You are on page 1of 26

1.

Definis perencanaan partisipatif

 Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap
pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi
dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004,
dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk
mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan
rencana pembangunan.

 Perencanaan partisipatif adalah sebuah pendekatan untuk memberikan


kesempatan bagi masyarakat terlibat secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan terkait urusan-urusan publik agar keputusan
yang diambil memiliki dasar informasi yang mendekati sempurna
(Quasi-Perfect Information) dengan tingkat penerimaan masyarakat
yang tinggi.

 Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses


perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah
rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku
pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua
aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif),
masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional,
organisasi-organisasi non-pemerintah.

 Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode


perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat
yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.

 Menurut Abe (2005:47) perencanaan partisipatif yang melibatkan


masyarakat akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam
pembangunan, yaitu: terhindar dari peluang terjadinya manipulasi,
memberikan nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan, serta
meningkatkan kesadaran dan ketrampilan politik masyarakat.

2. Sasaran rencana partisipatif

Perencanaan Partisipatif
Perencanaan pembangunan kabupaten menggunakan kerangka kerja
partisipatif yang disebut dengan perencanaan pembangunan partisipatif .
Perencanaan pembangunan partisipatif menghendaki adanya keterlibatan aktif
dan optimal dari seluruh pemangku kepentingan stakeholders yang ada di
kabupaten, pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan
menciptakan rasa memiliki. Pemerintah kabupatenkota dalam membuat
perencanaan tetap harus mengacu kepada dokumen pembangunan provinsi
dan dokumen perencanaan pembangunan nasional. Jadi, perencanaaan
pembangunan partisipatif ini memadukan antara proses perencanaan yang
bergerak dari bawah ke atas bottom-up dan proses perencanaan yang bergerak
dari atas kebawah top down. Perencanaan Partisipatif adalah perencanaan
yang dalam tujuannnya melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya
melibatkan rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan untuk
kepentingan rakyat, yang bila dirumuskan dengan tanpa melibatkan rakyat
maka akan sulit dipastikan bahwa rumusannya berpihak pada rakyat. Menurut
Alexander Abe 2005, perencanaan partisipatif akan mempunyai

Dampak penting yaitu: 1. Terhindar dari peluang terjadinya


manipulasi. 2. Memberikan nilai tambah pada legitimasi rumusan
perencanaan. 3. Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik rakyat.
Konsep perencanaaan pembangunan partisipatif, jika dikaitkan dengan
pendapat friedman, sebenarnya merupakan suatu proses politik untuk
memperoleh kesepakatan bersama collegtiveagreement melalui aktivitas
negosiasi antar seluruh pemangku kepentingan stakeholders pembangunan.
Proses politik ini dilakukan secara transparan dan aksesibel sehingga
masyarakat memperoleh kemudahan mengetahui setiap proses pembangunan
yang dilaksanakan serta setiap tahap perkembangannya. Dalam hal ini
perencanaan partisipatif ini dirancang sebagai sebuah alat pengambilan
keputusan yang diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik antar
stakeholder pembangunan. Perencanaan partisipatif ini juga dapat dipandang
sebagai instrumen pembelajaran masyarakat social learning secara kolektif
melalui interaksi antar seluruh pelaku actor pembangunan tersebut.
Pembelajaran ini pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh
stakeholder dalam upaya pencapaian tujuan, arah dan sasaran pembangunan.
Selain sebuah proses politik, perencanaan partisipatif ini juga merupakan
sebagai sebuah proses teknis. Dalam proses ini yang lebih ditekankan adalah
peran dan kapasitas fasilitator untuk mendefenisikan dan mengidentifikasi
stakeholder secara tepat. Selain itu proses ini juga diarahkan untuk
memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan rencana
tindak kolektif, serta melakukan mediasi konflik kepentingan dalam
pemanfaatan sumberdaya publik.

