Professional Documents
Culture Documents
Zuhairini Rizqiyah
Zuhairini Rizqiyah
net/publication/346983292
CITATION READS
1 160
1 author:
Zuhairini Rizqiyah
National Central University
1 PUBLICATION 1 CITATION
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Zuhairini Rizqiyah on 14 December 2020.
SKRIPSI
Oleh:
ZUHAIRINI RIZQIYAH
NIM 13640003
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2018
OSILASI NEUTRINO MELALUI PENDEKATAN TEORI MEDAN
KUANTUM: KUANTISASI DAN KUANTISASI II
SKRIPSI
Diajukan kepada:
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
ZUHAIRINI RIZQIYAH
NIM. 13640003
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2018
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
SKRIPSI
Oleh:
ZuhairiniRizqiyah
NIM. 13640003
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui
Ketua Jurusan Fisika
iii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
Oleh:
Zuhairini Rizqiyah
NIM. 13640003
Mengesahkan,
Ketua Jurusan Fisika
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Zuhairini Rizqiyah
NIM. 13640003
v
MOTTO
Doing math and science hearty without brain, you will not burgeon.
Doing math and science with brain not hearty, you produce no thing.
Doing math and science hearty and brain, you can get what you want.
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
vii
KATA PENGANTAR
viii
9. Teman-teman angkatan 2013, khususnya Fisika A yang senantiasa memberi
semangat dan dukungan kepada penulis.
10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan
dukungan dalam penulisan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu, penulis mengharapkan segala kritik
dan saran yang bersifat membangun. Demikian yang dapat penulis sampaikan,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi orang lain.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
COVER ...……………………………………………………………………. i
HALAMAN JUDUL ...……………………………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………... iii
HALAMAN PENGESAHAN ...…………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………. v
MOTTO……………...………………….………………………………....... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………......... vii
KATA PENGANTAR……...……………………………………………….. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………........ x
DAFTAR TABEL………………………………………………………....... xii
ABSTRAK………………………………………………………………....... xiii
ABSTRACT….…...…………………………………………………...…….. xiv
………………………………امللخص.………………………………………….. xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………...……………. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………....... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………...………………………. 6
1.4 Batasan Masalah ………………………………..………………………... 6
1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………………...... 6
BAB II SEJARAH NEUTRINO
2.1Peluruhan Beta……………………………………………………………. 7
2.1.1 Pemancaran elektron dari nukleus ……………………………………. 8
2.1.1.1 Ukurannukleus ……………………………………………………. 8
2.1.1.2 Spin nukleusdanelektron …………………………………………. 10
2.1.1.3 Momenmagnetiknukleusdan elektron …………………………… 10
2.1.2 Hukum konservasi energi dan momentum linier tidak terpenuhi ……. 15
2.1.3 Tidak berlakunya hukum konservasi anguler instrinsik ……………… 16
2.2Penemuan Neutrino ………………………………………………………. 18
2.3GangguanParitas ………………………………………………………… 20
2.4Helisitas Neutrino dan Anti Neutrino ……………………………………. 23
2.5 Massa Neutrino …………………………………………………………... 24
2.6 Integrasi Neutrino dalam Islam…………………………………………… 26
BAB III OSILASI NEUTRINO DALAM TEORI MEDAN
KUANTUM:KUANTISASI I
3.1 FungsiGelombangFlavor Neutrino ………...…………………………... 34
3.2 ProbabilitasPerubahan Flavor ………………...…………………………. 45
3.3 Kekidalan Neutrino (Neutrino Left-Handness) …………………………... 50
BAB IV OSILASI NEUTRINO DALAM TEORI MEDAN
KUANTUM:KUANTISASI II
4.1 Propagator Bebas ………………………………………………………… 53
4.2 LagrangianArusLemahBermuatan ……………………………………... 56
4.3 NilaiKondisiTerlokalisasi ……………………………………………..... 59
4.4 AmplitudoTransisi ……………………………………………………..... 63
4.5PerumusanKuantisasi IIyangSederhana… ……………………………… 65
x
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………..... 72
5.2 Saran ……………………………………………………………………… 73
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL
xii
ABSTRAK
Rizqiyah, Zuhairini. 2018. Studi Osilasi Neutrino Melalui Pendekatan Teori Medan
Kuantum: Kuantisasi I dan Kuantisasi II. Skripsi. Jurusan Fisika, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pembimbing: (I) Erika Rani, M.Si (II) Umaiyatus Syarifah, M.A
xiii
ABSTRACT
xiv
الملخص
رزقية ،زهيرني.2018 .دراسة التذبذب النيوترينو من خالل منهج نظرية الحقل الكمومي :تكميم األول وتكميم
الثانى .البحث الجامعى .قسم الفيزياء ،كلية العلوم والتكنولوجيا في جامعة اإلسالمية الحكومية موالنا مالك إبراهيم
ماالنج .المشرفة) إريكا راني ،الماجستيرة(II) ،عمية الشريفة ،الماجستير
الكلمات الرئيسية:التذبذب نكهة النيوترينو ،نظرية الحقل الكمومي،تكميم
النيوترينو هو الفرميون بنصف تدور و بدون المشحونة .الدراسة نيوترينو مثيرة لالهتمام ألنه حتى اآلن لم يتم
الكشف عن تجربة عملية التذبذب نكهة النيوترينو .ألن ذلك ،فإن احتمال التغييرنكهة نيوترينو اإللكترونيةمن
المصدر هو الشمس تحسب للحصولمعادلةاحتمال التغييرات نكهة النيوترينو بشكل مناسب .في هذه الدراسة تفحص
التغييرات النكهةالنيوترينو اإللكترونية إلىنكهة النيوترينو آخر بخالل النظر إلحتمالية التغيير النكهة من خالل نهج
نظرية الحقل الكمومي :تكميم األول وتكميم الثانى .والنتيجة ،في تكميم األول احتمال التذبذب النكهة
الني وترينومننشاط النيوترينواليعقيمةالنيوترينو ،من عقيمة النيوترينو إلى عقيمة النيوترينو ،ومن نشاط النيوترينو الي
نشاط النيوترينو بوجود التداخل بين الطاقة اإليجابية و الطاقة السلبيةالنيوترينو ،في حين فيالتكميم ،IIاحتمال
التذبذب نكهةالنيوترينوال تنطوي التداخل الطاقة اإليجابية و الطاقة السلبية بحيث ذلكفي تكميم الثاني هناك احتمال
التغير نكهة النيوترينو عن الطاقة اإليجابية والطاقة السلبية.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Partikel elementer secara umum dibagi berdasarkan nilai spin atau berdasarkan
interaksi yang mempengaruhi. Berdasarkan spinnya, partikel dibagi menjadi dua
yaitu partikel dasar boson dan partikel dasar fermion. Partikel dasar fermion
memiliki spin setengah bilangan bulat, sedangkan boson memiliki spin bulat. Pada
spin setengah bilangan bulat, fermion dibagi menjadi dua, yaitu lepton dan quark.
Keluarga lepton terdiri dari elekron, muon, pion, tau, dan neutrino.
Neutrino adalah partikel dasar fermion yang mempunyai spin setengah bulat
dan bermassa sangat kecil serta memiliki kecepatan hampir mendekati kecepatan
cahaya. Neutrino hanya dapat berinteraksi lemah dan interaksi gravitasi. Interaksi
lemah mempengaruhi neutrino menjadi 3 flavor lepton: neutrino elektron, neutrino
muon, dan neutrino tau. Masing-masing flavor tersebut memiliki anti partikel yang
disebut anti neutrino. Perbedaan neutrino dan anti neutrino terletak pada nomor
lepton dan kiralitas yang nilainya berlawanan. Menurut Herlik (2009), Neutrino
memiliki kiralitas left-handed dan anti neutrino memiliki kiralitas right-handed.
Karena neutrino dan anti neutrino hanya memiliki satu kiralitas saja, maka massa
diamnya sangat kecil dan hampir mendekati nol. Penjumlahan massa dari 3 jenis
neutrino masih lebih kecil daripada nilai massa dari satu persejuta elektron.
Massa neutrino dapat menggolongkan neutrino menjadi partikel Dirac dan
partikel Majorana. Neutrino yang tergolong fermion dan partikel bermuatan
menunjukkan neutrino termasuk partikel Dirac. Menurut wijaya (2007), jika right-
handed pada neutrino dibangkitkan, maka akan terdapat suku massa Dirac yang
memperlihatkan bahwa neutrino ter-couple dengan anti partikelnya mengekalkan
bilangan lepton. Selain termasuk partikel Dirac, neutrino merupakan partikel tidak
bermuatan yang artinya jika dilakukan transformasi muatan pada keadaan neutrino,
maka keadaan itu tidak akan berubah. Hal ini menyebabkan neutrino termasuk
1
2
Kasus perubahan osilasi flavor neutrino saat ini menarik untuk diteliti, salah
satunya mengunakan pendekatan Teori Medan Kuantum (TMK). TMK merupakan
kerangka kerja teori untuk mengkontruksi model mekanika kuantum dari partikel
sub atom pada fisika partikel dan partikel quasi pada condensed matter physics.
Interaksi mekanika kuantum diantara partikel-partikel dideskripsikan oleh bentuk
interaksi diantara medan-medan kuantum. Interaksi-interaksi pada TMK
digambarkan oleh diagram Feynman. Pada TMK juga membahas kuantisasi
pertama dan kuantisasi kedua. Kuantisasi pertama mempelajari sistem tunggal
mekanika kuantum, sedangkan kuantisasi kedua itu merupakan formalisme
yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa sistem-sistem tunggal
mekanika kuantum. Pada kuantisasi kedua, sistem-sistem mekanika kuantum yang
direpresentasikan dalam basis keadaan Fock yang itu dikontruksikan oleh keadaan
partikel tunggal dengan nomor kuantum tertentu dari partikel yang sama. Sebuah
formalisme kuantisasi kedua memperkenalkan operator kreasi dan anihilasi pada
partikel untuk mengkonstruksi dan menangani keadaan-keadaan fock dari partikel
tersebut.
