Professional Documents
Culture Documents
Syarat-syarat UAS
- Open Hp
- Indivudal
Soal-soal UAS:
1. Berikan penjelasan dan dalil tentang bunga bank, bank syariah dan konvensional?
Jelaskan!
2. Berikan penjelasan dan dalil hukum karikatur nabi dan film nabi!
3. Berikan penjelasan dan dalil hukum deteksi Janin!
4. Nikah bagian dari kesempurnaan iman seseorang. Bagaimana hukum persoalan nikah
beda agama? Jelaskan!
5. Bagaimana menyikapi masalah perbedaan penentuan tanggal hijriyah dengan
pemerintah. Jika seseorang diminta pendapat hukumnya!
Jawaban :
1. Dalil yang Menjelaskan Kesamaan Bunga Bank dengan Riba
وما أثيثم من ربا ليزبو في أموال الناس فال يربو عند هللا وما أثيثم من زكاة تريدون وجه هللا فأولئك هم المضعفون
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)." (Q.S Ar-Rum: 39)
Ayat diatas telah menjelaskan definisi riba, dimana riba dinilai sebagai harga yang
ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Apabila mengacu
pada ayat ini, jelas bahwa bunga bank menurut islam merupakan riba.
Sebagaimana Tafsir Jalalayn yang berbunyi:
"(Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih
banyak dari apa yang telah ia berikan; pengertian "sesuatu" dalam ayat ini dinamakan
tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah" (Tafsir Jalalayn, Surat Ar-Rum:39)
Surat Ar-Rum ayat 39 juga menjelaskan bahwa Allah SWT membenci orang-orang
yang melakukan riba (memberikan harta dengan maksud agar diberikan ganti yang lebih
banyak). Mereka tidak akan memperoleh pahala di sisi Allah SWT, sebab perbuatannya itu
dilakukan demi memperoleh keuntungan duniawi tanpa ada keikhlasan.
"Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan
untuk menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkahi"
(Tafsir Quraiys Shibab, Surat Ar-Rum: 39)
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Al musyrikat meliputi semua wanita musyrik, baik
yang menyembah berhala, beragama Yahudi, maupun Nasrani. Riwayat dari syarh bin
Hawasyib bahwasanya dia mendengar Abdullah bin Abbas berkata: "Rasulullah SAW
melarang menikahi berbagai macam wanita kecuali wanita yang mu'minah dan yang
berhijrah dan Rasulullah melarang untuk menikahi wanita yang beragama selain Islam.
Hukum nikah beda agama di Indonesia
Berdasarkan kompilasi hukum Islam pasal 40 poin c dikatakan bahwa: dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keberadaan
tertentu yaitu: c. wanita yang tidak beragama Islam. Di Indonesia berdasarkan FATWA MUI
Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA, menetapkan
Dan memutuskan bahwa:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah..
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab menurut qaul
mu'tamad,adalah haram dan tidak sah." Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda
agama di Indonesia adalah Haram atau dilarang.
Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam
masyarakat Indonesia. Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama
saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. Seiring dengan
kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh
masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah tengah masyarakat adalah
masalah pernikahan. Hal ini setidaknya merupakan akibat dari dua hal: pertama, lemahnya
pemahaman agama, kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga
budaya budaya yang terkesan "modern" lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.
Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau
pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan
keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara. Al-Qur'an dengan tegas melarang
pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman
Allah SWT dalam al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 221, QS. Al-Maidah ayat 5, dan al
Mumtahanah ayat 10.
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa para wali nikah mempunyai peranan yang
cukup besar dalam kelangsungan perkawinan puteri-puterinya atau wanita yang berada di
bawah perwaliannya, sehingga mereka diperintahkan untuk tidak mengawinkan wanita-
wanita Muslimah yang di bawah perwaliannya dengan orang musyrik. Terkait dengan
pandangan mayoritas ulama yang tidak memasukkan ahlul kitab dalam terminologi musyrik,
itu bukan berarti bahwa wanita beriman boleh kawin dengan pria ahlul kitab.
Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman
adalah perbedaan akidah. Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran,
dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka.
Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan harmonis antara suami dan isteri, ataupun antara
keluarga yang berbeda keyakinan ini, jika nilai-nilai yang mereka anut, tidak hanya berbeda,
tetapi bertentangan. Pasangan yang musyrik, tentu akan berupaya waktu memberikan
pengaruh akidahnya kepada pasangannya yang Muslim, baik lewat ucapan maupun
perbuatan.
Bila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil pengaruh
kesyirikan itu akan masuk sedikit demi sedikit tanpa disadari, dan akhirnya tanpa disadari
mereka sudah tidak lagi berbeda dari pasangannya yang musyrik itu. Selain itu, faktor lain
dari larangan perkawinan dengan orang musyrik itu adalah anak.
5. Jika terjadi perbedaan, sebaiknya tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan karena
Nabi menegaskan perbedaan merupakan rahmat. Karena itu, perlu kearifan para ulama
mewujudkan toleransi mazhab dengan cara efektif. Pertama, perlu reorientasi pendidikan
keagamaan berwawasan toleransi, dari pendidikan dasar penting diajarkan realitas perbedaan
pendapat dan bagaimana menghargainya. Kedua, perlu upaya serius tokoh agama, semisal
NU dan Muhammadiyah meningkatkan mutu pendidikan pada masing-masing umat. Dalam
konteks ini, puasa Ramadhan hendak menjadi teladan mengendalikan diri, berempati, dan
bersimpati. Sebaliknya, saat seseorang intoleran dan melakukan bermacam tindak kesalahan
lain, dia dikalahkan hawa nafsunya.
Perbedaan pendapat dalam masalah hisab dan rukyat keduanya justru bermuara dari
semangat untuk menunaikan ajaran Allah SWT yakni al-qur'an dan hadits. Walaupun
terkadang perbedaan tersebut mengundang polemik yang berimplikasi pada disharmonitas di
kalangan umat Islam sendiri. Dalam perkembangannya permasalahan ini tidak hanya berkutat
pada hal yang bersifat akademik-ilmiah saja, akan tetapi di sisi lain ada hal yang juga
berperan dalam perbedaan penentuan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menimalisir terjadinya perbedaan
baik dari segi administratif maupun teknis. Namun hingga saat ini belum ditemukan
formulasi yang tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dari sinilah pemerintah
dalam hal ini Menteri Agama, dalam menyikapi persoalan hisab rukyat, dapat berdiri di atas
semua golongan dengan mengkaji secara akademik ilmiah atau bersikap netral tanpa tendensi
politis di dalamnya. Keputusan atas dasar tersebut juga wajib dipatuhi oleh seluruh warga
negara di bawah naungan pemerintah. Tidak ada satu pun metode hisab rukyat yang bersifat
qath'i, mutlak benarnya. Semuanya bersifat dzanni, dugaan atas dasar keyakinan
kebenarannya. Rukyat belum tentu benar, bisa jadi objek yang disangka hilal sebenarnya
bukan. Hisab atas dasar wujudul hilal atau imkan rukyat belum tentu benar, masih ada yang
bisa diperdebatkan. Kriteria astronomi tidak mutlak benarnya, sebagaimana tidak mutlaknya
suatu kebenaran ilmiah. Maka dengan bukti-bukti pengamatan yang lebih banyak dan analisis
teoritik yang lebih mendalam, kriteria itu pun harus diubah.
Dengan demikian, beragam kriteria yang dipakai oleh ormas-ormas Islam haruslah
dapat disatukan dalam satu kriteria yang dapat diterima oleh semua golongan. Dalam hal
penyatuan hari raya adalah permasalahan yang bersifat umum dimana kemaslahatannya
mencakup hajat hidup orang banyak. Apabila masing-masing ormas tetap pada pendapatnya
maka kesatuan dalam berhari raya tidak akan pernah tercapai. Masalah ijtihadiyah yang
selalu diperbincangkan bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Pemerintah adalah pengayom
yang wajib diikuti secara syar'i demi kemaslahatan umat dan terwujudnya ukhuwah dalam
berhari raya.