You are on page 1of 4

Paper 2

Bacalah kedua cerpen berikut!

Rumah yang Terbakar


Oleh : Kuntowijoyo

Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk
halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang
larangan. Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga.
Tidak seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun
dengan resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin
dengan orang dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang,
meskipun secara administratif masuk dalam kelurahan yang sama. Kedua, orang tidak boleh
mendirikan surau di dusun itu.
Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan
adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin
dengan orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada
hubungannya dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang
antar desa. Karena itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal.
Memakai bahasa sekarang, orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara
itu adalah dusun santri dan mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan.

Demikianlah, untuk menyambut kelahiran bayi orang-orang utara akan slawatan dan orang
selatan klenengan. Perbedaan itu dulu konon jadi serius ketika Pak Jokaryo (orang arab akan
menyebutnya Zakaria ) dari dusun itu tiba-tiba jadi santri. Dia ingin mendirikan surau di
pekarangannya. Tentu saja itu membuat marah besar danyang dusun. Kabarnya umpamanya
suatu hari sebuah tiang selesai dibangun, pagi harinya tiang itu sudah pindah ke tengah hutan.
Kalau suatu hari dinding-dinding telah dibuat, pagi hari dinding akan terlihat di tepi sungai.
Seseorang yang kesurupan danyang dusun mengatakan bahwa surau boleh dibangun, tetapi di
luar desa, di tengah hutan yang wingit, tidak boleh ada mihrab, bangunan yang menonjol
tempat imam itu, jadi seperti rumah biasa. Orang harus percaya bahwa yang nyurupi adalah
danyang desa. Bagaimana tidak. Yang kerasukan itu adalah petani-petani, yang tidak pernah
makan sekolahan, tidak tahu pa-bengkong-nya kraton, tapi bahasa jawa kawinya bagus,
lengkap dengan sira (“engkau”) dan ingsun (“aku”). Jokaryo pun mengalah, dan membangun
surau tidak di desa, tapi di tengah hutan. Sehabis maghrib mereka bertemu, bersama-sama
berdzikir sampai malam. Semacam gerakan tarekat.

