You are on page 1of 81
SUCTION ia itty Judul Buku: GERIATRI 2 Penulis: Raditya Kurniawan Djoar A Putu Martha Anggarani Editor: Putri Asadini Penata Letak dan Sampul: Haris Mustagin ISBN: 978-623-264-368-0 ISBN: 978-623-264-369-7 (PDF) Pracetak dan Produksi: SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS Penerbit: Syiah Kuala University Press JI. Tgk Chik Pante Kulu No.1 Kopelma Darussalam 23111, Kec. Syiah Kuala. Banda Aceh, Aceh Telp: 0651-8012221 Email: upt.percetakan@unsyiah.ac.id unsyiahpress@unsyiah.ac. Website: https://unsyiahpress.id Tahun Terbit Digital, 2021 Cetakan Pertama, 2021 ix + 126 (15,5 cm X 23 cm) Anggota IKAPI 018/DIA/2014 Anggota APPT! 005.101.1.09.2019 Dilarang keras memfotokopi atau memperb: bagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit. Menurut ICD 10, pada gangguan depresi ada 3 gejala utama yaitu: a) mood terdepresi (suasana perasaan hati murung atau sedih); b) hilang minat atau gairah; dan c) hilang tenaga dan mudah lelah, yang disertai gejala lain seperti konsentrasi menurun, harga iri menurun, perasaan bersalah, * pesimis memandang masa depan, ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri, ¢ pola tidur berubah, dan nafsu makan menurun. Depresi pada usia lanjut sering kali kurang atau tidak terdiagnosis karena hal-hal berikut. a) Penyakit fisik yang diderita sering kali mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudan lelah dan penurunan berat badan. b) Golongan usia lanjut sering kali menutupi rasa sedihnya dengan menunjukkan bahwa dia lebih aktif. c) Kecemasan, obsesionalitas, histeria, dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru lebih sering dimasukkan ke bangsal penyakit dalam atau bedah. d) Masalah sosial yang juga diderita sering kali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit. Menurut Videbeck (2001), depresi yang tidak ditangani dapat berlangsung selama 6-24 bulan. Dari 50% sampai 60% individu yang mengalami satu kali depresi, ada 70% kemungkinan untuk rekurensi. Derajat depresif dapat disamakan dengan perasaan tidak berdaya dan putus asa yang dialami individu Berdasarkan gejalanya, depresi dibedakan atas tiga tingkatan (Azizah, 2011). 1. Depresi Ringan Depresi ringan ditandai dengan hilangnya minat atau perasaan senang, berkurangnya energi menyebabkan mudah lelah dan menurunnya aktivitas, kurangnya konsentrasi dan perhatian, serta harga diri atau kepercayaan diri yang kurang, 2. Depresi Sedang Depresi sedang ditandai dengan timbul rasa bersalah atau rasa tidak berguna, kurangnya motivasi, serta kesulitan untuk [s1 beradaptasi dalam mengikuti kegiatan sosial atau urusan rumah tangga. 3. Depresi Berat Depresi berat ditandai dengan suasana depresif, merasa cepat lelah dan tidak punya tenaga, penurunan konsentrasi dan proses berpikir, gerakan lambat, bahkan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan dir sendiri, Kondisi ini bisa menimbulkan risiko jatuh pada lansia. e. Pengalaman pernah Jatuh Sebelumnya Seseorang yang sering mengalami jatuh akan meningkatkan angka kejadian takut jatuh (Jung, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara dua hal tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Austin et al. (2007) mengenai kejadian takut jatuh pada wanita, menunjukkan 12% dari lansia wanita yang pernah jatuh tiga bulan terakhir sebelum pengambilan data, mengalamitakutjatuh. Selain itu, individu yang mempunyai pekerjaan yang mengarah ke risiko jatuh juga mempunyai perasaan takut akan jatuh. Orang yang belum pernah jatuh pun memiliki rasa takut jatuh. Lansia yang pemah jatuh cenderung lebih sulit menjaga keseimbangannya saat mereka melakukan aktivitas fungsionainya karena takut jatuh (Kumar et al., 2008). Hal tersebut terjadi karena riwayat jatuh sebelumnya menimbulkan dampak psikologis. Dampak psikologis menimbulkan syok setelah jatuh dan rasa takutakan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi, yaitu ansietas, hilangnya asa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, dan falafobia atau fobia jatuh (Stanley & Beare, 2006). Orang dewasa dan lansia yang tidak memiliki riwayat jatuh sebelumnya dapat mengalami takut jatuh (Scheffer et al., 2008). Ketakutan ini bisa menjadi pelindung agar lebih berhati-hati untuk Menghindari risiko jatuh. Akan tetapi, juga dapat menjadi risiko ketika sudah mengakibatkan keterbatasan dan kurangnya kepercayaan diri ‘saat melakukan aktivitas (Martin et al., 2005). Telah disampaikan bahwa takut jatuh tidak selalu disebabkan karena pernah jatuh (Arfken et al., 1994). Jatuh mengakibatkan cedera serius menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam ketakutan (Salkeld et al., 2000). f. Penggunaan Alat Bantu Jalan Berjalan dianggap sebagai salah satu fungsi fisik yang paling penting untuk lansia dan orang yang merawat lansia. Usia tua atau penyakit yang berhubungan dengan keterbatasan mobilitas, mempersulit 52] Social Capital Solusi Praktis Menurunkan Stigma & Stress Psikologis Pengobatan Kusta Penulis : Susmiati © 2021 Diterbitkan Oleh: Penerbit Zifatama Jawara ‘Ji. Taman Pondok Joti J4, Taman -Sidoarjo Telp 103199786278 Email iit co com /FTL/2008 Cetakan Pertama, April 2021 Ukuran/ Jumlah hal: 155 x 230 mm / 247 him Layout: Fitri Cover: Wisnu ISBN: 978-623-7748-73-1 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. e Perubahan dalam kebiasaan makan, tidur dan pola aktivitas e Kelelahan mental e Perasaan tidak adekuat © Kehilangan harga diri © Peningkatan kepekaan © Kehilangan motivasi @ Ledakan emosional dan menangis ¢ Penurunan produktivitas dan kualitas kinerja © Kecenderungan untuk membuat kesalahan ©) Mudah lupa dan pikiran buntu © Kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci © Preokupasi (mis. Mimpi disiang hari atau “menjaga jarak”) © Ketidakmampuan berkonsentrasi pada tugas © Peningkatan ketidakhadiran dan penyakit © Rentan terhadap kecclakaan Depresi Depresi adalah perasaan kchilangan, marah, sedih, atau frustrasi yang membuat seseorang tidak dapat menikmati kchidupan schari-hari. Depresi dapat berlangsung lama dan/ atau serangan ulang lebih dari 2 tahun. Depresi dapat terjadi dengan tingkatan kategori ringan, sedang dan berat (UMMC, 2013) 1) Jenis depresi Jenis depresi meliputi: © Depresi berat, kondisi tertekan dialami seseorang harus tertekan selama lebih 2 minggu, umumnya 20 Stress & Depresi | 93 minggu. © Disritmia atau depresi sedang, gejalanya menyerupai depresi berat tetapi dengan tingkatan lebih ringan. © Depresi atipikal, orang dengan depresi atipikal dapat merasa lebih baik ketika ada hal baik yang dialami. Depresi dapat dipicu oleh adanya peristiwa besar dalam kehidupan seseorang, misalnya kematian orang yang dicintai, Bentuk umum lainnya depresi meliputi: © Depresi Postpartum, terjadi sckitar 10% ibu setelah melahirkan. © Premenstrual dysphoric disorder (PDD) - PDD dialami wanita 1 minggu sebelum menstruasi dan hilang setelah periode menstruasi. © Gangguan afektif musiman (GAD) - depresi yang terjadi ketika suasana gelap atau hari mulai malam. Di Negara 4 musim, depresi ini dimulai sclama musim gugur-musim dingin dan menghilang sclama musim scmi-musim panas. © Gangguan bipolar, orang dengan gangguan bipolar memiliki suasana hati yang tidak stabil, beralih dari depresi ke mania. Seting discbut gangguan manic-depressive. 2) Tanda dan gejala depresi Depresi ditandai dengan: gangguan tidur dapat berupa insomnia maupun hipersomina, kehilangan/ penambahan berat badan, kelelahan dan kchilangan energy, perasaan kehilangan kata-kata, benci pada diti sendiri, dan rasa bersalah. Selain itu juga ditandai dengan kehilangan konsentrasi, perasaan bergejolak, tidak bisa istirahat, iritabel, tidak beraktifitas dan menarik diri, perasaan ingin bubuh diri dan kehilangan dan disertai menurunya gairah 94 | Stress & Depresi 3) 4) seks (UMMC, 2013). Penyebab depresi Penyebab depresi belum diketahui secara pasti, tetapi dimungkinkan karena faktor fisik, genetik, dan lingkungan. Orang dengan depresi_~ mungkin—_memiliki neurotransmitter yang abnormal, termasuk serotonin, dopamin, dan norepinefrin yang berkonstribusi untuk terjadinya depresi. Faktor keturunan, gen SERT yang mengontrol serotonin kimia otak berhubungan dengan depresi. Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa orang dengan anggota keluarga depresi lebih mungkin mengalami depresi Perubahan di otak, beberapa studi menunjukkan bahwa orang dengan depresi: memiliki_ perubahan struktur fisik di otak mereka. Stres jangka panjang, scperti mengalami kerugian besar, penyalahgunaan, atau dirampas sebagai anak, gangguan tidur, isolasi sosial, kurang gizi, penyakit kronis atau penyakit terminal, obat-obatan dll. Faktor risiko Depresi dapat tetjadi pada siapa saja, tidak memandang usia, ras, atau jenis kelamin, hal-hal berikut dapat meningkatkan risiko depresi: Pernah mengalami depresi Riwayat keluarga depresi Pernah melakukan upaya bunuh diri. Wanita berisiko lebih banyak untuk mengalami depresi daripada laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena wanita Stress & Depresi | 95 lebih sering © memberitahu dokter tentang gejala depresi yang mereka alami daripada laki-laki. Atau perubahan hormon dapat membuat wanita lebih mungkin mengalami depresi. © Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian orang yang dicintai ¢ Setelah melahirkan bayi (postpartum) © = Memiliki penyakit jangka panjang, termasuk penyakit autoimun (misalnya lupus), kanker, penyakit jantung, sakit kepala kronis, sakit kronis, kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan __kepribadian borderline. © Kondisi medis yang menyebabkan pergescran hormon, seperti gangguan tiroid atau menopause, juga dapat menyebabkan depresi. © Riwayat penyalahgunaan, seperti mental, fisik, atau scksual 10.Kurangnya sistem pendukung, seperti jaringan teman dekat atau keluarga © 11.Alkohol atau penyalahgunaan narkoba - 25% dari orang dengan kecanduan mengalami depresi. 5) Pencegahan depresi ‘Tidur dan olahraga yang cukup, makan gizi scimbang. Melakukan teknik relaksasi otak dan tubuh seperti: meditasi, tai chi. Psikoterapi keterampilan koping dapat membantu mencegah kekambuhan.Terapi keluarga dapat mencegah anak-anak atau remaja dari tekanan orang tua sebagai penyebab depresi dikemudian hari. Minum obat yang diresepkan menurunkan kemungkinan kambuh 96 | Stress & Depresi Ii Aa rT iyo F mY aL — | iE CT alee 17/0074260 | PENERBIT BUKU KEDOKTERAN iz rad } BUKU ASL! BERSTIKER HOLOGRAM 3 DIMENS! 220 Patofisiologi al ginjal akut yang sering ditemukan, de ai terjadinya nekrosis fubulus akut. © LATIHAN PEMBELAJARAN Jelaskan secara garis besar penye! Uraitan patotsiclogl yang berkalen denga Jelaskan berbagal fase gagal ginjal akut..” ie 4 : injal diperlukan pada gagal ginjal akut? aS teen peer el cee en adn ginjal akut? ‘ Pens hipovolemia yang jelas (yi., hipotensi dan takikardia). Hipovolemia yay, dialami Ny. Henderson juga diperparah oleh demam yang diderita: tand lebi, lanjut GGA yang akan terjadi. Pemberian gentamisin, kendati cukup beralasan bagi pasien pascabedah yang mengalami demam, akan memperburuk situas, ini, j Sayangnya, penurunan keadaan umum Ny. Henderson dibiarkan terus ter jadi yang ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah haluaran urine (200 mL dalam waktu minimal 16 jam), dan intervensi baru dilakukan setelah pemerik. saan biokimia memperlihatkan hasil abnormal. Ny. Henderson mengalami GGA karena nekrosis tubulus akut. Nekrosis tubulus akut merupakan akibat dari hipovolemia dan hipotensi berkepanjang. an yang disertai dengan pemberian obat nefrotoksik. Pada dasarnya, GGA yang dialami Ny. Henderson dapat dihindari jika staf keperawatan memantau status cairan secara saksama dan akurat. Pemantauan status cairan yang cermat men- jamin intervensi medis dilakukan tepat waktu. . GAGAL GINJAL KRONIS APA YANG DIMAKSUD DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS? Gagal ginjal kronis (GGK) ditandai oleh kerusakan fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel dalam berbagai periode waktu, dari beberapa bulan hingga beberapa dekade.*"* GGK terjadi karena sejumlah keadaan yang nefron tidak berfungsi secara permanen dan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR)- TABEL 7.4: DEFINISI DAN STADIUM PENYAKIT GINJAL KRONIS. Stadium Keterangan GFR (mLmenit/1,73 m’) 7 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat_| > 90 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan 60-89 3 ‘| Penurunan GFR yang sedang 30-59 4 Penurunan GFR yang berat 15-29 = 6 Gagal ginjal < 15 (atau dialisis) OFFICIAL JOURNAL OF THE INTERNATIONAL SOCIETY OF NEPHROLOGY ty | S N < > eGR NEPHROLOGY SUPPLEMENT TO kidney INTERNATIONAL EY a“, ZN 1G KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease VOLUME 99 | ISSUE 3S | MARCH 2021 www.kidney-international.org www.kidney-international.org CKD nomenclature CURRENT CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) NOMENCLATURE USED BY KDIGO CKD is defined as abnormalities of kidney structure or function, present for > 3 months, with implications for health. CKD is classified based on Cause, GFR category (G1-G5), and Albuminuria category (A1-A3), abbreviated as CGA. Prognosis of CKD by GFR and albuminuria categories: KDIGO 2012 G1 o = Be G2 gs =2 Gja 25 gs 5 G3b Oo =o $9 Ga oc & G5 Normal or high Mildly decreased Mildly to moderately decreased Moderately to severely decreased Severely decreased Kidney failure Persistent albuminuria categories Description and range Al A2 AZ Normal to mildly Moderately Severely increased increased increased < 30 mg/g 30-300 mg/g = > 300 ma/g <3mg/mmol 3-30 mg/mmol >30mg/mmol Green, low risk (if no other markers of kidney disease, no CKD); yellow, moderately increased risk; orange, high risk; red, very high risk. GFR, glomerular filtration rate. Kidney International (2021) 99, $1-S87 so conversion factors www.kidney-international.org CONVERSION FACTORS OF CONVENTIONAL UNITS TO SI UNITS Conventional unit Conversion factor SI Unit Creatinine mg/dl 88.4 Lumol/I Creatinine clearance ml/min 0.01667 m/s Note: Conventional unit x conversion factor = SI unit. ALBUMINURIA CATEGORIES IN CKD ACR (approximate equivalent) Category AER (mg/24 h) (mg/mmol) (mg/g) Terms* Al <30 <3 <30 Normal to mildly increased A2 30-300 3-30 30-300 Moderately increased” A3 >300 >30 >300 Severely increased” ACR, albumin-creatinine ratio; AER, albumin excretion rate; CKD, chronic kidney disease. *Formerly known as “normoalbuminuria,” “microalbuminuria,” and “macroalbuminuria.” Relative to young adult level. “Including nephrotic syndrome (albumin excretion usually >2200 mg/24 h [ACR >2200 mg/g; >220 mg/mmol)}. GLOSSARY OF TERMS FOR BLOOD PRESSURE MEASUREMENT Terms Definition Standardized office blood pressure This is the recommended method for measuring blood pressure in the current revised guideline. Blood pressure measurement following all guideline-recommended preparations as presented in Figure 2. The device used is not part of the definition. Routine office blood pressure Blood pressure measured in the provider's office. Preparation before measurement and the device used are not part of the definition. The values are often inconsistent between providers performing the measurements. In addition, it does not bear a reliable relationship with standardized office blood pressure. Manual blood pressure Blood pressure obtained using a manual auscultatory blood pressure cuff, instead of an automated method, with either a mercury or aneroid sphygmomanometer. Preparation before the measurement is not part of the definition. Automated office blood pressure (AOBP) Blood pressure obtained in the provider's office using an automated device that is programmed to start only after a set resting period and measured several times with fixed intervals between measurements. An average reading is then provided as the output. Preparation before measurement and attendance by the provider are not part of the definition. Ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) Blood pressure obtained on a frequent intermittent basis (i.e, 15-30 min per 24 h) using an automated wearable device, usually outside the provider's office or medical facilities. Home blood pressure monitoring (HBPM) Blood pressure obtained at the patient's home with an automated oscillometric or manual auscultatory device, usually excluding ABPM. Preparation before measurement, person taking the measurement, and the device used are not part of the definition, although they are often performed by the patient herself/himself with an automated device. $10 Kidney International (2021) 99, S1-S87 aS)! ASPEK NEUROBIOLOGI DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EDISI KEDUA Dr. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K) a BADAN PENERBIT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPRES! - Aspek Neurobiologi. Diagnosis dan Tatalaksana Ada beberapa faktor penyebab depresi, yaitu mulai dari faktor genetik sampai dengan faktor nongenetik. Faktor genetik, ketidakseimbangan biogenik amin, gangguan neuroendokrin, dan perubahan neurofisiologi, serta faktor psikologik seperti kehilangan objek yang dicintai, hilangnya harga diri, distorsi kognitif, ketidakberdayaan yang dipelajari dan faktor-faktor lain, diduga berperan dalam terjadinya depresi. Dalam dua dekade terakhir, teknologi genetik molekuler sangat berkembang. Kemajuan ini memberikan kemajuan pula dalam bidang psikiatri karena ia meningkatkan pengetahuan tentang etiologi gangguan depresi, perubahan dalam diagnosis, dan pengobatan depresi. Penelitian epidemiologi genetik memberikan banyak informasi tentang bentuk genetik gangguan depresi. Studi keluarga, studi anak kembar, dan studi /inkage membuktikan adanya peran genetik dalam terjadinya depresi. Beberapa neurotransmiter diduga terkait dengan depresi. Penurunan kadar serotonin diduga berperan dalam terjadinya depresi. Dari hasil penelitian yang menggunakan alat pencitraan otak didapatkan penurunan jumiah reseptor pascasinap 5-HT1A dan 5-HT2 A. Juga terdapat penurunan 5-HIAA (hidroxyindo/ acetic-acid), hasil matabolisme serotonin, di cairan serebrospinal. Kadar norepinefrin terutama di forebrain medial juga menurun. Juga terdapat defisiensi MHPG (3-methoxy-4-hydroxy- phenyiglycol) yang merupakan hasil metabolisme norepinefrin. Beberapa neurotransmiter lain seperti dopamin, GABA, dan glutamat juga mengalami penurunan pada depresi. Selain hal di atas, disregulasi aksis hypothalamic-pituitary- adrenal (HPA) dapat pula terjadi. Depresi dapat menyebabkan terjadinya hiperaktivitas aksis HPA. Akibat peningkatan aktivitas aksis HPA terjadilah kenaikan kadar glukokortikoid. Kelebihan glukokortikoid menyebabkan aneogenesis atau berhentinya siklus sel. Hipokampus merupakan regio yang sangat rentan terhadap kelebihan hormon glukokortikoid. Retraksi dendrit, penurunan neurogenesis di girus dentata, serta rusaknya sel glia dapat pula terjadi. Akibatnya terjadi kematian sel-sel hipokampus sehingga mengurangi volume hipokampus. Hipokampus merupakan salah satu daerah di otak yang sering diteliti dalam kaitannya dengan stresor psikososial, depresi, dan aS)! ASPEK NEUROBIOLOGI DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EDISI KEDUA Dr. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K) a BADAN PENERBIT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA Bab 2 Aspek Neurobiologi Molekuler Depresi eskipun obat antidepresan sudah cukup tersedia saat ini, prevalensi depresi dan angkah bunuh diri akibat depresi tetap saja tinggi. sekitar 15% penderita depresi mayor meninggal karena bunuh diri, 20%-40% pernah melakukan percobaan bunuh diri, dan 80% mempunyai ide-ide bunuh diri. Angka bunuh diri lebih tinggi pada orang tua dan anak muda. Walapun depresi lebih sering pada wanita, angka bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki daripada wanita.* FAKTOR-FAKTOR RISIKO Jenis kelamin Depresi lebih sering terjadi pada wanita. Ada dugaan bahwa wanita lebih sering mencari pengobatan sehingga depresi lebih sering terdiagnosis. Selain itu,ada pula yang menyatakan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stresor lingkungan dan ambangnya terhadap streso lebih rendah bila dibandingkan dengan pria. Adanya depresi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita, misalnya adanya depresi prahaid, postpartum dan postmenopause. Usia Depresi lebih sering terjadi pada usia muda. Umur rata-rata awitan antara 20-40 tahun. Faktor sosial sering menempatkan seseorang yang berusia muda pada resiko tinggi. Predisposisi biologik-seperti faktor genetik-juga sering memberikan pengaruh pada seseorang yang berusia lebih muda. Walaupun demikian, depresi juga dapat terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. DEPRES! - Aspek Neurobiologi. Diagnosis dan Tatalaksana Status Perkawinan Gangguan depresi mayor lebih sering dialami individu yang bercerai atau berpisah bila dibandingkan dengan yang belum menikah atau lajang. Status perceraian menempatkan seseorang pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita depresi. Hal yang sebaliknya dapat pula terjadi, yaitu depresi menempatkan seseorang pada resiko diceraikan. Wanita lajang lebih jarang menderita depresi dibandingkan dengan wanita menikah. Sebaliknya, pria yang menikah lebih jarang menderita depresi bila dibandingkan dengan pria lajang. Depresi lebih sering pada orang yang tinggal sendiri bila dibandingkan dengan yang tinggal bersama kerabat lain. Geografis Di negara maju, depresi lebih sering terjadi pada wanita. Penduduk kota lebih sering mengalami depresi dibandingkan dengan penduduk desa. Depresi lebih tinggi dalam institusi perawatan dibandingkan dengan di dalam masyarakat. Sekitar 10-15% penderita dalam perawatan akut menderita depresi mayor dan 20-30% menderita depresi minor. Depresi di pusat kesehatan masyarakat lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum. Riwayat Keluarga Riwayat keluarga yang menderita gangguan depresi lebih tinggi pada subyek penderita depresi bila dibandingkan dengan kontrol. Begitu pula, riwayat keluarga bunuh diri dan menggunakan alkohol lebih sering pada keluarga penderita depresi daripada kontrol. Dengan perkataan lain, resiko depresi semakin tinggi bila ada riwayat genetik dalam keluarga. Kepribadian Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas, hipersensitif, dan lebih bergantung pada orang lain rentan terhadap depresi. Stresor Sosial Stresor adalah suatu keadaan yang dirasakan sangat menekan sehingga seseorang tidak dapat beradaptasi dan bertahan. Stresor DEPRES! - Aspek Neurobiologi. Diagnosis dan Tatalaksana Dukungan Sosial Faktor-faktor dalam lingkungan sosial yang dapat memodifikasi pengaruh stresor psikososial terhadap depresi telah menjadi perhatian dalam penelitian psikiatri' Seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam masyarakat cenderung menderita depresi. Dukungan sosial terdiri dari empat komponen; jaringan sosial, interaksi sosial, dukungan sosial yang didapat dan dukungan instrumental. Jaringan sosial dapat dinilai dengan mengidentifikasi individu-individu yang berada dekat pasien. Misalnya, ketidakadaan pasangan merupakan risiko untuk gangguan depresi. Interaksi sosial dapat ditentukan dengan frekuensi interaksi antara subyek dengan anggota-anggota jaringan kerja yang lain. Isolasi sosial menempatkan seseorang pada risiko depresi. Selain frekuensi, kualitas interaksi jauh lebih penting dalam menentukan terjadinya depresi. Dukungan sosial yang didapat dinilai dengan penentuan evaluasi subyektif mengenai, mudahnya interaksi dengan jaringan kerja atau kelompok, perasaan memiliki, perasaan keintiman dengan jaringan kerja atau kelompok. Tidak adekuatnya dukungan yang diterima berkaitan dengan depresi. Dukungan instrumental dapat dinilai dengan adanya pelayanan konkrit yang diberikan pada subyek oleh jaringan sosial (misalnya makanan, bantuan keuangan, dan pelayanan perawatan untuk yang sakit). Tidak Bekerja Tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur juga merupakan faktor risiko terjadinya depresi. Suatu survei yang dilakukan terhadap wanita dan pria di bawah 65 tahun yang tidak bekerja sekitar enam bulan melaporkan bahwa depresi tiga kali lebih sering pada pengangguran daripada yang bekerja. ASPEK GENETIK DEPRESI Faktor Genetik Dalam dua dekade terakhir, teknologi genetik molekuler sangat berkembang. Kemajuan ini memberikan kemajuan pula di bidang psikiatri karena ia meningkatkan pengetahuan tentang etiologi biologi gangguan depresi, perubahan dalam diagnosis, dan pengobatan depresi. penelitian epidemiologi genetik memberikan a Majalah Farmasetika, 4 (Suppl 1) 2019, 60 — 65 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v4i0.25860 ll ooo! e-ISSN : 2686-2506 Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Pada Unit Hemodialisis Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta irkhamnia Humma Lilia’, Woro Supadmi? +nstalasi Farmasi, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta 55294 ?Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta 55164 *Email korespondensi: irkhamniahumma@gmail.com (Submit 15/03/2019, Revisi 05/09/2019, Diterima 20/12/2019) Abstrak Gagal ginjal kronik dapat terjadi karena beberapa faktor resiko seperti DM, hipertensi dan gangguan penyakit metabolik lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan dan odds ratio antara riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat penggunaan OAINS, riwayat merokok dan riwayat penggunaan minuman suplemen energi dengan kejadian GGK di Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan rancangan case control, yang diambil dari pasien umur 15-75 dengan jumlah sampel sebanyak 92 pasien. Data sekunder diperoleh dari rekam medik pasien dan data primer diperoleh melalui wawancara. Berdasarkan analisis hasil penelitian menggunakan uji chi-square, menunjukkan bahwa hipertensi secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan kejadian GGK (OR = 13,988, p< 0,05; Cl = 4,634 - 42,222) yaitu resiko mengalami GGK 13 kali lebih besar dari kelompok kontrol. Riwayat penggunaan OAINS disertai riwayat penyakit faktor risiko GGK juga menunjukkan ada hubungan bermakna dengan kejadian GGK (OR = 3,556, p< 0,05; Cl = 1,500-8,429) yaitu memiliki resiko mengalami GGK 3,5 kali lebin besar dari kelompok kontrol. Sedangkan riwayat penyakit DM (OR = 1,230, p> 0,05; Cl =0,347 — 4,355), riwayat merokok (OR = 1,454, p>0,05; Cl = 0,621-3,407), riwayat penggunaan minuman suplemen berenergi (OR = 1,190, p>0,05; Cl = 0,525-2,697) secara statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian GGK. Terdapat hubungan antara riwayat penyakit hipertensi, riwayat penggunaan obat anti inflamasi non steroid disertai riwayat penyakit faktor resiko GGK dengan kejadian GGK. Tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit DM, riwayat merokok, riwayat penggunaan minuman suplemen berenergi dengan kejadian GGK. Kata kunci: Gagal ginjal kronik, hemodialisis, faktor risiko Outline * Pendahuluan + Metode + Hasil dan Pembahasan + Kesimpulan + Ucapan Terima Kasih + Daftar Pustaka 60 LH. Lilia dan W. Supadmi, Majalah Farmasetika, 4 (Supp! 1) 2019, 60 - 65 Solution) dengan tabel 2x2 dan dianalisis dengan chi-square untuk mengetahui hubungan dan odds ratio riwayat penyakit faktor risiko gagal ginjal kronik, riwayat penyakit hipertensi, riwayat penyakit diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat anti inflamasi non steroid, riwayat merokok dan riwayat penggunaan minuman suplemen energi dengan kejadian gagal ginjal kronik. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Hubungan antara beberapa faktor risiko dengan kejadian gagal ginjal kronik di unit hemodialisis Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta Faktor risiko ey (tI Ya 13,988 Tidak (4,634-42,222) ‘A . Ya 1,230 Diabetes Melitus a (0,347-4,355) 0,748 ley NINES ET) 7) 32 18 3,556 CEN el @ ela Lets Tidak 14 28 (1,500-8,429) ac 1,454 aie rL 4 (0,621-3,407) Ya 24 22 1,190 22 24 (0,525-2,697) Hipertensi 0,003 0,388 0,835 A. Riwayat Penyakit Hipertensi Hasil analisis crosstab diketahui bahwa variabel hipertensi secara statistik ada hubungan yang bermakna antara hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien dengan hemodialisis (OR = 13,988 , p< 0,05; Cl = 4,634-42,222). Secara klinik pasien dengan hipertensi mempunyai peluang atau risiko mengalami gagal ginjal kronik 13x lebih besar dari pasien yang tidak memiliki hipertensi. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko gagal ginjal kronik dimana tekanan darah di arteri meningkat. Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah. Ginjal merupakan salah satu pusat pengaturan tekanan darah sehingga apabila tekanan darah tinggi terjadi terus-menerus melebihi normal >140/90 mmHg maka kondisi ini dapat mempengaruhi ginjal (hipertensi sekunder). Hipertensi pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh beberapa hal yakni 1). Retensi natrium, 2). Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, dimana RAA (Renin Angiotensinogen Aldosteron) sistem berperan penting dalam memelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskuler. Sistem RAA dianggap sebagai suatu homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik, berkurangnya volume darah, 3). Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal, 4). Hiperparatiroid Sekunder, 5). Pemberian eritropoetin®. B. Riwayat Penyakit DM Hasil analisis crosstab diketahui bahwa variabel diabetes mellitus secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara diabetes mellitus dengan kejadian gagal ginjal 62 LH. Lilia dan W. Supadmi, Majalah Farmasetika, 4 (Supp! 1) 2019, 60 - 65 kronik pada pasien dengan hemodialisis (OR =1,230, p> 0,05; Cl = 0,347-4,355). Secara klinik pasien dengan diabetes mellitus mempunyai peluang atau risiko mengalami gagal ginjal kronik 1,2x lebih besar dari pasien yang tidak memiliki diabetes mellitus sehingga dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor risiko gagal ginjal kronik. Pada penyakit diabetes melitus terjadi gangguan pengolahan glukosa dalam darah oleh tubuh, yang lama — kelamaan dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal dan akhirnya dapat menjadi penyakit ginjal kronik. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah tersebut, bila tidak terkontrol dapat merusak pembuluh darah ginjal dalam kurun bertahun — tahun sehingga menurunkan kemampuan ginjal untuk menyaring darah dan membuang produk sisa di urin .Gangguan ginjal pada penderita diabetes melitus dan hipertensi bukan karena obat — obatan yang dikonsumsi. Namun karena kadar gula darah yang kerap tidak terkontrol secara menahun merusak pembuluh darah ginjal?. C. Riwayat penggunaan OAINS dan riwayat penyakit faktor risiko GGK Berdasarkan hasil analisis crosstab diketahui bahwa penggunaan OAINS dan mempunyai riwayat penyakit faktor risiko GGK secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien dengan hemodialisis (OR = 3,556, p< 0,05; Cl = 1,500-8,429), secara klinik riwayat penggunaan OAINS dan mempunyai riwayat penyakit faktor risiko GGK mempunyai peluang atau risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,5 kali lebih besar dari yang tidak menggunakan OAINS dan mempunyai riwayat penyakit faktor risiko gagal ginjal kronik. Mekanisme kerja OAINS menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin PGE, dan PGI, merupakan vasodilator kuat yang masing — masing disintesis dalam medula ginjal dan glomerolus, dan terlibat dalam pengendalian aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Inhibisi sintesis prostaglandin ginjal bisa menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal, dan gagal ginjal terutama pada pasien dengan kondisi yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin dan vasokonstriktor dan angiotensin Il (misalnya gagal jantung kongestif, sirosis). Selain itu, OAINS bisa menyebabkan nefritis interstisial dan hiperkalemia. Penyalahgunaan analgesik jangka panjang selama bertahun — tahun berkaitan dengan nekrosis papiler dan gagal ginjal kronik9. D. Riwayat Merokok Hasil analisis crosstab diketahui bahwa variabel merokok secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara merokok dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien dengan hemodialisis (OR = 1,454,p>0,05; Cl = 0,621-3,407). Namun secara klinik merokok mempunyai peluang atau risiko mengalami gagal ginjal kronik 1,4 x lebih besar dari pasien yang tidak memiliki riwayat merokok. Dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian gagal ginjal kronik Efek merokok pada fase akut yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan darah, takikardia dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa pembuluh darah juga sering mengalami vasokontriksi misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga pada perokok akut 63 LH. Lilia dan W. Supadmi, Majalah Farmasetika, 4 (Supp! 1) 2019, 60 - 65 sering diikuti dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtasi glomerulus dan fraksi filtrasi. Pada perokok kronik terjadi penurunan aliran darah ginjal, tetapi tidak menurunkan GFR, karena terjadi peningkatan kadar endotelin