You are on page 1of 12
runtuhnya sistem ekonomi perencanaan di eropa timur yang membuat negara-negara berkembang memilih kebijakan baru, yaitu dengan “new deal’ dengan memanfaatkan instrumen-instrumen pasar dan persaingan. Langkah-langkah negara ini adalah guna menciptakan Persaingan usaha yang sehat (fair competition). persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana para pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan-pilhan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah latar belakang penyusunan UU anti monopoli di Indonesia perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia pada 15 januari 1998 (43 miliar US dollar) syaratnya Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang anti monopol: Sejak 1989 sudah diperlukan adanya perundang-undangan anti monopoli, karena timbulnya konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga dan partai tertentu yang menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah. mereka berusaha mempengaruhi penyusunan perundang-undangan, Asas dan Tujuan Asas (Pasal 2 UU 599) : “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan Kepentingan umum" Asas tersebul merupakan penjabaran dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi dari Pasal 33 UUD 1945 "Ekonomi diatur oleh kerjasama berdasarkan prinsip gotong royong” Tujuan (Pasal 3 UU 599) : a, menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi b, mewujudkan iklim usaha yang kondusif ©. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder undang-undang antimonopoli, yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien Konsep Dasar Ilmu Ekonomi Scarcity, Choices, dan Opportunity Cost 1. Scarcity : Kelangkaan 2. Choices : pilihan-pilihan (terbatasnya sumber daya membuat manusia harus memilih) 3, Opportunity Cost : dalam membuat pilihan ada pilihan yang tidak terpilih yang menjadi opportunity cost Penawaran (Demand) dan Penerimaan (Supply) 1. demand : permintaan konsumen Faktor penentu demand : a. Harga barang itu sendiri Harga barang lain yang terkait Tingkat pendapatan per kapita Selera atau kebiasaan Jumiah penduduk Perkiraan harga dimasa mendatang Distribusi pendapatan Usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan. sereaos 2. Supply : Penawaran produsen a. Harga barang itu sendiri Harga faktor produksi Teknologi produksi Jumlah pedagang /penjual Kebijakan pemerintah eaog Harga keseimbangan : Harga dimana baik konsumen maupun produsen sama-sama tidak ingin menambah atau mengurangi jumlah yang di konsumsi dan di jual Jenis jenis Pasar 1, Pasar Persaingan Sempurna : jumiah perusahaan sangat banyak dan kemampuan setiap perusahaan sangat kecil kemungkinani/tidak mampu mempengaruhi pasar. karakteristik 1. Banyak Penjual dan Pembeli (Many Sellers and Buyers) : output sebuah perusahaan relatif kecil dibanding output pasar (small relatively output). Semua perusahaan dalam industri (pasar) dianggap berproduksi efisien (biaya rata-rata terendah) 2, Produknya Homogen (Homogenous Product) : semua perusahaan dianggap mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakteristik yang sama 3. Bebas Masuk dan Keluar Pasar (Free Entry and Free Exit) 4. Informasi Sempuma (Perfect Knowledge) : Para pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) memiliki pengetahuan sempurna tentang harga produk dan input yang dijual. 2. Pasar Monopoli : bila hanya ada satu produsen atau penjual (single firm) tanpa pesaing. Perusahaan tidak memiliki pesaing karena adanya hambatan (barriers to entry). barrier to entry dibagi menjadi dua, yakni (technical barriers to entry) dan hambatan legalitas (legal barrier to entry. a. technical barriers : kemampuan perusahaan untuk memproduksi produk dengan harga yang sangat rendah dari segi faktor produksi, SDM, dan special knowledge. b, legal barrier : karena adanya amanat khusus dari UU seperti BUMN. Karakteristik 1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan : pembeli tidak memil Tidak memiliki barang pengganti yang mirip Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam pasar Dapat menguasai penentuan harga Promosi kurang diperlukan 2. 3. 4. 5. 