You are on page 1of 11

TAFSIR MU’TAZILAH DAN ASYA’RIYAH DALAM STUDI

PERBANDINGAN

KELAS C
Oleh:
Mohamad Fikri Hakim
G100220011@student.ums.ac.id
Ammalfi nuurun alhajj
G100220047@student.ums.ac.id
Muhammad wahyu Adinugraha
G100220021@student.ums.ac.id
Irfan Rizki Maulana
G100220048@student.ums.ac.id
Muhammad Roby Hidayat
G100220019@student.ums.ac.id
Muhammad Nayaka Rajwa
G100220015@student.ums.ac.id

ABSTRACK

A comparative study between Mutazilah and Ash'ariyah tafsir involves the


understanding and interpretation of the Qur'ānic text by two major schools of
thought in the Islamic tradition. Tafsir is an attempt to understand the meaning
and message of the Qur'ān, while Mutazilah and Ash'ariyah are two theological
schools that differ in their approach to the sacred text.

First, the Mutazilah school emphasizes rationality and free thought in


understanding the Qur'ān. They argue that human reason should be used to
interpret the sacred text and establish a rational meaning. Mutazilah rejected
the literal view and accepted allegorical interpretation to understand the
Qur'ānic messages. They also hold that God is just and use human reason to
judge His actions.

The Ash'ariyah, on the other hand, held a more traditional theological view.
They argue that humans should accept the Qur'ānic text literally and reject
allegorical interpretations. The Ash'ariyah believe that human reason cannot
fully comprehend the mysteries of God, and that God is not limited by logic or
natural laws. They believe that everything contained in the Qur'ān is true
without the need for rational explanation.

In this comparative study, the main difference between Mutazilah and


Ash'ariyah tafsir is the approach to interpretation of the Qur'ānic text. The
Mutazilah emphasize the use of reason and rationality in understanding the
Qur'ān, while the Ash'ariyyah prioritize a literal acceptance of the text. Despite
differences in interpretive approaches, the two schools share a common belief
in Qur'ānic revelation as the authoritative source.

This comparative study provides a better understanding of the differences and


similarities between Mutazilah and Ash'ariyah tafsir. By studying their views on
Qur'ānic interpretation, we can gain greater insight into the diversity within the
Islamic tradition and how their thought influenced the development of Islamic
theology and philosophy.
Keywords : Mutazilah , Asy'ariyah , Islamic , Comparative

ABSTRAK
Studi perbandingan antara tafsir Mutazilah dan Asy'ariyah melibatkan
pemahaman dan interpretasi teks Al-Qur'an oleh dua aliran pemikiran utama
dalam tradisi Islam. Tafsir adalah upaya untuk memahami makna dan pesan
Al-Qur'an, sementara Mutazilah dan Asy'ariyah adalah dua aliran teologis
yang memiliki perbedaan dalam pendekatan mereka terhadap teks suci.

Pertama, aliran Mutazilah menekankan rasionalitas dan pemikiran bebas


dalam memahami Al-Qur'an. Mereka berpendapat bahwa akal manusia harus
digunakan untuk menginterpretasikan teks suci dan menetapkan makna yang
rasional. Mutazilah menolak pandangan literal dan menerima tafsiran alegoris
untuk memahami pesan-pesan Al-Qur'an. Mereka juga berpendapat bahwa
Allah adalah adil dan menggunakan akal manusia untuk menilai tindakan-Nya.

Di sisi lain, aliran Asy'ariyah memegang pandangan teologis yang lebih


tradisional. Mereka berpendapat bahwa manusia harus menerima teks Al-
Qur'an secara harfiah dan menolak interpretasi alegoris. Asy'ariyah percaya
bahwa akal manusia tidak dapat memahami sepenuhnya misteri Allah, dan
bahwa Allah tidak terbatas oleh logika atau hukum alam. Mereka meyakini
bahwa segala sesuatu yang dikandung dalam Al-Qur'an adalah benar tanpa
perlu penjelasan rasional.