plasma. Pada perokok kronik akan terjadi peningkatan metabolisme prostaglandin, sehingga terjadi peningkatan tromboksan dan isoprostan, peningkatan kadar NO, peningkatan agregasi trombosit, peningkatan PMN dan monosit juga mengalami albuminuria. Pada perokok kronik terjadi toleransi terhadap nikotin sehingga kadar NO tetap tinggi dan effective renal plasma flow (ERPF) tetap normalé. E. Riwayat Minuman Suplemen Berenergi Hasil analisis crosstab diketahui bahwa variabel merokok secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara minuman suplemen dengan kejadian gagal ginjal kronik, hal ini disebabkan karena perbandingan subyek penelitian penggunaan suplemen hampir sama untuk matching subyek penelitian (OR = 1,190,p>0,05; Cl = 0,525-2,697). Namun secara klinik penggunaan minuman suplemen mempunyai peluang atau risiko mengalami gagal ginjal kronik 1x lebih besar dari pasien yang tidak menggunakan minuman suplemen. Sehingga dapat disimpulkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa risiko untuk mengalami kejadian CKD secara bermakna lebih tinggi pada pengkonsumsi minuman suplemen dari pada yang tidak mengonsumsi minuman suplemen. Beberapa psikostimulan (kafein dan amfetamin) terbukti dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Amfetamin dapat menyempitkan pembuluh darah arteri ke ginjal sehingga darah yang menuju ke ginjal berkurang akibatnya ginjal akan kekurangan asupan makanan dan oksigen. Keadaan sel ginjal kekurangan oksigen dan makanan akan menyebabkan sel ginjal mengalami iskemia dan memacu timbulnya reaksi inflamasi yang dapat berakhir dengan penurunan kemampuan sel ginjal dalam menyaring darah"®. Kesimpulan 1. Terdapat hubungan antara riwayat penyakit hipertensi (OR = 13,988, p< 0,05; Cl = 4,634 -— 42,222), riwayat penggunaan obat anti inflamasi non steroid dan riwayat penyakit faktor risiko GGK (OR = 3,556, p< 0,05; Cl = 1,500-8,429) dengan kejadian gagal ginjal kronik. 2. Tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit diabetes mellitus dengan kejadian gagal ginjal kronik (OR = 1,230, p> 0,05; Cl =0,347 — 4,355). 3. Tidak terdapat hubungan antara riwayat merokok (OR = 1,454, p>0,05; Cl = 0,621- 3,407), riwayat penggunaan minuman suplemen berenergi (OR = 1,190, p>0,05; Cl = 0,525-2,697) dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ucapan Terimakasih Penelitian ini dapat diselesaikan dengan adanya dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Woro Supadmi, M.Sc., Apt. yang telah membimbing, membantu dan memberi masukan selama penyusunan penelitian ini. 2. Bu Novi dan bagian rekam medis Rumah Sakit, yang telah membantu dalam penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. a Zullies Ikawati Pe Cn ela ie Metsu Molekulecnya FARMAKOLOGI MOLEKULER Target Aksi Obat dan Mekanisme Molekulernya Zullies Ikawati GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS melepaskan glutamat, depolarisasi membran pada saraf pascasinaptik menjadi cukup kuat untuk melepaskan ion Mg** dari tempat ikatannya dan membuka kanal pada reseptor NMDA. Selanjutnya, kedua reseptor tersebut akan terbuka sebagai respons terhadap glutamat, menyebabkan aliran ion Na* dan Ca yang akan memicu proses selanjutnya di sel pascasinaptik. sebuah uji Klinik tentang penggunaan ketamin sebagai anti depresan, keta- min memberikan efek yang positif, bahkan dengan onset yang lebih cepat daripada antidepresan golongan lain. Penelitian pada tahun 2012 oleh Duman dan Aghajanian menunjukkan bahwa ketamin dapat secara cepat menginduksi sinaptogenesis dan memperbaiki kerusakan sinaptik akibat stres kronis® seperti yang terjadi pada depresi. Meskipun demikian, ketamin memiliki efek samping berupa halusinasi dan gangguan psikotik lain. Karena itu, kini sedang dikembangkan antagonis NMDA yang lebih selektif sehing- ga dapat berefek antidepresan seperti ketamin, tetapi dengan lebih sedikit efek samping. E. RESEPTOR 5-HT; (SEROTONIN) Reseptor ionotropik terakhir yang akan dibahas dalam bab ini adalah reseptor serotonin atau 5-hydroxytriptamine (5-HT), tepatnya reseptor 5- HT. Serotonin merupakan senyawa neurotransmiter monoamina yang ter- libat dalam berbagai penyakit yang cukup luas cakupannya, meliputi pe- nyakit psikiatrik, seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan gangguan obsesif kompulsif; sampai migrain, gangguan makan, dan gangguan pen- cernaan. Serotonin dijumpai jaringan kardiovaskuler, sistem saraf perifer, sel darah, dan sistem saraf pusat. Di otak, serotonin disekresikan oleh raphe nuclei yang berasal dari batang otak. Serotonin berfungsi sebagai penghambat jalur nyeri di medulla spinalis dan memiliki aksi inhibisi pada sistem saraf pusat yang dipercaya mengontrol perasaan dan mengontrol tidur. Di perifer, serotonin disekresi- kan oleh sel enterokromafin di mukosa usus dan saraf enterik. Ia merupakan satu dari neurotransmiter yang terlibat dalam peningkatan motilitas usus melalui kontraksi dan relaksasi otot polos usus. Serotonin juga bisa menye- babkan kontraksi pada sel otot polos saluran pernapasan dan pembuluh darah. Serotonin disintesis dari prekursornya triptofan dengan bantuan enzim triptofan hidroksilase dan asam amino aromatik dekarboksilase. Sero- tonin yang terbentuk akan disimpan di dalam vesikel penyimpanan prasinap- tik dengan bantuan protein transporter monoamine vesikuler (VMAT = vesi- cular monoamine transporter). Selanjutnya, jika ada picuan, serotonin akan © 70 os dilepaskan menuju celah sinaptik. Serotonin yang terlepas dapat mengalami beberapa peristiwa, antara lain: 1. berdifusi menjauh dari sinaps; 2. dimetabolisasi oleh MAO; 3. mengaktivasi reseptor presinaptik (reseptor SHT,, dan 5-HTjp, suatu autoreseptor); 4. mengaktivasi reseptor pos-sinaptik dan 5. mengalami re-uptake dengan bantuan transporter serotonin presinaptik (SERT=serotonin transporter). Di bawah ini adalah jalur biosintesis serotonin (5-HT) beserta degra- dasinya. Triptofan hidroksilase a@sam amino aromatik dekarboksilase MAO 5-HT N-asetilase | 5-hidroksiindo! O-metiltransferase Gambar 5.9. Jalur biosintesis dan degradasi serotonin (5-HT) Pengambilan kembali serotonin ke dalam ujung presinaptik oleh SERT melalui peristiwa re-uptake merupakan mekanisme utama penghen- tian transmisi signal serotonin. Karena itu, obat yang dapat mengikat SERT dan menghambat re-uptake serotonin dapat memperpanjang aksi serotonin. Penyakit tertentu di mana kekurangan neurotransmiter serotonin, seperti de- presi, dapat didekati dengan meningkatkan ketersediaan serotonin di tempat aksinya dengan cara menghambat re-uptake-nya. Contoh obat yang beraksi demikian adalah antidepresan golongan SSRI (selective serotonin re-uptake inhibitor), seperti fluoksetin, fluvoksamin, paroksetin, dan sertralin. Obat golongan antidepresan trisiklik juga bekerja menghambat re-uptake seroto- 71 os nin, tetapi tidak selektif karena mereka juga menghambat re-uptake norepi- nefrin. Contohnya adalah amitriptilin, imipramin, nortriptilin, dan desi- pramin. Ujung prasinaptik ©) Inhibitor selektif re-uptake 5-WT Sel pascasinaptik Respons seluler Gambar 5.10. Model suatu sinaps serotonergik. Setelah 5-HT dilepaskan, ia akan mengaktivasi reseptor-reseptornya, salah satunya adalah reseptor 5-HT; yang merupakan reseptor kanal ion (sebelah kiri). Obat-obat bisa beraksi langsung pada reseptor atau memodulasi ketersediaan serotonin dengan menghambat re-uptake-nya seperti yang dilakukan oleh obat antidepresan golongan SSRI (selective serotonin re-uptake inhibitor/inhibitor selektif re-uptake 5-HT). (Diadaptasi dari Nestler, et al., 2001) Reseptor 5-HT merupakan reseptor yang sangat kompleks karena memiliki sedikitnya empat belas subtipe reseptor. Uniknya, dari empat belas subtipe tersebut, hanya satu yang terkait dengan kanal ion (reseptor ionotro- pik) yaitu reseptor 5-HT3, sedangkan sisanya adalah metabotropik seperti terlihat pada Gambar 5.10 Adapun reseptor-reseptor tersebut beserta masing-masing agonis, antagonis dan perannya dalam sistem biologi disarikan pada Tabel 10. Dalam bab ini, reseptor yang akan dibahas adalah reseptor 5-HT; yang merupakan reseptor kanal ion. Reseptor 5-HT; mulanya dijumpai pada saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf enterik yang ada di saluran pencernaan. Selanjutnya, reseptor ini juga dijumpai di sistem saraf pusat, seperti spinal cord, cortex, hippocampus, dan di ujung saraf dan berperan mengatur pele- pasan neurotransmiter, termasuk 5-HT. Reseptor ini terikat dengan kanal ion yang selektif terhadap ion Na dan K. Aktivasinya oleh S-HT menyebabkan w 72 Sebuah studi menunjukkan peran reseptor M, dalam meregulasi keseim- bangan transmisi kolinergik dan dopaminergik, di mana kurangnya aktivitas muskarinik M, akan menyebabkan aktivitas dopaminergik yang berle- bihan.’