3. Pasar Monopolistik mirip dengn pasar sempuma tetapi tiap perusahaan dapat menentukan harga jual yang berbeda-beda akibat tiap perusahaan tidak menjual barang yang homogen, perusahaan menjaul barang dengan karakteristik berbeda. Karakteristik 1. Banyak Penjual (Many Sellers) 2, Produknya Terdiferensiasi (Differentiated Product) : produk yang memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain 3. _produk yang memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain 4.Pasar Oligopoli karakteristik 1. Terdapat Beberapa Penjual (Few Sellers) 2. Saling Ketergantungan (Interdependence) Relevant Market (Pasar Bersangkutan) Menurut UU No.5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 10, pasar bersangkutan didefinisikan sebagai "pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut” Pasar Menurut Produk Batasan suatu pasar dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu sisi konsumen (demand-side substitution) dan sisi produsen (supply-side substitution) SSNIP Test = pembuktian menaikan harga apakah akan menguntungkan perusahaan. Substitusi Dari Sisi Permintaan (Demand-Side Substitution) Analisa ini terfokus terhadap substitusi yang ada untuk pembeli dan apakah terdapat pelanggan yang akan berpindah pada saat terjadi peningkatan harga, tanpa menimbulkan biaya untuk membatasi perilaku pemasok produk yang bersangkutan. Substitusi Dari Sisi Penawaran (Supply-Side Substitution ‘Substitusi dari sisi produsen juga mempengaruhi ruang lingkup pasar relevan, dimana jika pelaku usaha sebuah produk tertentu mengalihkan fasilitasnya untuk memproduksi barang substitusi jika harga naik cukup signif kan. Pasar Menurut Geografis Pasar menurut geografis Pasar geografis yang relevan merupakan wilayah dimana substitusi permintaan dan penawaran berada. Penerapan Pendekatan “Per Se Illegal” dan “Rule of Reason” dalam Hukum Persaingan Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. contoh : kartel (pasal 11), monopoli (pasal 17) Kasus Ill.4 Putusan KPPU No. O5/KPPU-L/2002 ini bermula dari perkara yang melibatkan beberapa terlapor yang merupakan Group 21, yaitu: PT Camila Internusa Film (terlapor 1), PT Satrya Perkasa Esthetika Film (terlapor Il), dan PT Nusantara Sejahtera Raya (terlapor Ill). Pihak pelapor dalam suratnya tertanggal 5 Juli 2002 menyatakan, bahwa pada pokoknya pihak terlapor, antara lain, diduga telah melakukan praktek monopoli dan penyalah-gunaan posisi dominan di bidang distribusi film-film dari major companies yang diberikan aleh pihak MPA (distributor film-film Hollywood: 21 Century Fox, Universal Studio, Warner Bross, Buena Vista International Touch Town dan Columbia Tri Stay). Di samping itu, mereka diduga melakukan penguasaan saham mayoritas pada industri sejenis, sehingga secara berturut-turut dianggap melanggar ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. contoh : perjanjian penetapan harga (pasal 5) Kasus III.1 KPPU dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor: 05/KPPU-I/2003 menduga, bahwa Dewan Pimpinan Daerah Organda wilayah Jakarta melakukan penetapan tarif Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300,-. Tindakan tersebut diawali dengan cara mengajukan permohonan kepada Gubernur OKI Jakarta. Setelah melalui proses pembahasan antara beberapa pengusaha angkutan bus kota dan Dinas Perhubungan DKi Jakarta, akhirnya Pemerintah Daerah menyetujyi kenaikan tarif dari Rp. 2500,- menjadi Rp. 3.300,-per-penumpang, melalui Surat Nomor: 2640/-1.811.33 pada tanggal 4 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan. Berdasarkan Surat Gubernur ini, Organda menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP-115/0PO/IX/2001 tanggal 5 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di wilayah Jakarta. Perjanjian Yang Dilarang [Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999] 1 Oligopoli (Pasal 4 Ayat 1) Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan (few sellers). Setiap perusahaan yang ada di dalam pasar tersebut memiliki kekuatan yang (cukup) besar untuk mempengaruhi harga pasar dan perilaku setiap perusahaan akan mempengaruhi perilaku perusahaan lainnya dalam pasar. Pasal 4 ayat (1) apa yang disebut dengan oligopoli yaitu “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dar/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” oligopoli dirumuskan secara Rule of Reason, agar penegak hukum dalam menegakan Undang-undang Persaingan Usaha dapat mempertimbangkan secara balk, apakah oligopoli yang terjadi merupakan suatu hal yang alamiah (industri yang memiliki capital intensive yang tinggi), atau mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima, ataukah perjanjian oligopoli tersebut dibuat hanya bertujuan sekedar untuk membatasi persaingan belaka faktor : ~ entry barrier Contoh kasus : perdagangan garam ke sumatera utara Penetapan Harga (Pasal 5 - 8) = per se illegal terdiri dari = perjanjian penetapan harga (Price Fixing Agreement) : bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual) 5 ayat (1) merumuskan bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga alas suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” - diskriminasi harga (Price Discrimination) adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana, suatu diskriminasi harga telah terjadi apabila terjadi perbedaan harga antara satu pembeli dengan pembeli lainnya. syarat - Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, “primary line” dimana diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosir terhadap pesaingnya atau “secondary line” apabila diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lainnya mendapatkan perlakuan khusus. = apabila diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen terhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lainnya mendapatkan perlakuan khusus. = Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. - Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya. - Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan - harga pemangsa atau jual rugi (Predatory Pricing) Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi tujuan utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. 