You are on page 1of 9
SIMBOL-SIMBOL DALAM BAHASA MAKASSAR ‘Abd. Kadir Manyambeang Universitas Hasanuddin 1. PENDAHULUAN Bahasa yang terdapat di Sulawesi Selatan adalah bahasa Makassar, bahasa Bugis, bahasa Mandar, dan bahasa Toraja. Penutur bahasa Makassar, bahasa kedua terbesar setelah bahasa Bugis, dalam komunikasinya sehari-hari sering menggunakan bahasa simbol. Mereka menyampaikan maksudnya dengan menggunakan simbol-simbol alam. Di dalam makalah ini akan dibahas simbol-simbol itu, dilandasi oleh pertanyaan-pertanyaan berikut. 1) Adakah hubungan antara bahasa dan makhluk-makhluk atau bends-benda yang ada di sekliling penutur bahasa bersangkutan? 2) Mengapa masyarakat penutur bahasa Makassar menggunakan simbol-simbol dalam menyampaikan pesannya? 3) Apa akibat pemakaian simbol- simbol itu bagi penerima pesan? 4) Apakah pemakaian simbol-simbol itu masih dapat berlangsung sampai sekarang? Simbol-simbol itu, yang diambil dari alam sekeliling, akan dibahas satu persatu: (a) binatang, (®) alat-alat yang terdapat pada tubuh manusia, dan (c) pada benda-benda yang ada di luar tubuh manusia, 2. Binatang Binatang yang biasa dipakai sebagai simbol dalam komunikasi bahasa Makassar adalah binatang-binatang yang ada di daerah penutur bahasa tersebut, seperti padallek, biawak’, Jarang, kuda’, tedong ‘kerbau', tokkek ‘tokeK’, jangang ‘ayam'. (1) Padaltek "biawak’ Daeng Nganu takkulleai niparacaya, ka aklita padalleki. {Daeng Nganu tak dapat dipercaya dia, karena berlidah biawak dia] 'Daeng Nganu tak dapat dipercaya karena berlidah buaya’ Simbol lila padallek ‘lidah biawak' pada kalimat ini memberikan pengertian ‘tak dapat dipercaya'. Binatang padallek itu mempunyai lidah yang bercabang; lidah yang bercabang itu dianggap mengutarakan pembicaraan yang mengandung dua kemungkinan. (2) Jarang'kuda’ Anjo anaknu kammatongi jarang lappasak ri barana (tu anakmu seperti dia kuda lepas dari kandangnya} "Anakmu itu seperti kuda yang lepas dari kadangnya’ Simbol jarang lappasak ri barana ‘kuda lepas dari kandangnya’ memberikan pengertian 44 ‘kebebasan yang baru diperoleh’. Simbol ini biasa ditujukan pada anak-anak yang lepas kontrol dari orang tuanya. Ia seperti kuda liar yang tak berkekang. (3) Tedong ‘kerbau’ Teako sarro akgiok tedong (Uangan engkau sering bergerak kerbau] ‘Jangan engkau suka bergerak seperti kerbau’ ‘Simbol akgiok tedong ‘bergerak kerbau' mengandung pengertian ‘sangat lamban bila bergerak’. Seorang anak yang disuruh oleh orang tuanya tetapi sangat lambat bergerak, maka anak itu akan disebut akgiok tedong. (4) Tokkek'tokek’ Natabai minyak tokkek [Terkena dia minyak tokek] 'Dia terkena minyak tokek’ Tokek, tokek’ adalah binatang melata yang kakinya melekat pada tempat berdirinya. Binatang itu sulit dipisahkan dari tempatnya melekat. Seakan antara kaki tokek dengan tempatnya terdapat lem perekat yang tak dapat dilepaskannya. Oleh karena itu, seseorang yang berteman ‘sangat erat, terutama antara wanita dan pria, seorang di antaranya disimbolkan terkena minyak tokkek. Seakan dia tak dapat memisahkan diri. [a melekat seperti kaki tokek dengan tempatnya melekat, (5) Jangang ‘ayam’ Jangang toromo kaknyikna nuodok [Ayam turun sudah sayapnya kauintip} "Ayam yang sudah turun sayapnya kauintip', Kata foro berarti ‘turun atau agak tergantung’ tidak segar seperti ayam yang sehat. Simbol ini biasa ditujukan pada gadis yang sudah pemah melahirkan sehingg pinggangnya agak menurun, Demikian kalimat ini ditujukan pada pemuda yang mengingini janda muda atau gadis yang sudah pemah hamil tanpa suami. Wanita yang demikian ini dianggap pinggulnya telah menurun dan diberi simbol jangang toromo kanyikna. 