaruhi terjadinya
depresi pada lansia. Menurut Blazer terdapat faktor risiko umum yang dapat
mempengaruhi terjadinya depresi di seluruh siklus kehidupan yang dibagi menjadi
risiko biologis, psikologis dan sosial. Risiko biologis berupa keturunan (studi kembar),
jenis kelamin, kurang aktifnya neurotransmisi serotonergik, hipersekresi kortisol (terkait
dengan hippocampal atrofi), rendahnya kadar testosteron, stroke, penyakit medis dan
gangguan fungsional, dan penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol.

1
Universitas
Gambar 2.6 Faktor biopsikososial yang mempengaruhi depresi pada lansia
Sumber: Diniz (2020)

Risiko psikologis berupa gangguan kepribadian, neurotisime ketidakberdayaan


yang dipelajari, distorsi kognitif, lokus kontrol eksternal. Risiko sosial berupa peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan dan kerepotan sehari-hari berkabung kerugian
sosial-ekonomi dan gangguan dukungan sosial. Adapun faktor risiko dan perlindungan
spesifik pada gangguan depresi di akhir kehidupan terdiri dari risiko biologis berupa
Polimorfisme genetik atau mutasi (seperti Cadasil), tingkat rendah DHEA, iskemia
kortikal dan subkortikal, penyakit Alzheimer. Faktor pelindung psikologis berupa
selektivitas sosial-emosional, dan kebijaksanaan (Blazer, 2003). Menurut Patel (2022)
depresi yang terjadi pada lansia merupakan hasil dari interaksi beberapa faktor. Faktor
tersebut termasuk faktor biologi, psikologis, sosial, spiritual dan sifat kepribadian (S, J,
& A, 2022).

1. Faktor Biologi dan penyakit fisik


Faktor Biologi. Faktor biologi terdiri dari faktor genetik dan non genetik. Faktor
risiko biologi non-genetik untuk terjadi depresi sangatlah penting pada usia lanjut,
sebagai besar hal ini dikarenakan adanya perubahan biologis terkait usia. Faktor risiko
biologis ini termasuk endokrin, imun, atau inflamasi dan neuroanatomi. Status biologis
ini selanjutkan dapat berinteraksi dengan efikasi dari pengobatan. Pada lanjut usia
depresi sering terjadi berkaitan dengan penyakit medis. Terdapat beberapa penyakit
yang berhubungan dengan depresi yaitu penyakit kardiovaskular, diabetes, obstruksi
kandung kemih, atrofi serebral, katarak, stroke, epilepsy, penyakit pembuluh kecil

1
Universitas
serebral, cedera otak traumatis, dan kecacatan pada multiple sklerosis demensia,
gangguan neurologis, gangguan ansietas dan gangguan tidur (Fiske et al., 2010; Remes,
Francisco, & Templeton, 2021).
Penyakit jantung dan cerebrovascular dan kondisi neurologis merupakan kondisi
yang paling kuat yang berhubungan dengan depresi meskipun kondisi serius atau kronik
lainnya dapat menyebabkan depresi. Depresi juga dapat disebabkan oleh infeksi atau
keganasan. Dari hasil penelitian didapatkan penyakit Diabetes merupakan faktor risiko
depresi meskipun ada beberapa riset yang mengatakan juga bahwa depresi merupakan
faktor risiko dari diabetes. Disregulasi endokrin dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan depresi pada lansia seperti pada keadaan hiper serta hipotiroid demikian
juga depresi dengan peningkatan aktivitas adrenokortikal, faktor insulin-1 dan petanda
inflamasi. Depresi pada lansia juga dikaitkan dengan osteoporosis yang ini mungkin
terjadi akibat adanya peran penanda inflamasi. Depresi juga dapat disebabkan oleh
pengobatan seperti obat beta bloker, digitalis, kortikosteroid, hormone, anti parkinson,
obat sal respirasi atau sal gastrointestinal, obat pengobatan kanker, benzodiazepin dan
interferon (Fiske et al., 2010).
Menurut Varma (2012) terdapat faktor risiko terjadinya depresi pada lansia yaitu
usia lanjut, wanita, adanya penyakit fisik, dan penggunaan bermacam obat. Usia lanjut
berhubungan dengan masalah kesehatan yang mana masalah kesehatan berhubungan
dengan depresi. Wanita lebih banyak mengalami depresi karena wanita memiliki
kepuasan hidup yang rendah dan persepsi yang tinggi terhadap masalah ekonomi.
Banyak penyakit fisik yang meningkat sehubungan dengan bertambahnya usia seperti
penyakit serebrovaskular, Parkinson, kanker, Diabetes Melitus dan tiroid yang
mempunyai peranan dalam timbulnya gejala depresi. Obat seperti antihipertensi dan
kortikosteroid yang menghalangi, meningkatkan emisinya, menyebabkan regulasi
naik/turun, dan memodifikasi sistem katekolamin atau indoleamin dapat menyebabkan
depresi.
Dilaporkan bahwa pada orang tua ada hubungan antara perubahan materi putih
otak dan kejadian gangguan depresi dan tingkat remisi yang lebih rendah pada pasien
yang memiliki kelainan materi putih mikro (Sözeri-Varma, 2012). Menurut Patel (2022)
Salah satu faktor biologi yang berhubungan dengan depresi adalah neurotransmitter dan
neurotransmitter yang khas untuk depresi adalah serotonin. Kelainan pada regulasi jalur
2
Universitas
neurohormonal juga ada pada depresi seperti kelainan regulasi pada adrenokortikotropik
(hipofisis) atau kortisol, norepinefrin dan dopamin (S et al., 2022). Kerentanan genetik
lebih kecil kemungkinannya pada orang tua yang menderita depresi dibandingkan
dengan depresi onset dini meskipun penanda genetik seperti alel E4 dari apolipoprotein
E dan mutasi C677T pada enzim MTHFR (methylene tetrahydrofuran reductase) telah
muncul pada beberapa pasien dengan depresi onset lambat (S et al., 2022).

2. Faktor Psikologis
Menurut Patel (2022) terdapat penelitian yang menemukan bahwa orang yang
dilecehkan dan dilecehkan yang dilecehkan dan diabaikan secara emosional selama
masa kanak-kanak mereka lebih rentan untuk terjadi depresi pada kemudian hari. Lansia
yang mengalami depresi juga dipengaruhi oleh peristiwa kehidupan yang negatif (S et
al., 2022). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saadati (2021) menyatakan bahwa
seiringnya bertambahnya usia dan mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan,
depresinya akan meningkat. Orang tua dengan strategi koping yang berfokus pada
masalah cenderung lebih sedikit mengalami depresi (Saadati, Froughan, Azkhosh,
Bahmani, & Khanjani, 2021).

3. Faktor Sosial
Faktor risiko seperti peristiwa kehidupan yang penuh dengan stress dan
dukungan sosial yang tidak adekuat tidak timbul seperti pada masa kehidupan awal
namun dapat meningkat kembali dalam usia yang sangat tua, ketika dihadapkan pada
suatu kehilangan yang sangat besar. Kesulitan keuangan, berkabung, penyakit fisik baru
atau cacat pada diri sendiri atau anggota keluarga, perubahan dalam situasi kehidupan,
dan konflik interpersonal merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan stress atau
tekanan pada akhir kehidupan. Pensiun pada orang dewasa yang lebih tua kebanyakan
tidak terkait dengan kejadian depresi pada orang tersebut meskipun risiko dapat
meningkat untuk pria yang pensiun dini (Fiske et al., 2010).
Faktor sosial ekonomi memainkan peran penting pada depresi lansia. Defisit
dalam dukungan sosial, aspek negatif dari jejaring sosial, dan bahkan jumlah dukungan
yang berlebihan telah dipelajari sebagai faktor risiko depresi di akhir kehidupan, tetapi
membedakan apakah itu sebab atau akibat depresi dapat menjadi masalah. Secara
2
Universitas
khusus, hubungan yang bermasalah mungkin menjadi faktor dalam menjelaskan depresi
kehidupan akhir. Dukungan sosial yang dianggap berlebihan atau tidak membantu
mungkin menjadi faktor yang jelas untuk depresi. Peningkatan tingkat gejala depresi
yang terkait dengan penerimaan dukungan sosial telah ditemukan di antara orang
dewasa yang lebih tua dengan keterbatasan fisik yang mendukung keinginan yang lebih
besar untuk kemandirian (Martire, Stephens, Druley & Wojno, 2002).

4. Faktor Spiritual
Konsep dari spiritualitas sangat umum dan bersifat multidimensi yang mana
berasal dari alasan subjektif dan dipengaruhi oleh pengalaman hidup seseorang, dan
mencakup seperangkat keyakinan yang tidak terkait dengan doktrin agama dalam
mengungkapkan makna dan pencarian pemahaman hidup. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lima (Lima et al., 2020) memperlihatkan bahwa spiritualitas memiliki
efek langsung negatif terhadap kualitas hidup mental. Dalam menghadapi penuaan,
terdapat kesulitan yang terjadi saat proses penuaan dan keterbatasan diri yang tak
terhindarkan, maka spiritualitas dan agama hadir sebagai dukungan yang membantu
lansia untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari. Pada Mahwati (2017)
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara spiritualitas dan depresi. Pada
penelitiannya menunjukkan hasil bahwa lansia yang spiritualitasnya lebih rendah
kemungkinan dua kali mengalami depresi dibandingkan lansia yang memiliki
spiritualitas yang tinggi

2.2.2.3. Patofisiologi Depresi


Patofisiologi terjadinya depresi merupakan suatu fenomena yang sangat
kompleks. Patofisiologi dari depresi mungkin berkaitan dengan disregulasi dari
sejumlah sistem neurotransmitter, termasuk sistem serotonin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolin, dan asam gamma-amino butirat. Ulasan dari Dunlop dan Nemeroff
menemukan dukungan yang kuat atas hipotesis bahwa depresi berhubungan dengan
keadaan transmisi dopamin yang berkurang. Terdapat juga bukti kuat yang berkaitan
dengan hubungan antara peningkatan berbagai sitokin dan depresi pada lansia (Cahoon,
2012). Pada stress yang kronik dapat terjadi kerusakan pada hipokampus. Hipokampus
mengatur aktivitas aksis HPA yang akan meningkatkan kadar kortisol guna

2
Universitas
mempertahankan kehidupan demikian juga pada aksis HPT yang akan meningkatkan
kadar TRH.

2.2.2.4. Gejala dan Tanda Depresi


Depresi pada orang lanjut usia dapat bermanifestasi bermacam-macam dan
banyak gejala yang merupakan penyakit fisik yang pada umumnya terjadi pada populasi
ini yang mempersulit untuk mengidentifikasi yang mana gambarannya berbeda dengan
orang dewasa yang lebih muda. Biasanya pada depresi tanda-tanda fisik dapat
merupakan lemas, hilang nafsu makan, penurunan berat badan, gangguan tidur atau
insomnia, rasa nyeri yang tidak jelas dan di beberapa tempat atau sendi, gerakan yang
melambat, terjadinya masalah memori dan mulai tampak bingung, dan gangguan
intestinal. Mereka mungkin masih dapat membantu orang lain atau menarik diri dari
lingkungan sosial (Cahoon, 2012; Koch, 2019). Depresi pada orang yang lebih tua
berhubungan dengan gangguan fungsional secara kognitif, fisik dan sosial.
Presentasi depresi pada orang dewasa yang lebih tua sangat berbeda dengan
pada orang dewasa yang lebih muda. Perbedaan yang paling signifikan dan mendasar
dalam presentasi pada orang dewasa yang lebih tua adalah bahwa depresi dapat hadir
dengan tidak adanya komponen yang mempengaruhi, yaitu perasaan subjektif suasana
hati yang rendah atau kesedihan tidak dialami Tidak adanya komponen afektif disebut
sebagai 'depresi tanpa kesedihan' Hal ini umum bukan untuk orang dewasa yang lebih
tua untuk melaporkan kurangnya perasaan atau emosi ketika depresi (Pocklington,
2017).
Depresi pada orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan gangguan
fungsional secara kognitif, fisik dan sosial. Gangguan fungsional tersebut terkait dengan
hilangnya fungsi independen dan peningkatan tingkat kecacatan. Penarikan dari
kegiatan sosial dan rekreasi normal dapat ditandai. Penghindaran sosial mengurangi
interaksi dengan orang lain dan sering menjadi faktor pemeliharaan depresi.

