You are on page 1of 6

TUGAS BUDAYA MELAYU RIAU

Disusun oleh :
Adinda Hemadya Nawrah
Kelas 10.4

SMA NEGERI 1 PANGKALAN KERINCI


1444 H/2023 M
Tokoh Pahlawan Melayu Riau

1. Sultan Syarif Kasim II


Bernama lengkap Yang Dipertuan Besar Syarif
Kasim Abdul Jalil Saifuddin, lahir di Siak Sri Indrapura,
Riau pada 1 Desember 1893 dan merupakan sultan ke 12
dari Kesultanan Siak. Ia adalah salah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan
ia menyatakan bahwa Kesultanan Siak adalah bagian dari
wilayah Indonesia dan menyumbangkan harta kekayaan
sejumlah 13 juta gulden kepada pemerintah Republik
Indonesia. Atas jasa-jasanya, namanya diabadikan menjadi
nama bandara Pekanbaru.
Sultan Syarif Kasim juga mendirikan sekolah dasar bernama Madrasah
Taufiqiyah al Hasyimiah pada 1917 yang mengajarkan agama dan ilmu
pengetahuan umum bagi semua anak-anak Siak laki-laki untuk menyaingi
pemerintah Belanda, yang hanya memperuntukkan sekolah dasar di Riau yaitu
HIS bagi anak-anak Eropa, Tionghoa atau bangsawan pribumi saja.
Sultan Syarif Kasim II dilahirkan di Siak pada tanggal 1 Desember 1893.
Setelah ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin wafat pada
1908, Syarif Kasim II dinobatkan sebagai sultan ketika usianya masih 16 tahun.
Karena belum cukup umur dan tengah menempuh pendidikan di Batavia, maka
Syarif Kasim II dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak Indrapura pada 13
Maret 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil
Syaifuddin.
Di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II, Siak menjadi ancaman bagi
Pemerintah Hindia Belanda. Soalnya, dia secara terang-terangan menunjukkan
penentangannya terhadap penjajahan. Dengan lantangnya, Syarif Kasim II
menolak Sri Ratu Belanda sebagai pemimpin tertinggi para raja di kepulauan
Nusantara, termasuk Siak. Sultan yang amat menyadari pentingnya pendidikan
sebagai tonggak bagi perubahan suatu kaum, mencoba mencerdaskan rakyatnya
dengan mendirikan sekolah-sekolah di Siak. Putra-putri Siak yang cerdas dan
berprestasi, mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan ke Medan dan
Batavia.
Sultan Syarif Kasim II dihormati orang tidak hanya karena kedudukan sebagai
raja, tetapi karena satunya kata dengan perbuatan. Beliau tidak hanya
mendukung NKRI dengan maklumat dan pernyataan politik saja, tetapi juga
dengan menyumbangkan harta miliknya dalam jumlah sangat besar kepada
negara. Dia tidak hanya menyayangi rakyatnya dengan kata dan ungkapan, tetapi
juga dengan mencerdaskannya lewat penyediaan sekolah. Syarif mendukung
perjuangan lewat seruan di istana, tapi juga hadir dalam kancah perjuangan
dengan bantuan yang konkrit.
Pada saat peringatan hari kematiannya atau Haul ke 119, Sultan Syarif Kasim
II mendapatkan gelar pahlawan nasional. Penetapannya tanggal 6 November
1998, melalui keputusan presiden nomor 109/TK/1998, yang di tanda tangani
presiden BJ Habibie, Sultan Syarif Kasim II juga mendapat tanda kehormatan
bintang Mahaptra Adipradana. Untuk mengenang jasa jasanya, Pemerintah
Provinsi Riau mengabadikan namanya pada Bandara Internasional di Pekanbaru
dengan nama Sultan Syarif Kasim II yang semula bernama Bandar Udara
Simpang Tiga. Bandara Simpang tiga ini pertama kali sultan Syarif Kasim
melakukan pendaratan perdana dan meresmikannya pada tahun 1943 bersama
dengan Permaisuri Tengku Agung Sultanah Latifah dan pembesar pemerintah
Belanda.
Sultan Syarief Kasim meninggal pada usia 74 tahun di Pekanbaru Riau pada
tanggal 23 April 1968 atas jasa jasanya maka nama Sultan Syarief Kasim
diabadikan menjadi nama bandar udara Internasional Sultan Syarief Kasim II di
Pekanbaru Riau. Keteladanan Sultan Syarif Kasim II beserta keluarga inilah
yang patut menjadi teladan bagi pemimpin bangsa saat ini. Ditengah serangan
globalisasi dan godaan dunia yang semakin memikat, sanggupkan para
pemimpin negeri, pejabat public dan para tokoh meneladani kerndahan hati dan
ketulusan Sultan Syarif Kasim II.
2. Syarifah Latifah

