You are on page 1of 13

Abstract

Islamic banks have used murabaha agreements in financing activities through


merchandise and expanding their network of uses. Murabahah is a sale and purchase contract,
between two parties where the first party as the seller is obliged to sell the goods needed by
the customer, while the second party called the buyer (musytari) is obliged to pay for the
goods to be purchased. In its application principle, murabahah buying and selling gets
recognition and legality from syara', and is legal to be operationalized in the practice of
financing at Islamic banks and Baitul Mall wa Tamwil (BMT) because it is a form of buying
and selling and does not contain elements of usury. There are several provisions that underlie
the principle of murabahah, one of which is the fatwa of the National Sharia Council (DSN)
regarding the general provisions of murabahah in Islamic banks, the second contains
murabahah to customers, and the third contains guarantees in murabahah. Another form of
financing based on a financing sale and purchase agreement is istishna'. Istishna is a contract
of sale between the buyer and the manufacturer of the goods. In this contract, the
manufacturer of the goods receives an order from the buyer. The manufacturer of the goods
then tries through other people to make or buy the goods according to the agreed
specifications and sells them to the final buyer.

Keywords: Murabahah, DSN Fatwa, Istishna

Abstrak
Bank-bank Islam telah menggunakan perjanjian murabahah dalam aktivitas
pembiayaan melalui barang-barang dagangan dan memperluas jaringan penggunaanya.
Murabahah adalah akad jual beli, antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai penjual
(bai’) berkewajiban menjual barang yang dibutuhkan nasabah, sedangkan pihak kedua
disebut pembeli (musytari) berkewajiban membayar barang yang akan dibeli. Dalam prinsip
penerapannya jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah
untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan di bank syariah dan Baitul Mall wa
Tamwil (BMT) karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur
ribawi. Ada beberapa ketentuan yang mendasari prinsip murabahah, salah satunya adalah
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai ketentuan umum murabahah dalam Bank
Syariah, yang kedua berisi tentang ketentuan murabahah kepada nasabah, dan ketiga berisi
tentang jaminan dalam murabahah. Adapun bentuk lain pembiayaan atas dasar akad jual beli
pembiayaan adalah istishna’. Istishna merupakan kontrak penjulan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang
menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.

Kata kunci : Murabahah, Fatwa DSN, Istishna


Pendahuluan
Jual beli merupakan aktivitas sehari-hari yang tidak terlepas dalam kehidupan dengan
melakukan jual-beli segala kebutuhan dan keinginan dapat terpenuhi. Perkembangan
pertumbuhan ekonomi di era globalisasi seperti sekarang ini yang menyebabkan permintaan
kebutuhan pokok dalam kehidupan semakin meningkat, baik kebutuhan produktif maupun
kebutuhan konsumtif. Kemampuan masyarakat yang berbeda-beda dalam memenuhi
kebutuhan membutuhkan sebuah lembaga keuangan hadir dengan memberikan jasa
pembiayaan. Perbankan syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang memberikan
jasa pembiayaan dengan prinsip syariah. Salah satu produk layanan dari perbankan Syariah
adalah murabahah.
Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.1 Murábahah
menurut Nurhayati adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan
dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu penjual
dan pembeli. Antonio juga menjelaskan bahwa murábahah atau yang biasa disebut bai’ al –
murábahah adalah transaksi jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati antara kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli. Akad ini mengharuskan
penjual untuk memberi tahu pembeli mengenai harga produk yang ia beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannnya. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa murábahah adalah transaksi jual beli barang dimana penjual menyatakan harga
perolehannya kepada pembeli dan pembeli membayar kepada penjual harga perolehan
tersebut ditambah keuntungan (margin) yang telah disepakati.2
Praktik akad murábahah pada bank syariah dilakukan dengan cara membeli barang
yang diperlukan nasabah. Bank syariah kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut
sebesar harga barang ditambah margin atau keuntungan yang disepakati bank syariah dan
nasabah. Perjanjian dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian
antara bank dengan nasabah (debitur) untuk memberikan sejumlah dana kepada debitur.
Pemberian pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah sangat beresiko, karena setelah dana
pembiayaan diterima oleh debitur, maka pihak bank tidak mengetahui secara pasti
penggunaan dana tersebut. Oleh karena itu, dalam menyalurkan dana, bank harus
melaksanakan asas–asas pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan asas
kehati– hatian serta perlu melakukan penilaian yang seksama dalam setiap pertimbangan
permohonan pembiayaan syariah dari nasabah. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang
biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya.