Dalam studi perbandingan ini, perbedaan utama antara tafsir Mutazilah dan
Asy'ariyah adalah pendekatan terhadap interpretasi teks Al-Qur'an. Mutazilah
menekankan penggunaan akal dan rasionalitas dalam memahami Al-Qur'an,
sementara Asy'ariyah memprioritaskan penerimaan harfiah terhadap teks
tersebut. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan interpretatif, kedua
aliran ini memiliki kesamaan dalam keyakinan pada wahyu Al-Qur'an sebagai
sumber otoritatif.

Studi perbandingan ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang


perbedaan dan persamaan antara tafsir Mutazilah dan Asy'ariyah. Dengan
mempelajari pandangan mereka tentang interpretasi Al-Qur'an, kita dapat
mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang keragaman dalam tradisi Islam
dan bagaimana pemikiran mereka memengaruhi pengembangan teologi dan
filsafat Islam.
Kata kunci : Mutazilah , Asy'ariyah , Islam , perbandingan

BAB 1
PENDAHULUAN
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “l’tizal” yang artinya “memisahkan diri”.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak
terpengauruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan
rasio sebagai dasar argumentasi.

Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan


teolo- gis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya
peristiwa tah- kim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada
yang berbuat dosa besar.
Pada mu- lanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena
pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari
gurunya, Hasan Al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini
kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari
bagi aliran teologi mereka.

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan


Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

PEMBAHASAN
Sejarah Mu’tazilah
Sejarah Munculnya Mu’tazilah Sulit untuk menentukan kapan sebenarnya Mu’tazilah
menjelma menjadi bagian dari aliran teologi. Pada masa beberapa tahun setelah nabi Muhammad
wafat, banyak peristiwa yang terjadi di kalangan sahabat, puncak gunung emas peristiwa itu adalah
terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Sejak peristiwa pembunuhan itu terjadi, umat Islam terpecah
belah, berselisih dan berebut kekuasaan. Peperangan demi peperangan kerap terjadi dikalangan
umat Islam dan sulit untuk dihentikan. Perselisihan yang bermuara pada masalah politik yaitu
masalah khilafah berujung pada masalah aqidah.

Peperangan yang terjadi antara khalifah keempat Ali bin Abi Thalib melawan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang bersikeras berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya khalifah ketiga Usman bin Affan diselesaikan dengan cara damai atau dikenal dengan
istilah tahkim. Sebagian dari pengikut dan pendukung Ali bin Abi Thalib tidak terima dengan cara Ali
menerima dan menempuh jalan damai dalam penyelesaian masalah ini, karna meraka yakin akan
meraih kemenangan dalam peperangan dan merebut semua hasil rampasan harta perang.
Sebagiannya lagi justru memaksa Ali untuk menerima tahkim dan tidak melanjutkan peperangan.
Ironisnya bahwa kelompok yang tadinya mendukung tahkim seketika berubah haluan. Mereka justru
mengatakan bahwa Allah lah yang berhak untuk mengadili “La Hukma Illa Lillah” . Ketika Ali
mengingatkan bahwa merekalah yang menyebabkan Ali menerima tahkim, mereka menjawab “kami
keliru, mengapa engkau mengikuti kehendak kami. Sebagai khalifah sudah seharusnya anda memiliki
pandangan dan pikiran yang jauh ke depan dan mendalam”. Karna peristiwa tahkim ini lah maka
sebagian besar dari kelompok Ali dengan suka rela meninggalkan sang khalifah dan seterusnya
mereka membuat sebuah kelompok yang ahirnya dikenal dengan nama Khawarij.

Peristiwa tahkim mulai merambah kedalam masalah aqidah. Mereka saling mengkafirkan
satu sama lain, satu pihak mengklaim pihak lain keluar dari Islam dan begitu juga sebaliknya.
Khawarij dengan lantang menganggap Ali dan Mu’awiyah bersama dengan semua orang yang
menerima tahkim sudah termasuk golongan orang kafir, dikarenakan mereka justru mengikuti tradisi
jahiliyyah dalam memutuskan sebuah hukum dan tidak melaksanakan hukum yang sesuai dengan al-
Qur’an yang diturunkan Allah, sebagaimana firmannya dalam al-Qur’an: “Dan barang siapa yang
tidak melaksanakan hukum dengan apa yang sudah Allah turunkan, maka mereka itu adalah
termasuk golongan orang kafir”. Orang-orang yang menerima tahkim dianggap oleh kelompok
Khawarij sudah melakukan dosa besar karna tidak menjalankan perintah Allah. Pada saat yang
bersamaan, Khawarij memiliki sebuah konsep pemahaman bahwa kafir itu adalah orang-orang yang
sudah melakukan dosa besar.

