You are on page 1of 15

Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal.

81-95

REPRESENTASI KARAKTER PEREMPUAN JAWA PADA FILM “TILIK”


Azelea Ardra, Irfansyah, Dianing Ratri
Institut Teknologi Bandung
email: azelea3ardra@gmail.com

ABSTRACT
Film is considered as a medium to represent and construct the reality of life that is free from
ideological conflicts and takes a role in preserving the nation's culture. Interpretation by the public about
women is also obtained through the image of a film. Tilik film is one of the national films that involves mostly
female characters with roles as Javanese women. The film, which was released on August 17, 2020 on YouTube,
is considered as successful movie in depicting the habits of a society very well through the behavior of its
characters. Along with the times, interpretation by the public regarding women is also obtained through the
image of a media such as a film. This study aims to describe how Javanese women are represented in the film
and to explain the dominant ideas that Tilik's film wants to convey related to issues of ideology/belief. The
concept of Javanese women is the basis of this research. In Javanese culture, Javanese women already have the
stereotype before for being gentle, obedient, not arguing, and not 'more' than a men. However, the reality that
occurs in this film does not seem to match the existing stereotypes. In this film, we could find a new stereotypes
appear which tend to be negative and attached to Javanese women generally by the people. This study uses
data analysis techniques based on the theory proposed by John Fiske, namely "the codes of television". Tilik film
is described by using a narrative structure at the level of reality and syntagmatically on the level of
representation. Furthermore, the level of ideology is analyzed paradigmatically. The results of this study
indicate that Javanese women are represented in films much more modern and diverse, but still did not left the
element of identity behind. On the other hand, there is indecision regarding patriarchal ideology that present in
contradictory spaces in each scene.

keyword: representation, javanese women, film, stereotype, ideology.

ABSTRAK
Film dianggap sebagai media yang sempurna untuk merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas
kehidupan yang bebas dari konflik-konflik ideologis serta berperan dalam pelestarian budaya bangsa.
Interpretasi oleh masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga didapat melalui gambaran sebuah
film. Film Tilik merupakan salah satu film nasional yang melibatkan sebagian besar tokoh perempuan dengan
peran sebagai perempuan Jawa. Film yang rilis pada 17 Agustus 2020 pada kanal YouTube ini dinilai berhasil
menggambarkan dengan sangat baik kebiasaan suatu masyarakat melalui perilaku tokoh-tokohnya. Seiring
perkembangan zaman, interpretasi oleh masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga didapat
melalui gambaran sebuah media seperti film. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
perempuan Jawa direpresentasikan dalam film tersebut serta menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang
ingin disampaikan oleh film Tilik yang berkaitan dengan persoalan ideologi/kepercayaan. Konsep perempuan
Jawa menjadi dasar penelitian ini. Dalam kultur Jawa, perempuan Jawa memiliki stereotip lemah lembut,
penurut, tidak membantah, dan tidak ‘melebihi’ laki-laki. Namun realitas yang terjadi pada film ini seakan-akan
tidak sesuai dengan stereotip yang telah ada. Tak jarang kemudian dalam film ini muncul stereotip baru yang
cenderung negatif dan dilekatkan pada perempuan Jawa secara umum. Penelitian ini menggunakan teknik
analisis data berdasarkan teori yang dikemukakan oleh John Fiske yaitu “the codes of television”. Film Tilik
diuraikan dengan menggunakan struktur narasi pada level realitas dan level representasi secara sintagmatik.
Selanjutnya level ideologi dianalisis secara paradigmatik. Hasil penelitian ini menunjukkan perempuan Jawa
direpresentasikan dalam film jauh lebih modern dan beragam namun tidak meninggalkan unsur identitasnya.
Disisi lain terdapat kebiasan mengenai ideologi patriarki yang hadir dalam ruang kontradiktif pada setiap
adegannya.