Rupanya tidak ada penerus Jokaryo, ketika dia meninggal surau itu dikosongkan. Kalau orang
berkendaraan atau jalan melewati hutan itu orang akan melihat rumah dari kayu dan bambu itu.
Tetapi tentu saja rumah itu sudah berubah fungsi. Anak laki-laki Jokaryo ikut transmigrasi ke
Kalimantan dan anak-anak perempuannya kawin, pindah desa. Di dusun itu tanah dan rumah
yang ditinggalkan jadi milik dusun, dan siapa saja dapat memanfaatkan. Kira-kira selama lima
belas tahun, rumah itu hanya dimanfaatkan untuk berteduh petani, pencari kayu, dan pejalan
yang kelelahan. Ada gentong tempat air dan siwur untuk mengambil air. Malam hari orang yang
lewat akan takut, sebab kata orang dusun rumah yang tak berpenghuni akan ditempati
sebangsa lelembut, apalagi hutan itu dikenal keramat.
Rumah itu begitu telantar, genting-gentingnya pecah. Maka datanglah Bu Kasno sebagai
penyelamat. Dia mengganti genting-genting yang pecah, kayu-kayu yang lapuk, dan dinding-
dinding yang menganga. Beberapa dicatnya. Pendek kata, orang yang lewat dan tidak tahu
riwayat akan mengira itu rumah baru. Kata orang Bu Kasno berbuat itu karena perewangannya
mengatakan bahwa syaratnya menjadi kaya ialah memperbaiki rumah itu. Rumah itu dibuat
ramai kembali oleh Bu Kasno. Mula-mula orang-orang dusun berterima kasih pada Bu Kasno.
Tetapi, tidak semua orang bergembira dengan “kebaikan hati” Bu Kasno. Rumah itu jadi aib
dusun! Sekaligus membuat dusun kecil itu terkenal!
Bagaimana tidak terkenal, Bu Kasno telah menyulap banguna tua di tengah hutan itu jadi
tempat yang hidup di malam hari. Rumah itu telah menjadi semacam pulau kebebasan yang
terlengkap di dunia: ada tempat minum-minum, ada bordil. Pikiran untuk menjadikan rumah itu
sebagai tempat judi juga, selalu dibuang jauh oleh Bu Kasno karena ia segan berurusan
dengan polisi. Kabarnya perewangan pun setuju dengan kebijakan Bu Kasno.
Orang-orang dusun itu terbagi tiga. Yang tidak setuju dengan Bu Kasno berpikir bahwa tidak
nglakoni (“ menjalankan syariat”) itu boleh-boleh saja, tapi tidak ada caranya untuk pergi ke
perempuan nakal. Itu tidak sesuai dengan ajaran adapt manapun, tidak cocok dengan agama
manapun. Perempuan itu boleh asal yang baik-baik perempuan rumahan masih ada, mosok
cari yang murahan. Mereka yang setuju dengan Bu Kasno berpendapat bahwa ia telah
menyuguhkan hiburan yang paling top di dunia. Orang jawa itu harus ja dan wa, harus nglegena
artinya telanjang, apa adanya, sewajarnya, tidak boleh mengatakan tidak butuh padahal
memerlukan. Petani harus jadi petani, jangan berpura-pura jadi santri, tidak ada gunanya pura-
pura alim.
Minum dan perempuan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Yang bisa dihukum itu
memperkosa, tetapi tidak hubungan yang suka-sama-suka. Sebagian kecil orang, terutama
yang di sekitar masjid (tidak ada yang tahu kenapa akhirnya yang mbaurekso pun mentolerir
pembangunan masjid), sangat tidak setuju dengan ulah Bu Kasno. Mereka berpendapat itu
telah mencoreng muka sendiri.
Orang-orang desa pun bertambah maju. Mereka juga tahu tentang cara-cara modern untuk
menikmati servis yang disediakan Bu kasno itu. Begini: mula-mula minum, lalu ngamar. Minum
menjadikan badan panas dan orang yang paling pemalu pun akan jadi pemberani, hilang sekat-
sekat. Jangan terbalik. Atau, kalau terang bulan, minum sekadarnya lalu ajak salah seorang
penghuni untuk jalan-jalan di hutan. Dan disanalah rumah yang paling alami, mungkin sama
seperti nenek moyang sebelum peradaban sopan santun menjerat orang. Hutan yang dulu
keramat dan banyak hantunya, telah ditinggalkan oleh para mahluk halus, karena mulai banyak
orang lalu-lalang di situ. Lagi pula Bu Kasno telah membuat perjanjian bahwa mereka yang
tidak kelihatan tak akan mengganggu “anak-anaknya”. Pada malam hari rumah itu akan dihiasi
lampu-lampu gantung, sekalipun dari luar tampak sunyi, di dalam meriah, banyak orang.
Yang paling gelisah dengan servis Bu Kasno ialah orang-orang sekitar masjid. Masih banyak
yang tahu persis bahwa rumah yang ditempati (mereka tidak sampai hati untuk menyebut
rumah bordil apalagi pelacuran, sebab itu akan menyakitkan hati mereka sendiri) ialah bekas
milik Jokaryo yang dulu untuk surau. Tetapi tidak ada cara menyalurkan kegelisahan.
Menggugat ke desa hanya mengingatkan orang akan “luka-luka” lama. Kekhawatiran mereka
akan kegagalan memang beralasan, sebab banyak aparat desa telah menjadi pelanggan Bu
Kasno. Kalau berhasil akan beruntung, kalau gagal akan buntung selamanya.
Di antara orang yang paling gelisah ialah Ustadz Yulianto Ismail. Dia telah datang jauh-jauh dari
sebuah pesantren, tinggal disitu untuk mengajar, nyaris tanpa gaji, dan menghadapi tantangan
yang begitu berat. Dia merasa bertanggung jawab. Dan susahnya, ia tidak bisa berbuat apa-
apa. Demikianlah usaha itu berjalan bertahun-tahun tanpa gangguan. Bu Kasno pun menjadi
kaya. Dari rumah bamboo (orang menggambarkan rumah Bu Kasno yang dulu ibarat sarng
laba-laba yang akan terbang oleh angina dan akan hanyut oleh hujan) telah menjadi rumah
tembok (orang desa bilang rumahnya sekarang magrong-magrong, megah). Selain itu, Bu
Kasno juga punya tiga buah colt yang menghubungkan desa pelosok itu dengan kota.

