You are on page 1of 16

MAKALAH

EDUKASI KESEHATAN MENTAL DALAM KOMUNITAS


DAN PROGRAM KESEHATAN MENTAL DALAM KOMUNITAS

MATA KULIAH PSIKOLOGI KONSELING


SEMESTER GANJIL TA. 2022/2023
DOSEN PENGAMPU : NANCY NAOMI ARITONANG, M.Psi, PSIKOLOG

DISUSUN OLEH KELOMPOK 7:

1. BUDI PUTRA LIMBONG ( 21900005 )


2. FIORELLA PATRECIA ( 21900020 )
3. WENNY P. SIANTURI ( 21900071 )
4. SILVIA ADELINA ( 21900117 )
5. YULI SUMIATI HASIBUAN ( 21900118 )
6. ELZA CLAUDIA ( 21900102 )
7. IIN TATA MARANATHA ( 21900124 )

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Edukasi Kesehatan Mental dalam Komunitas dan
Program Kesehatan Mental dalam Komunitas” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas dari Ibu Nancy Naomi Aritonang, M.Psi, Psikolog pada mata kuliah
Psikologi Konseling di Universitas HKBP Nomensen Medan. Selain itu, kami juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang edukasi kesehatan mental.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Nancy Naomi Aritonang,
M.Psi, Psikolog selaku dosen mata kuliah Psikologi Konseling. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan untuk kami. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa banyak
kekurangan dan kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah ini,
Kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Akhirnya bila ada kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Medan, Mei 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.3 TUJUAN
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Edukasi Kesehatan Mental di dalam Komunitas


Belakangan ini, isu terkait masalah kesehatan mental cukup banyak dibahas di ruang
publik. Tak hanya oleh profesional seperti psikolog, isu kesehatan mental pun banyak dibahas
oleh komunitas anak muda. Beberapa komunitas yang cukup aktif melakukan edukasi lewat
media sosial antara lain Pijar Psikologi, Into The Light (fokus pada isu bunuh diri), Kariib
(konseling secara daring), Psikoberbagi. Psikolog pun mendapatkan porsi yang cukup besar
untuk dilibatkan pendapatnya dalam isu publik, baik lewat media elektronik maupun media
cetak. Bahkan di masa pandemi Covid-19, Kantor Staf Presiden memberikan kepercayaan
kepada Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) untuk memberikan layanan konsultasi gratis
kepada masyarakat melalui layanan SEJIWA. Bila dibandingkan dengan dekade sebelumnya,
gerakan edukasi dari masyarakat psikologi ini tentu dapat meningkatkan pengetahuan awam
terhadap peran ilmu psikologi. Dahulu masyarakat menganggap konsultasi ke psikolog hanya
untuk mereka dengan gangguan jiwa berat. Situasi terkini memperlihatkan bahwa psikolog pun
dibutuhkan untuk tujuan pencegahan. Di sisi lain, ada fenomena self-diagnosed yang membuat
seseorang merasa yakin bahwa dirinya mengalami sebuah gangguan hanya karena informasi dari
media sosial.
Dengan semakin banyaknya jumlah yang berkonsultasi kepada psikolog, tidak lantas
menjadi indikator memburuknya kondisi kesehatan jiwa di suatu daerah. Peningkatan literasi
kesehatan mental pun dapat menjadi faktor semakin pahamnya masyarakat terhadap manfaat
layanan psikologi. Kelompok masyarakat yang mengetahui beberapa gejala umum gangguan
kejiwaan lazimnya mendatangi psikolog untuk tujuan deteksi dini dan pencegahan. Selama
melakukan praktik psikologi sejak 2015 hingga kini, saya cukup sering menerima klien dengan
tujuan preventif. Klien dengan kategori demikian berinisiatif konsultasi dengan psikolog saat
mulai merasakan emosi negatif dalam dirinya. Sebagian klien lainnya memang dirujuk atau
datang kepada psikolog saat masalah emosionalnya benar-benar memburuk. Agar masyarakat
semakin teredukasi dengan isu kesehatan mental, perlu adanya kerja sama antara pemerintah,
akademisi, praktisi, dan masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 18
tahun 2014 tentang Jiwa (Kementerian Kesehatan, 2014).
Salah satu contoh kolaborasi antara pemerintah dan organisasi akademik dapat dilihat
dari kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan
Fakultas Psikologi UGM untuk menginisiasi formasi psikolog di Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Sejak 2006, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Fakultas
Psikologi UGM telah menempatkan psikolog di tiap pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas)
(Setiyani, 2018). Kebijakan ini kemudian juga diikuti oleh kabupaten dan kota lain di Provinsi
DIY. Peran psikolog di Puskesmas tentu berbeda dengan peran psikolog di rumah sakit.
Puskesmas adalah layanan kesehatan dasar yang fokus pada pencegahan dan edukasi kesehatan
untuk masyarakat di tingkat kecamatan. Selain memberikan layanan psikologi yang bersifat
konsultasi, psikolog di puskesmas pun harus mengelola dan mengedukasi komunitas yang ada di
wilayah kecamatan tersebut. Oleh karena itu, satu psikolog puskesmas tentu tidak cukup untuk
mengakomodasi isu kesehatan jiwa untuk seluruh masyarakat di satu kecamatan.

Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? Salah satu
alternatifnya adalah menginisiasi dan mengoptimalkan peran kadar sehat jiwa di tingkat desa
atau kelurahan. Para kader sehat jiwa dapat menjadi perpanjangan tangan psikolog untuk deteksi
dini masalah kesehatan jiwa di level yang lebih mikro, seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun
Warga (RW). Agar kader memiliki kemampuan untuk membantu tugas psikolog, kader sehat
jiwa dapat diberikan peningkatan kompetensi berupa pelatihan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi gejala umum masalah kesehatan jiwa yang banyak terjadi di wilayah tersebut,
misalnya skizofrenia atau gangguan depresi. Tugas utama kader adalah mengidentifikasi gejala
awal, bukan memberikan diagnosis. Identifikasi awal ini dapat dilakukan lewat kunjungan ke
rumah orang dengan gangguan jiwa, observasi perilaku, atau melalui informasi yang
disampaikan oleh masyarakat. Kader dapat dibekali dengan pedoman observasi dasar oleh
psikolog. Bila ditemukan kasus masalah kejiwaan, kader dapat merujuknya kepada psikolog.
Sistem ini mampu memberdayakan komunitas dengan memberikan peran yang lebih besar
terhadap anggota masyarakat untuk mengidentifikasi masalah di wilayah masing-masing. Selain
itu, psikolog juga dapat berjejaring dan mampu menjangkau wilayah layanan yang lebih luas
lewat pendekatan individual, kelompok, dan komunitas. (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Sistem pemberdayaan komunitas dan peningkatan peran kader sehat jiwa sangat mungkin
meningkatkan jumlah temuan kasus gangguan kejiwaan di satu wilayah. Dengan demikian,
jumlah temuan kasus tidak bisa menjadi indikator tunggal penentu kualitas layanan kesehatan
jiwa. Harus ada faktor lain seperti jumlah klien yang pulih, jumlah tenaga kesehatan jiwa yang
tersedia, dan jenis intervensi yang diberikan.
Merujuk Riskesdas 2018, Provinsi Bali dan DIY merupakan dua provinsi dengan kasus
skizofrenia atau gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia. Apakah jumlah kasus ini
mengindikasikan layanan kesehatan jiwa yang kurang optimal di Bali dan DIY? Belum tentu.
Batasan operasional yang digunakan oleh Riskesdas adalah kasus gangguan jiwa berat (psikosis
atau skizofrenia) yang dapat dikenali dan diidentifikasi oleh awam. Jadi, bagi wilayah yang
masyarakatnya sudah cukup teredukasi dengan isu kesehatan jiwa, apalagi bila wilayah tersebut
sudah memiliki psikolog di tingkat kabupaten-bahkan kecamatan, sangat mungkin temuan kasus
juga tinggi karena masyarakat tahu gejala seperti apa yang dapat dikenali sebagai masalah
gangguan kejiwaan. Saat menjalani praktik kerja profesi di Sleman (DIY), saya kerap bertemu
dengan klien yang tahu gejala-gejala umum gangguan jiwa, seperti munculnya delusi dan
halusinasi.
Selain diterapkan pada level masyarakat, kader sehat jiwa pun dapat diaplikasikan di
instansi pendidikan. Sekolah sudah lama memiliki Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang bisa
menjadi payung untuk kader sehat jiwa. Dengan makin meningkatnya masalah kesehatan jiwa di
usia anak dan remaja, peran kader sehat jiwa di sekolah menjadi penting untuk memberikan