Osilasi flavor pada neutrino menggunakan pendekatan TMK membentuk
dua kasus, yaitu kuantisasi pertama dan kuantisasi kedua. Pada kasus kuantisasi
pertama, osilasi flavor fermion Dirac mendeskripsikan perubahan flavor dengan
memformulasikan perubahan-perubahan yang lain (khusus untuk partikel dengan
keadaan positif), seperti perubahan bentuk Hamiltonian, probabilitas, massa,
momentum, dan posisi. Pada kasus kuantisasi kedua membahas dan selanjutnya
menganalisa perjalanan partikel dengan keadaan positif dan negatif (neutrino dan
anti neutrino) dari proses anihilasi, kreasi, deteksi, dan propagasi; mendeskripsikan
osilasi flavor. Tetapi dalam hal ini terdapat masalah (neutrino dan anti neutrino
mempunyai satu kiralitas saja). Untuk memecahkan masalah tersebut, neutrino
dibutuhkan sebuah pembangkitan kiralitas right-handed dan anti neutrino
4
Dalam sebuah jurnal dengan sebuah judul yaitu Mixing and oscillations of
neutral particles in Quantum Field Theory, studi yang tepat untuk mempelajari
partikel netral dengan menggunakan pendekatan TMK. Pada TMK, partikel netral
diperlakukan dalam kasus bauran dua generasi. Jurnal tersebut menjabarkan sebuah
ortogonalitas dari representasi flavor dan massa dan menampilkan bagaimana cara
untuk menghitung osilasi (Blasone dan Palmer, 2003).
Osilasi neutrino pada penelitian Nishi diperlakukan dari sudut pandang teori
kuantisasi pertama dan dibandingkan dengan perlakuan kuantisasi kedua. Pada
kuantisasi pertama, probabilitas secara umum dapat ditemukan untuk fermion Dirac
dan boson spin 0. Sifat kekidalan sebuah neutrino dari kreasi dan deteksi itu da-
pat diimplementasikan dalam teori Dirac kuantisasi pertama dalam bauran. Pada
teori kuantisasi kadua sebuah perhitungan propagasi neutrino virtual dimana neu-
trino dan anti neutrino juga berkontribusi sebagai partikel intermediet. Efek baru
yang muncul dalam konteks penelitian Nishi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya
gangguan kecil dari flavor awal neutrino. Probabilitas yang hilang tersebut dalam
kaitan dengan perubahan neutrino left-handed menjadi neutrino right-handed juga
dihadirkan (Nishi, 2006).
Penelitian ini termotivasi dari penelitian Nishi mengenai beberapa osilasi
flavor neutrino. Kasus osilasi neutrino yang dipelajari melalui pendekatan TMK
yaitu kuantisasi pertama dan kuantisasi kedua. Oleh karena itu, bab dua akan
membahas tentang sejarah neutrino dari kasus peluruhan beta itu hingga massa
neutrino. Kemudian bab tiga akan mendeskripsikan probabilitas osilasi neutrino
1
spin 2
pada kuantisasi pertama dan juga menjabarkan sifat kekidalan neutrino yang
1
alami. Setelah itu bab 4 akan membahas probabilitas osilasi neutrino spin 2
pada
kuantisasi kedua dan menjabarkan proses kreasi dan deteksi neutrino dalam bentuk
amplitudo transisi.
6
Penelitian ini hanya mengkaji secara teoritik kuantisasi I dan kuantisasi II pada
neutrino dan dengan menggunakan pendekatan Teori Medan Kuantum.
Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi
kajian lebih lanjut dan mengenai hamburan neutrino dalam menjelaskan fenomena
probabilitas perubahan neutrino dua generasi.
BAB II
SEJARAH NEUTRINO
Dalam fisika modern, nukleus dikatakan stabil apabila memiliki jumlah neutron
sama dengan jumlah proton, sedangkan nukleus yang tidak stabil terjadi apabila
jumlah proton lebih sedikit dari jumlah neutron atau sebaliknya. Jika jumlah
neutron lebih banyak, maka nukleus akan memancarkan sebuah elektron, tetapi
jika jumlah proton lebih banyak, maka nukleus akan menangkap elektron atau
memancarkan sebuah positron (Kenneth, 2008)
Selain itu, peluruhan beta tidak hanya terjadi pada inti atom yang tidak stabil.
Tetapi, ini dapat terjadi di ruang bebas seperti pada partikel neutron bebas. Neutron
bebas dapat meluruh karena neutron lebih masif daripada proton. Sehingga, sebuah
proton tidak dapat meluruh di ruang bebas. Oleh karena itu, proton dapat meluruh
hanya di dalam nukleus (Paul dan Ralph, 2008).
Selama proses transformasi nukleus, terdapat beberapa kejadian yang tidak
normal. Pertama adalah pemancaran elektron dari nukleus. Kedua adalah tidak
terpenuhinya hukum konservasi energi dan momentum linier. Ketiga adalah tidak
berlakunya hukum konservasi momentum anguler. Keempat adalah gangguan pari-
tas dalam interaksi lemah (Paul dan Ralph, 2008)
7
8
Nukleus terdiri dari proton dan neutron. Nukleus yang tidak stabil akan
meluruh dan memancarkan elektron. Tetapi, elektron yang dipancarkan bukanlah
elektron yang terdapat di kulit atom. Karena, elektron bukan merupakan partikel
penyusun nukleus (Paul dan Ralph, 2008).
Sementara itu, setiap partikel mempunyai keadaan ketidakpastian posisi,
momentum, kecepatan, dan lainnya. Elektron yang dipancarkan merupakan salah
satu partikel elementer yang berasal dari keluarga lepton, sehingga elektron
mempunyai ketidakpastian posisi dan momentum. Besar ketidakpastian posisi elek-
tron sama dengan besar jari-jari nukleus (5x10−15 m ) yang memancarkan elektron.
Oleh karena itu, dari rumus ketidakpastian Heisenberg didapatkan (Paul dan Ralph,
2008):
×
∆x∆p ≥
4π
6, 62x10−34 m 2 kg /s
5x10−15 m∆p ≥
4pi
1, 054x10−34 m 2 kg /s
∆p ≥
2x5x10−15 m
∆p ≥ 1, 054x10−20 kg m/s. (2.2)
∆p = m e ∆v, (2.3)
∆p ≥ 1, 054x10−20 kg m/s
m e ∆v ≥ 1, 054x10−20 kg m/s
Ek ≥ ∆pc
Ek ≥ 1, 054x10−20 kg m/sx3x108
Ek ≥ 3, 162x10−12 J
adalah besar energi kinetik minimal elektron untuk dapat tinggal di dalam nukleus.
10
Pada dasarnya, atom terdiri dari inti atom yaitu proton dan neutron dan kulit
yang mengelilingi inti yaitu elektron. Proton, neutron, dan elektron adalah partikel
elementer yang mempunyai spin 12 . Sehubungan dengan itu, jika inti atom terdiri
dari proton dan elektron, maka inti atom mempunyai spin bulat (jika jumlah proton
1 3
dan elektron adalah genap) dan mempunyai spin 2 atau 2 (jika jumlah proton dan
elektron adalah ganjil). Tetapi, aturan ini dilarang, sebagai contoh, sebuah nukleus
deuterium (21 H ) terdiri dari 2 proton dan satu elektron. Apabila spin dijumlahkan,
maka penjumlahan itu akan menghasilkan (Beiser, 2003):
1× 1× 3×
Spi n 12 H = 2( )+ = , (2.6)
2 2 2
Selain kedua alasan tersebut, alasan lain mengapa elektron tidak terdapat di inti,
yaitu karena besar momen magnetiknya. Sebagai contoh, sebuah nukleus deuterium
mempunyai inti terdiri dari 2 proton dan mempunyai massa sebesar 3, 34364x10−27 .
Oleh karena itu, besar momen magnetiknya (Walter, 1989):
e×
µD =
2m D
11
dan besar momen magnetik 2 proton dengan massa proton sebesar 2x1, 672x10−27
adalah (Walter, 1989):
e×
µp =
2x2m p
1, 6x10−19 x1, 0547x10−34C J s
= 2x
2x2x1, 672x10−27
= 2, 523x10−27 J /T. (2.9)
Selain proton, di deuterium juga terdapat elektron, sehingga besar momen magnetik
elektron dengan massa elektron sebesar 9, 1x10−31 adalah (Walter, 1989):
e×
µe =
2m e
1, 6x10−19 x1, 0547x10−34C J s
=
2x9, 1x10−31
= 9, 273x10−24 J /T. (2.10)
µD 2, 52x10−27
=
µe 9, 273x10−24
= 2, 72x10−4
µD 2, 52x10−27
=
µe 2, 523x10−27
= 0, 9988
Dari kedua hasil diatas menunjukkan bahwa di nukleus tidak terdapat elektron.
Alasannya adalah momen magnetik deuterium yaitu 0,00272 persen dari momen
magnetik elektron, sedangkan besar momen magnetik deuterium yaitu sama
dengan besar momen magnetik proton. Sehingga, yang terdapat pada inti atom
yaitu proton bukan elektron (Walter, 1989).
Di alam semesta terdapat banyak sekali atom yang melimpah dan bebas.
Atom yang tidak stabil akan meluruh secara spontan dengan cara yang bervariasi,
antara lain: isobar merupakan atom dengan kelebihan neutron medapatkan energi
dengan cara mengubah neutron menjadi proton, sebaliknya, atom yang kelebihan
proton akan mengubah proton menjadi neutron. Dari kedua peluruhan tersebut
adalah contoh dari peluruhan beta (Walter, 1989).