1
Supriadi, “Prinsip Hukum Pembiayaan Syariah Pada Lembaga Perbankan,” Artikel Publikasi Ilmiah, hlm. 5
2
Nurul Qomariyah dan Iwan Triwuyono, “Penentuan Margin Akad Murábahah pada Bank Muamalat Indonesia
Cabang Malang,” Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya, hlm. 4
Pembahasan

Murabahah
Murabahah berasal dari kata Rabh, yang berarti perolehan, keuntungan, atau
tambahan. Muhammad Ayub mendefenisikan dalam murabahah penjualan harus
mengungkapkan biaya dan kontrak (Akad ) terjadi dengan margin keuntungan yang di
setujui.3 Sejalan dengan itu, Rivai dan Andria Permata Veithzal, mengartikan Murabahah
sebagai suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjualan dan pembeli, setelah
sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut
dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.4 Boleh dikatakan bahwa akad yang terjadi
dalam murabahah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts. Karena dalam
murabahah ditentukan keuntungannya.5 Murabahah merupakan salah satu bentuk
menghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha yang
bersifat produktif, maupun yang bersifat konsumtif.6
Dalam konteks mu’amalah, kata murabahah biasanya diartikan sebagai jual beli yang
dilakukan dengan menambah harga awal ( ‫)الثمن على بزيادة البيع‬. Secara istilah, pada dasarnya
terdapat kesepakatan ulama dalam substansi pengertian murabahah. Hanya saja terdapat
beberapa variasi bahasa yang mereka gunakan dalam mengungkapkan definisi tersebut.
Secara umum, variasi pengertian tersebut dapat disebutkan di sini. Menurut ulama
Hanafiyyaħ, yang dimaksud dengan murabahah ialah ”Mengalihhkan kepemilikan sesuatu
yang dimiliki melalui akad pertama dengan harga pertama disertai tambahan sebagai
keuntungan”.
Lebih lanjut, Imam Syafi’i berpendapat, jika seseorang menujukkan suatu barang
kepada orang lain dan berkata : ”belikan barang seperti ini untukku dan aku akan memberi
mu keuntungan sekian”. Kemudian orang itu pun membelinya, maka jual beli ini adalah sah.
Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini (murabahah yang dilakukan untuk pembelian
secara pemesanan) dengan istilah al-murabahah li al-amir bi asy-syira’. Menurut Ibnu Rusyd,
sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis
ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Sedangkan menurut Zuhaily, transaksi murabahah adalah
jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu.
Secara syar'iy, keabsahan transaksi murabahah didasarkan pada beberapa nash al-
Qur'an dan Sunnah. Landasan umumnya, termasuk jenis jual beli lainnya, terdapat dalam
surat al-Baqaraħ (2) ayat 275 :

3
muhammad ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah , (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama , 2009 ) , h 337.
4
Veithzal Rivai dan Andria permata Veithzal, Islamic Finansial Management, ( Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008 ), Ed. I , Cet. I, h. 145.
5
Nurul Huda dan Muhammad heykal, lembaga keuangan islam :tinjauan teoritis dan Praktis ,
( Jakarta :kencana , 2010 ), Ed. Ke-I, h. 43 21
6
Zainudin Ali , Hukum Perbankan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika,2010 ), Ed.Ke-l,Cet. Ke-2,h.26
ۘ ‫الرِّب‬
‫وا‬ ۗ ‫ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم‬
َ ِ‫سِّ ٰذل‬
ٰ ‫ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل‬ َ َ
ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬ ۗ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب‬
ۗ َ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسل‬
‫ك‬َ ‫فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاول ِٕى‬
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن‬
ِ َّ‫اَصْ ٰحبُ الن‬

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba”.
Dalam ayat ini, Allah swt mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli, serta
menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah
mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik
pembiayaan di bank syariah dan Baitul Mall wa Tamwil (BMT) karena ia merupakan salah
satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi. Kemudian di dalam surat An-Nisa
ayat 29, yang berbunyi :

َ‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكان‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬
‫بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬

Artinya : ”hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama
suka di antra kamu……”. (QS. An-Nisa : 29Dalam literatur fiqh klasik, murabahah mengacu
pada suatu penjualan yang pembayarannya ditangguhkan. Justru elemen pokok yang
membedakannya dengan penjualan normal lainnya adalah penangguhan pembayaran itu.
Pembayaran dilakukan dalam suatu jangka waktu yang disepakati, baik secara tunai maupun
secara angsuran.
Fatwa DSN Mengenai Murabahah
Fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/2000 menjelaskan beberapa ketentuan mengenai
murábahah yakni yang pertama adalah ketentuan umum murábahah dalam Bank Syariah,
yang kedua berisi tentang ketentuan murábahah kepada nasabah, dan ketiga berisi tentang
jaminan dalam murábahah . Penundaan pembayaran dalam murábahah dibahas dalam fatwa
DSN No: 04/DSN - MUI/IV/2000 poin ke lima. Selain fatwa DSN No: 04/DSN -
MUI/IV/2000 tersebut , MUI juga menerbitkan fatwa DSN mengenai metode pengakuan
keuntungan pembiayaan Murábahah di Lembaga Keuangan Syariah No: 84/DSN – MUI / XII
/ 2012. Metode pengakuan keuntungan pembiayaan murábahah boleh dilakukan secara
proporsional dan secara anuitas dengan mengikuti ketentuan – ketentuan dalam fatwa ini.
Praktik akad murábahah pada bank syariah dilakukan dengan cara membeli barang
yang diperlukan nasabah. Bank syariah kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut
sebesar harga barang ditambah margin atau keuntungan yang disepakati bank syariah dan
nasabah.7 Perjanjian dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian
antara bank dengan nasabah (debitur) untuk memberikan sejumlah dana kepada debitur.
Pemberian pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah sangat beresiko, karena setelah dana
pembiayaan diterima oleh debitur, maka pihak bank tidak mengetahui secara pasti
penggunaan dana tersebut. Oleh karena itu, dalam menyalurkan dana, bank harus
melaksanakan asas–asas pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan asas
kehati– hatian serta perlu melakukan penilaian yang seksama dalam setiap pertimbangan
permohonan pembiayaan syariah dari nasabah. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang
biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya.
Berdasakan Fatwa DSN-MUI No : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akan jual beli
murabahah bahwa akad Ba’i al-murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba. Sedangkan Fatwa DSN 04/DSN-MUI/IV/2000 : Murabahah, yaitu
ketentuan umum murabahah dalam bank syariah poin ke empat yaitu bank membeli barang
yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengatur ketentuan akad murabahah
dalam pasal 107-128. Salah satu poin dalam pasal 107 berisikan : bahwa pihak penjual harus
membeli barang yang dibutuhkan oleh pihak pembeli dan me ngatasnamakan pihak penjual,
serta transaksi pembelian ini harus sah dan dinyatakan bebas dari riba. Sedangkan dalam
bunyi Pasal 109 berisikan bahwa : apabila pihak penjual hendak mewakilkan transaksi
tersebut kepada pihak pembeli untuk membeli barang kepada pihak ketiga, maka akad
murabahah dilakukan ketika barang secara prinsip secara prinsip menjadi milik penjual.
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
keuntungan

Tata Cara Dalam Murabahah


Selama ini aktivitas perbankan di negara kita tidak diperkenankan melakukan bisnis
riil. Baik dia di bawah regulasi BI maupun OJK. Bank tidak diperkenankan mengumpulkan
dana masyarakat, kemudian dia gunakan sebagai modal untuk berdagang. Bank hanya
diizinkan untuk menjadi lembaga pembiayaan. Mengingat batasan ini, bank yang ingin
menyesuaikan diri dengan syariah, kesulitan untuk menciptakan produk yang tidak
melanggar syariah, namun bisa menjadi sumber pendapatan bank.
Jika bank hanya meminjamkan dana ke nasabah untuk memenuhi kebutuhan nasabah,
maka bank tidak boleh meminta kelebihan. Bagi bank syariah, kelebihan ini adalah riba.

