You are on page 1of 18

LAPORAN KASUS

TINEA KRURIS

Pembimbing:

dr.Diah Putri W

Oleh:

dr. Farrah Azizah Ahzahra

Dokter Internsip

Periode 09 Agustus 2022- 8 Februari 2023

PUSKESMAS KAMPUS PALEMBANG


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Berkat rahmat-Nya


laporan kasus Tinea Kruris ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini merupakan bagian
dari sistem pembelajaran internsip di Puskesmas Kampus Palembang periode 9 Agustus
2022 – 8 Februari 2023. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih
banyak kepada dr Diah Putri W, sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, masukan dan kesempatan untuk mengikuti proses pemeriksaan pada
pasien sehingga tugas ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah ini, semoga
bermanfaat.

Palembang, 09 Agustus 2022

Farrah Azizah Ahzahra


DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………... 1

Daftar Isi …….........……………………………………………………………... 2

BAB 1 Pendahuluan .........……...……………………………………………….. 3

BAB 2 Tinjauan Pustaka ……....………………………………………………... 4

BAB 3 Ilustrasi Kasus......……………………………………………………...... 15

BAB 4 Pembahasan ……….……………………………………………...…… 22

Daftar Pustaka …………………………………………………………………... 23


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi jamur superfisial memiliki prevalensi yang cukup tinggi di


Indonesia, karena Indonesia merupakan Negara beriklim tropis yang mempunyai
kelembaban yang tinggi. Jamur bisa hidup dan tumbuh dimana saja, baik di udara,
tanah, air, kain, bahkan di tubuh manusia. Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada
lipat, paha, perineum, dan sekitar anus. Tinea kruris sering terjadi pada laki-laki
disbanding perempuan, dengan perbandingan 3:1. Orang dewasa lebih sering dijumpai
daripada anak-anak. Kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi risiko penyakit ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatomikosis
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang disebabkan oleh
dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali C.
albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus, Geotrichum,
Alternaria, dan lainnya. Trauma merupakan port d’entree untuk masuknya jamur ke dalam
kulit.
Dermatomikosis terbagi menjadi tipe superfisial dan profunda. Tipe superfisial
terbagi menjadi dermatofitosis (tinea) dan non dermatofitosis (pitiriasis versikolor,
otomikosis). Tipe profunda, antara lain kandidosis dan sporotrikosis. Kandidiasis terdapat di
seluruh dunia, mengenai selaput lendiri berupa oral thrush, perleche, vulvovaginitis,
balanitis/balanopostitis, kandidosis mukokutan kronis, kandidosis bronkopulmonal dan paru.
Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non dermatofitosis.
Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies microsporum, trichophyton,
dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum), kuku
dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et
manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan non dermatofitosis terdiri dari
pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato
mikosis
2.2 Dermatofita
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan Dermatofitosis. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti (jamur yang belum diketahui dengan pasti cara pembiakan
secara generatif), yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Selain keratofilik, masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita.
Misalnya sifat faal, taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya,
dan penyebab penyakit.
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik Transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik,
dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent “carrier”)
b. Zoofilik Transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik Transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu bertahan dalam
lingkungan host., menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia host untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya infeksi
dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati
dan di antara sel serta pembentukan respon host.
2.3 Tinea kruris
2.3.1. Tinea kruris
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum,
Dobie itch, Jock itch, Ringworm of the groin yang termasuk golongan dermatofitosis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit
dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Trichophyton rubrum (T.
Rubrum) merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum (E. Floccosum).
2.3.2. Epidemiologi
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan
tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Laki-laki pasca
pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25 tahun
serta 40-50 tahun. Etiologi Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton
floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang di sebabkan oleh microsporum
gallinae.
2.3.3. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas,
lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang berlebihan,
trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris memberikan
kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan perkembangan infeksi
jamur. Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan
sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi
dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak langsung dengan
penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual. Tetapi bisa
juga melalui kontak tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian,
handuk, sprei, bantal dan lain-lain”. Obesitas, penggunaan antibiotika, kortikosteroid
serta obat-obat imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.

