Professional Documents
Culture Documents
TINEA KRURIS
Pembimbing:
dr.Diah Putri W
Oleh:
Dokter Internsip
2.1 Dermatomikosis
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang disebabkan oleh
dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali C.
albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus, Geotrichum,
Alternaria, dan lainnya. Trauma merupakan port d’entree untuk masuknya jamur ke dalam
kulit.
Dermatomikosis terbagi menjadi tipe superfisial dan profunda. Tipe superfisial
terbagi menjadi dermatofitosis (tinea) dan non dermatofitosis (pitiriasis versikolor,
otomikosis). Tipe profunda, antara lain kandidosis dan sporotrikosis. Kandidiasis terdapat di
seluruh dunia, mengenai selaput lendiri berupa oral thrush, perleche, vulvovaginitis,
balanitis/balanopostitis, kandidosis mukokutan kronis, kandidosis bronkopulmonal dan paru.
Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non dermatofitosis.
Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies microsporum, trichophyton,
dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum), kuku
dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et
manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan non dermatofitosis terdiri dari
pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato
mikosis
2.2 Dermatofita
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan Dermatofitosis. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti (jamur yang belum diketahui dengan pasti cara pembiakan
secara generatif), yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Selain keratofilik, masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita.
Misalnya sifat faal, taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya,
dan penyebab penyakit.
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik Transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik,
dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent “carrier”)
b. Zoofilik Transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian, atau
sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik Transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu bertahan dalam
lingkungan host., menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia host untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya infeksi
dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati
dan di antara sel serta pembentukan respon host.
2.3 Tinea kruris
2.3.1. Tinea kruris
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum,
Dobie itch, Jock itch, Ringworm of the groin yang termasuk golongan dermatofitosis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit
dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Trichophyton rubrum (T.
Rubrum) merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum (E. Floccosum).
2.3.2. Epidemiologi
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan
tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Laki-laki pasca
pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25 tahun
serta 40-50 tahun. Etiologi Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton
floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang di sebabkan oleh microsporum
gallinae.
2.3.3. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas,
lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang berlebihan,
trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris memberikan
kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan perkembangan infeksi
jamur. Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan
sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi
dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak langsung dengan
penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual. Tetapi bisa
juga melalui kontak tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian,
handuk, sprei, bantal dan lain-lain”. Obesitas, penggunaan antibiotika, kortikosteroid
serta obat-obat imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.
2.3.4. Patogenesis
Patogenesis Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau
binatang yang terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya
pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi
dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit
sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari
bagian tubuh lain. Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari.
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan
flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang
di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik.
b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang
juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai
lapisan terdalam epidermis
c. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun
penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting
dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita
sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopiton hasilnya
negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen
dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke
tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel
yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh.
2.3.5. Gejala
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dari keluhan tambahan rasa gatal
hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia,
ruam kulit berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari pustula atau papula,
eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak berkeringat. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini
menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan
A. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 46.06.01
Nama : Tn. G
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh bercak gatal di lipat paha sejak 3 hari yang lalu, gatal
bertambah ketika berkeringat dan saat cuaca panas. Awalnya keluhan berupa
bentol kecil kemudian menjadi bercak yang melebar, keluhan di tempat lain
tidak dirasakan. Keluhan demam tidak ada.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa tidak pernah dirasakan. Riwayat asma, alergi obat, diabetes
melitus dan hipertensi tidak ada.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku kerja serabutan, pasien mandi 1-2x sehari, pasien lebih
sering menggunakan celana panjang bahan dasar dan jeans. Celana dicuci
setelah beberapa kali dipakai.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS GENERALIS
f. Suhu : 36,5 O C
g. Kepala
h. Mata
i. Hidung
j. Telinga
Normotia
k. Mulut
l. Leher
m. Thoraks
Paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba simetris di kedua lapang paru.
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
n. Jantung
o. Abdomen
Inspeksi : Datar
p. Kulit
Pada regio inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas
tegas, tersusun polisiklik, dengan tepi aktif dan central healing disertai
skuama halus ditengahnya.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laki-laki usia 65 tahun mengeluh bercak gatal di lipat paha kiri sejak 3 hari yang
lalu, gatal terutama saat berkeringat dan cuaca panas. Bercak juga dirasa melebar
oleh pasien
Kulit: Pada regio inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas
tegas, tersusun polisiklik, dengan tepi aktif dan central healing disertai skuama halus.
F. DIAGNOSIS
Tinea kruris
G. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Medikamentosa
Loratadin 1 x 10 mg
H. PROGNOSIS
Bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Dermatofitosis adalah dermatomikosis superfisial yang paling sering dialami.
Dermatofitosis terjadi di daerah tropis, salah satunya Indonesia karena suhu yang panas dan
kelembaban yang tinggi merupakan keadaan yang sangat disukai jamur. Faktor lain seperti
higienitas yang buruk, imunitas yang rendah juga akan meningkatkan risiko terjadinya
dermatofitosis.
Pada kasus seorang laki-laki usia 65 tahun mengeluh bercak gatal di lipat paha kiri
sejak 3 hari yang lalu, pasien mengeluh gatal terutama saat berkeringat dan cuaca panas.
Pasien mengatakan sehari-hari dirinya lebih sering menggunakan celana panjang bahan dasar
dan jeans, celana tersebut dicuci setelah beberapa kali dipakai. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan IMT 26 yaitu pasien overweight, pada efloresensi kulit didapat Pada regio
inguinalis sinistra tampak plak soliter, berukuran plakat, batas tegas, tersusun polisiklik,
dengan tepi aktif dan central healing disertai skuama ditengahnya. Pada pemeriksaan lab BSS
didapatkan gula darah pasien normal sehingga pasien tidak memiliki faktor risiko DM.
Berdasarkan anamnesis dan efloresensi kulit yang khas ditemui, pasien dicurigai mengalami
tinea kruris. Tatalaksana pasien berupa salep kulit mikonazole cream 2% 2x sehari, dan
loratadin 1x 10 mg, serta pasien di edukasi untuk selalu menjaga kebersihan diri, memakai
pakaian yang menyerap keringat, dan rutin mengganti pakaian setiap hari, dan tidak bertukar
pakaian dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2011.
2. Ramali LM. Skin and Sexually Transmitted Infection Updates in Daily Practice. Hal: 114.
Bandung: FKUNPAD
3. Widati S dan Budimulja U. 2015. Dermatofitosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah
S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indoneisa. Dalam: Budimulya U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ketiga Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.h. 1-6
5. Verma S, and Hefferman MP. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B,
Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in Genera Medicine 7th ed. p.1807-
21. New York: McGraw-Hill
6. DjuandaAdhi.Mikosis.Dalam:DjuandaAdhi,HamzahMochtar,AisahSiti,editor. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin; edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.p. 89-105.
7. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007.h.571-84.