pengetahuan serta bantuan psikologis awal bila terjadi kasus di antara siswa.
Misalnya, untuk kasus deteksi dini risiko bunuh diri, profesional dapat memberikan
informasi awal mengenai gejala awal seseorang yang berisiko melakukan perilaku melukai diri
sendiri. Bila masyarakat awam memahami gejala awal tersebut, mereka dapat merujuk atau
minimal mendampingi rekan/keluarga/sahabatnya yang mengalami masalah kesehatan mental.
Ada beberapa gejala yang dapat dideteksi oleh awam terkait risiko bunuh diri (APA, 2019).
Gejala-gejala tersebut adalah:
1. Berbicara mengenai ide bunuh diri
2. Punya masalah dalam pola makan dan tidur
3. Menunjukkan perubahan perilaku yang drastis
4. Menarik diri dari aktivitas sosial
5. Hilang minat untuk sekolah, bekerja, dan melakukan hobi
6. Ada indikasi menyiapkan surat wasiat
7. Pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya
8. Menyerahkan kepemilikan barang-barang berharga ke orang lain
9. Sering melakukan perilaku berisiko yang sebenarnya tidak perlu
10. Pernah kehilangan sesuatu yang amat dicintai (orang/hewan peliharaan/barang)
11. Terobsesi pada kematian dan rasa sakit
12. Kehilangan minat untuk merawat diri
13. Penggunaan alkohol dan narkotika yang meningkat.
Bila Anda menemukan satu atau lebih dari gejala tersebut pada orang terdekat, Anda
dapat segera memberikan dukungan psikologis awal dengan prinsip 3L (look, listen, link).
Cermati kondisinya (look). dengarkan masalahnya (listen), dan rujuklah kepada profesional
(psikolog/psikiater) bila dibutuhkan (link). Lakukan mulai dari diri sendiri dan orang terdekat
kita.
Studi Kurniawan dan Sulistyarini (2017) di Perdukuhan X, Sleman (Daerah Istimewa
Yogyakarta) menunjukkan bahwa edukasi kesehatan mental efektif dilakukan di dalam
komunitas masyarakat tingkat perdukuhan (setingkat di atas RW dan di bawah koordinasi desa).
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan psikologi komunitas dan berfokus untuk
memahami prinsip preventif untuk mencegah munculnya gangguan kejiwaan. Dengan demikian,
tujuan utama dalam riset psikologi komunitas ialah untuk memahami relasi individu dalam
sebuah sistem kemasyarakatan. Sistem ini dapat berperan sebagai faktor pendukung atau
penghambat dalam penanganan masalah kesehatan mental. Intervensi kesehatan mental berbasis
komunitas efektif membantu petugas di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dasar dalam
melakukan identifikasi dini masalah kejiwaan. Selain itu, intervensi dalam skala komunitas dapat
dilakukan untuk tujuan promotif (kelompok netral) dan preventif (kelompok rentan) terhadap isu
kesehatan mental di satu wilayah. Pelibatan masyarakat dalam menginisiasi komunitas yang
peduli terhadap isu kesehatan jiwa terbukti efektif untuk meningkatkan kesadaran kolektif
terhadap pentingnya kesehatan jiwa serta membantu kinerja profesional di bidang kesehatan
mental. Kesimpulannya, pemahaman masyarakat terhadap isu kesehatan mental dapat
dioptimalkan melalui psikoedukasi dan pembentukan kader sehat jiwa di tingkat RT, RW, Desa,
atau Kelurahan (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Gangguan kejiwaan pada level sedang dan berat tidak hanya berdampak terhadap
