You are on page 1of 10

KAJIAN PUSTAKA

USULAN PENELITIAN

KAJIAN PENENTUAN POTENSI WISATA BUDAYA DAN SPIRITUAL


BERKELANJUTAN: STUDI KASUS GRIYA
SEBAGAI SALAH SATU RUANG BUDAYA DAN SPIRITUAL DI BALI

Untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Metode Analisis Kuantitatif

OLEH

IDA AYU KINTAN PRADNYAWATI


NIM 2181011034

PROGRAM STUDI MAGISTER KAJIAN PARIWISATA


FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KAJIAN PUSTAKA

1. Penelitian Terdahulu

Obyek wisata berkembang pesat di Bali. Selain itu, keinginan yang semakin besar di
kalangan wisatawan untuk mendapatkan pengetahuan langsung tentang budaya dan tradisi
spiritual Bali sebagai salah satu kearifan lokal mengharuskan adanya identifikasi dan perencanaan
objek wisata yang relevan di Bali untuk tujuan pendidikan dan pertukaran budaya. Objek wisata
yang diutamakan, tentu saja yang bersifat berkelanjutan; melibatkan masyarakat local,
menyeimbangkan kebutuhan masyarakat local dan wisatawan, melibatkan pemangku kepentingan
dan pihak lain, memberikan kemudahan untuk pengusaha local, membangkitkan bisnis lain dalam
masyarakat, bekerjasama dengan operator penjual paket wisata, namun tetap memperhatikan
peraturan/perundang-undangan sehingga dapat menjamin keberlanjutan dalam prinsip
optimalisasi, lengkap dengan monitoring dan evaluasi untuk menjaga keterbukaan penggunaan
sumber daya alam dan peningkatan keterampilan sumber daya manusia agar tercipta quality of life,
quality of opportunity, dan quality of experience (Agustina, 2021; Arida, n.d.; Jayandi, 2021;
Pemayun, 2018). Griya, sebagai salah satu pemukiman pendeta Bali dan beberapa keturunannya
(griya = grëha, tempat tinggal pendeta, yang berhubungan dengan ritual, teologi, filsafat,
metafisika dll), belum umum digunakan sebagai area wisata budaya hingga masa kini. Suasana
keluarga yang menetap di Griya, budaya tata krama di Griya, kegiatan sehari-hari maupun berkala,
upakara-upakara yang dilaksanakan di Griya, dan sebagainya merupakan kumpulan budaya Bali.
Secara keseluruhan, Griya memainkan peran penting dalam poros budaya dan spiritual Bali.

Sama seperti keberadaan Puri yang sudah biasa dijadikan obyek wisata budaya, Griya juga
letaknya tersebar diseluruh Bali. Griya, secara historis, ada yang terletak didekat maupun di dalam
kompleks Puri, mengingat, hubungan Griya dan Puri pada jaman dahulu sangat erat. Sesuai
dengan hakikat Griya sebagai pemukiman pendeta Bali, dimana pada jaman dahulu setiap raja
memiliki bagawantha (pendeta kerajaan/purahita) untuk berperan sebagai penasehat kerajaan.
Namun hal tersebut juga tidak menutup letak Griya di lokasi lain, seperti di dekat sumber air
(pancuran atau beji suci), berhubung Griya sebagai pemukiman pendeta selalu memerlukan air
suci untuk keperluan ritual atau pemujaan. Semakin berkembangnya waktu, letak Griya sudah
berjalan selaras dengan perkembangan jaman, dimana terdapat transportasi yang dapat
mempermudah perjalanan ke sumber air.

Selama ini, sebagian besar Griya, walaupun sejatinya adalah sebuah pemukiman, juga
terbuka untuk masyarakat umum di Bali. Masyarakat Bali pergi mengunjungi sebuah Griya untuk
berbagai keperluan, terutama keperluan upakara agama Hindu Bali. Keperluan tersebut berupa
seperti memohon pendeta untuk memimpin sebuah upacara agama, dimana upacara agama di Bali
terhitung sangatlah banyak. Keperluan lain seperti bekerja dan belajar mengenai budaya Bali juga
dilakukan di Griya. Masyarakat umum dapat bekerja di sebuah Griya, dari bekerja sebagai asisten
rumah tangga seperti yang dibutuhkan rumah tangga pada umumnya hingga pengerajin banten
untuk upacara agama Hindu Bali.