Pemahaman Khawarij terhadap status pelaku dosa besar mendapat respon dari beberapa
kalangan dan ahirnya terbentuklah golongan Murji’ah yang berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar
tidak termasuk golongan kafir, mereka tetap menjadi seorang mukmin. Terkait dengan hukuman
terhadap dosa besar yang mereka lakukan akan ditangguhkan hukumannya di akhirat dan hanya
Allah yang berhak menghukumnya. Hal yang paling penting bagi golongan Murji’ah tentang iman
dan kufur adalah pengakuan di dalam hati, bukan semata-mata aktifitas anggota tubuh. Oleh
karnanya Murji’ah berpendapat bahwa segala aktifitas yang dilakukan oleh anggota tubuh
selamanya tidak akan melenyapkan iman yang ada di dalam hati setiap manusia. Pemahaman ini
tentu bertolak belakang dengan yang diyakini oleh golongan Khawarij yang meyakini bahwa
perbuatan bisa melenyapkan iman. Dalam perdebatan antara Khawarij dan Murji’ah tentang status
pelaku dosa besar, apakah mereka kafir atau masih layak dianggap seorang mukmin, tiba-tiba
muncul pendapat baru yang disampaikan oleh salah satu murid dari ulama terkemuka saat itu Hasan
al-Basri yang bernama Wasil bin Atha yang mengatakan bahwa Pelaku dosa besar tidak termasuk
golongan kafir dan tidak masuk golongan mukmin, mereka semua merupakan golongan orang-orang
fasik”. Setelah itu Wasil bin ‘Atha meninggalkan majelis ilmu sang guru dan membuat majelis ilmu
yang baru untuk mendukung dan mengembangkan ide dan pokok fikirannya. Atas pernyataan itulah
maka Hasan al-Basri berkata bahwa Wasil bin ‘Atha telah menjauhkan dirinya dari kita
(I’tazalaWasil).

Dari kejadian inilah Wasil beserta semua pengikutnya dinamakan al-Mu’tazilah. Wasil bin
‘Atha tidak setuju dengan pendapat sang guru Hasan al-Basri, karna menurut Wasil bin ‘Atha kata
mukmin itu memilki makna pujian, sedangkan pelaku dosa besar jelas bukan perkara yang terpuji,
berarti mereka tidak bisa disebut sebagai seorang mukmin, sementara pelaku dosa besar juga tidak
bisa dihukumi sebagai kafir karna mereka masih mengakui kalimat syahadat. Oleh karna status
mukmin dan kafir tidak bisa disematkan kepada para pelaku dosa besar, maka mustahil mereka bisa
menempati surga dan neraka, oleh karnanya, maka posisi yang paling tepat untuk mereka adalah
diantara surga dan neraka atau yang lebih dikenal dengan istilahal-Manzilah bain alManzilatain.
Banyak sekali teori dan pendapat yang menjelaskan tentang asal-usul pembentukan dan penamaan
Mu’tazilah, inti dari semua teori itu menjelaskan bahwa Mu’tazilah adalah golongan yang selalu
menggunakan akal dan filsafat dalam masalah teologi.(Hatta, 2016)

Dasar Ideologi Mu’tazilah


Indonesia memiliki lima sila yang dijadikan dasar untuk menjamin keberlangsungan
kehidupan berbangsa, lima sila itu dikenal dengan istilah Pancasila. Mu’tazilah juga memiliki dasar
pokok pemikiran mereka yang kita kenal dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah (lima pokok ajaran).
Pengikut mu’tazilah tidak akan diakui keberadaan dan cara berfikirnya sebelum mereka mengakui al-
Ushul al-Khamsah, yaitu