Menurut Wiyoso 2009 : 194, konsep partisipasi masyarakat dapat


dicapai apabila masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan
yang menyangkut kepentingan mereka. Namun, partisipasi masyarakat dalam
memberdayakan mereka tidak cukup apabila sifatnya hanya mobilisasi atau
indoktrinasi. Demikian juga pemberdayaan masyarakat tidak dapat mencapai
hasil yang optimum apabila partisipasi hanya bersifat konsolidasi. Maka
bentuk partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat perlu dipahami
secara baik. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan
keleluasaan pada masyarakat agar mereka dapat menentukan pilihan-pilihan
dalam menanggapi dinamika kehidupan yang berubah sehingga perubahan
sesuai dengan yang akan mereka sepakati dan terapkan. Dalam pembangunan
yang sentralistik dan top-down partisipasi cenderung bersifat manipulatif
indoktrinasi. Masyarakat biasanya pasif dan hanya menerima tanpa pernah
dilibatkan dalam dialog dan komunikasi, sehingga partisipasi ini bersifat satu
arah dimana kerjasama sebagai bagian terpenting dalam partisipasi tidak atau
kurang berjalan. Keputusan-keputusan yang diambil bukan berdasarkan pada
kesepakatan-kesepakatan tetapi lebih ditentukan oleh kepentingan-
kepentingan yang berkuasa mendominasi atau mereka yang merencanakan
program. Karena suasana tata kehidupan masyarakat telah berubah menuju
demokrasi maka partisipasi seharusnya berubah ke arah yang lebih
mengikutsertakan berbagai pihak stakeholder yang terlibat dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Partisipasi dalam bentuk saling hubungan yang
terwujud atas dasar saling memerlukan dan kerjasama secara wajar equal
dengan upaya yang saling menguntungkan. Equal tidak hanya sekedar dalam
bentuk struktur dan fungsi tetapi dalam tanggungjawab bersama atas resiko
dan konsekuensi dari kesepakatan bersama. Untuk itu, menurut Wiyoso 2009 :
194, dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut : 1. Adanya peluang untuk memberikan saran dan perhatian
sehingga setiap orang mempunyai kontribusi dalam forum diskusi
pengambilan keputusan. 2. Dibutuhkan komunikasi dua arah. 3. Adanya
upaya untuk saling memahami dan posisi saling bernegosiasi, dan berdialog,
serta semangat toleransi dengan seluruh anggota kelompok masyarakat. 4.
Dalam setiap diskusi tidak hanya sekedar menghasilkan keputusan tetapi
secara bersama-sama memikirkan implikasi dan akibat dari keputusan yang
diambil menyangkut keuntungan dan hambatan dan kemungkinan kerugian. 5.
Dalam interaksi ada proses saling belajar dan upaya untuk mengoptimalkan
hasil melalui metode partisipatoris yaitu berusaha melakukan proses evaluasi
untuk menimbulkan kesadaran diri masyarakat.

3. Pentinya perencanaan partisipatif

Esensi pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang dilaksanakan


dengan mengoptimalkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen;
pembangunan yang mengaktualkan perilaku kepublikan (transparansi,
konsistensi, akuntabilitas dan kepastian hukum); pembangunan yang
berorientasi pada peningkatan kemandirian, kredibilitas, kemitraan dan
keunggulan (K4). Conyers (1991:154- 155) menjelaskan tiga alasan utama
mengapa partisipasi masyarakat penting dalam proses pembangunan, yaitu:

(1) partisipasi masyarakat dapat menjadi “telinga” untuk memperoleh


informasi mengenai kondisi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat;

(2) efektifitas dan efesiensi dari program atau proyek pembangunan akan
lebih mudah dicapai, apalagi dalam kondisi kontribusi masyarakat dapat
mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan untuk suatu implementasi
pembangunan; dan (3) partisipasi secara etik-moral merupakan hak demokrasi
bagi rakyat, sehingga dengan partisipasi yang maksimal pemerintah sudah
otomatis meredam potensi resistensi dan proses sosial bagi efek-efek samping
pembangunan.

4. Pronsisp perencaan partisipatif

 Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:

1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses


perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan
keputusan penyusunan renstra SKPD;

2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam


pengambilan keputusan;

3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;


4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama
kaum perempuan dan kelompok marjinal;

5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD

6. Ada pelibatan media;

7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan


keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan
tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.

 Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:

1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses


perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan
keputusan penyusunan renstra SKPD;

2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam


pengambilan keputusan;

3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;

4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama


kaum perempuan dan kelompok marjinal;

5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD

6. Ada pelibatan media;

7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan


keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan
tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program

Menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat


sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat
untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan
aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
Model perencaan partisiptif

Menurut Nugroho (2003), model kebijakan pilihan publik merupakan proses


formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan
ataskeputusan tersebut. Pada intinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna
(beneficiaries atau customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan
publik dengan demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok
kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik
yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk
mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil
keputusan. Model Kerangka Konseptual perencanaan partisipatif dalam
konteks pembangunan daerah dituangkan dalam gambar skema seperti
dibawah ini:
5. Tahpan tahPan perencanaan partisipatif

ISBN 978-602-50710-6-5 Jakarta, 23 – 25 Maret 2018 KNAPPPTMA KE-7


Prosiding Konferensi Nasional Ke- 7 Asosiasi Program Pascasarjana
Perguruan Tinggi Muhammadiyah „Aisyiyah (APPPTMA) 175 1. Tahap
partisipasi dalam pengambilan keputusan, Pada umumnya, setiap program
pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan
alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat,
yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-
kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan
kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang
memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam
proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di
wilayah setempat atau di tingkat lokal (Mardikanto, 2003: 60).
2. Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan Rizal (2001: 34)
membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi dalam tahap
perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan, partisipasi dalam tahap
pemanfaatan. Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang
paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam
tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut membuat keputusan yang
mencakup merumuskan tujuan, maksud dan target. Salah satu metodologi
perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya
kemampuan yang berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam
mengontrol dan ketergantungan mereka terhadap sumber-sumber yang
dapat diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para perencana
teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan
ini, peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan
akhir sebab mereka yang akan menanggung kehidupan mereka. Oleh
sebab itu, sistem perencanaan harus didesain sesuai dengan respon
masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu esensial
dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai
informasi yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis
atasan (Widodo, 2006: 19).

3. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Partisipasi masyarakat


dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat
banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela
menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain pihak,
lapisan yang ada di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang kaya) yang
lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak dituntut
sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi masyarakat
dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan
sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau
beragam bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang
akan diterima oleh warga yang bersangkutan (Mardikanto, 2003: 69).

4. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan Kegiatan


pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat
diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan,
tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-
masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang
bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku
aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2003: 80).

5. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan Partisipasi dalam


pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang sering
terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu
hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan
merupakan tujuan utama. Di samping itu, pemanfaaatan hasil
pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat
untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan
datang (Mardikanto, 2003: 85).

6. RUANG LINGKUP

Tuang lingkup Perencanaan partisipatif

a. Inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat terkait dengan program


yang akan dilaksanakan;

b. Metode dan media yang akan digunakan dalam perencanaan program;

c. Sosialisasi rencana program pada masyarakat;


d. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat;

e. Penetapan indikator dan evaluasi program

Pengertian Partisipasi Menurut Para Ahli

Adapun definisi partisipasi menurut para ahli, antara lain:

1. Price dan Mylius (1991), Partisipasi berarti keterlibatan penerima manfaat


dalam perencanaan, desain, implementasi dan pemeliharaan intervensi
pembangunan selanjutnya. Ini berarti bahwa orang-orang dimobilisasi,
mengelola sumber daya dan membuat keputusan yang mempengaruhi
kehidupan mereka.

2. Agarwal (2001), Dalam arti sempit, partisipasi adalah dalam istilah


keanggotaan nominal dan paling luas dalam hal proses interaktif dinamis di
mana semua pemangku kepentingan, bahkan yang paling kurang beruntung,
memiliki suara dan pengaruh dalam pengambilan keputusan.

3. H.A.R. Tilaar (2009), Pengertian partisipasi adalah sebagai sebagai wujud


dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi
yang memerlukan perencanaan dari bawah (button-up) dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan
masyarakatnya.

