You are on page 1of 15

1

AIDS

Pendahuluan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali dilaporkan
menunjukkan manifestasi klinis pada tahun 1981. Acquired berarti terinfeksi.
Immune deficiency berarti melemahnya sistem pertahanan tubuh dalam melawan
penyakit. Syndrome adalah kumpulan gejala penyakit. Center for Disease Control
and Prevention (CDC) secara empirik mendefinisikan AIDS sebagai “suatu
diagnosa penyakit yang setidaknya dapat menggambarkan adanya kerusakan pada
sel imun perantara” (Kasper L et al, 2005; Tyldesley W 1995)
Setelah virus penyebab AIDS ditemukan, yaitu HIV (dulu disebut HTLV-
III/LAV), tes spesifik dan sensitif terhadap infeksi HIV berkembang, dan definisi
HIV mengalami beberapa revisi. Definisi terkini mengkategorikan penderita HIV
berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan infeksi HIV dan jumlah
CD4 + T limfosit. Oleh sebab itu, infeksi HIV harus dipandang sebagai suatu
gangguan yang berkisar mulai dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom HIV
akut, sampai tahap terinfeksi asimptomatik dan penyakit lebih lanjut (Kasper L et
al, 2005)

Insidensi
Pada tahun 2004, AIDS sudah menyebar di seluruh propinsi di Indonesia.
Rata-rata tertinggi adalah Papua sebesar 14,22 persen, diikuti Jakarta sebesar 3,06
persen, dan Bali sebesar 1,09 persen (Tempo, 2004).

Etiologi dan Patogenesis


AIDS disebabkan oleh Human Immunideficiency Virus (HIV) yang
termasuk golongan retrovirus. Ada 2 tipe HIV : HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe
dapat menyebabkan kerusakan imun tapi HIV-2 lebih tidak aktif dan transmisinya
tidak terlalu cepat. Rentan waktu dari awal infeksi sampai AIDS dilaporkan
2

sekitar 10 tahun akibat HIV-1 dan 20 tahun akibat HIV-2. Umumnya infeksi HIV
di dunia disebabkan oleh HIV-1 (Greenberg, M dan Glick, M, 2003)
HIV dapat menginfeksi sebagian besar sel tubuh manusia, namun sel yang
paling sering terinfeksi adalah sel dengan reseptor CD4 termasuk T-helper
limfosit (sel CD4), monosit dan makrofag. Sel T dapat dikenali karena terdapat
molekul CD4 pada permukaan sel tersebut yang merupakan reseptor seluler
primer HIV. Dibutuhkan suatu co-reseptor pada CD4 agar HIV dapat masuk
mencapai sel target. Dua co-reseptor utama HIV adalah CCR5 dan CXCR4.
Sehingga tidak hanya CD4 + T limfosit / monosit yang menjadi sel target HIV,
tapi semua sel dengan CD4 dan salah satu co-reseptor dapat diinfeksi
HIV(Greenberg, M dan Glick, M, 2003; Kasper D et al, 2005; Little J et al, 2002)
Infeksi HIV paling sering ditularkan lewat transmisi seksual. Transmisi
lainnya adalah lewat cairan yang terinfeksi seperti darah atau produk darah, dari
ibu ke bayi, dan akibat kecelakaan kerja .HIV dapat diisolasi saliva, air mata, air
susu ibu, cairan ceresbrospinal dan urin. Namun transmisi HIV hanya terjadi
lewat cairan darah, semen, dan sekresi vagina. (Little J et al, 2002; Topazian R et
al, 2002).
Untuk menginfeksi sel host, virus yang ditransmisikan akan berikatan -
lewat glycoprotein 120 envelop protein - dengan satu atau dua reseptor seluler,
reseptor sel T CD4 pada T limfosit atau reseptor chemokine CCR5 pada monosit
atau sel dendritik. Setelah inokulasi intravagina atau rectal, terjadi ikatan viral
dengan reseptor chemokine CCR5 sel dendritik. Sel ini terdapat dalam lamina
propria. Terjadi replikasi viral yang cepat dalam sel-sel tersebut. Kemudian sel
dendritik akan bermigrasi ke nodus limfe regional dimana virions dilepaskan
untuk menginfeksi CD4+ T limfosit. Individu yang kekurangan reseptor CCR5
resisten terhadap resiko infeksi lewat transmisi seksual. Segera terjadi viremia
plasma disertai diseminasi yang meluas terutama ke organ limfoid dan CNS.
Timbul respon imunologi yang kuat pada host dan sekitar setengah dari individu
yang terinfeksi mengalami mononucleosis-like acute syndrome. Level viral
plasma RNA menurun drastis untuk mencapai batas stabil, terkadang disebut viral
3

set-point. Perjalanan penyakit dan gejala dan tanda yang bermanifestasi


tergantung dari keseimbangan antara produksi CD4+ T limfosit (sel penting dalam
respon imun host untuk mengontrol replikasi viral) dan penghancuran sel target
sel tersebut oleh virus (Topazian R et al, 2002).