kata kunci: representasi, perempuan jawa, film, stereotip, ideologi

81
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

PENDAHULUAN dimaksud Douglas Kellner bahwa film


Seiring perkembangan zaman, film merupakan salah satu produk budaya
tidak hanya menjadi media hiburan media yang turut menempa identitas kita
semata, tetapi juga dapat sebagai media (Trianton, 2013). Film sebagai
yang bersifat edukatif, persuasif, dan representasi dari realitas masyarakat,
informatif (Ardianto, Komala, dan berbeda dengan film sebagai refleksi dari
Karlinah, 2017). Dengan kata lain, film realitas (Sobur, 2006).
dapat mentransfer pesan yang Representasi mengenai aspek
terkandung didalamnya menggunakan realitas dalam sebuah film juga kerap
tanda-tanda dalam wujud audio dan visual terjadi pada kaum perempuan. Paradigma
untuk menghadirkan sebuah realitas. masyarakat mengenai perempuan
Namun pada kenyataannya, dunia nyata sebagian besar didapat melalui gambaran
bisa saja tidak sepenuhnya sama dengan sebuah film. Sejauh ini film masih
realitas yang ditampilkan dalam film. menjadikan perempuan sebagai objek
Kemampuan film untuk utama. Berdasar artikel Sita Aripurnami
menampilkan kenyataan merupakan dengan judul Cengeng, Judes, Kurang
persoalan representasi (Darmawan, Akal, dan Buka-bukaan, pada era 1970-an
2020). Dalam hal ini, representasi hingga 1980-an, gambaran perempuan
merupakan bentuk konstruksi melalui dalam film Indonesia masa itu hanya
media film terhadap segala aspek realitas, sebagai pelengkap dalam keseluruhan isi
seperti objek, masyarakat, peristiwa, cerita. Saat perempuan sebagai peran
hingga identitas budaya. Film telah utama, peran itu berkaitan dengan
menjadi bagian dari kehidupan kita. Apa pandangan bahwa posisi perempuan ada
yang kita kerjakan, yang kita omongkan, di lingkup domestik, seperti ibu, istri,
yang menjadi sikap kita, gaya busana yang kekasih, atau anak perempuan yang
kita kenakan, bahkan gagasan-gagasan penurut (Ibrahim dan Suranto, 1998).
yang sering kita sampaikan acap kali Salah satu film pendek Indonesia
merupakan bentuk turunan atau variasi yang sempat viral pada pertengahan
dari segala hal yang pernah kita lihat tahun 2020 karena dianggap mampu
dalam film. Film menjadi demikian dekat merepresentasikan dunia perempuan
dengan kehidupan kita. Inilah yang Jawa (dalam hal ini ibu-ibu Jawa) adalah

82
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Film Tilik. Film ini melibatkan sebagian


besar tokoh perempuan dengan peran
sebagai perempuan Jawa. Film yang rilis
pada 17 Agustus 2020 pada kanal
YouTube ini dinilai berhasil
menggambarkan dengan sangat baik Gambar 1. Adegan sekelompok sosial masyarakat
kebiasaan suatu masyarakat melalui dalam bak truk tengah menjenguk Bu Lurah.

perilaku tokoh-tokohnya. Keseluruhan


Selain itu tokoh Bu Tejo dalam film
dialog menggunakan bahasa Indonesia
ini juga digambarkan suka pamer harta.
dan Jawa dengan logat Jawa yang khas.
Terlihat dalam film ini sosok Bu Tejo yang
Tilik sendiri diartikan oleh bahasa Jawa
memakai banyak perhiasan meski hanya
yaitu “menjenguk”.
berkunjung ke rumah sakit. Film Tilik
Film berdurasi sekitar setengah
menggambarkan situasi masyarakat
jam ini menceritakan tentang sebuah
khususnya sebagian perempuan jika
kelompok sosial masyarakat suatu desa
berkumpul tidak jauh-jauh dari gosip. Hal
yang didominasi oleh ibu-ibu hendak
ini pun pada akhirnya rentan
menjenguk Bu Lurah yang tengah sakit di
memunculkan stereotip pada masyarakat
sebuah rumah sakit. Dalam upaya
terhadap ibu-ibu Jawa yang cenderung
menjenguk tersebut mereka
negatif bahkan jauh berbeda dengan
menggunakan kendaraan truk pengangkut
stereotip mengenai perempuan Jawa yang
barang. Perjalanan menuju rumah sakit
selama ini telah ada.
diwarnai dengan konflik internal yang
Murdianto, 2019, menyatakan
dimulai oleh Bu Tejo (tokoh utama) yang
manusia sebagai individu maupun
menyebarkan gosip mengenai Dian (sosok
kelompok hidup dalam belantara
perempuan muda di desa tersebut)
stereotip. Stereotip merujuk pada
sebagai perempuan nakal. Namun ada
keyakinan tentang karakteristik seseorang
salah satu sosok pada kelompok tersebut
atau sekelompok orang. Bisa berupa ciri
bernama Yu Ning yang tidak serta merta
kepribadian, perilaku, atau nilai.
setuju akan hal itu hingga terjadilah
Keyakinan itu kemudian diterima sebagai
sebuah konflik.
suatu kebenaran kelompok sosial lain.