4. Keith Davis, Makna partisipasi adalah sebagai suatu keterlibatan mental dan
emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di
dalamnya. Berdasarkan defenisi tersebut kunci pemikirannya ialah
keterlibatan mental dan emosi.
Teori Partisipasi

Teori partisipasi mewakili perpindahan dari strategi global, aspasial dan top-down
yang mendominasi inisiatif pembangunan awal ke metodologi yang lebih sensitif
secara lokal. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam literatur mengenai asal
mula teori partisipasi, terdapat konsensus bahwa teori tersebut berasal dari ilmu
politik dan teori pembangunan.

Pentingnya partisipasi tumbuh dari pengakuan bahwa dunia miskin benar-benar


menderita sebagai akibat dari pembangunan, dan bahwa setiap orang perlu dilibatkan
dalam keputusan, pelaksanaan dan manfaat pembangunan.

Slamet (2003:8) menyatakan bahwa ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama
apabila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu:

1. Partisipasi politik (political participation)

Konsep partisipasi yang satu ini lebih berorientasi pada “mempengaruhi” dan
“mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintah dibandingkan
partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi social (social participation)

Konsep yang satu ini menempatkan partisipasi sebagai beneficiary atau pihak di luar


proses pembangunan dalam hal konsultasi atau pengambilan keputusan pada seluruh
tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan hingga penilaian,
pemantauan, evaluasi dan implementasi.

Pada dasarnya, partisipasi sosial dilakukan untuk menguatkan proses pembelajaran


dan mobilisasi sosial. Atau dengan kata lain, tujuan utama dari proses sosial bukanlah
pada kebijakan publik itu sendiri melainkan keterlibatan komunitas dalam kebijakan
publik yang diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

3. Partisipasi warga (citizen participation/citizenship)

Konsep yang satu ini menekankan partisipasi langsung warga dalam pengambilan
keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan. Partisipasi warga bukan hanya
sekedar kepedulian kepada penerima derma atau kaum yang tersisih menuju
kepedulian dengan beragam bentuk keikutsertaan warga dalam penyusunan kebijakan
dan pengambilan keputusan pada berbagai gelanggang kunci yang berpengaruh
terhadap kehidupan mereka.
Partisipasi warga berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang
berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik.

Jenis Partisipasi

Sundariningrum (Sugiyah, 2010:38) mengklasifikasikan partisipasi menjadi dua yang


didasarkan pada cara keterlibatannya, yaitu:

1. Partisipasi langsung, yaitu partisipasi yang terjadi jika individu


menunjukkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi langsung
terjadi jika setiap orang bisa mengajukan pandangan, membahas pokok
permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau
terhadap ucapannya.

2. Partisipasi tidak langsung, yaitu partisipasi yang terjadi jika individu


mendelegasikan hak partisipasinya pada orang lain

Cohen dan Uphoff (Siti Irene A.D., 2011:61) membagi pasrtisipasi menjadi empat
jenis, yaitu:

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan, yaitu partisipasi yang berkaitan


dengan penentuan alternatif dengan masyarakat yang berhubungan dengan
gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam partisipasi
jenis ini, masyarakat menuntut untuk turut menentukan arah dan orientasi
pembangunan.Partisipasi dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan
misalnya menghadiri rapat, diskusi, sumbangan pemikiran, tanggapan atau
penolakan terhadap program yang ditawarkan.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan suatu program, yaitu partisipasi yang dapat


dilakukan dengan cara misalnya menggerakkan sumber daya, dana, kegiatan
administrasi, koordinasi dan penjabaran program.

3. Partisipasi dalam pengambilan manfaat, yaitu partisipasi yang tidak lepas


dari hasil pelaksanaan program yang sudah dicapai baik yang berkaitan
dengan kuantitas maupun kualitas. Dari segi kualitas, bisa dilihat dari
peningkatan output, sedangkan dari segi kuantitas bisa dilihat seberapa besar
prosentase keberhasilan program.

4. Partisipasi dalam evaluasi, yaitu partisipasi masyarakat dalam hal evaluasi


yang berkaitan dengan pelaksanaan program secara menyeluruh. Partisipasi
tersebut bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang telah
direncanakan sebelumnya.

