Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Bank-bank Islam telah menggunakan perjanjian murabahah dalam aktivitas
pembiayaan melalui barang-barang dagangan dan memperluas jaringan penggunaanya.
Murabahah adalah akad jual beli, antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai penjual
(bai’) berkewajiban menjual barang yang dibutuhkan nasabah, sedangkan pihak kedua
disebut pembeli (musytari) berkewajiban membayar barang yang akan dibeli. Dalam prinsip
penerapannya jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah
untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan di bank syariah dan Baitul Mall wa
Tamwil (BMT) karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur
ribawi. Ada beberapa ketentuan yang mendasari prinsip murabahah, salah satunya adalah
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai ketentuan umum murabahah dalam Bank
Syariah, yang kedua berisi tentang ketentuan murabahah kepada nasabah, dan ketiga berisi
tentang jaminan dalam murabahah. Adapun bentuk lain pembiayaan atas dasar akad jual beli
pembiayaan adalah istishna’. Istishna merupakan kontrak penjulan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang
menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.
1
Supriadi, “Prinsip Hukum Pembiayaan Syariah Pada Lembaga Perbankan,” Artikel Publikasi Ilmiah, hlm. 5
2
Nurul Qomariyah dan Iwan Triwuyono, “Penentuan Margin Akad Murábahah pada Bank Muamalat Indonesia
Cabang Malang,” Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya, hlm. 4
Pembahasan
Murabahah
Murabahah berasal dari kata Rabh, yang berarti perolehan, keuntungan, atau
tambahan. Muhammad Ayub mendefenisikan dalam murabahah penjualan harus
mengungkapkan biaya dan kontrak (Akad ) terjadi dengan margin keuntungan yang di
setujui.3 Sejalan dengan itu, Rivai dan Andria Permata Veithzal, mengartikan Murabahah
sebagai suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjualan dan pembeli, setelah
sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut
dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.4 Boleh dikatakan bahwa akad yang terjadi
dalam murabahah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts. Karena dalam
murabahah ditentukan keuntungannya.5 Murabahah merupakan salah satu bentuk
menghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha yang
bersifat produktif, maupun yang bersifat konsumtif.6
Dalam konteks mu’amalah, kata murabahah biasanya diartikan sebagai jual beli yang
dilakukan dengan menambah harga awal ( )الثمن على بزيادة البيع. Secara istilah, pada dasarnya
terdapat kesepakatan ulama dalam substansi pengertian murabahah. Hanya saja terdapat
beberapa variasi bahasa yang mereka gunakan dalam mengungkapkan definisi tersebut.
Secara umum, variasi pengertian tersebut dapat disebutkan di sini. Menurut ulama
Hanafiyyaħ, yang dimaksud dengan murabahah ialah ”Mengalihhkan kepemilikan sesuatu
yang dimiliki melalui akad pertama dengan harga pertama disertai tambahan sebagai
keuntungan”.
Lebih lanjut, Imam Syafi’i berpendapat, jika seseorang menujukkan suatu barang
kepada orang lain dan berkata : ”belikan barang seperti ini untukku dan aku akan memberi
mu keuntungan sekian”. Kemudian orang itu pun membelinya, maka jual beli ini adalah sah.
Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini (murabahah yang dilakukan untuk pembelian
secara pemesanan) dengan istilah al-murabahah li al-amir bi asy-syira’. Menurut Ibnu Rusyd,
sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis
ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Sedangkan menurut Zuhaily, transaksi murabahah adalah
jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu.
Secara syar'iy, keabsahan transaksi murabahah didasarkan pada beberapa nash al-
Qur'an dan Sunnah. Landasan umumnya, termasuk jenis jual beli lainnya, terdapat dalam
surat al-Baqaraħ (2) ayat 275 :
3
muhammad ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah , (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama , 2009 ) , h 337.
4
Veithzal Rivai dan Andria permata Veithzal, Islamic Finansial Management, ( Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008 ), Ed. I , Cet. I, h. 145.
5
Nurul Huda dan Muhammad heykal, lembaga keuangan islam :tinjauan teoritis dan Praktis ,
( Jakarta :kencana , 2010 ), Ed. Ke-I, h. 43 21
6
Zainudin Ali , Hukum Perbankan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika,2010 ), Ed.Ke-l,Cet. Ke-2,h.26
ۘ الرِّب
وا ۗ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َكما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم
َ ِسِّ ٰذل
ٰ ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل َ َ
ٰۤ ُ هّٰللا ۗ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰب
ۗ َوا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسل
كَ فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاول ِٕى
َار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن
ِ َّاَصْ ٰحبُ الن
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba”.
Dalam ayat ini, Allah swt mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli, serta
menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah
mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik
pembiayaan di bank syariah dan Baitul Mall wa Tamwil (BMT) karena ia merupakan salah
satu bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi. Kemudian di dalam surat An-Nisa
ayat 29, yang berbunyi :
َاض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكان َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج
ٍ ارةً ع َْن ت ََر
بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما
Artinya : ”hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama
suka di antra kamu……”. (QS. An-Nisa : 29Dalam literatur fiqh klasik, murabahah mengacu
pada suatu penjualan yang pembayarannya ditangguhkan. Justru elemen pokok yang
membedakannya dengan penjualan normal lainnya adalah penangguhan pembayaran itu.
