You are on page 1of 11

AZAS FILOSOFIS PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR

NEGARA

Nihayatul Maghfiroh

maghfirohnihayatul53@gmail.com

Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Surabaya

PENDAHULUAN

Dalam perjalanan sejarah, kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
mengalami pasang surut baik dalam pemahaman maupun pengamalannya. Setelah
runtuhnya Orde Baru Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah yang
tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila semakin
jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan maupun kemasyarakatan. Bahkan banyak kalangan menyatakan bahwa
sebagian masyarakat bangsa Indonesia hampir melupakan jati dirinya yang esensinya
adalah Pancasila. Pancasila nampak semakin terpinggirkan dari denyut kehidupan
bangsa Indonesia yang diwarnai suasana hiruk-pikuk demokrasi dan kebebasan
berpolitik. Pancasila sebagai dasar negara kini nyaris kehilangan fungsi praksisnya,
seolah hanya tinggal kedudukan formalnya.

Suatu negara dan bangsa dapat membangun diri memulai dari penguatan pondasi
berikut pilar-pilarnya, maka berdirilah negara dan bangsa itu. Pondasi dan pilar-pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara esensinya adalah nilai dasar kehidupan yang
membentuk sistem nilai kehidupan yang dapat diyakini kebenarannya,
menggambarkan realitas objektif, memberi karakter, dijadikan pedoman, prinsip,
postulat, evidensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut BJ Habibie dalam
pidato “Reaktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara” di
Gedung MPR pada 1 Juni 2011, beliau menyatakan dua penyebab tergusurnya
Pancasila dari kehidupan kita, yaitu situasi dan kehidupan bangsa telah berubah baik
di tingkat domestik, regional maupun global di satu pihak, dan terjadinya euphoria
reformasi sebagai akibat traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan
kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila di lain pihak. Kedua hal
tersebut telah menyebabkan “amnesia nasional” tentang pentingnya Pancasila sebagai
norma dasar (grundnorm) yang menjadi payung kehidupan berbangsa yang menaungi
seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan
afiliasi politik. Sesungguhnya Pancasila bukan milik sebuah era atau ornament
kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu, tetapi Pancasila adalah dasar negara
yang menjadi penyangga bangunan arsitektural yang bernama negara Indonesia.

Memang banyak agenda reformasi yang telah dilakukan bangsa Indonesia, dan diakui
oleh banyak kalangan bahwa reformasi di Indonesia telah menghasilkan kemajuan di
bidang demokrasi, rakyat telah menikmati kebebasan. Namun perkembangan
demokrasi hanya membuahkan problema dilematik yaitu kebebasan yang melahirkan
tindakan anarkhisme. Kehidupan berbangsa dan bernegara semakin terkesan
menjauhkan bangsa dan negara dari orientasi filosofi Pancasila. Kehidupan berbangsa
semakin kehilangan dasar dan arah tujuannya.

PEMBAHASAN

Memang banyak agenda reformasi yang telah dilakukan bangsa Indonesia, dan diakui
oleh banyak kalangan bahwa reformasi di Indonesia telah menghasilkan kemajuan di
bidang demokrasi, rakyat telah menikmati kebebasan. Namun perkembangan
demokrasi hanya membuahkan problema dilematik yaitu kebebasan yang melahirkan
tindakan anarkhisme. Kehidupan berbangsa dan bernegara semakin terkesan
menjauhkan bangsa dan negara dari orientasi filosofi Pancasila. Kehidupan berbangsa
semakin kehilangan dasar dan arah tujuannya.

Ketidakpastian di bidang hukum dan lemahnya moral penegak hukum, sistem politik
semakin menjauh dari etika politik yang bermartabat, menguatnya budaya korupsi.
Gejala societal terrorism muncul di mana-mana, pergolakan fisik, pembunuhan,
pembakaran, perampokan, dan tindakan sejenis anarkisme lainnya, kini masih
menjadi pemandangan umum. Perikehidupan menjadi semakin hambar, kejam dan
kasar, gersang dalam kemiskinan budaya dan spiritual.