Partisipasi merupakan kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam


merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan. Partisipasi adalah proses komunikasi dua arah yang
berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara
penuh atas suatu proses kegiatan. Partisipasi berarti peran serta seseorang atau
sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk
pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan
berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut
memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Berikut definisi dan pengertian partisipasi dari beberapa sumber buku:

 Menurut Sumaryadi (2010), Partisipasi adalah peran serta seseorang atau


kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk
pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran,
tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil -hasil pembangunan. 

 Menurut Tilaar (2009), partisipasi adalah sebagai wujud dari keinginan untuk
mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan
antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan
masyarakatnya. 

 Menurut Adi (2007), partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses


pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan
dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani
masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat
dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. 

 Menurut Dewi, Fandeli dan Baiquni (2013), Partisipasi masyarakat


merupakan suatu hak yang dimiliki masyarakat untuk ikut andil dalam
pengambilan keputusan di dalam tahapan proses pembangunan, mulai dari
awal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pelestarian lingkungan.
Disini masyarakat tidak hanya sebagai penerima fasilitas maupun manfaat
tetapi sebagai subjek pembangunan yang berkesinambungan. 

Prinsip-prinsip Partisipasi Masyarakat 

Menurut Department for International Development (DFID) dalam Panduan


Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif (Sumampouw, 2004), prinsip-prinsip
partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena
dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan. 

2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap


orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai
hak untuk menggunakan prakarsa tersebut dalam setiap proses guna
membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-
masing pihak. 

3. Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan komunikasi


dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan
dialog. 

4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai


pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan
kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. 

5. Kesetaraan tanggung jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak


mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya
kesetaraan kewenangan (Sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya. 

6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas


dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga
melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses
saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.

7. Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk
saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada,
khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
Jenis-jenis Partisipasi Masyarakat 

Menurut Dwiningrum (2011), partisipasi dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama


berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan
gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Wujud partisipasi
dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan
gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau
penolakan terhadap program yang ditawarkan.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan. Partisipasi ini meliputi menggerakkan


sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program.
Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang
telah digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan maupun tujuan.

3. Partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam pengambilan


manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang
berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat
dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari persentase
keberhasilan program. 

4. Partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi berkaitan dengan


pelaksanaan program yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam
evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah
direncanakan sebelumnya.

Menurut Slamet (1993), partisipasi masyarakat dalam pembangunan terdiri


dari tiga bentuk, yaitu:

1. Partisipasi dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada


tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan
rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu
kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan aktif dalam mengikuti
rapat warga dan juga ikut memberikan usulan, saran dan kritik pada rapat
tersebut. 
2. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi
pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan
pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang
ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya
pada pekerjaan tersebut. 

3. Partisipasi dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap


ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu
proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada
tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara
proyek yang telah dibangun.

Sedangkan menurut Wazir (1999), berdasarkan karakteristiknya partisipasi


dapat digolongkan dalam tujuh jenis, yaitu:

BACA JUGA

 Politik Uang / Money Politic (Pengertian, Unsur, Jenis, Bentuk dan


Strategi)

 Pemasaran Politik (Pengertian, Bauran dan Strategi Kampanye)

 Dana Desa - Pengertian, Tujuan, Mekanisme dan Pengelolaan

 Kecerdasan Interpersonal

1. Partisipasi pasif/manipulatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara


diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; pengumuman sepihak oleh
manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan
masyarakat; informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional
di luar kelompok sasaran. 

2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi. Masyarakat berpartisipasi


dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam
kuesioner atau sejenisnya; masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat
dan mempengaruhi proses penyelesaian; akurasi hasil penelitian tidak dibahas
bersama masyarakat.

3. Partisipasi melalui konsultasi. Masyarakat berpartisipasi dengan cara


berkonsultasi; orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-
pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan
pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; tidak
ada peluang bagi pembuat keputusan bersama; para profesional tidak
berkewajiban mengajukan pandangan-pandangan masyarakat (sebagai
masukan) untuk ditindaklanjuti.