Hooykaas melakukan beberapa penelitian perintis pada tahun 1964. Di mana ia menyatakan
griya sebagai gudang dari ratusan teks tentang Hindu Bali. Ratusan tulisan yang berasal dari griya
atau greha, tempat tinggal pendeta, yang berhubungan dengan ritual, agama, filsafat, metafisika,
dan subjek lainnya, pada saat itu telah tersedia bagi para penyalin MSS Palmleaf (sekarang Gedong
Kirtya) di Singaraja. Dalam karyanya tersebut, Hooykaas juga menambahkan bahwa Pendeta
brahmana akan melafalkan doa setiap hari di bale pawedaan, atau seperti yang ia sebutkan dalam
karyanya sebagai “paviliun berdoa”. Hooykaas juga menambahkan bahwa dalam usahanya
mencari lontar mengenai Hindu Bali, Purohita dari kerajaan Karangasem, provinsi paling timur di
Bali, yang tinggal di Budakeling, pemukiman perbukitan yang menganut agama Hindu-Buddha,
cukup murah hati untuk menyalin sebagian besar isi sebuah lontar dari kertas ayahnya yang sudah
sebagian termakan tikus (Hooykaas, 1964). Penelitian ini, membuktikan bahwa sejak dulu, Griya
memang merupakan sebuah ruang sebagai tempat tersimpannya lontar ataupun teks ajaran agama
Hindu Bali. Pada tahun-tahun berikutnya (1969) Hooykaas juga kembali menulis tentang “An
Exorcistic Litany from Bali”, dimana ia menunjukkan ketertarikan terhadap prosesi yang disebut
mecaru dan melukat yang sampai masa kini masih biasa dilaksanakan di lingkungan Griya
(Hooykaas, 1969). Penelitian-penelitian tadi juga diikuti oleh karya Vickers pada tahun 1989 yang
berjudul “A Balinese Illustrated Manuscript of the Śiwarātrikalpa”. Karya ini tentu menambah
bukti bahwa terdapat ketertarikan besar dari masyarakat asing mengenai budaya Hindu Bali.
Dalam karya tersebut, Vickers juga menyatakan bahwa manuskrip sebagai objek penelitiannya ia
dapatkan dari salah satu Griya di Kabupaten Klungkung, sebagai hunian purohita terdahulu dari
Raja Klungkung, yang dulunya adalah Maharaja Bali. Hal ini Kembali mendukung pernyataan
bahwa Griya adalah sumber ataupun Gudang penyimpanan teks pedoman mengenai agama Hindu
Bali (Vickers, 1982). Penelitian lain oleh Kurniawan & Puspitorini yang berjudul “Uttaraśabda in
Java and Bali” juga mendukung pernyataan tersebut. Dalam karyanya, mereka menyatakan bahwa
lontar yang mereka kaji berasal dari salah satu Griya di Mengwi. Selanjutnya, naskah Uttarasabda
dibuat dalam dua kategori skriptorium: griya dan puri. Konsep griya telah lama diasosiasikan
dengan kependetaan dalam peradaban Bali yang mengakui warna sebagai struktur pemisah dalam
posisi sosial (brahmana). Griya adalah tempat di mana pendeta (pedanda dalam bahasa Bali) dulu
tinggal dan di mana kegiatan, khususnya sastra, diadakan. Kita dapat menduga bahwa jenis atau
genre karya sastra yang dihasilkan dalam sebuah griya disesuaikan dengan kebutuhan kelompok
pendeta. Dalam griya, genre tekstual seperti tutur, mantra, babad, atau cerita tentang sosok pemuka
agama, serta buku-buku tentang etika kependetaan dihasilkan (Kurniawan & Puspitorini, 2018).