2
Universitas
2.2.2.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding Depresi
Diagnosis dasar depresi dilakukan oleh dokter atau terapis melalui temuan
psikopatologi. Depresi didiagnosis dan dideskripsikan dengan menggunakan kriteria
diagnosis DSM -5. Kriteria diagnosis depresi dalam dilihat dalam tabel 1 dibawah ini:
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis depresi berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis DSM-5
(Lima atau lebih dari gejala berikut harus hadir hampir setiap hari selama
periode 2 minggu)
Gejala inti (≥ 1 diperlukan untuk diagnosis)
- Suasana hati yang tertekan hampir setiap hari
- Anhedonia atau minat atau kesenangan yang sangat menurun di hampir semua
kegiatan
Gejala tambahan
- Penurunan berat badan yang signifikan secara klinis atau peningkatan atau
penurunan nafsu makan
- Insomnia atau hipersomnia
- Agitasi psikomotorik atau keterbelakangan
- Kelelahan atau kehilangan energi
- Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas
Berkurang kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau ragu-ragu
Pikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri

Gejala depresi dapat terjadi pada macam-macam gangguan psikiatrik seperti


episode depresi, gangguan bipolar, cyclothymia, dysthymia, gangguan penyesuaian atau
bahkan gangguan kepribadian atau gangguan skizoafektif. Gangguan Depresi dapat
memiliki kesamaan dengan demensia, gangguan konsentrasi dan keluhan dari penderita
mengenai gangguan memori. Pada penderita depresi biasanya mereka tidak mengalami
kebingungan seperti dalam menyebutkan tanggal, waktu dan tempat yang benar dalam
menjawab pertanyaan meskipun kadang membutuhkan waktu yang lebih lama.
Penderita depresi mudah mengalami ketegangan sedangkan pada demensia lebih sering
untuk meremehkan gejala atau cenderung untuk menyembunyikannya ketika harus
menggambarkan gejala yang mereka alami (Cahoon, 2012; Koch, 2019).

2
Universitas
2.2.2.6. Tatalaksana dan Pencegahan Depresi
Intervensi atau tatalaksana depresi pada lansia dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu terapi medis, terapi psikologis atau psikoterapi dan perubahan gaya hidup .Terapi
medis yang secara berbasis bukti dapat menurunkan depresi pada lansia adalah berupa
pemberian antidepresan dan electroconvulsive therapy (ECT) (Frazer, Christensen, &
Griffiths, 2005). ECT merupakan terapi alternatif yang berbasis bukti untuk terapi
depresi yang sering dilakukan pada lansia dibandingkan dengan usia lainnya. Efikasi
dari ECT sangat baik namun terapi dengan menggunakan ECT ini memiliki efek
samping seperti terjadinya komplikasi pada jantung, kehilangan memori, dan delirium
sehingga harus lebih diperhatikan penggunaan ECT pada lansia (Fiske et al., 2010).
Psikoterapi adalah perawatan yang efektif untuk depresi pada usia akhir dan
dapat dianggap sebagai terapi lini pertama, tergantung pada ketersediaan dan preferensi
pasien. Psikoterapi yang secara empiris efektif untuk manajemen depresi lanjut usia
adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Psikoterapi interpersonal, cognitive
reminiscence therapy dan life review, dan problem-solving therapy. Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) merupakan terapi psikoterapi yang berfokus pada
mengidentifikasi dan merangkai ulang pikiran negatif dan disfungsional sambil
meningkatkan partisipasi dalam kegiatan yang menyenangkan dan sosial. Pada suatu
meta analysis memperlihatkan bahwa CBT secara signifikan lebih efektif untuk
menurunkan gejala depresi (Cahoon, 2012; Taylor, 2014).
Psikoterapi interpersonal merupakan terapi berbasis bukti yang mana terapi ini
awalnya dikembangkan untuk mengobati depresi berat. Pada terapi ini pasien belajar
untuk memahami interaksi antara gejala dan kesulitan interpersonal dan cara bagaimana
mereka saling memperkuat. Pasien dibantu untuk memecahkan pola ini sehingga terjadi
gejala depresi dan peningkatan fungsi interpersonal melalui peningkatan komunikasi,
pengaruh ekspresi dan keterlibatan proaktif dengan jaringan interpersonal saat ini.
Psikoterapi interpersonal adalah terapi psikologis singkat untuk depresi yang bertujuan
untuk mengurangi gejala depresi dan untuk meningkatkan fungsi sosial (Law, 2011).
Psikoterapi interpersonal bersifat integrative, hal ini karena pada terapi ini
menggunakan diagnosis eksplisit, memvalidasi kesulitan hidup dengan depresi dan
menekankan tanggung jawab yang timbul dari peran pasien - dan ide-ide yang berakar
lebih dinamis dari pola hubungan timbal balik dan berulang, kerentanan yang dapat
2
Universitas
terjadi akibat dari hubungan yang tidak dinamis, dan dampak ketidakmampuan untuk
membangun atau mempertahankan jaringan interpersonal yang baik (Law, 2011).
Terapi memori merupakan terapi yang menggunakan berbagai pendekatan yang
memerlukan peninjauan pengalaman masa lalu seseorang. Pada terapi ini peninjauan
kehidupan dilakukan lebih terstruktur dan berfokus pada proses terapetik untuk
memberikan pandangan positif pada masa lalu seseorang pada lansia dengan depresi.
Terapi ini dilakukan dengan dengan periode yang singkat misalnya 6-8 sesi dan
memberikan pengaruh pada gejala depresi. Terapi ini juga dapat digunakan untuk masa
akhir kehidupan, kepuasan hidup dan integrasi sosial (Renn & Arean, 2017).
Problem Solving Therapy atau terapi pemecahan masalah berfokus pada upaya
peningkatan keterampilan dalam upaya mengatasi masalah kehidupan. Terapi
pemecahan masalah secara efektif dalam mengobati gejala depresi pada orang dewasa
yang lebih tua dengan kelainan defisit kognitif khususnya disfungsi eksekutif hidup
berdampingan dan kelompok yang sering memiliki respon yang buruk terhadap obat
antidepresan (Fiske et al., 2010; Taylor, 2014).
Terdapat psikoterapi lain yang cukup efektif penelitian berbasis bukti sebagai
manajemen depresi yaitu terapi suportif, psikodrama, terapi music, terapi dansa dan
gerakan, terapi humor dan terapi tawa. Sesi dari pelaksanaan psikoterapi biasanya
dilaksanakan antara 6 hingga 12 sesi dalam periode 6 hingga 8 minggu (Olabisi, 2020).
Terapi tawa dapat merupakan sebuah seri dari CBT yang dapat membantu membuat
hubungan fisik, psikologis dan sosial menjadi sehat sehingga meningkatkan kualitas
hidup (Yim, 2016).

2.2.2.7. Prognosis Depresi


Tanpa pengobatan, depresi cenderung menjadi kronis, berulang dan
berhubungan dengan peningkatan kecacatan. Depresi lebih menurunkan status
kesehatan dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya seperti diabetes, asma, angina,
dan radang sendi. Penyakit penyerta atau komorbid dengan depresi akan memperburuk
status kesehatan seseorang yang memiliki penyakit kronis. Pengobatan yang tidak
memadai akan sering menyebabkan kekambuhan. Kekambuhan dapat dicegah dengan
pemberian antidepresan selama 4-6 bulan setelah remisi sesuai dengan rekomendasi dari
pedoman yang digunakan saat ini. Mereka yang mengalami satu episode depresi,

2
Universitas
50-85% akan mengalami episode depresi kedua dan sekitar 80-90% dari mereka yang
mengalami episode depresi kedua akan mengalami episode ketiga. Sekitar 90% dengan
depresi berat mengalami kekambuhan (S et al., 2022).
Faktor prognosis yang buruk dapat dikategorikan dari faktor pasien dan faktor
penyakit. Faktor pasien adalah riwayat keluarga dengan gangguan afektif, distimia atau
gangguan depresi persisten yang sudah ada sebelumnya, depresi yang disertai gangguan
kecemasan, depresi yang disertai penyalahgunaan zat. dan tingkat T3 yang rendah.
Faktor penyakit yaitu episode penyakit sebelumnya, episode indeks yang lebih panjang
dan lebih parah, depresi sub-sindrom residual, episode pertama setelah usia 60 tahun
dan pola musiman (S et al., 2022).

2.2.2.8 Komplikasi depresi


Depresi pada lansia dapat menyebabkan konsekuensi berat seperti penurunan
fungsional dan peningkatan kecacatan, peningkatan penggunaan layanan kesehatan
non-mental, peningkatan risiko kanker, peningkatan tingkat kematian yang terkait
dengan penyakit kardio dan serebrovaskular, dan bunuh diri. Pada keadaan depresi,
lansia sangat rentan terhadap gangguan kognitif yang mempengaruhi semua domain
kognitif termasuk kemampuan visuospatial, memori episodik, fungsi eksekutif, dan
kemampuan bahasa (Dines, Hu, & Sajatovic, 2014).

2.2.2.9. Penilaian Tingkat depresi


Banyak instrumen untuk dapat mengevaluasi dan mengidentifikasi tingkat
depresi. Beck Depression Inventory, Hamilton Rating Scale dan Patient Health
Questionnaire-9 (PHQ-9) telah digunakan secara efektif untuk mendiagnosis depresi
pada beberapa populasi. Kuesioner Geriatric Depression Scale (GDS-15) telah
dikembangkan, diuji, dan digunakan secara ektensif. Kuesioner ini memiliki korelasi
tertinggi dengan gejala depresi. Kuesioner ini memakan waktu 5-7 menit untuk
menyelesaikannya, lebih mudah digunakan oleh penderita dengan penyakit fisik atau
demensia ringan hingga sedang dan telah dievaluasi pada berbagai populasi (rawat inap,
rawat jalan, perawatan primer, panti jompo, dan perawatan kesehatan di rumah).
Kuesioner ini telah terbukti efektif dalam mendiagnosis depresi pada lansia. Kuesioner
ini terdiri dari 15 pertanyaan dikotomi dan memiliki skoring dari 1-15. Ketika
didapatkan skoring 5-10 maka dapat dikatakan depresi ringan dan skor 11-15 dikatakan

2
Universitas
depresi berat sehingga dapat dilihat makin tinggi skor dari GDS, makin tinggi
kemungkinan untuk seseorang menderita depresi (Cahoon, 2012; Koch, 2019).

2.3. Terapi Tawa


2.3.1. Definisi Tertawa
Tertawa adalah reaksi fisik yang terlihat pada manusia yang biasanya terdiri dari
kontraksi diafragma dan bagian lain dari sistem pernafasan. Tertawa merupakan respon
dari rangsangan eksternal atau internal tertentu yang dapat muncul dari aktivitas seperti
digelitik atau dari cerita atau pemikiran yang lucu (Yim, 2016).

2.3.2. Kategori Tertawa


Kategori dari tertawa dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu
1. Tertawa spontan yaitu tawa yang dipicu oleh emosi positif (tidak terkait dengan
kehendak bebas)
2. Tertawa simulasi yaitu tawa yang dipicu oleh diri sendiri sesuka hati (diinduksi
diri sendiri)
3. Tertawa terstimulasi yaitu tawa yang dipicu oleh kontak fisik (geli)
4. Tertawa yang diinduksi yaitu tawa yang dipicu oleh obat
5. Tertawa patologis yaitu tertawa yang dipicu oleh kerusakan sistem saraf

2.3.3. Definisi dan Macam Terapi Tawa


Terapi tawa adalah salah satu jenis komunikasi yang meningkatkan tawa,
senyum, perasaan menyenangkan dan memungkinkan untuk berinteraksi. Terapi tawa
ini menggunakan tawa untuk tujuan pengobatan agar dapat menjalani kehidupan yang
diinginkan, dengan menjaga, memulihkan dan mencegah fungsi fisik, psikologis, sosial,
mental dan spiritual melalui tawa spontan dan tidak spontan. Ini merupakan pendekatan
yang berbeda dari terapi medis. Pendekatan dengan terapi tawa ini berfokus pada
pendekatan bahwa tubuh dan pikiran dapat sehat hanya ketika aspek psikologis diubah
yang berarti tidak hanya sekedar perawatan fisik. Terapi tawa pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas hidup karena terapi tawa dapat merupakan rangkaian dari terapi
kognitif dan perilaku yang membantu membuat fisik, psikologis dan sosial menjadi
sehat (Yim, 2016).