Partikel yang mengalami peluruhan beta pada awalnya adalah partikel tunggal
yang meluruh menjadi dua partikel yang dikenal dengan sebutan two-body decays.
Sehubungan dengan hal itu, sistem dalam peluruhan beta mempunyai momentum
awal (Walter, 1989):
p i = 0, (2.13)
Dalam hukum kekekalan momentum besar momentum awal sama dengan besar
momentum akhir, sehingga berlaku persamaan (Walter, 1989):
pi = pf
0 = p~1 + p~2
Selain momentum, partikel memiliki energi awal yang merupakan energi potensial
partikel sebelum meluruh (Walter, 1989):
E i = E p = Mc 2 , (2.16)
dan partikel itu meluruh menjadi dua partikel. Sehingga, terdapat besar energi akhir
yaitu penjumlahan energi antara partikel 1 dan partikel 2. Masing-masing partikel
mempunyai energi potensial dan energi kinetik, sehingga energi tersebut dapat
dirumuskan (Walter, 1989):
Ef = E1 + E2
1 1
Ef = (m 12 c 4 + p 12 c 2 ) 2 + (m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2 , (2.17)
Ei = E f . (2.18)
Ei = Ef
14
1 1
Mc 2 = (m 12 c 4 + p 12 c 2 ) 2 + (m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2
1 1
Mc 2 = (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 + (m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2
1 1
Mc 2 − (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 = (m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2 . (2.19)
Setelah itu, kedua ruas dikuadratkan untuk menghilangkan akar dan menghasilkan
(Walter, 1989):
1 1
(Mc 2 − (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 )2 = ((m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2 )2
1
M 2 c 4 − 2Mc 2 (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 + (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) = (m 22 c 4 + p 22 c 2 )
1
M 2 c 4 − 2Mc 2 (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 = −(m 12 − m 22 )c 4 + p 22 c 2 − p 22 c 2
1
M 2 c 4 + (m 12 − m 22 )c 4 = 2Mc 2 (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 . (2.20)
Persamaan (2.20) dikuadratkan kembali untuk menghilangkan akar pada ruas kanan
dan mendapatkan momentum sebesar (Walter, 1989):
1
(M 2 c 4 + (m 12 − m 22 )c 4 )2 = (2Mc 2 (m 12 c 4 + p 22 c 2 ) 2 )2
M 4 c 8 + 2M 2 c 4 (m 12 − m 22 )c 4 + (m 12 − m 22 )2 c 8 = 4M 2 c 4 (m 12 c 4 + p 22 c 2 )
M 4 c 8 + 2M 2 c 4 (m 12 − m 22 )c 4 + (m 12 − m 22 )2 c 8
= (m 12 c 4 + p 22 c 2 )
4M 2 c 4
M 2c 4 (m 1 − m 22 )c 4
2
(m 12 − m 22 )2 c 4
+ + 2
= m 12 c 4 + p 22 c 2
4 2 4M
M 2 c 4 (m 12 − m 22 )c 4 (m 12 − m 22 )2 c 2
+ + − m 12 c 4 = p 22 c 2
4 2 4M 2
M 2 c 2 (m 12 + m 22 )c 2 (m 12 − m 22 )2 c 2
− + = p 22 . (2.21)
4 2 4M 2
1
E 2 = (m 22 c 4 + p 22 c 2 ) 2
15
M c 2 2 (m 12 + m 22 )c 2 (m 12 − m 22 )2 c 2 2 1
= (m 22 c 4 + ( − + )c ) 2
4 2 4M 2
4m 22 M 2 c 4 + M 4 c 4 − 2M 2 (m 12 + m 22 )c 4 + (m 12 − m 22 )2 c 4 1
= ( )2
4M 2
4 2
M − 2M (m 12 − m 22 ) + (m 12 − m 22 )2 1 2
= ( )2 c
4M 2
(M 2 − (m 12 − m 22 ))c 2
=
2M
Mc 2 (m 12 − m 22 )
= − c 2, (2.22)
2 2M
1
E 1 = (m 12 c 4 + p 12 c 2 2 )
M 2 c 2 (m 12 + m 22 )c 2 (m 12 − m 22 )2 c 2 2 1
= (m 12 c 4 + ( − + )c ) 2
4 2 4M 2
4m 12 M 2 c 4 + M 4 c 4 − 2M 2 (m 12 + m 22 )c 4 + (m 12 − m 22 )2 c 4 1
= ( )2
4M 2
M 4 − 2M 2 (m 22 − m 12 ) + (m 12 − m 22 )2 1
= ( ) 2 c2
4M 2
Mc 2 (m 22 − m 12 ) 2
= − c . (2.23)
2 2M
dijumlahkan energi proton dan elektron yaitu sebesar 938,28 + 0,511 MeV. Selisih
energi antara energi awal dan akhir yaitu 0.78 MeV yang belum terdeteksi
kegunaannya (Paul dan Ralph, 2008).
Tidak hanya berhenti pada dua anomali pada peluruhan beta, tetapi disini
terdapat anomali lainnya yaitu tidak berlakunya hukum konservasi momentum
anguler intrinsik. Bentuk momentum anguler intrinsik yang dibawa oleh partikel
elementer, partikel komposit, dan inti atom disebut spin. Spin merupakan fenom-
ena pertama yang muncul di mekanika kuantum dan tidak mempunyai penjelasan
di fisika klasik. Partikel elementer pertama yang terdeteksi spinnya adalah spin
elektron pada eksperimen Stern-Gerlach yang mendemonstrasikan orientasi ruang
momentum anguler yang terkuantisasi oleh atom perak (Bilenky, 2012).
Pada hakekatnya, setiap partikel mempunyai spin yang berbeda-beda dan
tergantung jenis dari partikelnya. Partikel fermion berspin setengah bilangan
bulat dan bisa jadi itu 12 , 32 , dan sebagainya. Sementara itu, jenis partikel lain yaitu
partikel boson memiliki spin bilangan bulat seperti 0, 1, 2, dan sebagainya. Selain
partikel elementer, partikel komposit seperti hadron yang terdiri dari meson dan
baryon juga mempunyai spin, sebagai contoh, partikel neutron yang terdiri dari par-
tikel up, down, down dan partikel proton yang terdiri dari up, up, down mempunyai
spin setengah bilangan bulat (Lesov, 2009).
Dalam konteks ini partikel neutron meluruh dan menjadi dua partikel, yaitu,
proton dan elektron pada peluruhan beta. Bentuk reaksi tersebut adalah (Guinti,
2007):
1
0n →11 p +0− 1 e (2.24)
×
Spin partikel neutron yang meluruh adalah 2
dan spin hasil dari peluruhan yaitu
17
1 (jika spin proton dan elektron sejajar) dan bernilai 0 (jika proton dan elektron
berlawanan). Karena, spin sebelum peluruhan tidak sama dengan spin setelah
peluruhan. Oleh karena itu, pada kasus ini terjadi pelanggaran hukum kekekalan
momentum sudut intrinsik (spin) (Guinti, 2007).
Pelanggaran spin tidak hanya terjadi pada partikel neutron saja, tetapi juga
terjadi pada reaksi peluruhan beta lainnya. Sebagai contoh, peluruhan positron dan
penangkapan elektron. Reaksi itu adalah (Walter, 1989):
1
1p →10 n + e + (2.25)
1 0
1 p +− 1 e ←10 n. (2.26)
×
Pada reaksi pertama, spin partikel proton adalah 2 dan spin hasil peluruhan adalah 1
jika sejajar atau 0 jika berlawanan. Pada reaksi kedua, rekasi penangkapan elektron
1
mempunyai spin 1 atau 0, tetapi spin hasil peluruhan yaitu 2
(Walter, 1989).
Berkaitan dengan masalah pada peluruhan beta, Pauli memberikan solusi
untuk memecahkan permasalahan tersebut. Antara lain dengan menggagas adanya
partikel lain ikut terpancar pada peluruhan beta. Pauli menyebut partikel itu dengan
neutron (saat ini disebut neutrino). Neutron yang dipancarkan kemungkinan belum
terdeteksi dan memiliki karakterstik (Raymond, 2005):
1. Tidak bermuatan.
1
3. Berspin 2
Dengan demikian, reaksi baru pada peluruhan beta setelah kehadiran neutron
18
1
0n →11 p +0− 1 e + ν̄ (2.27)
1
1p →10 n + e + + ν (2.28)
1 0
1 p +− 1 e →10 n + ν. (2.29)
×
Dari reaksi tersebut, ν adalah neutron(saat ini disebut neutrino) dengan spin 2
dan
ν̄ adalah anti neutron (saat ini disebut anti neutrino) dengan spin − ×2 (Walter, 1989).
Nama neutrino berawal dari E. Fermi pada peluruhan beta dengan partikel
"neutron" yang digagas oleh Pauli. "Neutron" Pauli sama dengan partikel neutron
yang mengisi inti atom dengan massa yang hampir sama dengan massa proton.
Untuk membedakan antara dua partikel tersebut, E. Fermi menamakan "neutron"
Pauli dengan neutrino itu. Neutrino berasal dari kata neutron (karena muatannya
netral) dan ino (ino dalam bahasa Itali berarti massa diam kecil). Dengan kehadiran
neutrino, anomali dalam peluruhan beta dapat diselesaikan (Bilenky, 2002).
Eksperimen pertama untuk mendeteksi neutrino dilakukan oleh F. Reines.
Dalam sebuah eksperimen di reaktor nuklir Hanford, neutrino itu yang diketahui
berasal dari peluruhan beta invers. Reaksi itu yang digunakan untuk mendeteksi
neutrino adalah proses peluruhan beta invers (Reines, 1994):
νe + p → n + e + . (2.30)
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1956 cross-section invers beta dihitung.
