Professional Documents
Culture Documents
Referat Laringomalasia
Referat Laringomalasia
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LARINGOMALASIA
Disusun Oleh :
Residen Pembimbing :
Supervisor Pembimbing :
MAKASSAR
2023
i
LEMBAR PENGESAHAN
Residen Pembimbing,
Supervisor Pembimbing,
DAFTAR ISI
ii
HALAMAN SAMPUL...................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN..........................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................
A. ANATOMI LARING.................................................................................3
B. FISIOLOGI LARING.............................................................................26
C. EPIDEMINOLOGI..................................................................................30
D. ETIOPATOGENESIS.............................................................................31
E. EMBRIOLOGI LARING.......................................................................32
F. GEJALA KLINIS....................................................................................35
G. DIAGNOSIS.............................................................................................33
H. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA..................................................35
I. PENYAKIT KOMORBID......................................................................36
J. PENATALAKSANAAN..........................................................................37
K. DIAGNOSIS BANDING.........................................................................42
BAB III.........................................................................................................................................
KESIMPULAN............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
teori anatomi, menyatakan bahwa adanya jaringan lembek pada tempat yang tidak
normal sehingga menyebabkan stridor. Teori kartilago menyatakan kartilago
laring yang belum matang memiliki kelenturan abnormal, sedangkan teori
neurogenik menyatakan tidak berkembangnya atau integritas yang abnormal dari
sistem saraf pusat dan inti batang otak yang bertanggung jawab untuk bernapas
dan patensi jalan napas.11
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI LARING
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif
lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja
tertutup bila sedang menelan makanan.12
3
1. Kartilago
4
Gambar 2. Tulang dan kartilago laring tampak potongan sagital12
a. Kartilago Tiroidea
5
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan
lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap
(ala tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu
di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut
Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita
120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura
tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah
membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya
artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di
sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita
suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta
12
kornikulata.
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur
yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini
merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus
12
tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus inferior.
12
umur 20 – 30 tahun.
b. Kartilago Krikoidea
12
elastikus.
12
ami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
c. Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan
rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis
yang merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di
posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya
ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan
berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita
12
suara ini disebut glotis.
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan
12
tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan.
d. Kartilago Epiglotis
7
Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring
sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi
sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah menyebelah laring. 12,13
e. Kartilago Kurnikulata
12
kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.
f. Kartilago Kuneiforme
12
yang terletak di dalam plika ariepiglotika.
a. Membran tirohioid
b. Ligamentum tirohioid
c. Ligamentum tiroepiglotis
d. Ligamentum hioepiglotis
e. Ligamentum krikotrakeal
8
Gambar 4. Ligamen Ekstrinsik12
a. Membran quadrangularis
b. Ligamentum vestibular
c. Konus elastikus
d. Ligamentum krikotiroid media
e. Ligamentum vokalis
9
Gambar 5. Ligament Intrinsik12
a. Membrana Tirohioidea
Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas
belakang os hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan
membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus
oleh a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh
limfe.12
12
bebas menebal membentuk ligamentum vokalis.
10
c. Membrana Kuadrangularis
11
Gambar 7. Laring dilihat dari atas (Membrana Kuadrangularis diangkat)12
12
Gambar 9. Membrana laringdari posterior (kartilago aritenoid kanan digeser ke
lateral)12
3. Otot-Otot
12
Otot-otot ekstrinsik.
Terbagi atas :
a. M. Stilohioideus
b. M. Milohioideus
13
c. M. Geniohioideus
d. M. Hioglosus
e. M. Digastrikus
f. M. Genioglosus
a. M. Omohioideus
b. M. Sternokleidomastoideus
c. M. Tirohioideus
14
Gambar 11. Otot-otot Ekstrinsik tampak anterior12
15
Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat
pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.12
Otot-otot intrinsik
12
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :
12
1. Otot-otot adduktor :
12
2. Otot-otot abduktor :
M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.
