You are on page 1of 20

REPRESENTASI OBJEKTIFIKASI PEREMPUAN DALAM FILM

SELESAI (ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)


Freshia Trinanda Hamid, Sunarto, Lintang Ratri Rahmiaji

freshiatrinanda20@gmail.com

Program Studi S1 Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang Semarang Kotak Pos 1269 Telepon (024) 7465407
Faksimile (024) 7465405 Laman: http://www.fisip.undip.ac.id Email fisip@undip.ac.id

ABSTRACT
Film productions in Indonesia still present characterizations that are attached to
traditional gender constructions and objectify the female body. The director of “Selesai” stated
that this movie is produced as a form of his perception regarding the patriarchal culture in
Indonesia, presenting social facts, starting a new perspective, and not discrediting women.
Based on the director's statement, this study aims to describe the objectification of women and
find the dominant ideology in the text. The main theory used is standpoint theory, supported by
male gaze theory, radical libertarian feminism, and the concept of objectification of Nussbaum-
Langton. The method used is the semiotic analysis of Roland Barthes (5 codes).
The main finding of this research is that “Selesai” represents the objectification of
women, where the objectification is carried out by men, fellow women, and women themselves.
Referring to the concept of Nussbaum Langton, some forms of objectification found in the movie;
Instrumentality, where women are used as tools to satisfy men's sex that is represented in the
movie through mistresses, girlfriends, and even in imagination, used as money-making tools and
seen as instruments that should give birth in marriage relations. Denial of autonomy and
inertness, a restriction on women when they try to make decisions for themselves such as
husbands who refuse to divorce, women who have no autonomy to determine whether to give
birth and are admitted to mental hospitals. Ownership can be seen from the unequal ownership
relations where men tend to be dominant in both dating and marriage relationships and “playing
victim” practices to justify the commitment violations. Fungibility, women can be exchanged if
she didn’t meet expectations. Violability, women as objects who can be treated harshly, to be
hurt, their rights are fine to be robbed, cheated on, and bullied verbally and non-verbally.
Denial of subjectivity, women's experiences, and feelings are ignored. Reduction of appearance,
women's value is reduced based on their appearance and reduction of the body where there is a
focus on women through how the camera works on certain body parts. The objectification in
“Selesai” is accompanied by a lack of female resistance, this emphasizes the dominant ideology
of patriarchy and contradicts the director's statement which says that this movie didn’t discredit
women because the facts chosen in this movie aren’t constructed well with gender equality.
Based on the results of this critical research, it’s inaccurate if the contents of the film are used as
material for a reflection to change society.

Keywords: Representation, Objectification, Women, Film, Semiotics, Roland Barthes


ABSTRAK

Produksi film di Indonesia masih menghadirkan karakter penokohan yang seragam lekat
dengan konstruksi gender tradisional dan mengobjektifikasi tubuh perempuan. Film Selesai
dinyatakan oleh sutradaranya sebagai bentuk kesadarannya akan budaya patriarki di Indonesia,
penyajian fakta sosial, mencoba membuka sudut pandang baru dan tidak mendiskreditkan
perempuan. Berdasarkan pernyataan sutradara tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan objektifikasi perempuan dan melihat ideologi dominan dalam teks. Teori utama
yang digunakan adalah standpoint theory di dukung oleh male gaze theory, aliran feminisme
radikal libertarian dan konsep objektifikasi Nussbaum-Langton. Metode yang digunakan adalah
analisis semiotika Roland Barthes (5 kode).
Temuan utama penelitian yakni film Selesai merepresentasikan objektifikasi perempuan,
dimana objektifikasi dilakukan oleh laki-laki, sesama perempuan dan oleh dirinya sendiri.
Mengacu dalam konsep Nussbaum Langton, ditemukan bentuk objektifikasi seperti :
Instrumentality dimana perempuan dijadikan alat pemuas seks laki-laki yang dimunculkan
melalui tokoh perempuan simpanan, pacar bahkan dalam imajinasi, dijadikan alat penghasil uang
dan dipandang sebagai instrumen yang harus menghasilkan anak dalam relasi pernikahan. Denial
of autonomy dan inertness, adanya pembatasan perempuan untuk menentukan keputusan bagi
dirinya sendiri seperti suami yang menolak keinginan perceraian, perempuan tidak diberi
otonomi untuk menentukan apakah harus memiliki anak dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Ownership terlihat dari adanya relasi kepemilikan yang tidak setara dimana laki-laki cenderung
dominan baik dalam relasi berpacaran maupun pernikahan dan adanya gambaran playing victim
untuk justifikasi pelanggaran komitmen. Fungibility, perempuan dapat dipertukarkan jika dinilai
tidak memenuhi harapan. Violability, perempuan sebagai objek yang dapat diperlakukan kasar,
disakiti, boleh di rampas haknya, diselingkuhi, dirundung secara verbal maupun nonverbal.
Denial of subjectivity, pengalaman dan perasaannya diabaikan. Reduction of appearance,
perempuan direduksi nilainya atas penampilan yang tampak serta reduction of body dimana
terdapat pemfokusan perempuan melalui cara kerja kamera pada bagian tubuh tertentu.
Gambaran objektifikasi dalam film Selesai diiringi kurangnya resistensi perempuan menegaskan
ideologi dominan patriarki dan bertentangan dari pernyataan sutradara yang sama sekali tidak
bermaksud mendiskreditkan perempuan karena fakta yang dipilih pun tidak dikonstruksikan
dengan andil gender. Melalui hasil penelitian secara kritis menjadi kurang tepat bila isi film
dijadikan bahan refleksi diri guna mengubah keadaan.