83
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Dalam kultur Jawa itu sendiri, Tilik yang berkaitan dengan persoalan
perempuan haruslah seorang yang lemah ideologi
lembut, penurut, tidak membantah, dan
tidak boleh ‘melebihi’ laki-laki KAJIAN PUSTAKA
(Matsumoto, 2003). Perempuan Jawa juga Film
sangat identik dengan tutur kata halus, Film merupakan karya seni yang
tenang, diam (kalem), tidak suka konflik, lahir dari suatu kreativitas orang-orang
mementingkan harmoni, menjunjung yang terlibat dalam proses penciptaannya.
tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan Sebagai karya seni, film terbukti
memahami orang lain, sopan, mempunyai kemampuan kreatif dan
pengendalian diri tinggi atau terkontrol, kesanggupan untuk menciptakan suatu
dan daya tahan untuk menderita tinggi. realitas rekaan sebagai bandingan
Bila ada perselisihan ia lebih baik terhadap realitas. Realitas rekaan atau
mengalah, tidak gegabah, tidak grusa- imajiner itu dapat menawarkan
grusu, dan dalam mengambil langkah keindahan, renungan, atau sekadar
mencari penyelesaian dengan cara halus hiburan (Sumarno, 1996)
(Basuki, 2005). Namun dalam Film Tilik Menurut Pratista (2008) film
terdapat realitas yang kontradiktif dengan secara umum dapat dibagi menjadi atas
stereotip perempuan Jawa yang telah ada dua unsur pembentuk yakni, unsur naratif
itu sendiri. dan unsur semantik. Dua unsur tersebut
Menurut Eriyanto, 2001, saling berinteraksi dan berkesinambungan
representasi penting dalam dua hal, satu sama lain untuk membuat sebuah
pertama apakah individu, kelompok, atau film. Masing-masing unsur tersebut tidak
gagasan itu ditampilkan sebagaimana dapat akan membentuk film jika hanya
mestinya. Kedua, bagaimana representasi berdiri sendiri. Bisa dikatakan bahwa
itu ditampilkan. Berdasarkan beberapa hal unsur naratif adalah bahan (materi) yang
yang telah diuraikan diatas, maka akan diolah atau berhubungan dengan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek cerita atau tema film, seperti tokoh,
bagaimana perempuan Jawa masalah yang diangkat dalam film
direpresentasikan dalam Film Tilik serta tersebut, konflik, lokasi maupun
untuk menjelaskan gagasan-gagasan waktunya.
dominan yang ingin disampaikan oleh film

84
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Film selama ini dianggap lebih langkah 25 mencari penyelesaian dengan


sebagai media hiburan ketimbang media cara halus. Dalam konsep budaya Jawa
persuasi. Namun yang jelas, film terdapat beberapa istilah tentang wanita,
sebenarnya memiliki kekuatan bujukan yaitu: wadon, pawèstri, putri, wanodya,
atau persuasi yang sangat besar. Film retna, kusuma, memanis, juwita, wanita,
merupakan salah satu saluran atau media dan dayita. Masing-masing istilah ini
komunikasi massa. Perkembangan film mempunyai arti tersendiri yang
sebagai salah satu media komunikasi menunjukkan bahwa wanita dalam
massa di Indonesia mengalami pasang pandangan masyarakat Jawa memiliki
surut yang cukup berarti, namun media peran istimewa (Basuki, 2005).
film di Indonesia tercatat mampu Secara penampilan, para
memberikan efek yang signifikan dalam perempuan Jawa melengkapi busana
proses penyampaian pesan (Rivers & kebayanya dengan menggelung
Peterson, 2008). Film dianggap sebagai rambutnya dan menjadi sanggul atau
media yang sempurna untuk konde. Selain sanggul atau konde adalah
merepresentasikan dan mengkonstruksi tatanan riasan rambut juga memiliki
realitas kehidupan yang bebas dari makna dan filosofi tersendiri. Menurut
konflik-konflik ideologis serta berperan seorang guru besar dari Universitas
dalam pelestarian budaya bangsa. Indonesia makna yang terkandung dalam
sanggul merupakan penggambaran
Perempuan Jawa
seorang perempuan yang pandai
Identik dengan kultur Jawa,
menyimpan rahasia. Dalam kerangka
perempuan Jawa memiliki sifat tenang,
Kluckhohn (Koentjaraningrat, 2000).
diam (kalem), tidak suka konflik,
mementingkan harmoni, menjunjung Representasi
tinggi nilai keluarga, bertutur kata halus, Representasi mengacu pada
mampu mengerti dan memahami orang bagaimana seseorang, kelompok, gagasan
lain, sopan, pengendalian diri tinggi atau atau pendapat ditampilkan dalam
terkontrol dan daya tahan untuk pemberitaan dengan sebagaimana
menderita tinggi. Bila ada perselisihan ia mestinya. Representasi penting dalam dua
lebih baik mengalah, tidak gegabah, tidak hal, pertama, apakah seseorang,
grusa-grusu, dan dalam mengambil kelompok, atau gagasan tersebut