1. Al-Tauhid Tauhid merupakan ajaran paling penting bagi setiap kelompok agama, tak terkecuali
bagi Mu’tazilah. Argumentasi rasional dan filosofis selalu mereka kedepankan sebagai ciri khas, tak
terkecuali masalah tauhid. Pada dasarnya pemahaman tauhid yang didengungkan oleh Mu’tazilah
tidak berbeda jauh dari kelompok yang lain dari ahlu as-sunnah wa aljamaah yakni sama-sama
berkeyakinan bahwa “La ilaha illa Allah Wahdahu La Syariika Lahu” sebagaimana yang terkandung
dalam surah al-Ikhlas. Mu’tazilah berkeinginan kuat untuk mensucikan Allah dari segala
kemiripanNYA dengan makhluk. Konsekuensi dari teori ini adalah bahwa Mu’tazilah menentang
argumentasi bahwa Allah bisa dilihat. Mu’tazilah juga menolak paham qadimnya al-Qur’an. Bagi
mereka al-Qur’an adalah sesuatu yang bersifat baru. Bila al-Qur’an bersifat qodim, maka akan ada
dua qadim yaitu Allah dan alQur’an. Konsep ini jelas bertolak belakang dengan keyakinan Mu’tazilah.

2. Al-‘Adl Pemahaman ‘adl bagi Mu’tazilah adalah keadilan yan dilakukan Allah dalam menghisab
perbuatan manusia. Menurut abd al-Jabar “semua perbuatan Allah bersifat baik, tidak berbuat jahat
dan tidak lalai”. Ketika Allah menyiksa hambanya, maka itu semua dimaksudkan untuk kepentingan
hambanya, karna kalau tidak untuk kepentingan, berarti Allah sudah melalaikan kewajibannya
berbuat baik.

3. Al-Wa’du wa al-Wa’id Konsep ini masih erat kaitannya dengan konsep ‘adl. Allah wajib menepati
janjinya untuk memberikan pahala bagi hamba yang berbuat baik dan menyiksa hamba yang
berbuat jahat. Melalui prinsip ini Mu’tazilah menolak konsep syafa’at. Karna konsep ini akan
membahayakan kebijakan-Nya.

4. Al-manzilah bayn al-Manzilatain Pemahaman ini lah yang merupakan cikal bakal ajaran Mu’tazilah.
konsep pemahaman ini berkaitan dengan seorang mukmin yang telah melakukan dosa besar.
Pendosa besar tidak menjadi kafir karna mereka masih bersyahadat dan percaya dengan Allah dan
Nabi Muhammad, pada saat yang bersamaan mereka tidak bisa dianggap masih seorang mukmin
karna sudah melakukan dosa besar. Karna statusnya tidak kafir, maka mereka tidak layak di neraka,
karna tidak pula mukmin maka mereka tidak layak di surga, mereka harus ditempatkan di luar surga
dan neraka.

5. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar Setelah empat konsep sebelumnya identik
dengan bahasan teologi, konsep yang terahir lebih focus pada urusan moral. Perintah melakukan
perbuatan baik dan larangan melakukan perbuatan tidak baik wajib dilakukan oleh semua mukmin.
(Saw, 2020)

METODE DAN CORAK TAFSIR MU’TAZILAH

Ketika merujuk ke kitab tafsir al-Kashshaf, maka bisa disimpulkan bahwa secara garis
besarnya, tafsir Mu’tazilah merupakan tafsir bi al-Ra’yi, walaupun pada perakteknya ada beberapa
ayat yang justru penafsirannya cendrung ke tafsir bi al-ma’sur. karna sebagian besar sumber
penafsirannya berorientasi pada kekuatan akal dalam berhujjah. Dr. az-Zhahabi bahkan
mengkatagorikan al-Kashshaf sebagai bagian dari tafsir bi al-Ra’yi al-Mazmum (tercela) atas dasar
karna dominasi pendapat Mu’tazilah di dalamnya. Ada beberapa metode yang digunakan imam
Zamahksyari dalam tafsirnya; Dalam penyusunannya, tafsir al-Kashshaf disusun sesuai dengan
urutan surah dari al-Fatihah sampai ke an-Nas. Setiap awal surah dimulai dengan basmallah kecuali
surah atTaubah.