Kata Kunci : Representasi, Objektifikasi, Perempuan, Film, Semiotika, Roland Barthes


PENDAHULUAN Film yang mengangkat fenomena

Isu gender dalam ranah privat masih ranah privat adalah film “Selesai”. Film ini

marak terjadi. Padahal di Indonesia merupakan hasil garapan dr. Tompi tahun

mengedepankan kesetaraan gender salah 2021. Sebelum tayang secara resmi, film ini

satunya yang tertuang dalam UU No.7 mengundang banyak atensi dari masyarakat

Tahun 1984 (ratifikasi konvensi CEDAW) Indonesia terbukti dari perilisan Trailer di

maupun UU No 23 tahun 2004 (memerangi kanal youtube pada 30 Juli 2021 meraih

KDRT). Kekerasan ranah privat secara 1.800.442 kali tayangan, disukai oleh 10

konsisten menjadi kasus paling banyak ribu dan dikomentari 1000 lebih pengguna.

dilaporkan di tahun 2021 yakni terdapat Film ini berhasil menggaet perhatian

335.339 kasus. Menurut data BADILAG, khalayak dengan ditonton secara online dan

tren perceraian juga meningkat di tahun berbayar di kanal www.bioskoponline.com

2021. Penyebab tertinggi adalah perselisihan dengan perolehan lebih dari 100.000 lebih

dan pertengkaran berkelanjutan, penonton.

meninggalkan salah satu pihak dan ekonomi Pembuatan film ini diakui sineasnya
(Komnas Perempuan, 2022:56) berangkat dari pengamatan dan

Masalah sosial yang berkaitan keresahannya atas fenomena sosial yang

dengan isu rumah tangga bisa kita temukan kerap dilihat spesifiknya berkutat di ranah

dalam media massa seperti film yang hadir personal seperti kisah rumah tangga,

sebagai bentuk respon dan kritik. Fenomena perselingkuhan dan pelakor serta

lain, survei daring dilakukan oleh Plan keresahannya atas dominasi patriarki yang

Indonesia, sebanyak 85.3% responden mendarah daging di Indonesia serta

menyatakan kaum perempuan masih berkeinginan utuk mengajak penonton untuk

ditampilkan dalam penampilan fisik yang berpikir, membuka sudut pandang dan

negatif dan direpresentasikan sebagai korban mengubah keadaan. Dalam diskusi online,

kekerasan seksual serta 77.2% responden dr. Tompi memang mengakui tidak

menyatakan dalam media laki-laki seringkali melibatkan perempuan dalam merancang

mendapat penokohan sebagai pemimpin konsep dan naskah karena ia merasa sudah

(mediaindonesia, 2019). memiliki informasi yang dibutuhkan dan


melakukan research dari hal-hal lain seperti
pengamatan fakta sosial (cnnindonesia.com,
2021). Sutradara dr. Tompi menciptakan kekuatan besar untuk membentuk bahkan
film ini diakuinya tidak bertujuan untuk mengubah perspektif masyarakat.
mediskreditkan perempuan dan tidak ada
RUMUSAN MASALAH
kaitan dengan seksisme melainkan
keinginannya menggambarkan kejadian Produksi Film di Indonesia melalui

yang biasa terjadi sehingga ia membantah hasil riset masih menghadirkan karakter

segala tuduhan yang disematkan kepadanya penokohan yang seragam lekat dengan

(Nabilah, 2021). konstruksi gender tradisional dan


mengobjektifikasi tubuh perempuan.
Namun, terdapat pernyataan dr. Padahal, film menjadi media yang strategis
Tompi lainnya turut ramai diperdebatkan sebagai bentuk kritik maupun respon
dan banyak mendapat kritikan dari terhadap realita yang ada dan memiliki
masyarakat Indonesia yakni menilai secara kekuatan yang sangat besar untuk
biologis jika laki-laki melihat perempuan membentuk bahkan mengubah perspektif
seksi tentu akan tergoda untuk berfikir khalayak terkait dengan identitas, gaya
negatif (Nabilla, 2021). Film Selesai hidup bahkan cara berfikir.
menjadi perbincangan hangat di sosial
media khususnya Twitter sejak rilis hingga Film Selesai merupakan film garapan

masuk dalam jajaran trending topic. Banyak dr. Tompi yang hadir sebagai keresahannya

yang mendukung dan memuji film ini akan budaya patriarki yang mendarah

karena penceritaannya dianggap dekat daging di Indonesia. Sutradaranya

dengan realita yang ada, namun tak sedikit menyatakan bahwasannya film ini menjadi

pula yang mengkritik. bentuk kritik akan isu ranah privat


(perselingkuhan, perselisihan dan
Diproduksi oleh sineas dominan laki- perceraian), mencoba untuk menghadirkan
laki, banyaknya atensi masyarakat pro dan sudut pandang baru, mengajak untuk
kontra serta jumlah penonton film “Selesai” merenungkan isi film dan mengubah
yang banyak menjadikan tema ini menarik keadaan, menyajikan fakta sosial yang apa
dikaji lebih dalam. Mengetahui bagaimana adanya, sama sekali tidak bermaksud
perempuan direpresentasikan dalam film mendiskreditkan perempuan. Meski
sangat penting mengingat film memiliki mengedepankan hal tersebut mengapa dalam
misi penyadarannya terdapat penggambaran
yang mengobjektifikasi perempuan yang yang subjektif dan mendorong seseorang
seharusnya tidak terjadi dan apakah film ini untuk mengkritisi status quo dikarenakan
benar-benar menyajikan fakta sosial yang dominasi kekuasaan. Dalam
apa adanya. Berdasarkan pernyataan pengembangannya, Hartsock menganalisa
sutradara, film yang banyak mengundang dengan berfokus pada sudut pandang
atensi publik serta diproduksi oleh dominan perempuan. Peneliti lainnya seperti Sandra
laki-laki pembahasan ini menarik untuk Harding dan Julia Wood melihat bahwa jika
ditelaah dan didiskusikan lebih dalam secara ingin tahu bagaimana dunia itu berjalan
kritis, terutama perihal objektifikasi adalah dengan mengetahui standpoint
perempuan dan ideologi yang muncul dalam perempuan atau kelompok marginal
film. (Griffin, 2006:482-483).