® Demikian pula reseptor Ms, dilaporkan merupakan subtipe reseptor muskarinik yang berkontribusi pada pelepasan dopamin pada saraf dopami- nergik di ventral tegmental area di otak tengah (midbrain). Selain obat-obat yang bersifat selektif pada subtipe reseptor tertentu, cukup banyak obat-obat antagonis maupun agonis reseptor muskarinik yang bersifat tidak selektif, seperti skopolamin, atropin, dan benztropin. Skopo- lamin diduga beraksi reseptor M, dan dapat digunakan untuk mencegah mual muntah pada mabuk perjalanan karena saat ini jarang digunakan secara klinis karena blokade pada reseptor M, berlebihan dapat menyebabkan gang- guan kognitif. Aopin digunakan untuk menghasilkan efek midriasis mata, sedangkan benztropin banyak digunakan untuk pengobatan penyakit Par- kinson. C. RESEPTOR ADRENERGIK Reseptor adrenergik merupakan reseptor yang memperantarai ber- bagai aksi saraf simpatik (flight, fright or fight responses), meliputi pele- pasan energi dari glukosa, denyut jantung, dilatasi saluran pernapasan, dan pengaturan sirkulasi perifer. Selama kondisi normal (tanpa stres), reseptor adrenergik berperan dalam fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Reseptor ini merupakan reseptor bagi neurotransmiter golongan katekolamin, yaitu adre- nalin/epinefrin dan noradrenalin/norepinefrin. Epinefrin terutama men- stimulasi reseptor B adrenergik, sedangkan norepinefrin menstimulasi teru- tama reseptor a adrenergik. Epinefrin dan norepinefrin adalah hormon yang disekresikan oleh glandula adrenal dan disintesis dari prekursornya tirosin dengan bantuan beberapa enzim, yaitu tirosin hidroksilase, dopa dekarboksilase, dan dopa- mine B hidroksilase. Jalur sintesis dan degradasi norepinefrin dapat dilihat pada skema berikut (Gambar 6.7). & 86 os Tirasin hidroksilase (L-Dopa _) Dopa dekarboksilase Feniletanofamin N-metil transterase MAO COMT Cem. Gambar 6.7. Skema jalur sintesis dan degradasi neurotransmiter noradrenalin/norepinefrin Dari Gambar 6.7 di atas, dapat dilihat beberapa enzim yang terlibat dalam proses sintesis dan degradasi noradrenalin. Dari enzim-enzim ini, yang banyak menjadi target aksi obat adalah: 1. Tirosin hidroksilase (TH) Obat-obat seperti kafein, nikotin, morfin dapat meng-up-regulasi ekspresi TH sehingga meningkatkan aktivitasnya. Monoamin oksidase (MAO) Obat antidepresan banyak yang beraksi menghambat MAO inhibitor seperti dijelaskan pada bab enzim sebagai target aksi obat. Contoh: tranilsipromin, selegilin. . Catechol-O-methyl transferase (COMT) Inhibitor enzim COMT menyebabkan penghambatan degradasi noradre- nalin/adrenalin sehingga meningkatkan kadar neurotransmiter tersebut. Contohnya adalah tolcapon dan entacapon yang digunakan untuk pengo- batan penyakit Parkinson. Obat-obat dapat beraksi pada jalur sintesis dan degradasi noradrenalin, seperti digambarkan pada Gambar 6.8. w 87 os AMP Respons seluler —_ Gambar 6.8. Gambaran skematik sinaps adrenergik beserta tempat aksi obat-obatnya, baik pada jalur sintesis maupun degradasinya (diadaptasi dari Rang, ef al., 1999). Inhibitor MAO meningkatkan ketersediaan noradrenalin (NA) dengan meng- hambat degradasi NA. Reserpin menghambat uptake NA ke dalam vesikelnya sehingga mengurangi jumlah NA yang dapat dilepaskan. Metiltirosin meng- hambat sintesis NA dengan menjadi substrat palsu, demikian pula metildopa. Obat lain bekerja menghambat reuptake NA ke presinaptik atau uptake NA ke pascasinaptik seperti antidepresan trisiklik. Adrenalin dan noradrenalin bekerja menghasilkan berbagai efek bio- logis/farmakologis melalui aksinya pada reseptornya, yaitu reseptor adre- nergik. Reseptor adrenergik terbagi menjadi dua subtipe, yaitu a dan B yang semuanya merupakan reseptor metabotropik. Masing-masing subtipe ini masih terbagi lagi menjadi a, dan a2 serta B,, B2, dan 63. Uniknya, mereka terikat pada jenis protein G yang berbeda-beda sehingga menyebabkan respons seluler yang berbeda pula (lihat Tabel 7). Reseptor a, misalnya, yang terikat dengan Gq, jika teraktivasi akan memicu signal transduksi melalui jalur fosfolipase yang pada gilirannya memobilisasi Ca dari retikulum endoplasmik dan mengaktifkan PKC; sedangkan reseptor a2, yang terikat dengan Gi, jika teraktivasi akan menyebabkan penghambatan adeni- lat siklase. & 88 os way Ll pe ee ELC aie Ulasan Bergambar ») Richard A. Harvey Pamela C. Champe BUKU ASU BERSTIMER HOLOGRAM 3 DEMERS! PENERBIT BUKU KEDOKTERAN Ee (eee eee Dre id Agonis Adrenergik 1, TINJAUAN UMUM 2 Obat-obat adrenergik berpengaruh pada reseptor yang dirangsang oleh norepinefrin atau epinefrin. Beberapa obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik (adrenoseptor) melalui pengaktifan reseptor tersebut; karena itu, disebut simpatomimetik. Obat-obat adrenergik lain, akan dibahas dalam Bab 7, menghambat kerja neurotransmiter pada reseptor (simpatolitik), sedangkan obat yang Jain memengaruhi fungsi adrenergik dengan menghentikan pelepasan norepinefrin dari neuron adrenergik. Bab ini membahas agen-agen, baik secara langsung maupun tidak langsung; yang merangsang adrenoseptor. Il, NEURON ADRENERGIK Neuron adrenergik melepaskah norepineftin sebagai neurotransmiter utama. Neuron-neuron ini ditemukan di sistem saraf pusat (SSP) dan juga di sistem persarafan simpatis, tempat neuron-neuron berperan sebagai penghubung antara ganglion dan organ efektor. Neuron dan reseptor adrenergik, terletak di prasinaps pada neuron meupun pascasinaps di organ efektor, adalah lokasi kerja obat-obat adrenergik (Gambar 6.2). A. Neurotransmisi pada neuron adrenergik Neurotransmisi di dalam neuron adrenergik sangat serupa dengan neurotransmisi di dalam neuron kolinergik yang pernah dibahas (lihat hlm. 51), kecuali bahwa neutotransmiternya adalah norepineftin, bukan asetilkolin. Neurotransmisi berlangsung pada sejumlah penggelembungan seperti-manik-manik, yang disebut varicosities. Proses ini berlangsung dalam lima tahapan: sintesis, penyimpanan, pelepasan, pengikatan norepinefrin oleh reseptor, yang diikuti pembuangan neurotransmiter dari celah sinaps (Gambar 6.3). 1. Sintesis norepineftin: Tirosin dibawa oleh karier terkait-Na’ memasuki aksoplasma neuron adrenergik, tempat neuro- transmiter ini dihidroksilasi menjadi dihidroksifenilalanin Ok AGONIS = ‘ADRENERGIK ‘ KERJA op LANGSUNG Albuterol L clonidine } Dobutamine* L Dopamine* Epinephrine’ Formoterol Isoprotereno!* Metaproterenot } Methoxamine ‘Norepinephrine L Phenylephrine L. Piruterot Salmetoro! L Terbutatine "KERJA TIDAK | LANGSUNG } Amphetamine Cocaine Tyramine [KERJA LANGSUNG DAN TIDAK] LANGSUNG (KERJA CAMPURAN) F Ephedrine L pseudoophedtine Gambar 6.1 Rangkuman agonis adrenergik. Agen- ‘agen bertanda bintang (*) merupakan katekolamin, 7 78 Reseptor alkotinik Y Pelepasan epinettin _Norepinetrin ike datam Garah baa Lokasi kerja agonis adrenergik. 