Professional Documents
Culture Documents
Makalah Psikologi Konseling
Makalah Psikologi Konseling
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Edukasi Kesehatan Mental dalam Komunitas dan
Program Kesehatan Mental dalam Komunitas” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas dari Ibu Nancy Naomi Aritonang, M.Psi, Psikolog pada mata kuliah
Psikologi Konseling di Universitas HKBP Nomensen Medan. Selain itu, kami juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang edukasi kesehatan mental.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Nancy Naomi Aritonang,
M.Psi, Psikolog selaku dosen mata kuliah Psikologi Konseling. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan untuk kami. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa banyak
kekurangan dan kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah ini,
Kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Akhirnya bila ada kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Salah satu
alternatifnya adalah menginisiasi dan mengoptimalkan peran kadar sehat jiwa di tingkat desa
atau kelurahan. Para kader sehat jiwa dapat menjadi perpanjangan tangan psikolog untuk deteksi
dini masalah kesehatan jiwa di level yang lebih mikro, seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun
Warga (RW). Agar kader memiliki kemampuan untuk membantu tugas psikolog, kader sehat
jiwa dapat diberikan peningkatan kompetensi berupa pelatihan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi gejala umum masalah kesehatan jiwa yang banyak terjadi di wilayah tersebut,
misalnya skizofrenia atau gangguan depresi. Tugas utama kader adalah mengidentifikasi gejala
awal, bukan memberikan diagnosis. Identifikasi awal ini dapat dilakukan lewat kunjungan ke
rumah orang dengan gangguan jiwa, observasi perilaku, atau melalui informasi yang
disampaikan oleh masyarakat. Kader dapat dibekali dengan pedoman observasi dasar oleh
psikolog. Bila ditemukan kasus masalah kejiwaan, kader dapat merujuknya kepada psikolog.
Sistem ini mampu memberdayakan komunitas dengan memberikan peran yang lebih besar
terhadap anggota masyarakat untuk mengidentifikasi masalah di wilayah masing-masing. Selain
itu, psikolog juga dapat berjejaring dan mampu menjangkau wilayah layanan yang lebih luas
lewat pendekatan individual, kelompok, dan komunitas. (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Sistem pemberdayaan komunitas dan peningkatan peran kader sehat jiwa sangat mungkin
meningkatkan jumlah temuan kasus gangguan kejiwaan di satu wilayah. Dengan demikian,
jumlah temuan kasus tidak bisa menjadi indikator tunggal penentu kualitas layanan kesehatan
jiwa. Harus ada faktor lain seperti jumlah klien yang pulih, jumlah tenaga kesehatan jiwa yang
tersedia, dan jenis intervensi yang diberikan.
Merujuk Riskesdas 2018, Provinsi Bali dan DIY merupakan dua provinsi dengan kasus
skizofrenia atau gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia. Apakah jumlah kasus ini
mengindikasikan layanan kesehatan jiwa yang kurang optimal di Bali dan DIY? Belum tentu.
Batasan operasional yang digunakan oleh Riskesdas adalah kasus gangguan jiwa berat (psikosis
atau skizofrenia) yang dapat dikenali dan diidentifikasi oleh awam. Jadi, bagi wilayah yang
masyarakatnya sudah cukup teredukasi dengan isu kesehatan jiwa, apalagi bila wilayah tersebut
sudah memiliki psikolog di tingkat kabupaten-bahkan kecamatan, sangat mungkin temuan kasus
juga tinggi karena masyarakat tahu gejala seperti apa yang dapat dikenali sebagai masalah
gangguan kejiwaan. Saat menjalani praktik kerja profesi di Sleman (DIY), saya kerap bertemu
dengan klien yang tahu gejala-gejala umum gangguan jiwa, seperti munculnya delusi dan
halusinasi.
Selain diterapkan pada level masyarakat, kader sehat jiwa pun dapat diaplikasikan di
instansi pendidikan. Sekolah sudah lama memiliki Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang bisa
menjadi payung untuk kader sehat jiwa. Dengan makin meningkatnya masalah kesehatan jiwa di
usia anak dan remaja, peran kader sehat jiwa di sekolah menjadi penting untuk memberikan
pengetahuan serta bantuan psikologis awal bila terjadi kasus di antara siswa.
Misalnya, untuk kasus deteksi dini risiko bunuh diri, profesional dapat memberikan
informasi awal mengenai gejala awal seseorang yang berisiko melakukan perilaku melukai diri
sendiri. Bila masyarakat awam memahami gejala awal tersebut, mereka dapat merujuk atau
minimal mendampingi rekan/keluarga/sahabatnya yang mengalami masalah kesehatan mental.