2
Universitas
Terdapat format terapi tawa yang berbeda berdasarkan cara merangsang untuk
timbulnya tertawa yaitu terapi humor yang biasanya merupakan latihan tawa dengan
humor seperti dengan menggunakan video lucu atau badut dan terapi tawa tanpa
menggunakan humor yang biasanya mencakup latihan seperti bertepuk tangan, menari,
dan menyuarakan suara seperti tawa seperti "hoho-hahaha", tetapi juga dapat mencakup
unsur-unsur yang tidak melibatkan tawa, seperti latihan pernapasan dan relaksasi (van
der Wal & Kok, 2019).
Ada beberapa tipe dari terapi yang muncul dimana menggunakan tertawa untuk
membantu penderita yaitu
1. Terapi humor dan tawa terdiri dari penggunaan bahan humor seperti buku,
pertunjukan, film atau cerita untuk mendorong diskusi spontan tentang pengalaman
humor penderita sendiri. Ini dapat diberikan secara individu atau dalam pengaturan
kelompok. prosesnya difasilitasi oleh klinisi. itu juga dapat digunakan dalam
percakapan antara profesional medis dan penderita.
2. Meditasi tertawa memiliki kemiripan dengan meditasi tradisional. Namun tawalah
yang membuat orang tersebut fokus untuk berkonsentrasi pada saat itu. melalui
proses tiga tahap peregangan, tawa yang disengaja, dan periode keheningan
meditatif. Kadang-kadang dilakukan dalam pengaturan grup.
3. Yoga Tertawa agak mirip dengan yoga tradisional, ini adalah latihan yang
menggabungkan teknik pernapasan, yoga dan peregangan, bersama dengan tawa.
Format terstruktur mencakup beberapa latihan tawa selama 30-45 menit yang
difasilitasi oleh individu yang terlatih. itu dapat digunakan sebagai terapi tambahan
atau pencegahan (Satish, 2012).

2.3.4. Manfaat Terapi Tawa


Manfaat terapi tawa pada faktor fisik adalah meningkatkan fungsi pernafasan,
merangsang sirkulasi, menurunkan hormon stres, meningkatkan sistem imun,
meningkatkan ambang dan toleransi nyeri dan meningkatkan fungsi mental. Selain pada
faktor fisik, terapi tawa juga memberikan manfaat pada faktor psikologis yaitu
meningkatkan kesehatan mental (menurunkan stres, kecemasan, ketegangan dan
melawan gejala depresi), meningkatkan daya ingat, meningkatkan interaksi
interpersonal, meningkatkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan kualitas hidup dan
2
Universitas
perawatan penderita dan meningkatkan kegembiraan (Akimbekov & Razzaque, 2021;
Yim, 2016). Menurut Bahari (2019) efek terapi tawa pada kesehatan mental dapat
muncul seperti meningkatkan emosi positif, menstimulasi kognitif, meningkatkan
hubungan interpersonal menurunkan stress, dan meningkatkan koping positif seperti
yang terlihat pada gambar.

Sumber : Bahari ( 2019)

Gambar 2.7 Efek positif dan negatif terapi tawa pada kesehatan mental

Terapi tawa dapat meningkatkan emosi positif dimana terapi tawa dapat
menurunkan depresi dan ansietas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sayed dan
Gandham memperlihatkan bahwa terapi tawa secara signifikan dapat menurunkan
tingkat depresi dan ansietas pada lansia yang tinggal di panti jompo (Sayed, M.A. &
Gandham, 2018). Joseph dan Riaz (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
tingkat depresi di antara lansia menurun setelah diberikan terapi tawa (Joseph & KM,
2015). Penelitian lain yang dilakukan oleh George dan Jacob (2014) juga menyatakan
bahwa terapi tawa efektif dalam menurunkan depresi pada lansia (George & Jacob,
2014).
Terapi tawa secara fisiologis dapat mengurangi faktor pro-stres dan
meningkatkan faktor anti-stres yang meningkatkan mood untuk mengurangi ansietas
dan depresi. Manfaat dari terapi tawa dalam kesehatan mental ini adalah terapi tawa
dapat mengubah aktivitas dopamin dan serotonin, melepas endorfin dimana dapat
membantu orang yang mengalami depresi (Yim, 2016) Terapi tawa dapat menurunkan
stres, ansietas dan depresi dengan cara menekan bioaktivitas dari epinefrin, dan 3,4
dihydro phenylacetic acid yang merupakan katabolit dari dopamin. Dimana aktivitas
neurotransmitter yang berkurang seperti norepinefrin dan dopamin itu berkaitan dengan
3
Universitas
ansietas dan depresi dan terapi tertawa terbukti meningkatkan aktivitas dopamin dan
serotonin (Akimbekov & Razzaque, 2021; Yim, 2016).
Terapi tawa secara fisiologis menurunkan kadar dari hormon stress dan
meningkatkan kadar hormon endorfin dan menguatkan sistem imun dengan
meningkatkan jumlah T limfosit melalui aktivasi natural killer yang memperbanyak sel
darah putih dalam tubuh, Ig A. Ig G dan IgM yang meningkatkan kekebalan tubuh. Efek
tawa pada mental adalah mengurangi perasaan tidak nyaman seperti ketegangan,
ansietas, kebencian dan kemarahan. Selain itu juga dapat meredakan stress dan depresi,
membantu hubungan interpersonal yang lebih baik dan meningkatkan insomnia,
kegagalan mengingat dan demensia (Yim, 2016). Terapi tawa dapat merangsang fungsi
kognitif dimana terapi tawa meningkatkan memori, pemikiran kreatif dan pemecahan
masalah (Mora-Ripoll, 2010).

Gambar 2.8 Manfaat terapi tawa


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ji dapat disimpulkan bahwa pemberian
terapi tawa pada lansia dengan gangguan kognitif ringan efektif meningkatkan fungsi

3
Universitas
kognitif dan menurunkan depresi (Eunjoo & Oksoo, 2014). Terapi tawa mempunyai
efek psikologis yang berhubungan dengan perubahan hubungan interpersonal (Yim,
2016). Pada studi yang dilakukan oleh Hatzapapas dkk menunjukkan bahwa dampak
dari terapi tawa dapat meningkatkan hubungan sosial dimana terapi tawa berfungsi
sebagai faktor pengikat dalam suatu hubungan.
Terapi tawa dapat meningkatkan hubungan dengan teman dan keluarga. Terapi
tawa juga dapat membangun keinginan lebih bersosialisasi dan berinteraksi dengan
orang lain (Hatzipapas, Visser, & van Rensburg, 2017). Manfaat terapi tawa yang lain
adalah terapi tawa dapat menurunkan tingkat stress. Menurut Ripoll, efek dari terapi
tawa dapat menurunkan stress. Di beberapa studi menunjukkan bahwa terapi tawa dapat
menurunkan stress (Demir Dogan, 2018; Guleria & Manta, 2021; Shanmugam &
Anitha, 2016). Terapi tawa juga dapat meningkatkan kemampuan koping.

2.3.5. Langkah dari terapi


Sebuah sesi tawa pada umumnya merupakan kombinasi dari teknik tertawa
stimulus yang dipadukan dengan latihan pernafasan dan peregangan. Sebuah sesi tawa
berdurasi 20-30 menit dengan satu putaran tawa berlangsung sekitar 30-45 detik. Dan
bisa dibagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut :
1. Tepuk tangan berirama
Dilakukan dengan kedua tangan menjulur dimana gerakan ini merupakan gerakan
permanasari. Gerakan ini merangsang titik-titik accupressure
2. Menyerukan (Chanting) Ho-Ho Ha-Ha-ha
Hal ini dilakukan bersamaan dengan gerakan tepuk tangan berirama yang
berdasarkan teknik-teknik pernafasan Yoga
3. Pernafasan dalam
Teknik pernafasan yang pelan dan berirama dengan gerakan lengan yang membantu
terciptanya relaksasi baik fisik maupun mental.
4. Teknik- tawa yoga
Teknik ini dikembangkan dari postur yoga yang berbeda untuk kesehatan tubuh
seperti tawa bersenandung, tawa bersemangat, tahap bertahap dan sebagainya
5. Teknik-teknik tawa bermain-main

3
Universitas
Adapun tujuan dari teknik ini adalah untuk membantu orang yang lebih suka
bermain-main yang bertujuan untuk mengurangi rasa takut dan malu mereka. Sikap
dari bermain ini dapat memberikan stimulus tertawa. Adapun beberapa contoh
untuk ini adalah tawa satu meter, tawa bantahan, tawa ponsel dan sebagainya .
6. Teknik-teknik tawa berdasarkan nilai
Teknik ini dirancang untuk dapat melekatkan sebuah arti khusus pada suatu
gerakan tertentu ketika sedang tertawa sehingga dapat membantu mengembangkan
sikap positif karena di dalam alam bawah sadar kita merekam nilai yang bermakna
dalam (Katarina, 2004).

Langkah-langkah yang dilakukan pada terapi tertawa adalah sebagai berikut :


1. Latihan menarik nafas dalam (selama 1 menit)
Sesi ini dimulai dengan menarik nafas dalam melalui hidung. Hal ini dilakukan
bersama-sama dengan mengangkat tangan ke arah langit . Pernafasan ini dilakukan
sesuai gerakan tangan. Pertama peserta menghirup nafas secara perlahan dan dalam
kemudian menahannya selama 4-5 detik dan kemudian dihembuskan secara
perlahan melalui mulut.
2. Latihan stretching pada bahu dan leher (50 detik)
a. Menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan dan kemudian dari atas ke bawah
b. Meletakkan ujung-ujung jari di bahu kemudian arahkan kedua siku lurus ke
samping lalu perlahan gerakkan membentuk lingkaran dari belakang ke depan
3. Menepuk tangan sambil mengucapkan ho-ho-ho –ha-ha-ha (20-30 detik)
Latihan ini dimulai dengan mulai menyerukan Ho-Ho Ha-Ha-Ha sambil melakukan
tepuk tangan berirama 1-2 1-2-3. Gerakan bagus dan tepuk tangan bersemangat
akan membantu untuk menciptakan energi yang positif.
4. Latihan tertawa (20-30 menit)
Pada model baru terapi tawa terdapat beberapa jenis tawa yaitu
● Tawa bersemangat
Gerakan tawa ini dilakukan dengan disertai kepala mendongak ke atas dan
mengangkat kedua lengan ke udara. Rasakan seolah terapi tawa keluar dari
hati anda.

3
Universitas
● Tawa sapaan
Gerakan tawa ini dilakukan dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan
dan menyapa ala India (Namaste) atau berjabat tangan dengan sedikitnya 4-5
orang anggota kelompok.
● Tawa penghargaan
Gerakan tawa ini dilakukan dengan cara menggunakan telunjuk dan ibu jari
membentuk sebuah lingkaran kecil dan membuat gerakan berkesan sedang
memberikan penghargaan kepada yang lain sambil tertawa.
● Tawa satu meter
Gerakan tawa ini dimulai dengan menggerakkan satu tangan di sepanjang
bentangan lengan yang lain (seperti merentangkan busur) yang mana tangan
digerakkan dalam tiga gerakan cepat sambil menyerukan Ae…Ae…Ae dan
kemudian tertawa sambil merentangkan kedua tangan.
● Tawa Milkshake
Gerakan tawa ini dimulai dengan berpura-pura memegang dua gelas susu atau
kopi atau teh dan kemudian tuangkan susu dari gelas yang satu ke gelas lainnya
sambil menyerukan Aeee…. dan kemudian tuangkan kembali ke dalam gelas
pertama dan menyerukan Ae…Ae dan kemudian tertawa sambil berpura-pura
minum susu.
● Tawa hening tanpa suara
Gerakan tawa ini dimulai dengan membuka mulut lebar-lebar dan tertawa
tanpa mengeluarkan suara sambil saling menatap dan membuat gerakan lucu.
● Tawa bersenandung dengan mulut tertutup
Gerakan tawa ini dimulai dengan mulut tertutup dan mengeluarkan suara
senandung…hmmmm sambil bergerak dalam kelompok.
● Tawa mengayun
Gerakan ini diawali dengan berdiri dalam lingkaran dan bergerak ke tengah
sambil menyerukan Aee…Ooo…Eee…Uuu
● Tawa singa
Gerakan ini dilakukan dengan menggunakan cara menjulurkan lidah
sepenuhnya, mata terbuka lebar dan tangan teracung seperti cakar singa dan
tertawa dari perut.