Nasionalisme semakin luntur, primordialisme semakin menguat terutama dalam


pelaksanaan Otonomi Daerah. Bahkan banyak kalangan mengkhawatirkan sekarang
sedang berkembang “ethnonasionalism” “ethnocentrism” Paham pemikiran tersebut
dapat menumbuh suburkan semangat sparatisme. Fenomena seperti ini apabila tidak
diantisipasi dengan penguatan kerangka dasar kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat menimbulkan bahaya disintegrasi bangsa Indonesia. Fenomena tersebut
menggambarkan adanya suatu kerapuhan dalam pondasi dan pilar-pilar berbangsa
dan bernegara, pada esensinya menyangkut keberadaan NKRI.
Padahal jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, India dan
Slavik, ada sesuatu yang sangat khas dimiliki bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
tidak dipersatukan oleh sesuatu yang bersifat fisik atau kasat mata, seperti ras,
kesatuan wilayah geografis, budaya, bahasa atau agama. Dari segi ras, rakyat
Indonesia adalah keturunan dari berbagai ras yang berbeda. Dari segi kesatuan
wilayah geografis, wilayah yang didiami bangsa Indonesia berbentuk kepulauan. Dari
aspek budaya atau bahasa, ada ratusan budaya daerah dan bahasa tradisional di
seluruh Indonesia. Dari aspek agama, rakyat Indonesia memeluk banyak ragam
agama. Realitas seperti ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
plural berdimensi multikultural, namun mereka dapat hidup menyatu ke dalam sebuah
bangsa. Masyarakat bangsa Indonesia menyatu dalam suatu sistem filsafat hidupnya
yang dijadikan ”philosofiche groundslag” dan ”weltanchauung” dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kenyataan ini menunjukkan masyarakat bangsa Indonesia
sejak awal proses pembentukan bangsa sudah memiliki kesamaan cita-cita dan tekad
bersama untuk bersatu.

Bagaimanakah bangsa yang multikultural ini bisa menyatu dalam satu wadah, bisa
berjuang dan bertahan bersama sebagai suatu negara bangsa dengan identitas yang
tetap kokoh sampai hari ini, meski diterjang oleh berbagai kesulitan, konflik,
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan? Keadaan seperti ini sungguh
merupakan fenomena dan prestasi yang mengagumkan. Sementara bangsa-bangsa
multikultural lainnya terpecah belah di berbagai belahan dunia, mulai dari
semenanjung Balkan sampai Afrika, bangsa kita masih dapat terus bertahan dalam
identitas “Indonesia” di tengah keragaman identitas kultural.

Sebagai langkah antisipasi ke depan menghadapi tekanan arus globalisasi, bangsa


Indonesia perlu lebih dari sekedar bersikap optimis bahwa bangsa Indonesia dapat
bertahan terus sampai berabad-abad mendatang. Untuk itu masyarakat Indonesia
perlu selalu menggali dan mereaktualisasi nilai-nilai dasar apa yang mampu menjadi
penyangga atau pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga bangsa Indonesia
tetap eksis dalam wadah NKRI. Kajian filosofis tentang Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara hakikatnya adalah upaya kritis membuka kesadaran memori
kesejarahan masyarakat bangsa Indonesia, yaitu melalui eksplorasi esensial untuk
menggali azas-azas keberadaan (ontology), evidensi kebenaran (epistemology), dan
norma-norma imperatif (axiology) yang memberi arah – tujuan adanya Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara. Kajian filosofis ini dapat pula diartikan sebagai
langkah peneguhan, penegasan, dan pengokohan (corroboration)Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara R.I. Secara epistemologis, hasil kajian ini dapat
memperkuat validitas dan legitimasi kebenarannya.

Tumbuhnya ideologi seperti liberalisme, kapitalisme, marxisme, leninisme, naziisme,


dan fascisme, adalah bersumber dari aliran-aliran filsafat yang berkembang di Barat.
Pemikiran Karl Marx dan Engels dengan historis materialistik dan dialektik telah
mendorong perkembangan ideologi marxisme/leninisme/komunisme di negaranegara
sosialis komunis. Pemikiran Nietzche tentang Ubermensch (superman) dan Wille zur
Macht (kehendak untuk berkuasa) telah mendorong Hitler untuk mengembangkan
Naziisme yang militeristis (Kaelan,1996:41)

Perlu dikemukakan, bahwa di Barat terdapat aliran-aliran filsafat yang tidak berfungsi
mendorong tumbuhnya ideologi. Hal yang penting dari uraian di atas, bahwa suatu
ideologi umumnya bersumber kepada aliran filsafat, atau ideologi adalah
operasionalisasi sistem filsafat suatu bangsa. Begitu pula Ideologi Pancasila, adalah
operasionalisasi filsafat bangsa Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama, maingmasing menempati
kedudukannya sendiri tetapi keduanya dalam kesatuan fungsi dalam praktik
ketatanegaraan. Ideologi sebagai kerangka idealitas, dasar negara sebagai ke rangka
yuridis bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan untuk kelangsungan kehidupan
bangsa dan negara.