Mengacu permasalahan diatas, Dalam teori ini, pengalaman


peneliti merumuskannya dalam pertanyaan perempuan itu dihasilkan dari posisinya
penelitian secara spesifik mengenai yang harus mempertahankan pandangan
bagaimana representasi objektifikasi didalam maupun diluar arus laki-laki dalam
perempuan dalam film “Selesai”? dan apa masyarakat sehingga teori ini menjadi titik
ideologi gender dominan yang beroperasi awal untuk memahami dinamika yang
dalam film “Selesai”? dialami perempuan termasuk mengkritisi
dominasi laki-laki atas budaya patriarkal dan
TUJUAN PENELITIAN
ideologi (Krolokke dan Sorensen, 2006:32).
Mendeskripsikan objektifikasi perempuan
Digunakannya teori ini untuk menganalisis,
yang direpresentasikan di dalam film
mengidentifikasi dan memahami sudut
“Selesai” dan mendeskripsikan ideologi
pandang perempuan yang di konstruksikan
gender dominan dalam teks film.
sineas.
KERANGKA TEORI
Teori Film Feminis ‘Male Gaze’
Standpoint Theory Teori Male gaze melihat film
Standpoint Theory melihat tidak ada memberikan kepuasan pandangan atau
standar yang sifatnya objektif untuk scopophilia dimana perempuan menjadi
mengukur sudut pandang seseorang dimana pihak yang pasif dan laki-laki menjadi pihak
setiap pernyataan dipahami sebagai sesuatu yang aktif (Mulvey, 1989:19).
Salah satu aspek dari scopophilia maskulin, mengkombinasikan sifat arogansi
adalah voyeurism dimana hal itu merupakan dan kepatuhan serta kekuatan dan
bentuk objektifikasi yang berasal dari kelembutan dapat saling melengkapi dan
keingintahuan di masa kecil. Voyeurism juga memungkinkan seseorang untuk hidup lebih
berkaitan dengan kekuasaan dalam layak dalam komunitasnya dan mampu
mengontrol gambar dimana lensa kamera menempatkan diri ketika suatu opresi terjadi
seperti mata yang melihat di lubang intip. (dalam Tong, 1998:77).
Voyeurism didefiniskan sebagai pengamatan
Representasi
aktivitas seksual orang lain berulang kali
Representasi yakni memproduksi
sebagai cara yang disukai untuk
suatu konsep dalam pikiran kemudian
mendapatkan gairah seksual, dimana
diutarakan melalui bahasa yang
tindakan tersebut dilakukan secara
dipertukarkan oleh kelompok dalam sebuah
mengintip yang mana yang diintip tidak tahu
budaya (Hall, 1997:15). Bahasa bisa berupa
sedang diawasi (Popa dan Cristian,
visual yang bergerak, suara, tulisan dan lain
2019:53).
sebagainya. Representasi dan studi budaya
Aliran Feminisme Radikal Libertarian (cultural studies) sangat berkaitan erat
Feminisme radikal libertarian karena seseorang dituntut untuk bisa melihat
berpandangan untuk melawan opresi adalah dan peka akan kebudayaan yang erat pula
dengan menyadarkan bahwa perempuan kaitannya dengan ideologi yang ada pada
tidak ditakdirkan menjadi pasif melainkan film, tayangan tv, produk media daring dan
mengkombinasikan sifat feminin dan lain sebagainya.
maskulin yang merefleksikan kepribadian
Representasi Objektifikasi Perempuan
unik mereka masing-masing (Tong,
Objektifikasi diartikan sebagai
1998:72-73)
perlakuan satu hal sebagai hal lain dimana
Menurut Millet, masyarakat terbaik seseorang memperlakukan sebagai objek
adalah yang androgin. Baik laki-laki terhadap sesuatu yang bukan objek, yang
maupun perempuan merangkul nilai historis sebenarnya adalah manusia (Nussbaum
feminin dan berbagi dengan nilai historis 1995:254). Nussbaum membagi tujuh
maskulin. Jika dalam satu pribadi kategori dimana seseorang dikatakan
perempuan dapat menjadi sosok feminin dan menjadi objek jika satu atau lebih dari sifat
ini diterapkan, yakni: instrumentality, denial Semiotika
of autonomy, inertness, fungibility, Semiotika dapat diindentifikasikan sebagai
violability, ownership, denial of subjectivity ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-
(Nussbaum, 1995:256-257). Rae Langton objek, peristiwa maupun kebudayaan
kemudian melengkapi pandangan Nussbaum sebagai tanda (Wahjuwibowo, 2018:7).
yakni reduction to body, reduction to Kajian semiotika ini bertujuan untuk
appearance, dan silencing (Langton, mempelajari sistem, aturan, konvensi yang
2009:228-229). memungkinkan tanda itu memiliki makna
(Sobur, 2018:96).
Representasi objektifikasi
perempuan merujuk pada bagaimana METODE PENELITIAN
perempuan ditampilkan dalam media Tipe penelitian ini deskriptif kualitatif
khususnya film dalam hal ini terkait pada dengan desain penelitian analisis semiotika.
tampilan perempuan yang menjadi objek Korpus penelitian ini adalah film “Selesai”
dikonstruksikan si pembuat filmnya. karya sutradara dr.Tompi. Sumber data

Film dalam penelitian ini yakni data primer secara

Film sebagai media massa memiliki ciri langsung dari film “Selesai” dan data

khas yakni dalam lingkup yang luas mampu sekunder berupa jurnal ilmiah nasional

mengkoneksikan penyampai dan penerima maupun internasional, artikel berita,

pesan yang tidak bersifat homogen dokumen resmi, e-book, buku fisik maupun

melainkan mencakup latar belakang yang penelitian. Teknik pengumpulan data berupa

bermacam-macam serta bisa memicu suatu observasi dan dokumentasi. Unit analisis

dampak tertentu (Vera, 2015:91). yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

Keunggulan film terletak pada penyajiannya adegan-adegan yang mengandung elemen

yang memakai layar berukuran besar dan audio dan visual yang berkaitan dengan

memiliki teknik ambil gambar beragam tema penelitian (objektifikasi perempuan)

yang menimbulkan kesan sinematik dan dari film “Selesai”. Teknik analisis dan

artistik serta khalayak dapat fokus untuk interpretasi data menggunakan pendekatan

menyaksikan film yang berpengaruh pada model semiotika Roland Barthes mengkaji

timbulnya penghayatan (Vera, 2015:92). secara sintagmatik dan paradigmatik (5 kode


pembacaan).
HASIL DAN PEMBAHASAN editing. Musik latar berupa diegetic dan
Sebelum menganalisis secara sintagmatik nondiegetic sound.
dan paradigmatik dilakukan pemilihan leksia
Analisis Paradigmatik (Konotasi)
(satuan bacaan). Hasil identifikasi peneliti,
Kode Hermeneutik
secara keseluruhan film Selesai memiliki
total 63 adegan/leksia. 18 adegan/leksia Kode hermeneutik berkaitan dengan

diantaranya dipilih dan dianalisis sesuai harapan pembacanya untuk mendapatkan

dengan tujuan penelitian. Leksia yang sebuah kebenaran atau jawaban atas

terpilih adalah nomor 6, 8, 9, 10, 17, 24, 25, pertanyaan yang ada dalam teks (Sobur,