3
Universitas
● Tawa ponsel
Gerakan ini dilakukan dengan cara berpura-pura memegang hp dan mencoba
untuk tertawa sambil menggerakkan kepala dan berjabat tangan dengan orang
berbeda.
● Tawa bantahan
Gerakan tawa ini dilakukan dengan cara tertawa sambil menudingkan jari ke
beberapa anggota kelompok yang mana seperti sedang berbantahan.
● Tawa memaafkan
Gerakan ini dilakukan setelah tawa bantahan dan dilakukan dengan cara
memegang kedua telinga dan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala
atau dengan cara mengangkat kedua telapak tangan dan tertawa seolah
meminta maaf.
● Tawa bertahap
Tawa ini dimulai dengan tersenyum kemudian perlahan ditambahkan jadi tawa
kecil dan intensitasnya juga semakin bertambah dan secara bertahap
melakukan tawa semangat kemudian secara perlahan melirihkan tawa dan
kemudian berhenti.
● Tawa dari hati ke hati
Tawa ini dilakukan dengan cara mendekat dan berpegangan tangan serta
tertawa atau bisa dilakukan dengan cara berjabat tangan atau memeluk atau
apapun yang terasa nyaman.
● Meneriakkan slogan
Meneriakkan 3 slogan
Aku orang paling bahagia di dunia ini ya
Aku orang paling sehat di dunia ini ya
Aku anggota klub tawa ya.
5. Menutup sesi tawa dengan mata terpejam selama satu menit dengan lengan
terpentang ke arah atas (Katarina, 2004; Punitha Josephine & Jemmi Priya, 2017).

2.3.6. Kontraindikasi terapi tawa


Terapi tawa dikontraindikasikan pada orang yang mengalami hernia, penyakit
jantung yang disertai sesak nafas, hemoroid, hipertensi, kehamilan pada tahap awal dan

3
Universitas
akhir, epilepsi, penyakit mental serius, inkontinensia urin, batuk persisten dan siapa saja
yang baru menjalani yang operasi. Orang dengan infeksi virus juga harus menghindari
terapi tawa untuk membatasi potensi penyebaran virus ke orang lain jika dalam bentuk
grup (Katarina, 2004; Tremayne & Sharma, 2019). Orang yang mengalami hemoroid
orang yang mengalami hemoroid dengan perdarahan hebat atau hemoroid yang sudah
menonjol keluar tidak diperbolehkan untuk mengikuti terapi tawa. Hal ini disebabkan
karena terapi tawa dapat memperburuk kondisi hemoroid tersebut akibat bertambahnya
tekanan intra abdominal.
Orang yang menderita penyakit jantung yang disertai dengan sesak nafas tidak
diperbolehkan untuk mengikuti terapi tawa namun penderita jantung yang
memperlihatkan hasil bagus pada pengobatannya dan juga hasil treadmill yang normal
pada yang pernah menderita serangan jantung bahkan pada yang pada yang menjalani
operasi bypass dalam terapi tawa jika hasil treadmill yang baik. Pada terapi tawa dapat
terjadi bertambahnya tekanan intra abdominal. Pada wanita hamil dapat terjadi
keguguran bila terjadi beberapa kali peningkatan tekanan intra abdominal.

2.4. Evaluasi Ekonomi


Evaluasi ekonomi di bidang kesehatan didefinisikan sebagai analisis
perbandingan alternatif intervensi kesehatan, mencakup baik biaya atau outcomenya.
Evaluasi ekonomi adalah membandingkan biaya dan outcome antara 2 atau lebih
alternatif. Dalam kebijakan kesehatan masyarakat, evaluasi ekonomi merupakan alat
yang ampuh untuk memverifikasi konsekuensi dan biaya dalam memilih satu terapi
diatas terapi lainnya.
Secara umum biaya adalah nilai dari sumber daya yang digunakan untuk
memproduksi suatu barang atau jasa. Biaya juga berhubungan dengan opportunity cost
atau biaya peluang ketika dihadapkan dengan pilihan antara dua alternatif. Opportunity
cost merujuk pada biaya kehilangan akan manfaat yang hilang jika alternatif lain dipilih.
(Razzouk, 2017). Komponen biaya diklasifikasikan menjadi biaya langsung (direct
cost), biaya tidak langsung dan biaya intangibles. Biaya langsung sendiri terdiri dari
biaya langsung medis dan biaya langsung non medis (Nadjib, Putri, Sabarinah, &
Trihandini, 2020).

3
Universitas
Pada biaya dikenal dengan istilah discounting dimana interpretasi dari suatu
evaluasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan durasi waktu yang sama dan hasil
perhitungan dari rasio efektivitas biasanya melibatkan waktu lebih dari 1 tahun. Untuk
mendapatkan hasil nilai sekarang maka diperlukan penyesuaian nilai dengan
menggunakan discounting. Formula perhitungan discounting adalah sebagai berikut:
`

Keterangan:
PV = Present Value = nilai sekarang
FV = Future Value = nilai yang akan datang
r = rate disconto = discount rate
n = tahun mulai program / intervensi

Sebuah Outcome harus merupakan sesuatu yang dapat diobservasi, relatif


mudah untuk diukur dan sesuatu yang berarti pada konteks penyakit tertentu. Suatu final
outcome mungkin berarti pada beberapa beberapa studi akan tetapi selain itu
pengukuran dapat merupakan sesuatu yang berhubungan dengan final outcome atau
merupakan suatu intermediate outcome yang lebih layak atau relevan (Razzouk, 2017).

2.4.1. Tipe evaluasi ekonomi


Evaluasi ekonomi memiliki ciri penting yang berkaitan dengan input (masukan),
output dan pilihan. Dengan melihat biaya sebagai input dibandingkan dengan hasil dan
cara menganalisisnya maka evaluasi ekonomi dikenal menjadi evaluasi ekonomi parsial
dan evaluasi ekonomi lengkap yang dapat dilihat perbandingan pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2 Jenis-jenis evaluasi ekonomi dalam bidang kesehatan
Bila kajian hanya mengukur biaya Bila kajian mempertimbangkan baik
atau outcome saja biaya maupun outcome

Tidak ada komparasi Evaluasi ekonomi parsial dimana Evaluasi ekonomi partial dimana
dengan alternatif lain hanya melihat dari salah satu hal mendeskripsikan biaya- outcome
dibawah ini
1. Deskripsi outcome

3
Universitas
2. Deskripsi biaya
Komparasi dari dua Evaluasi ekonomi parsial Evaluasi ekonomi yang utuh / lengkap
atau lebih alternative Dimana hanya meliputi salah satu hal Dapat berupa
saja dibawah ini yaitu Cost Minimization Analysis (CMA)
1. Evaluasi terhadap efikasi atau Cost Effectiveness Analysis (CEA)
efektifitas Cost Utility Analysis (CUA)
2. Analisis biaya Cost Benefit Analysis (CBA)

Sumber : (Nadjib et al., 2020)

2.4.1.1. Evaluasi ekonomi parsial


Evaluasi ekonomi partial hanya mengolah dan menganalisis data biaya atau
outcome saja, walaupun mencakup data biaya dan outcome tidak sampai dihitung
menjadi incremental cost. Evaluasi ekonomi parsial tetap dapat memberikan suatu
informasi bagi pengambil kebijakan.

2.4.2.2. Evaluasi ekonomi lengkap


Evaluasi ekonomi lengkap dikenal ada beberapa yaitu Cost Minimization
Analysis (CMA), Cost Effectiveness Analysis (CEA), Cost Utility Analysis (CUA) dan
Cost Benefit Analysis (CBA).
Cost Benefit Analysis adalah evaluasi ekonomi yang memiliki prinsip utama
berbasis pada asumsi bahwa manfaat harus lebih besar dari biaya. CBA sangat sulit
diaplikasikan dalam pelayanan kesehatan karena adanya keterbatasan dari metode ini
untuk mengakses manfaat kedalam bentuk monetary unit (Rupiah). Cost Utility Analysis
menggunakan beberapa outcome yang dikonversi dalam satu outcome dari
mengestimasi utilitas dan harapan hidup. Sebagai contoh indikator seperti
quality-adjusted life year (QALY) yang menggabungkan kombinasi antara utilitas dan
harapan hidup. Satu QALY sama dengan 1 tahun hidup dengan hidup sehat dan estimasi
biaya per QALY sesuai dengan biaya yang harus dibayarkan untuk mendapatkan
kesehatan Cost Effectiveness Analysis biasanya digunakan dengan uji klinis atau uji
pragmatis.
Pada CEA menggunakan satu outcome dan yang sering adalah outcome klinis
dan dapat dipikirkan untuk memilih outcome lainnya seperti kualitas hidup. Hasil dari
CEA digambarkan sebagai incremental cost effectiveness ratio (ICER). Cost

3
Universitas
Minimization Analysis berbasis pada asumsi bahwa dua pengobatan menghasilkan
outcome yang sama sehingga outcome tidak perlu diukur yang berarti hanya
membandingkan kedua biaya dimana pengobatan yang lebih sedikit mengeluarkan
biaya itulah yang dipilih. Perbandingan dari keempat evaluasi ekonomi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.3. Perbandingan evaluasi ekonomi
Metode evaluasi Pengukuran Identifikasi Pengukuran Hasil
ekonomi biaya outcome outcome

Monetary unit Single Natural unit Perbandingan biaya


CM (Rupiah)
Monetary unit Natural unit
Single ICER =
(Rupiah) contoh mmHg,
∆biaya/∆Outcome
CE life year gained

Tahun hidup
Monetary unit Multipel berkualitas Biaya per QALY
CU (Rupiah) QALY atau Biaya per DALY
DALY

Besar Manfaat =
Monetary unit Single/Multiple Monetary unit ∆Manfaat dalam
CB (Rupiah) (Rupiah) bentuk monetary unit
(rupiah) -∆biaya

Sumber: (Nadjib et al., 2020; Razzouk, 2017)

1. Cost Minimization Analysis


Cost Minimization Analysis (CMA) adalah suatu evaluasi ekonomi yang
membandingkan intervensi satu dengan yang lainnya dengan outcome yang sama. Jadi
pada yang CMA hanya biaya mana yang lebih rendah dari kedua intervensi.