Dalam eksperimen ini, sebuah anti neutrino dari produk fisi dalam reaktor produksi
terjadi pada target air dalam C dC l 2 yang telah dihancurkan. Peristiwa anti neutrino
19
elektron memproduksi sebuah positron dan sebuah neutron. Neutron melambat dan
teranihilasi kemudian memproduksi 0.5 MeV sinar gamma. Selanjutnya, neutron
dihaluskan oleh air dan ditangkap oleh cadmium yang memproduksi sinar gamma.
Pada tahun berikutnya, batas atas pada momen magnetik neutrino ditentukan di
reaktor nuklir sungai Savannah (Reines, 1994).
Setelah mendeteksi neutrino dan anti neutrino elektron, B. Potencorvo
memperkirakan terdapat probabilitas eksperimen neutrino pada faktor meson dan
akselerator energi tinggi. Masalah pertama yang dapat diselesaikan dalam sebuah
eksperimen adalah masalah keberadaan 2 tipe neutrino (elektron dan muon). Dari
waktu penyelidikan peluruhan muon, B. Potencorvo mengetahui bahwa neutrino
yang diproduksi pada peluruhan muon dapat berbeda (dengan perbedaan nama:
neutrino dan neutrotto). Bentuk reaksi dari peluruhan muon dan pion (Paolo, 2001):
π+ → µ+ + νµ
µ+ → e + + νe + ν̄µ . (2.31)
Tiga tahun kemudian, neutrino yang diproduksi pada atmosfir bumi sebagai hasil
peluruhan sinar kosmik yang menginduksi pion dan kaon ditemukan di kedalaman
gold mine Afrika utara (Paolo, 2001)
Bukti neutrino yang diproduksi di atmosfir bumi oleh peluruhan
sinar kosmik didukung oleh yaitu eksperimen neutrino Brookhaven. Eksperimen
ini merupakan eksperimen pertama dengan neutrino energi tinggi yang berasal dari
peluruhan pion, kaon, dan muon yang setiap partikel diproduksi di akselerator.
Berkas muon positif dalam eksperimen itu didapatkan dengan pengeboman target
B e oleh proton dengan energi sebesar 15 GeV. Helisitas neutrino sama dengan -
1. Jika massa positron diabaikan, helisitas positron sama dengan +1 (sama den-
gan helisitas anti neutrino pada kasus ini). Proyeksi total momentum anguler pada
20
momentum neutrino akan sama dengan -1. Berkas neutrino pada eksperimen ini
adalah berkas neutrino muon murni. Neutrino yang dipancarkan dalam peluruhan
pion plus, memproduksi muon negatif dalam proses (Bilenky, 2012):
νµ + N → µ− + X (2.32)
Jika neutrino muon dan neutrino elektron adalah partikel yang sama, maka neutrino
dalam peluruhan (2.32) seharusnya memproduksi elektron dalam reaksi (Bilenky,
2012):
νµ + N → e − + X (2.33)
Sebelum tahun 1956 sebuah paritas bersifat kekal dalam setiap proses inter-
aksi termasuk dalam interaksi lemah. Paritas akan kekal pada proses interaksi kuat
(hadron) dan elektromagnetik saja. Kekekalan Paritas akan terjadi jika invariansi
pada invers ruang dari sistem left-handed ke sistem right-handed (Bilenky, 2012).
Permasalahan paritas dimulai dari penemuan gangguan Paritas tahun 1956
tentang teka-teki θ − τ. Ilmuwan Lee dan Yang menemukan solusi untuk masalah
θ − τ dan membuat hipotesis tentang paritas yang tidak kekal. Hal itu terjadi karena
terdapat bukti eksperimen bahwa paritas bersifat kekal hanya pada interaksi kuat
dan interaksi elektromagnetik saja, tetapi bukti eksperimen pada proses interaksi
lemah dan peluruhan beta tidak ada (Lesov, 2009).
Hasil peluruhan yang telah diamati pada peluruhan beta yaitu (Lesov, 2009):
θ + → π+ + π0 (2.34)
τ+ → π+ + π + + π− (2.35)
21
θ+ τ+
Massa (MeV) 966,7 ± 2,0 966,3 ± 2,1
Waktu Hidup(x108 d et i k ) 1,21 ± 0,02 1,19 ± 0,05
Dalam sebuah kasus peluruhan θ , momentum anguler orbital dari dua pion harus
sama dengan 0 jika momentum anguler total kekal. Kontribusi ruang untuk paritas
adalah (Lesov, 2009):
sedangkan pada kasus peluruhan τ, keadaan menjadi lebih rumit karena momentum
anguler orbital mempunyai dua komponen: pertama momentum anguler antara dua
pion positif, dan kedua momentum anguler pion negatif. Jika momentum pada
persamaan (2.34) dijumlahkan harus sama dengan 0 untuk memenuhi kekekalan
momentum anguler total dan paritas akhir menghasilkan (Lesov, 2009):
Kedua partikel tersebut adalah partikel yang identik dan mempunyai waktu hidup
dan massa yang hampir sama tetapi mempunyai paritas yang berbeda (Lesov, 2009).
22
pseudoskalar tidak sama dengan nol dan refleksi simetri terganggu. Hasil refleksi
menunjukkan arah momentum elektron membentuk sudut (π − α) dan arah spin
kobalt tetap mengarah ke sumbu z positif. Reaksi tersebut adalah (Lesov, 2009):
C o 60 → N i 60 + e − + ν̄e (2.38)
P i 0 = +P i . (2.40)
Dari persamaan tersebut, invers vektor momentum tidak mengubah posisinya dalam
sebuah ruang refleksi ketika polarisasi mengubah arahnya ke arah yang berlawanan,
sedangkan invers spin kobalt berubah arahnya dalam ruang ketika polarisasi men-
gubah arahnya ke arah berlawanan. Hal itu terjadi karena momentum, koordinat,
dan medan listrik termasuk dalam kategori vektor, sedangkan momentum anguler,
polarisasi, dan medan magnetik termasuk dalam kategori pseudovektor (Bilenky,
2012).
23
Neutrino dan anti neutrino mempunyai helisitas yang tidak dapat diukur
langsung karena tidak dapat dipengaruhi oleh medan magnet. Hal ini terjadi ke-
mungkinan terdapat tolakan pada spin dan momentum neutrino terhadap spin dan
momentum nukleus hasil peluruhan. M. Goldhaber, L. Grodzins, dan A. Sunyar
152
berhasil melakukan eksperimen ini. Eksperimen ini mengamati peluruhan Eu
menjadi 152 Sm dimana nukleus menangkap elektron dari kulit K dan memancarkan
neutrino (Walter, 1989):
152 −
6 3 Eu(0 ) + e
−
→1 52 Sm ∗ (1− ) + ν, (2.41)
152
Sm ∗ (1− ) →1 52 Sm(0+ ) + γ. (2.42)
152 −
6 3 Eu(0 ) + e
−
→1 52 Sm(0+ ) + ν + γ. (2.43)
Neutrino dikatakan tak bermassa dalam kurun waktu yang lama. Sudarshan,
Marshak, Feynman dan Gell-Mann membangun teori V-A secara sukses dengan ke-
hadiran neutrino tak bermassa. Selain itu, transformasi γ5 invarian terhadap medan
fermion tak bermassa salah satunya neutrino. Neutrino dikatakan tak bermassa
karena belum ada bukti yang menunjukkan neutrino bermassa (Mahopatra, 2002).
Dalam model standar, partikel bermassa mempunyai dua kiralitas, yaitu
kiralitas left-handed dan right-handed. Di alam semesta terdapat pertikel elementer
yang mempunyai satu kiralitas saja, yaitu partikel neutrino. Neutrino dikatakan tak
bermassa dalam model standar karena terdiri dari kiralitas left-handed saja. Oleh
karena itu, dalam model standar neutrino juga tidak diperkenankan terjadi bauran
massa dan osilasi neutrino tidak dapat terjadi. Sementara itu, osilasi dapat terjadi
apabila tedapat bauran massa dan probabilitas transisi dari satu generasi ke generasi
25
Dalam eksperimen tritium itu menghasilkan batas atas pada massa neutrino elektron
: m νe < 2.2eV 0.95 akurat. Untuk pengukuran massa neutrino muon, digunakan
peluruhan reaksi (Lec, 2015):
π+ → µ+ + νµ . (2.45)
Eksperimen ini menghasilkan batas atas mνµ < 190keV 0,9 akurat. Dan untuk
neutrino tau, eksperimen yang dilakukan yaitu peluruhan (Lec, 2015):
Eksperimen peluruhan tau menghasilkan batas atas massa neutrino tau mντ < 18, 2MeV
dengan keakuratan 0.95 (Lec, 2015).
Sebelumnya neutrino dikatakan tak bermassa karena mempunyai satu
helisitas dan belum ada eksperimen yang membuktikannya. Selanjutnya,
ini untuk menemukan neutrino bermassa, dibutuhkan pendekatan eksperimen yang
dapat mendeteksi massa yang sangat kecil. Pendekatan eskperimen yang paling
sensitif adalah membuktikan adanya osilasi neutrino. Untuk menjelaskan osilasi
neutrino, diperlukan flavor lepton untuk mengkreasi neutrino dari peluruhan boson
W dengan reaksi (Keyser, 2001):
W + → l α+ + ν, α = e, µ, τ (2.47)
π+ → W k + µ+ + νµ . (2.48)
flavor alfa diproduksi bersama dengan lepton alfa bermuatan adalah superposisi
koheren dari keadaan eigen massa neutrino νi dengan koefisien adalah elemen dari
matriks bauran lepton dengan persamaan (Keyser, 2001):
Jika N lebih dari 3 menunjukkan neutrino steril yang tidak berpartisipasi dalam
model standar interaksi lemah. Bauran lepton dideskripsikan oleh persamaan diatas
ketika lepton bermuatan flavor terkreasi dan menemani neutrino dari νi . Jika νi
kemudian berinteraksi dengan target, dapat memproduksi lepton bermuatan l β dari
flavor β. Lahirya neutrino dengan lepton bermuatan α dan rangkaian interaksi untuk
memproduksi lepton bermuatan l β− biasanya dideskripsikan sebagai osilasi neutrino
dari να ke νβ (Keyser, 2001).