7
Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Pada Pembiayaan
Murábahah terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah,” Jurnal InFestasi, Vol. 10., No.2, (Desember), hlm. 88
Akhirnya bank menerapkan transaksi ‘semi jual beli produk’ yang mereka istilahkan dengan
murabahah KPP(Kepada Pemesanan Pembelian). Skema transaksi yang mereka terapkan,
Tahapan transaksi yang dilakukan bank syariah dalam murabahah-nya adalah
1. Nasabah mengajukan permohonan untuk pengadaan barang, dan pihak bank melakukan
observasi mengenai kelayakan nasabah
2. Jika permohonan nasabah diterima, bank melakukan transaksi jual beli kredit dengan
nasabah. Nasabah bayar DP, selebihnya akan dibayar dengan cara dicicil selama rentang
waktu yang ditetapkan bank.
3. Bank membeli barang ke dealer secara tunai, dan agar langsung diantar ke nasabah.
4. Setelah barang dikirim, nasabah berkewajiban membayar cicilan kepada bank.
5. Bank mendapat keuntungan dari selisih antara harga dealer dengan harga nasabah.
Beberapa catatan untuk murabahah yang diterapkan bank syariah,
Pertama, bahwa dalam jual beli murabahah, tetap berlaku semua rukun dan syarat jual
beli. Diantara syarat yang tidak diperhatikan bank adalah, bahwa penjual harus memiliki
barang yang dia jual atau mewakili pemilik barang. Karena seseorang tidak boleh men-
transaksikan milik orang lain. Larangan ini telah disebutkan dalam hadis, dari Hakim bin
Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ْس ِع ْن َد‬
‫ك‬ َ ‫اَل تَبِ ْع َما لَي‬
“Janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.” 
(Ahmad 15709, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, apa yang dilakukan bank,  bukanlah jual beli salam, dimana penjual boleh
mentransaksikan barang yang belum dia miliki. Jika bank melakukan transaksi salam, boleh
saja, bank menjual barang yang tidak dia miliki. Namun sekali lagi, bank tidak melakukan
jual beli salam. Karena salah satu syarat jual beli salam, pembayaran harus tunai di muka.
Sementara ini, nasabah membayar dengan cara dicicil.
Ibnu Abbas mengatakan,
ً‫ الورق نقدا‬،‫ الورق في شيء‬،ً‫ال نرى بالسلف بأسا‬

“Kami menganggap jual beli salam dibolehkan. Uang untuk beli sesuatu, uang tunai
(HR.  al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro no. 10867)
Oleh karena itu, ketika nasabah bayar DP, transaksi yang terjadi adalah jual beli utang
dengan utang. Uangnya tidak tunai, dan barangnya menyusul (tidak tunai). Karena bank
belum beli barang sewaktu akad dengan nasabah. Dan jual beli utang dengan utang disebut
bai’ kali’ bil kali, yang ini disepakati haram oleh para ulama.
Ibnu Qudamah menukilkan keterangan ijma dari beberapa ulama,
‫ إنما هو إجماع‬: ‫ أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين ال يجوز وقال أحمد‬: ‫قال ابن المنذر‬
Ibnul Mundzir mengatakan, ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak
boleh. Kata Imam Ahmad, Ini ijma’ ulama. (al-Mughni, 4/186)
Ketiga, menjual barang sebelum qabdh (serah terima)
Salah satu diantara larangan dalam jual beli, barang yang kita beli, tidak boleh dijual
kembali sebelum terjadi serah terima dan pemindahan barang.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ‫َم ِن ا ْبتَا َع طَ َعا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْستَوْ فِيَه‬
Siapa yang membeli makanan, janganlah dia jual, sampai dia terima. (HR. Bukhari
2136 & Muslim 3913)
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ع َحتَّى يَحُو َزهَا التُّجَّا ُر ِإلَى ِر َحالِ ِه ْم‬ ُ ‫ نَهَى َأ ْن تُبَا َع ال ِّسلَ ُع َحي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ِإ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ْث تُ ْبتَا‬