4. Partisipasi untuk insentif materiil. Masyarakat berpartisipasi dengan cara


menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan makanan,
upah, ganti rugi, dan sebagainya; masyarakat tidak dilibatkan dalam
eksperimen atau proses pembelajarannya; masyarakat tidak mempunyai andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang
disediakan/diterima habis.

5. Partisipasi fungsional. Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk


kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek;
pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama
yang disepakati; pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada
pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu mandiri. 

6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang


mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru
atau penguatan kelembagaan yang telah ada; partisipasi ini cenderung
melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman perspektif dalam
proses belajar yang terstruktur dan sistematik; kelompok-kelompok
masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka,
sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan.

7. Self mobilization. Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif


secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-
sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; masyarakat mengembangkan
kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan
teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; masyarakat memegang kendali atas
pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Tingkatan Partisipasi Masyarakat 

Menurut Arnstein (1969, terdapat delapan tingkatan dalam partisipasi


masyarakat, yaitu sebagai berikut:

a. Manipulasi (Manipulation) 
Manipulation merupakan tingkat partisipasi yang paling rendah dan sebagai
tangga pertama dari delapan anak tangga partisipasi. Pada tingkatan ini
pemerintah membuat program pembangunan kemudian membentuk komite
(Badan Penasehat) untuk mendukung pemerintah. Dengan dibentuknya
komite tersebut, pemerintah memanipulasi masyarakat sehingga munculnya
anggapan bahwa program tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Partisipasi masyarakat hanya dijadikan kendaraan oleh pemerintah, sehingga
mengakibatkan tidak adanya peran serta masyarakat.

b. Terapi (Therapy) 

Therapy merupakan tangga kedua. Pada tingkatan ini, terapi digunakan untuk
merawat atau menyembuhkan penyakit masyarakat akibat adanya kesenjangan
antara masyarakat kaya dan miskin ataupun kesenjangan kekuasaan dan
kesenjangan ras yang telah menjadi penyakit di masyarakat. Pada tingkat ini,
pemerintah membuat berbagai program pemerintah yang hanya bertujuan
untuk mengubah pola pikir masyarakat seperti proses penyembuhan pasien
dalam terapi sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah psikologis
masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan (sense of powerless),
tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting
dalam masyarakat.

c. Pemberian Informasi (Informing) 

Informing merupakan tangga ketiga. Tingkatan ini merupakan transisi antara


non participation dengan tokenism. Pada tingkat ini terdapat 2 karakteristik
yang bercampur, yaitu:

1. Pemerintah memberi informasi mengenai hak, tanggung jawab, dan berbagai


pilihan masyarakat, hal ini adalah langkah pertama menuju partisipasi
masyarakat.

2. Pemberian informasi hanya bersifat komunikasi satu arah (dari pemerintah


kepada masyarakat) berupa negosiasi terhadap rencana program yang akan
dilakukan, tanpa adanya umpan balik (feedback) dari masyarakat sehingga
kecil kemungkinan untuk mempengaruhi rencana program pembangunan
tersebut. Media massa, poster, pamflet dan tanggapan atas pertanyaan,
merupakan alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah.

d. Konsultasi (Consultation) 

Consultation merupakan tangga keempat. Pada tingkatan ini pemerintah


memberi informasi dan mengundang opini masyarakat. Tingkat ini merupakan
tingkat yang sah menuju tingkat partisipasi penuh. Komunikasi dua arah ini
sifatnya tetap buatan (artificial)karena tidak dijadikannya ide-ide dari
masyarakat sebagai bahan pertimbangan. Bentuk konsultasi masyarakat
adalah survei tentang pola pikir masyarakat, pertemuan antar tetangga, dan
dengar pendapat publik. Di sini partisipasi tetap menjadi sebuah ritual yang
semu.

e. Perujukan (Placation) 

Placation merupakan tangga kelima. Pada tingkatan ini masyarakat sudah


mulai mempunyai pengaruh terhadap program pemerintah, ini terbukti sudah
adanya keterlibatan masyarakat yang ikut menjadi anggota komite (badan
kerjasama) yang terdiri dari wakil-wakil dari instansi pemerintah. Dengan
kata lain, pemerintah membiarkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk
memberikan saran atau usul, tetapi keputusan masih dipegang oleh elit
kekuasaan. Hal ini disebabkan jumlah masyarakat pada anggota komite masih
terlalu sedikit dibandingkan dengan anggota instansi pemerintah.