85
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

ditampilkan sebagaimana mestinya. terhadap dunia sosial di sekelilingnya


Kedua, bagaimana representasi itu didefinisikan sebagai realitas dalam
ditampilkan (Eriyanto 2001). pandangan sosial. Menurut Hidayat, 2008,
realitas sosial merupakan konstruksi sosial
Dalam proses representasi, ada 3
yang diciptakan oleh individu. Namun,
elemen yang terlibat. Pertama, sesuatu
kebenaran suatu realitas sosial bersifat
yang direpresentasikan yang disebut
nisbi, yang berlaku sesuai dengan konteks
sebagai objek, kedua, representasi itu
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku
sendiri, yang sebagai tanda, dan yang
sosial. Pandangan tersebut memandang
ketiga adalah seperangkat aturan yang
individu bukanlah korban fakta sosial,
menentukan hubungan tanda dengan
namun mesin produksi sekaligus
pokok persoalan atau yang disebut
reproduksi yang kreatif dan
coding. Dalam peristiwa komunikasi,
mengkonstruksi dunia sosialnya, karena
representasi mengacu pada tanda-tanda
pada dasarnya manusia adalah makhluk
yang digunakan dan memiliki makna
sosial.
tertentu.
Kemampuan film untuk Dalam hal ini, film sebagai
menampilkan kenyataan juga merupakan representasi dari realitas, berbeda dengan
persoalan representasi (Darmawan, film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai
2020). Dalam hal ini, representasi refleksi dari realitas, film sekedar
merupakan bentuk konstruksi melalui memindahkan realitas ke layar tanpa
media film terhadap segala aspek realitas, mengubah sedikitpun realitas itu sendiri.
seperti objek, masyarakat, peristiwa, Sementara, film sebagai representasi dari
hingga identitas budaya. Representasi realitas membentuk dan menghadirkan
realitas dalam sebuah film tidak dapat kembali realitas ‘baru’ berdasarkan kode-
disamakan dengan realitas dalam dunia kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari
nyata. Hal ini karena representasi kebudayaan yang ingin dibawakan.
berkaitan dengan hal-hal simbolik dari
Teori John Fiske
luar teks (film).
Menurut Fiske, kode-kode yang
Realitas muncul atau yang digunakan dalam acara
Hasil ciptaan manusia kreatif televisi saling berhubungan sehingga
melalui kekuatan konstruksi sosial terbentuk sebuah makna. Sebuah realitas

86
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

tidak akan muncul begitu saja melalui Tahapan representasi berupa


kode-kode yang timbul, namun juga tindakan yang menghadirkan atau
diolah melalui alat indera sesuai referensi mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu
yang telah dimiliki oleh penonton televisi, yang lain diluar dirinya, biasanya berupa
sehingga sebuah kode diapresiasi secara tanda atau simbol (Piliang, 2010). Realitas
berbeda oleh orang yang berbeda (Vera, yang terkode harus ditampakkan pada
2014). Maka dari itu setiap orang bisa technical codes seperti kamera,
secara berbeda menanggapi sebuah pencahayaan, penyuntingan, musik, dan
makna dalam televisi, sesuai dengan latar suara. Dalam bahasa tulis yaitu kata,
belakang, budaya, kelas sosial, dan lain kalimat, foto, grafik sedangkan dalam
halnya. bahasa gambar ada kamera, tata cahaya,
John Fiske membagi tiga level penyuntingan musik, dan lain sebagainya.
peristiwa yang ditayangkan dalam dunia Elemen-elemen ini kemudian
televisi telah dienkode oleh kode-kode ditransmisikan ke dalam kode
sosial. Berikut model semiotika John Fiske representasional yang dapat
yang dikenal The Codes of Television. mengaktualisasikan realitas seperti
narrative (penarasian), conflict (konflik),
character (karakter), action (aksi),
dialogue (dialog), setting (latar), dan
casting (pemeran).
Sedangkan tahap ideologi adalah
sistem kepercayaan dan sistem nilai yang
direpresentasikan dalam berbagai media
Gambar 2 Skema The Codes of Television Fiske.
dan tindakan sosial (Piliang, 2010). Dalam
tahap ini semua elemen diorganisasikan
Level realitas dipahami sebagai
dalam kode-kode ideologis, seperti
kode budaya berupa appearance
feminisme, patriarki, individualisme,
(penampilan), dress (kostum), make-up
materialisme, kapitalisme, dan lain
(riasan), environment (lingkungan),
sebagainya.
behaviour (tingkah laku), speech (gaya
bicara), gesture (bahasa tubuh),
METODE
expression (ekspresi), sound (suara).

