You are on page 1of 17

MAKALAH

ANALISIS PROSES NEGOSIASI KASUS PROVINSI PAPUA

Untuk memenuhi syarat ujian tengah semester 4


mata kuliah Lobby dan Negosiasi

Dosen Pengampu: M. Tanziil Suherman,M.I.Kom

Disusun oleh:

Aghnia Nabila Harum


2141911009

PROGRAM STUDI PUBLIC RELATION

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI


2023

DAFTAR PUSTAKA

BAB I ........................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 3
BAB II ....................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 7
BAB III .................................................................................................................... 10
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia memproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang


memunculkan perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Relovusi Nasional
Indonesia terhadap pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda. Kepemilikan
seluruh wilayah Hindia Belanda di Indonesia dibantah oleh Belanda sendiri karena
untuk wilayah Papua masih menjadi salah satu provinsi dari kerajaan Belanda. Pada
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada tahun 1949 membahas status Papua
Barat yang pada akhirnya tidak mencapai kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Selanjutnya pembahasan ini dilanjut melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang dilaksanakan pada bulan Desember 1950, pada forum ini menyatakan
bahwa Papua Barat memiliki Hak untuk merdeka berdasarkan peraturan yang
tercantum dalam Piagam PBB pasal 73 (e) (United Nations, 1945). Keputusan
tersebut tidak langsung diterima oleh pihak Indonesia dan Belanda.

Berbagai pendekatan dilakukan oleh Indonesia atas kepemilikan Papua Barat terus
berlangsung sehingga Belanda memutuskan untuk mempercepat kemerdekaan Papua
Barat. Persiapan yang dilakukan oleh Belanda agar terlepas dari Indonesia yaitu
mempercepat program pendidikan Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan yang
hasilnya membentuk Akademi Angkatan Laut dan Tentara Papua hingga akhirnya
pada tanggal 1 Desember 1961 Papua mendeklarasikan kemerdekaannya.
Menanggapi pembentukan Papua Barat, Presiden Soekarno mencetuskan Tri
Komando Rakyat (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 sebagai bentuk
perjuangan Indonesia merebut Papua dengan serangan militer. Presiden Soekarno
mulai mendekatkan diri kepada negara komunis terutama Uni Soviet, langkah
tersebut membuat Belanda dan Presiden Amerika takut. Pasalnya jika kedekatan
Indonesia dan negara komunis tetap berlangsung, maka Indonesia akan menjadi
Negara Komunis terbesar di Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan Belanda
mengambil sikap untuk menyerahkan masalah Papua ke PBB sehingga menyebabkan
Belanda mundur dan Papua diserahkan kembali ke Indonesia dengan syarat Papua
dapat menentukan sikap sendiri. Dalam perkembangannya, muncul berbagai
ketidakpuasan masyarakat Papua atas tidak mengikutsertakan masyarakat Papua
dalam berbagai permasalahan politik. Sehingga muncul gerakan separatisme yang
disebut dengan Organisasasi Papua Merdeka (OPM) yang tidak puas dengan
kebijakan pemerintah Indonesia yang akhirnya menyebabkan konflik besar di Papua.

Penelitian terkait konflik Papua telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
seperti yang dilakukan oleh Azmi Muttaqin (2014) yang berjudul “Otonomi Khusus
Papua sebuah Upaya Merespon Konflik dan Aspirasi Kemerdekaan Papua” yang
membahas tentang kebijakan alternatif terbaik untuk mewujudkan seluruh keinginan
Papua dalam bingkai NKRI (Muttaqin, 2014).1 Kemudian dalam penelitian Nur
Rohim, 2014 membahas mengenai otonomi khusus yang diberikan kepada Papua
untuk meredam konflik dan kekerasan dengan bertujuan mensejahterakan dan
memakmurkan masyarakat Papua di tanah NKRI (Rohim, 2014).2

Penelitian lain membahas mengenai resolusi Papua yang berjudul “Kekerasan dan
Konflik di Papua: Akar Masalah dan Strategi Mengatasinya” (Yoseph Yapi Taum,
2015). Selaras dengan penelitian Taum, Siti Humairoh dalam penelitian yang
berjudul “Analisis penggunaan Diplomasi Multi Jalur untuk Mendukung
penyelesaian Konflik Papua Barat tahun 2009-2018 dengan Menggunakan Konsep
Track Diplomacy dalam proses Menyelesaikan Konflik di Papua” dan penelitian baru
oleh Aldiano Hadinugroho (2019) yang berjudul “Kebijakan Pemerintah Joko