Dalam hal materi tafsirnya, secara garis besar tafsir Mu’tazilah bernuansa teologis karna
mereka merupakan salah satu aliran terbesar dalam ilmu kalam pada masanya. Metode linguistic
(ilmu tata bahasa) juga menjadi pemandangan yang sering dijumpai di dalam tafsir Mu’tazilah, tak
terkecuali tafsir al-Kashshaf, karna imam Zamahksyari terkenal menguasai ilmu bahasa. Sang imam
juga menggunakan metode dialog dalam tafsirnya, kata-kata in qulta (ketika kamu bertanya) qultu
(saya menjawab) selalu digunakan untuk menjawab dan menerangkan kandungan yang terdapat di
dalam ayat, seolah-olah terjadi dialog antara sang imam dan para murid-muridnya. Wacana tentang
melihat Allah menjadi sebuah masalah yang sangat fenomenal antara Mu’tazilah dengan golongan
yang lainnya. Menurut penulis, pada bab ini kita bisa melihat bahwa Mu’tazilah menggunakan tafsir
bi al-ma’sur dan kemampuan ilmu bahasa untuk kepentingan golongan.

Secara umum Mu’tazilah menggunakan kekuatan akal sebagai sumber tafsirnya, oleh karna
tafsir mereka identik dengan tafsir bi al-Ra’yi. (Dasuki, 2017) (Zabidi, 2020)

KELEBIHAN TAFSIR MU’TAZILAH

1. Penekanan pada akal , mu'tazilah menekankan penggunaan akal dalam menafsirkan Al-Qur'an.

2. Menolak iman yang buta: Mu'tazilah menolak gagasan tentang iman buta dan menekankan
pentingnya menggunakan akal dan bukti dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Secara keseluruhan, metode Mu'tazilah dalam menafsirkan Al-Qur'an menekankan pada akal,
keadilan, dan menolak antropomorfisme serta takdir. Mereka menolak keyakinan buta dan
menekankan pentingnya penggunaan akal dan bukti dalam menafsirkan Al-Qur'an.

KEKURANGAN TAFSIR MU’TAZILAH

Tafsir Muktazilah Meskipun memiliki kontribusi penting dalam sejarah pemikiran Islam, namun
terdapat beberapa kelemahan yang dikaitkan dengan pendekatan mereka dalam tafsir Al-Quran.
Berikut ini beberapa kelemahan yang sering dikemukakan terkait tafsir Muktazilah:

1. Penekanan berlebihan pada akal: Salah satu kelemahan utama tafsir Muktazilah adalah
penekanan berlebihan pada akal atau rasio dalam memahami Al-Quran. Mereka cenderung
mengedepankan pemahaman rasional terhadap ayat-ayat Al-Quran, dengan mengabaikan dimensi
makna metafisik yang terkandung dalam teks.

2. Penolakan terhadap sifat-sifat Allah yang mutlak: Aliran Muktazilah menolak konsep sifat-sifat
Allah yang mutlak, seperti sifat keabadian, ketidaktergantungan-Nya.

Mereka cenderung lebih condong pada pandangan bahwa Allah terikat oleh hukum-hukum rasional
yang mandiri dan terbatas.

3. Tafsir Muktazilah cenderung mengadopsi pendekatan literal yang ketat terhadap teks Al-Quran.
Sehingga menghasilkan interpretasi yang terbatas dan terkadang tidak memadai.

4. Kurangnya pengakuan terhadap tradisi dan warisan Islam: Tafsir Muktazilah sering kali tidak
memberikan pengakuan yang memadai terhadap tradisi dan warisan Islam yang telah ada
sebelumnya. Mereka cenderung memandang rendah terhadap hadis dan interpretasi yang
berkembang dalam mazhab-mazhab tradisional.

5. Ketidaksesuaian dengan pemahaman mayoritas umat Muslim: Pemahaman dan interpretasi


Muktazilah cenderung berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Muslim. Hal ini membuat tafsir
mereka sering kali dianggap kontroversial dan tidak diterima secara luas dalam masyarakat Muslim.

6. pandangan mu’tazilah terhadap keadilan Allah itu adalah Allah tidak berhak untuk memaksa
manusia dan harus membiarkan manusia itu bebas dan Allah wajib memasukan surga kepada orang
yang telah ditetapkan dan memasukan neraka untuk orang yang telah ditetapkan, pandangan ini
tentu bertentangan dengan konsep Ahlu sunnah wal jamaah.

