You are on page 1of 51

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-BKL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2023

UNIVERSITAS HASANUDDIN

LARINGOMALASIA

Disusun Oleh :

Ainun Agni Jutta Bahtiar C014212031


Widya Wahab C014212188
Widyasari Ibrahim C014212189

Residen Pembimbing :

dr. Andriano Arie Wibowo

Supervisor Pembimbing :

Dr. dr. Masyita Gaffar, Sp.T.H.T.B.K.L,Subsp.Oto. (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-BKL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
i
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa :

Ainun Agni Jutta Bahtiar C014212031

Widya Wahab C014212188

Widyasari Ibrahim C014212189

Telah menyelesaikan tugas referat dengan judul “Laringomalasia” dalam rangka


kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-BKL Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, Mei 2023

Residen Pembimbing,

dr. Andriano Arie Wibowo

Supervisor Pembimbing,

Dr. dr. Masyita Gaffar, Sp.T.H.T.B.K.L,Subsp.Oto. (K)

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN SAMPUL...................................................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................

BAB I...............................................................................................................................................

PENDAHULUAN..........................................................................................................................

BAB II.............................................................................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................

A. ANATOMI LARING.................................................................................3

B. FISIOLOGI LARING.............................................................................26

C. EPIDEMINOLOGI..................................................................................30

D. ETIOPATOGENESIS.............................................................................31

E. EMBRIOLOGI LARING.......................................................................32

F. GEJALA KLINIS....................................................................................35

G. DIAGNOSIS.............................................................................................33

H. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA..................................................35

I. PENYAKIT KOMORBID......................................................................36

J. PENATALAKSANAAN..........................................................................37

K. DIAGNOSIS BANDING.........................................................................42

BAB III.........................................................................................................................................

KESIMPULAN............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Laringomalasia (LM) merupakan keadaan yang menggambarkan


kolapsnya struktur supraglotis laring selama inspirasi sehingga mengakibatkan
menyempitnya aliran udara selama inspirasi.1–4 Sekitar 60-75 % kasus stridor
kongenital disebabkan oleh LM.2,3 Istilah laringomalasia pertama kali
diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942 untuk menggambarkan
stridor inspirasi kongentital akibat kolapsnya struktur laring saat inspirasi dimana
kejadian ini tidak ditemukan pada stridor inspirasi kongenital lainnya. 5,6
Laringomalasia adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan kondisi
kolaps dari struktur supraglotis laring saat inpirasi. Keadaan ini merupakan
penyebab tersering stridor pada neonatus dan bayi. Angka kejadian pada populasi
secara umum belum diketahui, diperkirakan di seluruh dunia adalah 1 dalam
2.100-2.600 anak. Angka kejadian LM di dunia belum diketahui secara pasti,
namun lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki sebanyak 58-76% kasus, dan
tidak terdapat predileksi terhadap ras tertentu. 2 Menurut data rekam medis RS
Hasan Sadikin Bandung mulai Januari 2012 sampai Maret 2015 terdapat 84 kasus
LM (55 kasus laki-laki dan 29 perempuan).7

Laringomalasia mempunyai karakteristik stridor yang timbul dalam dua


minggu pertama kehidupan sampai beberapa bulan kehidupan bayi. Stridor pada
pasien LM dipengaruhi oleh aktivitas, akan timbul ketika bayi menangis, posisi
tidur telentang, saat menyusu, infeksi saluran nafas atas dan saat marah.1,8,9 Sekitar
80% kasus laringomalasia merupakan kasus ringan dan sedang yang membaik
setelah 8-12 bulan serta resolusi dan sembuh setelah 12-24 bulan, namun 10-20%
dari kasus merupakan derajat berat yang mengancam nyawa dan membutuhkan
tindakan operasi segera.3,6,10 Penyebab pasti dari laringomalasia ini masih belum
diketahui, namun terdapat beberapa teori yang diduga menjadi patogenesis LM
yaitu teori imaturitas kartilago, abnormal anatomi dan imaturitas neuromuskular.11

Pathogenesis laringomalasia masih belum diketahui dengan jelas.


Teradapat beberapa teori yang menjelaskan terjadinya laringomalasia. Pertama

1
teori anatomi, menyatakan bahwa adanya jaringan lembek pada tempat yang tidak
normal sehingga menyebabkan stridor. Teori kartilago menyatakan kartilago
laring yang belum matang memiliki kelenturan abnormal, sedangkan teori
neurogenik menyatakan tidak berkembangnya atau integritas yang abnormal dari
sistem saraf pusat dan inti batang otak yang bertanggung jawab untuk bernapas
dan patensi jalan napas.11

Gejala khas laringomalasia adalah sridor inspirasi yang akan memberat


saat makan, menangis, agitasi dan posisi terlentang. Gejala muncul saat lahir atau
usia 2 minggu, mencapai puncak usia 6-8 bulan dan akan membaik pada usia 12 –
24 bulan. Laringomalasia dibagi menjadi derajad ringan, sedang dan berat
berdasarkan hubungan makan dan stridor. Derajad ringan bila stridor inspirasi
kadang-kadang, sedang bila stridor inspirasi sering dan berat bila stridor inpirasi
disertai dengan sianosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan visualisasi laring saat
respirasi, dengan cara pemeriksaan endoskopi melalui direct laryngoscopy atau
flexible nasopharyngolaryngoscope (FOL). Gambaran laringomalasia yang umum
detemukan berupa plika ariepiglotika yang pendek, mukosa kartilago arytenoid
yang berlebihan dan epiglotts berbentuk omega. Menurut Olney, laringomalasia
ada 3 tipe yaitu: satu, kolaps posterior jika yang terlibat mukosa aritenoid
berlebihan atau kartilago cuneiform. Dua, kolaps lateral jika terjadi pemendekan
lipatan ariepiglotis. Tiga , kolaps anterior jika terjadi epiglotis retrofleksi.11

