You are on page 1of 23

BAGIAN MINI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

HUBUNGAN KESADARAN MENURUN


DENGAN GANGGUAN GINJAL

DISUSUN OLEH :

SUPERVISOR PEMBIMBING

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 KESADARAN MENURUN..............................................................................3
2.1.1 DEFINISI.....................................................................................................3
2.1.2 ETIOLOGI...................................................................................................3
2.1.3 PATOFISIOLOGI........................................................................................4
2.2 GANGGUAN GINJAL......................................................................................6
2.2.1 DEFINISI....................................................................................................6
2.2.3 ETIOLOGI..................................................................................................7
2.2.6 KLASIFIKASI............................................................................................8
2.2.7. PATOFISIOLOGI...........................................................................................9
2.3 HUBUNGAN KESADARAN MENURUN DENGAN GANGGUAN
GINJAL (ENSEFALOPATI UREMIKUM)...............................................................12
BAB III...........................................................................................................................17
KESIMPULAN...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau traktus urinarius yang akan
menghasilkan urin, menghemat bahan-bahan yang akan dipertahankan di dalam tubuh
dan mengeluarkan bahan yang tidak diinginkan melalui urin.1

Fungsi ginjal adalah membantu mempertahankan stabilititas lingkungan cairan


internal dengan cara mempertahankan keseimbangan air di tubuh, mempertahankan
osmolaritas, pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis atau fungsi ginjal
dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa
metabolik, dan toksin. 1-2

Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan dengan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi, dan gangguan
gastrointestinal.3 Salah satu dari komplikasi gagal ginjal tersebut adalah Uremic
Encephalopathy (UE). Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai
kadar creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.

Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ
akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa pembuangan metabolisme
protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum diatas 50 mg/dl. 1-2
Uremia
lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis (GGK), tetapi dapat juga terjadi pada
Gagal Ginjal Akut (GGA) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat. Hingga
sekarang belum ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab segala
manifestasi klinik pada uremia. 6-8
Angka kejadian UE di dunia tidak diketahui. UE
dapat terjadi pada pasien manapun dengan End-Stage Renal Disease (ESRD), dan
angka kejadian UE secara langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut.
Peningkatan kasus ESRD seiiring dengan peningkatan kasus UE.5

1
.9-10

Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit


Seluruh Indonesia, jumlah pasien GGK diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta
penduduk, 60% nya adalah laki-laki, usia dewasa dan usia lanjut. 11

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KESADARAN MENURUN


2.1.1 DEFINISI

Kesadaran adalah kondisi sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan. Kesadaran
terdiri dari dua aspek yaitu bangun (wakefulness) dan ketanggapan (awareness).
Kesadaran diatur oleh kedua hemisfer otak dan ascending reticular activating system
(ARAS), yang meluas dari midpons ke hipotalamus anterior. RAS terdiri dari beberapa
jaras saraf yang menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak
terdiri dari medulla oblongata,pons,dan mesensefalon. Proyeksi neuronal berlanjut dari
ARAS ke talamus, dimana mereka bersinaps dan diproyeksikan ke korteks.
Ketidaksadaran adalah keadaan tidak sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan dan
dapat bersifat fisiologis (tidur) ataupun patologis (koma atau keadaan vegetatif).
Penyebab kesadaran menurun beragam dengan karakteristik masing masing. Banyak
penyebab dari penurunan kesadaran merupakan ancaman jiwa yang membutuhkan
intervensi yang cepat, karena berpotensi terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien dengan gangguan kesadaran antara lain
pada pemenuhan kebutuhandasar yaitu gangguan pernafasan, kerusakan mobilitas fisik,
gangguan hidrasi, gangguan aktifitas menelan, kemampuan berkomunikasi, gangguan
eliminasi.

2.1.2 ETIOLOGI

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal
maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam
intrakranial dan ekstrakranial (tabel 1). Selain itu, Koma juga dapat disebabkan oleh
penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah

3
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat
membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik,
intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan
intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem
saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik. Keadaan
komadapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada perbaikan keadaan
klinis.