28, 29, 31, 32, 36, 37, 39, 48, 51, 62 dan 63 2018:65-66). Kode hermeneutik ditelaah
dari dua aspek yakni, sisi penceritaan
Analisis Sintagmatik (Denotasi)
(naratif) dan sisi teknis (sinematografi).
Analisis sintagmatik dilakukan untuk Menelaah secara naratif, pertanyaan
mengetahui struktur film yang tampak apa mengandung teka-teki yang muncul secara
adanya seperti unsur naratif dan sinematik keseluruhan 18 leksia memiliki kesamaan
berupa mise en scene (latar, paralinguistik, yang menjurus pada adanya objektifikasi
kostum, tata rias, ekspresi dan gestural), perempuan dapat dilakukan oleh laki-laki,
sinematografi, editing dan suara (Vera, sesama perempuan dan dirinya sendiri.
2015:92).
Menelaah secara filmis, type of shot
Latar film ini di dominasi di dalam di dominasi oleh kombinasi close shot dan
ruangan. Secara dominan, type of shot terdiri medium shot. Secara implisit, close shot
dari close shot dan medium shot (Close up, dalam leksia dimaksudkan sineas untuk
medium close up, medium full shot, long membidik ekspresi secara jelas entah itu
shot), sudut ambil gambar (dominan eye kemarahan, kesedihan, penuh kenafsuan,
level, ditemukan juga high angle, over kekesalan dan lain sebagainya. Medium shot
shoulder serta subjective camera angle), digunakan sineas untuk membidik interaksi
pergerakan kamera (tilting, following dan atau aktivitas tokoh serta dibeberapa leksia
panning). Transisi ditemukan berupa terlihat membidik gestur atau pergerakan
dissolve dan fade out. Cutting berupa dan menampakan bagian tubuh perempuan
straight cut, cross cutting dan parallel meski tidak secara eksplisit.
Sudut pengambilan gambar yang nondiegetic sound. Leksia secara dominan
dominan adalah eye level. Sudut ini berada mengkombinasikan antara keduanya.
di ketinggian sedang, sejajar dengan tinggi Nondiegetic sound (leksia 6, 9, 10, 17, 24,
kita (Hasfi dan Widagdo, 2012:59). 28, 29, 31, 32, 36, 39, 48, 51 dan 62) secara
Dominannya sudut ini memperlihatkan implisit muncul untuk melengkapi dialog
sineas ingin memfokuskan ekspresi dan tokoh (diegetic sound) dan menekankan
interaksi antar tokohnya secara sejajar, maksud tertentu, yakni mengesankan
Namun, ditemukan sudut pengambilan high kelucuan, romantisme, selebrasi dan
angle (leksia 29, 48, 62) dan subjective kegembiraan ketika adegan masturbasi,
camera angle (leksia 28). Salah satu kesedihan, keseriusan/ketegangan, voice
contohnya, subjective camera angle (leksia over. Misalnya, terlihat pada leksia 28 yang
28) menempatkan penonton sebagai mata mengkombinasikan keduanya, Mas
Mas Bambang yang mengintip (Voyeuristik) Bambang bermonolog (diegetic),
sebagai penegasan objektifikasi perempuan. menggunakan tubuh Ayu sebagai alat bantu
masturbasinya musik latar yang digunakan
Pencahayaan yang dominan pada
adalah iringan musik drum band (non
leksia menggunakan artificial light yang
diegetic) mengesankan selebrasi dan
cenderung kekuningan. Menurut Molly
kegembiraan.
Holzschlag, warna yang condong
kekuningan diasosiasikan dengan matahari Dari segi penyuntingan, paling
yang berarti kehangatan, namun respon banyak ditemukan adalah cross cutting,
psikologis yang ditimbulkan berkaitan parallel editing dan straight cut. Menurut
dengan optimis, harapan, filososfi, Bordwell (dalam Mulia, 2017:195), teknik
ketidakjujuran, kecurangan, pengecut dan cross cutting dan parallel editing digunakan
pengkhianatan (dalam Purnama, 2010:119). untuk meningkatkan ketegangan,
Dominannya tone warna kuning menampilkan konflik, menunjukkan titik
menyulitkan untuk membedakan latar waktu perbandingan ataupun perbedaan, dalam
karena menghasilkan suasana yang film tertentu sutradara menggunakan teknik
cenderung sama. ini untuk menyampaikan permasalahan
maupun solusi dengan cara yang
Suara atau musik yang digunakan
mengejutkan. Diterapkannya cross cutting
pada leksia yang diteliti yakni diegetic dan
dan parallel editing pada film Selesai secara
implisit menjadi cara yang digunakan sineas dominan baik dalam relasi berpacaran
untuk menghindari kemonotonan dan maupun pernikahan dan adanya gambaran
berusaha menghadirkan variasi dalam film playing victim untuk justifikasi pelanggaran
untuk meningkatkan ketegangan mengingat komitmen. Fungibility, perempuan dapat
latar tempat yang dipakai hanya di dalam dipertukarkan jika dinilai tidak memenuhi
rumah. harapan. Violability, perempuan sebagai
objek yang dapat diperlakukan kasar,
Kode Proairetik
disakiti, boleh di rampas haknya,
Kode proairetik berkaitan dengan diselingkuhi, dirundung secara verbal
tindakan. Tindakan objektifikasi tersebut maupun nonverbal. Denial of subjectivity,
dilihat menggunakan konsep pemikiran pengalaman dan perasaannya diabaikan.
Nussbaum-Langton yang terdiri dari 10 fitur Reduction of appearance, perempuan
atau bentuk seseorang dikatakan direduksi nilainya atas penampilan yang
terobjektifikasi. Ditemukan tindakan tampak bahkan perempuan mereduksi
objektifikasi terhadap perempuan seperti : penampilannya sendiri serta reduction of
Instrumentality, dimana perempuan body dimana terdapat pemfokusan
dijadikan alat pemuas seks laki-laki yang perempuan melalui cara kerja kamera pada
dimunculkan melalui tokoh perempuan bagian tubuh tertentu.
simpanan, pacar bahkan dalam imajinasi,
dijadikan alat penghasil uang dan dipandang Implikasi atas tindakan objektifikasi

sebagai instrumen yang harus menghasilkan perempuan berupa respon perlawanan,

anak dalam relasi pernikahan. Denial of ketidakberdayaan, self silencing atas

autonomy dan inertness, adanya pembatasan keinginan dan kesadarannya sendiri serta

perempuan untuk menentukan keputusan tidak menggambarkan implikasi apapun

bagi dirinya sendiri seperti suami yang sebagai bentuk ketidaksadaraan.