emosional saja, tetapi juga dapat berpengaruh terhadap performa kerja, hambatan dalam
pendidikan dan sosial, hingga meningkatkan risiko kematian. Itulah mengapa deteksi dini dan
penanganan awal menjadi penting untuk meningkatkan peluang pulih orang dengan masalah
kejiwaan. Psikolog, dalam peran preventif di komunitas, dapat memberikan edukasi terkait gejala
awal yang dapat dialami oleh orang dengan masalah kejiwaan. Dengan informasi tersebut,
seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan kejiwaan dapat memahami cara
identifikasi dan intervensi dasar untuk masalah kejiwaan (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Komunitas/masyarakat juga dapat diberikan edukasi mengenai identifikasi dan dampak
gangguan emosional dalam skala ringan hingga sedang. Masalah emosional dapat ditunjukkan
dengan menurunnya fungsi dan peran individu dalam lingkungan masyarakat, keluarga, dan
pekerjaan. Pada level ringan hingga sedang, individu dengan masalah emosional masih dapat
terkoneksi dan berinteraksi dengan orang- orang di sekelilingnya, meskipun sesungguhnya
mereka membutuhkan bantuan dari psikolog atau psikiater. Artinya, individu dengan gangguan
emosional cukup sadar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi tidak mampu untuk
menyelesaikan/memulihkan masalah tersebut. (Kurniawan & Sulistyarini, 2017).
Intervensi komunitas dalam bentuk psiko-edukasi dapat memberikan perubahan kognitif
dan perilaku pada masyarakat. Makna sebuah komunitas merupakan kesepakatan yang diberikan
oleh individu yang terlibat di dalamnya, sehingga tiap komunitas akan memiliki definisi yang
berbeda untuk masyarakatnya. Oleh karena itu, individu yang berada di dalam satu wilayah dan
membentuk satu komunitas sebenarnya memiliki peran dan kekuatan untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi di lingkungan mereka (Kurniawan & Sulistyarini, 2017). Psikologi
komunitas memiliki pendekatan yang berbeda dengan perspektif psikologi individual. Psikologi
komunitas menawarkan sudut pandang yang berbeda untuk melihat dan memaknai konsep
perilaku manusia. Dalam paradigma psikologi komunitas, perilaku merupakan bagian dari
dinamika sebuah komunitas atau masyarakat, sehingga tidak mungkin memahami perilaku
individu tanpa mempertimbangkan dimensi budaya dan masyarakat. Psikologi komunitas pun
membahas mengenai psikologi dan kebudayaan (Kloos, dkk., 2012). Jadi, pengetahuan dan sikap
mengenai kesehatan mental dan stigma yang melekat di masyarakat dapat dikurangi dengan
melibatkan kelompok masyarakat atau komunitas. Pendekatan komunitas dalam mengurangi
masalah kesehatan mental di suatu wilayah mampu meningkatkan partisipasi masyarakat,
melalui kader sehat jiwa, untuk terlibat dalam deteksi dini masalah kejiwaan. Pengetahuan yang
tepat terhadap isu kesehatan mental efektif untuk mengurangi stigma yang selama ini beredar di
masyarakat, seperti isu bahwa orang dengan gangguan jiwa itu berbahaya, masalah kesehatan
mental terjadi akibat kutukan dan dosa keluarga, orang dengan gangguan jiwa harus dikucilkan,
dan stigma yang lainnya.

