You are on page 1of 2

Wiji Thukul adalah seorang penyair sekaligus aktivis yang lantang menyuarakan kritik terhadap

Pemerintah Orde Baru.Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul secara terang-terangan mengkritisi kondisi
sosial dan politik, serta militerisme rezim Orde Baru.

Puisinya menyebar dan hidup, kata-katanya menjadi penggerak massa yang tertindas.Mungkin karena
itu, Wiji Thukul menjadi korban penghilangan paksa setelah sempat menjadi buronan intel
pemerintah.Wiji Thukul dilaporkan hilang pada awal 1998, dan hingga saat ini tidak diketahui rimbanya.
Lahir dengan nama Widji Widodo

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 dengan nama Widji Widodo. Nama Thukul diberikan oleh Cempe
Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.Wiji dan Thukul merupakan
bahasa Jawa, yang masing-masing berarti biji dan tumbuh, sehingga Wiji Thukul bermakna biji yang
tumbuh.Wiji Thukul lahir di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, yang mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai buruh dan tukang becak, seperti keluarganya.Ia merupakan putra sulung dari tiga
bersaudara, yang aktif menulis puisi sejak SD dan berteater sejak SMP.

Setelah lulus SMP pada 1979, Wiji Thukul lanjut masuk Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia, tetapi tidak tamat. Ia berhenti sekolah untuk bekerja agar kedua adiknya bisa melanjutkan
studi. Mulai 1982, Wiji Thukul mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan berjualan koran dan bekerja
di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur. Kendati demikian, ia tidak pernah
meninggalkan dunia puisi dan teater. Wiiji Tukul diketahui pernah ikut kelompok Teater Jagalan Tengah
(Jagat). Bersama Teater Jagat, ia mengamen puisi dengan iringan musik di kampung-kampung di wilayah
Solo, Klaten, Yogyakarta, bahkan hingga Surabaya. Menikah dan menjadi aktivis Pada Oktober 1988, Wiji
Thukul menikah dengan Diah Sujirah atau akrab disapa Mbak Sipon. Di tahun yang sama, ia pernah
menjadi wartawan, tetapi hanya bertahan tiga bulan. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan usaha
sablon dan menjadi aktivis pembela masyarakat.

Namanya ada di barisan demonstran Kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo. Wiji
Thukul ikut mendirikan Sanggar Suka Banjir, ruang kreativitas anak di pinggir kali yang sering banjir.

Satu hal yang tidak pernah ditinggalkan Wiji Thukul di tengah kesibukannya adalah menulis. Ia tidak
hanya menulis sajak, tetapi juga cerpen, esai, dan resensi puisi. Sajak-sajaknya diterbitkan di media
cetak dalam negeri, maupun luar negeri. Pada 1989, Wiji Thukul diundang membaca puisi oleh Goethe
Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.

Ia juga tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan Belanda,
Jakarta, pada 1991. Di tahun yang sama, Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari
Wertheim Stichting di Negeri Belanda. Bersama WS Rendra, Wiji Thukul menjadi penerima hadiah
pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, WF
Wertheim. Satu yang khas dari Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes,
melainkan sosoknya yang menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, kritik dan perlawanan
terhadap rezim Orde Baru dalam sajak-sajaknya mudah melebur dalam setiap momen pergolakan dan
berbagai aksi protes. Kritik Wiji Thukul dalam karya-karyanya umumnya ditujukan pada masalah sosial,
politik, dan militerisme era Orde Baru.
Perlawanan terhadap berbagai masalah sosial tampak dalam sajak Nyanyian Akar Rumput, Di Tanah
Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air, Kepada Ibuku, Jalan, Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur, Tanah,
Kampung, Jalan Slamet Riyadi Solo, dan masih banyak lainnya. Sedangkan kritik terhadap militerisme
pemerintah dituangkan pada sajak Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, Tetangga Sebelahku, Sajak Suara,
Tikus, Merontokan Pidato, Derita Sudah Naik Seleher, Rumput Ilalang, Harimau, Buron, Aku Berkelana di
Udara, dan masih banyak lainnya. Karena itu, kritik dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru dalam
sajak-sajaknya mudah melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Kritik Wiji
Thukul dalam karya-karyanya umumnya ditujukan pada masalah sosial, politik, dan militerisme era Orde
Baru.

Perlawanan terhadap berbagai masalah sosial tampak dalam sajak Nyanyian Akar Rumput, Di Tanah
Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air, Kepada Ibuku, Jalan, Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur, Tanah,
Kampung, Jalan Slamet Riyadi Solo, dan masih banyak lainnya. Sedangkan kritik terhadap militerisme
pemerintah dituangkan pada sajak Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, Tetangga Sebelahku, Sajak Suara,
Tikus, Merontokan Pidato, Derita Sudah Naik Seleher, Rumput Ilalang, Harimau, Buron, Aku Berkelana di
Udara, dan masih banyak lainnya.

Salah satu kalimat Wiji Thukul yang sangat terkenal terdapat pada bait terakhir puisi berjudul
Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!". Kata "lawan", yang terpengaruh dari pusi berjudul
Sumpah Bambu Runcing karya Pardi, temannya di teater Jagat, seakan menjadi roh bagi kebangkitan
jiwa-jiwa yang ingin melawan rezim otoriter dan militerisme Orde Baru.

Wiji Thukul adalah penyair yang gigih, baik dalam memperjuangkan gagasannya, maupun
memperjuangkan kebenaran. Ia juga gigih membela rakyat yang berhadapan dengan kesewenang-
wenangan kekuasaan dalam risiko apa pun. Menurutnya, penyair harus berjiwa bebas dan aktif. Bebas
dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Wiji
Thukul diketahui bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 27 Juli 1996, terjadi peristiwa
Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. PRD di bawah pimpinan Budiman Sudjamitko dituding
pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai
dalang di balik peristiwa itu.

Para aktivis PRD pun diburu, termasuk Wiji Thukul, yang berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja
Kebudayaan Rakyat (Jaker), badan yang merapat ke PRD.

Wiji Thukul terpaksa meninggalkan istrinya Sipon dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar
Merah, usai beberapa aparat kepolisian mendatangi rumahnya. Dalam pelarian menghindari aparat dan
intel pemerintah, Wiji Thukul berusaha mencuri kesempatan untuk bertemu istrinya, biasanya di Pasar
Klewer, Solo.

Kesempatan itu digunakan Wiji Thukul mengabarkan beberapa daerah yang dikunjunginya. Selama
pelarian, ia menggunakan beberapa nama samaran, mulai dari Paulus, Aloysius, dan Martinus Martin.
Wiji Thukul hilang Puisi perjuangan Wiji Thukul adalah peristiwa, bukan lagi sebatas kata-kata. Mungkin
itulah yang membuat sosoknya dianggap berbahaya bagi pemerintah Orde Baru.

You might also like