Seseorang yang terinfeksi virus akan mengembangkan antibodi dalam 6


sampai 12 minggu. Pada sebagian besar individu terinfeksi terjadi viremia dalam
2 sampai 6 minggu. Sebagian lainnya membutuhkan waktu 6 bulan untuk
mencapai serokonversi. Periode inkubasi AIDS panjang yaitu sekitar 10 sampai
12 tahun) Hanya sekitar 30 persen individu dengan AIDS meninggal 3 tahun
setelah didiagnosis, sedangkan 50 persen lainnya hidup di atas 10 tahun.
Saat virus yang memegang peranan, terjadi reduksi sel T-helper dan
perubahan rasio T4 terhadap T8 limfosit. Rasio normal T - helper dan T -
suppressor limfosit adalah 2:1 (60% T-helper, 30% T-suppressor). Pada AIDS,
rasio T4/T8 adalah sebaliknya. Hal ini menjelaskan kurangnya respon imun pada
pasien AIDS dan peningkatan keganasan yang berhubungan dengan AIDS, seperti
Sarkoma Kaposi, limfoma, karsinoma cervix, dan kasinoma rectum.
Setelah periode asimptomatik yang lama, pada sebagian besar kasus,
seiring semakin menurunnya jumlah CD4 dan HIV terus , individu yang terinfeksi
akan menunjukkan gejala seperti limfadenopati, demam, berat badan menurun,
4

diare, berkeringat pada malam hari, faringitis, rash, myalgia dan arthralgia, sakit
kepala, neuropathy dan malaise, dan akhirnya AIDS.
Umumnya saat jumlah CD4 turun di bawah 200, pasien rentan terhadap
infeksi oportunistik, termasuk pneumocytosis carinii pneumonia, toxoplasmosis,
influenza, histoplasmosis, infeksi cytomegalovirus (CMV), dan penyakit
mucocutaneous seperti kandidiasis. Infeksi oportunistik merupakan penyebab
utama kematian penderita HIV/AIDS (Little J et al, 2002)

Gejala dan tanda


Dalam periode 2 sampai 6 minggu setelah infeksi HIV awal, lebih dari
50% pasien mengalami acute flulike viremia selama 10-14 hari. Pasien ini
terjangkit HIV tapi antibodi-nya negatif. Umumnya mereka akan mengalami
serokonversi dalam 6 minggu sampai 6 bulan dan kemudian memiliki antibodi.
Setelah terjangkit HIV dan terjadi serokonversi, dapat diidentifikasikan 3 grup
pasien (Little J et al, 2002)
Grup 1. Immediate post-HIV exposure. Setelah mengalami sindrom
penyakit post-serokonversi singkat, antibodi pasien positif HIV tapi asimptomatik
dan dari hasil laboratorium tidak menunjukkan kelainan.
Grup 2. Progressive immunosupresion, tahap HIV simptomatik. Hasil lab
menunjukkan kelainan (misal: limfopenia: rasio T-helper/T-supressor; umumnya
kurang dari 1). Selain antibodi positif HIV juga menunjukkan beberapa gejala dan
tanda klinis, seperti pembesaran nodus limfe, berkeringat malam, berat badan
berkurang, kandidiasis oral, demam, malaise, dan diare.
Grup 3. Penderita AIDS, termasuk Sarkoma Kaposi, wasting syndrome,
lymphoma, karsinoma cervix atau rectal, CNS symptoms disertai dementia, dan
infeksi oportunistik yang membahayakan jiwa (misal, tuberkulosis, pneumonia),
jumlah CD4 kurang dari 200 dan perubahan rasio T4/T8 menjadi 0,5 atau kurang.
Antibodi positif HIV dan menunjukan limfadenopati general disertai penurunan
berat badan drastis, lemas, diare kronik, demam kronik, dan berkeringat malam.
HIV dapat menginfeksi CNS dan sering berkembang menjadi bentuk dementia
5

progresif. Pasien dapat mengalami kebingungan dan disorientasi atau kehilangan


ingatan sementara. Sebagian lainnya dapat mengalami depresi atau paranoia dan
menunjukkan kecenderungan untuk bunuh diri (Little J et al, 2002).