3. Alat-alat Tubuh Manusia Alat-alat atau anggota tubuh menusia sering pula dijadikan simbol dalam menyampaikan pesan, misalnya foli‘telinga’, mata ‘mata,, kulantu'lutut’, cerak ‘darah’ bukkuleng "kulit. (1) toli tetinga’ Attoli pammajaki kutaeng na tallangngera [Bertelinga kuali dia barangkali schingga tidak mendengat] "Barangkali dia bertelinga kulai sehingga ia tidak mendengar’. Pammajak ‘kuali’ mempunyai dua tempat gantungan yang disebut pula “telinga kuali*. 45 ‘Tempat gantungan ini atau ‘oli pammajak ini biasa disimbolkan pada orang yang tidak mendengar bila dipanggil atau diajak bicara. Telinga baginya hanyalah merupakan hiasan yang tidak digunakannya untuk mendengar atau menyambut pembicaraan atau panggilan orang. (2) mata ‘mata’ kmata sikuyui anaknu, soro pareksai ri doktoroka [Bermata kepiting dia anakmu, suruh periksa dia pada dokter] "Anakmu bermata kepiting, suruh periksa pada dokter’. Sikuyu ‘kepiting’ mempunyai sepasang mata yang agak menonjol keluar dan agak miring. Simbol akmata sikuyu mendeskripsikan orang yang bermata juling. (3) kulantuk ‘wutut 1 Anu nangai akdekdek kulantuka (Si Anu suka dia membuat lutut itu} ‘Si Anu suka membuat (sesuatu) pada lututnya’. Pengertian akdekdek kulantu di sini adalah ‘membuat sesuatu yang tidak benar'. Simbol ini dipakai untuk menyebut orang yang suka berbohong atau membuat berita-berita yang tidak benar. (4) Cerak 'darah' Bajikangngangi mate acceraka na mate cipuruka [Lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan] Simbol ini adalah etos kerja bagi suku bangsa Makassar, Simbol mate accerak ‘mati berdarah' adalah bekerja keras sampai tangan berdarah. Jadi, simbol ini melambangkan etos kerja bahwa bekerja keras sampai darah bercucuran jauh lebih baik daripada tinggal menungeu kematian karena kelaparan. Simbol ini biasa disalahartikan sehingga timbul pengertian negatif terhadap orang Makassar. Seakan-akan orang Makassar itu suka membunuh atau merampok untuk memenuhi kebutuhan perutnya, Hal ini sangat bertentangan dengan pengertian yang dikandung oleh simbol tersebut. Simbol ini memiliki arti sangat menjunjung kerja keras, pantang meminta- ‘minta. 4, Benda-benda lain Benda-benda lain pun sering menjadi simbol dalam bahasa Makassar. Benda-benda lain itu, seperti sirung ‘sendok’ , bombang ‘ombak’, jarung 'jarum', pepek, api, pakkeke "linggis'. Di samping itu dapat pula digunakan wama sebagai simbol: ea 'merah’, kebok, ‘putih’, lekleng ‘hitam’, moncongbulo, ‘hijau’, bahkan sering pula digunakan verba, seperti ammattik ‘menitik’, aklambak ‘menjalar’, akbija "berkeluarga’, assolong 'mengalir, nipakambani 'diperdekat’. Kata-kata yang berpasangan sering pula ditemukan sebagai simbol, seperti pada kata cipuruk-angnganre \apar-makan', takdodok-tirro ‘ngantuk-tidur dan anjama-bambangallo, ‘kerja-sinar matahari’ (1) sirung 'sendok’ (pengais nasi dalam periuk) Tepoki sirunga [Patah dia sendok itu] *Sendok nasi sudah patah Simbol tepok ‘patah' biasa digunakan untuk pengganti kata habis. Seseorang yang kedatangan tamu, lalu tamu tersebut disuguhi sesuatu, lalu suguhan tersebut telah dihabiskannya, dikatakanlah tepokmi sirunga 'sendok sudah patah'. Orang Makassar dahulu bahkan sampai sekarang tidak ingin menyebut habis karena takut kalau benar-benar kata