Pembayaran dilakukan dalam suatu jangka waktu yang disepakati, baik secara tunai maupun
secara angsuran.
Fatwa DSN Mengenai Murabahah
Fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/2000 menjelaskan beberapa ketentuan mengenai
murábahah yakni yang pertama adalah ketentuan umum murábahah dalam Bank Syariah,
yang kedua berisi tentang ketentuan murábahah kepada nasabah, dan ketiga berisi tentang
jaminan dalam murábahah . Penundaan pembayaran dalam murábahah dibahas dalam fatwa
DSN No: 04/DSN - MUI/IV/2000 poin ke lima. Selain fatwa DSN No: 04/DSN -
MUI/IV/2000 tersebut , MUI juga menerbitkan fatwa DSN mengenai metode pengakuan
keuntungan pembiayaan Murábahah di Lembaga Keuangan Syariah No: 84/DSN – MUI / XII
/ 2012. Metode pengakuan keuntungan pembiayaan murábahah boleh dilakukan secara
proporsional dan secara anuitas dengan mengikuti ketentuan – ketentuan dalam fatwa ini.
Praktik akad murábahah pada bank syariah dilakukan dengan cara membeli barang
yang diperlukan nasabah. Bank syariah kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut
sebesar harga barang ditambah margin atau keuntungan yang disepakati bank syariah dan
nasabah.7 Perjanjian dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian
antara bank dengan nasabah (debitur) untuk memberikan sejumlah dana kepada debitur.
Pemberian pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah sangat beresiko, karena setelah dana
pembiayaan diterima oleh debitur, maka pihak bank tidak mengetahui secara pasti
penggunaan dana tersebut. Oleh karena itu, dalam menyalurkan dana, bank harus
melaksanakan asas–asas pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan asas
kehati– hatian serta perlu melakukan penilaian yang seksama dalam setiap pertimbangan
permohonan pembiayaan syariah dari nasabah. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang
biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya.
Berdasakan Fatwa DSN-MUI No : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akan jual beli
murabahah bahwa akad Ba’i al-murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba. Sedangkan Fatwa DSN 04/DSN-MUI/IV/2000 : Murabahah, yaitu
ketentuan umum murabahah dalam bank syariah poin ke empat yaitu bank membeli barang
yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengatur ketentuan akad murabahah
dalam pasal 107-128. Salah satu poin dalam pasal 107 berisikan : bahwa pihak penjual harus
membeli barang yang dibutuhkan oleh pihak pembeli dan me ngatasnamakan pihak penjual,
serta transaksi pembelian ini harus sah dan dinyatakan bebas dari riba. Sedangkan dalam
bunyi Pasal 109 berisikan bahwa : apabila pihak penjual hendak mewakilkan transaksi
tersebut kepada pihak pembeli untuk membeli barang kepada pihak ketiga, maka akad
murabahah dilakukan ketika barang secara prinsip secara prinsip menjadi milik penjual.
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
keuntungan
7
Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Pada Pembiayaan
Murábahah terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah,” Jurnal InFestasi, Vol. 10., No.2, (Desember), hlm. 88
Akhirnya bank menerapkan transaksi ‘semi jual beli produk’ yang mereka istilahkan dengan
murabahah KPP(Kepada Pemesanan Pembelian). Skema transaksi yang mereka terapkan,
Tahapan transaksi yang dilakukan bank syariah dalam murabahah-nya adalah
1. Nasabah mengajukan permohonan untuk pengadaan barang, dan pihak bank melakukan
observasi mengenai kelayakan nasabah
2. Jika permohonan nasabah diterima, bank melakukan transaksi jual beli kredit dengan
nasabah. Nasabah bayar DP, selebihnya akan dibayar dengan cara dicicil selama rentang
waktu yang ditetapkan bank.
3. Bank membeli barang ke dealer secara tunai, dan agar langsung diantar ke nasabah.
4. Setelah barang dikirim, nasabah berkewajiban membayar cicilan kepada bank.
5. Bank mendapat keuntungan dari selisih antara harga dealer dengan harga nasabah.
Beberapa catatan untuk murabahah yang diterapkan bank syariah,
Pertama, bahwa dalam jual beli murabahah, tetap berlaku semua rukun dan syarat jual
beli. Diantara syarat yang tidak diperhatikan bank adalah, bahwa penjual harus memiliki
barang yang dia jual atau mewakili pemilik barang. Karena seseorang tidak boleh men-
transaksikan milik orang lain. Larangan ini telah disebutkan dalam hadis, dari Hakim bin
Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ْس ِع ْن َد
ك َ اَل تَبِ ْع َما لَي
“Janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.”
(Ahmad 15709, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, apa yang dilakukan bank, bukanlah jual beli salam, dimana penjual boleh
mentransaksikan barang yang belum dia miliki. Jika bank melakukan transaksi salam, boleh
saja, bank menjual barang yang tidak dia miliki. Namun sekali lagi, bank tidak melakukan
jual beli salam. Karena salah satu syarat jual beli salam, pembayaran harus tunai di muka.