Dalam referat ini menjelaskan tentang laringomalasia mulai dari


bagaimana cara mendiagnosis hingga penatalaksanaan yang diberikan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif
lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja
tertutup bila sedang menelan makanan.12

Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana


didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan
disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.12

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan
kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus,
infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.12

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago


tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada
usia 2 tahun.12

Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum


dan otot-otot.12

3
1. Kartilago

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 12

1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :


a. Kartilago Tiroidea, 1 buah
b. Kartilago Krikoidea, 1 buah
c. Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
a. Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
b. Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
c. Kartilago Epiglotis, 1 buah

Gambar 1. Tulang dan kartilago laring tampak lateral12

4
Gambar 2. Tulang dan kartilago laring tampak potongan sagital12

Gambar 3. Tulang dan kartilago laring tampak posterior12

a. Kartilago Tiroidea

5
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan
lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap
(ala tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu
di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut
Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita
120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura
tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah
membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya
artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di
sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita
suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta

12
kornikulata.

Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur
yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini
merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus

12
tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus inferior.

Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan


tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan
tendo komisura anterior. Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm
diatasnya oleh ligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada

12
umur 20 – 30 tahun.

b. Kartilago Krikoidea

Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan


lkartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian
alsanya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit
darpada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea
tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan
6
melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin
trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan
tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus

12
elastikus.

Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI –


VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III – IV. Kartilago ini mengal

12
ami osifikasi setelah kartilago tiroidea.

c. Kartilago Aritenoidea

Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan
rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis
yang merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di
posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya
ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan
berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita

12
suara ini disebut glotis.

Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan

12
tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan.

d. Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding


anterior aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh
ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara.

7
Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring
sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi
sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah menyebelah laring. 12,13

e. Kartilago Kurnikulata

Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan merupakan

12
kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.

f. Kartilago Kuneiforme

Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil

12
yang terletak di dalam plika ariepiglotika.

2. Ligamentum dan Membrana

Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu :

1. Ligamentum ekstrinsik , terdiri dari :

a. Membran tirohioid
b. Ligamentum tirohioid
c. Ligamentum tiroepiglotis
d. Ligamentum hioepiglotis
e. Ligamentum krikotrakeal

8
Gambar 4. Ligamen Ekstrinsik12

2. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :

a. Membran quadrangularis
b. Ligamentum vestibular
c. Konus elastikus
d. Ligamentum krikotiroid media
e. Ligamentum vokalis

9
Gambar 5. Ligament Intrinsik12

a. Membrana Tirohioidea

Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas
belakang os hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan
membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus
oleh a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh
limfe.12

b. Membrana Krikotiroidea (Konus Elastikus)

Terdapat di bawah mukosa pada permukaan bawah pita suara sejati,


berjalan ke atas dan medial dari lengkungan kartilago krikoid untuk bersambung
dengan kedua ligamenta vokalis yang merupakan jaringan fibroelastis yang
berasal dari tepi atas arkus kartilago krikoid. Di sebelah anterior melekat pada
pinggir bawah kartilago tiroid dan menebal membentuk ligamentuk krikoidea
medialis yang juga melekat pada tuberkulum vokalis. Di sebelah posterior konus
menyebar dari kartilago krikoid ke prosesus kartilago aritenoid (vokalis). Pinggir

12
bebas menebal membentuk ligamentum vokalis.

10
c. Membrana Kuadrangularis

Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring,


membentang dari tepi lateral epiglotis ke kartilago aritenoid dan kartilago
kornikulata, di bagian inferior meluas ke pita suara palsu. Tepi atasnya
membentuk plika ariepiglotika, sedangkan yang lainnya membentuk dinding
diantara laring dan sinus piriformis Morgagni.12

Gambar 6. Laring potongan koronal12

11
Gambar 7. Laring dilihat dari atas (Membrana Kuadrangularis diangkat)12

Gambar 8. Membrana Laring tampak sagital12

12
Gambar 9. Membrana laringdari posterior (kartilago aritenoid kanan digeser ke

lateral)12

3. Otot-Otot

Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot


ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda.12

12
Otot-otot ekstrinsik.

Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelomp


ok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.

Terbagi atas :

1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :

a. M. Stilohioideus
b. M. Milohioideus

13
c. M. Geniohioideus
d. M. Hioglosus
e. M. Digastrikus
f. M. Genioglosus

2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :

a. M. Omohioideus
b. M. Sternokleidomastoideus
c. M. Tirohioideus

Gambar 10. Otot-otot Ekstrinsik12

14
Gambar 11. Otot-otot Ekstrinsik tampak anterior12

Gambar 11. Otot-otot Ekstrinsik tampak posterosuperior12

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3


dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi).

15
Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat
pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.12

Otot-otot intrinsik

Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi


menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m.
interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m.
interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adduksi pita suara.

12
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :

12
1. Otot-otot adduktor :

a. Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik


b. M. Krikotiroideus
c. M. Krikotiroideus lateral
Berfungsi untuk menutup pita suara.

12
2. Otot-otot abduktor :

M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.

12
3. Otot-otot tensor :

a. Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis


b. Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m.

16
tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara
melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

Gambar 12. Otot-otot Intrinsik12

Gambar 13. Otot-otot Intrinsik12

17
Gambar 14. Otot-otot Intrinsik12

4. Persendian

1. Artikulasio Krikotiroidea

Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian


posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu :
ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi
untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau
fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan
pita suara.12

2. Artikulasio Krikoaritenoidea

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan


tepi posterior cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio
krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder,
yang sumbunya mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta
menyebabkan gerakan menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut.
Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara dari nada rendah
18
menjadi nada tinggi.12

Gambar 15. Persendian Laring12

5. Anatomi Laring Bagian Dalam

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 12

1. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas


pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu
dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel
laring Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior),
yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago
krikoidea.