Akhirnya, jalan itu ditemukan oleh Ustadz Yulianto. Bu Kasno kematian suaminya, dan orang-
orang desa menghubungkan kematian suami dengan kekayaan Bu Kasno. Dikabarkan,
kematian itu termasuk dalam perjanjian dengan perewangan. Bu Kasno mengumumkan
usahanya akan ditutup selama seminggu, selama tujuh hari penuh rumah ditengah hutan akan
ditutup sama sekali. Untuk melaksanakan rencananya, Yulianto harus bekerja sendirian, sebab
ini pekerjaan rahasia. Dengan sepeda sudah ditelitinya bahwa rumah itu sama sekali kosong,
tidak seorangpun menjaga, hanya satu lampu minyak yang tetap dinyalakan di depan. Apa
yang akan dikerjakan Yulianto? Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah
pekerjaan utama seorang ustadz! Itu berarti nahi `anil munkar, mencegah kejahatan.
Demikianlah pada lepas tengah malam Yulianto keluar membawa sepedanya. Ditangannya ada
minyak tanah dalam kaleng plastic. Penduduk desa itu sudah tertidur karena lelah setelah tiga
malam berturut-turut gaple di rumah Bu Kasno. Jadi tidak seorangpun akan menjadi saksi
perbuatan ustadz itu. Ia keluar dari desa ketika terdengar seekor ayam jantan berkokok. Kata
orang desa, ada jago berkokok tengah malam begitu berarti ada janda mengandung. Yulianto
melihat jam tangan dengan korek api begitu ia memasuki kawasan hutan: pukul dua. Hutan itu
sunyi, gelap, pohon-pohon jati berdiri kaku. Dengan ketetapan penuh dan semangat bernyala-
nyala Yulianto mengayuh sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di pohon, syukurlah tidak
ada orang. Bahkan mungkin bintang dan angina pun tertidur. Dia mulai menuangkan minyak
pada dinding-dinding dari bambu dan tiang dari kayu. Pekerjaan itu belum pernah dilakukannya,
seumur hidup dan baru sekali, namun ia mengerjakan dengan sempurna. Sekarang ia
mengeluarkan korek dan berdoa sebentar.
Dinyalakannya korek itu. Dinding bamboo menyambut api. Setelah yakin akan hasil kerjanya,
usaha ini tidak boleh gagal, Yulianto menarik sepedanya dan kembali memasuki desa. Dia
mencoba tidur, tapi sampai subuh tiba, badannya hanya miring ke kanan dan ke kiri. Ketika
subuh tiba, dia mengambil wudhu, orang lain telah mendahului adzan.
Selesai sembahyang, seseorang berkata,”Ustadz, rumah di tengah hutan itu terbakar:.
“Alhamdulillah,” kata orang banyak.Jamaah masjid itu pergi keluar desa untuk melihat apa yang
telah terjadi. Banyak orang mengerumuni rumah itu. Api telah padam. Orang mulai bergerak
maju melihat apa yang tertinggal. Tiba-tiba seorang berteriak,”ada orang disini!”
Orang pun mulai mengeluarkan mayat dari reruntuhan.
“Dua orang!” Orang menemukan dua mayat.
“Satu laki-laki, satu perempuan!”
Rasanya mereka kenal betul dengan yang perempuan. Kerumunan itu disibukkan oleh seorang
perempuan yang segera menabrak mayat.
“Oalah, nduk. Begitu besar tekadmu. Maafkanlah ibumu ini!”
Tahulah orang bahwa mayat perempuan itu adalah gadis dusun itu, dan mayat laki-laki adalah
pemuda dari dusun di utara pematang.
Orang tua gadis itu melarang mereka berhubungan. Mereka telah terbakar di tempat itu waktu
berpacaran. Orang-orang berpikir mereka sengaja bunuh diri bersama. Dari kerumunan muncul
Ustadz yang memandangi dengan nanar pada dua mayat.
“Astaghfirullah,” katanya, kemudian terjatuh tak sadar.

Jawablah dengan memilih salah satu pertanyaan berikut!

1. Bagaimana karya diatas menggambarkan perjuangan untuk dipahami?


2. Diskusikan bagaimana karya tersebut menyajikan konsep baik dan buruk, tidak mutlak
gagasan, tetapi sebagai masalah persepsi individu.

You might also like