Osilasi neutrino berawal dari ide B.Pontecorvo pada tahun 1957 yang
diusulkan setelah permasalahan gangguan paritas ditemukan oleh Wu dan teori
komponen tak bermassa oleh Landau, Lee dan Yang serta salam. B. Pontecorvo
menyebutkan probabilitas transisi neutrino menjadi anti neutrino dalam vakum pada
papernya dari transisi mounium menjadi anti muonium. Kemudian, dalam waktu
yang sama F. Reines dan Cowan menemukan anti neutrino dalam eksperimen pada
proses peluruhan (Bilenky, 2006):
p + ν̄e → n + e − . (2.50)
Selain Reines dan Cowan, Davis juga melakukan eksperimen dengan reaktor anti
neutrino dalam proses peluruhan (Bilenky, 2006):
37
C l + νe →3 7 Ar + e − . (2.51)
28
Ide massa dan bauran neutrino didiskusikan oleh Naki Nakagawa dan Sakata
(MNS) pada tahun 1962. MNS berasumsi bahwa dalam medan neutrino lemah,
transformasi ortogonal itu menghubungkan neutrino elektron dan neutrino muon
dengan medan neutrino pada massa tertentu ν1 dan ν2 (Bilenky, 2016):
MNS memperkirakan waktu transisi dari neutrino muon ke neutrino elektron akan
mempengaruhi hasil eksperimen dari eksperimen Brookhaven (Bilenky, 2006).
Di dunia tidak ada yang luput dalam pengawasan Allah swt. Ilmu Allah swt
sangat luas meliputi segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Dalam al-Quran,
Allah swt berfirman dalam surat Yunus (10:61) (Manzu, 2009):
ÕºJ
Ê« AJ » B
@ ÉÔ« áÓ àñÊÒªK Bð à@ ZQ¯ áÓ éJÓ @ñÊJK AÓð à A ú
¯ àñºK AÓð
Z AÒ Ë @ ú
¯ Bð P B @ ú
¯ èP X ÈA® JÓ áÓ
½K. P á« H. QªK
AÓð éJ
¯ àñJ
®K X@
@ XñîD
Q
á
J. Ó I. J»
ú
¯ B
@ .» @ Bð ½Ë X áÓ Qª @ Bð
.
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi
saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu
biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih ke-
cil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS Al An0 am [10] : 61)
Makhluk kecil sebesar dzarrah, tidak luput dari pengawasan Allah swt.
Bahkan, pengetahuan Allah swt juga mencakup benda-benda kecil lainnya seperti
partikel elementer. Keberadaan partikel elementer seperti elektron hanya Allah swt
yang tahu (Manzu, 2009).
29
Atom berawal dari Democritus Yunani dengan istilah atomos sekitar tahun
450 SM. Istilah atomos mengacu pada sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi,
tetapi penelitian saat ini membuktikan bahwa atom dapat dibagi-bagi lagi menjadi
inti dan kulit atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron, dan kulit atom sendiri
terdiri dari elektron. Proton dan neutron dapat dibagi-bagi lagi dan menjadi kuark-
kuark. Semua sub-partikel itu sudah tercatat di kitab yang nyata. Allah swt telah
menyebutkan istilah dzarrah, sesuatu yang tidak dapat dibagi lagi pada 14 abad
yang lalu. Sedangkan, Manusia mendeteksinya sekitar 100 abad yang lalu (Manzu,
2009).
Selain ayat tersebut, Allah swt menyebutkan berat dzarrah pada surat Saba
(34:3) (Manzu, 2009):
éJ « H Qª
. K
B I. J
ªË @ ÕΫ ÕºJ
K AJË ú
G. P ð ú ÎK. ɯ é«AË @ AJ
K AK B @ð Q ®» áK
YË ÈA¯ð
Q
á
J. Ó I. J»
ú
¯ B
@ .» @ Bð ½Ë X áÓ Qª @ Bð P B @ ú
¯ Bð HñÒË @ ú
¯ èP X ÈA®JÓ
.
"Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang
kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Rabb-ku yang mengetahui yang
ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersem-
bunyi daripada-Nya seberat dzarrah pun yang ada dilangit dan yang ada di bumi
dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan terse-
but dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)"." (QS Saba [34] : 3)
Mitsqaala berasal dari kata tsaqaalun yang berarti menjadikan "berat". Se-
lanjutnya, mitsqaala dzarratun yang artinya seberat dzarrah. Dalam konteks ayat
tersebut Allah swt menjelaskan bahwa partkikel kecil (dzarrah) itu memiliki berat
atau menunjukkan massa. Dzarrah bisa berati partikel elementer yang mempunyai
berat. Berkaitan dengan ayat tersebut, beberapa eksperimen membuktikan bahwa
massa partikel elementer bermacam-macam beratnya tersebut dan bergantung dari
jenis partikelnya, contohnya, massa elektron adalah 9, 1x10−31 kg dan massa proton
adalah 1, 672x10−27 kg (Manzu, 2009).
30
Kata fissamaawati dan fil ardi menunjukkan dzarrah tersebut berada diantara
langit dan bumi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu partikel yang sangat
kecil (dzarrah) dan berbentuk materi. Sementara, dalam surat Saba ayat 22 juga
mendeskripsikan sesuatu yang sangat kecil dan terdapat kata dzarrah dalam surat
Saba (34:22) (Manzu, 2009):
«
ú
¯ Bð H @ðAÒË@ ú
¯ è P X ÈA®JÓ àñºÊÜß
B é<Ë@ à ð X áÓ ÕæÔ P áK
YË@ @ñ« X@ ɯ
22 Q
ê£ áÓ ÑîDÓ éË AÓð ¼ Qå
áÓ AÒîD
¯ ÑêË AÓð P B @
.
"Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah
swt, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrahpun di langit dan di bumi,
dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi
dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya."
(QS Saba [34] : 22)
Selanjutnya, Allah swt juga memberi informasi lebih mengenai atom dan
partikel kecil lainnya sesuai firman Allah swt dalam surat At-Takwir(81:15-16)
(Manzu, 2009):
(61) ºË @ P @ñ m.Ì '@(51) m '. Õæ¯ @ C¯
.
"Oleh itu, Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang tenggelam timbul(15) yang
beredar, juga yang tetap pada tempatnya(16)." (QS At − Takwir [81] : 15 − 16)
Dalam ayat tersebut, kata al-khunnas berasal dari kata kerja khanasa den-
gan pengertian menghilang dan tertutupi. Dalam konteks itu, wal-khunnasi, dapat
diartikan sebagai bintang yang hilang dipersembunyian karena menghilang di siang
hari dan muncul saat malam hari. Padahal, sebenarnya bintang itu tidak menghilang
di siang hari, sebaliknya, bintang itu ada hanya saja cahayanya kalah terang dengan
bintang terdekat bumi, yaitu matahari. Kata al-khunnasu merupakan isim fail dalam
bahasa arab. Kata itu merupakan penjabaran dari sifat setan yang lari apabila dise-
butkan nama Allah swt. Jadi, al-khunnasu yang jamaknya adalah khaanisu dapat
31
diartikan sesuatu yang hilang dari pandangan mata kita. Al-kunnasi atau dari kata
kanasa, mempunyai dua arti. Arti pertama yaitu menghapuskan sesuatu dimukanya,
menyapunya atau menghilangkannya. Selanjutnya, arti kedua yaitu bersembunyi.
Berhubungan dengan dua hal tersebut, arti pertama adalah menyapu rumah den-
gan membersihkannya dari debu, sedangkan, kata al-maktasu berarti alat sapu dan
al-kannaasatu artinya disapu (Manzu, 2009).
Al-jawari atau al-jariyati, artiya adalah melintas (berputar pada porosnya).
Bentuk jariyatu merupakan bentuk plural dari kata al-jariyu, yang berarti melintas
dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagai contoh foton. Foton itu memiliki
kecepatan sekitar 3x108 m/s . Untuk saat ini, kecepatan materi yang paling cepat
yaitu kecepatan foton dan belum ada yang melebihi kecepatan tersebut (Manzu,
2009).
Di sisi lain, kata al-jawaari dan al-kunnas berada pada satu ayat yang
berbeda dengan kata al-khunnas. Sehingga, pada surat at-takwir ayat 15-16 memi-
liki dua arti, pertama yaitu benda yang menarik, kedua yaitu benda yang beredar dan
menghilangkan. Tidak harus dibatasi dengan objek matahari dan bintang sebagai
penarik, tetapi Allah swt juga bersumpah meliputi planet-planet beserta satelitnya
dan objek lainya. Objek tersebut dapat dikatakan dengan atom dalam dunia fisika
partikel. Keluarga lepton seperti: elektron, muon, dan tau disebut sebagai "yang
menarik", dan neutrino yang bertebaran di alam semesta sebagai "yang beredar".
Tanpa kehadiran lepton, neutrino tidak akan dapat terdeteksi hingga saat ini (Manzu,
2009).
Selain itu, dalam fisika partikel, anti materi dapat disebut dengan "yang
menarik" dan materi disebut dengan "yang beredar". Oleh karena itu, untuk mende-
teksi materi, misal saja "neutrino elektron" yang bebas, harus membuat penarik dari
neutrino elektron agar dapat tertangkap dan terdeteksi, yaitu elektron sebagai "yang
menarik". Sehingga, untuk menarik sesuatu yang beredar bebas, dapat dicari
32
34
35
spinor ψn ((x), t), n = 1, 2 yang memenuhi persamaan Dirac bebas (Nishi, 2006):
∂
i ψn (x, t) = HnD ψn , n = 1, 2 (3.2)
∂t
Pν α ≡ ν̂α ν̂αT
Pν e = ν̂e ν̂eT
1
=
1 0
0
1 0
=
.