19
Beberapa bagian penting dari dalam laring :

1. Aditus Laringeus, Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior


oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung

12
kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.

12
2. Rima Vestibuli, Merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima glottis, Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di

12
belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

4. Vallecula, Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis

12
lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.

5. Plika Ariepiglotika, Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare


yang berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan

12
kartilago kornikulata.

6. Sinus Pyriformis (Hipofaring), Terletak antara plika ariepiglotika dan

12
permukaan dalam kartilago tiroidea.

7. Incisura Interaritenoidea, Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum

12
kornikulatum kanan dan kiri.

8. Vestibulum Laring, Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana


kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago

12
aritenoidea dan m.interaritenoidea.

9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu), Yaitu pita suara palsu yang bergerak
bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam
keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan

12
jaringan ikat tipis di tengahnya.

10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus), Yaitu ruangan antara pita
suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan
20
dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara

12
sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

11. Plika Vokalis (pita suara sejati), Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per
lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh
prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous

12
portion.

6. Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.12

a. Nn. Laringeus Superior.12


Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung kedepan dan medial di bawah A. karotis interna dan
eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
1. Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas
pita suara sejati.
2. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid
dan m. Konstriktor inferior.
b. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).12
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri
mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga
mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian
proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan
21
persarafan :
1. Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
2. Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Gambar 16. Persarafan Laring12

7. Vaskularisasi

Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior

sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior. 12

a. Arteri Laringeus Superior


Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior
menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara

12
dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.

b. Arteri Laringeus Inferior


Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring
melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah
M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring

22
beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan

12
memperdarahi otot- otot dan mukosa laring.

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.


Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis

12
Interna.

Gambar 17. Vaskularisasi Arteri pada Laring12

23
Gambar 18. Vaskularisasi Arteri pada Laring12

Gambar 19. Vaskularisasi vena pada Laring12

8. Sistem Limfatik

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu : 12

24
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar
limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan
middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 20. Sietem Limfatik Laring12

9. Histologi Laring

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali
pada daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diant
ara sel-sel bersilia terdapat sel goblet.12

25
Gambar 21. Mukosa Laring12

Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara.


Pada daerah pita suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk
ligamentum tiroaritenoidea. Mukosa laring dihubungkan dengan jaringan
dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai lapisan submukosa.12

Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago


hialin. Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring berwarna
merah muda sedangkan pita suara berwarna keputihan.12

26
Gambar 22. Histologi Laring12

B. FISIOLOGI LARING

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : 14

1. Fungsi Fonasi.14

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling


kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang
konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari
laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan
vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara
dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan
dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan
penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan
massa ujung- ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk :

a. Teori Myoelastik – Aerodinamik.14

Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara


tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut,
otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam
berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja
dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan
menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai
puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika
vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara
otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali
membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus
getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis
akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling
mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan
27
aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara
yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada
dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi
semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan
proses seperti di atas akan terulang kembali.14

b. Teori Neuromuskular.15

Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa


awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem s
araf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring.
Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring
mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis
secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah
benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika
vokalis bilateral).15

2. Fungsi Proteksi.15

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya


reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada
waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan
terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N.
Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral
menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi.15

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk


memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang
sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini
dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila
pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila

28
pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan
obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,
sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat
pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan
dalam mengontrol posisi pita suara.15

4. Fungsi Sirkulasi.15

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan


peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.15

5. Fungsi Fiksasi.15

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar


tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.15

6. Fungsi Menelan.15

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada


saat berlangsungnya proses menelan, yaitu :

Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor


Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami
kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong
ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk
mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan
jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus

29
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi
aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.15

7. Fungsi Batuk.16

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai


katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan
laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang
merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.16

8. Fungsi Ekspektorasi.16

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar


berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.16

9. Fungsi Emosi.16

Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring,


misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.16

C. EPIDEMINOLOGI

Angka kejadian laringomalasia di dunia belum diketahui secara pasti, nam


un lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki sebanyak 58-76% kasus, dan tidak
terdapat predileksi terhadap ras tertentu. Menurut data rekam medis RS Hasan
Sadikin Bandung mulai Januari 2012 sampai Maret 2015 terdapat 84 kasus LM
(55 kasus laki-laki dan 29 perempuan).18

D. ETIOPATOGENESIS

Etiologi pasti dari laringomalasia sampai sekarang masih belum diketahui.


Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab laringomalasia,
yaitu:18

1. Teori imaturitas kartilago

Imaturitas Kartilago Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Sutherland

30
and Lack pada akhir abad ke-19. Menurut teori ini flaksiditas dari laring
diakibatkan oleh terlambatnya maturitas kartilago yang membentuk laring. Teori
ini kemudian tidak begitu diterima karena pemeriksaan histologi kartilago pada
pasien laringomalasia yang mempunyai gejala menunjukkan jaringan kartilago
dengan fibro elastin yang normal.18

2. Abnormalitas Anatomi

Menurut teori ini, laringomalasia diakibatkan oleh terdapatnya jaringan


laring yang berlebihan pada bayi. Laring pada bayi lebih lunak dan lebih rentan
mengalami edema mukosa. Sering didapatkan epiglotis yang omega shapednya
menghilang (tubular shape), adanya jaringan /mukosa yang berlebihan yang
nantinya akan mengakibatkan terjadinya laringomalasia. Penelitian akhir-akhir ini
juga mendapatkan hubungan yang kuat antara laringomalasia dengan
gastresophageal reflux disease (GERD) dan laringopharingeal refluks (LPR),
Studi menunjukkan hampir 80% pasien LM juga mengalami refluks, tetapi hal ini
masih menjadi perdebatan apakah penyakit refluks ini mengakibatkan LM/ LPR
atau akibat tekanan negatif intratoraks pada pasien LM yang memicu refluks dan
memperparah edema laring.18