87
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Kajian ini menggunakan metode suatu tanda diperlukan pendekatan


penelitian kualitatif deskriptif. Metode paradigmatik untuk membedah lebih
penelitian kualitatif deskriptif adalah lanjut kode-kode tersembunyi di balik
metode penelitian yang dilaksanakan berbagai macam tanda dalam sebuah
pada setting tertentu yang terjadi dalam teks.
kehidupan nyata dengan fokus untuk Penelitian diawali dengan
menyelidiki dan memahami sebuah penguraian secara sintagmatik dan
fenomena, seperti apa yang terjadi, paradigmatik beberapa adegan yang
mengapa itu terjadi, dan bagaimana itu menggambarkan karakter perempuan
terjadi (Chariri, 2009). Sedangkan teknik Jawa dalam film. Uraian ini dijabarkan
analisis yang digunakan dalam penelitian berdasar teori The Codes of Television
ini adalah teknik analisis milik John Fiske John Fiske. Setiap satu adegan dibagi
yang dikenal The Codes of Television. menjadi menjadi tiga level peristiwa, yaitu
Teknik ini berguna untuk menunjukkan level realitas, level representasi, dan level
bagaimana representasi perempuan Jawa ideologi. Hasil dari penjabaran tersebut
dalam film Tilik. akan dikomparasikan dengan elemen
Pemilihan adegan menggunakan kultur realitas yang telah ada untuk
acuan pendekatan sintagmatik dan memperoleh gagasan-gagasan dominan
paradigmatik. Pendekatan sintagmatik yang ingin disampaikan oleh film Tilik yang
digunakan untuk mengurai satuan-satuan berkaitan dengan persoalan ideologi.
tanda dari objek kajian yang dianggap
penting dalam pemaknaan. Sedangkan
untuk mengetahui kedalaman makna dari
kelompok tersebut memiliki intimasi satu
HASIL DAN PEMBAHASAN sama lain atau bisa dibilang sudah saling
mengenal satu sama lain.
Film dibuka dengan adegan truk
yang tengah melaju di sebuah jalan kecil.
Terdengar percakapan ramai dari suatu
kerumunan kelompok sosial yang berada
dalam truk tersebut. Dari nada dan cara
berbicaranya penulis mengasumsikan

88
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Gambar 2. Adegan yang memperlihatkan yang lainnya. Hal ini terlihat pada
keragaman busana kelompok sosial.
aksesoris mengkilap yang ia kenakan. Baik

Kelompok sosial yang terdiri dari yang menempel pada kerudungnya (bros)

beberapa ibu-ibu tersebut terlihat maupun gelang dan cincin yang ia

mengenakan busana sederhana ala kenakan di kedua pergelangan tangan

masyarakat rural. Namun tak jarang masih serta jari jemarinya.

terdapat perbedaan strata sosial antara Pada setiap adegan penontoh

satu individu dengan yang lain. Hal disuguhkan dengan kegiatan gosip

ini dapat dilihat berdasarkan gaya menggosip kelompok sosial ini. Perilaku

berpakaian masing-masing individu. dan cara berbicara ibu-ibu dalam

Menilik dari kultur perempuan Jawa yang kelompok sosial ini mencerminkan

telah ada dimana busana perempuan perempuan pada umumnya, gemar

Jawa identik dengan kebaya dan sanggul, bergosip. Menurut antropolog, Aris

maka dalam film ini perempuan Jawa Mundayat, 2020, kegiatan membicarakan

telah mengalami modernisasi mengenai keburukan orang lain yang dilakukan oleh

gaya busana. Hal ini pun dapat terlihat masyarakat, terpahat dalam relief Candi

dari hijab yang dikenakan seluruh anggota Borobudur yang diperkirakan telah ada

kelompok sosial menunjukkan telah sejak abad ke 8 Masehi. Selama puluhan

berkembangnya paham ideologi abad, kegiatan ghibah ini sendiri hidup

mengenai kepercayaan individu pada dan terus berkembang di tengah

setiap perempuan Jawa masa kini. masyarakat. Kontestasi kritik di tengah


masyarakat, seolah menunjukkan adanya
ruang publik di luar ruang publik yang
nyata. Hal ini menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan antara dulu dan
sekarang mengenai kebiasaan gosip pada
perempuan secara umum maupun
Gambar 3. Adegan Bu Tejo sedang berdialog dan
perempuan Jawa itu sendiri.
secara sengaja memperlihatkan aksesorisnya.