menolak keinginan perceraian, perempuan Kode Kultural


tidak diberi otonomi untuk menentukan
Kode kultural wujudnya semacam
apakah harus memiliki anak dan
suara kolektif anonim dan otoritatif
dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Ownership
sumbernya dari pengalaman manusia yang
terlihat dari adanya relasi kepemilikan yang
mewakili atau bicara tentang sesuatu yang
tidak setara dimana laki-laki cenderung
ingin di pertahankan sebagai ilmu
pengetahuan atau kebijaksanaannya yang normalisasi ntuk menyalahkan diri sendiri
diterima oleh masyarakat (Wahjuwibowo, dan terinternalisasinya nilai agama maupun
2018:38). budaya mengenai larangan perceraian yang
berujung pada munculnya imaji negatif atas
Karakter dalam film dari segi
perceraian (Safitri dan Amirudin, 2021:69).
penceritaannya masih mengadopsi cara
pandang masyarakat tradisional meliputi, Ibu Broto dikonstruksikan dengan
gambaran budaya kolektif yang gemar memiliki karakter dominan, kuat yang
mengomentari penampilan perempuan lain mencampuri urusan anak dan menantunya.
yang condong kearah negatif yang dilakukan Penggambaran semacam ini, secara sosial
secara tak sadar oleh para tokoh perempuan. menempatkan anak sebagai tanggung jawab
Selain itu, gambaran menempatkan istri ibunya meski sudah dewasa. Pada
yang selalu disalahkan dalam kasus masyarakat kolektifistik seperti Indonesia
perselingkuhan. Secara kultural, pandangan beban anak akan dilihat menjadi beban
itu dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua dan menciptakan suatu fenomena
istri yang salah pada suaminya sehingga helicopter parenting. Ibu Broto masih tidak
menmpatkan korban seolah seburuk terlepas dari pemikiran konservatifnya.
kejahatan itu sendiri (Sakina dan Siti,
Pada akhir film, muncul sebuah
2017:73).
gambaran codependent relationship pada
Ayu sebagai seorang istri harus karakter Yani. Meski ia memiliki karakter
menyembunyikan keinginannya untuk yang mandiri dan pekerja keras, ia
bercerai di depan mertuanya. Hal itu bisa dilekatkan dengan perempuan “bucin”
terjadi karena menurut penelitian perempuan terhadap pasangan atau Codependent
menjadi pihak yang menjunjung tinggi nilai relationship. Lagi-lagi, hal semacam itu
harmoni untuk mengamankan hubungan, ditempatkan pada perempuan karena secara
menghindari konflik, kepatuhan, menjaga kultural meski berdaya perempuan lekat
perasaan, mempertahankan nilai atau bentuk dengan sifat yang feminin yang
proteksi diri (Sanam, 2018:66-67). Terdapat membutuhkan perlindungan laki-laki. Tokoh
gambaran pemaafan berulang dari seorang Ayu di akhir adegan juga diposisikan
istri. Menurut penelitian, hal itu bisa terjadi menjadi gangguan jiwa karena berbagai
karena dipengaruhi oleh faktor budaya, tekanan yang diterimanya. Secara kultural,
orang yang memiliki tekanan identik dengan perempuan masih terdapat gestur dan
sakit jiwa dan rumah sakit jiwa. Tidak ekspresi powerless dibandingkan dengan
adanya gambaran keluarga yang menjenguk laki-laki yang menunjukan emosi powerful
dan memperhatikan Ayu di rumah sakit di (dominasi). Hal itu bisa terjadi karena
akhir adegan semakin mengucilkan dan perbedaan makna ekspresi dan emosi positif
menggiring pemikiran ODGJ harus dijauhi dan negatif dimana terharu, sedih, cemas,
dan diasingkan dari lingkungan. Padahal panik, takut dimaknai lebih positif yang
keluarga memiliki peranan penting untuk merupakan sikap yang identik dengan
proses penyembuhan. perempuan sementara tidak dengan laki-laki
(Suciati dan Agung, 2016:106). Selain itu,
Kode Simbolik
gestur dan ekspresi menggoda laki-laki
Kode simbolik merupakan kode masih disematkan pada perempuan.
pengelompokan atau konfigurasi yang
mudah dikenali sebab berulang-ulang Kode Semik

kemunculannya secara teratur melalui Kode ini juga merupakan sebuah


beragam cara dan sarana tekstual kode relasi penghubung (medium relatic
(Wahjuwibowo, 2018:38). Kode simbolik code) yang berkaitan dengan konotasi dari
akan dilihat melalui pesan-pesan nonverbal orang, tempat, objek yang pertandanya
berupa kostum, pergerakan pemain, ekspresi adalah karakter seperti sifat, predikat, atribut
dan paralinguistik. (Vera, 2015:30).