2. Cost Effectiveness Analysis


Cost Effectiveness Analysis (CEA) dilakukan ketika program yang dibandingkan
serupa sejauh hasil mereka dapat dinilai dalam unit perolehan kesehatan yang sama.
Biasanya, analisis efektivitas biaya menghasilkan rasio efektivitas biaya tambahan yang
disajikan dalam bentuk biaya per unit hasil kesehatan yang diperoleh relatif terhadap
pembanding (misalnya biaya tambahan per kasus yang dicegah atau biaya tambahan per
tahun kehidupan yang diperoleh). Ini adalah bentuk evaluasi ekonomi yang paling

3
Universitas
umum di bidang kesehatan. Keuntungannya adalah menyediakan cara yang cukup
transparan untuk membandingkan biaya dan hasil intervensi. Namun, kelemahan
potensial CEA adalah kurangnya perbandingan nilai relatif hasil kesehatan di berbagai
program (misalnya biaya tambahan per waktu yang dicegah dibandingkan dengan biaya
tambahan per kematian yang dihindari). Untuk menggabungkan biaya dan outcome bisa
didapatkan dengan menggunakan average cost-effectiveness ratio (ACER), Marginal
cost-effectiveness ratio (MCER) dan Incremental cost effectiveness Ratio (ICER)
seperti terlihat pada perhitungan dibawah ini

Dari ketiga perhitungan diatas dalam evaluasi ekonomi yang sering digunakan
adalah ICER dimana ICER membandingkan biaya dan outcome dari 2 intervensi yang
paling relevan pada intervensi yang akan dievaluasi (Razzouk, 2017). Perbedaan dari
biaya dan luaran dari dua intervensi dibandingkan apakah dominan atau didominasi
dapat dilihat pada diagram Cost Effectiveness Plane (CE plane) dibawah ini:

Gambar 2.9 Cost Effectiveness Plane


Sumber : Razzouk (2017) , Nadjib et.al (2020)

4
Universitas
Pada kuadran yang menyatakan bahwa intervensi A lebih efektif tapi lebih tinggi
biaya dari intervensi B diperlukan pembuktian apakah intervensi A memiliki value for
money dimana intervensi A yang membutuhkan biaya lebih tinggi namun sepadan
dengan peningkatan efek atau luarannya. Pada kuadran yang menyatakan intervensi A
lebih efektif dan lebih rendah dibandingkan intervensi B ini jelas bahwa intervensi B
lebih unggul. Pada kuadran dimana intervensi A kurang efektif dan biaya juga lebih
rendah perlu dilakukan kajian apakah intervensi A lebih dapat diterima?. Pada kuadran
dimana intervensi A kurang efektif dan lebih tinggi biaya dibandingkan intervensi B
dimana berarti intervensi A didominasi oleh intervensi B maka jelas intervensi A
ditolak (Razzouk, 2017).

3. Cost Utility Analysis


Cost Utility Analysis (CUA) hampir sama dengan CEA namun outcome yang
dipakai pada CUA adalah utilitas yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup
dan/atau perubahan kualitas hidup akibat suatu intervensi kesehatan. Outcome yang
digunakan dikembangkan dari konsep utilitas atau tingkat nilai guna yang
dikembangkan dari konsep kepuasan yang kemudian diterjemahkan ke kualitas hidup
Unit utilitas yang digunakan kemudian dihitung menjadi Quality-adjusted life
year ( QALY) setelah mempertimbangkan tahun hidup penderita tersebut. Hasil akhir
pada CUA adalah ICER seperti dibawah ini:

Dimana Biaya B adalah biaya untuk intervensi B yang merupakan biaya


intervensi baru dan biaya A adalah biaya untuk intervensi yang biasa dilakukan.
Langkah –langkah dalam analisis CUA adalah sebagai berikut
1. Menentukan pertanyaan penelitian serta tujuan dari suatu intervensi
2. Menetapkan perspektif yang dipakai dalam CUA
3. Menetapkan outcome yang mempresentasikan efektivitas suatu intervensi
4. Mengembangkan teknik analisis dalam studi efektivitas

4
Universitas
5. Melengkapi parameter yang dibutuhkan seperti biaya, utilitas, luaran klinis,
survival dan sebagainya
6. Menentukan dan mengumpulkan data utilitas
7. Melakukan pengolahan dan analisis data
8. Menghitung ICER
9. Interpretasi hasil ICER
10. Melakukan analisis sensitivitas

4. Cost Benefit Analysis


Cost Benefit Analysis (CBA) merupakan suatu evaluasi ekonomi dimana baik
biaya atau manfaat yang merupakan outcome sama-sama diukur dalam nilai moneter.
Keputusan didasarkan atas hasil rasio biaya dan manfaat atau Net Present Value (NPV)
yang paling tinggi. Keputusan didasarkan pada rumus berikut:

Keterangan:
NB = Net Benefit
r = discount rate
t = Waktu
n = Analisis horizon

2.5. Ringkasan Penelitian terkait


Terdapat beberapa penelitian yang meneliti mengenai terapi tawa pada lanjut
usia. Beberapa penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efek terapi tertawa
tersebut pada depresi, ansietas, stres, mood negatif, kualitas tidur, kepuasan hidup dan
kualitas hidup pada lansia. Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa
terapi tawa memberikan efek menurunkan depresi, ansietas, stress dan mood negatif
pada lanjut usia. Terapi tawa juga memberikan efek meningkatkan kualitas hidup,
kepuasan hidup dan kualitas hidup pada lansia.

4
Universitas
Terdapat beberapa penelitian terkait depresi. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Heidari et al (2020), terapi tawa yang diberikan pada lansia yang tinggal di panti
jompo adalah sebanyak 10 sesi dimana diberikan 3 minggu sekali dan tiap sesinya
diberikan selama 1 jam. Intervensi terapi tawa yang diberikan setiap sesinya adalah
dalam bermain musik, slide yang lucu dan video yang lucu selama 30 menit, serta
mengadakan permainan yang menggembirakan dengan hadiah cerita (15 menit) dan
menceritakan lelucon (15 menit). Pasien memiliki partisipasi aktif dan interaktif dalam
pertemuan dengan mengambil bagian dalam kompetisi dan menceritakan lelucon. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada grup yang diberikan intervensi terapi tawa nilai
rata-rata depresi setelah diberikan terapi tawa lebih rendah dibandingkan sebelum
diberikan terapi tawa (Heidari et al., 2020)/
Ko et.al pada penelitiannya memberikan intervensi terapi tawa pada suatu
komunitas lansia selama 1 jam setiap minggu dan terapi tawa tersebut diberikan selama
4 minggu. Terapi tawa yang diberikan pada penelitian ini dilakukan dengan tertawa
yang dipicu dari gerakan berdansa dan bernyanyi, latihan otot pelvis dengan latihan
Kegel’s, menonton video dan sesi meditasi tertawa pada akhir sesi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata skor dari GDS-15 pada grup yang diberikan terapi tawa
secara signifikan menurun setelah diberikan terapi tawa (Ko & Youn, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Han pada pasien yang menjalani rawat
inap yang lama bahwa pada kelompok yang diberikan intervensi, terapi tawa diberikan
seminggu 2 kali sebanyak 8 sesi dan setiap sesi diberikan selama 40 menit. Terapi tawa
dilakukan dengan menyanyikan lagu yang lucu, peregangan, pemberian kuliah, tepuk
tangan dan tertawa keras. Instrumen yang digunakan untuk menilai tingkat depresi
adalah GDS-15. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah skor depresi menurun
secara signifikan pada hasil posttest dibandingkan hasil pretest pada kelompok yang
diberikan terapi tawa sedangkan pada kelompok yang tidak diberikan intervensi terapi
tawa skor depresi tidak menurun secara signifikan (Han, Park, & Park, 2017).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ulahannan yang dilakukan pada lansia yang
tinggal di panti jompo di Maharashtra, pemberian terapi tawa dilakukan selama 20 hari
dan terapi tawa diberikan selama 1 jam. Penelitian depresi dilakukan dengan
menggunakan kuesioner GDS-15. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada
kelompok yang diberikan intervensi tertawa terdapat perbedaan yang signifikan antara
4
Universitas
skor depresi pada pretest dan posttest dan disimpulkan bahwa terapi tawa efektif dalam
menurunkan depresi pada lansia yang tinggal di panti jompo (Ulahannan & Xavier,
2017).
Intervensi pemberian terapi tawa pada lansia di tempat perawatan lansia pada
penelitian yang dilakukan oleh Yoshikawa et.al adalah terapi tawa berupa stand-up
comedy yang diberikan setiap seminggu sekali selama 4 minggu dimana setiap
pemberian terapi tawa diberikan selama 30 menit. Penilaian depresi dilakukan
dilakukan dengan menggunakan kuesioner GDS-15. Hasil penelitian menunjukkan skor
dari GDS-15 setelah 4 kali intervensi menurun secara signifikan dibandingkan sebelum
diberikan intervensi terapi tawa( Yoshikawa et al., 2019).
Pada penelitian yang dilakukan Olabisi, intervensi terapi tawa yang diberikan
adalah sebanyak 8 minggu atau 8 sesi dan setiap sesinya selama 40 menit. Tujuan dari
intervensi terapi tawa pada penelitian tersebut dicapai dengan cara mendemonstrasikan
teknik terapi tawa melalui naskah sandiwara yang tertulis dengan baik dan gerakan yang
lucu serta peserta diminta untuk mengundang dua anggota keluarga ke dalam sesi
tersebut untuk membuat suasana menjadi lebih akrab. Penilaian dari skor depresi
dilakukan dengan menggunakan GDS-15. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan
bahwa terapi tawa efektif dalam menangani depresi lansia (Olabisi, 2020).
Terapi tawa pada beberapa penelitian yang dilakukan diberikan dengan cara
berbeda-beda demikian juga dengan lama pemberian terapi tawa. Lama pemberian
terapi tawa tiap kalinya bervariasi antara 30 menit hingga 60 menit. Pemberian terapi
tawa juga bervariasi dalam pemberian jumlah pemberiannya dan juga frekuensi
pemberian dalam satu minggunya. Jumlah pemberian terapi tawa dari sebanyak 4 kali
hingga 21 kali dan pemberiannya bervarian dari seminggu sekali hingga seminggu 3
kali. Menurut Han (2017) pemberian terapi tawa akan efektif jika diberikan lebih dari 1
kali dalam 1 minggunya. Instrumen penelitian yang dipakai pada beberapa penelitian
menggunakan GDS-15 untuk mengukur depresi.

4
Universitas
2.6. Kerangka Teori

Gambar 2.9 Kerangka Teori Penelitian

45
Universitas Indonesia
Gambar 2.10 Kerangka Teori Cara Kerja Terapi Tawa
BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep


Berdasarkan uraian mengenai latar belakang dan tujuan penelitian maka
kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

4
Universitas
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Independen
1. Terapi Tawa Bentuk terapi yang Pemberian terapi Hadir pada seluruh
mendorong tawa selama 30 sesi intervensi terapi
penggunaan proses menit, seminggu 2 tawa
fisiologis alami untuk kali selama 4
mengurangi tingkat minggu pada 3
adrenalin dalam kelompok intervensi
mengurangi stres berbeda
(Saraswathy, 2012)

Variabel Dependen
1. Depresi jenis gangguan mood Geriatric Depression 1. 0-4 Normal Ordinal
yang didefinisikan Scale (GDS -15) 2. 5-8 Depresi
oleh perubahan ringan
perasaan, sikap, dan 3. 9-11 Depresi
keyakinan yang sedang
mempengaruhi orang 4. 12-15 Depresi
tua. berat

Variabel Kovariat
1. Usia Periode sesuatu orang Kuesioner 1. 60-70 tahun Ordinal
telah hidup 2. 71-80 tahun
3. > 80 tahun
(Wibowo,
Susmini, Wijaya,
& Amelia, 2021)

4
Universitas
2. Jenis Karakteristik biologis Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
Kelamin yang dilihat dari 2. Perempuan
penampilan luar. (Wibowo et al.,
2021)
3. Lama Lama tinggal Kuesioner 1. < 1 tahun Ordinal
tinggal responden di panti 2. 1-5 tahun
werdha 3. > 5 tahun
(Heidari et al.,
2020)
4. Genetik Adanya riwayat Kuesioner 1. Ya Nominal
keluarga yang 2. Tidak
menderita depresi
5. Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner 1. Rendah Ordinal
formal yang 2. Tinggi
diselesaikan oleh
responden
berdasarkan ijazah
terakhir yang dimiliki.
6. Riwayat Riwayat dari kegiatan Kuesioner 1. Karyawan Nominal
Pekerjaan utama yang dilakukan 2. Buruh
responden dan 3. Wiraswasta
mendapat penghasilan 4. TNI
5. Ibu Rumah
tangga
6. Tidak bekerja
(Heidari et al.,
2020)

7. Status Memiliki penyakit Kuesioner 1. Ya Nominal


Kesehatan komorbid 2. Tidak
fisik

49
Universitas Indonesia
8. Status Adanya penyakit Kuesioner 1. Ya Nominal
Kesehatan gangguan kesehatan 2. Tidak
Mental mental sebelumnya
sebelumnya
9. Jumlah Jumlah kunjungan 1. 1 bulan sekali Ordinal
kunjungan dari anak atau saudara 2. Sekali dalam 6
dari anak yang mengunjungi bulan
atau saudara responden 3. Sekali dalam 1
tahun
4. Tidak ada
kunjungan.

