You are on page 1of 3

Nama : Brian Machias Ambarita

NIM : 205010107111139
No. Absen : 34
Article 3 bis Chicago Convention 1944
(a)The contracting States recognize that every State must refrain from resorting to the use of
weapons against civil aircraft in flight and that, in case of interception, the lives of persons on
board and the safety of aircraft must not be endangered. This provision shall not be
interpreted as modifying in any way the rights and obligations of States set forth in the
Charter of the United Nations.
(b)The Contracting States recognize that every State, in the exercise of its sovereignty, is
entitled to require the landing at some designated airport of a civil aircraft flying above its
territory without authority or if there are reasonable grounds to conclude that it is being used
for any purpose inconsistent with the aims of this convention; it may also give such aircraft
any other instructions to put an end to such violations. For this purpose, the contracting States
may resort to any appropriate means consistent with relevant rules of international law,
including the relevant provisions of this convention, in specifically paragraph (a) of this
Article. Each contracting State agrees to publish its regulations in force regarding the
interception of civil aircraft.
(c)Every civil aircraft shall comply with an order given in conformity with paragraph (b) of
this Article. To this end each contracting State shall establish all necessary provisions in its
national laws or regulations to make such compliance mandatory for any civil aircraft
registered in that State or operated by an operator who has his principal place or business or
permanent residence in that State. Each contracting State shall make any violation of such
applicable laws or regulations punishable by severe penalties and shall submit the case to its
competent authorities in accordance with its law or regulations.
(d)Each contracting State shall take appropriate measures to prohibit the deliberate use of any
civil aircraft registered in that State or operated by an operator who has his principal place of
business or permanent residence in that State for any purpose inconsistent with the aims of
this convention. This provision shall not affect paragraph (a) or derogate from paragraphs (b)
and (c) of this Article.

INTERPRETASI

(a) Ketentuan ini memiliki arti bahwa :

 negara memiliki kewajiban hukum untuk menahan diri dengan tidak menggunakan
senjata terhadap pesawat udara sipil dalam penerbangannya.
 negara juga berkewajiban untuk tidak membahayakan jiwa manusia yang berada di
dalam pesawat udara, serta pesawat udara yang diintersepsi itu sendiri ketika
melakukan prosedur pencegatan/intersepsi.

(b) Ketentuan ini memiliki arti bahwa :

 Sebagai perwujudan dari kedaulatan suatu negara, maka negara berhak memberikan
perintah pesawat udara sipil yang melakukan pelanggaran wilayah udara untuk
mendarat di bandara udara yang telah ditentukan.
 Dalam menjalankan wewenangnya negara memperhatikan ketentuan paragraf (a)
artikel ini.
 Dalam mengatur prosedur intersepsi terhadap pesawat udara sipil negara diminta
untuk mengumumkan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat.

(c) kentuan ini memiliki arti bahwa :

 setiap pesawat udara sipil diharuskan untuk mematuhi instruksi yang diberikan oleh
negara yang melakukan intersepsi terhadapnya.
 setiap negara dituntut untuk memasukkan dalam perundang-undangan nasionalnya
ketentuan bahwa pesawat udara sipil yang terdaftar di negaranya akan mematuhi
instruksi negara yang melakukan intersepsi kapan saja pesawat udara sipil itu
mengalami kasus demikian .
 setiap negara dituntut agar menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya
ketentuan hukuman yang berat bagi para pemilik atau operator pesawat udara sipil
yang terdaftar di negaranya yang melanggar prinsip pematuhan dalam menghadapi
intersepsi oleh negara lain.

(d) Setiap negara pihak persetujuan harus mengambil tindakan yang tepat untuk melarang
penggunaan senjata yang disengaja,pada pesawat udara sipil, agar pesawat udara sipil yang
terdaftar di negaranya, tidak akan dipergunakan untuk maksud yang bertentangan dengan
tujuan Konvensi Chicago.

IMPLIKASI

Indonesia salah satu negara pihak konvensi yang mempunyai regulasi mengenai lalu lintas
penerbangan pesawat sipil udara. Mengadopsi dari Konvensi Chicago 1944, Pasal 5 UU
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Dalam
rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Indonesia berhak melakukan pencegatan, memaksa turun, bahkan memproses
hukum pesawat sipil beserta awak pesawat yang melakukan pelanggaran di wilayah
kedaulatan Indonesia.

Terkait dengan pengoperasian pesawat udara asing di wilayah NKRI, Pasal 63 ayat (2) UU
No 1 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia. Setiap orang yang
mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa
izin Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Contoh penerapan artikel 3bis pada kasus pelanggaran ruang udara :

Pesawat sipil Singapura yang dipaksa mendarat oleh dua pesawat Sukhoi 27/30 Flanker TNI
diizinkan pulang setelah memenuhi syarat administrasi termasuk membayar denda Rp.
60.000.000,00.

1. pencegatan (interception), dalam melakukan prosedur pencegatan pesawat sipil


Singapura, Indonesia memenuhi ketentuan pada artikel 3 bis paragraf (a) dengan menahan
diri tidak menggunakan senjata (must refrain from resorting to the use of weapons) dan
tidak membahayakan jiwa manusia yang berada di dalam pesawat udara (the lives of
persons on board and the safety of aircraft must not be endangered).

2. Selanjutnya Indonesia memaksa mendarat dua pesawat tersebut sesuai dengan


ketentuan pada artikel 3bis paragraf (b) yakni negara berhak memerintahkan pesawat
udara sipil yang melakukan pelanggaran wilayah udara untuk mendarat di bandar udara
negara itu yang ditentukan (to require the landing at some designated airport).

3. Sesuai dengan artikel 3bis paragraf (c) bahwa setiap negara dituntut agar menetapkan
dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukuman yang berat (shall make any
violation of such applicable laws or regulations punishable by severe penalties),
Indonesia menjatuhkan hukuman denda administrasi pada pesawat sipil singapura sebesar
Rp. 60.000.000,00, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional yaitu Pasal 63
ayat (2) UU No 1 Tahun 2009.

You might also like