1
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/download/27056/17936 (diakses pada tanggal
14 Mei 2023 pukul 19:46 WIB)
2
Rohim, N. (2014). Optimalisasi Otonomi Khusus Papua dalam Peningkatan Kesadaran Hukum
Masyarakat guna Meredam Konflik dan Kekerasan. Junal Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri
Jakarta, 8.
Widodo dan Jusuf Kalla mengalami Tantangan karena Paradigma Dialog
Mengalami Miskonsepsi” dimana pendekatan dan konsep belum tepat serta belum
adanya faktor yang menjadi akar dari masalah yang terjadi. Faktor yang dimaksudkan
adalah sejarah integrasi, identitas, kekerasan politik, kegagalan pembangunan dan
marginalisasi orang Papua (Nugroho, 2019). Berangkat dari rentetan kejadian konflik
yang terjadi di papua, diperkuat fakta bahwa konflik papua adalah konflik vertikal
terlama yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia dan masih berlangsung hingga saat
ini. Maka dari itu diperlukan skema dalam penyesuaian yang baru untuk
menyelesaikan konflik ini.

Berbagai penelitian diketahui bahwa penulis terdahulu telah melakukan penelitian


yang beragam mengenai konflik yang terjadi di Papua. Namun, dalam penelitian
tersebut belum menjelaskan yang menyeluruh terkait dengan proses negosiasi konflik
serta dialog seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya resolusi
terhadap Papua. Berdasarkan gap diatas yang telah dijelaskan mengenai kasus yang
terjadi antara kedaulatan Papua dengan Indonesia dalam pandangan proses negosiasi,
maka peneliti mengambil Judul penelitian “Makalah Analisis Kasus Negosisasi
dalam Konflik Provinsi Papua”. Untuk itu, peneliti melakukan analisis deskriptif
dari berbagai sumber sebagai referensi dalam penelitian ini dan menguraikan
penjelasan dari berbagai sumber sebagai bentuk argumentasi penulis mengenai proses
negosiasi dalam konflik Papua.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah konflik Papua dengan pemerintahan Indonesia?


2. Bagaimana analisis proses negosiasi yang telah dilakukan dalam Kasus
Konflik Papua?
3. Apa yang menjadi kendala dalam proses negosiasi antara Papua dengan
pemerintahan Indonesia?
C. MANFAAT PENELITIAN

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah konflik antara papua dengan pemerintah


Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejauh mana proses negosiasi antara papua dengan
pemerintah Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa kendala yang terjadi selama proses negosiasi antara
papua dengan pemerintah Indonesia.

D. METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Metode Kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku dapat diamati
(Bodgan dan Taylor dalam Moleong, 2002). Tulisan ini difokuskan pada kajian
kepustakaan,dimana penulis membaca karya-karya yang terkait dengan tema yang
diangkat. Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah buku, jurnal/artikel,
laporan terkait konflik di Papua dan sumber daring serta media massa yang
digunakan untuk mendukung argumentasi penulis. Adapun teknik analisis dilakukan
dengan membaca hasil penelitian, mencermati, dan mencatat hal-hal penting yang
membuktikan argumentasi penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN KONFLIK

Konflik berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Demikian pula dalam Hubungan
Internasional. Konflik dapat menjadi salah satu pembentuk pola interaksi antar aktor
dalam suatu sistem internasional. Herz (Hertz, 1950) dan Waltz (Waltz, 1959)
mengemukakan bahwa negara-negara di dunia terjebak dalam sistem internasional
yang konfliktual. Hal ini disebabkan kebiasaan suatu negara untuk bertahan hidup
dalam sistem adalah dengan cenderung meningkatkan kemampuan diri sebagai
bentuk kesiapan dan pencegahan dari adanya serangan. Berbagai macam konflik yang
terjadi di dunia baik konflik antar negara maupun konflik internal/domestik telah
menemukan titik terang dan digantikan dengan perdamaian antara pihak-pihak yang
berselisih berkat adanya resolusi konflik yang diusahakan oleh pihak-pihak tersebut.
Akan tetapi tidak sedikit juga konflik yang saat ini sedang/masih berlangsung hingga
bertahun-tahun lamanya. Salah satunya adalah konflik yang terjadi di tanah Papua.