2.1.3 PATOFISIOLOGI

Perilaku normal membutuhkan Pengetahuan dan Afek yang sesuai, sehingga


seseorang mampu mengenali hubungan antara diri sendiri dan lingkungan. Komponen
perilaku ini di kontrol oleh hemisfer otak. Pada umumnya, tubuh mengikuti ritme
kesadaran yang normal. Dari kondisi kesadaran penuh (wakefulness) menjadi
mengantuk, dan pada akhirnya tertidur. Pada satu titik selama tertidur (atau bahkan
pada mengantuk), stimulus dari luar diproses melalui input sensoris untuk

4
meningkatkan kondisi sadar dan menyebabkan seseorang menjadi sadar (bangun).
Siklus ini dipicu secara predominan oleh ARAS, yang disebut sebagai pusat tidur.

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness,
alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan
korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.

Pendekatan lain untuk menjelaskan level kesadaran adalah analogi “tombol on off
lampu”. Perilaku (yang dikontrol oleh hemisfer otak) sebagai Bohlam Lampu dan
Komponen kesadaran (dikontrol oleh ARAS) adalah tombol untuk menyalakan lampu.
Untukmenyalakanlampu(kondisiseseorang menjadi Sadar), Lampu harus berfungsi dan
menyala. Ada tiga kemungkinan Lampu tersebut tidak menyala (dalam hal ini
Kesadaran Terganggu), yaitu adanya defek pada lampu itu sendiri (Disfungsi
menyeluruh pada hemisfer otak), defek pada tombol lampu (abnormalistas dari ARAS),
atau terdapat defek pada kedua lampu dan tombol lampu (Disfungsi CNS secara
umum).

Model ini juga membantu membedakan penyebab dari penurunan kesadaran.


ARAS di beberapa refleks batang otak, termasuk refleks cahaya pada pupil (nervus
kranial II dan III) dan refleks pergerakan mata (nervus kranial III, VI, VIII, dan
fasciculus longitudinal medial). Pemeriksaan pada refleks ini mengindikasikan fungsi
dari ARAS. Adanya trauma pada area ARAS dapat menyebabkan hilangnya refleks
batang otak dangangguankesadaran,meskipunhemisfer otak tetap dalam kondisi normal.
Disfungsi otak difus biasanya akibat riwayat penyakit medis seperti keracunan,
gangguan metabolik dan infeksi menyebabkan penekanan (kompresi) pada ARAS yang
merupakan akibat gangguan struktural (Tabel 2).

5
2.2 GANGGUAN GINJAL

2.2.1 DEFINISI

Setiap hari kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan menghasilkan
sekitar 1-2 liter urin. Tiap ginjal tersusun dari sekitar sejuta unit penyaring yang disebut
nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus menyaring cairan dan
limbah untuk dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel darah dan molekul besar yang
sebagian besar berupa protein. Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali
mineral yang dibutuhkan tubuh dan membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan
enzim renin yang menjaga tekanan darah dan kadar garam, hormon erythropoietin yang
merangsang sumsum tulang memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk
aktif vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang.

Gangguan pada ginjal dapat berupa penyakit ginjal kronis (PGK) atau dahulu
disebut gagal ginjal kronis, gangguan ginjal akut (acute kidney injury) atau sebelumnya
disebut gagal ginjal akut. Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi
ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 2
60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global
Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis atau penanda
keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi pencitraan.

6
Penyakit ginjal kronis merupakan suatu sindrom klinis karena penurunan fungsi
ginjal yang menetap akibat kerusakan nefron. Penyakit ginjal kronis merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa
tahun). Dalam kasus ini ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan normal (Kowalak dkk,
2012). Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible.
Setiap penyakit yang terjadi pada ginjal akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal
terutama berkaitan dengan fungsi pembuangan sisa metabolisme zat gizi keluar tubuh.
Kemampuan ginjal pada penderita GGK dalam mengeluarkan hasil metabolisme tubuh
terganggu sehingga sisa metabolisme tersebut menumpuk dan menimbulkan gejala
klinik serta laboratorium yang disebut sindrom uremik. Sindrom uremik akan
menimbulkan gejala berupa penurunan kadar hemoglobin, gangguan kariovaskuler,
gangguan kulit, gangguan sistem syaraf dan gangguan gastrointestinal berupa mual,
muntah dan kehilangan nafsu makan.

Gagal ginjal kronik biasanya merupakan akibat terminal dekstruksi jaringan dan
kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur-angsur. Keadaan ini dapat pula
terjadi karena penyakit yang progresif cepat disertai awitan mendadak yang
menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan ginjal yang irreversible. Beberapa
gejala baru timbul sesudah fungsi filtrasi glomelurus yang tersisa kurang dari 20%.
Parenkim normal kemudian memburuk secara progresif dan gejala semakin berat ketika
fungsi ginjal menurun. Sindrom ini akan membawa kematian jika tidak ditangani
dengan baik, namun terapi rumatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal dapat
mempertahankan kehidupan pasien.