habis itu berada dalam kenyataan. Oleh karena itu, untuk menghindarinya digunakan simbol seperti tersebut di atas. (2) bombang 'ombak’ Niakpi bombanga nukbise {Ada nanti ombak baru kaudayung} ‘Nanti berombak baru engkau mendayung’ Simbol tersebut biasanya ditujukan kepada orang yang tidak ada persiapannya. Ia selalu memandang temeh semua pekerjaan, Pokoknya tiba masa tiba akal. 3) farung jarum! Bannanga amminawangi ri jarunga, antaklei jarunga antakletongi bannanga. [Benang itu mengikut dia pada jarum itu, ke sebelah dia jarum itu ke sebelah juga benang itu) ‘Benang itu mengikuti jarum, jarum kesebelah benang pun ikut kesebelah’ Simbol jarung ‘jarum! adalah pemimpin, sedangkan simbol bennang "benang' adalah pengikut, atau orang yang dipimpin. Jadi, ke mana perginya jarum ke sana jugalah perginya benang. Rakyat hanya mengikuti pemimpin. (4) pepek ‘api’ Annaggalaki bara pepek [Memegang dia bara api] "Dia memegang bara api’ Simbol ini biasa ditujukon pada orang yang memegang jabatan yang hebat atau penting. Kedudukannya seakan-akan ada di atas bara api. Kedudukan itu mungkin saja dapat membakar alau menghanguskannya. Oleh Karena itu, orang tersebut harus hati-hati dalam memegang jabatannya. 47 (8) pakkeke ‘linggis' Pakkekepa salang ampassisaklakki {Linggis hanya nanti memisahkan kita] ‘Hanya linggis nanti yang memisahkan kita’ Linggis 'pakkeke' adalah alat yang biasa dipakai menggali kuburan. Simbol ini menggambarkan hubungan suami istri yang sangat akrab, damai, dan sejahtera. Yang dapat memisahkan mereka hanyalah "kematian” yang dalam hal ini disimbolkan dengan linggis. (© eja'meraht Ejai tolingku allangngereki kananna [Merah dia telingaku mendengar dia ucapannya] “Telingaku merah mendengar ucapannya’ Kata eja ‘merah’ simbol nafsu, amarah yang sangat. Jadi, ejai folingku 'merah telingaku' menandakan suatu kemarahan yang hebat pada sescorang. Begitu. mendengar kata-kata orang, ia sangat marah (telinganya menjadi merah). (7) kebok'putih Napakmatakeboki pakbuntinganna anakna [Dia memata putih dia perkawinannya anaknya] "Dia memutihkan matanya dalam perkawinan anaknya! Kalimat di atas mendiskreditkan kesungguhan hati seseorang dalam rangka perkawinan anaknya. Ia berusaha sungguh-sungguh supaya dalam perkawinan anaknya itu tidak terjadi kekurangan apa pun. Usahanya itu berhasil sehingga muncullah simbol seperti Kalimat di atas. (8) lekleng ‘hitam’ Leklengi lapanganga napakamma jai tau [Hitam dia lapangan itu disebabkan banyak orang] ‘Lapangan menjadi hitam karena banyaknya orang’ Kata lekleng ‘hitam’ melambangkan banyaknya kepala manusia. Kepala manusia pada umumnya hitam karena warna rambut. Karena lapangan dipenuhi oleh manusia, lapangan itu seakan tertutup oleh banyaknya manusia. Yang kelihatan hanyalah kepala manusia. (9) ammatik 'menetes’ Bajikangngangi ammattika na assolonga ‘Lebih baik menetes daripada mengalir’ Kata ammatik berarti'keluar airnya dengan pelan-pelan’. Namun, untuk mengumpulkannya makan waktu yang cukup lama. Adapun kata assolong 'mengalir’ menunjukkan aliran yang sangat deras sehingga pengumpulannya makan waktu yang cukup singkat. Kalau ammattik lama baru habis, kalau assofong dapat habis dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, simbol ini menunjukkan bahwa lebih baik sedikit-sedikit, tetapi lama dinikmati daripada 48 banyak keluar, tetapi habis dalam waktu sejenak. Simbol ini juga menyampaikan pesan kehematan. (10) aklambak ‘menjalar’ Kalelengku aklamba mange tattaki, kalelennu aklambak mae kutatattaki [Tumbuhanku yang menjalar ke sana potong dia, tumbuhanmu yang menjalar ke mari saya potong dia] Tumbuhanku yang menjalar ke sana potonglah dan tumbuhanmu yang menjalar ke mari saya potong juga.’ Kalimat di atas mendeskripsikan hubungan kekeluargaan yang putus sama sekali. Bahkan tak ada satupun di antara keluarga itu yang ingin berdamai. Hal ini disimbolkan dengan kata tattak'potong’. Jadi, kalau ada salah satu keluarga yang melamar (simbol aklamba 'menjalar), ‘maka ia akan nitattak 'dipotong’. Hal ini berarti bahwa hubungan keluarga putus sama sekali. Simbol ini biasa pula dijadikan sumpah bagi terputusnya hubungan karena sesuatu hal. (11) akbija berkeluarga’ Anne kamma-kamma akbija tedongmami taua [Ini sckarang berfamili kerbau saja orang itu] "Sekarang ini kita hanya berfamili kerbau.’ Kata fedong ‘kerbau’ adalah nama binatang. Binatang tidak mengenal keluarga. Kalau anaknya sudah besar, binatang itu tidak mengenal lagi mana anaknya, Demikian pula si anak tidak mengenal lagi induknya. Manusia pada dewasa ini banyak yang sudah tidak mengenal lagi keluarganya. Hal ini mungkin disebabkan karena kesibukan masing-masing atau karena saling berjauhan tempat tinggal. Akibatnya, tak dapat lagi saling mengunjungi yang pada akhirnya tidak saling mengenal. Keadaan demikian inilah yang digambarkan oleh simbol di atas. Di samping simbol-simbol tersebut di atas, masih terdapat kata berpasangan, seperti pada contoh berikut: (12) Niak pappasanna sekrea tau toa ri anakna iyamintu: teaklaloko angnganrei punna tena nassipak nukanre, teaklaloko tinroi punna tena nabajik katinroannu, siagang telaloko anjamai puna natabako bambang allo "Ada pesan seorang orang tua pada anaknya, yaitu: janganlah engkau makan kalau tidak enak makanan itu kau maka, janganlah engkau tidur kalau tempat tidurmu tidak baik, dan janganlah engkau bekerja kalau engkau terkena sinar matahari.' Pada pesan di atas ada tiga simbol yang perlu disimak, yaitu tealaloko angnganrei punna tena nassipak nukanre 'janganlah engkau makan kalau makanan itu tidak enak kau makan’, tealaloko tinroi purna tena nabajik katinroannu, ‘janganlah engkau tidur kalau tidak baik tempat tidurmu, dan tealaloko anjamai punna natabako bambang allo ‘janganlah engkau bekerja kalau terkena sinar matahari. Ketiga pesan ini merupakan simbol etos kerja bagi suku bangsa Makassar. Pesan 4 pertama ‘janganlah engkau makan kalau makanan itu tidak enak engkau makan. Simbol ini menunjukkan bahwa orang barulah boleh makan kalau lapar. Karena segala makanan akan enak rasanya bila kita dalam keadaan lapar. Sebaliknya, bagaimana pun enaknya suatu makanan tak akan enak rasanya masuk ke dalam perut bila kita dalam keadsan kenyang. Pesan yang kedua menyatakan bahwa ‘janganlah engkau tidur kalau tempat tidurmu itu tidak baik’; maksud simbol ini adalah 'janganlah engkau tidur kalau tidak mengantuk’. Orang yang sangat mengantuk pasti enak tidumya. Ini menandakan bahwa tempat tidur itu sangat baik. ‘Adapun orang yang tidak mengantuk bagaimanapun baik tempat tidumnya, tidak akan dapat tidur dengan nyenyak. Adapun pesan yang ketiga adalah 'janganlah engkau pergi bekerja kalau terkena sinar matahari'. Simbol ini melambangkan kecepatan bergerak pergi bekerja di waktu pagi sebelum matahari terbit. Demikian pula pulangnya, haruslah pulang bekerja di kala matahari telah terbenam, Ketiga pesan ini memberikan simbol kebematan ketelitian, dan kerajinan. 