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual di


tempat dia dibeli, sampai pedagang memindahkanya ke tempat mereka. (HR. Abu Daud 3501
dan dihasankan al-Albani)
Kata Ibnu Abbas,
ُ‫َوَأحْ ِسبُ ُك َّل َش ْى ٍء ِم ْثلَه‬
Saya menduga, barang yang lain seperti makanan. (HR. Muslim 3913)
Bank bisa saja beralasan bahwa dia sudah kerja sama dengan dealer. Sehingga dia
sudah punya stok barang di dealer, tinggal transfer pembayaran, dan dealer akan mengantar
barang ke tujuan yang diinginkan bank. Dari skema transaksi ini, bank menjual barang
sebelum terjadi serah terima. Karena barang langsung dikirim ke nasabah.
Keempat, mendapat keuntungan tanpa menanggung kerugian
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َوالَ ِر ْب ُح َما لَ ْم تَضْ َم ْن‬
“Tidak boleh mendapat keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.” 
(HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-
Arnauth).
Salah satu diantara tafsir larangan ini adalah menjual barang yang belum diserah
terimakan. Barang dari penjual pertama, langsung dikirim ke pembeli terakhir. Sehingga
penjual kedua, sama sekali tidak pernah menerima barang. Dan karenanya, dia tidak pernah
menanggung resiko kerugian. Resiko hanya ditanggung penjual pertama dan konsumen
terakhir. Karena kaidah baku dalam masalah muamalah maliyah, setiap keuntungan harus
berpasangan dengan resiko kerugian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan,
‫ان‬ َّ ‫إن ْال َخ َرا ُج بِال‬
ِ ‫ض َم‬ َّ
”Bahwa hasil itu berbanding lurus dengan tanggung jawab resiko kerugian.”
 (HR. Ahmad 24956, Ibn Hibban 4928 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Istishna
Istishna‟ secara bahasa merupakan mashdar dari istashna‟ asy-syai, artinya meminta
membuat sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu
berdasarkan pesanan.8 Adapun istishna‟ secara istilah adalah transaksi terhadap barang
dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya
adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.9 Transaksi bai’ al-
istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui
orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem
pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.10
Contohnya: seseorang pemesan (yaitu pembeli) meminta seseorang (yaitu penjual
atau pekerja) seperti pengrajin kayu, pandai besi, pembuat sepatu dan sebagainya untuk
membuatkan barang tertentu dalam bentuk tertentu seperti alat-alat perlengkapan rumah
tangga, perlengkapan toko buku, kursi, perhiasan dan sebagainya dengan harga tertentu jika
hal itu telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, seperti kopiah, khuf (kaos kaki kulit) dan
wadah.11 Istishna‟ dapat dianggap sah jika ada ijab qobul dari pemohon dan pembuat. Orang
yang membeli barang disebut Mustashni‟, yang menjual barang disebut Shani‟ dan barang
dijual disebut Mashnu‟. Misalnya akad antara dua orang untuk membuat sepatu, perabot
rumah tangga, tikar dan sebagainya. Semua termasuk jenis transaksi yang sering dilakukan
masyarakat.
Adapun Dasar Hukum Istishna
Ulama fiqih berpendapat, bahwa yang menjadi dasar diperbolehkannya transaksi
istishna‟ adalah firman Allah yang terdapat dari beberapa surat dibawah ini, yaitu:
ٓ
ُ‫ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍ»ن ِا ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗه‬ 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Q.S AlBaqarah: 282)

8
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.159
9
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia, 2012), h.123
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h.113
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.268
Dalil yang kedua yaitu seperti yang tertuang dalam Q.S. AlBaqarah ayat 275 yang
berbunyi:
ۗ ‫ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب‬ 
‫وا‬
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Fatwa DSN Mengenai Istishna


Sebelumnya mengenai istishna‟ ini diatur dalam Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna‟. Adapun ketentuan dari jual beli
istishna‟ adalah sebagai berikut:
Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5. Pembeli (pembeli, mustashni‟) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pada
jual beli istishna‟.
Adapun landasan hukum mengenai diperbolehkannya akad istishna‟ paralel juga
sebelumnya sudah tercantum pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 22/DSN/III/2002
tentang Jual Beli Istishna’ Paralel. Adapun ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut :
a) Ketentuan Umum
- Jika LKS melakukan transaksi istishna‟, untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟ lagi dengan pihak lain pada
objek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak bergantung (mu‟allaq)
pada istishna‟ kedua. \
- LKS selaku mustashni‟ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin
during construction) dari nasabah (shani‟) karena hal ini tidak sesuai dengan
prinsip syariah.
- Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna‟ (Fatwa DSN
Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna‟ Paralel.
b) Ketentuan Lain
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Tata Cara Istishna