12
3. Otot-otot tensor :
16
tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara
melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.
17
Gambar 14. Otot-otot Intrinsik12
4. Persendian
1. Artikulasio Krikotiroidea
2. Artikulasio Krikoaritenoidea
19
Beberapa bagian penting dari dalam laring :
12
kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.
12
2. Rima Vestibuli, Merupakan celah antara pita suara palsu.
12
belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
12
lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
12
kartilago kornikulata.
12
permukaan dalam kartilago tiroidea.
12
kornikulatum kanan dan kiri.
12
aritenoidea dan m.interaritenoidea.
9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu), Yaitu pita suara palsu yang bergerak
bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam
keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan
12
jaringan ikat tipis di tengahnya.
10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus), Yaitu ruangan antara pita
suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan
20
dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara
12
sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.
11. Plika Vokalis (pita suara sejati), Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per
lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh
prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous
12
portion.
6. Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.12
7. Vaskularisasi
12
dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
22
beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan
12
memperdarahi otot- otot dan mukosa laring.
12
Interna.
23
Gambar 18. Vaskularisasi Arteri pada Laring12
8. Sistem Limfatik
24
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar
limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan
middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.
9. Histologi Laring
Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali
pada daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diant
ara sel-sel bersilia terdapat sel goblet.12
25
Gambar 21. Mukosa Laring12
26
Gambar 22. Histologi Laring12
B. FISIOLOGI LARING
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : 14
1. Fungsi Fonasi.14
b. Teori Neuromuskular.15
2. Fungsi Proteksi.15
3. Fungsi Respirasi.15
28
pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan
obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,
sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat
pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan
dalam mengontrol posisi pita suara.15
4. Fungsi Sirkulasi.15
5. Fungsi Fiksasi.15
6. Fungsi Menelan.15
29
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi
aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.15
7. Fungsi Batuk.16
8. Fungsi Ekspektorasi.16
9. Fungsi Emosi.16
C. EPIDEMINOLOGI
D. ETIOPATOGENESIS
30
and Lack pada akhir abad ke-19. Menurut teori ini flaksiditas dari laring
diakibatkan oleh terlambatnya maturitas kartilago yang membentuk laring. Teori
ini kemudian tidak begitu diterima karena pemeriksaan histologi kartilago pada
pasien laringomalasia yang mempunyai gejala menunjukkan jaringan kartilago
dengan fibro elastin yang normal.18
2. Abnormalitas Anatomi
3. Imaturitas Neuromuskular
E. EMBRIOLOGI LARING
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi
dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini,
misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah
menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal.19
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan
32
selanjutnya sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 –
16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika,
krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M.
Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N.
Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial
dan dipersarafi oleh N. Hipoglosus.19
F. GEJALA KLINIS
Gejala laringomalasia timbul pada saat lahir atau beberapa minggu setelah
lahir, puncaknya pada usia 6 sampai 8 bulan, dan mengalami perubahan pada usia
12 bulan sampai 24 bulan. Gejala khas laringomalasia adalah sridor inspirasi yang
akan memberat saat makan, menangis, agitasi dan posisi terlentang. Klasifikasi
gambaran penyakit laringomalasia berdasarkan beratnya stridor dan gejala makan,
terdiri dari ringan, sedang dan berat. Laringomalasia ringan terjadi pada 40%
kasus dimana tidak berhubungan dengan gangguan makan. Laringomalasia sedang
terjadi pada 40% kasus, terdapat stridor dengan gejala gangguan makan dan
saturasi oksigen ≤96%. Laringomalasia berat terjadi pada 20% kasus, terdapat
stridor, gejala yang berhubungan dengan gangguan makan, sianosis, aspirasi,
gagal tumbuh dan saturasi oksigen ≤86%.20
33
G. DIAGNOSIS
Pemeriksaan FFL dilakukan dalam keadaan tanpa sedasi dengan posisi pas
ien duduk tegak lurus dipangkuan orang tua, skope dimasukkan melalui lobang hi
dung, dinilai kelainan yang terdapat pada nasofaring, orofaring, hipofaring dan str
uktur laring. Pada pemeriksaan FFL ini dapat diamati pergerakan dinamis dari
struktur laring selama pernafasan spontan dan bisa membedakan laringomalasia
dengan penyebab lain stridor inspirasi seperti paralisis pita suara atau kista laring.