3.3. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan tingkat depresi yang diberikan pada kelompok intervensi
terapi tawa dengan kelompok intervensi lainnya pada lansia di Panti Werdha.
2. Variabel kovariat yang diukur dapat mempengaruhi depresi pada lansia di Panti
Werdha.
3. Intervensi terapi tawa merupakan terapi yang cost effectiveness.

5
Universitas
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini terdapat 2 jenis, yaitu
penelitian eksperimental terkontrol dengan desain crossover dan penelitian quasi
eksperimental dengan desain pretest post test.
1. Penelitian eksperimental terkontrol dengan desain crossover
Desain cross over adalah desain pengukuran berulang sehingga setiap unit
percobaan (pasien) menerima perawatan yang berbeda selama periode waktu yang
berbeda, yaitu, pasien dialihkan dari satu perawatan ke perawatan lain selama
percobaan. Desain crossover dipilih untuk dapat menghilangkan faktor perancu serta
menghindari adanya efek hawthorne. Efek hawthorne merupakan perubahan perilaku
peserta uji coba ketika berada dalam supervisi. Efek ini terjadi ketika seseorang atau
peserta uji coba dengan sengaja memodifikasi perilaku mereka karena sadar bahwa
mereka sedang diawasi (Sedgwick, 2012). Desain crossover digunakan untuk menilai
efektivitas dari terapi tawa dan pada penelitian ini digunakan 2 kelompok yaitu
kelompok yang diberikan intervensi terapi tawa dan kelompok yang diberikan
intervensi latihan puzzle.

Gambar 4.1 Desain Crossover pada penelitian

2. Penelitian quasi eksperimental dengan desain pretest post design.


Design quasi eksperimental dengan static group pretest-posttest design
digunakan untuk menghitung efektivitas biaya terapi tawa. Penilaian efektivitas biaya
dilakukan pada 2 kelompok yaitu:

5
Universitas
a. Kelompok yang diberikan intervensi terapi tawa
b. Kelompok yang tidak diberikan intervensi terapi tawa

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada 3 lokasi penelitian yaitu Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 1, 3 dan 4.
- Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 beralamat di Jalan Bina Marga No.58,
Kel. Cipayung, Kec. Cipayung, Jakarta Timur
- Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3 beralamat di Jl. Margaguna Raya
No.1, Kel. Gandaria Selatan, Kec. Cilandak, Kota Administrasi Jakarta Selatan
- Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 beralamat di Jl. Cendrawasih VI, Kel.
Cengkareng Barat, Kec. Cengkareng Barat, Jakarta Barat
Waktu penelitian ini adalah selama 3 bulan yaitu Januari - Maret 2023.

4.3. Populasi dan Sampel


Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh lansia yang berada di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 3 dan 4 dan populasi eligible pada penelitian
ini adalah seluruh lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 3 dan
4 berjumlah 750 orang dengan masing-masing jumlah lansia yang terdapat di panti
sebesar 250 orang. Sampel penelitian ini akan diambil yang sesuai kriteria inklusi dan
eksklusi.

4.3.1. Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi kelompok yang diberikan intervensi dan yang tidak diberikan
intervensi pada penelitian ini adalah:
1. Tinggal di panti werdha minimal selama 6 bulan
2. Tidak memiliki kebutaan atau hilang pendengaran

5
Universitas
3. Tidak ada riwayat psikiatrik sebelumnya
4. Tidak ada pengalaman duka selama 6 bulan terakhir

4.3.2. Kriteria Eksklusi


1. Menderita epilepsi
2. Menderita hemoroid
3. Menderita penyakit Tuberkulosis Paru

4.4. Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


4.4.1. Besar Sampel

Tabel 4.1 Perhitungan besar sampel dari penelitian terdahulu


Penelitian Mean intervensi terapi tawa Mean kontrol N
Heidari (2019) 1.65 ± 1.62 3.31± 2.04 22
Siregar (2019) 6.48 ± 1.447 8.92 ± 1.180 14
Ko et al,. (2011) 6.94±3.19 8.43±3.44 40

Rumus besar sampel yang digunakan yaitu Uji beda rata-rata (independent):

Keterangan:
n : Besar sampel
Z
1-a/2 : Nilai z pada interval kepercayaan 1-a/2
z1-b : Nilai z pada kekuatan uji (power) 1-b
µ1 : Estimasi rata-rata kelompok 1 ; µ2 = Estimasi rata-rata kelompok 2
σ2 : Varians gabungan

s1
2
: Varians pada kelompok 1; s 22= varians pada kelompok 2

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, jumlah minimum sampel


yang diambil sebesar 40 sampel karena sampel tersebut merupakan jumlah sampel
paling besar atau terbanyak. Dikarenakan menggunakan rumus uji hipotesis beda

5
Universitas
rata-rata dua mean hasil dikalikan 2 dan ditambah 10% untuk menghindari kesalahan
pada sampel penelitian sehingga menjadi (40 x 2) + 10%. Maka, besar sampel minimum
yang diambil adalah 88 sampel.

4.4.2. Teknik Pengambilan Sampel


Sampel adalah lansia yang berada Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 3
dan 3 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan
secara simple random sampling. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan pendekatan
penggunaan nomor atau bilangan acak yang mana metode ini merupakan metode
alternatif yang melibatkan penomoran populasi.

4.5. Tahapan Penelitian

4.5.1. Pra Experimental

4.5.1.1. Pembuatan Modul Terapi


Tawa
Pengembangan modul terapi tawa ini dilakukan karena banyak terapi Banyak
teknik terapi tawa yang telah diterapkan. Pembuatan modul terapi tawa dikhususkan
untuk lansia. Pembuatan modul terapi tawa dibuat oleh peneliti dan divalidasi oleh 1
psikolog dan 1 spesialis penyakit jiwa. Langkah-langkah yang dilakukan pada terapi
tawa adalah sebagai berikut
1. Latihan menarik nafas dalam (selama 1 menit)
2. Latihan Stretching pada bahu dan leher (50 detik)
3. Menepuk tangan sambil mengucapkan ho-ho-ho -ha-ha-ha (20-30 detik)
4. Latihan tertawa (20-30 menit)
a. Tawa semangat f. Tawa ponsel
b. Tawa sapaan g. Tawa bantahan
c. Tawa penghargaan h. Tawa dari hati ke hati
d. Tawa milkshake i. Meneriakkan slogan
e. Tawa mengayun

5. Menutup sesi tawa dengan mata terpejam selama 1 menit dengan lengan
terpentang ke arah atas

5
Universitas
4.5.1.2. Pelaksanaan Studi Pendahuluan (Pilot Study)
4.5.1.2.1. Tujuan Studi Pendahuluan
Tujuan dari dilakukannya studi pendahuluan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai validasi terhadap modul terapi tawa yang digunakan pada lansia
2. Mengeksplorasi efek dari terapi tawa pada lansia di Panti Werdha

4.5.1.2.2. (Entrants) Penelitian untuk Studi Pendahuluan


Populasi sampel untuk pelaksanaan studi pendahuluan pada penelitian ini adalah
lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 3 dan 4.

4.5.1.2.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Studi Pendahuluan


a. Kriteria Inklusi:
1. Tinggal di panti werdha minimal selama 6 bulan
2. Tidak memiliki kebutaan atau hilang pendengaran
3. Tidak ada riwayat psikiatrik sebelumnya
4. Tidak ada pengalaman duka selama 6 bulan terakhir
b. Kriteria Eksklusi
1. Menderita epilepsi
2. Menderita hemoroid
3. Menderita penyakit Tuberkulosis Paru

4.5.1.2.4. Estimasi Besar Sampel pada Studi Pendahuluan


Besar sampel yang digunakan pada studi pendahuluan ini adalah sebanyak 30
lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 3 dan 4.

4.5.1.2.5. Teknik Pengambilan Sampel pada Studi Pendahuluan


Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Panti
Werdha. Modul terapi tawa yang sudah dimodifikasi akan diterapkan pada suatu studi
pendahuluan dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang.

4.5.1.2.6. Pengumpulan Data pada Studi Pendahuluan


Data-data pada studi pendahuluan merupakan data-data yang diperoleh dari hasil
kuesioner yang dibagikan kepada lansia yang berada di panti werdha. Data yang diambil

5
Universitas
berasal dari kuesioner yang telah dibuat. Pada penelitian ini diambil sebanyak 30
sampel secara simple random sampling yang kemudian dikelompokkan ke dalam
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

4.5.1.2.7. Analisis Data pada Studi Pendahuluan


A. Analisis validitas modul
Penilaian validitas modul akan dilakukan oleh 2 pakar yaitu 1 dokter spesialis dan
1 psikolog. Pakar akan mempelajari dan menganalisis modul yang sudah dibuat.
B. Analisis reliabilitas modul
Reliabilitas dari modul yang telah dibuat dengan menggunakan kuesioner yang
diberikan kepada peserta.

Gambar 4.2 Alur Pengembangan Modul Terapi Tawa

4.5.2. Tahap Experimental


Penelitian dilakukan setelah selesai dilakukannya studi pendahuluan. Penelitian
ini akan menggunakan 3 Panti Werdha. Pada lansia yang berada di panti werdha 1 akan
dilakukan intervensi terapi tawa yang dilanjutkan dengan latihan puzzle. Pada panti
werdha 2 akan dilakukan intervensi latihan puzzle yang dilanjutkan dengan terapi tawa
dan pada panti werdha 3 tanpa dilakukan intervensi. Intervensi terapi tawa diberikan
oleh trainer yang telah dilatih.

4.5.2.1.Teknik Pengumpulan Data


Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah tingkat depresi dan komponen
biaya. Komponen hasil dari penelitian ini adalah penurunan tingkat depresi dan

5
Universitas
peningkatan kualitas hidup. Pertama kali pada kelompok 1 akan dilakukan pemilihan
sampel secara simple random sampling. Setelah dilakukan pemilihan sampel pada
kelompok 1 diberikan intervensi terapi tawa. Terapi tawa diberikan selama 4 minggu
sebanyak 2 kali seminggu dan tiap sesinya dilakukan selama 30 menit. Sebelum dan
sesudah intervensi terapi tawa dilakukan penilaian tingkat depresi. Setelah itu masuk ke
periode washout selama 2 minggu. Pada periode ini sampel atau responden tidak
diberikan intervensi. Setelah periode washout, responden diberikan intervensi berupa
latihan puzzle yang dilakukan selama 4 minggu sebanyak 2 kali seminggu dan tiap
sesinya dilakukan selama 30 menit. Sebelum dan sesudah latihan puzzle dilakukan
penilaian tingkat depresi.
Pertama kali pada kelompok 2 akan dilakukan pemilihan sampel secara simple
random sampling. Setelah dilakukan pemilihan sampel pada kelompok 1 diberikan
intervensi latihan puzzle. Latihan puzzle diberikan selama 4 minggu sebanyak 2 kali
seminggu dan tiap sesinya dilakukan selama 30 menit. Sebelum dan sesudah intervensi
latihan puzzle dilakukan penilaian tingkat depresi. Setelah itu masuk ke periode
washout selama 2 minggu. Pada periode ini sampel atau responden tidak diberikan
intervensi. Setelah periode washout, responden diberikan intervensi berupa terapi tawa
yang dilakukan selama 4 minggu sebanyak 2 kali seminggu dan tiap sesinya dilakukan
selama 30 menit. Sebelum dan sesudah terapi tawa dilakukan penilaian tingkat depresi.
Untuk pemilihan sampel pada kelompok 3 dilakukan dengan menggunakan
simple random sampling. Setelah dilakukan pemilihan sampel, dilanjutkan dengan
pengamatan selama 4 minggu, Sebelum dan sesudah pengamatan dilakukan penilaian
tingkat depresi. Pengukuran tingkat depresi menggunakan Geriatric Depression
Scale-15 (GDS-15). GDS-15 merupakan salah satu kuesioner yang sering digunakan
untuk mengevaluasi atau mengukur tingkat depresi pada lansia. Kuesioner GDS-15
terdiri dari 15 pertanyaan dengan format jawaban ya atau tidak. Subjek akan ditanya apa
yang mereka rasakan pada dalam 1 minggu terakhir. Pada penelitian ini digunakan
GDS-15 versi Indonesia yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner ini
sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Dalam GDS-15 ini terdapat 4 kategori
pengukuran yaitu normal (skor 0-4), depresi ringan (5-8), sedang (9-11) dan depresi
berat (12-15). Kuesioner akan diberikan pada sebelum dan sesudah intervensi.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner tersebut kepada responden.
5
Universitas
Sebelum pemberian kuesioner, peneliti memberikan terlebih dahulu lembar inform
consent kepada responden.