Ada beberapa gejala yang dapat dideteksi oleh awam terkait risiko bunuh diri (APA, 2019).
Gejala-gejala tersebut adalah:
1. Berbicara mengenai ide bunuh diri
2. Punya masalah dalam pola makan dan tidur
3. Menunjukkan perubahan perilaku yang drastis
4. Menarik diri dari aktivitas sosial
5. Hilang minat untuk sekolah, bekerja, dan melakukan hobi
6. Ada indikasi menyiapkan surat wasiat
7. Pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya
8. Menyerahkan kepemilikan barang-barang berharga ke orang lain
9. Sering melakukan perilaku berisiko yang sebenarnya tidak perlu
10. Pernah kehilangan sesuatu yang amat dicintai (orang/hewan peliharaan/barang)
11. Terobsesi pada kematian dan rasa sakit
12. Kehilangan minat untuk merawat diri
13. Penggunaan alkohol dan narkotika yang meningkat.
Bila Anda menemukan satu atau lebih dari gejala tersebut pada orang terdekat, Anda
dapat segera memberikan dukungan psikologis awal dengan prinsip 3L (look, listen, link).
Cermati kondisinya (look). dengarkan masalahnya (listen), dan rujuklah kepada profesional
(psikolog/psikiater) bila dibutuhkan (link). Lakukan mulai dari diri sendiri dan orang terdekat
kita.
Studi Kurniawan dan Sulistyarini (2017) di Perdukuhan X, Sleman (Daerah Istimewa
Yogyakarta) menunjukkan bahwa edukasi kesehatan mental efektif dilakukan di dalam
komunitas masyarakat tingkat perdukuhan (setingkat di atas RW dan di bawah koordinasi desa).
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan psikologi komunitas dan berfokus untuk
memahami prinsip preventif untuk mencegah munculnya gangguan kejiwaan. Dengan demikian,
tujuan utama dalam riset psikologi komunitas ialah untuk memahami relasi individu dalam
sebuah sistem kemasyarakatan. Sistem ini dapat berperan sebagai faktor pendukung atau
penghambat dalam penanganan masalah kesehatan mental. Intervensi kesehatan mental berbasis
komunitas efektif membantu petugas di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dasar dalam
melakukan identifikasi dini masalah kejiwaan. Selain itu, intervensi dalam skala komunitas dapat
dilakukan untuk tujuan promotif (kelompok netral) dan preventif (kelompok rentan) terhadap isu
kesehatan mental di satu wilayah. Pelibatan masyarakat dalam menginisiasi komunitas yang
peduli terhadap isu kesehatan jiwa terbukti efektif untuk meningkatkan kesadaran kolektif
terhadap pentingnya kesehatan jiwa serta membantu kinerja profesional di bidang kesehatan
mental. Kesimpulannya, pemahaman masyarakat terhadap isu kesehatan mental dapat
dioptimalkan melalui psikoedukasi dan pembentukan kader sehat jiwa di tingkat RT, RW, Desa,
atau Kelurahan (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Gangguan kejiwaan pada level sedang dan berat tidak hanya berdampak terhadap
emosional saja, tetapi juga dapat berpengaruh terhadap performa kerja, hambatan dalam
pendidikan dan sosial, hingga meningkatkan risiko kematian. Itulah mengapa deteksi dini dan
penanganan awal menjadi penting untuk meningkatkan peluang pulih orang dengan masalah
kejiwaan. Psikolog, dalam peran preventif di komunitas, dapat memberikan edukasi terkait gejala
awal yang dapat dialami oleh orang dengan masalah kejiwaan. Dengan informasi tersebut,
seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan kejiwaan dapat memahami cara
identifikasi dan intervensi dasar untuk masalah kejiwaan (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Komunitas/masyarakat juga dapat diberikan edukasi mengenai identifikasi dan dampak
gangguan emosional dalam skala ringan hingga sedang. Masalah emosional dapat ditunjukkan
dengan menurunnya fungsi dan peran individu dalam lingkungan masyarakat, keluarga, dan
pekerjaan. Pada level ringan hingga sedang, individu dengan masalah emosional masih dapat
terkoneksi dan berinteraksi dengan orang- orang di sekelilingnya, meskipun sesungguhnya
mereka membutuhkan bantuan dari psikolog atau psikiater. Artinya, individu dengan gangguan
emosional cukup sadar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi tidak mampu untuk
menyelesaikan/memulihkan masalah tersebut. (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Intervensi komunitas dalam bentuk psiko-edukasi dapat memberikan perubahan kognitif