Kolaps jaringan supraglotik dan obstruksi selama inspirasi merupakan
patognomonis laringomalasia.26,29 Pada laring akan didapatkan prolap kartilago
aritenoid, mukosa supra-aritenoid, dan kartilago epiglotis selama inspirasi,
pemendekan lipatan aritenoid dan epiglotis selama inspirasi, gambaran tubular
shaped epiglotis serta edema posterior glotis. 24,29,36,37
34
Gambar 23. Laringomalasia. A. Tubular epiglotis dan aritenoid redundant B.
Pemendekan lipatan ariepiglotis C. Prolaps mukosa aritenoid saat inspirasi. 26,29
H. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA
35
Berdasarkan anatomi yang terlibat, Olney38 pada tahun 1999
mengklasifikasikan LM menjadi 3 tipe yaitu: 1. kolaps posterior jika yang terlibat
mukosa aritenoid redundant atau kartilago cuneiform, 2. kolaps lateral jika terjadi
pemendekan lipatan ariepiglotis, 3. kolaps anterior jika terjadi epiglotis
retrofleksi.
I. PENYAKIT KOMORBID
Pada pasien LM sekitar 65-100% terdapat GERD, hal ini diakibatkan oleh
obstruksi saluran nafas pada pasien LM akan mengakibatkan tekanan negatif
intratoraks yang akan memicu refluks asam lambung ke daerah laringofaringeal
yang akan mengakibatkan iritasi mukosa sekitar laring dan faring sehingga
mukosa akan edema. Edema mukosa ini akan memperparah obtruksi saluran nafas
pada pasien LM sehingga memperparah gejala. Adanya paparan asam lambung
yang terus menerus ini akan mengakibatkan penurunan refleks dalam menelan,
sehingga hal ini akan mengakibatkan timbulnya gejala tersedak dan terbatuk
ketika makan.24,29
2. Penyakit Neurologis
Penyakit ini terdapat pada 10% pasien LM, ditemukan pada LM derajat
sedang-berat. Adanya sumbatan jalan nafas akan memperberat penyakit jantung
dan memperberat klinis LM. Sebanyak 34% pasien LM dengan PJB memerlukan
tindakan pembedahan.4,9 5. Anomali Kongenital/Sindroma/ Kelainan Genetik
Kelainan ini didapatkan pada 8-20% LM dan 40% pasien LM derajat berat. Pasien
dengan anomali kongenital hampir selalu mempunyai SAL, PJB dan kelainan
neurologis yang memperberat oksigenasi dan penafasan. Sindroma Down
merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Kelainan lain diantaranya
adalah micrognathia (sindroma CHARGE) dan sindroma Pierre Robin.24,29
J. PENATALAKSANAAN
37
atau perburukan gejala setelah terapi awal. Penatalaksanaan LM dibagi atas terapi
konservatif dan tindakan pembedahan.
1. Konservatif
2. Pembedahan
Pernafasan Makan
38
Pectus excavatum Gagal tumbuh kembang
Cor pulmonale
39
LM dengan lipatan ariepiglotis yang pendek, maka dilakukan reseksi mukosa baik
menggunakan gunting mikro, laser atau mikrodebrider. Pada mukosa aritenoid
redundant atau kartilago cuneiformis dilakukan reseksi lipatan ariepiglotis yang
diperluas sampai ke permukaan sisi lateral epiglotis. 2 Secara umum
Supraglotoplasti ini dibagi atas: (1). Pemisahan lipatan ariepiglotis unilateral, (2).