Kita semua paham apa arti dan peranan suatu ideologi dan dasar negara bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak perlu membahasnya secara
khusus di sini.Namun ketika kita berbicara tentang Ideologi dan dasar negara
Pancasila, fahamkah kita “ mengapa harus Pancasila?”Jawaban atas pertanyan ini
perlu pemikiran kritis dan mendalam mengenai Pancasila, yaitu mengungkap azas-
azas keberadaan, bukti evidensi kebenaran, dan norma-norma imperatifnya yang
dapat dijadikan arah pencapaian tujuan. Kita teringat ketika para pendiri negara
Indonesia (the founding fathers) mempersiapkan berdirinya negara Indonesia, mereka
memikirkan ”di atas dasar apa negara Indonesia merdeka berdiri”. Melalui perdebatan
yang kritis dalam forum sidang PPKI akhirnya ditetapkan Pancasila sebagai dasar
negara. Argumen filosofis yang menjadi landasan penetapan Pancasila dasar negara
adalah sebagai berikut.

Pendekatan ontologis, nilai-nilai Pancasila mengandung sifat intrinsik dan ekstrinsik.


Bersifat intrinsik, nilai-nilai Pancasila berwujud filsafati, keseluruhan nilai-nilai
dasarnya sistematis dan rasional. Berupa sistem pemikiran, yang dijadikan dasar bagi
manusia dalam mengkonsepsikan realitas alam semesta, sang pencipta, manusia,
makna kehidupan, masyarakat, bangsa dan negara. Bersifat ekstrinsik (praktis) karena
berupa pandangan hidup, di dalamnya mengandung sistem nilai, kebenaran yang
diyakini, merupakan kebulatan ajaran tentang berbagai bidang kehidupan masyarakat
bangsa Indonesia. Ajaran filsafat itu sedemikian kuat mempengaruhi alam pikiran
manusia Indonesia, berupa cara pandangnya mengenai arti hidup dan kehidupan
masyarakat dan negara. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, nilai-nilai Pancasila diyakini sebagai nilai dasar, dan puncak budaya
bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa. Sedemikian mendasar nilai-nilai tersebut dalam
menjiwai dan memberi watak bangsa Indonesia, maka sangat beralasan untuk
memberikan pengakuan terhadap kedudukan Pancasila sebagai filsafat bangsa
Indonesia (Iriyanto, 2009:9).

Landasan ontologis ini menjadi basis kekuatan hukum bagi kedudukan Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana dituangkan ke dalam
Pembukaan UUD. N.R.I.1945. alenia IV yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18
Agustus 1945. Implikasinya, UUD.N.R.I 1945 sebagai konsitusi negara Indonesia,
disamping menjadi dasar pembentukan negara Indonesia, juga memuat landasan
yuridis Pancasila sebagai norma dasar negara yang fundamental (staatsfundamental
norm) yang merupakan cita hukum (rechidee) NKRI.

Pendekatan epistemologis, memberikan dasar-dasar pemikiran bahwa dasar bagi


berdirinya suatu negara Indonesia merdeka haruslah digali dari dalam kebudayaan
dan peradaban bangsa Indonesia sendiri yang merupkan perwujudan nilai-nilai yang
dimiliki, diyakini kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa sejak awal
kelahirannnya (Kaelan, 2008:35). Pancasila sebelum disahkan sebagai dasar negara,
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah ada dalam adat istiadat dan
kebudayaan masyarakat bangsa Indonesia, misal dalam perwujudannya sebagai :
pandangan hidup, jatidiri, cara hidup, corak watak, falsafah hidup, Dengan
keseluruhan hal tersebut, nilai-nilai Pancasila sudah menyatu dengan kehidupan
bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia merupakan ”causa materialis” Pancasila.