Bu Tejo, sebagai salah satu


karakter dalam film yang memiliki gaya
berpakaian lebih mencolok dibanding

89
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Gambar 5. Adegan.

Gambar 4. Adegan Bu Tejo sedang memprovokasi


Gambar 6. Adegan ibu-ibu mendorong truk yang
anggota kelompok sosial lainnya dengan
menyebarkan gosip tentang Dian. mogok.

Dalam film ini, sosok Bu Tejo Penggambaran perilaku Bu Tejo


digambarkan sebagai pemegang kuasa sebagai pemegang kuasa juga
dan penyulut api yang dapat digambarkan pada saat adegan truk
memprovokasi anggota kelompok sosial mogok. Dengan semangat gotong royong,
lainnya. Gaya bicaranya yang persuasif seluruh anggota kelompok sosial tersebut
seakan dapat dengan mudahnya beramai-ramai mendorong truk agar bisa
menggiring opini ibu-ibu yang lain untuk jalan kembali. Namun Bu Tejo dan Bu Tri
memvalidasi pernyataannya. Uniknya, adalah pengecualian (Gambar 4). Mereka
perlakuan ini didukung dengan ekspresi tampak menolak dengan membiarkan ibu-
serta gestur Bu Tejo yang khas dan selalu ibu yang lain mendorong, sedangkan
tetap pada argumennya. Dian, sebagai mereka di belakang memilih untuk
subjek gosip, merupakan seorang melihat saja (Gambar 5). Gestur dan
perempuan lajang yang terlihat salah di ekspresi yang ditorehkan Bu Tejo dan Bu
kelompok sosial tersebut karena tidak Tri pun mengindikasikan adanya ketidak
segera melangsungkan pernikahan. Ia pun inginan keras untuk turut membantu.
mendapat banyak prasangka negatif dari Penulis mengasumsikan adanya relasi
anggota kelompok sosial tersebut kuasa pada kedua karakter ini hingga
terutama Bu Tejo. timbul perasaan “tidak sudi” jika harus
melakukan aktivitas diluar seorang
pemegang kuasa lakukan.
Dalam beberapa adegan, Bu Tejo
mencoba mencari atensi akan posisi
politik suaminya. Walaupun secara terus
menerus, Bu Tejo mengelak bahwa dirinya

90
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

mempromosikan sang suami. Ia digambarkan dengan pembawaannya


mengatakan bahwa sosok Bu Lurah yang yang tenang tidak mengikuti arus
saat itu janda dan sedang sakit-sakitan informasi yang disebarkan Bu Tejo.
sudah tidak pantas menyandang posisi Namun saat adegan menuju klimaks,
sebagai lurah. Sudah saatnya ia digantikan dimana Yu Ning sudah hilang kesabaran
dengan sosok yang lebih cekatan seperti akan Bu Tejo yang asal ceplos, konflik
suami Bu Tejo. antara keduanya pun terjadi. Truk
Sosok Bu Tejo juga digambarkan seketika gaduh akan keduanya yang saling
gemar mempercayai informasi teguh pada argumen masing-masing.
bersumberkan dari internet tanpa Kejadian inilah yang mengakibatkan
memilah-milahnya terlebih dahulu. Hal ini mereka terkena tilang.
pun juga menjadi kebiasaan anggota
kelompok masyarakat lain dalam film itu.
Melalui fakta tersebut, direpresentasikan
dalam film bahwa perempuan Jawa yang
tergolong sebagai masyarakat rural ini
memiliki literasi digital yang masih
Gambar 8. Adegan.
rendah.
Terdapat adegan menarik saat
kejadian tilang oleh polisi berlangsung.
Faktanya truk bukanlah transportasi yang
dibenarkan untuk memuat orang-orang
banyak di dalamnya, apalagi dengan
memanfaatkan baknya. Namun berkat
Gambar 7. Adegan.
kegigihan atau “the power of emak-emak”
Namun dalam kelompok sosial ini, akhirnya polisi itu pun kalah. Ocehan demi
terdapat sosok perempuan protagonis ocehan keluar oleh masing-masing
bernama Yu Ning yang selalu berkali-kali anggota kelompok sosial itu. Entah
mengingatkan untuk jangan mengambil bagaimana, namun dalam adegan itu
suatu kesimpulan atau menyebarkan digambarkan polisi yang diserbu ibu-ibu
sesuatu yang belum jelas kebenaran dan lalu dipotong oleh shot ibu-ibu itu berhasil
sumbernya. Sosok Yu Ning mulanya melanjutkan perjalanan dengan truk

91
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

meninggalkan polisi yang diam melongo


(Gambar 7). Penulis melihat adanya
gotong royong dalam kelompok sosial ini
meskipun mereka tengah dipecah oleh
suatu konflik.
Hal positif yang terlihat pada film Gambar 10. Adegan.