Pemisahan lipatan ariepiglotis bilateral, (3). Pemisahan lipatan ariepiglotis
bilateral dengan pengangkatan jaringan aritenoid redundant unilateral dan (4).
Pemisahan komplit bilateral.31
Pada kebanyakan pasien LM, obstruksi laring akibat prolap aritenoid dan
pemendekan lipatan ariepiglotis dapat diatasi dengan supraglotoplasti, tetapi pada
kasus LM dengan etiologi kolaps epiglotis selama inspirasi, terdapat 2 pilihan
tindakan pembedahan berupa epiglotektomi parsial dan glossoepiglotopeksi.22,26,30
40
membuat permukaan lingual epiglotis menempel ke pangkal lidah sehingga hal ini
akan menjaga patensi saluran nafas dan kemampuan berbicara, tetapi terdapat
kemungkinan gangguan dalam makan dan aspirasi pasca operasi.26,22
Gambar 28. Epiglotopeksi A. eksisi mukosa dasar lidah dan permukaan lingual
epiglotis menggunakan Laser CO2 B. Epiglotis setelah difiksasi ke pangkal
lidah.25
41
memungkinkan untuk dirawat di ruang rawat biasa. Pasien diberikan terapi
antirefluks (PPI 2xsehari) dan tidur dengan posisi elevasi kepala untuk
mengurangi edema dan pembentukan granuloma pada mukosa yang dioperasi
akibat paparan asam lambung. Pasien juga diberikan steroid 0,5mg/kgBB untuk
mengurangi edema dan obstruksi jalan nafas pasca operasi. 29 Pasien dapat di
ekstubasi setelah operasi atau sehari setelah operasi, tergantung dari beratnya
penyakit dan usia pasien. Setelah pasien sadar penuh, dapat dilakukan pemberian
makan seperti biasa, atau pemasangan nasogastric tube diperlukan pada pasien
dengan riwayat aspirasi berat. Setelah pasien bisa diekstubasi dan tidak ada tanda-
tanda stress pernafasan, dan bisa makan dengan baik pasien diperbolehkan pulang
dan kontrol rawat jalan. Perlu dilakukan evaluasi berat badan, keluhan pernafasan,
sleep apneu dan pemeriksaan FFL untuk menilai struktur laring, penyembuhan
luka operasi serta pembentukan jaringan parut. Pada pasien dengan perbaikan
keluhan, pemerikasaan FFL ini perlu dilakukan pada bulan pertama dan ketiga
setelah operasi untuk menilai LPR, obstruksi jalan nafas dan gangguan makan.26
K. DIAGNOSIS BANDING
42
BAB III
KESIMPULAN
43
DAFTAR PUSTAKA
12. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat,
ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
13. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -
Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
14. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.
Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 :
425-456
15. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 7
47, 755-760.
16. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philade
lphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479- 486.
17. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth
& Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
18. Elfianto, Novialdi. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018. http://jurnal.fk.unand.ac.id/
19. Sofyan F. 2021. Embriologi, anatomi, danlaring fisiologi. Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher
Fakultas Kedokteran Usu Medan
20. Wijana dkk .2016. Gambaran Klinis Pasien Laringomalasia di Poliklinik
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Januari 2012 - Maret 2015. Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
45
Bandung.
21. Fattah HA, Gaafar AH. Laryngomalacia : Diagnosis and management. Egy
pt J Ear, Nose, Throat Allied Sci. 2012;12(3):149-153.
22. Netto JFL, Drummond RL, Oppermann P, Hermes FS, Krumenauer RCP.
Laryngomalacia surgery : a series from a tertiary pediatric hospital. Braz J
Otorhinolaryngol. 2012;78(6):99-106.
23. Technique ANS. Atypical Presentation of Severe Laryngomalacia
Managed with Aryepiglottoplasty and A Novel Suture Technique. J Med S
ci Clin Res. 2017;5(6):23282-23287.
24. Landry AM, Thompson DM. Laryngomalacia : Disease Presentation,
Spectrum, and Management. Int J Pediatr. 2012:1-6.