Sementara ini, nasabah membayar dengan cara dicicil.
Ibnu Abbas mengatakan,
ً الورق نقدا، الورق في شيء،ًال نرى بالسلف بأسا
“Kami menganggap jual beli salam dibolehkan. Uang untuk beli sesuatu, uang tunai
(HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro no. 10867)
Oleh karena itu, ketika nasabah bayar DP, transaksi yang terjadi adalah jual beli utang
dengan utang. Uangnya tidak tunai, dan barangnya menyusul (tidak tunai). Karena bank
belum beli barang sewaktu akad dengan nasabah. Dan jual beli utang dengan utang disebut
bai’ kali’ bil kali, yang ini disepakati haram oleh para ulama.
Ibnu Qudamah menukilkan keterangan ijma dari beberapa ulama,
إنما هو إجماع: أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين ال يجوز وقال أحمد: قال ابن المنذر
Ibnul Mundzir mengatakan, ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak
boleh. Kata Imam Ahmad, Ini ijma’ ulama. (al-Mughni, 4/186)
Ketiga, menjual barang sebelum qabdh (serah terima)
Salah satu diantara larangan dalam jual beli, barang yang kita beli, tidak boleh dijual
kembali sebelum terjadi serah terima dan pemindahan barang.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َُم ِن ا ْبتَا َع طَ َعا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْستَوْ فِيَه
Siapa yang membeli makanan, janganlah dia jual, sampai dia terima. (HR. Bukhari
2136 & Muslim 3913)
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ع َحتَّى يَحُو َزهَا التُّجَّا ُر ِإلَى ِر َحالِ ِه ْم ُ نَهَى َأ ْن تُبَا َع ال ِّسلَ ُع َحي-صلى هللا عليه وسلم- ِ ِإ َّن َرسُو َل هَّللا
ُ ْث تُ ْبتَا
Istishna
Istishna‟ secara bahasa merupakan mashdar dari istashna‟ asy-syai, artinya meminta
membuat sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu
berdasarkan pesanan.8 Adapun istishna‟ secara istilah adalah transaksi terhadap barang
dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya
adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.9 Transaksi bai’ al-
istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui
orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem
pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.10
Contohnya: seseorang pemesan (yaitu pembeli) meminta seseorang (yaitu penjual
atau pekerja) seperti pengrajin kayu, pandai besi, pembuat sepatu dan sebagainya untuk
membuatkan barang tertentu dalam bentuk tertentu seperti alat-alat perlengkapan rumah
tangga, perlengkapan toko buku, kursi, perhiasan dan sebagainya dengan harga tertentu jika
hal itu telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, seperti kopiah, khuf (kaos kaki kulit) dan
wadah.11 Istishna‟ dapat dianggap sah jika ada ijab qobul dari pemohon dan pembuat. Orang
yang membeli barang disebut Mustashni‟, yang menjual barang disebut Shani‟ dan barang
dijual disebut Mashnu‟. Misalnya akad antara dua orang untuk membuat sepatu, perabot
rumah tangga, tikar dan sebagainya. Semua termasuk jenis transaksi yang sering dilakukan
masyarakat.
Adapun Dasar Hukum Istishna
Ulama fiqih berpendapat, bahwa yang menjadi dasar diperbolehkannya transaksi
istishna‟ adalah firman Allah yang terdapat dari beberapa surat dibawah ini, yaitu:
ٓ
ُ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍ»ن ِا ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Q.S AlBaqarah: 282)
8
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.159
9
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia, 2012), h.123
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h.113
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.268
Dalil yang kedua yaitu seperti yang tertuang dalam Q.S. AlBaqarah ayat 275 yang
berbunyi:
ۗ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب
وا
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Hijrah Saputra, dkk., (ed) Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional
MUI..., h.134
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h.159
Nurul Qomariyah dan Iwan Triwuyono, “Penentuan Margin Akad Murábahah pada Bank
Muamalat Indonesia Cabang Malang,” Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya, hlm. 4
Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Pada
Pembiayaan Murábahah terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah,” Jurnal InFestasi,
Vol. 10., No.2, (Desember), hlm. 88
Sebagai kelebihan dari modal awal, keuntungan dalam jual beli murâbahaħ memiliki
kesamaan dengan kelebihan pada riba. Akan tetapi antara keduanya berbeda jauh dalam
status hukum; keuntungan pada murâbahaħ (sama seperti keuntungan pada jual beli
lainnya) dibolehkan secara hukum, sedang kelebihan pada riba diharamkan. Qasim bin
'Abdillah bin Amir 'Ali alQawnuniy, Anis al-Fuqaha, Jedah: Dar al-Wafa`, 1406 H, h.
214
Zainuddin Ahmad Az-Zubaidi, Terjemah Hadits Shahih Bukhari Dari Kitab At-Tajridush
Sharih, Penerjemah: Muhammad Zuhri, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2015),
h.436