melalui sosok Bu Tejo yaitu pemikirannya


Pada level representasi, film ini
yang cekatan dan solutif. Hal ini terlihat
banyak menggunakan teknik pengambilan
pada akhir cerita, rombongan kelompok
gambar close up, medium shot, dan long
sosial yang tadinya ingin menjenguk Bu
shot. Close up dalam film ini untuk
Lurah terpaksa gagal. Bu Lurah diceritakan
mempertegas sekaligus memperjelas
sedang berada di ruang ICU dimana orang
ekspresi serta gestur yang diperagakan
belum diperbolehkan datang menjenguk.
karakter. Terlihat pada Gambar 3, ekspresi
Tentunya hal ini membuat seluruh ibu-ibu
Bu Tejo dengan tatapan mata yang
kecewa mengingat perjalanan mereka
cenderung melirik kearah samping bawah
yang panjang. Yu Ning, yang mulanya
serta menaikkan sebagian bibir seolah
menginisiasi kunjungan ini pun merasa
memperlihatkan ekspresi meremehkan
bersalah dan justru meminta simpati dari
lawan bicara. Posisi, gestur, ekspresi
anggota kelompok sosial lainnya. Dalam
antar karakter pada saat berinteraksi satu
kondisi ini Bu Tejo menjelma menjadi
sama lain pun diperlihatkan dengan baik
sosok pahlawan yang solutif untuk
oleh pengambilan gambar medium shot
menghindari kekecewaan ibu-ibu lainnya.
(Gambar 8). Teknik pengambilan gambar
long shot (Gambar 9) sangat membantu
penonton dalam menafsirkan latar tempat
kejadian berlangsung. Teknik ini pun juga
memudahkan penulis mengasumsikan
bahwa suatu kelompok sosial tersebut
Gambar 9. Adegan. berasal dari suatu desa yang jauh dari
kota.
Pada perkembangan zamannya,
kebaya dan konde tidak lagi relevan untuk

92
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

dapat dijadikan identitas perempuan perempuan Jawa bergosip. Padahal tidak


Jawa. Pada masa sekarang pun semua perempuan seperti yang
perempuan Jawa tetap dapat terlihat direpresentasikan dalam film Tilik, Gotrek,
melalui unggah ungguh atau tata krama seorang laki-laki yang berperan sebagai
yang dimiliki individu tersebut. Bukan supir truk pun ikut mendengarkan sambil
berarti yang tidak sesuai lantas disebut mengemudi. Kehadiran Yu Ning sebagai
bukan perempuan Jawa. Hal ini bersifat tokoh protagonis yang tidak
subjektif berkenaan dengan penilaian membenarkan ghibah memperlihatkan
masing-masing individu. Namun secara keberagaman dalam kelompok sosial
pasti, unsur identitas pada masyarakat tersebut, memang tidak semuanya
modern tersebut masih dapat dilihat memiliki kebiasaan bergosip. Stereotip
melalui bahasa yang digunakan untuk mengenai sosok perempuan Jawa yang
berkomunikasi sehari-hari. seharusnya memiliki sifat tenang, diam
Film ini bias terhadap ideologi di (kalem), tidak suka konflik, bertutur kata
dalamnya. Di satu sisi Bu Tejo dan anggota halus dan lain sebagainya yang telah ada
kelompok sosial tersebut terlihat pun juga mengalami pergeseran
patriarkis terhadap persoalan kelajangan pandangan.
Dian. Mereka memberikan stigma buruk Perilaku seluruh anggota
terhadap perempuan yang fokus kelompok sosial ini tidak sesuai dengan
mengejar karir dan menunda pernikahan, kultur Jawa yang telah ada mengenai
sementara anak laki-laki Bu Lurah yang perempuan Jawa yang seharusnya
sama lajangnya tidak mendapat perlakuan memiliki sifat tenang, diam (kalem), tidak
serupa. Namun disisi lain, pada saat suka konflik, mementingkan harmoni,
ditilang kelompok sosial ini menggunakan menjunjung tinggi nilai keluarga, bertutur
kekuatannya untuk melawan seorang kata halus, mampu mengerti dan
polisi laki-laki. Hal ini tentunya mendobrak memahami orang lain, sopan,
ideologi patriarki itu sendiri. pengendalian diri tinggi atau terkontrol
Keseluruhan alur cerita dalam film dan daya tahan untuk menderita tinggi.
menimbulkan stereotip baru dalam Bila ada perselisihan ia lebih baik
masyarakat mengenai perempuan Jawa mengalah, tidak gegabah, tidak grusa-
itu sendiri. Banyak penonton yang grusu, dan dalam mengambil langkah 25
akhirnya mengeneralisir kebiasaan mencari penyelesaian dengan cara halus