f. Kemitraan (Partnership) 

Partnership merupakan tangga keenam. Pada tingkatan ini masyarakat


memiliki kekuatan bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Pemerintah
membagi tanggung jawab dengan masyarakat terhadap perencanaan,
pengambilan keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai
permasalahan melalui badan kerjasama. Setelah ada kesepakatan tidak
dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak.

g. Pelimpahan Kekuasaan (Delegated Power) 

Delegated Power merupakan tangga ketujuh. Pada tingkat ini, masyarakat


diberi limpahan kekuasaan untuk membuat keputusan pada rencana atau
program-program pembangunan yang bermanfaat bagi mereka. Untuk
memecahkan permasalahan yang ada, pemerintah harus mengadakan tawar
menawar dibandingkan dengan memberi tekanan kepada masyarakat.

h. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control) 

Citizen Control merupakan tangga kedelapan dan merupakan tingkat


partisipasi tertinggi. Pada tingkat ini, masyarakat mempunyai kekuatan penuh
untuk mengukur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan
kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan penuh dibidang
kebijaksanaan dan masyarakat dapat langsung berhubungan dengan pihak-
pihak luar untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melalui
perantara pihak ketiga.

Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat 

Menurut Sumaryadi (2010), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi


partisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut:

1. Kesediaan suatu komunitas untuk menerima pemberdayaan bergantung pada


situasi yang dihadapinya. 

2. Pemikiran bahwa pemberdayaan tidak untuk semua orang, dan adanya


persepsi dari pemegang kekuasaan dalam komunitas tersebut bahwa
pemberdayaan dapat mengorbankan diri mereka sendiri. 

3. Ketergantungan adalah budaya, dimana masyarakat sudah terbiasa berada


dalam hirarki, birokrasi dan kontrol manajemen yang tegas sehingga membuat
mereka terpola dalam berpikir dan berbuat dalam rutinitas. 

4. Dorongan dari para pemimpin setiap komunitas untuk tidak mau melepaskan
kekuasaannya, karena inti dari pemberdayaan adalah berupa pelepasan
sebagian kewenangan untuk diserahkan kepada masyarakat sendiri. 

5. Adanya batas pemberdayaan, terutama terkait dengan siklus pemberdayaan


yang membutuhkan waktu relatif lama dimana pada sisi yang lain kemampuan
dan motivasi setiap orang berbeda-beda. 
6. Adanya kepercayaan dari para pemimpin komunitas untuk mengembangkan
pemberdayaan komunitasnya. 

7. Pemberdayaan tidak kondusif bagi perubahan yang cepat. 8. Pemberdayaan


membutuhkan dukungan sumber daya (resource) yang besar, baik dari segi
pembiayaan maupun waktu.

PARTISPATIF….

A.    Perencanaan

Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan


perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya
(maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan
efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan
tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan
oleh siapa.

Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan


sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta
menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi
di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang
diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.

Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang


berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi
tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.

B.     Perencanaan Partisipatif

Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan


yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana
dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan
(stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara
negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia
usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode
perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang
diposisikan sebagai subyek pembangunan.

Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan.
Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa
memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi
masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka
dalam proses penyusunan rencana pembangunan.

C.     Tujuan Perencanaan Partisipatif

Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya


sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan
merumuskan solusi yang paling menguntungkan.

D.     Prinsip-Prinsip Perencanaan Partisipatif

1.       Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam


proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses
pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD;

2.      Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders


dalam pengambilan keputusan;

3.       Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;

4.       Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat,


terutama kaum perempuan dan kelompok marjinal;

5.       Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD

6.       Ada pelibatan media;


7.       Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting
pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan,
perumusan tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.

E.     Filosofi Perencanaan Partisipatif

Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan


pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah
sampai penentuan skala prioritas.

F.      Manfaat Perencanaan Partisipatif

1.      Sebagai pendorong masyarakat dalam merubah kebutuhan masyarakat


dari keinginan (felt need) menjadi nyata (real need), sehingga Pelaksanaan
program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat.