2.3.4. Patogenesis
Patogenesis Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau
binatang yang terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya
pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi
dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit
sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari
bagian tubuh lain. Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari.
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan
flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang
di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik.
b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang
juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai
lapisan terdalam epidermis
c. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun
penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting
dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita
sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopiton hasilnya
negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen
dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke
tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel
yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh.
2.3.5. Gejala
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dari keluhan tambahan rasa gatal
hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia,
ruam kulit berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari pustula atau papula,
eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak berkeringat. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini
menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan

2.3.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan
1. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut
adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan
larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan.
Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di
atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasansudah
cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom
blue black. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat
adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di
luar rambut (ekrotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat
terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
2. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabaroud.
3. Lampu wood. Tidak semua dermatofita akan berflouresensi dibawah sinar
ultraviolet. Beberapa dermatofita yang memberikan hasil yang positif pada
pemeriksaan ini antara lain spesies zoofilik M.canis dan M.audouinii yang
menyebabkan tinea kapitis akan memberikan fluoresensi hijau kebiruan, tinea
versikolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur yang berfluoresensi kuning
pudar sampai putih dan eritrasma oleh karena Corynebacterium minutissimum
yang berpendar merah koral terang. Tes ini memiliki sensitivitas yang rendah dan
hanya mendeteksi 50% infeksi oleh M. canis.
2.3.7. Diagnosis
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis,
dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan
lampu wood pada spesies tertentu. Pada pemeriksaan dengan KOH 10– 20%, tampak
dermatofit yang memiliki septa dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan
untuk menentukan spesies jamur penyebab dermatofitosis.
2.3.8. Diagnosis Banding
1. Dermatitis seboroik : Kelainan kulit pada dermatitis seboroika walaupun
menyerupai tinea corporis, biasanya dapat terlihat pada tempat predileksi lain,
seperti kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit (contoh: belakang telinga),
daerah nasolabial, dan sebagainya.Gambaran klinis yang khas dari dermatitis
seboroika adalah skuamanya yang berminyak dan kekuningan.
2. Psoriasis Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema
pada bagian pinggir sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya adalah pada
psoriasis terdapat tanda-tanda khas seperti skuama kasar, transparan serta
berlapis-lapis, fenomena tetes lilin, dan fenomena auspitz. Psoriasis juga
memiliki tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
punggung.
3. Ptiriasis rosea Pitiriasis rosea memiliki distribusi kelainan kulit yang simetris dan
terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan. Perbedaannya pada
pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis dan
skuamanya halus, sedangkan pada tinea corporis skuamanya kasar. Pitiriasis
rosea dapat sulit dibedakan dengan tinea korporis apabila tidak ditemukan herald
patch pada pitiriasis rosea. Pemeriksaan laboratorium yang dapat memastikan
diagnosisnya.
2.3.9. Tatalaksana
Penatalaksanaan dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan secara oral
(sistemik) maupun topikal. Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis.
Berikut adalah pilihan obat untuk dermatofitosis
a. Sistemik
1. Terbinafin Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin, dosisnya 62,5mg – 250mg sehari bergantung pada
berat badan. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10%
penderita, yang tersering adalah gangguan gastrointestinal diantaranya
nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek
samping lain dapat berupa gangguan pengecapan yang bersifat sementara.
Sefalgia ringan juga dapat terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada
3,3 – 7%.
2. Itrakonazol Antijamur sistemik turunan triazol ini erat hubungan dengan
ketokonazol. Intrakonazol biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
kapsul. Intrakonazol merupakan pilihan yang baik sebagai pengganti
kotekonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila diberika lebih
dari 10 hari.
3. Ketokonazol Ketokonazol adalah turunan imidazol pertama digunakan untuk
pengobatan oral mikosis sistemik. ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada
kasus resisten griseofulvin dapat diberikan 200mg per hari. Obat tersebut
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar Efek samping mual dan
muntah paling sering dijumpai. Efek samping selanjutnya hepatotoksisitas,
ginekomastia pada laki-laki dan ketidakteraturan menstruasi pada wanita.
4. Griseofulvin Griseofulvin berasal dari Penicillium griseovulvum.
Griseofulvin digunakan untuk pengobatan infeksi dermatofit Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton. Griseofulvin microsize tersedia 250mg,
dan tablet 500 mg dan dalam 125 mg/5 mL suspensi. griseofulvin dalam
bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 gram untuk orang
dewasa dan 0,25 – 0,5 gram untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per kg
BB. Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan
utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping yang
lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan
diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi
hepar.
b. Topikal Pengobatan topikal memiliki beberapa keuntungan yaitu sedikit efek
samping dan interaksi dengan obat lain, pengobatan terlokalisir pada tempat yang
sakit, dan biaya yang murah.6,7,10
1. Mikonazol. Merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil,
mempunyai spetrum antijamur yang lebar terhadap jamur dermatofit..
Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol krim 2%, dosis
dan lama pengobatan tergantung dari kondisi pasien, diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Efek samping pemakaian topikal
Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kulit.
Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli
menghindari pemakaian pada kehamilan trimester pertama.
2. Klotrimazol mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan
mekanisme kerja mirip mikonazol. Pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan krim klotrimazol 1%, dosis dan lama pengobatan tergantung
kondisi pasien, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema, gatal,
dan urtikaria.
3. Ketokonazol. Pengobatan menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk
krim.
4. Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal
apabila terpapar lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur.
Tersedia dalam bentuk salep, krim, bedak spray powder, sabun, dan
cairan. Salep asam undesilenat mengandung 5% asam undesilenat dan
20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi.
Efektifitas masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat.
5. Siklopiroksolamin adalah antijamur topikal spektrum luas. Pengobatan
infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.
Reaksi iritatif dapat terjadi walaupn jarang.
6. Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan
konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.
7. Asambenzoat dan asamsalisilat. Merupakan kombinasi asam benzoat dan
asam salisilat dalam perbandingan 2:1 (6% dan 3%) yang dikenal sebagai
salep Whitflied. Asam benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam
salisilat sebagai keratolitik sehingga menyebabkan deskuamasi keratin
yang mengandung jamur. Preparat ini sering menyebabkan iritasi ringan
dan pemakaian kurang menyenangkan karena salep ini berlemak
c. Edukasi
1. Jangan biarkan pakaian anda basah karena keringat
2. Jangan bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
3. Gunakan pakaian yang menyerap keringat dan ganti setiap hari
4. Gunting kuku tangan dan kaki.
5. Cuci tangan dan mandi dengan air bersih.
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

