Professional Documents
Culture Documents
Tugas Budaya Melayu Riau
Tugas Budaya Melayu Riau
Disusun oleh :
Adinda Hemadya Nawrah
Kelas 10.4
Ia melihat Medan yang sudah modern dan banyak wanita yang berkesempatan
bekerja seperti kaum lelaki, berbeda dengan wanita Siak yang hanya ada di
dapur. Begitu pula ketika ia mengunjungi Langkat dan Tanjungpura. Maka ia
berpikir bahwa wanita harus pintar untuk dapat mencapai tingkatan tersebut
tanpa melupakan kodratnya sendiri. Ia membuka sekolah keterampilan bagi anak
perempuan dan remaja putri di Siak antara tahun 1926-1928, tetapi meninggal
dunia karena sakit pada 3 Maret 1929.
Semenjak kecil, Syarifah Latifah hanya mendapat pendidikan yang
berlangsung di rumahnya atau di lingkungan Istana Langkat di Tanjungpura. Ia
tidak sempat mengenyam pendidikan modern karena pada akhir abad ke-19 dan
memasuki awal abad ke-20, pendidikan modern di sana sangatlah minim.
Tatkala pendidikan modern mulai marak di dirikan di Tanjungpura, usia Syarifah
Latifah telah memasuki masa akil balik dan mengikuti adat berkurung.
Fakta bahwa kaum perempuan Siak bernasib kurang lebih sama dengan
dirinya menumbuhkan simpati Syarifah Latifah. Ia pun bertekad memberikan
kesempatan bagi para gadis Siak untuk menikmati pendidikan, kesempatan yang
tak pernah ia nikmati. Keinginan untuk mendirikan sekolah bagi para gadis itu
pun mendapat dukungan kuat dari sang sultan. Atas dukungan sang suami yang
juga penguasa Siak Sri Inderapura, berdirilah sebuah sekolah perempuan
pertama di kesultanan tersebut.
Keberadaan sekolah ini pun mendobrak pemikiran kebanyakan orang di Siak.
Pada masa itu, anggapan bahwa anak perempuan tak perlu mendapatkan
pendidikan seperti laki-laki cukup kuat. Sekolah khusus ini juga menjadi
jawaban bagi situasi pada saat itu. Pasalnya, para orang tua pada waktu itu masih
sangat kuat melarang anak perempuan mereka untuk memasuki sekolah
pemerintah. Salah satu alasannya adalah karena sekolah mencampur anak
perempuan dan anak laki-laki dalam kelas yang sama.
Karena itu, Syarifah Latifah pun mendorong adanya pelajaran yang berbeda
bagi para gadis. Salah satunya adalah mempersiapkan para gadis agar menjadi
istri dan ibu rumah tangga yang terampil. Sekolah khusus putri ini diperkirakan
berdiri pada 1927. Namun, bangunan sekolahnya sendiri baru rampung pada
April 1929. Perkiraan ini berangkat dari Memorie van Overgate (MvO) cotroleur
Siak, Leyds, yang menjabat dari 1927-1929.
Nama Sultanah Latifah School mulai disebutkan dalam MvO cotroleur
berikutnya bernama Valk. Dalam laporannya, Leyds menyebutkan sekolah putri
tersebut sebagai sekolah landschapvolksscholen, yakni berada di bawah
pengawasan Kesultanan Siak. Berada di bawah kuasa sang sultan, semua
fasilitas dan biaya penyelenggaraannya pun ditanggung sepenuhnya oleh sultan.
Sekolah ini setingkat dengan volksschool tiga tahun. Oleh Leyds, sekolah ini
diistilahkan dengan meisjesvolksschool (sekolah desa khusus gadis).
Berada di bawah pengawasan kesultanan, sekolah ini berlokasi dekat dengan
istana. Sebagaian muridnya pun berasal dari kalangan istana, mulai dari para
dayang istana hingga anak pejabat di lingkungan istana. Maklum, mata pelajaran
yang diajarkan sesuai dengan ketrampilan yang diperlukan para gadis istana.
Tapi, tak hanya dari kalangan istana saja. Sesuai cita-cita sang Tengku Agung
Syarifah Latifah saat membuka sekolah tersebut, gadis-gadis dari kampung pun
bisa belajar di sini. Bahkan, anak yatim pun punya kesempatan untuk belajar di
sekolah tersebut. Para anak yatim tersebut tinggal di asrama di Istana Limas.
Tengku Agung Syarifah Latifah tidak hanya sekadar mendatangkan para guru
yang dibutuhkan, ia juga memberikan fasilitas untuk tempat tinggal bagi guru-
guru perempuan di istana secara cuma-cuma dan memberikan mereka gaji.
Pemberian gaji bagi para guru, merupakan hal baru yang mungkin ditiru dari
sistem pendidikan Barat. Sebelumnya, dalam sistem pendidikan tradisional,
guru-guru di Riau tidak digaji secara tetap dan murid-murid tidak membayar
uang pendidikan mereka. Bahkan, para guru pun segan menerima pemberian
karena adanya pandangan bahwa ilmu harus diberikan tanpa pamrih.
Sayangnya, Latifah yang memiliki pemikiran maju memiliki usia terbilang
singkat. Ia meninggal setelah mendampingi Sultan Syarif Kasim sebagai
permaisuri selama hampir 15 tahun, tanpa meninggalkan keturunan. Tengku
Agung menikah dengan Sultan Syarif Kasim pada 27 Oktober 1912.Bertahun-
tahun menunggu hadirnya buah hati, hingga pada 1929 sang permaisuri
mengandung. Malang tak dapat ditolak, pada 2 November 1929, Tengku Agung
sakit hingga meninggal dunia bersama bayi yang masih dalam kandungan.
Buah pemikirannya yakni memberikan kesempatan belajar bagi para gadis
dilanjutkan adiknya yang menggantikannya menjadi permaisuri. Sejatinya,
nama Syarifah Latifah baru disematkan di sekolah yang ia dirikan setelah ia
berpulang. Nama ini untuk mengenang perannya dalam mendirikan sekolah,
juga sumbangsihnya mengelola dan memajukan sekolah tersebut. Sepeninggal
Tengku Agung Latifah, sekolah masih terus dilanjutkan. Namun, sayangnya
sekolah tersebut juga tak berumur panjang. Dalam buku Sejarah Riau tulisan
Muchar Lutfhi (1999), disebutkan, Sultanah Latifah School dialihkan menjadi
sekolah rakyat pada masa pendudukan Jepang.