(3.5)
0 0
Flavor neutrino dapat mengalami osiilasi atau perubahan flavor, sehingga dapat
dipahami dengan mempelajari masalah 2 flavor. Untuk memperkenalkan karakter
fermion pada studi fenomena osilasi kuantum, persamaan Dirac evolusi waktu
dapat digunakan untuk mendeskripsikan keadaan eigen massa. Dari hubungan
36
antara fungsi gelombang flavor dan fungsi gelombang massa pada persamaan (3.1)
apabila dijabarkan (Nishi, 2006):
ve v1 cos θ sin θ v1
=U
=
(3.6)
vµ v2 − sin θ cos θ v2
v1 ve cos θ − sin θ ve
= U −1
=
.
(3.7)
v2 vµ sin θ cos θ vµ
Kemudian persamaan (3.6) dan (3.7) dimasukkan ke persamaan Dirac evolusi waktu
(Leo dkk, 2004):
= ψ1 (x, t) cos θ(cos θνe − sin θνµ ) + ψ2 (x, t) sin θ(sin θνe + cos θνµ )
= ψ1 (x, t)(cos2 θνe − cos θ sin θνµ ) + ψ2 (x, t)(sin2 θνe + sin θ cos θνµ )
= ψ1 (x, t) cos2 θ + ψ2 (x, t) sin2 θ)νe + (ψ1 (x, t) − ψ2 (x, t)) cos θ sin θνµ
Setelah diketahui karakter dari fermion, Hamiltonian total dari persamaan (3.2)
(Nishi, 2006):
∂
i ψf (x, t) ≡ HfD ψf (x, t)
∂t
= H D U ψm (x, t)
= U H D U −1 ψm (x, t) (3.9)
Solusi persamaan (3.9) dapat ditulis dalam bentuk operator evolusi flavor Dirac
37
(Nishi, 2006):
Z
D
ψf (x, t) = K (t)ψ(x, t) = d3 x0 K D (x − x0 ; t)ψf (x0 , t), (3.10)
D 0
Z
d3 p D 0
K (x − x ; t) = 3
K (p; t)eip.(x−x ) , (3.11)
(2π)
K D (t) = U e−iH t U −1
−iH 1
cos θ sin θ e 0 cos θ − sin θ
=
−iH 2
− sin θ cos θ 0 e sin θ cos θ
2 −iH 1t 2 −iH 2t −iH 1t −iH 2t
cos θe + sin θe − cos θ sin θ(e −e )
=
,
(3.12)
− cos θ sin θ(e−iH 1t − e−iH 2t ) sin2 θe−iH 1t + cos2 θe−iH 2t
∂ψ(x)
ıγ µ − mψ(x) = 0, (3.13)
∂xµ
∂ψ(x)
ıγ µ − mψ(x) = 0
∂xµ
∂ψ(x)
ıγ µ = mψ(x)
∂xµ
Z
∂ψ(x) Z
= −iγ −µ ∂xµ
ψ(x)
Z
ln ψ(x) = −im∂xµ + c
0
R
−iγ −µ mdxµ +c
ψ(x) = e
38
0
ψ(x) = N e −ıpx±Ep t, (3.14)
dengan p adalah vektor momentum dalam 4 dimensi dan ±Ep dengan tanda (+)
menunjukkan energi positif dan tanda (-) menunjukkan energi negatif. Persamaan
Dirac bebas (Gross, 2004):
∂
ı ψ(x) = Hψ(x) = Eψ(x)
∂t
= (α.p + β.m)ψ(x)
0 σi 1 0
=
.p +
m ψ(x)
σi 0 0 −1
0 σi .p m 0
=
+
ψ(x)
σi .p 0 0 −m
m σi .p
Eψ(x) =
. (3.15)
σi .p −m
Nilai dari eiE pt = Ep pada persamaan (3.15) karena nilai energi partikel yang sangat
kecil. Kemudian nilai itu dimasukkan ke persamaan (3.14) (Gross, 2004):
χ
ψ(x) = N Ep e−ıpx , ψ =
. (3.16)
η
Untuk memenuhi persamaan (3.18) dan (3.19) agar solusi yang didapatkan tidak
sama dengan nol, maka determinan dari matriks koefisien harus sama dengan 0.
Dengan menggunakan (σi .p)2 = p2 sebuah persyaratan bahwa determinan menjadi
nol memberikan koreksi hubungan energi-momentum (Gross, 2004):
Ep2 = p2 + m2 . (3.20)
Ep η = −mη + σi .pχ
Ep η − mη = σi .pχ
σi .p
η = χ, (3.21)
Ep − m
p2
= Np2 L3 χ† [1
+ ]χ
(Ep + m)2
E 2 − m2
= Np2 L3 [1 + p ]
(Ep + m)2
Ep − m + Ep + m
1 = Np2 L3
Ep
s
Ep + m
Np = . (3.23)
2Ep L3
Solusi energi positif (3.13) dalam bentuk spinor Dirac energi positif u(p, s)
didefinisikan dengan (Nishi, 2006):
q 1 s
u(p, s) ≡ Ep + m
χ
(3.24)
σ.p
Ep +m
Pada akhirnya, solusi energi positif ternormalisasi dari persamaan Dirac untuk
partikel bebas (Nishi, 2006):
1
ψ (+) (x) = q u(p, s)e−ipx (3.26)
2Ep L3
1
ψ (+) †(x) = q u† (p, s)eipx . (3.27)
2Ep L3
41
Solusi energi positif telah diketahui, maka langkah selanjutnya yaitu men-
emukan solusi energi negatif. Pada persamaan (3.17) dan (3.18) dikalikan dengan
negatif untuk menunjukkan energi negatif sehingga (Gross, 2004):
−Ep χ = mχ + σi .pη
η −s = −iσ2 χs
1 1 0
η − 2 = −iσ2 χ 2 =
1
1 1 −1
η + 2 = −iσ2 χ− 2 =
(3.30)
0
dimana σ2 adalah matriks Pauli. Untuk spinor Dirac energi negatif v(p, s)
didefinisikan dengan (Nishi, 2006):
q σ.p
Ep +m − iσ2 χs ,
v(p, s) = Ep + m
(3.31)
1
42
) 1
ψ (− −p,−s (x) = q v(p, s)eipx (3.32)
2Ep L3
1
ψ (−) †−p,−s (x) = q v † (p, s)e−ipx . (3.33)
2Ep L3
Solusi energi positif dan negatif adalah ortogonal, karena hubungan ortogonalitas
antara energi positif dan negatif spinor (Gross, 2004):
Evaluasi dari elemen matriks orde kedua untuk matriks S(scattering) men-
syaratkan hubungan kelengkapan. Berhubungan dengan hal itu, untuk persamaan
Dirac adalah (Gross, 2004):
K D (x, y) = {ψ (+)p ,s (x)ψ (+)† (y) + ψ (−)p ,s (x)ψ (−)† (y)} = 1δ 3 (x − y). (3.35)
X
p,s
Jika energi positif dimasukkan nilai ψ † dan ψ, maka menghasilkan (Gross, 2004):
1 1
ψ (+)p ,s (x)ψ (+)† (y) = u(p, s)e−ipx q u† (p, s)eipy
X
q
p,s 2E L 3 2E L 3
p p
1
{u(p, s)u† (p, s)e−ip(x−y) }
X
= 3
p,s 2E p L
1
{u(p, s)u† (p, s)γ 0 γ 0 }e−ip(x−y)
X
= 3
p,s 2E p L
1
{u(p, s)ū(p, s)}γ 0 e−ip(x−y) ,
X
= 3
(3.36)
p,s 2Ep V
43
1 1
ψ (−)p ,s (x)ψ (−)† (y) = q v(p, s)eipx q v † (p, s)e−ipy
2Ep L3 2Ep L3
1
= v(p, s)v † (p, s)eip(x−y)
2Ep L3
1
{v(p, s)v † (p, s)γ 0 γ 0 }eip(x−y)
X
= 3
p,s 2Ep L
1
{v(p, s)v̄(p, s)}γ 0 eip(x−y) .