Karya Suyoga yang cukup berani (2019), menunjukan adanya minat penelitian terhadap
rumah bangsawan tradisional Bali. Dalam studi kualitatif ini, teori struktur generatif Bourdieu dan
relasi pengetahuan-kekuatan Foucault diterapkan pada analisis data primer yang dikumpulkan di
lapangan, serta wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive sampling dan
berdasarkan data sekunder. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa, menurut Foucault,
menggunakan nama tempat tinggal bangsawan tradisional Bali adalah artikulasi baru yang telah
mendisartikulasikan klaim kebenaran sebelumnya yang telah mapan selama kurang lebih enam
abad. Dalam perspektif Bourdieu, perebutan kapital yang beragam, dengan berbagai bentuk
konversinya, juga merupakan perebutan identitas dalam ranah perjuangan sosial, sebagaimana
terlihat melalui ranah pemukiman masyarakat Bali saat ini. Suyoga memandang masyarakat
tradisional Bali terbagi menjadi tiga golongan wangsa: Brahmana keturunan Danghyang Nirartha,
Ksatrya, yaitu keluarga Dalem Klungkung (raja raja Bali) dengan golongan Arya yang berasal dari
Majapahit, dan Wesia (menteri dan pegawai bawahan kerajaan) dan sekelompok warga Bali kuno
yang dianugerahi kebangsawanan oleh Dalem Klungkung. Sementara itu, keturunan Sapta Rsi
(Brahmana Bali Kuno) yang diyakini telah kalah dalam konflik, diturunkan strata sosialnya (patita
wangsa) sebagai rakyat jelata, termasuk masyarakat Bali Kuno lainnya yang nyineb wangsa
(menyembunyikan pangkatnya). Ketiga tempat tinggal Griya, Puri, dan Jero dikenal dengan
istilah Jeroan (tempat tinggal dalam), tetapi tempat tinggal suatu kelompok dikenal sebagai Umah
dan diyakini berada di luar, atau jaba, dan penghuninya dikenal sebagai jaba wangsa, yang secara
politik setara dengan Sudra. Akibatnya, ada perbedaan yang jelas antara jeroan-jaba dan, dalam
konteks tempat tinggal, Griya, Puri, Jero, dan Umah. Penamaan tipe hunian dan standar arsitektur
tradisional berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat tradisional Bali dipandang sebagai artikulasi
dalam terminologi Foucault. Tampaknya ada sekelompok orang yang telah menemukan
pengetahuan tersembunyi di balik wacana desain berbasis tri wangsa-jaba wangsa sebagai
kekuatan yang menarik untuk dikaji dengan pendekatan Cultural Studies, untuk mengungkap
berbagai pergulatan identitas, resistensi identitas, dan perebutan modal di Konsepsi Bourdieu
melalui ranah hunian masyarakat Bali. Wacana-wacana tersebut merupakan landasan bagi praktik
membangun rumah-rumah di Bali setelah terbukti bahwa perubahan pemahaman catur warna
menjadi catur kasta efisien dalam praktik pengendalian stratifikasi masyarakat tradisional Bali
(Suyoga, 2019). Penelitian ini menunjukan mulai adanya pergeseran budaya penamaan hunian
tempat tinggal di Bali yang penamaannya tidak sesuai dengan makna sebenarnya. Maka dari itu,
diperlukan pelestarian dan pengenalan jenis-jenis pemukiman tradisional Bali agar menghindari
terjadinya berbagai pergulatan identitas maupun resistensi identitas.

Selain sebagai Gudang informasi mengenai ajaran Hindu Bali, kehidupan sehari-hari di
keluarga sebuah Griya juga beberapa kali menjadi sorotan. Banyak penelitian-penelitian bertema
kehidupan social utamanya dengan pendekatan feminis yang diyakini dipicu dengan munculnya
novel-novel atau karya sastra yang menceritakan tentang kehidupan didalam Griya. Penelitian di
area ini mendapat pengaruh besar dari karya-karya novel Oka Rusmini. Salah satunya yang
berjudul “Tarian Bumi” pada tahun 2004. Windiyarti (2008) mengkaji tingkat dan diskriminasi
gender dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Perbedaan tindakan, status, dan posisi antara
tingkat brahmana dan sudra, serta antara karakter pria dan wanita, dapat terlihat baik dalam urusan
rumah tangga dan publik, yang menunjukkan diskriminasi tingkat dan gender. Penindasan tingkat
yang lebih rendah (sudra dan perempuan) oleh tingkat yang lebih kuat (brahmana dan laki-laki)
adalah manifestasi dari ketidaksetaraan dalam tindakan, status, dan posisi. Artikel ini mengambil
metode feminis untuk menyelidiki tingkat diskriminasi gender novel (Windiyarti, 2008). Hal
serupa juga menjadi subyek yang menarik Dwipayana & Artajaya (2018) dalam menulis artikelnya
yang berjudul “Hegemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya Sastra Berlatar Sosiokultural Bali”,
namun dalam karyanya, mereka meneliti lebih banyak karya sastra novel (Dwipayana & Artajaya,
2018). Selain itu, Dewi, Ekasriadi, & Dwipayana juga menulis mengenai topik ini dalam artikelnya
yang berjudul “Polemik Perkawinan Nyerod (Turun Kasta) dalam Karya Sastra Berlatar Kultural
Bali” (Dewi et al., 2021).