Melalui analisis kode simbolik, Ideologi dominan adalah ideologi


tindakan objektifikasi perempuan dipertegas patriarki. Perlakuan Broto menempatkan
dari pesan-pesan nonverbal yang tampak perempuan (istri) sebagai pihak yang salah
dalam leksia. Secara kostum dapat terlihat dan adanya gambaran perilaku playing
perempuan dengan peran tertentu masih victim. Merespon hal tersebut, memang
dilekatkan dengan tanda-tanda yang terdapat gambaran perlawanan perempuan,
strerotipikal yang akan memperkuat namun hanya sebatas kata-kata (perlawanan
konstruksi dominan. Secara gestur tubuh dan berupa desakan cerai, menampar,
ekspresi wajah, meski terdapat gambaran membentak) karena terdapat beban untuk
perempuan yang marah sebagai bentuk menjaga perasaan orang lain. Dalam hal ini,
perlawanan tetapi secara keseluruhan konstruksi istri diletakkan dalam posisi yang
lemah dimana tidak adanya tindakan yang Yani yang digambarkan sebagai
bisa menunjukkan pembebasan untuk perempuan yang aktif bekerja, punya
dirinya sendiri. Terdapatnya gambaran penghasilan, rajin menabung dan mandiri.
perlawanan berupa aksi yang terkuak pada Berbeda dengan Mas Bambang yang
leksia 51 menegaskan perlawanan yang dikonstruksikan sebagai pria yang “tidak
semu. Gambaran perlawanan maupun ideal” atau tubuh yang malas. Ia tak
kemarahan perempuan seringkali dianggap produktif, hanya makan, menunggu di layani
remeh dan irasional dimana hak perempuan dan merokok. Namun, Yani tidak sadar telah
untuk marah seringkali diabaikan karena dijadikan objek oleh pacarnya sendiri.
adanya tuntutan perempuan harus tampil Penggambaran sifat perempuan yang “ideal”
menjadi orang yang pemaaf, penyayang, masih dikaitkan pada peran yang harus
pelupa termasuk lupa akan kesakitan, memuaskan, melayani, di kontrol
penyesalan, kekesalan dan kelelahan seksualitasnya oleh laki-laki dan
(Prabasmoro, dalam Puspitasari dan memberikan segala sesuatu termasuk materi
Muktiyo, 2017:259). Terdapat pula mitos meskipun ia mandiri secara finansial.
perempuan yang memiliki karakter
Perlakuan Mas Bambang terhadap
dominan, bisa berpikir cepat dan menolong
Ayu menunjukkan voyeurism.
suami dalam menentukan keputusan dinilai
Ketidakmampuan tokoh laki-laki untuk
menjadi penyebab laki-laki berselingkuh dan
mengontrol hasrat seksual kemudian
gagal dalam pernikahan. Penempatan cerita
menjadikan tubuh perempuan sebagai alat
semacam ini menempatkan perempuan yang
fantasi seksual. Karakter perempuan
memenuhi karakteristik ideal akan dihargai
simpanan Anya dilekatkan dengan
sedangkan yang tak memenuhi akan dijauhi
seksualitas dan femininitas yang memiliki
dan diberi hukuman, normalitas itu ada
ciri fisik cantik, seksi, sifat sentimental,
dengan cara menyingkirkan mereka yang
lembut (Rokhmansyah, 2016:10) serta
tidak bisa memenuhi standar normal
memiliki karakter yang menguatkan
(Sulistyani, 2021:41). Pemikiran patriarkis
stereotip perempuan yang bergantung, tidak
dipertegas pada pemilihan ending yang
kompeten dan objek seks. Broto menyukai
memunculkan fenomena atau kondisi
karakter perempuan yang demikian untuk
stockholm syndrome pada tokoh Ayu.
dijadikan selingan secara konotasi untuk
mengukuhkan posisinya yang dominan
berbeda dengan Ayu yang dianggapnya Pasangan yang tidak dikaruniai anak
selalu dominan. Pemilihan jalan cerita yang dipandang sebagai ketidakmampuannya
demikian mengkonotasikan bahwa menjalani aktivitas seksual dilihat dari
perempuan yang seksi yang memiliki sifat perilaku Ibu Broto yang memberikan kiat-
yang tak dominan, serta penurut menjadi kiat berhubungan seksual. Fakta
kriteria perempuan yang layak dicintai dan membuktikan padahal ada banyak faktor
dipilih. Kriteria yang disebutkan merupakan yang menyebabkan infertilitas perempuan
standar konvensional atau normalitas seperti siklus mens, usia, masalah fungsi
patriarkis mengenai kriteria istri yang ideal seksual, penyakit tertentu, dll (Adlina,
yang pada akhirnya film membangun 2021). Ideologi patriarki juga tercermin dari
ekspektasi penonton mengenai karakteristik cara kerja kamera (terlihat pada leksia 9, 24,
istri ideal yang tak berbeda dengan 28, 29 dan 32), dimana teknik pengambilan
konstruksi ideal dominan yang berlaku gambar memunculkan kepuasan pandangan
(Sulistyani, 2021:80). bagi penonton scopophilia dan voyeurism

Objektifikasi sesama perempuan Penelitian ini secara teoritis


yang dilakukan Yani terhadap Ayu merefleksikan standpoint theory dan teori
meneguhkan konsep slut shaming dan self male gaze. Berdasarkan hasil penelitian,
depreciation yang seharusnya tidak terjadi. sudut pandang perempuan yang
Ketiadaannya respon korban dalam leksia dikonstruksikan masih terjebak dalam
mengisyaratkan perilaku normalisasi dan standpoint laki-laki. Terdapat 5 hal yang
simplikasi atas objektifikasi yang dilakukan dapat direfleksikan yakni : Fakta sosial yang
oleh sesama perempuan. Ibu Broto sebagai dipilih justru menyudutkan perempuan,
perempuan memiliki karakter dominan, pemunculan karakter perempuan simpanan
mengontrol harus terjebak karena masih terlalu dangkal dan tidak konsisten. Broto
diliputi oleh sifat “kolot” dengan diceritakan memilih berselingkuh sebab sifat
mempercayai mitos dan terkungkung pada istrinya yang tidak sesuai dengan
pemikiran gender tradisional yang keingiannya (penekanannya lebih ke sifat).
memandang sinis perempuan yang bertato Fakta memang menujukan alasan orang
dan masih menginternalisasi pemikiran berselingkuh bukan karena ciri fisik seperti
harus segera memiliki keturunan dalam kecantikan, keseksian tetapi lebih banyak
pernikahan sebagai tolak ukur kebahagiaan. karena disebabkan hilangnya kedekatan
emosional. Memang karakter Anya merepresentasikan objektifikasi perempuan,
ditonjolkan sisi feminitas yang kuat tetapi dimana objektifikasi dapat dilakukan oleh
mengapa dari hasil analisis laki-laki, sesama perempuan dan oleh
penggambarannya juga di dominasi oleh dirinya sendiri. Secara teknis melalui
adegan yang mengobjektifikasi dan pengambilan gambar, sudut pengambilan
mengedepankan seksualitas?. Lalu, terdapat gambar, musik latar dan penyuntingan juga
konstruksi perempuan androgini (Ayu, Yani mendukung objektifikasi terhadap
dan Ibu Broto) tetapi masih terjebak dalam perempuan.
wacana patriarkis, kemunculan plot samping
Mengacu pada konsep objektifikasi
justru menambah bentuk objektifikasi,
Nussbaum Langton terdapat bentuk
kurang dibangunnya sudut pandang
objektifikasi seperti : Instrumentality,
perempuan yang menunjukkan resistensi
dimana perempuan dijadikan alat pemuas
atas tindakan objektifikasi. Refleksi secara
seks laki-laki yang dimunculkan melalui
praktis film ini pada akhirnya
tokoh perempuan simpanan, pacar bahkan
mendeskreditkan perempuan kontra dengan
dalam imajinasi. Perempuan juga dijadikan
pernyataan sineas. Sineas sebetulnya bisa
alat penghasil uang dan dipandang sebagai
memilih fakta lain yang menunjukkan
instrumen yang harus menghasilkan anak
perempuan berdaya atau mengkonstruksikan
dalam relasi pernikahan. Denial of autonomy
peran perempuan simpanan berbeda dari
dan inertness, adanya pembatasan
stereotip dominan untuk menstimulasi
perempuan untuk menentukan keputusan
penonton berfikir lebih jauh. Refleksi secara
bagi dirinya sendiri seperti suami yang
sosial masyarakat harus kritis jika ideologi
menolak keinginan perceraian, perempuan
dominan teks ini terinternalisasi maka yang
tidak diberi otonomi untuk menentukan
akan terjadi adalah pelanggengan hegemoni
apakah harus memiliki anak atau tidak
patriarki serta kritis terkait posisi perempuan
(tuntutan punya anak) dan dimasukkan ke
yang masih terobjektifikasi dalam film.
rumah sakit jiwa bila tak memenuhi nilai
PENUTUP yang ditetapkan secara sosial. Ownership