5. Unit I: Obat-Obat yang Memengaruhi Sistem Saraf Otonom (dinydroxyphenylalanine/DOPA) oleh tirosin _hidroksilase. Ini adalah langkah pembatas-laju dalam pembentukan epi- nefrin. Kemudian, DOPA dikarboksilasi oleh enzim dopa dekarboksilase (aromatic L-amino acid decarboxylase) menjadi dopamin di dalam di dalam sitoplasma neuron prasinaps. Penyimpanan norepinefrin dalam vesikel: Kemudian, dopa- min dibawa menuju ke vesikel-vesikel sinaps oleh suatu sistem pengangkut amina yang juga terlibat dalam ambilan ulang norepinefrin yang telah terbentuk. Sistem karier ini di hambat oleh reserpine (likat him. 106). Dopamin dihidroksilasi untuk membentuk norepinefrin oleh enzim, yaitu dopamin Brhidroksilase. (Catatan: Vesikel sinaps mengandung dopamtin atau norepineftin plus adenosine trifosfat (ATP) dan B-hidrok- silase, serta kotransmiter-kotransmiter lainnya.] Di dalam medula adrenal, norepinefrin dimetilasi untuk menghasilkan epinefrin; keduanya disimpan di dalam sel Kromafin. Ketika dirangsang, medula adrenal melepas sekitar 80% epinefrin dan 20% norepinefrin secara langsung ke dalam sirkulasi Pelepasan norepinefrin: Suatu potensial aksi yang sampai ke taut saraf memicu pemasukan (influx) ion kalsium dari cairan ekstraselulerke dalam sitoplasma neuron. Peningkatan kalsium tersebut menyebabkan vesikel-vesikel di dalam neuron berfusi dengan membran sel dan mengeluarkan (eksositosis) isi vesikel ke dalam sinaps. Pelepasan ini dihambat oleh obat-obat seperti ‘guanethidine (lihat him. 107). Pengikatan pada reseptora:: Norepinefrin yang dilepaskan dari vesikel sinaps berdifusi melintasi celah sinaps dan berikatan dengan reseptor pascasinaps pada organ efektor atau reseptor prasinaps pada ujung akhir saraf. Pengenalan norepinefrin oleh reseptor membran memicu rangkaian kejadian di dalam sel, yang menghasilkan pembentukan pembawa-pesan-kedua (second messenger) intraseluler yang berfungsi sebagai peng- hubung (transduser) dalam komunikasi antara neurotransmiter dan kerja yang tercetus di dalam sel efektor. Reseptor-reseptor adrenergik memanfaatkan sistem pembawa-pesan-kedua adenosine monofosfat siklik (cyclic adenosine monophosphate/ cAMP dan siklus fosfatidilinosito? mentransduksikan sinyal menjadi sebuah efek. Pembuangan norepinefrin: Norepinefrin dapat 1) berdifusi keluar dari celah sinaps dan masuk ke dalam sirkulasi umum, 2) dimetabolisme menjadi derivat O-termetilasi oleh katekol ‘O-metiltransferase terkait-membran sel pascasinaps di dalam celah sinaps, atau 3) ditarik ulang oleh sistem ambilan (uptake) yang memompanorepinefrin kembali menuju ke dalam neuron. Pengambilan oleh membran neuron melibatkan ATPase yang, ‘6: Agonis Adrenergik SINTESIS NOREPINEFRIN AMBILAN VESIKEL KE ' Hidrokslasitrosin morupakan PENYIMPA\ Euesecde ~ Cantrell Sauna dan dluban menjadt Urine Acabate <} eae f Norepinefrin terlindungi dari jdasi dl dalam vesikel. vvesikel inambat oleh reserpine. Metabott Une = PELEPASAN: NEUROTRANSMITER isl ce el serpent Serer eeu «roost amt th - ey PEMBUANGAN, NOREPINEFRIN '* Pelepasan norepinetrin diambil masuk menuju ‘neuron secara cepat. ‘* Pengambilan ulang dinambat | ‘oleh cocaine dan imipramine. |’ PENGIKATAN PADA RESEPTOR fe Resoptor pascasina Ganttanoen ppengikatan heurotransmiter. Urine = Meant METABOLISME 1 Norepineftin dimetitasi ‘oleh COMT dan ‘ioksidasi oleh MAO. RESPONS INYRASELULER 79 Gambar 6.3 Sintesis dan pelepasan norepinetrin dari neuron adrenergik. (MAO = monoamin oksidase) teraktivasi-natriunvkalium dan dapat dihambat oleh anti- depresan trisiklik, seperti imipramine, atau cocaine (lihat gambar 63). Pengambilan norepinefrin menuju neuron prasinaps me- rupakan mekanisme utama pengakhiran efek norepinefrin, 6. Metabolisme norepinefrin yang ditangkap kembali: Setelah masuk kembali ke dalam sitoplasma neuron adrenergik, nor- epineftin dapat dimasukkan ke dalam vesikel adrenergik melalui sistem pengangkut amina dan akan disimpan untuk dilepaskan lagi ketika ada potensi aksi lain, atau norepinefrin tetap berada dalam ruang penyimpanan yang terlindungi. Kemungkinan yang lain, norepinefrin dapat dioksidasi oleh monoamina oksidase (MAO) yang terdapat di mitokondria sel neuron. Produk inaktif dari metabolismenorepinefrin diekskresi 380 Adrenoseptor a Norepinetrin Epinetan Isoproterenol ~ vy ~ IE} Aarenoseptor p Epinetrin Isoproterenol Norepineftin ~ ~ ~ 4 4 t es a Reseptor B sss as , Gambar 6.4 Jenis-jenis reseptor adrenergik. Unit lls Obat-Obat yang Memengaruhi Sistem Saraf Otonom, melalui urine sebagai vanillylmandelic acid, metanefrin, dan normetanefrin. B. Reseptor adrenergik (adrenoseptor) Dalam sistem saraf simpatis, beberapa kelas adrenoseptor dapat dibedakan secara farmakologis. Dua kelompok reseptot, yang diberi tanda a dan B, dahulu diidentifikasikan berdasarkan respons reseptor tersebut terhadap agonis adrenergik epinefrin, norepinefrin, dan isoproterenol. Penggunaan obat-obat penghambat yang spesifik dan duplikasi (clonning) gen telah inenunjukkan identitas molekuler sejumlah subtipe reseptor. Protein-protein ini termasuk dalam kelompok multigen. Perubahan pada struktur primer reseptor memengaruhi afinitasnya terhadap berbagai agen. 1. Reseptora, dana,:Adrenoseptor-amenunjukkan respons yang Temah terhadap agonis sintetik isoproterenol, tetapi responsif terhadap katekolamin alami, yaitu epinefrin dan norepinefrin (Gambar64). Pada reseptor «, urutan tingkat potensinya adalah epinefrin > norpinefrin > isoproterenol. Adreroseptor-a dibagi menjadi dua subgrup, yaitu «, dan a, berdasarkan afinitasnya terhadap obat agonis a dan obat-obat penghambat a. Sebagai contoh, reseptor a, memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap phenylephrine daripada reseptor a,. Sebaliknya, clonidine secara seleftif berikatan dengan reseptor a, dan mempunyai efek yang lebih kecil terhadap reseptor a, Reseptor_a: Reseptor-reseptor ini terdapat di dalam Tmembran pascasinaps organ efektor dan memerantai banyak efek klasik—awalnya disebut sebagai adrenergik-a—yang menimbulkan kontriksi otot polos. Pengaktifan reseptor a, memicu serangkaian reaksi melalui pengaktifan protein G pada fosfolipase C, menghasilkan pembentukan ino- sitol-1,4,5-triphosphate (IP,) dan diasilgliserol (DAG) dari fosfatidilinositol. IP, memicu pelepasan Ca® dari retikulum, endoplasmik menuju sitosol, dan DAG mengaktifkan protein-protein lain di dalam sel (Gambar 6.5) b._Reseptor a,'\Reseptor-reseptor ini, terutama terletak pada ujung saraf prasinaps dan pada sel lain, seperti sel B pankreas, serta pada sel otot polos vaskular tertentu, mengendalikan neuromediator adrenergik dan keluaran (output) insulin. Ketika saraf adrenergik simpatis terangsang, norepinefrin yang terlepas melintasi celah sinaps dan berinteraksi dengan reseptor a,. Sebagian norepinefrin yang terlepas tersebut “berputar kembali” dan bereaksi dengan reseptor a, pada membran neuron (lihat Gambar 6.5), Rangsangan pada reseptor a, menyebabkan penghambatan umpan balik ter- hadap pelepasan norepinefrin yang sedang berlangsung dari neuron adrenergik yang terangsang. Kerja penghambatan ini menurunkan keluaran (output) selanjutnya dari neuron adrenergik lebih lanjug dan berfungsi sebagai mekanisme pengatur lokal untuk menurunkan keluaran neuromediator simpatik ketika aktivitas simpatetik sedang tinggi. [Catatan: Wi nu UMI MEDIKA > ; Berdamai iar HPERTENS 18/0088194 BM 07.01.015 BERDAMAI DENGAN HIPERTENSI Oleh : Tim Bumi Medika Editor : Yanita Nur Indah Sari Diterbitkan oleh Bumi Medika Jl. Sawo Raya No. 18 Jakarta 13220 k> Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apa pun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan pertama, September 2017 Desain Kover: Diah Purnamasari Layout: Tjipto Sutandi Dicetak oleh Sinar Grafika Offset Sumber Gambar kover: http://www.saudevitalidade.com/wp-content/uploads/201 '6/12/11996501_95 83270542245 16_539027128_o.jpg http://www.hindustantimes.com/rffimage_size_960x540/HT/p2/2017/ 05/06/Pictures/_02bda2c6-3261-11e7-aae9-524ad91d2809.jpg ISBN 978-602-6711-02-1 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tim Bumi Medika Berdamai dengan Hipertensi/editor, Yanita Nur Indah Sari. ~ Jakarta : Bumi Medika, 2017. viii + 130 him.; 11,5 = 18,5 cm. ISBN : 978-602-6711-02-1 1. Hipertensi I. Yanita Nur Indah Sari 616.132 pecahnya pembuluh darah. Penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah tersebut dapat disebabkan oleh berba- gai hal seperti aterosklerosis dan hipertensi yang tidak terkontrol. Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan dapat menyebabkan kerusakan otak. Dalam hal ini, penderita prehipertensi dan hiperten- si stadium | juga perlu mewaspadai ancaman stroke ringan hingga sedang. Stroke semacam ini biasanya se- mentara dan akan pulih dalam beberapa menit hingga dua hari. Meskipun demikian, penderita sebaiknya tetap waspada karena stroke jenis ini memiliki peluang cukup besar untuk kambuh. HIPERTENSI DAN PENYAKIT GINJAL Kerusakan bagian dalam arteri atau pembekuan darah yang terjadi pada ginjal akibat hipertensi dapat me- nyebabkan penurunan bahkan kegagalan fungsi pada ginjal. