You are on page 1of 1

Untukmu laki-laki berlesung pipi yang tiba-tiba mengubah hidupku.

Hari itu kukira aku telah berhasil


melarikan diri ke suatu tempat dimana tak ada seorangpun yang mengenalku dan aku bisa merayakan
rasa sakitku dengan sebebas-bebasnya. Aku ingin murung tanpa harus ditanya mengapa atau aku ingin
menangis sejadi-jadinya tanpa ada orang yang hanya bisa menyuruhku untuk tabah dan sabar. Tabah?
Sabar? Omong kosong! Tak ada satu orang pun di dunia ini yang benar-benar siap kehilangan sesuatu
yang mereka cintai setengah mati. Ya, bagiku kehilangan Rio calon suamiku adalah kiamat kecil yang
membuat hidup aku yang maha teratur ini jadi porak poranda. Kematian merenggut sebuah
kebahagiaan yang nyaris sempurna. Sedari kecil, mimpi besarku adalah jadi pengantin walau semua itu
terdistraksi saat aku beranjak remaja. Jadi pengantin saja ngga cukup dan aku memilih jadi dokter
karena aku merasa Ibuku nampak keren saat tiba-tiba harus ninggalin aku karena ada pasien yang harus
di operasi. Sayang, gak semua orang menganggap itu keren termasuk ayahku. Ayah berselingkuh dari ibu
dengan dalih ibu terlalu sibuk. Saat itu usiaku baru 11 dan hanya bisa bertanya dalam hati saja, kenapa
bisa orang dewasa seperti ayah bisa begitu mudah berkhianat padahal ada aku. Harusnya aku jadi alasan
terakhir ayah untuk tetap bertahan disamping ibu. Kadang aku menyalahkan ibu tapi saat aku ikut ke
rumah sakit tempat ibuku bekerja, dia sering ninggalin aku dan ayah untuk menyelamatkan semesta
walau rumah tangganya sendiri tak bisa diselamatkan.

Kejadian itu terekam jelas dikepalaku, bagaimana ibu dan ayah selalu bertengkar di kamar tapi suara
mereka tetap terdengar menembus dinding kamarku. Aku sering menangis, berharap telinga ini tuli. Aku
benci ayah dan durhakanya aku, aku selalu berdoa agar ibu cepat berpisah saja. Aku rasa perpisahan
bagi dua orang yang sudah tak sepadangan tentang hidup bukanlah hal buruk. At least baik ibu dan ayah
bisa lebih bahagia tanpa harus saling bertengkar dan teriak tiap hari. Dan doaku terkabul diusiaku yang
ke 12. Aku tinggal dengan ibu, dan ayah tak pernah lagi ada kabar entah kemana. Bibiku bilang dia jadi
pengusaha sepatu di antah berantah. Tak pernah ku cari tau karena merindukan sajapun aku tak pernah.
Ditengah perasaan skeptisku terhadap cinta dan laki-laki, Rio datang mebepis semua prasangkaku.
Meyakinkanku bahwa masih ada cinta hari ini. Dimataku, dia sempurna dan aku mencintainya seperti
aku mencintai diriku. Teman aku berjuang meraih impianku, jadi dokter spesialis anak. Bekerja di rumah
sakit nomor 1 di negeri ini dan setelah semua itu terwujud dia pergi. Rio kayak malaikat yang ngasih aku
sayap buat terbang. Saat sudah terbang tinggi, he said good bye seolah tugasnya sudah selesai. Aku rasa,
aku tak akan pernah menikah. Kali ke 2, prasangka aku terhadap cinta, Tuhan cederai. Aku terluka.
Sungguh.

You might also like