2.2 Program dan Evaluasi Kesehatan Mental


Psikiatri telah memberikan kesan yan lain, yaitu dari kesan sebagai “rumah penjara” ke
bentuk rumah sakit yang modern dan dari pelayanan individual ke pelayanan masyarakat.
Dengan perubahan ini diharapkan pelayan kepada masyarakat akan dapat parallel dengan
kebutuhan masyarakat untuk mendapat kesehatan yang lebih baik.

A. Perubahan Sosial dan Implikasinya


Sekarang ini kita berada dalam masyarakat yang selalu berubah, yaitu perubahan di
berbagai bidang kehidupan, di antaranya sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan ini secara
historis terus terjadi dan merupakan bagian dari dinamika masyarakat. Perubahan-perubahan ini
tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari industrialisasi dan peranan teknologi modern dalam
berbagai lapangan kehidupan.
Sebelum teknologi modern diterapkan, hanya perubahan kecil saja yang terjadi pada
struktur masyarakat atau perubahan-perubahan itu terjadi secara bertahap, sehingga keluarga
dapat menyesuaikan dirinya, mobilitas geografis dan sosial di masyarakat hanya kecil saja
terjadi, masyarakat memberikan tunjangan terhadap keluarga.
Peran suami, istri, dan anak-anak lama terbentuk dengan ketentuan yang jelas,
keikutsertaan keluarga yang terintegrasi dalam kebudayaan yang jelas pula. Bila ada stress dalam
interaksi di keluarga, gangguan dan kesukaran emosional dapat diperlunak oleh norma yang
stabil bagi peran keluarga dan dalam hubungan kelompok yang lebih luas serta ikatan-ikatan
dalam kepentingan bersama.
Sebagai pertimbangan dalam menetapkan suatu keadaan kesehatan mental (johada,
1958) mengemukakan lima kriteria, yaitu:
1. Tidak didapatkan tanda-tanda sakit jiwa
2. Perilaku yang normal
3. Penyesuaian terhadap lingkungannya
4. Kepribadian yang utuh
5. Persepsi yang benar mengenai realitas
Dalam masyarakat yang berubah ini dan mengacu pada berbagai pengertian kesehatan
mental, maka mengusahakan program kesehatan mental yang efektif dan komprehensif adalah
suatu keharusan. Berkaitan dengan perubahan dan perkembagan yang terjadi, kita mendapat
tantangan dari masyarakat untuk dapat lebih bertanggung jawab mengenai berbagai problem
kesehatan mental. Kita harus dapat menjawab bagaimana cara memberikan pelayanan yang
bukan hanya pencegahan, perawatan, pengobatan dan rehabilitasi penderita menta, melainkan
juga dapat memberi pelayanan kepada masyarakat agar tumbuh kembang secara normal.

B. Kebutuhan Program Kesahatan Mental


Dalam dunia yang berubah ini, yang kita perlukan adalah suatu program kesehatan mental
yang komprehensif. Kita harus dapat merumuskan kesehatan mental yang komprehensif. Kita
harus dapat merumuskan kesehatan mental dalam secara positif, bukan hanya tindanya
sakit/gangguan mental, bukan hanya bagi pribadi perorangan atau pengertian yang tidak jelas
seperti di antaranya “maturitas, serasi dan bahagia”.
Freud mendefinisikan kesehatan mental sebagai kesempuan untuk mencintai dan bekerja
(lieben und Arbeiten). Namun tidak ada orang yang dapat mencintai dan bekerja tanpa adanya
orang lain. Bennett (1987) mengartikan kerja adalah kegiatan yang penting adalah peranan sosial
yang didapat sebagai penerima kerja.
Perencanaan dalam jangka panjang merupakan perencanan yang mencapai sepuluh tahun
atau lebih. Perencanaan ini dapat digunakkan untuk memformulasi tujuan-tujuan jangka
menengah yang berjangka waktu lima hingga delapan tahun merupakan perencanaan yang
banyak dan dapat untuk program-program yang lebih detail. Sedangkan perencanakan jangka
pendek yang mencapai jangka waktu tiga tahun seringkali dijalankan sebagai dasar-dasar untuk
mempersiapkan anggaran tahunan dan bukan merencanakan dalam hal-hal yang bersifat teknis.

C. Strategi Perencanaan
Suatu program kesehatan mental masyarakat dapat dikatakan komprehensif dan efektif
apabila:
1. Program tersebut menjangkau semua anggota masyarakat yang memerlukan
2. Program mencakup elemen-elemen yang dapat meningkatkan perwujudan diri (self-
realization) dari kapasitas setiap orang
3. Program mencakup kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mencegah gangguan mental
dan emosional sejak lahir.
Agar efektif, program kesehatan mental yang baik harus menyediakan beberapa
perlengkapan untuk aksi sosial supaya keseluruhan lingkungan masyarakat juga sehat mentalnya.