3. Imaturitas Neuromuskular

Teori lain yang menjelaskan terjadinya laringomalasia ini adalah peran


dari lemahnya kontrol neuromuskular yang mengakibatkan hipotonus relatif pada
otot dilator supraglotis yang mengakibatkan stuktur supraglotis akan kolaps dan
tertutup. Kelainan pada nervus Vagus akan mengakibatkan menurunnya tonus
laring sehingga terjadi kolaps struktur laring dan gangguan mekanisme menelan
yang memicu obstuksi jalan nafas dan gangguan menelan. Hal ini terjadi akibat
tidak berkembangnya sistem saraf pusat , terutama nervus perifer dan batang otak
yang berperan dalam mengontrol pernafasan dan menjaga patensi jalan nafas.
Refleks laryngeal adductor merupakan refleks nervus vagus yang berperan dalam
fungsi laring dan fonasi. Aktivasi serabut aferen dari saraf ini diperantarai oleh
nervus Laringeus superior yang terletak di lipatan ariepiglotis. Rangsangan pada
saraf ini kemudian diteruskan ke nukleus batang otak dan memerintahkan serabut
motorik untuk mengatur pernafasan dan menelan. Adanya kelainan pada jalur
31
neuromuskular ini diduga menjadi etiologi terjadinya laringomalasia serta keluhan
dalam makan.18

E. EMBRIOLOGI LARING

Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif.


Pada saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal
groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak
disebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan
lengkung ke IV daripada lengkung ke III. 19

Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi
dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini,
misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah
menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal.19

Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak


diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya
hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan
tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan
pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk
tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago
kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang
kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10,
lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk
lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis
palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.19

Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan

32
selanjutnya sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 –
16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika,
krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M.
Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N.
Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial
dan dipersarafi oleh N. Hipoglosus.19

F. GEJALA KLINIS

Gejala laringomalasia timbul pada saat lahir atau beberapa minggu setelah
lahir, puncaknya pada usia 6 sampai 8 bulan, dan mengalami perubahan pada usia
12 bulan sampai 24 bulan. Gejala khas laringomalasia adalah sridor inspirasi yang
akan memberat saat makan, menangis, agitasi dan posisi terlentang. Klasifikasi
gambaran penyakit laringomalasia berdasarkan beratnya stridor dan gejala makan,
terdiri dari ringan, sedang dan berat. Laringomalasia ringan terjadi pada 40%
kasus dimana tidak berhubungan dengan gangguan makan. Laringomalasia sedang
terjadi pada 40% kasus, terdapat stridor dengan gejala gangguan makan dan
saturasi oksigen ≤96%. Laringomalasia berat terjadi pada 20% kasus, terdapat
stridor, gejala yang berhubungan dengan gangguan makan, sianosis, aspirasi,
gagal tumbuh dan saturasi oksigen ≤86%.20

McSwiney dkk membuat klasifikasi laringomalasia berdasarkan letak prolaps dari


struktur supraglotis, terdiri dari:20

1. Tipe 1, yaitu epiglotis panjang dan melengkung (berbentuk omega) dan


jatuh ke bagian posterior saat inspirasi;

2. Tipe 2 yaitu plika ariepiglotika yang memendek;

3. Tipe 3 yaitu berhubungan dengan penyakit lain seperti kelainan


neuromuskular dan epiglotis bagian posterior yang kolaps.

33
G. DIAGNOSIS

Diagnosis LM didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan konfirma


si dengan pemeriksaan flexible fibreoptic laryngoscopy (FFL) dalam keadaan sada
r.23,24,29,30 Gejala klasik LM adalah didapatkannya stridor inspirasi yang makin bera
t ketika pasien gelisah, menangis, menyusu, makan dan tidur terlentang. 28–30 Hal la
in yang perlu didapatkan adalah riwayat kelahiran pasien diantaranya berat dan pa
njang badan saat lahir, usia kehamilan saat lahir, kelainan genetik atau penyakit k
omorbid lainnya. Pada pemeriksaan fisik yang diperlukan adalah berat dan panjan
g anak saat pemeriksaan, suara nafas saat inspirasi dan ekspirasi, gerakan dada unt
uk menilai adanya retraksi atau pectus excavatum, serta penilaian perfusi jaringan.
29

Pemeriksaan FFL dilakukan dalam keadaan tanpa sedasi dengan posisi pas
ien duduk tegak lurus dipangkuan orang tua, skope dimasukkan melalui lobang hi
dung, dinilai kelainan yang terdapat pada nasofaring, orofaring, hipofaring dan str
uktur laring. Pada pemeriksaan FFL ini dapat diamati pergerakan dinamis dari
struktur laring selama pernafasan spontan dan bisa membedakan laringomalasia
dengan penyebab lain stridor inspirasi seperti paralisis pita suara atau kista laring.
Kolaps jaringan supraglotik dan obstruksi selama inspirasi merupakan
patognomonis laringomalasia.26,29 Pada laring akan didapatkan prolap kartilago
aritenoid, mukosa supra-aritenoid, dan kartilago epiglotis selama inspirasi,
pemendekan lipatan aritenoid dan epiglotis selama inspirasi, gambaran tubular
shaped epiglotis serta edema posterior glotis. 24,29,36,37

34
Gambar 23. Laringomalasia. A. Tubular epiglotis dan aritenoid redundant B.
Pemendekan lipatan ariepiglotis C. Prolaps mukosa aritenoid saat inspirasi. 26,29

H. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA

Terdapat beberapa klasifikasi LM. Berdasarkan beratnya penyakit, LM


dibagi atas derajat ringan, sedang dan berat. Pembagian derajat ini berdasarkan
terdapat atau tidaknya gejala yang berhubungan dengan gangguan dalam menelan
makanan serta gejala obstruktif saluran nafas atas.21,24,30

Laringomalasia derajat ringan terdapat stridor inpirasi dan gejala yang


berhubungan dengan gangguan dalam menelan saat pasien makan seperti batuk,
tersedak dan regurgitasi. Obstruksi saluran nafas pasien derajat ringan tidak akan
menyebabkan hipoksia, saturasi oksigen berkisar antara 98-100%. Sekitar 40 %
pasien merupakan LM derajat ringan. Laringomalasia derajat sedang terdapat
stridor inspirasi yang semakin jelas dan gejala saluran nafas yang berhubungan
dengan makan semakin berat, terdapat sianosis saat makan dan penurunan saturasi
oksigen ≤ 96%, sekitar 40% pasien merupakan LM derajat sedang.21,24,30

Pasien LM derajat berat mempunyai 8 tanda primer, yaitu: 1. stridor


inspirasi, 2. retraksi suprasternal, 3. retraksi substernal, 4. kesulitan dalam makan,
5. tersedak, 6. muntah setelah makan, 7. gangguan tumbuh kembang dan 8.
sianosis. Pasien akan mempunyai saturasi oksigen ≤ 86% (tabel 1). Sebanyak 10-
20 % pasien merupakan LM derajat berat dan membutuhkan tindakan
pembedahan untuk mengurangi obstruksi saluran nafas atas. 21,24,30

Tabel 1. Skala Derajat Laringomalasia.29

Derajat Gejala Pernafasan Gejala Makan

Ringan Stridor inspirasi SpO2 98-100% Kadang batuk atau regurgitasi

Stridor inspirasi Saturasi O2 Sering regurgitasi atau keluhan


Sedang
≤96% berhubungan dengan makan

Stridor inspirasi dengan sianosis Gagal tumbuh kembang atau


Berat
atau apnea SpO2 ≤86% aspirasi

35
Berdasarkan anatomi yang terlibat, Olney38 pada tahun 1999
mengklasifikasikan LM menjadi 3 tipe yaitu: 1. kolaps posterior jika yang terlibat
mukosa aritenoid redundant atau kartilago cuneiform, 2. kolaps lateral jika terjadi
pemendekan lipatan ariepiglotis, 3. kolaps anterior jika terjadi epiglotis
retrofleksi.

Gambar 24. Tipe Laringomalasia18

I. PENYAKIT KOMORBID

Terdapat beberapa kelainan atau penyakit komorbid pada pasien


laringomalasia yang merupakan penyulit dan menjadikan klinis laringomalasia
lebih berat diantaranya:

1. Gastroesofageal dan Laringofaringeal Refluks (GERD dan LPR)

Pada pasien LM sekitar 65-100% terdapat GERD, hal ini diakibatkan oleh
obstruksi saluran nafas pada pasien LM akan mengakibatkan tekanan negatif
intratoraks yang akan memicu refluks asam lambung ke daerah laringofaringeal
yang akan mengakibatkan iritasi mukosa sekitar laring dan faring sehingga
mukosa akan edema. Edema mukosa ini akan memperparah obtruksi saluran nafas
pada pasien LM sehingga memperparah gejala. Adanya paparan asam lambung
yang terus menerus ini akan mengakibatkan penurunan refleks dalam menelan,
sehingga hal ini akan mengakibatkan timbulnya gejala tersedak dan terbatuk
ketika makan.24,29

2. Penyakit Neurologis

Kelainan neurologis terdapat pada 20-45% pasien LM diantaranya: kejang,


hipotonus, gangguan perkembangan, cerebral palsy, retardasi mental,
36
mikrosefalus, Quadriparese dan malformasi Chiari.24 Pada pasien dengan kelainan
neurologis ini akan terjadi penurunan fungsi nervus vagus yang berperan dalam
proses menelan sehingga terjadi penurunan tekanan laring yang nantinya akan
bermanifestasi sebagai keluhan saluran nafas yang berhubungan dengan
makan.24,29

3. Lesi Sekunder Saluran Nafas

Lesi sekunder saluran nafas atau Synchronous Airway Lession (SAL)


terdapat pada 7,5 – 64% LM. Jenis SAL yang sering ditemukan adalah stenosis
subglotis, trakeomalasia dan paralisis pita suara.39 Kelainan ini dapat dideteksi
dengan airway fluoroscopy untuk trakeomalasia atau dengan pencitraan radiografi
resolusi tinggi untuk lesi struktural seperti stenosis subglotis. Pemeriksaan standar
untuk mengetahui adanya SAL ini adalah menggunakan FFL ataupun
bronkoskopi kaku dibawah general anestesia. Pemeriksaan FFL baik dalam
mendeteksi adanya lesi dinamis, sebaliknya bronkoskopi kaku lebih baik dalam
melihat adanya lesi statis seperti stenosis subglotis. Adanya kelainan ini nantinya
akan memperberat obstruksi saluran nafas dan akan memicu terjadinya refluks
asam lambung yang kemudian menambah progresivitas LM.24,29,30

4. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

Penyakit ini terdapat pada 10% pasien LM, ditemukan pada LM derajat
sedang-berat. Adanya sumbatan jalan nafas akan memperberat penyakit jantung
dan memperberat klinis LM. Sebanyak 34% pasien LM dengan PJB memerlukan
tindakan pembedahan.4,9 5. Anomali Kongenital/Sindroma/ Kelainan Genetik
Kelainan ini didapatkan pada 8-20% LM dan 40% pasien LM derajat berat. Pasien
dengan anomali kongenital hampir selalu mempunyai SAL, PJB dan kelainan
neurologis yang memperberat oksigenasi dan penafasan. Sindroma Down
merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Kelainan lain diantaranya
adalah micrognathia (sindroma CHARGE) dan sindroma Pierre Robin.24,29

J. PENATALAKSANAAN

Dalam penatalaksanaan pasien LM, perlu diperhatikan berat dan ringannya


gejala saat pertama didiagnosis, adanya faktor komorbid serta adanya perbaikan

37
atau perburukan gejala setelah terapi awal. Penatalaksanaan LM dibagi atas terapi
konservatif dan tindakan pembedahan.