Gambar 4.3 Alur penelitian


4.5.2.2.Analisis Data
Data dari hasil dari penelitian ini dicatat Ms Excel yang kemudian akan
dianalisis lanjut sesuai dengan analisis yang dipilih pada penelitian ini, yaitu:

4.5.2.2.1 Analisis Univariat

Pada tahap ini akan menganalisis karakteristik dasar untuk kelompok yang
diintervensi terapi tawa, kelompok yang diintervensi Latihan puzzle dan kelompok yang
tidak diintervensi. Penyajian data pada analisis ini adalah dengan menyajikan mean dan
standar deviasi untuk variabel numerik sedangkan untuk variabel kategorik disajikan
dalam bentuk persentase. Pada tahap ini analisis akan dilakukan dengan menggunakan
program Statistical Package for the Social Science (SPSS).

5
Universitas
4.5.2.2.2 Analisis Bivariat dan Multivariat

Pada tahap ini melihat perbedaan antara kelompok intervensi terapi tawa, latihan
permainan puzzle, dan tanpa intervensi. Variabel numerik antara sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi dilakukan analisis dengan uji t berpasangan, variabel numerik
antara kelompok dilakukan analisis dengan uji anova. Pada variabel kategorik baik
antara sebelum dan sesudah intervensi tiap kelompok maupun antar kelompok
dilakukan analisis dengan uji Chi-square.
Efektivitas terapi tawa pada tingkat depresi dianalisis dengan menggunakan
metode Difference in Difference (DID). DID adalah suatu pendekatan yang paling
sering digunakan untuk mengevaluasi efek kausal dari program atau kebijakan. DID
digunakan untuk perubahan dari nilai variabel terikat yaitu tingkat depresi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Perubahan nilai tersebut dapat digunakan
untuk mengetahui dampak dari intervensi pada variabel terikat yang dinilai. Persamaan
yang digunakan dalam metode DID adalah sebagai berikut ;
DID = (YT2 – Y T1) - (YC2 – Y C1)
Dimana (YT2 – YT1) adalah perubahan nilai variabel terikat treatment group
selama periode observasi dan (YC2 – YC1) adalah perubahan nilai variabel terikat
untuk kontrol group selama periode observasi (Gertler, Martinez, Premand, Rawlings,
& Vermeersch, 2016)
Selain itu, untuk analisis multivariat digunakan Generalized Linear Model
(GLM). Generalized Linear Model (GLM) merupakan perluasan dari Linear Model yang
memberikan analisis regresi dan analisis varians untuk beberapa variabel dependen oleh
satu atau lebih variabel faktor (kovariat) (IBM, 2021). Terdapat tiga komponen dalam
GLM yaitu Komponen random (komponen random mencakup variabel yang
mempunyai distribusi dan termasuk ke dalam keluarga eksponensial misalnya binomial,
poisson, normal, gamma dan sebagainya), Komponen sistematik (Kombinasi linier dari
fungsi nilai harapan komponen acak dengan kovariat nya) serta Komponen fungsi
penghubung (Bentuk dari fungsi parameter natural) (Ubaidillah et al, 2017).

5
Universitas
4.5.2.2.3 Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis cost
effectiveness. Ukuran hasil yang digunakan adalah hasil intermediate yaitu depresi dan
kualitas hidup. Komponen biaya yang dihitung dalam pelaksanaan intervensi adalah:
1. Biaya pelaksanaan terapi tawa
a. fixed costs
- Biaya modifikasi modul
- Biaya validasi modul
- Biaya pengadaan LCD + layer, speaker dan laptop
b. Variable costs
- Honor, transport dan biaya pelatihan pada terapi tawa
- Honor trainer/perawat pemberi terapi tawa
2. Biaya operasional
a. fixed costs
- Biaya Gedung
b. Variable costs
- Biaya listrik

Tabel 4.2 Contoh Perhitungan Incremental Cost Effectiveness Ratio ICER untuk depresi

Terapi Efektifitas (% tidak depresi) Biaya

Intervensi terapi tawa

Tanpa intervensi

6
Universitas
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N. (2016). Attachment Style and Forgiveness in relation to Mental Health


among Male and Female Adolescent.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.31634.25282
Akimbekov, N. S., & Razzaque, M. S. (2021). Laughter therapy: A humor-induced
hormonal intervention to reduce stress and anxiety. Current Research in
Physiology, 4(February), 135–138. https://doi.org/10.1016/j.crphys.2021.04.002
Babatsikou, Fotoula, Konsolaki, Eleni, Notara, Venetia, … Charilaos. (2017).
Depression in the Elderly: A Descriptive Study of Urban and Semi-Urban Greek
Population. International Journal of Caring Sciences, 10(10), 1286–1295.
Retrieved from www.internationaljournalofcaringsciences.org
Badan Pusat Statistik. (2021). Hasil Sensus Penduduk 2020. Berita Resmi Statistik.
Ballo, I. R., & Kaunang, T. M. D. (2012). Profil Lansia Depresi Di Manado. Jurnal
Biomedik, 4(1), 59–67.
Blazer, D. G. (2003). Depression in late life: Review and commentary. Journals of
Gerontology - Series A Biological Sciences and Medical Sciences, 58(3), 249–265.
https://doi.org/10.1093/gerona/58.3.m249
Bock, J. O., Luppa, M., Brettschneider, C., Riedel-Heller, S., Bickel, H., Fuchs, A., …
König, H. H. (2014). Impact of depression on health care utilization and costs
among multimorbid patients - Results from the multicare cohort study. PLoS ONE,
9(3). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0091973
C. F. Kuok, K., Li, L., Xiang, Y. T., Nogueira, B. O. C. L., Ungvari, G. S., Ng, C. H.,
… Meng, L. R. (2017). Quality of life and clinical correlates in older adults living
in the community and in nursing homes in Macao. Psychogeriatrics, 17(3), 194–
199. https://doi.org/10.1111/psyg.12214
Cahoon, C. G. (2012). Depression in older adults. AJN(Online).
https://doi.org/10.1136/bmj.k4922
Chamroon, T., Sanchai, P., Khuanpet, W., Seekumnurd, S., Keawkhamfu, S.,
Kattiwong, A., & Wongnuch, P. (2020). Prevalence and Factors Associated with
Depression among Elderly in San Ton Kok Village , Chiang Rai , Thailand, 2,
19–24. https://doi.org/10.14456/jhsam.2020.3

6
Universitas
Charoensakulchai, S., Usawachoke, S., Kongbangpor, W., Thanavirun, P., Mitsiriswat,
A., Pinijnai, O., … Kaewput, W. (2019). Prevalence and associated factors
influencing depression in older adults living in rural Thailand: A cross-sectional
study. Geriatrics and Gerontology International, 19(12), 1248–1253.
https://doi.org/10.1111/ggi.13804
Demir Dogan, M. (2018). The Effect of Laughter Therapy on Anxiety and Stress in
University Students. Annual of Psychiatry Mental Health, 6(2), 1132. Retrieved
from
https://www.researchgate.net/publication/352838634_Effectiveness_of_Laughter_
Therapy_on_Stress_among_School_Teachers
Dines, P., Hu, W., & Sajatovic, M. (2014). Depression in Later-life : An Overview of
Assessment and Management. Psychiatrua Donubia, 26(Suppl 1), 78–84.
Diniz, B. S. (2020). The Biopsychosocial Liability for Late-Life Depression. American
Journal of Geriatric Psychiatry, 28(8), 856–858.
https://doi.org/10.1016/j.jagp.2020.04.017
Eunjoo, J., & Oksoo, K. (2014). Effect of the Laughter Therapy Combined with
Cognitive Reinforcement Program for the Elderly with Mild Cognitive
Impairment, 26(1), 34–45.
Fiske, A., Wetherell, J. L., & Gatz, M. (2010). Depression in Older Adults. Annual
Review of Clinical Psychology, 363–389.
https://doi.org/10.1146/annurev.clinpsy.032408.153621.Depression
Frazer, C. J., Christensen, H., & Griffiths, K. M. (2005). Effectiveness of treatments for
depression in older people. Medical Journal of Australia, 182(12), 627–632.
https://doi.org/10.5694/j.1326-5377.2005.tb06849.x
George, J. R., & Jacob, V. (2014). A Study to assess the effectiveness of Laughter
Therapy on Depression among Elderly People in Selected Old Age Homes at
Mangalore. International Journal of Nursing Education, 6(1), 152–154.
https://doi.org/10.5958/j.0974-9357.6.1.031
Gertler, P. J., Martinez, S., Premand, P., Rawlings, L. B., & Vermeersch, C. M.
J. (2016). Impact Evaluation in Practice, Second Edition. Impact Evaluation in
Practice, Second Edition. https://doi.org/10.1596/978-1-4648-0779-4
GLM multivariate analysis IBM. (2021). Available at:
6
Universitas
https://www.ibm.com.docs/en/spss-statistic/25.0.0?topic=statistic-glm-multivariate
-analysis (Accessed: January 18, 2023).
Guleria, K., & Manta, P. (2021). Effectiveness of laughter therapy on reduction of stress
among nursing students. Indian Journal of Forensic Medicine and Toxicology,
15(1), 126–132. https://doi.org/10.37506/ijfmt.v15i1.13385
Han, J. H., Park, K. M., & Park, H. (2017). Effects of laughter therapy on depression
and sleep among patients at long-term care hospitals. Korean Journal of Adult
Nursing, 29(5), 560–568. https://doi.org/10.7475/kjan.2017.29.5.560
Hatzipapas, I., Visser, M. J., & van Rensburg, E. J. (2017). Laughter therapy as an
intervention to promote psychological well-being of volunteer community care
workers working with HIV-affected families. Sahara J, 14(1), 202–212.
https://doi.org/10.1080/17290376.2017.1402696
Hefti, R. (2011). Integrating religion and spirituality into mental health care, psychiatry
and psychotherapy. Religions, 2(4), 611–627. https://doi.org/10.3390/rel2040611
Heidari, M., Borujeni, M. G., Rezaei, P., Abyaneh, S. K., & Heidari, K. (2020). Effect
of laughter therapy on depression and quality of life of the elderly living in nursing
homes. Malaysian Journal of Medical Sciences, 27(4), 119–129.
https://doi.org/10.21315/mjms2020.27.4.11
Holman, A. J., Serfaty, M. A., Leurent, B. E., & King, M. B. (2011). Cost-effectiveness
of cognitive behaviour therapy versus talking and usual care for depressed older
people in primary care. BMC Health Services Research, 11.
https://doi.org/10.1186/1472-6963-11-33
Ilannoor, Z. B., Wati, Y. R., & Ibnusantosa, R. G. (2020). Gambaran Karakteristik dan
Tingkat Depresi Lansia yang Tinggal di UPTD Panti Sosial dan Rehabilitasi
Ciparay Kabupaten Bandung Tahun 2020, 3–7.
Johnson, K., & Son, M. Y. S. (2021). Mental Health Issue Among The Elderly
Population. California State University.
Joseph, S. G., & KM, R. (2015). Laughter Therapy for Depressive Symptoms among
Elderly Residing in Geriatric Homes of Kerala. International Journal of Innovative
Research and …, 4(10), 338–342. Retrieved from
http://www.ijird.com/index.php/ijird/article/view/80071
Karunamuni, N., Imayama, I., & Goonetilleke, D. (2020). Pathways to well-being:
6
Universitas
Untangling the causal relationships among biopsychosocial variables. Social
Science and Medicine, 272. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2020.112846
Katarina, M. (2004). Laugh For No Reason (Terapi tawa). PT Gramedia Pustaka
Utama.
Katon, W. J., Lin, E., Russo, J., & Unützer, J. (2003). Increased medical costs of a
population-based sample of depressed elderly patients. Archives of General
Psychiatry, 60(9), 897–903. https://doi.org/10.1001/archpsyc.60.9.897
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Laporan Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2018.
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kiik, S. M., & Nuwa, M. S. (2020). Quality of life of the elderly: a comparison between
community-dwelling elderly and in social welfare institutions. Medisains, 18(1), 9.
https://doi.org/10.30595/medisains.v18i1.6940
Ko, H. J., & Youn, C. H. (2011). Effects of laughter therapy on depression, cognition
and sleep among the community-dwelling elderly. Geriatrics and Gerontology
International, 11(3), 267–274. https://doi.org/10.1111/j.1447-0594.2010.00680.x
Koch, H. J. (2019). Depression in the Elderly–Epidemiology, Diagnosis, Special
Aspects, and Treatment Options. OBM Geriatrics, 3(4), 1–1.
https://doi.org/10.21926/obm.geriatr.1904091
Law, R. (2011). Interpersonal psychotherapy for depression. Advances in Psychiatric
Treatment, 17(1), 23–31. https://doi.org/10.1192/apt.bp.109.007641
Lestari, E. F. (2011). Pengaruh Pelatihan Tawa Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Pada Lanjut Usia (Lansia) Yang Tinggal Di Panti Werdha Hargo Dedali. Jurnal
Psikologi, 6(1), 335–346.
Levy-Storms, L., Chen, L., & Loukaitou-Sideris, A. (2018). Older Adults’ needs and
preferences for open space and physical activity in and near parks: A systematic
review. Journal of Aging and Physical Activity, 26(4), 682–696.
https://doi.org/10.1123/japa.2016-0354
Lima, S., Teixeira, L., Esteves, R., Ribeiro, F., Pereira, F., Teixeira, A., & Magalhães,
C. (2020). Spirituality and quality of life in older adults: A path analysis model.
BMC Geriatrics, 20(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12877-020-01646-0
Maheshkumar, T. (2015). Effectiveness of Laughter Therapy on Depression Among
Elderly Residing in Selected Old Age Home At Madurai.