D. Jangka Waktu Perencanaan


Jangka waktu penanganan kesehatan mental dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam,
yaitu perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Sekarang ini, sejalan
dengan adanya perubahan-perubahan sosial, hubungan keluarga terhadap masyarakat sekarang
ini pun turut beubah. Ikatan yang ada bagi keluarga terhadap masyarakat dan sebaliknya menjadi
lebih longgar. Perubahan ekonomi dan sosial di masyarakat sangat berpengaruh pada pola hidup,
struktur dan fungsi keluarga.
Suatu ciri yang menonjol di negara yang berkembang adalah terjadinya perubahan yang
berlangsung dengan sangat cepat dalam peri kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang cepat ini
disebabkan karena penerapan teknologi modern dan industrialisasi. Industrialisasi bagi negara
berkembag sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya. Namun demikian
penerapan yang tidak tepat guna dapat menimbulkan disintegrasi sosial dan konflik. Kita harus
meningat bahwa sekalipun industrialisasi dapat merupakan bagian integral bagi pembagunan
ekonomi nasional, tetapi bukanlah merupakan tujuan pembagunan. Industrialisasi hanya “alat”
untuk mencapai tujuan yang fundamental untuk mencapai standar kehidupan dan kesehatan yang
lebih baik.

E. Elemen Program
Sebelum kita menentukan komponen yang akan dimasukkan ke dalam program kesehatan
mental yang komprehensif untuk diberikan kepada masyarakat, kita perlu mengetahui dan
memahami hal-hal berikut:
1. Keinginan-keinginan masyarakatnya
2. Karakterisitik-karakteristik masyarakat saat ini
3. Arah yang akan dicapai atau dikehendaki dalam beberapa tahun berikutnya
4. Problem-problem yang telah tampak di masyarakat dan problem-problem yang
dimungkinkan muncul di masyarakat dilihat dari sudut kejehteraan psikologis dan sosial
secara keseluruhan, pada saat ini dan di masa yang akan datang.
5. Formulasi perencaanaan untuk program yang dibuat untuk merespon kebutuhan seluruh
penduduk di dalam masyarakatnya.

Fellix (1961) mengemukakan enam hal yang pokok sebagai pelayanan kesehatan mental
yang dimasukkan sebagai program. Keenam program itu adalah:
1. Pelayanan yang menaruh pengertian pada diagnosis awal dan pengobatan yang secara
tepat terhadap gangguan mental dan emosional
2. Usaha tindak lanjut dan rehabilitasi untuk seseorang yang tidak lagi menjadi pasien
psikiatrik rawat inap
3. Persiapan konsultan untuk pelayanan ke sekolah
4. Pendidikan publik, selain itu diperlukan
5. Riset aksi sosial, untuk menemukan jawaban tehadap program-program kesehatan mental
dan emosional dan untuk mengevaluasi efektifitas program-program kesehatan mental
yang baru atau unik
6. Berusaha untuk mencegah timbulnya gangguan mental.

F. Pendekatan Penyusunan Program


Dalam penyusunan program kesehatan mental terdapat tiga pendekatan yang dapat
digunakan yaitu pendekatakan risiko, multisektoral dan sistem.