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan keru- sakan progresif pada kapiler dan glomerulus ginjal. Kerusakan yang terjadi pada glomerulus mengakibatkan . darah mengalir ke unit fungsional ginjal. Hal tersebut menyebabkan terganggunya nefron dan terjadi hipoksia, bahkan kematian ginjal. Kelainan ginjal akibat hipertensi dibagi menjadi dua yaitu nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis benigna terjadi pada hipertensi yang su- dah berlangsung lama sehingga terjadi pengendapan Kaitan Hipertensi dengan Penyakit Lain 27 pada pembuluh darah akibat proses penuaan dan me- nyebabkan elastisitas pembuluh darah berkurang. Se- mentara itu, nefrosklerosis maligna merupakan kelainan | ginjal berupa terganggunya fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan tekanan diastol di atas 130 mmHg. HIPERTENSI DAN KERUSAKAN MATA Kerusakan mata hingga kebutaan juga dapat terjadi aki- bat hipertensi. Dalam hal ini, tekanan darah yang tinggi atau hipertensi yang berkepanjangan dapat merusak bagian dalam arteri pada area mata dan memungkinkan untuk terjadinya pembekuan darah. Jika hal ini terjadi pada retina mata maka dapat menyebabkan kerusakan mata atau retinopati hingga kebutaan. HIPERTENSI DAN DIABETES Selain keempat penyakit di atas, hipertensi juga memi- liki keterkaitan dengan penyakit lain, termasuk diabetes. Hipertensi dan diabetes biasanya saling terkait dan ter- jadi bersamaan. Penderita diabetes biasanya juga meng- alami hipertensi dan sebaliknya. Dalam hal ini, faktor pemicu atau faktor risiko hi- pertensi biasanya turut andil dalam perkembangan pe- nyakit diabetes. Hipertensi dapat membuat diabetes lebih berbahaya, sedangkan diabetes dapat membuat hipertensi sulit untuk diatasi. 28 ~~ Berdamai dengan Hipertensi ES TT a) ai] Br ty RUE ‘mn See a PENERBIT BUKU KEDOKTERAN | ¢ EGC BUKU ASLI BERSTIKER HOLOGRAM 3 DIMENSI 222 Patofisiologi GLOMERULONEFRITIS Glomerulonefritis (GN) merupakan proses inflamasi yang memengaruhi struktur di dalam glomerulus dan menjadi penyebab utama gagal ginjal kronis (GGK) di Australia."° Ada sejumlah penyebab GN yang secara luas disebut hefriuk atau nefrotik.™ Selain itu, GN dapat terjadi akibat kondisi primer, yaity abnormalitas glomerulus merupakan satu-satunya proses penyakit yang terli- bat, atau kondisi sekunder yang terjadi karena penyakit lain, seperti diabetes melitus, hipertensi, atau lupus eritematosus sistemik (LES). Biopsi ginjal umumnya dilakukan untuk mengenali jenis GN yang menyebabkan disfungsi ginjal. SINDROM NEFRITIK Sindrom nefritik merupakan kumpulan manifestasi klinis (hematuria, hiper tensi, kelebihan cairan, dan oliguria) yang umum ditemukan pada bentuk GN tertentu.® Sindrom nefritik juga disebut nefritis. Bentuk GN yang lebih sering ditemukan sebagai sindrom nefritik adalah: nefropati IgA, GN proliferatif akut, dan GN progresif cepat. L | GLOMERULONEFRITIS IMUNOGLOBULIN A (IgA) : Glomerulonefritis IgA merupakan jenis GN yang paling sering ditemukan di | Australia”. Pada penyakit ini, terjadi peningkatan jumlah sel mesangial di dalam glomerulus yang disebabkan oleh deposit imunoglobulin A (IgA). Penye | babnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diyakini bahwa respons imun dipicu | setelah pasien mengonsumsi atau menghirup patogen.*! Tidak ada terapi yang ° terbukti efektif untuk GN IgA dan tujuan penanganan adalah mengendalikan | penurunan fungsi ginjal. GLOMERULONEFRITIS PROLIFERATIF AKUT (PASCA-INFEKSI) GN bentuk ini sering terjadi setelah individu mengidap infeksi tenggorok atau ; kulit karena strain tertentu Streptokokus beta-hemolitik Kelompok A, dan | lebih sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.” Mekanisme past | yang menyebabkan GN belum diketahui, tetapi respons imun bergantung pada faktor pejamu dan karakteristik mikroorganisme penyebab. Namun, pad | semua situasi, terjadi aktivasi kaskode komplemen melalui lintasan alternatf yang menyebabkan proses inflamasi terjadi di dalam glomerulus.° Hasil labo ratorium menunjukkan kenaikan kadar antistreptolisin © beserta penuruna? komplemen C3. Penanganan, terutama bersifat si i C : ersifat simptomatik dengan sekitar | 95% anak pulih secara spontan kendati 40% pasien Gewasa mengalami kerust an ginjal permanen.” see eeL GLOMERULONEFRITIS PROGRESIF CEPAT Glomerulonefritis progresif ce ' ritis _p Pat (rapid progressive glomerulonephritis, RPGN) | bukan penyakit ginjal yang lazim dijumpai, teapi henycbabkan penuruna? | ST Oa) Series Editor Edisi Asli: Dan Horton-Szar Faculty Advisor Edisi Asli: Jeremy Hall Psikiatri Marwick, Birrell Editor Edisi Indonesia ke-1 CS dr. A. A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) 5 > > . dr. Petrin Redayani Lukman, SpKJ(K), MPdKed rc > ) dr. Fransiska Kaligis, SpKJ(K) TT : mua aspek silabus yang terdapat di Standar Dokter Indonesia Jan cepat dan mengingat Kembali agar bisa melalui dah asi antara pengetahuan kedokteran dasar dan an pemahaman Anda serta meningkatkan teknik fab jan dengan 233 soal latihan and soal UKMPPD ELSEVIER Elsevier (Singapore) Pte Lid 3 Killiney Road, 08-01 Winsland House 1 230519 Singapore ‘Crash Course Psikiatr, Ist Indonesia edition, by A. A. A. Agung Kusumawardhani, Petrin Redayani Lukman & Fransiska Kaligis, Copyright © 2018 Elsevier Singapore Pte Ltd, ‘Crash Course Paikiatri, edisi Indonesia pertama,oleh A. A. A. Agung Kusumawardhani, Petrin Redayani Lukman & Fransiska Kaligis Hak cipta © 2018 Elsevier Singapore Pte Ltd. ISBN: $78-981 -4666-00-8 "This adapted transltion of Crash Course Psychiatry, Updated de, by Katie Marwick & Steven Birell, was undertaken by Elsevier ‘Singapore and is published by arrangement with Elsevier Lt. Terjemahan adaptast Crash Course Psychiatry, Updated de, oleh Katie Marwick & Steven Birrell dlakukan oleh Elsevier Singapore dan diterbikan atas persetujuan oleh Elsevier Ltd. Crash Course Psychiatry, Updated 4th edition Copyright © 2015 Elsevier Ltd. All rights reserved. ‘This book and the individual contributions contained in it are protected under copyright by the Publisher (other than as say be noted heretn. edition 1999 Second edition 2004 “Third edition 2008 Fourth edition 2013 Updated Fourth edition 2015 ISBN: 978-0-7234-3863-2 Dilarang menerbitkan atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara ape pun, baik secara elektronik maupan mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau sistem penyimpanan dan pengambilan informs, tanpa izin tertulis dari penerbit. Iain dapat diminta dari Health Sciences Rights Department, Elsevier dt Singapura: telepon: +63-6349 (200, faksimill: #65-6733 1817. Eleevier (Singapore) Pte Ltd, 3 Killin 408-01 Winsland House 1, Singapore 259519 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PASAL 72 KETENTUAN PIDANA SANKSI PELANGGARAN |. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengummumkan atau memperbanyaksuati C)ptaan atau memberkan zin untuk it ipidana dengan pidana penjara paling singkat | (satu) bulan dan/atau denca paling sedikit Rp 1.000.000,00 (sat juta rupia, ‘tax pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Kp 500000000000 (lima miiarrupiah), 2. Berangelapa deca stage menperaikan, serpin, meceatoeskah, mseagedaskon, aes mecha) kopeda unaaea wast. CCiptaan atau baranghasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkaitsebagaimana dimaksud pada ayat (1). dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.0000 (lima ratus juta rupiah). Pethatian ‘Adaptasi buku int dilakukan olch Elsevier Singapore Pte Ltd dan sepenubnya menjadi tanggung jewabnya. Para klinisl dan penaliti harus selalu berpeyangan pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing dalam mengevaluasi dan menggu nakan informasi, metode, bahan atau eksperimen yang dicantumkan di sini. Karena kemajuan pada iImu kedokteran sangat pesat, maka harus selalu dilakukan yeriikast dlagnosis dan dosis obat. Untuk kepentingan hukum, pihak Elsevier, pengarang buku, editor, para kontributor buku tidak bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang bethubungan den- fan adaptast atau jika terjadt ceders dan/ atau kerusakan techadap individ manusia atau propert! yang berlaitan dengan kelalaian atau kepatuhan dalam penggunaan buku ini, atau hal lainaya, atau yang berkaitan dengan penggunaan atau pengoperasian metode, produ, instruksi, tau ide yang tercantum di dalam materi buku int Manajer Penerbitan: Hooi Ping Chee Eduor Pengembangan: Suthichana Tharmapalen Dicetak di Indonesia

You might also like