2.2.3 ETIOLOGI

Beberapa penyebab penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut :

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai dengan peradangan


pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan tubuh dan sisa-sisa

7
pembuangan. Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronis. Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal
noninfeksius yang paling umum pada masa kanakkanak, glomerulonefritis akut
memengaruhi glomerulus dan laju filtrasi ginjal, yang menyebabkan retensi natrium dan
air serta hipertensi. Biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi streptokokus,
penyakit ini jarang memiliki efek jangka panjang pada

system ginjal.

Sedangkan Glomerulonefritis kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga


tubulus. Inflamsi ini mungkin diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan
akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau glomerulonefritis akut.

b. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus yang


termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada
pembuluh darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh
darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus
yang berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar gula dalam darah akan
membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun terganggu.

c. Pielonefritis kronis

Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri.
inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah (kandung kemih) dan menyebar ke
ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan iimfe ke ginjal. Obstruksi kaktus
urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenitat
yang memicu terjadinya pielonefritis.

d. Hipertensi

Tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah di ginjal, mengurangi


kemampuan ginjal untuk bekerja dengan baik. Ketika kekuatan aliran darah tinggi,
pembuluh darah meregang sehingga darah mengalir lebih mudah. Namun, peregangan
ini meninggalkan bekas luka dan melemahkan pembuluh darah ke seluruh tubuh,

8
termasuk pada ginjal. Jika pembuluh darah ginjal rusak, ginjal dapat berhenti
membuang limbah dan cairan ekstra dari tubuh.

2.2.4 KLASIFIKASI

Menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 yang


mengacu pada National Kidney Foundation-KDQOL (NKF-KDQOL) tahun 2002, PGK
diklasifikasikan menjadi lima stadium atau kategori berdasarkan penurunan GFR,
yaitu :

2.2.6 PATOGENESIS

Awal perjalanan gagal ginjal kronis yaitu pada keseimbangan cairan, penanganan
garam, dan penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal
yang sakit. Menurut Rubenstein dkk. kemungkinan progresif gagal ginjal di antaranya
adalah peningkatan tekanan glomerulus (akibat peningkatan tekanan darah sistemik,
atau konstriksi arteriolar eferen akibat peningkatan kadar angiotensin 11), kebocoran
protein glomerulus dan kelainan lipid. Ginjal mempunyai kemampuan untuk
beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan

9
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas
aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang
aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor. Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas

Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia.


Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulo intersitial. Gangguan fungsi ginjal dapat berdampak pada kondisi klinis
pasien, diantaranya adalah :

1. Sindroma Uremia

Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal, dimana terjadi retensi sisa
pembuangan metabolisme protein, yang di tandai oleh homeostasis cairan yang
abnormal dan elektrolit dengan kekacauan metabolik dan endokrin. Kadar ureum yang
tinggi dan berlangsung kronik merupakan penyebab utama manifestasi dari sindrom
uremia.

Gejala dari sindroma uremia adalah :

a. Gastrointenstinal, yang ditandai dengan nafsu makan menurun, muat, muntah,


mulut kering, rasa pahit, perdarahan ephitel. Manifestasi uremia pada saiuran
pencernaan adalah mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Keadaan
anoreksia, mudah lelah, dan penurunan asupan protein menyebabkan malnutrisi
pada penderita. Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan kapiler
dan mengakibatkan penurunan fungsi imun serta kesembuhan luka.

b. Kulit kering, mengalami atrofi, dan gatal. Manifestasi sindrom uremia pada kulit
adalah gambaran kulit menyerupai lilin dan berwarna kuning akibat gabungan
antara retensi pigmen urokrom dan pucat karena anemia, perubahan warna rambut,
dan deposit urea yang berwarna keputihan (kristal uremik).