Kesimpulan terlihat dari adanya relasi kepemilikan yang


tidak setara dimana laki-laki cenderung
Berdasarkan temuan penelitian,
dominan baik dalam relasi berpacaran
dapat disimpulkan film Selesai
maupun pernikahan dan adanya gambaran
playing victim untuk justifikasi pelanggaran sosial serta adanya gambaran stockholm
komitmen. Fungibility, perempuan dapat syndrome di diri perempuan sebagai korban
dipertukarkan jika dinilai tidak memenuhi perselingkuhan. Perempuan simpanan
harapan. Violability, perempuan sebagai dominan menonjolkan seksualitas dan
objek yang dapat diperlakukan kasar, feminitas yang kuat, perempuan berdaya
disakiti, boleh di rampas haknya, seperti Yani pada akhirnya dilekatkan
diselingkuhi, dirundung secara verbal sebagai pihak yang banyak berkorban dalam
maupun nonverbal. Denial of subjectivity, hal materi dan seksual (perempuan sebagai
pengalaman dan perasaannya diabaikan. pihak yang terjebak dalam codependent
Reduction of appearance, perempuan relationship) serta Ibu Broto yang dominan
direduksi nilainya atas penampilan yang terjebak dalam pemikiran kolotnya yang
tampak bahkan perempuan mereduksi menunjukkan perlakuan helicopter
penampilannya sendiri serta reduction of parenting pada anaknya. Gambaran
body dimana terdapat pemfokusan objektifikasi yang dilakukan ke sesama
perempuan melalui cara kerja kamera pada perempuan meneguhkan konsep slut
bagian tubuh tertentu. shaming, penyingkiran perempuan bertato,
Gambaran objektifikasi dalam film mitos tolak ukur kebahagian pernikahan
Selesai diiringi kurangnya resistensi serta objektifikasi diri menunjukkan
perempuan menegaskan ideologi dominan gambaran self depreciation serta
patriarki. Wacana patriarki telihat dari sifat mengidentifikasi diri sebagai sesuatu yang
tokoh utama yang tidak memenuhi standar dilihat dan digunakan terutama dalam hal
feminitas yang diharapkan secara implisit seksualitas.
ditempatkan sebagai sebab perselingkuhan
Refleksi penelitian membawa pada
itu terjadi, gambaran perlawanan perempuan
interpretasi bahwasannya film ini dari
sebatas kata-kata, terdapat pula perlawanan
banyak fakta yang ada justru dipilih
berupa aksi namun pada akhirnya
kenyataan yang menyudutkan perempuan
menunjukkan perlawanan yang semu.
karena tidak dikonstruksikan dengan andil
Pemilihan ending terhadap tokoh utama
gender. Perempuan simpanan juga
perempuan terkesan memberi sanksi sosial
dimunculkan dengan karakter yang
karena tidak bisa memenuhi nilai
problematik, dangkal dan tidak konsisten,
keperempuanan yang ditetapkan secara
kemunculan alur samping yang menambah
bentuk objektifikasi serta kurang khalayak sehingga penelitian ini tidak
dibangunnya gambaran resistensi berhenti dalam analisis teks yang sifatnya
perempuan atas tindakan objektifikasi sangat subjektif. Film ini mendapatkan
terutama dilakukan oleh sesama perempuan banyak pro dan kontra sehingga perlu untuk
karena masih kuatnya anggapan kewajaran mengetahui secara lebih mendalam dari
maupun objektifikasi diri. kedua kelompok tersebut.

Upaya sineas menyajikan isu ini Praktis


berusaha tetap mempertahankan dominan Hasil penelitian ini dapat dijadikan
karakter feminin perempuan sekaligus acuan bagi praktisi film untuk membantu
terdapat gambaran maskulinitas (androgini) memahami, mengeksplorasi dan mengubah
yang terlihat dari tokoh Yani, Ayu dan Ibu representasi perempuan dalam film. Untuk
Broto sejalan dengan pemikiran feminisme sineas terkait, agar lebih terbuka untuk
radikal libertarian. Namun, penggambaran menerima masukkan dari banyak pihak dan
perempuan yang androgini itu tidak semerta- sensitif gender dalam mengangkat isu
merta menawarkan pemberdayaan. Dalam perempuan dalam ranah privat. Film ini
kacamata kritis, hasil penelitian film ini membantah pernyataan tompi yang
kurang valid jika dijadikan bahan refleksi menyatakan tidak medeskreditkan
diri seperti yang diusung oleh sineasnya. perempuan dan hanya memaparkan fakta
sosial yang ada. Ditemukan kontradiksi
Saran
karena sudut pandang perempuan yang
Teoritis
terjebak dalam wacana patriarkis serta dari
Dengan menggunakan teknik analisis
segala fakta sosial yang ada justru dipilih
maupun teori yang sama dapat dihasilkan
yang menyudutkan perempuan dan memilih
penelitian serupa serta dapat memperkaya
menjadikan perempuan sebagai objek dari
referensi kajian ilmu komunikasi gender
segi penceritaan karena tidak
khususnya media massa. Kajian ini bisa
dikonstruksikan dengan sadar gender.
digunakan oleh akademisi sebagai
pembanding meneliti representasi Untuk pegiat film secara umum,
perempuan dalam film. Peneliti diharapkan pula untuk tidak melanggengkan
menyarankan perlunya variasi penelitian hegemoni patriarki maupun ideologi lainnya
serupa untuk memaknai isi teks dari persepsi yang berpotensi ditunjukkannya bias gender.
Representasi perempuan berdaya dalam film melihat dampak objektifikasi dalam ranah
Indonesia masih sedikit, perlunya eksplorasi privat baik pada relasi pernikahan maupun
dan pengembangan karakter perempuan hubungan berpacaran. Tidak seharusnya
melalui karya sineas laki-laki maupun masyarakat berdiam diri dan menyerah pada
perempuan agar tidak terjebak pada situasi ketidakadilan seperti yang
ketubuhan dan ketidakberdayaan atas dikonstruksikan dalam film ini.
dominasi laki-laki. Sineas laki-laki maupun
DAFTAR PUSTAKA
perempuan seharusnya bisa lebih
memanfaatkan platform media baru seperti Buku

layanan SVOD maupun TVOD untuk Griffin, EM . (2006) . A First Look At


membuat karya film yang beperspektif Communication Theory . New York :
McGraw-Hill .
gender guna menyuarakan isu perempuan.
Perkembangan internet bisa menjadi media Hall, Stuart . (1997) . Representation
Cultural Representation and
untuk menawarkan sudut pandang baru dan
SignifyingPractices .London : SAGE
tidak terjebak pada objektifikasi perempuan. Publications .