7. mu’tazilah menganggap bahwah Al qur’an adalah makhluk bukan kalam Allah keyakinan ini juga
sudah menyimpang dari ajaran Ahlu sunnah wal jamaah yang meyakini bahwa Al quran adalah kalam
Allah.

SEJARAH ASYA’RIYAH

Pengertian Asy’ariyah Aliran Asy’ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa
kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan
Salafiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Aliran Asy’ariyah dibangun oleh
Abu Hasan Ali ibn Ismail Al-Asy’ari ( 873-935M ).

Pada mulanya, Al-Asy’ari adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Karena itulah, menurut Al-Askari,
Al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepada Al-Asy’ari. Ini merupakan indikasi
bahwa Al-Asy’ari sebagai salah seorang pengikut Mutazilah yang tangguh. Namun, karena sebab-
sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari, walaupun telah puluhan tahun menganut paham
Mu’tazilah, ia akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. Menurut Ibnu Asakir, Al-Asy’ari meninggalkan
mu’tazilah karena ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa mazhab
Mu’tazilah itu sesat sedangkan mazhab Ahl Al-Hadits benar. Pendapat lain menyebutkan bahwa Al-
Asy’ari berdebat dengan gurunya, Al-Jubba’i, seputar orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil.
Dalam perdebatan itu, sang guru tidak menjawab pertanyaan murid. Terlepas dari sebab-sebab
diatas, yang jelas ajaran Asy’ariyah ini muncul sebagai alternatif yang menggantikan kedudukan
ajaran Mu’tazilah yang sudah hilang pamornya pasca penghapusannya oleh Al-Mutawakkil sebagai
mazhab negara.

Ini menunjukkan bahwa aliran Asy’ariyah muncul karena kondisi yang menuntut demikian.
Selain oleh Al-Asy’ari, aliran Asy-a’riyah ini dikembangkan pula oleh muridmuridnya seperti
Muhammad Thayyib bin Muhammad Abu Bakr Al-Baqillani, Abd AlMalik Al-Juwani (419-478 H), Abu
Hamid Muhammad Al-Ghazali (450-505 H), dan Alauddin Al-‘Ijji (w. 756 H). 54H. M. Yusran Asmuni.
Ilmu Tauhid. Sebagai sebuah aliran teologi, Asy’ariyah mempunyai ajaran-ajaran yang banyak diikuti
masyarakat, khususnya yang cenderung mengikutinya. Ajaran-ajaran tersebut dapat diketahui dari
buku yang ditulis Al-Asy’ari sendiri dan para muridnya. (Ramadina Sabila Firdausi, n.d.)(TUGAS
ISTILAH KAJIAN TAFSI1, n.d.)

METODE TAFSIR ASYA’RIYAH

Metode tafsir Asy'ariyah adalah sebuah pendekatan dalam memahami dan menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran yang dikembangkan oleh aliran teologi Islam yang dikenal sebagai Maturidiyah
atau Asy'ariyah. Aliran ini dinamakan berdasarkan nama dua tokoh penting dalam sejarah pemikiran
Islam, yaitu Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Tafsir Asy'ariyah didasarkan pada prinsip-prinsip teologi yang dikembangkan oleh aliran
Asy'ariyah. Prinsip-prinsip ini mencakup keyakinan akan eksistensi Allah, atribut-atribut-Nya, dan
hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya. Dalam konteks tafsir, metode ini menekankan bahwa ayat-
ayat Al-Quran harus diinterpretasikan sesuai dengan prinsip-prinsip teologi yang diajukan oleh
Asy'ariyah.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik penting dari metode tafsir Asy'ariyah:

1. Pemahaman literal: Metode ini menekankan pada pemahaman literal ayat-ayat Al-Quran, kecuali
jika terdapat indikasi yang jelas untuk menafsirkannya secara kiasan atau metaforis.

2.Menyelaraskan teks dengan aqidah: Tafsir Asy'ariyah berupaya menyelaraskan teks Al-Quran
dengan prinsip-prinsip teologi Asy'ariyah. Ini berarti bahwa tafsir harus sesuai dengan keyakinan
bahwa Allah adalah satu, memiliki atribut-atribut tertentu, dan memiliki hubungan yang khusus
dengan ciptaan-Nya.