dan perilaku pada masyarakat. Makna sebuah komunitas merupakan kesepakatan yang diberikan
oleh individu yang terlibat di dalamnya, sehingga tiap komunitas akan memiliki definisi yang
berbeda untuk masyarakatnya. Oleh karena itu, individu yang berada di dalam satu wilayah dan
membentuk satu komunitas sebenarnya memiliki peran dan kekuatan untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi di lingkungan mereka (Kurniawan & Sulistyarini, 2017). Psikologi
komunitas memiliki pendekatan yang berbeda dengan perspektif psikologi individual. Psikologi
komunitas menawarkan sudut pandang yang berbeda untuk melihat dan memaknai konsep
perilaku manusia. Dalam paradigma psikologi komunitas, perilaku merupakan bagian dari
dinamika sebuah komunitas atau masyarakat, sehingga tidak mungkin memahami perilaku
individu tanpa mempertimbangkan dimensi budaya dan masyarakat. Psikologi komunitas pun
membahas mengenai psikologi dan kebudayaan (Kloos, dkk., 2012). Jadi, pengetahuan dan sikap
mengenai kesehatan mental dan stigma yang melekat di masyarakat dapat dikurangi dengan
melibatkan kelompok masyarakat atau komunitas. Pendekatan komunitas dalam mengurangi
masalah kesehatan mental di suatu wilayah mampu meningkatkan partisipasi masyarakat,
melalui kader sehat jiwa, untuk terlibat dalam deteksi dini masalah kejiwaan. Pengetahuan yang
tepat terhadap isu kesehatan mental efektif untuk mengurangi stigma yang selama ini beredar di
masyarakat, seperti isu bahwa orang dengan gangguan jiwa itu berbahaya, masalah kesehatan
mental terjadi akibat kutukan dan dosa keluarga, orang dengan gangguan jiwa harus dikucilkan,
dan stigma yang lainnya.
C. Strategi Perencanaan
Suatu program kesehatan mental masyarakat dapat dikatakan komprehensif dan efektif
apabila:
1. Program tersebut menjangkau semua anggota masyarakat yang memerlukan
2. Program mencakup elemen-elemen yang dapat meningkatkan perwujudan diri (self-
realization) dari kapasitas setiap orang
3. Program mencakup kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mencegah gangguan mental
dan emosional sejak lahir.
Agar efektif, program kesehatan mental yang baik harus menyediakan beberapa
perlengkapan untuk aksi sosial supaya keseluruhan lingkungan masyarakat juga sehat mentalnya.
E. Elemen Program
Sebelum kita menentukan komponen yang akan dimasukkan ke dalam program kesehatan
mental yang komprehensif untuk diberikan kepada masyarakat, kita perlu mengetahui dan
memahami hal-hal berikut:
1. Keinginan-keinginan masyarakatnya
2. Karakterisitik-karakteristik masyarakat saat ini
3. Arah yang akan dicapai atau dikehendaki dalam beberapa tahun berikutnya
4. Problem-problem yang telah tampak di masyarakat dan problem-problem yang
dimungkinkan muncul di masyarakat dilihat dari sudut kejehteraan psikologis dan sosial
secara keseluruhan, pada saat ini dan di masa yang akan datang.
5. Formulasi perencaanaan untuk program yang dibuat untuk merespon kebutuhan seluruh
penduduk di dalam masyarakatnya.
Fellix (1961) mengemukakan enam hal yang pokok sebagai pelayanan kesehatan mental
yang dimasukkan sebagai program. Keenam program itu adalah:
1. Pelayanan yang menaruh pengertian pada diagnosis awal dan pengobatan yang secara
tepat terhadap gangguan mental dan emosional
2. Usaha tindak lanjut dan rehabilitasi untuk seseorang yang tidak lagi menjadi pasien
psikiatrik rawat inap
3. Persiapan konsultan untuk pelayanan ke sekolah
4. Pendidikan publik, selain itu diperlukan
5. Riset aksi sosial, untuk menemukan jawaban tehadap program-program kesehatan mental
dan emosional dan untuk mengevaluasi efektifitas program-program kesehatan mental
yang baru atau unik
6. Berusaha untuk mencegah timbulnya gangguan mental.
1. Pendekatan Risiko
Program kesehatan mental dapat berupa suatu straregi yang disebut pendekatan
resiko (risk approach). Strategi ini fleksibel dengan mengguankan sarana-sarana yang
tersedia untuk memberi pelayanan kesehatan sesuai degan tingkat risiko serta prioritas
dalam masyarakat. Pendekatan ini merupakan strategi intervensi aktif berdasarkan pada
data yang saih mengenai biaya dan efektivitas dari tenaga yang ada di aneka tempat.
Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penyusunan program, yaitu:
a. Menyeleksi indikator-indikator untuk mengidentifikasi individu dan masyarakat
yang ada dalam resiko yang khusus antara lain usia lanjut, pengangguran dan
isolasi sosial.
b. Mengembagankan sistem pembuatan skor dengan pembobotan untuk indikator-
indikator yang sangat penting
c. Meneliti sumber-sumber yang dapat digunakan untuk usaha pencegahan,
pengobatan dan rehabilitasi.
d. Mengembangkan daya muat serta strategi pelayanan sesuai dengan tingkat resiko.
e. Mengembangkan sistem pemantauan dan sistem evaluasi.
2. Pendekatan Multisektoral
Pendekatan multisektoral dilakukan dengan koordinasi pada semua tingkat
pelayanan. Koordinasi ini merupakan keharusan yang sangat mendasar guna keberhasilan
program kesehatan mental. Tujuan pendekatan ini untuk mencapai kerjasama dan
koordinasi antara petugas kesehatan, guru, pemuka-pemuka agama, masyarakat, dan
orang tua. Pemilihan cara-cara yang tepat, sederhana, efektif, dan vidak mahal dengan
memberi tekanan pada pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.
3. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem dilakukan dengan cara mempelajari dan mengkonseptualisasi
masalah-masalah yang berkaitan satu sama lain maupun yang berdiri sendiri. Lima hal
utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan sistem ini, yaitu mempelajari:
a. Tujuan dari sistem dan ukuran (indikator) pencapaian sistem keseluruhan.
b. Ruang lingkup sistem dan kendalanya;
c. Sumber penunjang sistem;
d. Komponen-komponen sistem atau sub sistem;
e. Manejemen sistem yang diperlukan.
Sebuah rumah sakit mental misalnya, mempunyai banyak tujuan dan ini dapat
dicanangkan dalam tujuan sistem keseluruhan sebagai berikut.
Untuk mencapai tujuan sistem itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai variabel
yang berhubungan, dalam hal ini perlu diteliti mengenai hubungan rumah sakit dengan keadaan
sistem sosial-ekonomi keseluruhannya; sikap masyarakat terhadap sakit mental serta kesedih-
annya menerima penderita yang dipulangkan kembali ke masyarakat tersedianya pekerjaan bagi
penderita/mantan penderita, serta ekonomi yang dapat menunjang kehidupan mereka. Sumber-
sumber penunjang yang perlu dipelajari antara lain keuangan, ketenagaan, dan program yang
berkaitan dengan "input", pengobatan, dan "output".
Selain itu yang masih perlu diperhatikan yaitu macam-macam komponen sistem yang
perlu dipilih untuk diteliti. Komponen tersebut antara lain evaluasi pemasukan penderita,
skrining, proses penegakan diagnostik; atau ciri-ciri demografis populasi yang masuk rumah
sakit, jenis penyakit yang diderita, dan tingkat sangatnya penyakit.
Karena input dalam sistem bervariasi dan ini berpengaruh besar terhadap output, maka
ada variasi pula pada proses pengobatan,atau pada program rehabilitasi. Output dari sistem
adalah kembalinyapenderita ke dalam masyarakat, petugas yang terlatih, profesi yangterdidik,
dan lain sebagainya. Yang terpenting dari ini semua adalah bahwa semua pendekatan ini harus
ada dalam strategi perencanaan.
G. Langkah-Langkah Perencanaan
Evaluasi dilakukan sejalan dengan pilihan jenis evaluasi yang akan dilakukan, apakah
goal evaluation (goal-free evaluation, goal fixed evaluation), effort reevaluation, impact
evaluation, accountability evaluation, dan sebagainya. Ketika evaluasi dilakukan pada saat
program berjalan, keuntungan yang bisa diperoleh adalah koreksi bila adakesalahan, sehingga
perencanaan untuk program yang akan datang dapat lebih mudah.
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Akhir dari penulisan makalah ini besar harapan kami agar makalah yang berjudul
Edukasi Kesehatan Mental dalam Komunitas dan Program Kesehatan Mental dalam Komunitas
ini berguna untuk menambah pemahaman dan wawasan bagi pembaca, terlebih lagi sebagai
bekal untuk melakukan proses pembelajaran kesehatan mental dalam komunitas
DAFTAR PUSTAKA