2.      Perencanaan dapat menjadi stimulasi terhadap masyarakat, untuk


merumuskan den menyelesaikan masalahnya sendiri;

3.      Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial,


ekonomi, dan budaya serta kearifan lokal, sehingga memenuhi kebutuhan
masyarakat;

4.      Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak


terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya
dan begitu pula program itu berkesinambungan;

5.      Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam


proses, khususnya dalam pengambilan dan pertanggungjawaban keputusan,
sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan);

6.      Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel


berdasarkan keadaan setempat;

7.      Memberikan transparansi akibat terbuka lebarnya informasi dan


wewenang;
8.      Memberikan kesempatan masyarakat untuk menjadi mitra dalam
perencanaan.

G.    Metode Perencanaan Partisipatif

1.      Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)

Teknik untuk menyusun dan mengembangkan program yang operasional


dalam pembangunan desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasi
sumberdaya manusia, alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat
peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan
masyarakat, serta mampu pula melesetarikan sumber daya setempat

Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam
merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan
wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.

Teknik PRA antara lain: (1) Secondary Data Review (SDR)- Tinjau Data
Sekuder; (2) Direct Observation-Observasi Langsung; (3) Semi-Structured
Interviewing (SSI)-Wawancara Semi Tersruktur; (4) Focus Group Discussion
(FGD)-Diskusi Kelompok Terfokus; (5) Preference Ranking and Scoring; (6)
Direct Matrix Ranking; (7) Peringkat Kesejahteraan; (8) Pemetaan Sosial; (9)
Transek (Penelusuran); (10) Kalender Musim; (11) Alur Sejarah; (12) Analisa
Mata Pencaharian; (13) Diagram Venn; (14) Kecenderungan dan Perubahan.

2.      Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)

Pengumpulan informasi dari pihak luar (outsider), kemudian data dibawa


pergi, dianalisa dan peneliti tersebut membuat perencanaan tanpa
menyertakan masyarakat. RRA lebih bersifat “penggalian informasi”,
sedangkan PRA dilaksanakan bersama-sama masyarakat, mulai dari
pengumpulan informasi, analisa, sampai perencanaan program. 

3.      Metode Kaji-Tindak Partisipatif

Esensinya menunjuk pada metodologi Participatory Learning and Action atau


belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama, aksi
refleksi partisipatif. Penggunaan istilah PLA dimaksudkan untuk menekankan
pengertian partisipatif pada proses belajar bersama masyarakat untuk
pengembangan. Kajian partisipatif menjadi dasar bagi tindakan partisipatif.
Jika dari suatu tindakan terkaji masih ditemui hambatan dan masalah, maka
kajian partisipatif diulang kembali untuk menemukan jalan keluar, demikian
seterusnya.

H.    Contoh partisipasi masyarakat dalam pembangunan

1.      Masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan


dari program yang telah ditetapkan pemerintah

2.      Anggota masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan


keputusan.

3.      Anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan


tentang cara pelaksanaan sebuahproyek dan ikut serta sebagai fasilitator

I.       Contoh penerapan partisipasi masyarakat dalam kehidupan


masyarakat Indonesia :

1.      Mapalus di Minahasa

2.      Makombong di Enrekang

3.      Gotong Royong di Jawa

4.      Budaya konsensus (musyawarah) dalam kehidupan masyarakat di


Indonesia.

J.      Tahapan penerapan partisipasi di Indonesia

1.      Tahun 1970 ; Konsep-konsep kemandirian dan prinsip-prinsip


pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah dicantumkan
dalam GBHN, dimana kebijakan pembangunan masih sangat
bersifat sentralistik
2.      Tahun 1980 ; Telah menemukan cara pendekatan dengan partisipasi.
Dan berhubung penerapan partisipasi sangat rumit maka
penerapannya cenderung kembali ke praktek-praktek sentralistik

3.      Tahun 1999 ; Dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999, tentang


Otonomi Daerah maka pendekatan sentralistik mulai diubah ke arah
pendekatan desentralistik.

You might also like