Dari sekian banyaknya budaya yang tersimpan di dalam sebuah Griya, belum terdapat
penelitian yang berkaitan mengenai potensi wisata budaya dengan menggunakan Griya sebagai
ruang untuk pelestarian dan pertukaran budaya. Inspirasi di balik desain ini dating dari karya
Jauhari & Sanjeev yang berjudul “Managing Customer Experience for Spiritual and Cultural
Tourism: An Overview” (Jauhari & Sanjeev, 2010), dimana mereka meneliti mengenai
pengembangan wisata budaya berbasis agama di India. Jika berbicara mengenai wisata budaya dan
spiritual di Bali, belum digali adanya potensi wisata tersebut di lingkungan Griya sebagai salah
satu pusat budaya dan spiritual di Bali. Pertanyaan terkait hal ini adalah mengenai bagaimana cara
untuk mengembangkan pariwisata di Bali, utamanya pariwisata budaya, dan kontribusinya
terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai hasil dari pariwisata berkelanjutan.

2. Tinjauan Konsep
a. Daya Tarik Wisata

Segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata
dianggap sebagai daya tarik wisata. Marioti dalam Yoety (1996: 172) membagi daya
tarik wisata menjadi dua kategori: a) objek alam, yang meliputi fasilitas alam seperti
air bersih, udara tropis, konfigurasi lahan dan lanskap, vegetasi langka, kehidupan liar,
taman nasional, kesempatan berburu dan fotografi, dan b) objek buatan, yang meliputi
objek buatan seperti bangunan, jembatan, dan b) spa kesehatan dengan mata air mineral
alami, pemandian lumpur, dan mata air panas. c) barang-barang buatan manusia seperti
artefak bersejarah, budaya, dan keagamaan d) cara hidup, atau pengaturan hidup
konvensional masyarakat, yang mencakup adat dan kebiasaan.

b. Griya

Griya (griya = grha, tempat tinggal pendeta, terkait dengan ritual, teologi,
filsafat, metafisika, dll) adalah salah satu pemukiman pendeta Bali dan beberapa
keturunannya. Suasana keluarga Griya, budaya tata krama, kegiatan sehari-hari dan
berkala, upacara Griya, dan sebagainya merupakan contoh budaya Bali. Griya adalah
bagian integral dari lanskap budaya dan spiritual Bali.

Griya juga dapat ditemukan di seluruh Bali. Karena ikatan yang erat antara
Griya dan Puri pada zaman dahulu, Griya secara historis terletak di dekat atau di dalam
kompleks Puri. Karena sifat Griya sebagai pemukiman pendeta Bali, setiap raja
memiliki bagawantha (pendeta kerajaan/purahita) untuk melayani sebagai penasihat
kerajaan di zaman kuno. Namun hal ini tidak menghalangi Griya untuk ditempatkan di
daerah lain, seperti di dekat sumber air (pancuran atau beji suci), karena Griya sebagai
pemukiman pendeta membutuhkan air suci untuk keperluan ritual atau peribadatan.
Seiring berjalannya waktu, posisi Griya telah berkembang mengikuti perkembangan
zaman, dengan transportasi yang memungkinkan akses mudah ke sumber air.

Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar Griya pada dasarnya adalah
sebuah pemukiman, mereka tersedia dan terbuka untuk masyarakat umum di Bali.
Masyarakat Bali mengunjungi Griya karena berbagai alasan, termasuk acara
keagamaan Hindu. Kebutuhan tersebut berupa permintaan seorang pendeta untuk
melakukan ritual keagamaan yang sangat dijunjung tinggi di Bali. Griya juga menjadi
tempat untuk kebutuhan lain, seperti bekerja dan belajar tentang budaya Bali.
Masyarakat umum dapat bekerja di Griya dalam berbagai kapasitas, mulai dari sebagai
asisten rumah tangga hingga menawarkan pengrajin banten untuk acara keagamaan
Hindu Bali.

c. Desa Wisata dan Pariwisata Budaya Berbasis Masyarakat


Desa wisata adalah wisata untuk mengapresiasi keindahan alam sekitar dan
kehidupan masyarakat pedesaan. Wisatawan tertarik pada tradisi masyarakat dan
kegiatan sehari-hari. Partisipasi masyarakat lokal merupakan ciri utama dari strategi
wisata ini, yang sangat terkait dengan wisata budaya karena menggunakan properti
pribadi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Pariwisata budaya didefinisikan sebagai
“kegiatan perjalanan dengan insentif budaya untuk mengunjungi tempat-tempat
tertentu dalam rangka menikmati artefak budaya, atraksi, kehidupan sehari-hari
masyarakat lokal, dan festival lokal”. Akibatnya, banyak lokasi wisata yang
mendorong dan berusaha untuk melestarikan budaya dan tradisinya sebagai aset utama
untuk menarik perhatian pengunjung. Partisipasi masyarakat sangat penting untuk
pengembangan kemandirian dan pemberdayaan jenis wisata ini.
d. Wisata Spiritual