1. Konservatif

Terapi konservatif merupakan terapi pilihan pada pasien LM derajat ringan


dan sedang tanpa keluhan yang berhubungan dengan makan. Pasien harus
dikontrol dan observasi tumbuh kembang serta keluhan saluran nafas yang
berhubungan dengan makan. Jika terdapat sedikit keluhan makan, terapi
konservatif dengan posisi makan tegak lurus, asupan sedikit-sedikit dan sering
dengan ASI atau formula yang dipadatkan, dan medikamentosa untuk mencegah
refluks asam lambung.29 Lansoprazole 7,5mg sekali sehari dan domperidone
(1mg/kg/hari) bisa digunakan sebagai terapi anti refluks asam lambung.21

2. Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan pada semua pasien LM derajat berat,


pasien LM derajat ringan atau sedang yang mempunyai penyakit komorbid seperti
trakeomalasia atau stenosis subglotis atau pasien yang gagal dengan terapi
konservatif, pasien laringomalasia yang gagal tumbuh kembang dan riwayat
aspirasi berulang (tabel 2).24,29 Pada pasien yang akan dilakukan tindakan
pembedahan, sebelum dilakukan tindakan sebaiknya pasien diberikan antagonis
reseptor H2 dosis tinggi (3mg/kgBB) atau PPI sekali sehari. Beberapa jenis
tindakan pembedahan untuk LM adalah: supraglotoplasti dan epiglotoplasti.
Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe LM berupa supraglotoplasti dengan
melakukan eksisi mukosa aritenoid redundant pada tipe I, insisi lipatan
ariepiglotis yang memendek pada tipe II dan epiglotoplasti pada LM tipe III.21,25,26

Tabel 2. Indikasi Klinis Untuk Pembedahan.29

Pernafasan Makan

Stridor dengan stress Sianosis berulang ketika


 
pernafasan makan

 Dispneu dengan retraksi  Aspirasi pneumonia berulang

38
 Pectus excavatum  Gagal tumbuh kembang

 Cor pulmonale

 Obstructive sleep apneu berat

Gambar 25. Pilihan Pembedahan sesuai tipe Laringomalasia.38

Supraglotoplasti pertama kali dikenalkan tahun 1922 dan menjadi tindakan


pilihan untuk mengobati LM menggantikan tindakan trakeostomi yang merupakan
satu-satunya pilihan terapi sebelumnya, sekarang pilihan operasi beragam pada
setiap pasien sesuai anatomi dan fungsi yang terganggu. 2,20 Trakeostomi
merupakan prosedur pembukaan dinding anterior leer untuk memasukkan tabung
yang dapat membantu pasien yang kesulitan bernafas dan mengalami penurunan
kadar oksigen yang signifikan guna mencapai trakhea sebagai jalan pintas untuk
bernafas sementara.43 Tindakan trakeostomi sekarang ini jarang dilakukan pada
pasien dengan LM saja. Trakeostomi dilakukan pada pasien LM dengan >3
penyakit komorbid, sleep apneu berat yang tercatat dalam sleep study dan keluhan
yang menetap setelah dilakukan supraglotoplasti. 11 Tindakan supraglotoplasti pada

39
LM dengan lipatan ariepiglotis yang pendek, maka dilakukan reseksi mukosa baik
menggunakan gunting mikro, laser atau mikrodebrider. Pada mukosa aritenoid
redundant atau kartilago cuneiformis dilakukan reseksi lipatan ariepiglotis yang
diperluas sampai ke permukaan sisi lateral epiglotis. 2 Secara umum
Supraglotoplasti ini dibagi atas: (1). Pemisahan lipatan ariepiglotis unilateral, (2).
Pemisahan lipatan ariepiglotis bilateral, (3). Pemisahan lipatan ariepiglotis
bilateral dengan pengangkatan jaringan aritenoid redundant unilateral dan (4).
Pemisahan komplit bilateral.31

Pada kebanyakan pasien LM, obstruksi laring akibat prolap aritenoid dan
pemendekan lipatan ariepiglotis dapat diatasi dengan supraglotoplasti, tetapi pada
kasus LM dengan etiologi kolaps epiglotis selama inspirasi, terdapat 2 pilihan
tindakan pembedahan berupa epiglotektomi parsial dan glossoepiglotopeksi.22,26,30

Bartolomeo22 melakukan tindakan epiglotektomi parsial berbentuk V


dengan menggunakan laser CO2. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
kolapsnya epiglotis kedalam laring selama inspirasi.

Gambar 26. Reseksi lipatan ariepiglotis dan jaringan supraaritenoid.26

Glossoepiglotopeksi dilakukan dengan penjahitan tepi bilateral epiglotis


ke pangkal lidah menggunakan benang absorbable yang bertujuan untuk

40
membuat permukaan lingual epiglotis menempel ke pangkal lidah sehingga hal ini
akan menjaga patensi saluran nafas dan kemampuan berbicara, tetapi terdapat
kemungkinan gangguan dalam makan dan aspirasi pasca operasi.26,22

Gambar 27. Epiglotektomi parsial.42

Whymark6 melakukan epiglottopeksi pada 73% dari 58 bayi dengan LM


derajat berat dimana didapatkan perbaikan stridor dan peningkatan berat badan
pasien pasca operasi. Dilakukan ablasi mukosa lingual epiglotis dan mukosa
pangkal lidah menggunakan laser CO2, kemudian epiglotis dan pangkal lidah
dijahit menggunakan benang absorbable.