Menurut Wallensteen (2002) menjelaskan tiga komponen yang mendukung terjadinya


konflik yaitu tindakan, inkompatibilitas, dan aktor. Tindakan merupakan hal yang
menandakan adanya konflik, walaupun tidak semua ketiadaaan tindakan berarti
berakhirnya konflik. Adanya ketidakcocokan antara kedua belah pihak atau lebih
yang berusaha memperoleh sumber daya yang memicu terjadinya tindakan yang
mengarah ke konflik. Ketika para pihak ini menyesuaikan tuntutannya dan
kelangkaan dari sumber daya yang diperebutkan tidak terjadi lagi maka konflik akan
selesai. Selain dua komponen tersebut, ada komponen aktor yang merupakan dasar
terjadinya konflik. Pemahaman para aktor tentang peran dan sumber daya mereka
merupakan hal yang penting dalam menganalisis suatu konflik. Pemahaman mereka
akan pentingnya kebutuhan untuk bertahan hidup mengakibatkan munculnya konflik
dalam sistem (RA, Dermawan, & Akim, 2019).

B. PENGERTIAN NEGOSIASI

Salah satu cara dalam penyelesaian konflik adalah melalui negosiasi di antara pihak-
pihak yang berselisih. Lopez-Fresno, dkk (2018) mengutip definisi negosiasi oleh
Llamazares (2011) sebagai proses yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih sebagai
bentuk komunikasi untuk mencapai kepentingan bersama dengan cara
mengedepankan kepentingan dan mengurangi perbedaan (Fresno, Savolainen, &
Miranda, 2018).

Secara etimologi dalam bahasa inggris ”negotiation” dalam pengertian secara umum
negosiasi adalah proses tawar menawar dengan cara berunding untuk mencapai
kesepakatan kedua belah pihak (Ulinuha, 2013). Sedangkan menurut Robbins (2003)
adalah sebuah proses yang didalamnya dua pihak atau lebih bertukar barang atau jasa
dan berupaya menyepakati tingkat kerja sama tersebut bagi mereka. Negosiasi juga
disebut sebagai proses interaktif untuk mencapai persetujuan. Proses ini melibatkan
dua orang atau lebih yang memiliki pandangan berbeda tetapi ingin mencapai
beberapa resolusi bersama (McGuire, 2004).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah suatu proses
komunikasi dimana dua orang atau lebih dengan tujuan yang berbeda melakukan
suatu proses timbal balik yang melibatkan pertukaran sesuatu antara dua orang atau
lebih hingga mencapai kesepakatan bersama yang menguntungkan semua pihak.

C. PENDEKATAN DALAM NEGOSIASI

Dalam negosiasi terdapat empat macam pendekatan yang diantaranya yaitu:

1. Pendekatan distributif (win – lose approach): pendekatan ini biasa disebut


dengan zero sum, pendekatan kompetitif atau value-claiming , yaitu pihak
yang bernegosiasi berupaya untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan
tujuan pihak lawan negosiasi.3
2. Pendekatan kalah-kalah: Pendekatan ini diterapakan ketika satu pihak dalam
negosiasi tidak dapat memperoleh perundingan, namun pada saat yang sama
juga tidak menginginkan lawannya untuk menang. Akibatnya, lawan yang
merasa tidak mungkin menang dalam negosiasi melakukan berbagai langkah
untuk menghalangin pihak lawan meraih apa yang menjadi tujuannya.
3. Pendekatan kompromis : pendekatan ini diterapkan ketika pihak dalam
negosiasi menyadari bahwa akan berada disituasi kalah apabila secara rigid
tetap berorientasi pada tujuan masing-masingsehingga untuk menghindari
situasi tersebut kedua pihak dalam negosiasi saling menurunkan target
negosiasi.
4. Pendekatan integratif: pendekatan ini adalah pendekatan yang dimana pihak
yang berkaitan mencoba mencapai tujuan yang tidak secara fundamental
berbeda dari lawan negosiasi, sehingga tujuan masing-masing pihak dapat
diintegrasikan dan dapat dicapai oleh pihak tanpa membuat pihak lain kalah.

Diatara keempat pendekatan tersebut, pendekatan integratif merupakan pendekatan


yang dianggap ideal secara umum dipandang lebih produktif untuk menghasilkan
kesepakatan diantara pihak yang berunding.