6
Universitas
Mali, P., Poudel, E. N., Mali, S., Poudel, L., & Joshi, S. P. (2021). Depression and its
associated factors among elderly people of old age homes and community of
Kathmandu district, Nepal: a comparative study. International Journal Of
Community Medicine And Public Health, 8(4), 1571.
https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20211205
Marsa, R., Younesi, S. J., Barekati, S., Ramshini, M., & Ghyasi, H. (2020). A
Comparative Study on Stress, Anxiety and Depression Between Nursing-Home
Elderly Residents and Home-dwelling Elderly People. Iranian Journal of Ageing,
15(2), 176–187. https://doi.org/10.32598/SIJA.13.10.500
Maylasari, I., Rachmawati, Y., Wilson, H., Nugroho, S. W., Sulistyo, N. P., & Dewi, F.
W. R. (2019). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. (D. Susilo, I. E. Harahap, & R.
Sinang, Eds.), Statistik Penduduk Lanjut Usia di Indonesia 2019. Badan Pusat
Statistik.
Melati, I., Elita, M., & Agrina. (2013). Perbedaan antara Konsep Diri Lansia Yang
Tinggal di Panti Social Tresna Werdha dengan Lansia Yang Tinggal di Tengah
Keluarga. Jurnal Nursing Science, 1–15.
Mirkena, Y., Reta, M. M., Haile, K., Nassir, Z., & Sisay, M. M. (2018). Prevalence of
depression and associated factors among older adults at ambo town, Oromia
region, Ethiopia. BMC Psychiatry, 18(1), 1–7.
https://doi.org/10.1186/s12888-018-1911-8
Mora-Ripoll, R. (2010). The Therapeutic Value of Laughter In Medicine : Narrative
Review. Altemative Therapies Health Medicine, 16(6), 56–64.
Nadjib, M., Putri, S., Sabarinah, & Trihandini, I. (2020). Evaluasi Ekonomi di Bidang
Kesehatan : Teori dan Aplikasi. Univesitas Indonesia Publishing.
Nugraha, S., & Aprillia, Y. T. (2020). Health-Related Quality of Life among the Elderly
Living in the Community and Nursing Home. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
15(3), 419–425. https://doi.org/10.15294/kemas.v15i3.21282
OECD. (2021). Elderly Populatioan (Indicator). https://doi.org/10.1787/8d805ea1-en
(Accessed on 26 September 2021)
Olabisi, O. (2020). Laughter Psychotherapy : An Adjunct to Clinical Management of
Geriatric Depression among Rural Community Dwellers in Oyo State , South West
Nigeria. Journal Of Gerontology & Geriatric Research, 9(6).

6
Universitas
https://doi.org/10.35248/2167-7182.20.9.522.Copyright
Orimo, H., Ito, H., Suzuki, T., Araki, A., Hosoi, T., & Sawabe, M. (2006). Reviewing
the definition of “elderly.” Geriatrics and Gerontology International, 6(3),
149–158. https://doi.org/10.1111/j.1447-0594.2006.00341.x
Park, M., & Reynolds, C. F. (2015). Depression among older adults with diabetes
mellitus. Clinics in Geriatric Medicine, 31(1), 117–137.
https://doi.org/10.1016/j.cger.2014.08.022
Pocklington, C. (2017). Review Article Depression in older adults. British Jornal of
Medical Practioners, 10(1), 7. Retrieved from
https://www.bjmp.org/files/2017-10-1/bjmp-2017-10-1-a1007.pdf
Punitha Josephine, S., & Jemmi Priya, J. (2017). Effectiveness of laughter therapy on
blood pressure among patients with hypertension. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, 10(9), 246–250.
https://doi.org/10.22159/ajpcr.2017.v10i9.19076
Puspadewi, A. A. A. R., & Rekawati, E. (2017). Depresi Berhubungan Dengan Kualitas
Hidup Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Di Jakarta. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 20(3), 133–138. https://doi.org/10.7454/jki.v20i3.636
Ranjan, S., Bhattarai, A., & Dutta, M. (2014). Prevalence of depression among elderly
people living in old age home in the capital city Kathmandu. Health Renaissance,
11(3), 213–218. https://doi.org/10.3126/hren.v11i3.9634
Razzouk, D. (2017). Mental Health Economic. (D. Razzouk, Ed.). Springer.
Remes, O., Francisco, J., & Templeton, P. (2021). Biological, Psychological, and Social
Determinants of Depression: A Review of Recent Literature. Brain Sciences,
11(12). https://doi.org/10.3390/brainsci11121633
Renn, B. N., & Arean, P. A. (2017). Psychosocial Treatment Option for Major
Depressive Disorder in Older Adults. Current Treatment Options Psychiatry, 4(1).
https://doi.org/10.1007/s40501-017-0100-6.Psychosocial
S, S., J, P., & A, S. (2022). Late Onset Depression. StatPearls Publishing LLc. Retrieved
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551507/#_NBK551507_pubdet_
Saadati, H., Froughan, M., Azkhosh, M., Bahmani, B., & Khanjani, M. S. (2021).
Predicting depression among the elderly by stressful life events and coping
strategies. Journal of Family Medicine and Primary Care, 10(12), 4542–4547.

6
Universitas
https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_881_21
Salkeld, J. (2015). Assessing sexual health in mental health service users. Nursing
Standard, 30(5), 53–58. Retrieved from
https://journals.rcni.com/nursing-standard/assessing-sexual-health-in-mental-health
-service-users-ns.30.5.53.e10082
Šare, S., Ljubičić, M., Gusar, I., Čanović, S., & Konjevoda, S. (2021). Self-esteem,
anxiety, and depression in older people in nursing homes. Healthcare
(Switzerland), 9(8). https://doi.org/10.3390/healthcare9081035
Satish, D. (2012). Laughter therapy. Journal of Pharmaceutical and Scientific
Innovation, 1(3), 23–24. https://doi.org/10.7748/ns.21.16.28.s46
Sayed, M.A. & Gandham, S. . (2018). Effectiveness of Laughter Therapy on The Levels
of Anxiety and Depression among Inmates Residing at an Old Age Institution: An
Interventional Research. International Journal of Scientific Research, 7(1), 57–60.
Sedgwick, P. (2012). The Hawthorne effect. In BMJ (Online) (Vol. 344, Issue 7838).
https://doi.org/10.1136/bmj.d8262
Shanmugam, R. S., & Anitha, C. S. (2016). Effectiveness of Laughter Therapy on Stress
among School Teachers. International Journal of Science and Research (IJSR),
5(5), 409–411. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/352838634_Effectiveness_of_Laughter_
Therapy_on_Stress_among_School_Teachers
Sivertsen, H., Bjørkløf, G. H., Engedal, K., Selbæk, G., & Helvik, A. S. (2015).
Depression and quality of life in older persons: A review. Dementia and Geriatric
Cognitive Disorders, 40(5–6), 311–339. https://doi.org/10.1159/000437299
Snow, C. E., & Abrams, R. C. (2016). The indirect costs of late-life depression in the
United States: A literature review and perspective. Geriatrics (Switzerland), 1(4),
17–22. https://doi.org/10.3390/geriatrics1040030
Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the elderly: Clinical features and risk factors.
Aging and Disease, 3(6), 465–471.
Tanveer, S., & Batool, S. S. (2019). Biopsychosocial Determinants of Quality of Life
among Elderly in Pakistan. Pakistan Journal of Social an Clinical Psychology,
17(2), 19–26.
Taukeni, S. G. (2020). Biopsychosocial Model of Health. Psychology and Psychiatry,

6
Universitas
4(1).
Taylor, W. D. (2014). Clinical practice. Depression in the elderly. The New England
Journal of Medicine, 371(13), 1228–1236.
https://doi.org/10.1056/NEJMcp1402180
Tremayne, P., & Sharma, K. (2019). Implementing laughter therapy to enhance the
well-being of patients and nurses. Nursing Standard, 34(3), 28–33.
https://doi.org/10.7748/ns.2019.e11064
Ubaidillah Azka, K. A. S. K. (2017). Generalized Multilevel Linear Model dengan
Pendekatan Bayesian untuk Pemodelan Data Pengeluaran Perkapita Rumah
Tangga. Jurnal Aplikasi Statistika & Komputasi Statistik, 9(1), 2086–4132.
Ulahannan, M. A., & Xavier, M. S. (2017). The Effect of Laughter Therapy on
Depression in Elderly Residents of Selected Old Age Home from Maharashtra.
Sinhgad Colleger of Nursing, VII(I), 15–19.
United Nations Department of Economic and Social Affairs Population Division.
(2019). World Population Ageing 2019. World Population Ageing 2019 (Vol.
Highlights). Retrieved from
http://www.un.org/esa/population/publications/worldageing19502050/pdf/65execut
ivesummary
spanish.pdf%0Ahttp://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-007-5204-7_6
van der Wal, C. N., & Kok, R. N. (2019). Laughter-inducing therapies: Systematic
review and meta-analysis. Social Science and Medicine, 232(March 2018),
473–488. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.02.018
Vanoh, D., Shahar, S., Yahya, H. M., & Hamid, T. A. (2016). Prevalence and
determinants of depressive disorders among community-dwelling older adults:
Findings from the towards useful aging study. International Journal of
Gerontology, 10(2), 81–85. https://doi.org/10.1016/j.ijge.2016.02.001
WH0. (2017). Mental health of older adults. Retrieved from
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-of-older-adults
WHO. (2011). Global Heath and Aging. World Health Organizaton.
Wibowo, W. D. A., Susmini, Wijaya, S., & Amelia, N. (2021). The Effect of Laughter
Therapy for Depression Level among Geriatric Patients at Pangesti Lawang
Nursing Home. International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS),
6
Universitas
4(5), 515–521. Retrieved from http://ijnhs.net/index.php/ijnhs/home
World Health Organization. (2021). Depression : Fact Sheet. Retrieved from
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression
Yim, J. E. (2016). Therapeutic benefits of laughter in mental health: A theoretical
review. Tohoku Journal of Experimental Medicine, 239(3), 243–249.
https://doi.org/10.1620/TJEM.239.243
Yoshikawa, Y., Ohmaki, E., Kawahata, H., Maekawa, Y., Ogihara, T., Morishita, R., &
Aoki, M. (2019). Beneficial effect of laughter therapy on physiological and
psychological function in elders. Nursing Open, 6(1), 93–99.
https://doi.org/10.1002/nop2.190

6
Universitas

You might also like