You are on page 1of 6

ARTIKEL

MAHKUM ALAIH

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

USHUL FIQH

Dosen Pengampu :

Dr. Zelfeni Wimra, M.A

Kelompok 10

Delima Adini: 2216040009

Titra Rahmawati: 2216040041

Ilham Hidayat: 2216040145


ABSTRAK

Mahkum ‘alaih adalah seorang atau pelaku atau yang melakukan hukum syar’i, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan mukallaf / subjek hukum. Fokus penelitian ini adalah (1)
Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih (2) Menjelaskan apa saja syarat-syarat mahkum
alaih. Sumber data diperoleh dari buku dan jurnal yang membahas ushul fiqh kemudian
dianalisis melalui analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang
tindakan atau perbuatannya dikenai hukum-hukum syari’at. Mahkum ‘Alaih dapat juga
dikatakan sebagai subyek dari hukum atau orang yang dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh
ini juga disebut dengan Mukallaf. (2) Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban
hukum itu ada dua macam, yakni: Sanggup memahami khithab-khithab pembebanan dan
mempunyai kemampuan menerima beban. Kemampuan menerima beban dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: Ahliyatul wujub (kemampuan hak menerima kewajiban) dan ahliyatul ada’
(kemampuan berbuat).

Kata Kunci: syar’i, mukallaf


A. Pendahuluan

Manusia adalah sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang
dilakukan selalu ada konsekuensinya. Sebagaimana fungsinya manusia ditugaskan sebagai
khalifah dibumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggung jawaban. Dalam
kehidupan sehri-hari seperti, melakukan akad jual beli, utang piutang, atau dalam menjalankan
ibadah seperti haji, manusia dalam hal ini sebagai mahkum alaih dapat dikatakan sah karena
sudah memenuhi persyaratan yang ada, atau mungkin status sahnya diurungkan untuk sementara
dikarenakan ketentuan-ketentuan yang ada juga. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sehingga dapat menjadi manusia sebagai mukallafatun seorang yang sudah dikatakan
cukup hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna, layak (ahliyah)
secara hukum.

B. Pembahasan

1. Pengertian Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuatannya dikenai hukum-hukum
syari’at. Mahkum ‘Alaih dapat juga dikatakan sebagai subyek dari hukum atau orang yang
dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini juga disebut dengan Mukallaf. Perbuatan mukallaf
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (Balligh) meliputi seluruh gerak
geriknya, pembicaraannya, maupun niatnya. Mahkum ‘Alaih adalah subyek hukum yaitu
mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan Taklif (hukum yang menuntun manusia untuk
melakukan, meninggalkan, atau memilih antara berbuat atau meninggalkan).1

2. Syarat-Syarat Mahkum ‘Alaih


Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni: 2
a. Sanggup Memahami Khithab-Khithab Pembebanan.
Seseorang mukallaf sanggup memahami sendiri atau dengan perantaraan orang lain nash-
nash Al-Qura’an dan As-Sunnah. Karena orang yang tidak sanggup memahami khithab,
baik langsung maupun dengan perantara, niscaya tidaklah akan tergerak hatinya untuk

1
Rachmad Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia. 2007) hlm. 356.
2
Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Dasar-Dasar pembinaan fiqh islam, (Bandung: Alma’arif. 1986) hlm.
164.
memenuhi tuntutan syara’ dan tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Kesanggupan memahami khithab taklif itu hanya terletak pada akal dan nash-nash yang
dibebankan kepada para ahli fikir adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu merupakan
alat untuk memahami dan menyerap, dan akal pula yang mendorong manusia
berkehendak untuk mematuhinya. Oleh karena itu, orang gila dan anak-anak yang belum
dewasa tidak dibebani suatu taklif, karena dianggap belum sanggup memahami khithab-
khithab untuk membina ketaatan pada syara’.
b. Mempunyai Kemampuan Menerima Beban.
Para Ushuliyun membagi kemampuan ini kepada 2 macam, yaitu:
• Ahliyatul Wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
Yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan diberi kewajiban. Kepantasan ini
ada pada setiap manusia, semua orang memiliki kepantasan untuk memperoleh hak
dan kewajiban karena yang menjadi dasar kepantasan ini adalah kemanusiaan. Bahwa
selama seorang masih hidup, kepantasan itu tetap dimilikinya.
• Ahliyatul Ada’ (kemampuan berbuat)
Yaitu kepantasan seseorang untuk dipandang sah segalanya perkataan dan
perbuatannya. Yaitu dalam hal pertanggungjawaban dan asasnya adalah cakap
bertindak (berakal).
C. Penutup

Yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah mukallaf (manusia) yang menjadi objek
hukum syara’. Syarat-syarat sahnya sorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam,
yaitu sanggup memahami perintah yang diberikan kepadanya dan mempunyai kemampuan
menerima beban, yaitu ada kemamppuan pasif (ahliyatul wujub) dan kemampuan aktif (ahliyatul
ada’). Ketentuan hukum yang akan diberlakukan kepada mukallaf selalu disesuaikan dengan
kemampuan dan kecakapan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami

Bandung: PT Al Ma’arif, 1997.

Rachmad syafei. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2007.

You might also like