Secara epistemologis, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara merupakan sebuah
kebenaran, dan keberadaannya melalui proses waktu dan jaman yang panjang. Dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia, perkembangan Pancasila mengalami pasang
surutnya. Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara. Dalam teori perkembangan dikenal adanya ragam pola
perkembangan, yaitu perkembangan yang menganut pola : (a) linier kontinyu, (b)
siklus sirkuler, (c) dialektik diskontinyu.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, perkembangan Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara melalui proses perkembangan yang menganut pola
dialektik diskontinyu. Pada tahap antitesis, Pancasila sebagai entitas kebenaran
berulang kali mengalami penyangkalan (falsifikasi) oleh sistem pemikiran baru.
Namun Pancasila mampu bertahan menghadapi semua penyangkalan selama ini,
Pancasila telah melampaui proses pengokohan (corroboration). Secara epistemologis,
kebenaran Pancasila sampai saat ini memiliki tingkat :testability, falsifiability, dan
refutability. Pancasila mampu bertahan menghadapi tes-tes empirik, mampu
menangkal disalahkan, mampu menghadapi penyangkalan. Sebagai ideologi dan
dasar negara, kebenarannya tetap diyakini oleh bangsa Indonesia, karena mampu
mengimbangi dinamika dan dialektika jaman Pendekatan aksiologis, memberikan
dasar-dasar pertimbangan normatif tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara. Undang Undang Dasar N.R.I. 1945 memuat landasan yuridis
Pancasila sebagai norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm), yang
merupakan cita hukum (rechtidee) Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pancasila
sebagai cita hukum, dijabarkan dan dirumuskan kedalam pasal-pasal batang tubuh
UUD. N.R.I 1945. Pancasila sebagai cita hukum membawa konsekuensi Pancasila
menjadi sumber tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum dalam sistem
ketatanegaraan R.I. Keseluruhan produk hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila harus dijadikan sumber orientasi bagi
pengembangan hukum di Indonesia.

Pancasila berisi nilai-nilai dan cita-cita yang digali dari bumi Indonesia sendiri,
artinya digali dan diambil dari kekayaan, rohani, moral dan budaya masyarakat dan
bangsa Indonesia. Di sini Pancasila dikenal sebagai Ideologi terbuka dalam arti
bahwa Pancasila sebagai Ideologi yang mampu mengikuti perkembangan jaman serta
dinamis, merupakan sistem pemikiran terbuka dan merupakan hasil konsensus
masyarakat itu sendiri, oleh karena itulah Pancasila juga merupakan dasar negara
yang sudah barang tentu harus terwujud dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila merupakan konsensus politik yang sangat menakjubkan, para
pendiri negara mampu menampung semua kepentingan yang ada kedalam ideologi
Pancasila, dan yang luar biasa adalah mengambil jalan tengah antara dua pilihan
ekstrim yakni negara sekuler dan negara agama. Dasar negara yang telah ditetapkan
itu merupakan pilihan yang sesuai dengan karakter bangsa, asli, yang akhirnya
menjadi negara yang berkarakter religius.

Betapa hebatnya para pendiri republik ini, betapa tidak, mereka telah memberi
landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multiethnik, multi agama, ribuan
pulau, dan kaya sumberdaya alam (yang menjadi daya tarik asing untuk campur
tangan). Pancasila adalah titik pertemuan atau nukthatul liqo yang lahir dari suatu
kesadaran bersama pada saat krisis. Kesadaran tersebut muncul dari kesediaan untuk
berkorban demi kepentingan yang lebih besar membentuk bangsa yang besar.
Pancasila adalah suatu konsensus dasar yang menjadi syarat utama terwujudnya
bangsa yang demokratis (As’ad Said Ali: 2009).

kanlah sesuatu yang tiba-tiba apalagi kebetulan, akan tetapi dari hasil pemikiran yang
mendalam dan tidak terlepas dari persiapan kemerdekaan yang dilakukan oleh
BPUPKI, dalam sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945
membahas rumusan dasar negara. Dengan demikian jelas bahwa BPUPKI dalam
sidang pertama tersebut membahas untuk menentukan dasar negara yang pada
akhirnya ditetapkanlah Pancasila, jadi Pancasila adalah jelas foundasi negara bukan
yang lain, bukan sekedar pilar tetapi merupakan dasar bangunan yang menentukan
bentuk dan wujud bangunan itu sendiri. Hal ini juga tampak jelas dari pidato Ketua
BPUPKI Dr Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat pada
pembukaan sidangdengan mengajukan pertanyaan kepada anggota yakni “Apa dasar
Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini “?