Pada tindakan ini, tidak satupun pasien yang didapatkan komplikasi


aspirasi pasca operasi. Trakeostomi sebagai life saving dilakukan pada pasien LM
dengan obstruksi jalan nafas yang mengancam nyawa serta pasien yang tidak
terdapat perbaikan setelah tindakan supraglotoplasti.22,24

Gambar 28. Epiglotopeksi A. eksisi mukosa dasar lidah dan permukaan lingual
epiglotis menggunakan Laser CO2 B. Epiglotis setelah difiksasi ke pangkal
lidah.25

Setelah tindakan operasi, setiap pasien dirawat di ruang intensif sampai

41
memungkinkan untuk dirawat di ruang rawat biasa. Pasien diberikan terapi
antirefluks (PPI 2xsehari) dan tidur dengan posisi elevasi kepala untuk
mengurangi edema dan pembentukan granuloma pada mukosa yang dioperasi
akibat paparan asam lambung. Pasien juga diberikan steroid 0,5mg/kgBB untuk
mengurangi edema dan obstruksi jalan nafas pasca operasi. 29 Pasien dapat di
ekstubasi setelah operasi atau sehari setelah operasi, tergantung dari beratnya
penyakit dan usia pasien. Setelah pasien sadar penuh, dapat dilakukan pemberian
makan seperti biasa, atau pemasangan nasogastric tube diperlukan pada pasien
dengan riwayat aspirasi berat. Setelah pasien bisa diekstubasi dan tidak ada tanda-
tanda stress pernafasan, dan bisa makan dengan baik pasien diperbolehkan pulang
dan kontrol rawat jalan. Perlu dilakukan evaluasi berat badan, keluhan pernafasan,
sleep apneu dan pemeriksaan FFL untuk menilai struktur laring, penyembuhan
luka operasi serta pembentukan jaringan parut. Pada pasien dengan perbaikan
keluhan, pemerikasaan FFL ini perlu dilakukan pada bulan pertama dan ketiga
setelah operasi untuk menilai LPR, obstruksi jalan nafas dan gangguan makan.26

K. DIAGNOSIS BANDING

Laringomalasia merupakan penyebab tersering stridor inspirasi pada anak.


Terdapat beberapa peyakit dan keadaan yang menimbulkan stridor inspirasi pada
anak diantaranya adalah: 1. penyakit croup (laringotrakeobronkitis) yang
diakibatkan oleh infeksi virus parainfluenza virus, influenza virus tipe A atau
rhinovirus, 2. Epiglottitis yang merupakan infeksi bakteri Haemophilus influenza
tipe B, Streptococcus beta haemolitikus, staphylococcus dan pneumococcus pada
epiglotis, 3. Trakeitis yang merupakan infeksi akut bakteri pada trakea, 4. Aspirasi
benda asing yang merupakan keadaan yang dapat mengancam nyawa dengan
onset akut batuk-batuk hebat,tersedak serta rasa tercekik, 5. Hemangioma
subglotis, 6. stenosis subglotis, 7. paralisis pita suara dan 8. trakeomalasia.43

42
BAB III

KESIMPULAN

Laringomalasia merupakan penyebab stridor inspirasi tersering pada bayi.


Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang FFL dimana didapatkan gambaran kolapsnya strukstur supraglotis
selama inspirasi. Klasifikasi LM berdasarkan beratnya gejala serta anatomi yang
terlibat. Pada LM derajat ringan dan sedang, terapi konservatif dengan
medikamentosa, modifikasi perawatan dan observasi keluhan merupakan pilihan
utama. Sebagian besar kasus akan resolusi dalam 2 tahun. Laringomalasia derajat
berat serta adanya faktor komorbid merupakan indikasi dilakukan tindakan
pembedahan. Supraglotoplasti merupakan tindakan pembedahan pilihan untuk
LM dengan angka keberhasilan yang tinggi. Trakeostomi sekarang ini sangat
jarang dilakukan pada pasien LM. Pemberian PPI sangat dianjurkan baik sebelum
atau setelah tindakan pembedahan

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Fattah HA, Gaafar AH. Laryngomalacia : Diagnosis and management.


Egypt J Ear, Nose, Throat Allied Sci. 2012;12(3):149-153.
2. Netto JFL, Drummond RL, Oppermann P, Hermes FS, Krumenauer RCP.
Laryngomalacia surgery : a series from a tertiary pediatric hospital. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78(6):99-106.
3. Technique ANS. Atypical Presentation of Severe Laryngomalacia
Managed with Aryepiglottoplasty and A Novel Suture Technique. J Med
Sci Clin Res. 2017;5(6):23282-23287.
4. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia : Disease Presentation,
Spectrum, and Management. Int J Pediatr. 2012:1-6.
5. Werner JA, Lippert BM, Dunne AA, Ankerman T, Folz BJ, Seyberth H.
Epiglottopexy for the treatment of severe laryngomalacia. Eur Arch Oto-
Rhino-Laryngology. 2002;259(9):459-464.
6. Richter GT, Thompson DM. The Surgical Management of
Laryngomalacia. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41:837-864.
7. Saputri RAH, Sudiro M, Wijana SSR. Gambaran Klinis Pasien
Laringomalasia di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Rumah Sakit Dr . Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 -
Maret 2015. Tunas Med J Kedokt dan Kesehat. 2016;3(1):1-6.
8. Pinto JA, Wambier H, Mizoguchi EI, Gomes LM. Surgical treatment of
severe laryngomalacia: a retrospective study of 11 cases. Braz J
Otorhinolaryngol. 2013;79(5):564-568.
9. Thorne MC, Garetz SL, Thorne MC, Garetz SL. Laryngomalacia : Review
and Summary of Current Clinical Practice in 2015. Paediatr Respir Rev.
44
2016;17:3-8.
10. Thompson DM. Laryngomalacia : factors that influence disease severity
and outcomes of management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.
2010;18:564-570.
11. Pamuk AE, Süslü N, Günaydın RÖ, Atay G, Akyol U. Laryngomalacia :
patient outcomes following aryepiglottoplasty at a tertiary care center.
Tourkish J Pediatr. 2013;55:524-528.

12. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat,
ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
13. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -
Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
14. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.
Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 :
425-456
15. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 7
47, 755-760.
16. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philade
lphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479- 486.
17. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth
& Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
18. Elfianto, Novialdi. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018. http://jurnal.fk.unand.ac.id/
19. Sofyan F. 2021. Embriologi, anatomi, danlaring fisiologi. Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher
Fakultas Kedokteran Usu Medan
20. Wijana dkk .2016. Gambaran Klinis Pasien Laringomalasia di Poliklinik
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Januari 2012 - Maret 2015. Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
45
Bandung.
21. Fattah HA, Gaafar AH. Laryngomalacia : Diagnosis and management. Egy
pt J Ear, Nose, Throat Allied Sci. 2012;12(3):149-153.
22. Netto JFL, Drummond RL, Oppermann P, Hermes FS, Krumenauer RCP.
Laryngomalacia surgery : a series from a tertiary pediatric hospital. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78(6):99-106.
23. Technique ANS. Atypical Presentation of Severe Laryngomalacia
Managed with Aryepiglottoplasty and A Novel Suture Technique. J Med S
ci Clin Res. 2017;5(6):23282-23287.
24. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia : Disease Presentation,
Spectrum, and Management. Int J Pediatr. 2012:1-6.
25. Werner JA, Lippert BM, Dunne AA, Ankerman T, Folz BJ, Seyberth H.
Epiglottopexy for the treatment of severe laryngomalacia. Eur Arch Oto-R
hino-Laryngology. 2002;259(9):459-464.
26. Richter GT, Thompson DM. The Surgical Management of
Laryngomalacia. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41:837-864.
27. Saputri RAH, Sudiro M, Wijana SSR. Gambaran Klinis Pasien
Laringomalasia di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 -
Maret 2015. Tunas Med J Kedokt dan Kesehatan. 2016;3(1):1-6.
28. Pinto JA, Wambier H, Mizoguchi EI, Gomes LM. Surgical treatment of
severe laryngomalacia: a retrospective study of 11 cases. Braz J Otorhinol
aryngol. 2013;79(5):564-568.
29. Thorne MC, Garetz SL, Thorne MC, Garetz SL. Laryngomalacia : Review
and Summary of Current Clinical Practice in 2015. Paediatr Respir Rev.
2016;17:3-8.
30. Thompson DM. Laryngomalacia : factors that influence disease severity
and outcomes of management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2
010;18:564-570.
31. Pamuk AE, Süslü N, Günaydın RÖ, Atay G, Akyol U. Laryngomalacia :
patient outcomes following aryepiglottoplasty at a tertiary care center. Tou
rkish J Pediatr. 2013;55:524-528.

46
32. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of the Larynx. In:
Ballenger JJ, Snow JB, eds. Ballenger’s Otorhinology Head & Neck
Surgery. 17th ed. Spain: Decker BC; 2008:847-858.
33. Johnson JT, Rosen CA. Upper Airway Anatomy and Fuction. In: Gayle
WE, ed. Bailey Head & Neck Surgey Otolaryngology. V. Philadelphia: Lip
pincott Williams & Wilkins; 2014:868-878.
34. Collins SR. Direct and Indirect Laryngoscopy : Equipment and
Techniques. Respir Care. 2014;59:850-864.
35. Piazza C, Ribeiro JC, Bernal-Sprekelsen M, Paiva A, Peretti G. Anatomy
and Physiology of the Larynx and Hypopharynx. In: Anniko M, Bernal-
Sprekelsen M, Bonkowsky V, Bradley PJ, Iurato S, eds. Otorhinolaryngol
ogy, Head and Neck Surgery. Berlin, Heidelberg: Springer Nature, 2010:4
61-471.
36. Ayari S, Aubertin G, Girschig H, Abbeele T Van Den, Mondain M.
Pathophysiology and diagnostic approach to laryngomalacia in infants. Eu
r Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2012;129(5):257-263.
37. Rastatter JC, Jr JWS, Hoff SR, Holinger LD. Aspiration before and after
Supraglottoplasty regardless of Technique. Int J Otolaryngol. 2010:5-9.
38. Olney DR, Greinwald H, Smith RJH, Bauman NM. Laryngomalacia and
Its Treatment. Laryngoscope. 1999;(November):1770-1775.
39. Benoit M. Secondary Airway Lesions in Laryngomalacia : Head and Neck
Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;144(2):269- 273.
40. Dias R, Deshmukh CT, Tullu MS, Divecha C, Karande S. Rare treatment
option for a common pediatric airway problem. Indian J Crit Care Med. 2
015;19(11):61-63.
41. Camacho M, Dunn B, Torre C, Sasaki J, Gonzales R, Liu SY, et al.
Supraglottoplasty for Laryngomalacia with Obstructive Sleep Apnea : A
Systematic Review and Meta-Analysis. Laryngoscope. 2016;126:1246-
1255.
42. Bartolomeo M, Bigi A, Pelliccia P, Makeieff M. Surgical treatment of a
case of adult epiglottic laryngomalacia. Eur Ann Otorhinolaryngol Head
Neck Dis. 2015;132(1):45-47.

47
43. Maisel HR, MD. Trakeostomi. Boeis buku ajar penyakit THT. 1997;6;473

48

You might also like