Gambaran Laboratorium
Antibodi positif terhadap HIV menunjukkan bahwa seseorang telah
terinfeksi virus. Individu yang paling rentan terkena AIDS adalah mereka yang
berulang kali terpapar virus serta mempunyai sistem imun yang sering diserang
berbagai antigen (semen, hepatitis B, atau produk darah).
Pada tahun 1985, tersedia beberapa screening test untuk mengidenti-
fikasikan antibodi HIV. Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) termasuk
sensitif tapi rata-rata hasil false-positive tinggi. Pemeriksaan pertama saat ini
masih tetap menggunakan ELISA. Bila hasil pertama positif, dilakukan ELISA
kedua. Seluruh hasil positif kemudian diuji ulang lewat tes kedua, analisa Western
blot. Keakuratan kombinasi screening test ini lebih dari 99%. Hasil tes ELISA dan
Western blot positif hanya menunjukkan bahwa individu terjangkit virus AIDS.
Tes-tes ini tidak mengindikasikan status infeksi HIV atau apakah AIDS sudah
terjadi. Begitu pun untuk mengetahui apakah pasien dalam keadaan viremia, perlu
dilakukan tes khusus, DNA polymerase chain reaction (PCR). Tes ELISA yang
dikembangkan oleh Wellcome, 98% sensitif dalam mendeteksi antibodi HIV
dalam saliva. Bagi bayi baru lahir yang dicurigai terinfeksi HIV dilakukan tes
untuk mendeteksi antibodi sekresi saliva immunoglobulin A (Little J et al, 2002)

Manifestasi oral
Pada manifestasi oral, gambaran klinis umum AIDS dapat berupa
kandidiasis, Sarkoma Kaposi, hairy leukoplakia, herpes simplex, herpes zoster,
stomatitis apthosa rekuren, eritema gingiva linear, necrotizing ulcerative
periodontitis, dan necrotizing stomatitis. Secara keseluruhan manifestasi oral
tertera pada tabel 1.
Infeksi jamur Human papillomavirus
6

Kandidiasis* Oral warts


Pseudomembran Condyloma acuminatum
Erythematous Focal epithelial hyperplasia
Hiperplastik Epstein Barr virus
Angular cheilitis Hairy leukoplakia*
Histoplasmosis Neoplasma
Cryptococcosis Sarkoma Kaposi*
Geotrichosis Non-hodgkin limfoma
Infeksi bakteri Facial palsy
Eritema gingiva linear* Trigeminal neuropathy
Necrotizing ulcerative periodontitis Stomatitis apthosa rekuren*
Necrotizing stomatitis Minor
Mycobacterium avium intracellular Major
Actinomycosis Herpetiform
Infeksi virus Immune thrombocytopenic
purpura
Herpes simplex* Pembesaran kelenjar saliva
Herpes zoster Xerostomia
Cytomegalovirus Pigmentasi melanotic
Tabel 1. Manifestasi oral infeksi HIV
Note : * lesi yang sering ditemukan

Gambar 2. Sarkoma Kaposi pada rongga mulut


7

Gambar 3. Kandidiasis palatum

Gambar 4. Oral leukoplakia

Pengobatan
Prinsip umum perawatan pasien meliputi konseling, dukungan psikologi,
dan screening infeksi serta memerlukan pengetahuan yang cukup mengenai
proses penyakit yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Perawatan medis infeksi HIV merupakan kombinasi terapi antiretroviral
atau HAART. Supresi replikasi HIV penting untuk mempertahankan hidup serta
kualitas hidup penderita infeksi HIV. Obat-obatan untuk perawatan infeksi HIV
dikelompokkan dalam tiga kategori : golongan obat yang menghambat enzim
virus reverse transcriptase, golongan obat yang menghambat enzim protease
virus, dan golongan obat yang menghambat jalan masuk virus.
Nucleoside Analogues. Hanya boleh digunakan dengan kombinasi agen
antiretroviral lainnya. Pengecualian untuk zidovudine yang digunakan sebagai
monoterapi untuk mencegah transmisi HIV ibu ke anak saat ibu tidak memerlukan
terapi antiretroviral berdasarkan tahap penyakitnya. Penggunaan yang paling
8