93
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

(Basuki, 2005). Namun dibalik itu ada kesederhanaan pikiran, busana, perilaku,
beberapa perilaku yang secara implisit dan lain sebagainya setiap anggota
mencerminkan perempuan Jawa itu kelompok sosial dalam film tersebut
sendiri. memiliki nilai yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Walaupun terbilang
SIMPULAN suka pamer harta, Bu Tejo pun memiliki
Perilaku seluruh anggota nilai kesederhanaan dalam aspek lain. Hal
kelompok sosial dalam film Tilik ini terlihat melalui caranya menyelesaikan
direpresentasikan secara kontradiktif masalah yang muncul di akhir cerita. Ia
dengan kultur Jawa mengenai perempuan menjadi pribadi yang paling solutif
Jawa. Mereka seharusnya memiliki sifat diantara yang lainnya.
tenang, diam (kalem), tidak suka konflik, Film ini memunculkan sebuah
mementingkan harmoni, menjunjung ideologi patriarki pada beberapa adegan
tinggi nilai keluarga, bertutur kata halus, yang nampak dekat dengan kehidupan
mampu mengerti dan memahami orang saat ini. Namun, dalam suatu adegan
lain, sopan, pengendalian diri tinggi atau berbeda, ideologi itu dipatahkan demi
terkontrol dan daya tahan untuk kepentingan kelompok.
menderita tinggi. Bila ada perselisihan ia
lebih baik mengalah, tidak gegabah, tidak
grusa-grusu, dan dalam mengambil
langkah 25 mencari penyelesaian dengan DAFTAR PUSTAKA
cara halus (Basuki, 2005). Namun dibalik Alex Sobur. (2006). Semiotika Komunikasi,
itu ada beberapa perilaku yang secara Bandung: Remaja Rosdakarya Analisis
implisit mencerminkan perempuan Jawa Teks Media Suatu Pengantar untuk
itu sendiri. Hal ini pun menunjukkan Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
adanya kehidupan masyarakat modern dan Analisis framing, Bandung: PT
yang berbeda dengan dulu tetapi tetap Remaja Rosdakarya
mampu mempertahankan salah satu Ibrahim, Idi Subandy, dan Hanif Suranto.
unsur identitasnya. (1998). “Wanita, Media, Mitos, dan
Satu hal mengenai perempuan Kekuasaan: Mosaik Emansipasi dalam
Jawa yang masih tercipta dalam film Ruang Publik yang Robek” dalam
tersebut adalah kesederhanaan. Baik Wanita dan Media: Konstruksi

94
Jurnal Komunikasi Visual Wimba Volume 12, No.2, 2021, Hal. 81-95

Ideologi Gender dalam Ruang Publik Ardianto, Elvinaro dan R. Harun. (2004).
Orde Baru, Bandung: PT Remaja Komunikasi Pembangunan dan
Rosdakarya Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali
Trianton, T. (2013). Nilai pendidikan Pers.
karakter berbasis kearifan lokal Rakhmat, J. (2009). Psikologi Komunikasi.
dalam film Indie Banyumas, Vol.2, Bandung: Remaja Rosdakarya.
No.1, p.4. Jurnal Ilmiah Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-Dasar
Kependidikan. Diperoleh dari E- Apresiasi Film. Jakarta : PT. Grasindo
journal:http://webcache. Pratista. (2008). Memahami Film.
googleusercontent.com/h?q=cache: Yogyakarta. Homerian Pustaka.
Kzo Basuki, dan Indah Susilowati. (2005).
wWJ4USk0J:jurnalnasional.ump.ac.i Dampak Kepemimpinan, dan
d/ Lingkungan Kerja terhadap Semangat
index.php/khazanah/article/w/650/ Kerja. Jurnal Riset Bisnis Indonesia.
642+&c d=1&hl=en&ct=clnk&gl=id William L. Rivers, Theodore Peterson, dan
Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Jay W.Jensen (2008). Media Massa
Barthes. Magelang: Yayasan dan Masyarakat Modern edisi kedua.
Indonesiatera Jakarta : Kencana
Sudaryono. (2018). Metodologi penelitian.
Depok: RajaGrafindo Persada.
Fakih, M. (2013). Analisis Gender &
Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fiske, John. (2012). Pengantar Ilmu
komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Bungin, B. (2008). Konstruksi Sosial Media
Massa. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Piliang, Yasraf A. (2003). Hipersemiotika;
Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta:
Jalasutra

95

You might also like