Seperti yang tertuang dalam fatwa DSN tentang istishna’ yang kemudian
diaplikasikan dalam peraturan BI Nomor 7/46/PBI/2005, yang berbunyi: “Jika uang muka
memakai kontrak urbun sebagai alternatif uang muka, maka:
Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa
harga.
Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak
mencukupi, nasabah wajib menutupi kekurangannya.” Sedangkan kontrak Istishna bisa
berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1) Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2) Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak.
3) Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk
mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa
menuntut pembatalannya.
Pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila:
Jangka waktu (perjanjian telah berakhir) Lazimnya suatu perjanjian suatu didasarkan
kepada jangka waktu tertentu (mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila telah
sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan secara otomatis (langsung tanpa ada perbuatan
hukum lain) batallah perjanjian yang telah diadakan para pihak.
Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian Apabila salah satu pihak telah
melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan maka pihak lain dapat
membatalkan perjanjian tersebut. Pembolehan untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu
pihak apabila pihak yang lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan adalah
didasarkan pada ketentuan al-Qur’an surat at-Taubah ayat 7
Jika ada kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan). Apabila salah satu pihak
melakukan sesuatu kelancangan dan telah pula ada bukti-bukti bahwa salah satu pihak
mengadakan pengkhianatan terhadap apa yang telah diperjanjikan, maka penjanjian yang
telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak yang lainnya.
Pembolehan pembatalan dalam hal adanya kelancangan dan bukti pengkhianatan ini
dapat dipahamkan dari bunyi kalimat “jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan,
maka kembalikanlah perjanjian itu”. Dari bunyi kalimat yang demikian berarti perjanjian itu
dapat dibatalkan apabila ada suatu bukti pengkhianatan. Adapun prosedur pembatalan
perjanjian ialah dengan cara terlebih dahulu kepada pihak yang tersangkut dalam perjanjian
tersebut diberitahu, bahwa perjanjian atau kesepakatan yang telah diikat akan dihentikan
(dibatalkan), hal ini tentunya harus juga diberitahu alasan pembatalannya.
Kesimpulan
Dalam konteks mu’amalah, kata murabahah biasanya diartikan sebagai jual beli yang
dilakukan dengan menambah harga awal. Landasan umumnya, termasuk jenis jual beli
lainnya, terdapat dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 275. Fatwa DSN No:
04/DSN-MUI/IV/2000 menjelaskan beberapa ketentuan mengenai murábahah yakni yang
pertama adalah ketentuan umum murábahah dalam Bank Syariah, yang kedua berisi tentang
ketentuan murábahah kepada nasabah, dan ketiga berisi tentang jaminan dalam murábahah.
Ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi ini : Pemesan(nasabah), Penjual barang (contoh:
dealer) dan Lembaga keuangan (bank).
Istishna‟ secara bahasa merupakan mashdar dari istashna‟ asy-syai, artinya meminta
membuat sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu
berdasarkan pesanan. Sebelumnya mengenai istishna‟ ini diatur dalam Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna. Adapun ketentuan dari jual beli
istishna‟ meliputi : Ketentuan tentang Pembayaran, Ketentuan tentang Barang,
Penyerahannya dilakukan kemudian, Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan, Pembeli (pembeli, mustashni‟) dan Tidak boleh menukar barang.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, h. 126. 2 Wiroso, Jual Beli
Murabahah, Yogyakarta : UII Prees, 2005, h. 14.

Hijrah Saputra, dkk., (ed) Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional
MUI..., h.134

Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia, 2012), h.123

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Penerjemah: Amir Hamzah


Fachrudin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h.74

Muhammad Syafi’i Antonio

Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.159

Nurul Qomariyah dan Iwan Triwuyono, “Penentuan Margin Akad Murábahah pada Bank
Muamalat Indonesia Cabang Malang,” Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya, hlm. 4

Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Pada
Pembiayaan Murábahah terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah,” Jurnal InFestasi,
Vol. 10., No.2, (Desember), hlm. 88

Sebagai kelebihan dari modal awal, keuntungan dalam jual beli murâbahaħ memiliki
kesamaan dengan kelebihan pada riba. Akan tetapi antara keduanya berbeda jauh dalam
status hukum; keuntungan pada murâbahaħ (sama seperti keuntungan pada jual beli
lainnya) dibolehkan secara hukum, sedang kelebihan pada riba diharamkan. Qasim bin
'Abdillah bin Amir 'Ali alQawnuniy, Anis al-Fuqaha, Jedah: Dar al-Wafa`, 1406 H, h.
214

Zainuddin Ahmad Az-Zubaidi, Terjemah Hadits Shahih Bukhari Dari Kitab At-Tajridush
Sharih, Penerjemah: Muhammad Zuhri, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2015),
h.436

You might also like