No. RM : 46.06.01

Nama : Tn. G

Tempat/ Tanggal lahir : Palembang, 15 Desember 1957


Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Muhajirin IV.

Pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Swasta

Status Perkawinan : Kawin

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Bercak gatal di lipat paha sejak 3 hari yang lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh bercak gatal di lipat paha sejak 3 hari yang lalu, gatal
bertambah ketika berkeringat dan saat cuaca panas. Awalnya keluhan berupa
bentol kecil kemudian menjadi bercak yang melebar, keluhan di tempat lain
tidak dirasakan. Keluhan demam tidak ada.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa tidak pernah dirasakan. Riwayat asma, alergi obat, diabetes
melitus dan hipertensi tidak ada.
4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa keluarga


5. Riwayat Sosial

Pasien mengaku kerja serabutan, pasien mandi 1-2x sehari, pasien lebih
sering menggunakan celana panjang bahan dasar dan jeans. Celana dicuci
setelah beberapa kali dipakai.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. STATUS GENERALIS

a. Keadaan Umum : Tampak baik, BB: 71 TB : 165 IMT: 26 (overweight)

b. Kesadaran : Compos mentis

c. Tekanan Darah : 135/88 mmHg

d. Frekuensi Napas : 20x /menit

e. Frekuensi Nadi : 90x /menit

f. Suhu : 36,5 O C

g. Kepala

Normosefal, rambut hitam, sebagian beruban, tidak mudah dicabut.