Ia adalah Kartini yang berasal dari Riau,


permaisuri Kesultanan Siak Sri Inderapura, dikenal
juga dengan nama Tengku Agong. Ia adalah istri
Sultan Syarif Kasim II yang bertahta dari 1908-1946,
menikah pada 27 Oktober 1912. Cita-cita mulianya
untuk membangun sekolah khusus perempuan di
lingkungan kesultanan sangat didukung oleh Sultan.
Ide membuat sekolah datang ketika menemani
suaminya melawat ke Medan untuk menghadap
Residen Sumatera Timur.

Ia melihat Medan yang sudah modern dan banyak wanita yang berkesempatan
bekerja seperti kaum lelaki, berbeda dengan wanita Siak yang hanya ada di
dapur. Begitu pula ketika ia mengunjungi Langkat dan Tanjungpura. Maka ia
berpikir bahwa wanita harus pintar untuk dapat mencapai tingkatan tersebut
tanpa melupakan kodratnya sendiri. Ia membuka sekolah keterampilan bagi anak
perempuan dan remaja putri di Siak antara tahun 1926-1928, tetapi meninggal
dunia karena sakit pada 3 Maret 1929.
Semenjak kecil, Syarifah Latifah hanya mendapat pendidikan yang
berlangsung di rumahnya atau di lingkungan Istana Langkat di Tanjungpura. Ia
tidak sempat mengenyam pendidikan modern karena pada akhir abad ke-19 dan
memasuki awal abad ke-20, pendidikan modern di sana sangatlah minim.
Tatkala pendidikan modern mulai marak di dirikan di Tanjungpura, usia Syarifah
Latifah telah memasuki masa akil balik dan mengikuti adat berkurung.
Fakta bahwa kaum perempuan Siak bernasib kurang lebih sama dengan
dirinya menumbuhkan simpati Syarifah Latifah. Ia pun bertekad memberikan
kesempatan bagi para gadis Siak untuk menikmati pendidikan, kesempatan yang
tak pernah ia nikmati. Keinginan untuk mendirikan sekolah bagi para gadis itu
pun mendapat dukungan kuat dari sang sultan. Atas dukungan sang suami yang
juga penguasa Siak Sri Inderapura, berdirilah sebuah sekolah perempuan
pertama di kesultanan tersebut.
Keberadaan sekolah ini pun mendobrak pemikiran kebanyakan orang di Siak.
Pada masa itu, anggapan bahwa anak perempuan tak perlu mendapatkan
pendidikan seperti laki-laki cukup kuat. Sekolah khusus ini juga menjadi
jawaban bagi situasi pada saat itu. Pasalnya, para orang tua pada waktu itu masih
sangat kuat melarang anak perempuan mereka untuk memasuki sekolah
pemerintah. Salah satu alasannya adalah karena sekolah mencampur anak
perempuan dan anak laki-laki dalam kelas yang sama.
Karena itu, Syarifah Latifah pun mendorong adanya pelajaran yang berbeda
bagi para gadis. Salah satunya adalah mempersiapkan para gadis agar menjadi
istri dan ibu rumah tangga yang terampil. Sekolah khusus putri ini diperkirakan
berdiri pada 1927. Namun, bangunan sekolahnya sendiri baru rampung pada
April 1929. Perkiraan ini berangkat dari Memorie van Overgate (MvO) cotroleur
Siak, Leyds, yang menjabat dari 1927-1929.
Nama Sultanah Latifah School mulai disebutkan dalam MvO cotroleur