5. Kesimpulan Bahasa tak dapat dibawa lahir, harus dipelajari. Bahasa digunakan dalam aktivitas manusia bahkan dalam lingkungan budaya manusia. Pemakaian bahasa yang berbeda-beda adalah karena perbedaan sosiologis dan budaya. Suatu simbol pada suatu daerah tentu akan berbeda pengertiannya pada daerah yang lain, walaupun simbol yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan sosial budaya penutur bahasa atau simbol yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini dan ditunjang oleh data yang terkumpul, dapat disimpulkan sebagai kerikut. 1) Bahasa merupakan pantulan-pantulan dari benda-benda atau mahkluk-mahkluk yang ada di sekeliling manusia. Oleh karena itu, manusia tak dapat melepaskan dirinya dari lingkungannya. Manusia selalu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitamya. Dengan demikian, keadaan sistem ekologi suatu kelompok masyarakat tercermin dalam simbol yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan lingkungan penutur bahasa. 2) Masyarakat penutur bahasa Makassar suka mengambil lingkungannya sebagai simbol adalah karena adanya hubungan interaksi terhadap lingkungan. Demikian pula dengan penggunaan simbol benda-benda yang ada pada lingkungan masyarakat penutur akan lebih mudah memahami maksud atau makna simbol tersebut. Dan pada akhimya, untuk menyampaikan suatu informasi atau pesan secara sopan dan bernilai tinggi. 3) Adanya pesan-pesan yang disampaikan secara simbol itu membutuhkan penyampaian yang komunikatif supaya tidak menimbulkan salah pengertian atau salah tafsir. Oleh karena itu, Peran para orang tua, para budayawan sangat dibutuhkan dalam menjelaskan makna atau maksud pesan atau informasi tersebut. 4) Data yang terkumpul menunjukkan bahwa pemakaian simbol-simbol dalam bahasa Makassar tetap ada hanya tak ada penambahan simbol baru. Pemakaian simbol yan ada sekarang hanyalah hasil buatan nenek moyang masa lalu, terutama yang terdapat dari karya sastta mereka. Memang ditemukan pula simbol baru yang dibuat masyarakat Makassar masa sekarang, namun hal itu sangat kurang. Salah satu di antaranya ialah: Attanjak telepisi "Bermuka televisi’ Simbol ini biasa ditujukan kepada anak-anak yang selalu menonton televisi schingga disimbolkan ‘bermuka televisi’. Pembuktian selanjutnya membutuhkan penelitian lebih lanjut. si SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: University Press. Hymes, Dell. 1966. Language in Culture and Society. New York: Harper and Row. Kartomihardjo, Soeseno 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ———. 1993. *Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat Bentuk Bahasa Penolakan”. Semarang: Seminar Linguistik. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993. Garis-garis Besar Haluan Negara. Kridalaksana, Harimurti. 1983. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Lado, R. 1975. Linguistics Across Cultures. Ann Arbor: The University of Michigan, Lakoff, G. and Johnson. 1980. Metaphors We Live by. Chicago: Chicago University Press. Mattulada. 1988. Kererbukaan dalam Konteks Kebudayaan Makassar. Ujung Pandang: Panitia Penyelenggara Seminar. Nababan, P.W.J. 1984, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia. Wahab, Abdul. 1990, "Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi”, B. Kaswanti Purwo (ed.) PELLBA 3. Jakarta: Kanisius. Wahid, Sugira. 1992, "Metafora Bahasa Makassar". Disertasi. Universitas Hassanuddin. ‘Ujung Pandang. 2

You might also like