1. Pendekatan Risiko
Program kesehatan mental dapat berupa suatu straregi yang disebut pendekatan
resiko (risk approach). Strategi ini fleksibel dengan mengguankan sarana-sarana yang
tersedia untuk memberi pelayanan kesehatan sesuai degan tingkat risiko serta prioritas
dalam masyarakat. Pendekatan ini merupakan strategi intervensi aktif berdasarkan pada
data yang saih mengenai biaya dan efektivitas dari tenaga yang ada di aneka tempat.
Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penyusunan program, yaitu:
a. Menyeleksi indikator-indikator untuk mengidentifikasi individu dan masyarakat
yang ada dalam resiko yang khusus antara lain usia lanjut, pengangguran dan
isolasi sosial.
b. Mengembagankan sistem pembuatan skor dengan pembobotan untuk indikator-
indikator yang sangat penting
c. Meneliti sumber-sumber yang dapat digunakan untuk usaha pencegahan,
pengobatan dan rehabilitasi.
d. Mengembangkan daya muat serta strategi pelayanan sesuai dengan tingkat resiko.
e. Mengembangkan sistem pemantauan dan sistem evaluasi.
2. Pendekatan Multisektoral
Pendekatan multisektoral dilakukan dengan koordinasi pada semua tingkat
pelayanan. Koordinasi ini merupakan keharusan yang sangat mendasar guna keberhasilan
program kesehatan mental. Tujuan pendekatan ini untuk mencapai kerjasama dan
koordinasi antara petugas kesehatan, guru, pemuka-pemuka agama, masyarakat, dan
orang tua. Pemilihan cara-cara yang tepat, sederhana, efektif, dan vidak mahal dengan
memberi tekanan pada pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.

3. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem dilakukan dengan cara mempelajari dan mengkonseptualisasi
masalah-masalah yang berkaitan satu sama lain maupun yang berdiri sendiri. Lima hal
utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan sistem ini, yaitu mempelajari:
a. Tujuan dari sistem dan ukuran (indikator) pencapaian sistem keseluruhan.
b. Ruang lingkup sistem dan kendalanya;
c. Sumber penunjang sistem;
d. Komponen-komponen sistem atau sub sistem;
e. Manejemen sistem yang diperlukan.

Sebuah rumah sakit mental misalnya, mempunyai banyak tujuan dan ini dapat
dicanangkan dalam tujuan sistem keseluruhan sebagai berikut.

a) Membebaskan penderita dari gejala-gejala mental dan mengembalikan penderita ke


masyarakat.
b) Merehabilitasi penderita dengan meningkatkan kemampuan, penyesuaian penderita
dalam masyarakat dan produktif
c) Menyelenggarakan suatu fasilitas yang menyediakan pekerjaan bagi individu,
d) Melaksanakan pendidikan dan latihan yang profesional untuk kesehatan mental.
e) Menjalankan penelitian dan evaluasi pengobatan penderita mental serta penilaian
keberhasilan petugas dan program latihan.

Untuk mencapai tujuan sistem itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai variabel
yang berhubungan, dalam hal ini perlu diteliti mengenai hubungan rumah sakit dengan keadaan
sistem sosial-ekonomi keseluruhannya; sikap masyarakat terhadap sakit mental serta kesedih-
annya menerima penderita yang dipulangkan kembali ke masyarakat tersedianya pekerjaan bagi
penderita/mantan penderita, serta ekonomi yang dapat menunjang kehidupan mereka. Sumber-
sumber penunjang yang perlu dipelajari antara lain keuangan, ketenagaan, dan program yang
berkaitan dengan "input", pengobatan, dan "output".

Selain itu yang masih perlu diperhatikan yaitu macam-macam komponen sistem yang
perlu dipilih untuk diteliti. Komponen tersebut antara lain evaluasi pemasukan penderita,
skrining, proses penegakan diagnostik; atau ciri-ciri demografis populasi yang masuk rumah
sakit, jenis penyakit yang diderita, dan tingkat sangatnya penyakit.

Karena input dalam sistem bervariasi dan ini berpengaruh besar terhadap output, maka
ada variasi pula pada proses pengobatan,atau pada program rehabilitasi. Output dari sistem
adalah kembalinyapenderita ke dalam masyarakat, petugas yang terlatih, profesi yangterdidik,
dan lain sebagainya. Yang terpenting dari ini semua adalah bahwa semua pendekatan ini harus
ada dalam strategi perencanaan.

G. Langkah-Langkah Perencanaan

Langkah-langkah yang ditempuh dalam perencanaan adalahsebagai berikut.