Pancasila sebagai Ideologi dan dasar Negara ini tidak akan diganti dan diubah selama
Negara Kesatuan Reublik Indonesia masih ada. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua
Mahkanah Konstitusi Arief Hidayat yang menyatakan Pancasila tidak dapat diubah
karena merupakan kristalisasi dari jiwa bangsa Indonesia yang memiliki sifat religius,
kekeluargaan, gotong royong, dan toleran. Namun disisi lain di era reformasi
Pancasila dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa. Saat terjadi krisis yang
mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan, Pancasila dijadikan
kambing hitam. Menurut mereka hanya liberalisme dan kapitalisme yang terbukti
memenangkan pertarungan ideologi dunia bisa menyelamatkan Indonesia. Bahkan,
ada salah seorang tokoh yang terang-terangan menyatakan diri “Aku seorang
neoliberalis“. Sementera yang lain berani mengatakan, “tinggalkan Pancasila, ikutlah
neolib” (As’ad Said Ali: 2009).

Upaya untuk menyisihkan Pancasila masih terus berlanjut, Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) harus dibubarkan dengan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU30.AH.0108 Tahun 2017, sebagai pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. HTI dinilai aktivitasnya banyak yang bertentangan dengan Ideologi
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kompas, 2017). Dengan
kenyataan ini Pemerintah harus lebih waspada terhadap organisasi kemasyarakatan
maupun perorangan yang melakukan aktivitas-aktivitas yang secara langsung maupun
tidak langsung dapat merongrong kewibawaan Pancasila. Demikian pula penanaman
terhadap nilai-nilai Pancasila terhadap Bangsa Indonesia harus dimulai sejak dini dan
melalui segala bidang.

Hakekatnya fungsi Pancasila tidak berubah dan bahkan tidak boleh berubah, yakni
tetap sebagaimana digagas secara cerdas oleh pendiri negara pada saat itu, yaitu
sebagai dasar negara, sebagai ideologi nagara, maupun sebagai pandangan hidup
bangsa. Akan tetapi Pancasila sebagai Ideologi terbuka harus mampu menyesuaikan
perkembangan masyarakat yang terus melaju dalam perubahan, ini artinya bahwa
Pancasila perlu dikaji secara ilmiah dalam rangka aktualisasi. Sebagai dasar sekaligus
ideologi negara, maka Pancsila bagi bangsa Indonesia sudah tidak bisa ditawar.
Ditegaskan oleh M. Mahfud MD. bahwa Pancasila yang telah diumumkan di dalam
Pembukaan Undang Dasar 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa
indonesia. Pancasila sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia dengan berbagai
kepentingan yang semula mungkin saling bertentangan secara diametral (Anis
Ibrahim, 2010).

Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia bukanlah hasil dari olah fikir
perseorangan yang kemudian dinobatkan menjadi sebuah ideologi. Soekarno
mengatakan bahwa Pancasila digali dari bumi pertiwi, dan bumi Indonesia sendiri,
artinya bahwa Pancasila berisi nilainilai, moral dan budaya bangsa Indonesia yang
sudah ada sejak bangsa Indonesia ada dan bukan ideologi yang dipaksakan dari luar.
Nilai-nilai itupun tidak serta merta diberlakukan begitu saja, tetapi melalui sebuah
proses panjang yang terbuka dan demokratis yang pada akhirnya perbedaanperbedaan
yang ada dapat dikompromikan dalam sebuah kesepakatan bersama. Ini berarti
sebagai ideologi, Pancasila tidak bersifat tertutup melainkan menempatkan diri
sebagai ideologi terbuka.