X
= 3
(3.37)
p,s 2Ep V
Z
ψ(x, t) = d3 yK D (x, y)γ 0 ψ(y, t), (3.38)
Z Z
1
ψ(x, t) = dy 3
d3 p 3
{u(p, s)ū(p, s)e−ip(x−y) γ 0 ψ(y, 0)
2Ep V
+ v(p, s)v̄(p, s)eip(x−y) γ 0 ψ(y, 0)}. (3.39)
Z
a(p) = d3 yū(p, s)eipy γ 0 ψ(y, 0)
Z
∗
b (p) = d3 yv̄(p, s)e−ipy γ 0 ψ(y, 0). (3.41)
44
γ 0 E(p, s) − γ 3 p + mi
us (p, s)ūs (p, m) =
X
i=1,2 2E(p, s)
γ 0 E(p, s) + γ 3 p − mi
v s (p, s)v̄ s (p, m) =
X
. (3.43)
i=1,2 2E(p, s)
Z
d3 p γ 0 E(p, s) − γ 3 p + mi
ψ(x, t) = { (cos p(x − y) + i sin p(x − y))
2Ep 2E(p, s)
γ 0 E(p, s) + γ 3 p − mi
+ (cos p(x − y) − i sin p(x − y))}
2E(p, s)
Z
d3 p cos p(x − y)γ 0 E(p, s) sin p(x − y)γ 3 p sin pmi
= { −i +i }
2Ep E(p, s) E(p, s) E(p, s)
Z
d3 p γ 3 p + mi
= {cos Ep − iγ 0 sin Ep }
2Ep E(p, s)
Z
d3 p γ 3 p + mi
ψ † (x, t) = {cos Ep + iγ 0 sin Ep } (3.44)
2Ep E(p, s)
Persamaan Dirac sebagai persamaan evolusi dari keadaan eigen massa meru-
pakan sifat dari fermion pada fenomena osilasi kuantum. Persamaan (3.8) menjadi
(Leo dkk, 2004):
dimana ψ(x, 0, θ) = ψ(x, 0, θ)ω memenuhi persamaan Dirac untuk massa mi dan
ω merupakan konstanta spinor yang memenuhi hubungan normalisasi ω † ω (Nishi,
2006):
Z ∞
dp γ 3 p + mi
ψi (x, t) = ψ(p − p̄)eipx {cos Ei (p)t − iγ 0 sin Ei (p)t}(3.46)
−∞ 2π Ei (p)
†
Z ∞
dp γ 3 p + mi
ψi (x, t) = ψ(p − p̄)e−ipx {cos Ei (p)t + iγ 0 sin Ei (p)t}(3.47)
−∞ 2π Ei (p)
Z
P (νe → νµ ; t) = dx|ν̂µT ψf (x, t)|2
Z
= dpψ̃ν† e (p)K D† (p; t)(p)K D (p; t)ψ̃ν e . (3.48)
T
massa (ψm (x) → (ϕν e (x), ϕν µ (x)). Hamiltonian Dirac pada ruang momentum
1
(HnD (p)) diganti dengan energi relativistik (En (p = (p2 + m2 ) 2 ). Kemudian,
probabilitas osilasi didapatkan (Nishi, 2006):
Z
P (νe → νµ ; t) = dx|ν̂µT ψf (x, t)|2
Z
= dpP (p, t)|ϕ̃ν e (p)|2 , (3.49)
dimana ψf (x, 0)T = (ϕ̃ν e (x)T , 0), KµS e (p, t) ≡ (K S )21 = − sin θ cos θ(e−iE 1(p)t −
e−iE 2(p)t ). Sehingga probabilitas perubahan flavor (Nishi, 2006):
∆E(p)t
P (νe → νµ ; t) = sin2 θ sin2 (3.50)
2
Z ∞
Ps (νe → νµ ; t) = dx|ψµ (x, t; θ|2
−∞
2
sin 2θ
= 1 − IN Ts (t), (3.51)
2
Z ∞
IN Ts = Re[ ψ1† (x, t)ψ2 (x, t)dx)]. (3.52)
−∞
Z ∞
IN Ts = Re[ ψ1† (x, t)ψ2 (x, t)dx)ω † ω]
−∞
Z ∞
dp
= ψ(p − p̄)(cos E1 (p)t) cos E2 (p)t)
−∞ 2π
γ 3 p + m1
+iγ 0 cos E1 (p)t) sin E2 (p)t)
E1 (p)E2 (p)
γ 3 p + m2
−iγ 0 cos E2 (p)t) sin E1 (p)t)
E1 (p)E2 (p)
!2
0 2 γ 3 p + mi
−(γ ) sin E1 (p)t) sin E2 (p)t)]. (3.53)
Ei (p)
Z ∞
dp 1 1
IN Ts = ψ(p − p̄)( cos(E1 + E2 )t + cos(E1 − E2 )t
−∞ 2π 2 2
Z ∞
dp
= ψ(p − p̄)(1 − f (p) cos ∆Et + f (p) cos 2Ēt, (3.54)
−∞ 2π
1 p2 + m1 m2
f (p) = ( − ) (3.55)
2 E1 E2
Dua permisalan pada persamaan (3.55) dan (3.56) dimasukkan ke persamaan (3.54)
(Bernadini dan Leo, 2004):
Z ∞
dp ∆E(p)t
IN Ts = ψ(p − p̄)(1 − f (p)(1 − 2 sin2 ) + f (p)(1 − 2 sin2 Ēt)
−∞ 2π 2
Z ∞ Z ∞
dp ∆E(p)t dp
= 1 − f (p) ψ(p − p̄)2 sin2 + f (p) ψ(p − p̄)
−∞ 2π 2 −∞ 2π
Z ∞
dp ∆E(p)t
f (p) ψ(p − p̄)2 sin2
−∞ 2π 2
Z ∞
dp
+f (p) ψ(p − p̄)2 sin2 Ēt. (3.57)
−∞ 2π
48
sin2 2θ
Ps (νe → νµ ; t) = 1 − IN Ts (t)
2
sin2 2θ Z ∞
dp ∆E(p)t
= (1 − (1 − f (p) ψ(p − p̄)2 sin2
2 −∞ 2π 2
Z ∞ Z ∞
dp dp ∆E(p)t
+f (p) ψ(p − p̄)f (p) + ψ(p − p̄)2 sin2
−∞ 2π −∞ 2π 2
Z ∞
dp
+f (p) ψ(p − p̄)2 sin2 Ēt
−∞ 2π
sin2 2θ ∆E(p)t sin2 2θ ∆E(p)t
= 2 sin2 − f (p) 2 sin2
2 2 2 2
2
sin 2θ
−f (p) 2 sin2 Ēt)
2
= P − P f (p) + f (p) sin2 2θ sin2 Ēt. (3.58)
Z
P (νe → νµ , t) = dpP (p, t)|ϕ̃ν e (p)|2
Z
sin2 2θ ∆E(p)t
= dp 2 sin2 |ϕ̃ν e (p)|2
2 2
= δ 3 (p − p0 )P (p, t)
Z
= P (p, t)1D dp. (3.59)
Z
P (νe → νµ ; t) = dpψ̃ν† e (p)K D† (p; t)ψ̃ν† e (p)K D (p; t)
49
Z
= dp[P 1D − P f (p)1D
sin2 2θ
+f (p) 2 sin2 Ēt1D ]ψ̃ν† e (p)ψ̃ν† e (p). (3.61)
2
Z
P (νe − νe ; t) = dx|ν̂eT ψf (x, t)|2
Z Z
= dx d3 x0 ψf† (x0 , 0)K D† (x − x0 ; t)Pν e
Z
d3 x0 K D (x − x0 ; t)ψf (x0 , 0). (3.62)
Z Z Z
d3 p D† 0
P (νe − νe ; t) = dx dx 3 0
ψf† (x0 , 0) 3
K (p; t)e−ip.(x−x ) Pν e
(2π)
Z
d3 p D
Z
0
d3 x 0 3
K (p; t)eip.(x−x ) ψf (x0 , 0)
(2π)
Z Z
d3 x0 † 0 −ip.x Z d3 p ip.x0 D†
= dx 3 ψf (x )e 3 e K (p; t)Pν e
(2π) 2 (2π) 2
Z
d3 x0 0 ip.x
Z
d3 p −ip.x0 D
3 ψ f (x )e 3 e K (p; t)
(2π) 2 (2π) 2
Z
= dxψν† e (x)K D† (p; t)K D (p; t)ψν e (x)
Z
= dpψ̃ν† e (p)K D† (p; t)(p)K D (p; t)ψ̃ν e . (3.63)
Probabilitas survival dan perubahan neutrino muon awal adalah identik dengan
probabilitas neutrino elektron awal karena hubungan (Nishi, 2006):
K D†µ e (p, t)KµD e (p, t) = K D†e µ (p, t)KeD µ (p, t). (3.65)
50
Probabilitas total perubahan flavor antara neutrino elektron menjadi neutrino muon
dan neutrino elektron menjadi neutrino elektron adalah (Nishi, 2006):
dan persamaan probabilitas neutrino elektron menjadi neutrino muon dan neutrino
elektron menjadi neutrino elektron dimasukkan ke persamaan (3.62) (Nishi, 2006):
K D†e e (p, t) + KeD e (p, t) + K D†µ e (p, t)K D†µ e (p, t) = 1 (3.67)
Pada subbab sebelumnya, osilasi flavor dari bilangan partikel secara umum
untuk bertransformasi menjadi partikel neutrino Dirac. Tetapi di alam, hanya
terdapat komponen left-handed saja yang diproduksi dan terdeteksi. Untuk mem-
buktikan fakta tersebut, persamaan (3.50) mendeskripsikan probabilitas perubahan
flavor dengan menggunakan paket gelombang awal dan mengganti kernel pada
persamaan (3.60) dengan proyeksi kernel tersebut dan menghasilkan (Nishi, 2006):
∆Et 1 1
sin2 = − (cos E1 t cos E2 t + sin E1 t sin E2 t) (3.69)
2 2 2
1 1
sin2 Ēt = − (cos E1 t cos E2 t − sin E1 t sin E2 t). (3.70)
2 2
51
sin2 2θ 1 1
LK D†µ e LKµD e L = ( − (cos E1 t cos E2 t − sin E1 t sin E2 t)L)
2 2 2
sin2 2θ p2 sin2 2θ sin E1 t sin E2 t
+ L− L
4 4E1 E2
sin2 2θ
− (cos E1 t cos E2 t − sin E1 t sin E2 t)L
4E1 E2
sin2 2θm1 m2
− sin E1 t sin E2 tL (3.71)
4E1 E2
sin2 2θ 1 1
LK D†µ e LKµD e L = L( − (cos E1 t cos E2 t + sin E1 t sin E2 t))
2 2 2
sin2 2θ m1 m2
− ( ( sin E1 t − sin E2 t)2 L) (3.73)
4 E1 E2
1 2 m1 m2
LK D†µ e LKµD e L = P D (p, t)L − sin 2θ( sin E1 t − sin E2 t)2 L (3.74)
4 E1 E2
dimana P D (p, t) = K D†µ e (p, t)KµD e (p, t) adalah perubahan kernel dari persamaan
(3.60). Perubahan probabilitas total tidak bisa bertahan karena terdapat probabilitas
yang hilang karena komponen right-handed yang tidak terdeteksi. Komponen right-
handed yang tidak terdeteksi jika diformulasikan adalah (Nishi, 2006):
1 2 m1 m2
LK D†µ e RKµD e L = sin 2θ( sin E1 t − sin E2 t)2 L, (3.75)
4 E1 E2
52
dengan operator proyeksi kiralitas kiri (L) dan kiralitas kanan (R) (Nishi, 2006):
1 − γ5
L= (3.76)
2
1 + γ5
R= (3.77)
2
m2n
Probabilitas yang hilang pada persamaan (3.75) sebanding dengan rasio 2
En
m1 2 2 2 m2
2
LK D†µ e RKµD e L + LK D†e e RKeD e L = (cos2 θ sin E1 t + sin θ sin2 E2 t)L.