umum adalah bersama dengan analog nucleoside lain, non- nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, atau protease inhibitor.
Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor. Agen ini mempengaruhi
fungsi HIV reverse transcriptase lewat ikatan dengan daerah luar dari daerah
yang aktif dan menyebabkan perubahan dalam enzim yang membuatnya tidak
aktif. Agen ini sangat ampuh namun hanya digunakan sebagai monoterapi karena
cepat menimbulkan resistensi obat. Tiga obat dalam golongan ini adalah
nevirapine, delavirdine, dan efavirenz. Obat-obatan ini harus digunakan dengan
kombinasi antiretroviral lain.
Protease inhibitor. Obat ini ampuh dan merupakan inhibitor selektif
enzim protease HIV serta aktif dalam kisaran nanomolar. Sayangnya, seperti
halnya nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor, keampuhannya diikuti
dengan terjadinya resistensi yang cepat saat obat ini digunakan sebagai
monoterapi. Oleh sebab itu, protease inhibitor harus dikombinasikan dengan obat
antiretroviral lain.
HIV entry inhibitor. Merupakan golongan antiretroviral terbaru. Agen ini
bekerja dengan cara merusak ikatan HIV dengan reseptor atau co-reseptor atau
dengan merusak proses penyatuan. Sejumlah molekul kecil yang berikatan dengan
HIV co-reseptor sedang dalam penelitian. Obat pertama golongan ini yang telah
terdaftar adalah yang bekerja dengan merusak proses penyatuan yaitu enfuvirtide.

Kesimpulan
AIDS adalah suatu diagnosa penyakit yang setidaknya dapat
menggambarkan adanya kerusakan pada sel imun perantara. AIDS disebabkan
oleh infeksi HIV yang tergolong retrovirus. Virus ini terutama menyerang CD4 +

sel T limfosit yang berperan penting dalam mekanisme imun tubuh.


Penularan infeksi HIV adalah melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti
darah dan produk darah, terutama lewat transmisi seksual. Penderita yang
terinfeksi HIV tidak langsung menunjukkan tanda dan gejala karena melewati
tahap serokonversi. Semakin melemahnya sistem imun tubuh akan menimbulkan
9

kondisi yang rentan untuk terjadinya infeksi oportunistik. Manifestasi akibat


infeksi HIV dapat meliputi manifestasi oral.
Untuk mengetahui seseorang terinfeksi HIV dilakukan pemeriksaan
laboratorium ELISA dan Western Blot. Pengobatan untuk penderita infeksi HIV
meliputi beberapa terapi, secara konseling, dukungan dan terapi medis.

Daftar Pustaka
Greenberg, M. S dan Glick, M. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis &
Treatment.10th ed. BC Decker. Hamilton. h. 539-541.
Kasper, L et al. 2005. Harrison’s Manual of Medicine. 16th ed. McGraw
Hill. United States. h. 424-439.
Little, J. W et al. 2002. Dental management of the medically compromised
patient. 6th ed. Mosby. St. Louis. h. 221-232
Tempo, 2004. Rata-rata penyebaran HIV di Indonesia. www.tempo-
online.com
Topazian, R.G. 2002. Oral and maxillofacial infections. 4th ed. W. B
Saunders Company. Philadelphia. h. 273.
Tyldesley, W. R dan Field, E. A. 1995. Oral medicine. 4th ed. Oxford.
Liverpool. h. 49-50.
10

Tahapan siklus hidup HIV adalah sebagai berikut :


1. Viral Attachment
Setelah masuk dalam darah, HIV akan berikatan dengan sel limfosit T
sehingga dapat menempel pada sel dan menginjeksikan materi genetiknya
(blueprint untuk memperbanyak diri). Perlekatannya adalah antara protein di
permukaan virus dan protein yang bertindak sebagai reseptor di permukaan sel T.
Dalam keadaan normal, reseptor ini tersebut membantu sel berkomunikasi dengan
11

sel lainnya. Dua reseptor, CD4 dan beta-chemokine (CCR5 atau CXCR4),
digunakan HIV untuk berikatan pada sel. Pada permukaan viral envelope, dua set
protein (diketahui sebagai antireseptor) disebut gp120 dan gp41 berikatan dengan
CD4 dan CCR5/CXCR4.