3. Pembagian Wilayah (Pasal 9) = rule of reason Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka Pasal 9 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.” Pasal 9 dirumuskan secara rule of reason, sehingga perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, atau apakah pelaku mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima secara akal sehat 4, Pemboikotan (Pasal 10) = per se illegal Pemboikotan biasanya dilakukan untuk memaksa pelaku usaha untuk mengikuti perbuatan yang biasanya merupakan perbuatan yang anti persaingan (predatory boycott) atau untuk menghukum pelaku bisnis lainnya yang melanggar perjanjian yang menghambat persaingan (defensive boycott). Namun demikian pemboikotan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, misalkan dengan cara para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan meminta kepada pelaku usaha yang menjadi pemasok dari produk mereka untuk tidak memasok produk yang sama kepada pelaku usaha yang menjadi target dari perjanjian pemboikotan Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.” Dan Pasal 10 ayat (2) nya, berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a). Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau; (2) membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.” perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara per se illegal oleh pembuat undang-undang, sehingga ketika ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan erjanjian pemboikotan, maka tanpa memperhatikan akibat yang muncul dari perbuatan tersebut, ataupun alasan-alasan dilakukannya pemboikotan tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman. Kartel (Pasal 11) = rule of reason pelaku usaha bekerja sama untuk menentukan harga produk dan jumiah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek karte! dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai sebagian besar pangsa pasar. Pasal 11: "pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur Produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.” Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Trust (Pasal 12) = rule of reason Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” trust itu sendiri tidak dilarang, asalkan trust tersebut tidak mengakibatkan terjadinya praktck monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau semata-mata untuk Pemusatan kekuatan tanpa membawa manfaat bagi masyarakat. 7. Oligopsoni (Pasal 13) = rule of reason Oligopsoni adalah merupakan bentuk suatu pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input Terdapat beberapa syarat agar oligopsoni dapat berhasil - Pertama, pelaku usaha harus setuju baik secara tegas maupun secara diam-diam untuk bertindak bersama - Kedua, mereka harusiah merupakan pembeli dalam jumiah yang besar atau dominan. - Ketiga, adanya mekanisme agar perjanjian ditaati dan tidak ada kecurangan. - Terakhir, mereka harus mampu mencegah masuknya pemain baru Dengan adanya praktek oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alteratif lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian oligopsoni. Pasal 13 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: "pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” dirumuskan secara rule of reason, itu berarti sebenamya oligopsoni tidak secara otomatis dilarang. Tetapi dalam oligopsoni ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain kemungkinan kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi_ kolusi penetapan harga sehingga menimbulkan efek anti persaingan 8. Integrasi Vertikal (Pasal 14) = rule of reason “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.” 9. Perjanjian tertutup (Pasal 15) = per se illegal - Exclusive Distribution Agreement : pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur. - Tying agreement : Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya. - Vertical agreement on discount : “pelaku usaha dilarang membuat Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atal b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing 10. perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16) = rule of reason Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri Kegiatan Yang Dilarang [Dalam Hukum Persaingan Usaha] 1. Monopoli Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan monopoli adalah : "penguasaan alas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha * 2. Praktek Monopoli unsur-unsur dari praktek monopoli yaitu : a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha; b. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu; ©, Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta d. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum. lak semua tindakan penguasaan atas produksi atau pemasaran merupakan pelanggaran. Monopoli yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan dan pengelolaan bisnis yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka panjang sehingga menghasilkan suatu perusahaan yang kuat dan besar serta mampu menguasai pangsa pasar yang besar pula, tentu saja bukan merupakan dakan penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan jasa (monopoli) yang dilarang 3. Monopsoni (rule of reason) UU No 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara khusus dalam Pasal 18 yang menyatakan, bahwa : 1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi membeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Syarat-syarat pembuktian adanya monopsoni adalah sebagai berikut : 1, Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha 2. Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu 4, Penguasaan Pasar (rule of reason) “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa’ a, Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk dapat melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau b, Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha pesaingnya itu; atau c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. Melakukan praktek diskriminas terhadap pelaku usaha tertentu.” 5. Kegiatan Menjual Rugi (predatory pricing) = rule of reason kegiatan jual rugi atau predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasaran barang dan atau jasa dengan cara jual rugi (predatory pricing) yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya. Unsur-unsur yang harus diperhatikan sebelum menuduh pelaku usaha atau perusahaan memakai strategi ini 1. Harus dibuktikan bahwa perusahaan tersebut menjual produknya dengan hharga rugi (menjual dibawah biaya rata-rata). Jika perusahan menjual dengan harga rendah, namun tidak merug), maka perusahaan tersebut brsaing secara sohat. Perusahaan tersebut dapat menjual dengan harga rendah karena jauh lebih efisien dari pesaing-pesaingny 2. Jka terbukti perusahaan menjual dengan harga rugi, masih harus dibuklikan bbahwa perusahaan tersebut memiliki kemampuan yang memungkinkan untuk menjual rugi disebabkan ada kalanya penjual melakukan jual rugi untuk menghindari potensi Kerugian yang lebih lanjut atau untuk sekedar ‘mondapatkan dana untuk keluar dari pasar (usahal; 3. Telah dliturjukkan bahwa perusahaan hanya akan menarapkan predafory pricing jika perusahaan tersebut yakin akan dapat menutup kerugian ditahap lawal dengan menerapkan harga yang sengat tinggi (Supra competitive) ditahap berikutnya, 6. kecurangan menetapkan harga (Pasal 21) = rule of reason menyatakan biaya produksinya tidak sesuai dengan biaya yang sesungguhnya. Secara akal sehat, tentu harga yang disampaikan adalah di bawah harga yang sesungguhnya, dengan demikian dia bisa menjual barang atau jasanya lebih rendah dari para pesaingnya. 7. Persekongkolan Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999, yakni ‘sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi Kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol" Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian. Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, yaitu persekongkolan tender (Pasal 22), persekongkolan untuk membooorkan rahasia dagang (Pasal 23), serta persekongkolan untuk menghambat perdagangan (Pasal 24). Untuk itulah, maka di bawah ini akan diuraikan satupersatu berbagai kegiatan persekongkolan yang secara per se illegal dan rule of reason dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 Posisi Dominan dan Penyalahgunaannya Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasamya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5/1999 tersebut menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan: a) pangsa pasarnya; Pasal 25 ayat 2 UU No, 5/1999 menetapkan bahwa satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu, Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu. b) kemampuan keuangan; apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya ¢) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan apabila pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya ) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu

You might also like