25. Werner JA, Lippert BM, Dunne AA, Ankerman T, Folz BJ, Seyberth H.
Epiglottopexy for the treatment of severe laryngomalacia. Eur Arch Oto-R
hino-Laryngology. 2002;259(9):459-464.
26. Richter GT, Thompson DM. The Surgical Management of
Laryngomalacia. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41:837-864.
27. Saputri RAH, Sudiro M, Wijana SSR. Gambaran Klinis Pasien
Laringomalasia di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 -
Maret 2015. Tunas Med J Kedokt dan Kesehatan. 2016;3(1):1-6.
28. Pinto JA, Wambier H, Mizoguchi EI, Gomes LM. Surgical treatment of
severe laryngomalacia: a retrospective study of 11 cases. Braz J Otorhinol
aryngol. 2013;79(5):564-568.
29. Thorne MC, Garetz SL, Thorne MC, Garetz SL. Laryngomalacia : Review
and Summary of Current Clinical Practice in 2015. Paediatr Respir Rev.
2016;17:3-8.
30. Thompson DM. Laryngomalacia : factors that influence disease severity
and outcomes of management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2
010;18:564-570.
31. Pamuk AE, Süslü N, Günaydın RÖ, Atay G, Akyol U. Laryngomalacia :
patient outcomes following aryepiglottoplasty at a tertiary care center. Tou
rkish J Pediatr. 2013;55:524-528.
46
32. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of the Larynx. In:
Ballenger JJ, Snow JB, eds. Ballenger’s Otorhinology Head & Neck
Surgery. 17th ed. Spain: Decker BC; 2008:847-858.
33. Johnson JT, Rosen CA. Upper Airway Anatomy and Fuction. In: Gayle
WE, ed. Bailey Head & Neck Surgey Otolaryngology. V. Philadelphia: Lip
pincott Williams & Wilkins; 2014:868-878.
34. Collins SR. Direct and Indirect Laryngoscopy : Equipment and
Techniques. Respir Care. 2014;59:850-864.
35. Piazza C, Ribeiro JC, Bernal-Sprekelsen M, Paiva A, Peretti G. Anatomy
and Physiology of the Larynx and Hypopharynx. In: Anniko M, Bernal-
Sprekelsen M, Bonkowsky V, Bradley PJ, Iurato S, eds. Otorhinolaryngol
ogy, Head and Neck Surgery. Berlin, Heidelberg: Springer Nature, 2010:4
61-471.
36. Ayari S, Aubertin G, Girschig H, Abbeele T Van Den, Mondain M.
Pathophysiology and diagnostic approach to laryngomalacia in infants. Eu
r Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2012;129(5):257-263.
37. Rastatter JC, Jr JWS, Hoff SR, Holinger LD. Aspiration before and after
Supraglottoplasty regardless of Technique. Int J Otolaryngol. 2010:5-9.
38. Olney DR, Greinwald H, Smith RJH, Bauman NM. Laryngomalacia and
Its Treatment. Laryngoscope. 1999;(November):1770-1775.
39. Benoit M. Secondary Airway Lesions in Laryngomalacia : Head and Neck
Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;144(2):269- 273.
40. Dias R, Deshmukh CT, Tullu MS, Divecha C, Karande S. Rare treatment
option for a common pediatric airway problem. Indian J Crit Care Med. 2
015;19(11):61-63.
41. Camacho M, Dunn B, Torre C, Sasaki J, Gonzales R, Liu SY, et al.
Supraglottoplasty for Laryngomalacia with Obstructive Sleep Apnea : A
Systematic Review and Meta-Analysis. Laryngoscope. 2016;126:1246-
1255.
42. Bartolomeo M, Bigi A, Pelliccia P, Makeieff M. Surgical treatment of a
case of adult epiglottic laryngomalacia. Eur Ann Otorhinolaryngol Head
Neck Dis. 2015;132(1):45-47.
47
43. Maisel HR, MD. Trakeostomi. Boeis buku ajar penyakit THT. 1997;6;473
48