Berkemenn (2006) (dalam Herntre dan Pechlaner, 2011) mendefinisikan wisata


spiritual sebagai "segala bentuk perjalanan yang melibatkan perjalanan fisik dan
spiritual." Bramer (2009) menekankan interaksi antara tubuh (body) dan pikiran
(mind), menyatakan bahwa spiritualitas adalah pencarian untuk mengintegrasikan
kepala, hati, dan tubuh, yang dapat dicapai dengan aktivitas fisik di alam. Menurut
Freyer (1996) dan Sneinacke (2007), wisata spiritual dan religi adalah wisata yang
berorientasi pada budaya. Melcher (2009) berbagi sudut pandang ini dan menganggap
seni, budaya, dan agama sebagai pendorong utama wisata spiritual. Namun, itu
menonjolkan sudut pandang spiritualitas individu. Faktor terpenting adalah
pengalaman liburan seseorang. Dengan demikian, spiritual mengacu pada idealisme
kehidupan batin individu pada tingkat subjektif.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. D. P. (2021). OPTIMALISASI DESA WISATA UNTUK MENINGKATKAN


KESEJAHTERAAN MASYARAKAT. Widina. www.penerbitwidina.com

Arida, I. N. S. (n.d.). Buku Ajar Pariwisata Berkelanjutan. www.sobatpetualang.com

Dewi, N. P. D. K., Ekasriadi, I. A. A., & Dwipayana, I. K. A. (2021). POLEMIK


PERKAWINAN NYEROD (TURUN KASTA) DALAM KARYA SASTRA BERLATAR
KULTURAL BALI. Stilistika, 9(2), 254–271. https://doi.org/10.5281/zenodo.4910509

Dwipayana, I. K. A., & Artajaya, G. S. (2018). Hegemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya
Sastra Berlatar Sosiokultural Bal. Journal of Bali Studies, 8(2), 85–104.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/

Hooykaas, C. (1964). WEDA AND SISYA, RSI AND BHUJANGGA IN PRESENT-DAY


BALI. In Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde (2nd ed., Vol. 2, pp. 231–244).
http://www.jstor.org/stable/27860477

Hooykaas, C. (1969). AN EXORCISTIC LITANY FROM BALI. In Bijdragen Tot de Taal-,


Land- En Volkenkunde (3rd ed., Vol. 3, pp. 356–370).
https://www.jstor.org/stable/27861051

Jauhari, V., & Sanjeev, G. M. (2010). Managing customer experience for spiritual and cultural
tourism: An overview. In Worldwide Hospitality and Tourism Themes (Vol. 2, Issue 5, pp.
467–476). https://doi.org/10.1108/17554211011090094

Jayandi, A. H. (2021). POTENSI PENGEMBANGAN WISATA SEJARAH BERBASIS


KEARIFAN LOKAL. URGENSI KESADARAN SEJARAH DAN PELESTARIAN BUDAYA
DAERAH DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0, 17–24.

Kurniawan, A., & Puspitorini, D. (2018). Uttaraśabda in Java and Bali. Cultural Dynamics in a
Globalized World, 531–537.

Pemayun, A. A. G. P. (2018). Ekonomi Kreatif dan Kearifan Lokal dalam Pembangunan


Pariwisata Berkelanjutan di Bali. Universitas Pendidikan Nasional.
Suyoga, I. P. G. (2019). PENGGUNAAN ISTILAH GRIYA, PURI, DAN JERO, SEBAGAI
NAMA KOMPLEKS PERUMAHAN MASA KINI: PERSPEKTIF PERGULATAN
IDENTITAS. Jurnal Patra | 74 JURNAL PATRA, 1(2). https://jurnal.std-
bali.ac.id/index.php/patra

Vickers, A. (1982). A BALINESE ILLUSTRATED MANUSCRIPT OF THE


ŚIWARĀTRIKALPA. In Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Deel (pp. 443–
469). https://www.jstor.org/stable/27863464

Windiyarti, D. (2008). PEMBERONTAKAN PEREMPUAN BALI TERHADAP DISKRIMINASI


KELAS DAN GENDER: KAJIAN FEMINIS NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA
RUSMINI (Vol. 20, Issue 3).

You might also like