Ideologi terbuka tidak hanya dapat dibenarkan, melainkan dibutuhkan. Oleh karena
itu ideologi terbuka adalah milik seluruh rakyat, sehingga masyarakat dapat
menemukan dirinya, kepribadiannya di dalam ideologi tersebut. Ideologi terbuka ini
berisi nilai-nilai dasar, dalam teori stuffen dari Hans Kelsen berada pada posisi yang
tertinggi sehingga isinya tidak operasional. Nilai-nilai itu baru dapat dioperasionalkan
ketika sudah dijabarkan dalam keputusan-keputusan yang sudah diberi bentuk berupa
konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang lainnya. Ideologi Pancasila yang
bersifat aktual, dinamis, antisipatif, dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Sebagai ideologi terbuka maka Pancasila memiliki dimensi
sebagai berikut:

a) Dimensi idealis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang
bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung
dalam lima sila: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan,
maka dimensi idealis Pancasila bersumber pada nilai-nilai filosofis yaitu
filsafat Pancasila. Oleh karena itu dalam setiap ideologi bersumber dari
pandangan hidup nilainilai filosofis (Poespowardoyo dalam Kaelan, 2016,
116).
b) Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam
Pembukaan UUD NKRI 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib
hukum Indonesia. Dalam pengertian ini maka Pembukaan yang di dalamnya
memuat Pancasila dalam alinea IV, berkedudukan sebagai ‘staat sfundamental
norm’, agar ideologi mampu dijabarkan ke dalam langkah operasioanal perlu
memiliki norma yang jelas (Poespowardoyo dalam Kaelan, 2016, 117).
c) Dimensi realistis, suatu ideologi harus mampu mencermnkan realitas yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat oleh karena itu Pancasila selain
memiliki dimensi nilai-nilai ideal normatif, maka Pancasila harus dijabar- kan
dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kaitannya bermasyarakat
maupun dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Dengan demikian
Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat ‘utopis’ yang hanya berisi
ideide yang mengawang, namun bersifat realistis artinya mampu dijabarkan
dalam kehidupan yang nyata dalam berbagai bidang (Kaelan, 2016, 117).

Tiga dimensi tersebut tidak terpisah satu sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan, artinya Pancasila tidak hanya merupakan sistem ide-ide
belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari, Pancasia juga bukan hanya
merupakan doktrin yang bersifat normatif, dan juga bukan hanya bersifat pragmatis
yang hanya menekankan segi praktis dan realistis belakatanpa idealisme yang
rasional, ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada dasarnya berisi nilai-nilai
dasar sila-sila Pancasila yang bersifat tetap, yang kemudian dijabarkan dan
dilaksanakan secara dinamis, terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman.
Pancasila juga senantiasa terbuka terhadp pengaruh budaya asing, akan tetapi nilai-
nilai dasar yang ada di dalamnya bersifat tetap. Dengan kata lain bahwa Pancasila
bisa menerima pengaruh budaya asing dengan prinsip substansi Pancasila yakni,
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan sosial bersifat tetap.
Akan tetapi persoalan ideologi ini masih tetap ada dan memerlukan perhatian
bersama. Survei yang dilakukan oleh Harian Kompas 1 Juni 2008 memberikan hasil
yang memperlihatkan pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot tajam,
48,4 persen responden berusia 17- 29 tahun tidak bisa menyebutkan sila-sila
Pancasila secara lengkap dan benar, 42,7 persen responden berusia 30-45 tahun salah
menyebut sila-sila Pancasila, dan responden 46 tahun keatas lebih parah yakni,
sebanyak 60,6 persen salah menyebut sila-sila Pancasila (As’ad Said Ali, 2009, 2).
Hasil-hasil survei tersebut tentu sangat memprihatinkan, penerimaan yang tinggi
terhadap Pancasila seperti tergambar dari hasil survei yang dilakukan oleh UIN
Jakarta maupun oleh LSI ternyata tidak dibarengi dengan pengetahuan yang baik
terhadap Pancasila itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi


Press, Jakarta.

Ali, As’ad Said, 2009. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Penerbit
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

Budiyono, Kabul, 2010, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Penerbit


Alfabeta, Bandung, 2016, Mukthie, Konstitusionalisme Demokrasi, Penerbit
In-Trans Publising, Malang.

Kaelan, 2016, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.

Latif, 2011, Yudi, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Syarbani, Syahrial, 2016, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Implementasi


Nilai-Nilai Karakter Bangsa), Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor,

Iriyanto Widisuseno, 2009, MPK dalamPerspektifFilosofis, Makalah Seminar


Nasional, UNS, Surakarta.

Iriyanto, Hand Out Perkuliahan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 2014.

Kaelan, 2008, Pendidikan Kewarganegaraan, Tiara Wacana, Yogyakarta.

You might also like