berikutnya bernama Valk. Dalam laporannya, Leyds menyebutkan sekolah putri
tersebut sebagai sekolah landschapvolksscholen, yakni berada di bawah
pengawasan Kesultanan Siak. Berada di bawah kuasa sang sultan, semua
fasilitas dan biaya penyelenggaraannya pun ditanggung sepenuhnya oleh sultan.
Sekolah ini setingkat dengan volksschool tiga tahun. Oleh Leyds, sekolah ini
diistilahkan dengan meisjesvolksschool (sekolah desa khusus gadis).
Berada di bawah pengawasan kesultanan, sekolah ini berlokasi dekat dengan
istana. Sebagaian muridnya pun berasal dari kalangan istana, mulai dari para
dayang istana hingga anak pejabat di lingkungan istana. Maklum, mata pelajaran
yang diajarkan sesuai dengan ketrampilan yang diperlukan para gadis istana.
Tapi, tak hanya dari kalangan istana saja. Sesuai cita-cita sang Tengku Agung
Syarifah Latifah saat membuka sekolah tersebut, gadis-gadis dari kampung pun
bisa belajar di sini. Bahkan, anak yatim pun punya kesempatan untuk belajar di
sekolah tersebut. Para anak yatim tersebut tinggal di asrama di Istana Limas.
Tengku Agung Syarifah Latifah tidak hanya sekadar mendatangkan para guru
yang dibutuhkan, ia juga memberikan fasilitas untuk tempat tinggal bagi guru-
guru perempuan di istana secara cuma-cuma dan memberikan mereka gaji.
Pemberian gaji bagi para guru, merupakan hal baru yang mungkin ditiru dari
sistem pendidikan Barat. Sebelumnya, dalam sistem pendidikan tradisional,
guru-guru di Riau tidak digaji secara tetap dan murid-murid tidak membayar
uang pendidikan mereka. Bahkan, para guru pun segan menerima pemberian
karena adanya pandangan bahwa ilmu harus diberikan tanpa pamrih.
Sayangnya, Latifah yang memiliki pemikiran maju memiliki usia terbilang
singkat. Ia meninggal setelah mendampingi Sultan Syarif Kasim sebagai
permaisuri selama hampir 15 tahun, tanpa meninggalkan keturunan. Tengku
Agung menikah dengan Sultan Syarif Kasim pada 27 Oktober 1912.Bertahun-
tahun menunggu hadirnya buah hati, hingga pada 1929 sang permaisuri
mengandung. Malang tak dapat ditolak, pada 2 November 1929, Tengku Agung
sakit hingga meninggal dunia bersama bayi yang masih dalam kandungan.
Buah pemikirannya yakni memberikan kesempatan belajar bagi para gadis
dilanjutkan adiknya yang menggantikannya menjadi permaisuri. Sejatinya,
nama Syarifah Latifah baru disematkan di sekolah yang ia dirikan setelah ia
berpulang. Nama ini untuk mengenang perannya dalam mendirikan sekolah,
juga sumbangsihnya mengelola dan memajukan sekolah tersebut. Sepeninggal
Tengku Agung Latifah, sekolah masih terus dilanjutkan. Namun, sayangnya
sekolah tersebut juga tak berumur panjang. Dalam buku Sejarah Riau tulisan
Muchar Lutfhi (1999), disebutkan, Sultanah Latifah School dialihkan menjadi
sekolah rakyat pada masa pendudukan Jepang.

You might also like