10
c. Sistem Kardiovaskuler, yaitu hipertensi, pernbesaran jantung, payah jantung dan
pericarditis.

d. Anemia dan asidosis

e. Pada sistem neurologi yaitu apatis, depresi dan prekoma

2. Anemia

Anemia merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi, bahkan
dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya. Anemia dapat
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari PGK, adanya
anemia pada pasien dengan PGK dapat dipakai sebagai prediktor risiko terjadinya
kejadian kardiovaskular dan prognosis dari penyakit ginjal sendiri. Anemia terjadi
pada 80-90% pasien PGK, Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Dalam keadaan normal 90 % eritropoeitin (EPO) dihasilkan
di ginjal tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoetin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang proliferasi,
diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid.

Keadaan anemia terjadi karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel
peritubular sebagai respon hipoksia local akibat pengurangan parenkim ginjal
fungsional. Respon tubuh yang normal terhadap keadaan anemia adalah merangsang
fibroblas peritubular ginjal untuk meningkatkan produksi EPO, yang mana EPO dapat
meningkat lebih dari 100 kali dari nilai normal bila hematokrit dibawah 20%. Pada
pasien PGK, respon ini terganggu sehingga terjadilah anemia dengan konsentrasi EPO
yang rendah, dimana hal ini dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin pada PGK. Faktor
lain yang dapat menyebabkan anemia pada PGK adalah defisiensi besi, defisiensi
vitamin, penurunan masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis, dan akibat
perdarahan.

3. Hiperkalemia

Kelebihan kalium biasanya akibat dari difungsi ginjal sementara atau permanen.
Kelebihan ini sering kali terjadi dalam kaitannya dengan gagal ginjal. Kelebihan ini uga
dapat terjadi sementara (dengan fungsi ginjal normal) setelah trauma jaringan mayor
atau setelah transfusi cepat darah yang disimpan di bank darah. Hiperkalemia

11
mempengaruhi sistem gastrointestinal, mual, muntah, dan diare serta mempengaruhi
sistem kardiovaskuler.

4. Hipokalemia

Hipokalemia menyebabkan penurunan kemampuan tubulus ginjal untuk


mengkonsentrasikan sisa, yang menimbulkan peningkatan kehilangan air. Hipokalemia
terjadi ketika konsontrasi kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/1. Dapat terjadi akibat
penurunan asupan dalam diet, peningkatan pengeluaran kalium dari ginjal, usus, atau
lewat keringat, atau perpindahan kalium dari kompartemen ekstrasel ke intrasel. Pada
hypokalemia yang lebih parah, muncul gejala kelemahan, keletihan, mual dan muntah,
dan konstipasi. Ada beberapa penyebab kekurangan kalium serum diantaranya adalah
kekurangan masukan, penggunaan diuretik pembuang-kalium, prosedur bedah
gastrointestinal dengan pengisapan nasogastrik dan penggantian yang tidak tepat,
sekresi gastrointestinat berlebihan, hiperadosteronisme, malnutrisi, dan trauma atau
luka bakar. Hipokatemia menyebabkan penurunan kemampuan tubulus ginjal untuk
mengkonsentrasikan sisa, yang menimbulkan peningkatan kehilangan air.

5. Produksi Urine

Penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjai kronik dapat mengakibatkan


perubahan pada produksi urine, karena sebelum urine dikeluarkan dari tubuh, kreatin
harus disaring terlebih dahulu oleh ginjal. Apabila ginjal mengalami gangguan maka
kadar kreatinin bisa meningkat dan menumpuk dalam darah yang memicu munculnya
berbagai masalah dalam tubuh.

2.3 HUBUNGAN KESADARAN MENURUN DENGAN GANGGUAN


GINJAL (ENSEFALOPATI UREMIKUM)

Kriteria diagnosis gagal ginjal kronik menurut National Kidney Foundation yaitu:
(1) kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan
struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan
manifestasi kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan
dalam komposisi darah, urin dan kelainan dalam tes pencitraan,

12
(2) laju filtrasi glomerulus

Pada gagal ginjal kronik, gejala–gejala berkembang secara perlahan. Pada awalnya
tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia).
Peningkatan kadar ureum darah mencerminkan penurunan fungsi ginjal yang
bermakna.12,13

Gagal ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat bekerja seperti biasanya. Dapat terjadi
penurunan sintesis eritropoetin akibat bahan baku yang kurang atau ginjal yang rusak.
Eritropoeitin berfungsi sebagai salah satu bahan untuk memproduksi sel darah merah
sehingga jumlah sel darah merah menjadi berkurang. Hal inilah yang mendasari
terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik.12,13

Uremic Encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati metabolik.


Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku, dan kejang yang
disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak. Ensefalopati uremik dapat
disebabkan oleh Gagal Ginjal Akut maupun Gagal Ginjal Kronis. Pada pasien terjadi
penurunan kesadaran tanpa diketahui adanya riwayat kejang maupun perubahan tingkah
laku. 5-6,14

Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan mengalami
metabolisme di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam
amino. Hasil metabolisme protein juga menghasilkan zat sisa berupa senyawa amonia
(NH3). Amonia merupakan senyawa toksik yang bersifat basa dan akan mengalami
proses detoksifikasi di hati menjadi senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus
urea. Urea mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui
ginjal sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui
keringat.1-2

Uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan ketidakseimbangan


cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik yang berkembang secara
paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri berarti ureum di dalam darah.
Keadaan uremia terjadi sebagai asosiasi terhadap GGK. 6,15

13
PENGERTIAN

Ensefalopati uremik (UE) didefinisikan sebagai disfungsi serebral akibat akumulasi


racun akibat gagal ginjal akut atau kronis.16,17,18 Ini biasanya berkembang pada pasien
dengan gagal ginjal akut atau kronis ketika perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR)
mereka menurun dan tetap di bawah 15 mL/menit. 18 Presentasi klinis ensefalopati
uremik sangat luas. Perjalanan klinis UE selalu progresif bila tidak diobati. UE
setidaknya sebagian reversibel dengan inisiasi terapi penggantian ginjal. Oleh karena
itu, ensefalopati uremik merupakan indikasi untuk memulai terapi pengganti ginjal.17

Sindrom ini kemungkinan hasil dari perubahan metabolisme hormonal, retensi zat
terlarut uremik, perubahan elektrolit dan homeostasis asam-basa, transportasi
penghalang darah-otak, perubahan reaktivitas vaskular, dan peradangan. Tidak ada
temuan diagnostik klinis, laboratorium, atau pencitraan, dan seringkali diagnosis dibuat
secara retrospektif ketika gejala membaik setelah dialisis atau transplantasi. Jika tidak
ada perbaikan gejala setelah membersihkan larutan beracun, pencarian penjelasan lain
harus dimulai.19

ETIOLOGI

Penyebab ensefalopati uremik umumnya mencakup semua faktor yang dapat


menyebabkan akumulasi racun uremik pada pasien, seperti penyebab cedera ginjal akut
dan penyakit ginjal kronis. Banyak senyawa telah terlibat dalam patogenesis
ensefalopati uremik, yang dikenal sebagai toksin uremik (UT). Urea adalah UT yang
paling banyak dipelajari. Sementara perubahan kognitif berat dari ensefalopati uremik
berkembang ketika eGFR turun di bawah 15 mL/menit, perubahan kognitif ringan
hingga sedang dapat diidentifikasi pada eGFR dalam kisaran 40 hingga 60
mL/menit.18,20

Umumnya, racun uremik terbentuk dalam darah pasien saat mereka mengalami
cedera ginjal akut, akibat beberapa alasan sekunder. Mereka tidak dapat membersihkan
zat terlarut dengan bantuan terapi penggantian ginjal, atau mereka gagal menanggapi
terapi. Daftar penyebab ini sangat banyak, misalnya obat-obatan, toksin, hipotensi
berkepanjangan, dehidrasi, sepsis, kehilangan darah, dll. 21,22

Ensefalopati uremik juga dapat berkembang pada pasien penyakit ginjal kronis
ketika eGFR mereka turun karena faktor apa pun. gangguan akut, seperti infeksi, obat-

14
obatan, muntah berlebihan atau diare, dll. Pasien hemodialisis juga dapat
mengembangkan ensefalopati uremik ketika mereka menerima hemodialisis yang tidak
memadai karena beberapa alasan, seperti ketidakpatuhan dan disfungsi fistula
arteriovenosa. 23

PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang diusulkan dari ensefalopati uremik adalah akumulasi


neurotoksin.18,20  Lebih dari 130 bahan kimia telah diidentifikasi sebagai neurotoksin
potensial. Contohnya adalah urea, indoksil sulfat, senyawa guanidin, asam indolat,
fenol, dan karnitin. Lanthionine, turunan dari asam amino yang mengandung belerang,
baru-baru ini dikenal sebagai toksin uremik. Peran senyawa individu ini dalam
menghasilkan gambaran klinis ensefalopati uremik tidak jelas. Lebih banyak penelitian
sains dasar diperlukan untuk mengurai fungsi bahan kimia ini dalam menyebabkan
ensefalopati uremik. Kelompok kerja Racun Uremik Eropa (EUTox) adalah konsorsium
internasional peneliti akademis dan medis yang berusaha memahami peran senyawa
ini. Bahan kimia ini termasuk dalam kelompok yang beragam dan tidak terkait, seperti
peptida, ion, produk lipid, dan metabolisme karbohidrat. Tidak ada klasifikasi ideal
toksin uremik. Berdasarkan sifat fisikokimianya, toksin uremik dapat diklasifikasikan
sebagai molekul yang larut dalam air, terikat protein, dan menengah.

Tidak ada jalur umum yang telah diidentifikasi, tetapi tiga proses dapat
berkontribusi secara keseluruhan. Ini termasuk ketidakseimbangan dalam
penghambatan dan rangsang neurotransmiter, degenerasi saraf, dan peradangan
pembuluh darah. Menurut satu hipotesis, kadar glisin plasma dan cairan serebrospinal
meningkat, dan glutamin dan asam gamma-aminobutyric (GABA) menurun. Akumulasi
senyawa guanidino (hasil metabolisme L-arginine) mengarah pada aktivasi reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) rangsang dan penghambatan lebih lanjut reseptor GABA
penghambatan. Mekanisme lain yang diusulkan adalah hiperparatiroidisme, yang
meningkatkan kandungan kalsium dalam sel otak. Namun, ensefalopati membaik
dengan dialisis, dan yang satu ini tidak memiliki efek substansial pada kadar hormon
paratiroid.

Baru-baru ini hubungan antara disfungsi endotel vaskular dan disfungsi kognitif
telah diakui dan mungkin berkontribusi terhadap sindrom klinis UE. Neuron pengatur
tekanan darah terletak di medula ventrolateral rostral (RVLM). RVLM berisi neuron

15
pra-simpatis. Saat terpapar konsentrasi asam urat tinggi, indoksil sulfat, dan metil
guanidin, aktivitas saraf RVLM meningkat. Penggunaan obat antioksidan selanjutnya
menyebabkan penghentian aktivitas RVLM, yang menunjukkan bahwa spesies oksidan
reaktif memiliki peran sentral dalam mengembangkan sindrom klinis UE. Sementara
urea adalah pengganti neurotoksin, yang diturunkan dengan dialisis, tidak ada bukti
kredibel yang menghubungkan urea dengan ensefalopati. Studi terbaru menunjukkan
bahwa indoksil sulfat dapat menyebabkan peradangan pembuluh darah dan gejala
neurologis. Mekanisme yang umum tampaknya adalah stres oksidatif.

Stres oksidatif dapat mengubah fungsi mitokondria. Mitokondria yang


disfungsional menghasilkan lebih banyak toksin uremik yang berkembang menjadi
siklus yang mengabadikan diri sendiri. Metabolisme siklus purin dan urea
membutuhkan enzim yang terletak di dalam mitokondria. Oleh karena itu pada pasien
dengan UE, terdapat defek mitokondria yang didapat. Akibatnya, otak uremik tidak
diperlengkapi untuk memanfaatkan jalur yang membutuhkan ATP dibandingkan
dengan otak normal yang sehat. Spesies oksigen reaktif menumpuk karena disfungsi
mitokondria dan semakin memperburuk stres oksidatif. Spesies oksigen reaktif akibat
stres oksidatif mengakibatkan disfungsi endotel, cedera mielin, dan nitrasi protein otak
yang menyebabkan produksi toksin uremik lebih banyak. 

16
BAB III

KESIMPULAN

Kesadaran dipertahankan oleh sistem aktivasi retikuler (RAS) yang utuh di batang
otak dan otak terhubung ke thalamus dan hemisfer otak. Sistem pengaktif retikuler
(RAS) membuat seseorang tetap terjaga dan waspada selama periode bangun.
Gangguan yang secara fisik mempengaruhi area ini dapat menyebabkan gangguan
kesadaran dan kondisi kesadaran yang berubah. Patofisiologi yang mendasari
penurunan kesadaran berdasarkan pada gangguan struktural dan medis dari tingkat
gangguan kesadaran yang berubah. Pentingnya pemahaman mengenai mekanisme dan
penyebab dari berbagai gangguan kesadaran sehingga mampu mengenali dan
membedakan penyebab dasar pasien dengan kondisi kesadaran menurun.