3
http:// www,managementstyudyhq.com/approaches-to-negotiation.html , diakses pada tanggal 15 Mei
2023 pukul 15:33 WIB
BAB III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS AKAR MASALAH KONFLIK PAPUA

Konflik Papua telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, tetapi terus
memanas dalam dua tahun terakhir. Dalam tiga tahun terakhir, beberapa kali terjadi
baku tembak antara aparat keamanan (TNI dan Polri) dan Kelompok Kriminal
Separatis Bersenjata (KKSB) yang selanjutnya dianggap kelompok teroris di wilayah
Papua. Data Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED) mencatat
bahwa pada 1 Januari 2019 - 15 Desember 2021 terdapat 407 peristiwa konflik di
Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 107 pertempuran, 206 kerusuhan, dan 88
kekerasan terhadap warga sipil, dengan jumlah korban jiwa mencapai 123 orang
(ACLED, 2020). Data di atas menunjukkan bahwa pendekatan pemerintah Upaya
Indonesia Mencegah Konflik Papua dengan Pendekatan Mediasi Humanistik berbasis
keamanan dan militer terhadap konflik Papua ternyata justru berdampak semakin
meningkatkan jumlah korban.

Sebenarnya, selain pendekatan keamanan, pemerintah pada masa jabatan pertama


Presiden Joko Widodo (2014-2019) juga telah meningkatkan fokus pada
pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua. Pendekatan ini juga diperpanjang
dalam periode kedua Jokowi sekarang. Akan tetapi, selain pendekatan ekonomi, hal
yang lebih mendesak adalah pemerintah harus memecahkan akar penyebab konflik
Papua, yang hingga sekarang masih belum terselesaikan (Chairil & Sadi, 2020).

Analisis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papua Road Map
(PRM) merupakan acuan utama ketika berbicara tentang akar konflik Papua
(Rusdiarti & Pamungkas, 2017). Dalam analisisnya, empat isu menjadi sumber utama
konflik Papua, yakni: (1) Marginalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat asli
Papua, (2) kegagalan pembangunan ekonomi yang tidak menyertakan aspek sosial-
budaya, (3) kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara, dan (4) Perbedaan persepsi
dalam konstruksi sejarah pengintegrasian Papua ke Indonesia pada tahun 1969.

Secara spesifik, PRM menjadi acuan utama penulis untuk untuk analisis penyelesaian
konflik Papua dengan Pendekatan Mediasi Humanis. Dalam hal ini, pemerintah tidak
lagi menggunakan sistem senjata utama, melainkan sistem senjata sosial sebagai
upaya penyelesaian konflik Papua. Seperti telah disampaikan oleh LIPI (Rusdiarti &
Pamungkas, 2017), penyelesaian akar masalah konflik Papua hanya dapat dilakukan
dengan dialog, tidak dapat dengan intervensi kekerasan Oleh karena itu, pemerintah
pusat perlu memulai dialog dengan tokoh sentral OPM di bawah mediasi pihak ketiga
yang netral.

B. PENDEKATAN MEDIASI HUMANISTIK DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK PAPUA

Ada beberapa aktor dalam proses negosiasi yang telah dilakukan diantaranya:

1. Pemerintah Pusat dan Daerah


Pada dasarnya masalah yang terjadi di Papua merupakan tanggung jawab
seluruh aspek pemerintahan. Hal ini berdasarkan pada akar masalah yang
berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak “pro papua”
yang dianggap tidak memberikan ketidakadilan yang berdasar pada kondisi
keamanan yang tidak menentu, ketidakberpihakan pada orang asli Papua,
tingkat kerusakan ekosistem yang masif, dan lain sebagainya. Oleh karena itu
pemerintah pusat merumuskan Otonom Khusus Papua (Otsus Papua) yang
memberikan Pemerintah Provinsi Papua untuk mengatur sendiri di dalam
kerangka NKRI (Hukumonline.com, 2001). Namun sayangnya, kebijakan
tersebut tidak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat papua yang
akhirnya kebijakan tersebut dianggap gagal bagi kesejahteraan Papua.
Peran pemerintah daerah tidak luput dari fungsinya yang belum
mencerminkan pihak yang memberikan dampak khusus untuk kesejahteraan
masyarakat papua dalam proses negosiasi yang telah dilakukan yang
diantaranya TNI/POLRI. Faktanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
daerah hanya bertujuan untuk pihak lain diluar masyarakat Papua. Pencarian
informasi telah dilakukan sebagai langkah komunikasi dalam penyelesaian
konflik diantaranya melakukan perubahan pendekatan dialog dan menjadikan
anggota TNI maupun POLRI bertugas sebagai media negosiasi kepada pihak
separatis maupun masyarakat sipil.
2. Kelompok Kriminal Bersenjata/ Organisasi Papua Merdeka (KKB/OPM)
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
merupakan aktor penting dalam proses negosiasi, dimana kelompok ini sering
melakukan gerakan separatis dengan berbagai macam cara. Negosiasi bisa
terjadi tentunya dengan adanya persetujuan dari kelompok ini. Tetapi yang
harus diperhatikan adalah persyaratan yang diajukan sebelum proses
negosiasi. Saat ini gerakan KKB/OPM tidak lagi mengandalkan proses
negosiasi jalur militer, Kini KKB/OPM mulai menyuarakan aksinya melalui
media sehingga dianggap lebih soft” dan membuka kesempatan bagi
pemerintah Indonesia untuk dapat melibatkan mereka dalam proses negosiasi
konflik Papua (Zahra Chairani, 2019).
3. Kepala Suku/Tokoh Agama
Pasalnya tokoh agama dan kepala suku memiliki pengaruh yang besar bagi
masyarakat Papua. Kepala suku dan Tokoh agama dapat mejadi mediator
dalam proses negosiasi. Selain itu mereka juga dapat membantu mengalirkan
dan menyebarluaskan informasi tertentu termasuk indoktrinasi dari pihak-
pihak yang berkepanjangan atau para pengusaha konflik dalam rangka
membangun opini publik.
4. Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil adalah mereka yang merasakan dampak dari konflik yang
terjadi. Tidak heran juga kalau mereka sering tidak menerima kebijakan pusat.
Oleh karena itu, masyarakat juga berperan penting dalam proses negosiasi.
Dengan terlibat dalam proses negosiasi, dapat diketahui apa yang menjadi
keinginan dari masyarakat dalam upaya menyelesaikan konflik Papua.
5. Freeport
Salah satu tuntutan dari negosiasi adalah terkait dengan keberadaan Freeport
di tanah Papua yang sering menjadi salah sau penyebab konflik. Oleh karena
itu, keterlibatan Freeport dalam proses negosiasi memilki peran yang penting
sebagai salah satu pihak yang memberikan keputusan terhadap permasalahan
konflik.

C. PROSES NEGOSIASI KONFLIK PAPUA

Proses negosiasi terkait konflk di papua terus berlangsung dan belum menunjukan
hasil yang sempurna. Namun negosiasi merupakan solusi terbaik yang harus
dilakukan agar mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Konflik yang
terjadi melibatkan banyak pihak dengan tuntutan dan penyebab konflik yang berbeda.
Oleh karena itu hasil dan kemajian dalam proses negosiasi juga berbeda. Berikut
beberapa proses negosiasi yang melibatkan beberapa pihak terkait:

1. Negosiasi dengan OPM


Proses negosiasi antara pemerintah dengan OPM memang sulit terwujud.
Menurut teori negosiasi pendekatan yang digunakan adalah negosiasi
distributif dimana pada dasarnya hubungan keduanya bersifat “zero sum
game” keuntungan untuk satu pihak secara otomatis menjadi kerugian bagi
pihak lainnya.OPM menginginkan Papua untuk memisahkan diri dari
pemerintahan Indonesia sehingga melakukan negosiasi dengan kelompok
tersebut artinya mengakui kelompok tersebut sebagai aktor yang sah ataupun
setara dengan pemerintah dan membenarkan tujuan yang ingin mereka capai.
Hal lain yang pemerintah Indonesia lakukan untuk mengatasi kekecewaan dan
ketidakpuasan masyarakat Papua dengan mengeluarkan UUD No. 21 Tahun
2001 tentang Otsus Papua yang merupakan komitmen Pemerintah dan seluruh
rakyat Indonesia untuk mengadopsi perspektif baru dalam menangani
permasalahan yang ada di Provinsi Papua. Namun karena kurang
terealisasinya UUD tersebut dan sangat lemah dampaknya bagi masyarakat
Papua, menyebabkan OPM menyerukan suaranya untuk merdeka. Bukan
hanya itu, UUD No 21 tersebut dianggap hanya menguntungkan orang-orang
politik dan birokrat tertentu saja.
2. Negosiasi terkait PT. Freeport Indonesia
Keberadaan PT. Freeport Indonesia juga menuai konflik berkepanjangan.
Pasalnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di tanah Papua
memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan. Masyarakat papua
menuntut ganti rugi atas kerugian tersebut. Sehingga pemerintah melakukan
negosiasi dengan pihak Freeport dan segera menasionalisasikan terhadap
saham Freeport sebesar 51 persen, namun mengenai tuntutan ganti rugi
tersebut hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan.
3. Negosiasi terkait Perlakuan Rasial dan Diskriminasi
Kasus rasial dan diskriminasi terhadap orang Papua masih kerap terjadi yang
menyebabkan masyarakat Papua melakukan tuntutan keras. Presiden Joko
Widodo turun tangan untuk mencegah meluasnya dampak dari peristiwa
tersebut. Berdasarkan teori negosiasi, pendekatan yang digunakan adalah
negosiasi integratif yang mementingkann terselesainya solusi dengan
memperhatikan kepentingan pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah
melakukan pertemuan pada tanggal 9 Oktober 2019 yang dihadiri oleh 61
Tokoh Papua dan Papua Barat dan diajukan lagi 9 tuntutan yaitu:
1) Meminta Presiden Jokowi untuk melakukan pemekaran Provinsi 5 (lima)
wilayah adat yang terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat;
2) Pembentukan Badan Nasional Urusan Tanah Papua;
3) Penempatan Pejabat-Pejabat Eselon I dan II di Kementerian dan LPMK
(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan);
4) Pembangunan Asrama Nusantara di seluruh Provinsi dan menjamin
keamanan Mahasiswa Papua;
5) Mengusulkan Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Prolegnas 2020;
6) Menerbitkan Instruksi Presiden untuk pengangkatan ASN (Aparatur Sipil
Negara) Honorer di Tanah Papua;
7) Meminta percepatan Palapa Ring Timur Papua;
8) Meminta Presiden Jokowi mengesahkan Lembaga Adat Perempuan dan
Anak Papua;
9) Meminta Presiden Jokowi membangun Istana Presiden di Kota Jayapura.

Menanggapi tututan tersebut presiden Jokowi melakukan beberapa langkah


strategis guna menciptakan proses negosiasi yang bertujuan agar terbentuknya
kesetaraan dan pengakuan yang merata terhadap Papua. Langkah besar yang
dilakukan adalah membangun papua lebih maju melalui pembangunan
infrastrukur dan sumber daya manusia khususnya di Wamena.
BAB IV
KESIMPULAN

Konflik yang terjadi di Papua merupakan konflik vertikal yang dimana konflik ini
terjadi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat papua. Dalam proses
penyelesaiannya dilakukan negosiasi yang dimana melibatkan beberapa aktor/pihak
baik internal maupun eksternal dalam pembangunan perdamaian di Papua. Pihak
internal yang terlibat berasal dari pemerintah pusat dan daerah, OPM, kepala suku,
tokoh agama, dan anggota TNI dan POLRI yang khusus menjaga keamanan di Papua,
dan pihak eksternal yang terlibat adalah PT. Freeport Indonesia.

Dalam konflik ini, diharapkan pemerintah dapat memberikan respon cepat terhadap
tuntutan dengan melakukan proses negosiasi yang dapat mencapai kesepakatan serta
menguntungkan bagi semua pihak tanpa ada kekerasan ataupun pendekatan militer.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, A. (2014). Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik dan
Aspirasi Kemerdekaan Papua. Ejournal Universitas Diponegoro, 4.
Rohim, N. (2014). Optimalisasi Otonomi Khusus Papua dalam Peningkatan
Kesadaran Hukum Masyarakat guna Meredam Konflik dan Kekerasan. Jurnal
Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, 8.
Nugroho, A. H. (2019). Kebijakan Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam
Upaya Membangun Dialog Untuk Penyelesaian Konflik Vertikal Papua Tahun
2014-2019. Journal of Politic and Government Studies, 8.
Widjojo, M. S., Elisabeth, A., Pamungkas, A. C., & Dewi, R. (2008). Papua Road
Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sudira, I. N. (2017). Dialog dalam Resolusi Konflik-Interaktif. Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, 12(1), 33. https://doi.org/10.26593/jihi.v12i1.254
4.33-42
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/download/27056/17936
(diakses pada tanggal 14 Mei 2023 pukul 19:46 WIB)
http://www.managementstyudyhq.com/approaches-to-negotiation.html (diakses pada
tanggal 15 Mei 2023 pukul 15:33 WIB)

You might also like