2. Viral Penetration/Fusion
Setelah perlekatan sempurna, terjadi penetrasi virus dimana nukleokapsid
virus diinjeksikan ke sitoplasma sel.

3. Uncoating
Saat penetrasi HIV menembus membran sel, maka informasi genetik
(RNA) siap ditransmisi ke dalam sel. RNA virus diproteksi dalam nucleocapsid .
12

Sebagian nucleocapsid harus larut agar RNA virus dapat diubah menjadi DNA.
Hal ini terjadi agar materi genetik HIV dapat menyatu dengan inti genetik sel T.

4. Reverse Transcription
Proses RNA HIV dikonversikan menjadi DNA disebut reverse
transcription. Proses ini berlangsung hampir di setiap sel tubuh manusia tapi
dengan arah sebaliknya, dari DNA menjadi RNA. DNA sel nukleus ditranskrip
menjadi messenger RNA yang akan mengarahkan berbagai fungsi metabolik sel
untuk melakukan tugasnya dalam tubuh. HIV menggunakan enzim reverse
transcriptase untuk menjalankan proses transkripsi tersebut. RNA single-stranded
ditrankripsikan menjadi DNA double strand yang mengandung informasi yang
diperlukan HIV untuk menguasai mekanisme genetik sel T agar dapat
bereproduksi. Reverse transcriptase menggunakan nucleotides dari sitoplasma
untuk melengkapi proses tersebut.
13

5. Integration
Saat HIV berhasil menterjemahkan instruksinya dari RNA ke DNA, HIV akan
memasukkan DNA-nya tersebut ke dalam DNA sel. Proses ini disebut integrasi.
Dalam sebagian besar sel tubuh manusia terdapat struktur yang disebut nukleus
sel yang merupakan tempat penyimpanan DNA sel.
Setelah DNA virus sukses berintegrasi, sel host menjadi laten terinfeksi
HIV. DNA virus bertindak sebagai provirus yang menunggu untuk diaktivasi.
Saat sel imun teraktivasi, provirus laten juga teraktivasi.

6. Budding
14

Tahap terakhir siklus hidup virus disebut budding. Dalam proses ini materi
genetik dalam nucleocapsid bergabung dengan membran sel untuk membentuk
viral envelope baru. .
HIV tergolong retrovirus dimana virus ini akan menginfeksi sel tubuh dan
menggunakan energi dan nutrisi sel tersebut untuk tumbuh dan berkembang. Bila
terinfeksi HIV, tubuh akan berusaha untuk melawannya maka timbul suatu
antibodi. Tes darah pada penderita HIV dilakukan untuk mencari antibodi
tersebut. Penderita HIV positif atau berpenyakit HIV, tidak sama dengan
mengalami AIDS. Banyak orang HIV positif tapi tidak sakit selama bertahun-
tahun.
Virus tidak dapat bereproduksi tanpa bantuan sel hidup. Walaupun HIV
dapat menginfeksi sejumlah sel-sel tubuh tapi target utamanya adalah limfosit,
khususnya sel CD4 helper, jenis sel T. Sel T penting dalam sistem imun karena
membantu respon tubuh dalam banyak infeksi yang umum tapi fatal saat
menyerang tubuh. Bila sel T kurang maka sistem imun tubuh tidak mampu untuk
melawan banyak infeksi. Lewat cara yang belum sepenuhnya dimengerti, siklus
hidup HIV secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan pengurangan
jumlah sel T dalam tubuh yang pada akhirnya akan meningkatkan resiko infeksi.
Setelah HIV masuk ke dalam tubuh – lewat sex yang tidak aman, jarum
yang terkontaminasi, transfusi darah atau dari ibu ke anak (transmisi vertikal atau
perinatal – akan langsung berkontak dengan sel tubuh (host) yaitu sel T.
Kemudian HIV akan menguasai mekanisme seluler sel host untuk bereproduksi
ribuan kali. Untuk mencapai tujuannya tersebut, HIV harus melewati beberapa
tahap.
Dengan mengetahui cara kerja HIV dan reproduksinya (siklus hidup HIV)
dalam sel tubuh manusia akan membantu para peneliti untuk menemukan obat
baru yang lebih efektif menekan perkembangan HIV dengan efek samping lebih
sedikit.
Seiring berkembangnya penyakit HIV, sistem imun semakin menurun.
Virus, parasit , jamur dan bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan
15

masalah akan berbahaya saat sistem imun tubuh rusak. Keadaan ini disebut infeksi
oportunistik.

You might also like