Uremic Encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Gejala klinis adalah UE adalah
gangguan neurologis baik ringan maupun berat. Gejala tersebut dapat berfluktuasi dari
hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam Pada pasien didapatkan gangguan neurologis
berupa penurunan kesadaran, kesulitan untuk defekasi serta mengontrol miksi. Dengan
penatalaksanaan yang sesuai akan menurunkan angka mortalitas pasien dengan Uremic
Encephalopathy dan dengan edukasi terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens
dan tingkat keparahan dari UE dapat dikurangi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.

2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC;
2010.

3. Palmer SC, Ruospo M, Campbell KL, Larsen VC, Saglumbene V, Natale P, et al.
Nutrition and dietary intake and their association with mortality and hospitalisation in
adults with chronic kidney disease treated with haemodialysis: protocol for DIET-HD, a
prospective multinational cohort study. BMJ Open. 2015; 5(1):1-7

4. Lohr JW. Uremic enchepalopathy [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal
27 Agustus 2016]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/2 39191-
overview.

5. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. North Chicago: Springer; 2009.

18
6. Alper AB. Uremia [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal 27 Agustus
2016]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/2 45296-overview.

7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke k, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of organic


anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-brain barrier. J
NeuroChem. 2006; 96:1051-9.

8. Deyn PP, D’hooge R, Bogaert PP, Marescau B. Endogenous guanidino compounds


as uremic neurotoxins. Kidney Int J. 2010; 59:77-83.

9. CDC. Prevalence of end stage renal disease [internet]. USA: Centers of Disease
Control and Prevention; 2013 [diakses tanggal 14 November 2016]. Tersedia dari
https://nccd.cdc.gov/ckd/detail.aspx?QNu m=Q67.

10. Fresenius Medical Care. ESRD patient 2013 a global perspective [internet]. USA:
Fresenius Medical Care; 2013 [diakses tanggal 14 November 2016]. Tersedia dari
www.visionfmc.com/files/ESRD_Patients_in_2013.pdf .

11. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar:
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; 2013.

12. Sudoyo A. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid II. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FK UI; 2009.

19
13. Bucurescu G. Neurological manifestations of uremics enchepalopathy [internet].
USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal 10 Oktober 2016]. Tersedia dari
http://emedicine.medscape.com/article/1 135651-overview.

14. Kidney Disease Improving Global Outcome. Clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. USA: KDIGO; 2013.

15. National Institute for Health and Clinical Excellence. Quick references guide:
Chronic kidney disease. UK: NICEaccredited; 2014.

16. Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 27 September


2007; 357 (13):1316-25.

17. Biasioli S, D'Andrea G, Feriani M, Chiaramonte S, Fabris A, Ronco C, La Greca G.


Ensefalopati uremik: pembaruan. Klinik Nephrol. Februari 1986; 25 (2):57-63. 

18. Seifter JL, Samuel MA. Ensefalopati uremik dan gangguan otak lain yang
berhubungan dengan gagal ginjal. Semin Neurol. April 2011; 31 (2):139-43. 

19. Rosner MH, Husain-Syed F, Reis T, Ronco C, Vanholder R. Ensefalopati


uremik. Ginjal Int. Februari 2022; 101 (2):227-241. 

20. Betjes MG. Penuaan Timus Terkait Uremia dan Respon Imun Adaptif. Racun
(Basel). 2020 April 03; 12 (4) 

20
21. Chapman CL, Johnson BD, Vargas NT, Hostler D, Parker MD, Schlader
ZJ. Hipertermia dan dehidrasi selama kerja fisik di panas berkontribusi pada risiko
cedera ginjal akut. J Appl Physiol (1985). 2020 April 01; 128 (4):715-728. 

22. Balestracci A, Ezquer M, Elmo ME, Molini A, Thorel C, Torrents M, Toledo I.


Cedera ginjal akut terkait ibuprofen pada anak dehidrasi dengan gastroenteritis
akut. Pediatr Nephrol. 2015 Okt; 30 (10):1873-8. 

23. Prencipe MA, Del Giudice A, Di Giorgio G, Aucella F. [Ensefalopati uremik dalam
pengobatan dialisis reguler: stroke uremik?]. G Ital Nefrol. 2014 Mar-Apr; 31 (2) 

21

You might also like