1. Pengukuran dan analisa situasi


Langkah ini mencakup pengumpulan pelayanan yang ada dan mengukur sejauh mana
kepuasan dapat dipenuhi. Pengukuran dari keperluan ini didasarkan pada data mengenai:
morbiditas, mortalitas, indikator-indikator sosial, dan data operasional pelayanan kesehatan
ataupun riset lainnya yaitu riset epidemiologi maupun riset sosial mengenai sikap terhadap
pelayanan kesehatan mental dan keperluan pelayanan kesehatan mental yang diingini dan
yang diperlukan oleh masyarakatnya.
2. Perkiraan mengenai waktu yang akan datang
Hal ini mencakup demografi, perkembangan sosial-ekonomi, kemajuan kedokteran, dan
perkembangan teknik kedokteran dankesehatan.
3. Merumuskan tujuan
Tujuan harus dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk ini semua data (macam apa saja yang
diperlukan dalam pelayanan kesehatan macam-macam kendala yang ada dan lain-lain)
yang diperoleh dari upaya yang sebelumnya telah dilakukan, harus dipertimbangkan dalam
pembuatan rencana yang berikutnya.
4. Mengoperasionalkan program
Suatu rencana harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang akan
dilakukan, bagaimana melakukannya, dan siapa yang melakukan.
H. Evaluasi Kesehatan Mental

Evaluasi dilakukan sejalan dengan pilihan jenis evaluasi yang akan dilakukan, apakah
goal evaluation (goal-free evaluation, goal fixed evaluation), effort reevaluation, impact
evaluation, accountability evaluation, dan sebagainya. Ketika evaluasi dilakukan pada saat
program berjalan, keuntungan yang bisa diperoleh adalah koreksi bila adakesalahan, sehingga
perencanaan untuk program yang akan datang dapat lebih mudah.

Evaluasi untuk pelayanan kesehatan mental masyarakat dapat dilakukan dengan


menggunakan multistage model. Model ini berlan daskan pada orientasi sistem sosial yang
memperhitungkan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang luas, proses-proses yang berkembang
dalam masyarakat dan interaksi manusia yang mempunyai peranan penting terhadap kesehatan
mental atau sakit mental. Dalam multi- stage model ini ada 5 tahapan yang dilalui, yaitu sebagai
berikut.

1. Deskripsi, konseptualisasi, dan definisi


Suatu pusat pelayanan kesehatan harus diperjelas terlebih dahulu sarana-sarana yang
dimiliki dan kegiatan-kegiatannya bagi masyarakat yang akan dilayani. Garis-garis besar
mengenai konsep program dijabarkan ke dalam tujuan program dengan jelas. Suatu analisa
ekologis dari wilayah yang dilayani dengan menggunakan indikator sosial akan sangat
membantu dalam menilai tujuankegiatan.
2. Mengukur keperluan dan menggunakan pelayanan
Tahap ini melibatkan prosedur epidemiologis, penelitian lapangan dan respon yang ada
dalam masyarakat untuk menentukan keperluan dan pemakaian fasilitas yang tersedia.
Bentuknya dilakukan analisa ekologis dengan menggunakan indikator sosial yang
mencakup indikator sehat, sakit, dan pelayanan yang sudah ada.
3. Studi perbandingan
Membandingkan keperluan terhadap penggunaan pelayanan sehubungan dengan tujuan
yang dinyatakan oleh pusat pelayanan dapat memberikan masukan bagi evaluasi dasar.
Hasil-hasil yang diperoleh harus dibandingkan dengan data dari analisa ekologi dari
wilayah yang sama.
4. Hasil penilaian
Penelitian hasil harus mencakup penelitian prospektif yang sistematismisalnya
menggunakan goal attainment scalling. Penelitian epidemiologis, khususnya survei tindak
lanjut dan analisa
5. Studi dampak
Indikator sosial dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup dalam wilayah pelayanan.
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN
Akhir dari penulisan makalah ini besar harapan kami agar makalah yang berjudul
Edukasi Kesehatan Mental dalam Komunitas dan Program Kesehatan Mental dalam Komunitas
ini berguna untuk menambah pemahaman dan wawasan bagi pembaca, terlebih lagi sebagai
bekal untuk melakukan proses pembelajaran kesehatan mental dalam komunitas
DAFTAR PUSTAKA

You might also like