h. Mata

Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

i. Hidung

Normosepta, secret -/-, hiperemis -/-

j. Telinga

Normotia

k. Mulut

Oral hygiene baik

l. Leher

Pembesaran KGB -/-, massa-/-

m. Thoraks
Paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba simetris di kedua lapang paru.
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
n. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra


Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi: bunyi jantung I, II regular, murmur (-), gallop (-)

o. Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) pada regio epigastric


Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+)

p. Kulit

Pada regio inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas
tegas, tersusun polisiklik, dengan tepi aktif dan central healing disertai
skuama halus ditengahnya.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
BSS 140 <200
E. RESUME

Laki-laki usia 65 tahun mengeluh bercak gatal di lipat paha kiri sejak 3 hari yang
lalu, gatal terutama saat berkeringat dan cuaca panas. Bercak juga dirasa melebar
oleh pasien

PF: KU baik, TD: 137/88 mmHg, N: 90x/menit, P: 20x/menit, S: 36.5 C

Kulit: Pada regio inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas
tegas, tersusun polisiklik, dengan tepi aktif dan central healing disertai skuama halus.

F. DIAGNOSIS

Tinea kruris

G. PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa

 Menjaga kebersihan diri

 Mandi minimal 2x sehari

 Mengganti pakaian dalam minimal 2xsehari

 Memakai pakaian longgar dan menyerap keringat

 Tidak bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain

Medikamentosa

 Mikonazole cream 2% 2 x sehari setelah mandi selama 2-4 minggu

 Loratadin 1 x 10 mg

H. PROGNOSIS
Bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Dermatofitosis adalah dermatomikosis superfisial yang paling sering dialami.
Dermatofitosis terjadi di daerah tropis, salah satunya Indonesia karena suhu yang panas dan
kelembaban yang tinggi merupakan keadaan yang sangat disukai jamur. Faktor lain seperti
higienitas yang buruk, imunitas yang rendah juga akan meningkatkan risiko terjadinya
dermatofitosis.
Pada kasus seorang laki-laki usia 65 tahun mengeluh bercak gatal di lipat paha kiri
sejak 3 hari yang lalu, pasien mengeluh gatal terutama saat berkeringat dan cuaca panas.
Pasien mengatakan sehari-hari dirinya lebih sering menggunakan celana panjang bahan dasar
dan jeans, celana tersebut dicuci setelah beberapa kali dipakai. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan IMT 26 yaitu pasien overweight, pada efloresensi kulit didapat Pada regio
inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas tegas, tersusun polisiklik,
dengan tepi aktif dan central healing disertai skuama ditengahnya. Pada pemeriksaan lab BSS
didapatkan gula darah pasien normal sehingga pasien tidak memiliki faktor risiko DM.
Berdasarkan anamnesis dan efloresensi kulit yang khas ditemui, pasien dicurigai mengalami
tinea kruris. Tatalaksana pasien berupa salep kulit mikonazole cream 2% 2x sehari, dan
loratadin 1x 10 mg, serta pasien di edukasi untuk selalu menjaga kebersihan diri, memakai
pakaian yang menyerap keringat, dan rutin mengganti pakaian setiap hari, dan tidak bertukar
pakaian dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2011.
2. Ramali LM. Skin and Sexually Transmitted Infection Updates in Daily Practice. Hal: 114.
Bandung: FKUNPAD
3. Widati S dan Budimulja U. 2015. Dermatofitosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah
S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indoneisa. Dalam: Budimulya U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ketiga Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.h. 1-6
5. Verma S, and Hefferman MP. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B,
Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in Genera Medicine 7th ed. p.1807-
21. New York: McGraw-Hill
6. DjuandaAdhi.Mikosis.Dalam:DjuandaAdhi,HamzahMochtar,AisahSiti,editor. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin; edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.p. 89-105.
7. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007.h.571-84.

You might also like