Sosial Hasfi, Nurul dan Bayu Widagdo . (2012) .


Produksi Berita Televisi . Lembaga
Masyarakat dituntut untuk lebih kritis dalam
Pengembangan dan Penjaminan
melihat penggambaran perempuan yang Mutu Universitas Diponegoro
dikonstruksikan oleh praktisi film yang Semarang
masih lekat dengan objektifikasi di Krolokke, Charlotte dan Anne Scott
dalamnya. Objektifikasi tidak melulu Sorensen .(2006) .Gender
Communication Theory & Analyses :
persoalan bagian tubuh yang ditampakkan
From Silence to Performance .
tetapi bisa dari bagaimana perlakuan California : Sage Publication .
seseorang terhadap yang lainnya tidak
Langton, R . (2009) . Sexual solipsism:
dipandang sebagai subjek misalnya Philosophical essays on
dijadikan sebagai alat mencapai tujuan, pornography and objectification .
diabaikan subjektifitasnya, diabaikan Oxford University Press .

otonomi dan agensinya, direduksi Mulvey, Laura . (1989) . Visual Pleasure


penampilannya, mudahnya digantikan, and Narrative Cinema (Visual and
Other Pleasure) . London : Palgrave
mendapat kekerasan dan lain sebagainya.
Macmillan .
Masyarakat juga dituntut untuk sadar
Rokhmansyah, Alfian .(2016) .Pengantar pembelajaran agama Islam. Al-
Gender dan Feminisme .Yogyakarta Bidayah: jurnal pendidikan dasar
: Penerbit Garudhawaca Islam, 2(1).

Sobur, Alex .(2018) .Semiotika Komunikasi Puspitasari, Aprilia Hening dan Widodo
.Bandung:PT Remaja Rosda Karya . Muktiyo .(2017) .Menggugat
Stereotip “Perempuan Sempurna” :
Sulistyani, Hapsari Dwiningtyas . (2021) . Framing Media terhadap Perempuan
Narasi Perempuan di Dalam Film : Pelaku Tindak Kekerasan. Palestren,
Sebagai Ibu, Teman dan Perempuan 10(2):248-272
Pesanan . Surabaya : Cipta Media
Nusantara . Safitri, Zulfa dan Amirudin .(2021)
.Keputusan Perempuan Memaafkan
Tong, Rosemarie Putnam .(1998) .Feminist Ketidaksetiaan Pasangan. Endogami
Thought .Yogyakarta : Jalasutra . : Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi,
Vera, Nawiroh .(2015) .Semiotika dalam 4(2) : 61-70.
Riset Komunikasi . Bogor :Ghalia Sakina, A. I. (2017). Menyoroti budaya
Indonesia . patriarki di Indonesia. Share: Social
Wahjuwibowo, Indiwan Seto .(2018) Work Journal, 7(1):71-80.
.Semiotika Komunikasi Suciati, Rina dan Muhammad Agung.
.Jakarta:Mitra Wacana (2016). Perbedaan Ekspresi Emosi
Media pada orang Batak, Jawa, Melayu dan
Jurnal Minangkabau. Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sultan
Mulia, P. B. (2018). Cross-cutting: Sarif Kasim Riau, 12(2).
Pembentukan Konflik Dalam Film
“Haji Backpacker”. Ekspresi Seni: Skripsi
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Sanam, Zerlinda Christine Aldira .(2018)
Seni, 19(2) : 193-208. .Self Silencing Pada Perempuan
Nussbaum, M. C. (1995). Menikah di Timor Timur. Skripsi.
Objectification. Philosophy & Public Universitas Sanata Dharma
Affairs, 24(4) : 249-291. Yogyakarta .

Popa, T., dan Delcea, C. (2020). Voyeurism Internet


and Scopophilia. Theoretical- Adlina, Atifa. (2021). Infertilitas Pada Pria
experimental Models in Sexual and dan Wanita, Apa Penyebabnya?.
Paraphilic Dysfunctions, 64. Dalam
Purnama, S. (2010). Elemen warna dalam https://hellosehat.com/kehamilan/kes
pengembangan multimedia uburan/masalah-kesuburan/ 10-
pertanyaan-untuk-masalah- Tompi Jawab Kritik Soal Perempuan di Film
kesuburan/ . Diunduh pada 17 Mei Selesai. cnnindonesia.com. Dalam
2022 pukul 15 .48 WIB. https://www.cnnindonesia.com/hibur
an/20210820113805-220-
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap 682912/tompi-jawab-kritik-soal-
Perempuan. (2022). Catatan perempuan-di-film-selesai .Diunduh
Kekerasan Terhadap perempuan pada tanggal 4 November 2021
Tahun 2022. Dalam pukul14.00 WIB.
https://komnasperempuan
.go.id/download-file/816. Diunduh
pada tanggal 17 September 2022
pukul 14.00 WIB.

Nabilah, Dyta. (2021). Film 'Selesai' Tuai


Kritik, Ini Tanggapan Tompi Selaku
Sutradara Dalam
https://www.urbanasia.com/film-
selesai-tuai-kritik-ini-tanggapan-
tompi-selaku-sutradara-U40137.
Diunduh pada tanggal 7 November
2021 pada 19.00 WIB.

Nabilla, Farah. (2021). Film Selesai Dikritik


Habis-habisan, Opini Tompi Soal
Wanita Seksi Disorot. Dalam. Dalam
https://www.suara.com
/entertainment/2021/08/20/112318/fi
lm-selesai-dikritik-habis-habisan-opi
ni-tompi-soal-wanita-seksi-disorot.
Diunduh pada tanggal 4 November
2021 pukul14.00 WIB.

Stereotipe Gender Masih Kental di Industri


Film dan Iklan.
Mediaindonesi a.com. Dalam
https://mediaindonesia.com/humanio
ra /263769/stereotipe-gender-masih-
kental-di-industri-film-dan-iklan.
Diunduh pada tanggal 15 Oktober
2021 pukul 15.00 WIB.

You might also like