3.Penolakan ta'wil: Metode ini cenderung menolak ta'wil atau interpretasi yang bertentangan
dengan pemahaman literal ayat-ayat Al-Quran. Ta'wil dianggap sebagai langkah terakhir jika
terdapat kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan dengan cara lain.

4.Menempatkan akal dalam batasannya: Metode ini mengakui pentingnya akal dalam memahami Al-
Quran, tetapi menekankan bahwa akal harus berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh teologi
Asy'ariyah. Ini berarti bahwa jika terdapat ketidakcocokan antara pemahaman akal dan teologi,
maka teologi harus diutamakan.

Dalam praktiknya, tafsir Asy'ariyah sering kali digunakan dalam konteks pendidikan dan
pengajaran Islam di berbagai institusi pendidikan agama. Namun, penting untuk diingat bahwa ada
berbagai metode tafsir lainnya yang digunakan dalam tradisi Islam, dan setiap metode memiliki
keunikan dan pendekatannya sendiri.

KELEBIHAN TAFSIR ASYA’RIYAH

1. Menurut Nurcholis Majid, bahwa paham Asy’ariyah menjadi unggul terletak pada segi
metodologi. Ia mengambil jalan tengah dari berbagai kubu ekstrim. Ketika terdapat ayat al-
Qur’an yang sangat krusial untuk dimengerti dan membutuhkan ta’wil, ia tidak terlalu
rasional sebagaimana paham Mu’tazilah dan tidak terlalu harfiah seperti pendekatan kaum
Hanbali, tetapi ia mengambil jalan tengah di antara keduanya.
2. Inti pokok pemikiran Asy’ariyah selaras dengan Sunni. Secara tegas ia kemukakan sendiri
bahwa ia berpegang teguh pada Sunni dalam maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin
(Pendapat-Pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang). Dalam buku
tersebut dia kemukakan point-point penting aliran Sunni dan ia menutupnya dengan
pernyataan tegas afirmasinya terhadap apa yang telah dikemukakan. Pandangan Sunni yang
dikemukakan Al-Asy’ari meliputi pernyataan bahwa Al-Qur’an bukan makhluq, muslim
pelaku dosa besar tidak dihukumi kafir, mengharuskan mengikuti imam atau pemimpin.

Jadi dapatlah kita simpulkan bahwa metode pemikiran Asy’ariyah inilah yang
menjadi keunggulan atau kekuatan paham Asy’ariyah, dimana beliau mampu menggunakan
dalil naqli dan aqli secara seimbang, dan berusaha mengambil jalan tengah dari paham aliran
yang berlawanan.
KELEMAHAN TAFSIR ASYA’RIYAH

1. Nurcholis Majid lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah, tokoh
reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak
dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan
bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya
manusia mampu memilih jalan hidup.

2. Sangat tampak kritisisme Nurcholis Majid dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan
absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari
kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang
dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang
dimaksudkan Al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam
syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak
dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak
pula terpaksa.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kelemahan-kelemahan dari paham Asy’ariyah ini


adalah kesulitan bagi orang awam untuk memahami Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia.
Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam
konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas
yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.

PENUTUP

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Dasuki, A. (2017). CORAK TAFSIR MU’TAZILAH. El-Mashlahah.
Hatta, M. (2016). Aliran MuTazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Jurnal Ilmiah Ilmu
Ushuluddin, 12(1), 87. https://doi.org/10.18592/jiu.v12i1.286
Ramadina Sabila Firdausi. (n.d.). Pemikiran teologi asy’ariyah mata kuliah sejarah pemikiran kalam.
1904026041.
Saw, M. (2020). Rasionalitas Teologi Mu’tazilah Muhyidin 1) , Nasihin 2). 15(02), 77–85.
TUGAS ISTILAH KAJIAN TAFSI1. (n.d.).
Zabidi, A. (2020). Metode, Corak dan Pendekatan Muktazilah Dalam Penafsiran Al-Qur’an. Falsafah:
Jurnal Kajian Filsafat, Teologi Dan ….

You might also like