E12 E22
(3.78)
Untuk melengkapi kernel yang tidak fisis dan yang bertanggung jawab terhadap
perubahan komponen right-handed ke komponen right-handed dan left-handed cukup
dengan mensubtitusi L ↔ R pada semua persamaan (Nishi, 2006).
BAB IV
OSILASI NEUTRINO DALAM TEORI MEDAN KUANTUM:
KUANTISASI II
Pada bab 3 dibahas tentang persamaan Dirac hanya untuk energi positif saja.
Kemudian pada bab ini, persamaan osilasi neutrino akan dijabarkan lebih luas yang
mengenai persamaan Dirac dengan energi negatif dan kuantisasinya. Pertama
menentukan solusi persamaan Dirac pada saat t 2 seperti fungsi saat t 1 . Kernel untuk
propagator bebas yaitu (Itzykson dan Zuber, 1980):
Z
ψ(x 0 , x) = d 3 xK (t 2 , x; t 1 , y)γ0 ψ(y 0 , y). (4.1)
Solusi dari ψ adalah superposisi linier dari solusi gelombang datar (Itzykson
dan Zuber, 1980):
XZ d 3 p m (s )
Z
0
ψ(x , x) = 3
d x [a (p)u s (p)e −i p x +b (s )∗ v s (p)e i p x ]ψ(y 0 , y), (4.2)
s (2π)3 E
Z
a (s )
(p) = d 3 y ū s (p)e −i p y γ0 ψ(y 0 , y) (4.3)
Z
b (s )∗ (p) = d 3 y v̄ s (p)e i p y γ0 ψ(y 0 , y). (4.4)
Kemudian persamaan (4.3) dan (4.4) dimasukkan ke persamaan (4.2) (Itzykson dan
Zuber, 1980):
X Z d 3p m Z 3 Z 3
0
ψ(y , x) = d x d y[ū s (p)e −i p y ⊗ u s (p)e −i p x
s (2π)3 E
+v̄ s (p)e i p y ⊗ b (s )∗ (p)v s (p)e i p x ]γ0 ψ(y 0 , y)
X Z d 3p m Z 3 Z 3
= 3 E
d x d y[ū s (p) ⊗ u s (p)e −i p (x + y )
s (2π)
+v̄ s (p) ⊗ v s (p)e i p (x + y ) ]γ0 ψ(y 0 , y). (4.5)
53
54
Persamaan (4.2) adalah solusi persamaan (4.1), dengan nilai kernelnya (Itzykson
dan Zuber, 1980):
d 3p m X
Z Z Z
0 0
K (x , x; y , y) = d x 3
d 3 y[ū s (p) ⊗ u s (p)e −i p (x + y )
(2π)3 E s
+ v̄ s (p) ⊗ v s (p)e i p (x + y ) ]γ0 (4.6)
dengan operator proyeksi komponen energi positif dan negatif (Itzykson dan Zuber,
1980):
p + m = ū s (p)u s (p)
d 3p 1
Z Z Z
0 0 3
d3y [(p + m)e −i p (x + y )
X
K (x , x; y , y) = d x
(2π)3 2E s
i p (x + y ) 0
+ (p − m)e ]γ
55
1 X s
Z
= d 3p [u (x; p)ū(y; p) + v s (x; p)v̄(y; p)]γ0 . (4.9)
2E s
Persamaan (4.9) merupakan penjabaran dari pesamaan (4.6). Dari persamaan (4.2),
solusi persamaan (3.10) dalam bentuk operator osilasi flavor K D (propagator bebas)
sebagai (Itzykson dan Zuber, 1980):
Z
ψ f (x, t ) = d 3 xK D (x − x0 ; t )ψ f (x0 , 0)
d 3p 1
Z Z Z
d x d 3 y [u s (p)ū s (p)e −i p (x + y )
3
X
= 3
(2π) 2E s
karena pada persamaan Dirac, partikel yang digunakan adalah partikel dengan
energi positif (Itzykson dan Zuber, 1980).
Perbandingan pendekatan paket gelombang internal dan paket gelombang
eksternal dituliskan kembali kernel evolusi Dirac untuk fermion massa mn yang
disajikan oleh persamaan (Nishi, 2006):
1 s
Z
K nD (x − y) 0
θ(x − y ) 0
d 3p [u (x; p)ū ns (y; p) + v ns (x; p)v̄ ns (y; p)]γ0
X
=
s 2E n
≡ i S(x − y; m n )γ0 , n = 1, 2, (4.12)
Meskipun fungsi S F disebut propagator kausal tidak memenuhi interval ruang dan
secara natural dalam TMK ketika interaksi-interaksi dihadirkan dan diperlakukan
dalam kovarian. Persamaan (4.12) menampilkan propagator S F mendeskripsikan
keadaan energi positif dengan majunya waktu (masa depan) dan energi negatif
dengan mundurnya waktu (masa lalu). Pada persamaan (4.12), kedua bagian neu-
trino dan anti neutrino terlihat berkontribusi terhadap integrasi ruang-waktu yang
hadir dalam teori gangguan kovarian. Seperti kontribusi neutrino-anti neutrino pada
persamaan (4.9) telah mendorong persamaan tersebut ke arah persamaan (3.55).
Pendekatan paket gelombang eksternal terpisah luas antara produksi dan deteksi
kedua bagian neutrino dan anti neutrino mungkin berkontribusi seperti neutrino
intermediet untuk keadaan tertentu (Nishi, 2006).
Lagrangian efektif arus lemah bermuatan pada interaksi skalar (Nishi, 2006):
GF
LW = − p J µ† (x)J µ
2
57
NX
=3
LW = G [l¯α (x)γµ LUαi νi (x)J µ (x) + ν̄Uα∗ i γµ Ll α (x)J µ† (x)
i ,α=1
= L 1 + L 1† (4.14)
p
G= 2G F . (4.15)
Uαi νi (x) adalah flavor neutrino dan J µ (x) adalah arus elektromagnetik efektif.
ν̄i (x)Uα∗ i adalah flavor anti neutrino dan J µ† (x) adalah konjugat transpos dari arus
keadaan akhir adalah keadaan eigen momentum ketika keadaan awal terlokalisasi.
Kontribusi bukan nol orde terendah dari hamburan matrik S adalah lagrangian orde
kedua pada persamaan (4.14). Lebih eksplisit, bentuk konstribusi amplitudo pada
persamaan (4.17) datang dari (Nishi, 2006):
i2
S (2) = T < LW >2
2
58
Z
2
d 4 xd 4 y L βα (x, y)
X
= −G (4.18)
βα
†
dengan J m u(x) merupakan konjugat dari arus eletromagnetik, l¯β merupakan anti
1
Z
0 0
< B (p B )|J µ (x)|B > = 3
cB e i p 0B y J µB B 0 (qB , p0 B )
q
(2π) 2
ψB (qB )e −i q B ( y −x B )
1
Z
0 0 †
< A (p A )|J ν (y)|A > = 3
qcA e i p 0A y J νA A 0 (q A , p0 A )
(2π) 2
ψ A (q A )e −i q A (x −x A ) (4.23)
dq
dcq = 1
2E (q) 2
J µB B 0 (qB , p0 B ) = < B 0 (p0 B )|J µ (0)|B >
3
(2π) 2 B B 0
Z Z Z
Ai = dd
qB dd
qA dd
qα J (qB , p0 B )ψB (qB )J νA A 0 (q A , p0 A )ψ A (q A )
(2π)6 µ Z
e i q B x B +i q A x A +i q αx α x ū β (y, p)γµ L[ d 4 yd 4 xe −i q B y +i p B y
k β ≡ pβ + p0 B − qB (4.26)
k α ≡ pα + p 0 A − q A . (4.27)
(Nishi, 2006):
1
Z Z Z
Ai = dd
qB dd
qA ddqα J µB B 0 (qB , p0 B )ψB (qB )J νA A 0 (q A , p0 A )
(2π)6 Z
i q B .x B i (q A +q α).x A µ
ψ A (q A )e e ū β (pβ )γ L[ d 4 xd 4 y
Dalam tanda kurung jika dijabarkan dan dihubungkan dengan persamaan (4.13)
(Nishi, 2006):
Z
B= d 4 xd 4 ye i k β y e −i k α.x i S i ((y − x); m i ). (4.29)
0
k w (R+R̂(y−xB )−R̂(x−xA )−i k β y+i k α x
−i e i
Z
B = 2πδ(k β0 − k α0 ) d xd y
4π(R + R̂(y − xB ) − R̂(x − xA ))
[u i (k ω r̂)ū(k ω r̂)θ(ωi − m i ) − v i (−k ω r̂)v̄ i (−k ω r̂)θ(−ωi − m i )]. (4.30)
xB − xA y−x
R̂ = , r̂ = , R̂ ≈ r̂. (4.31)
|xB − xA | |y − x|
−i 0
B = 2πδ(k β0 − k α0 ) (2π)6 δ3 (−k w R̂ + k β )δ3 (−k w R̂ + k α )e −i w i tB +i w i t A
4πR
[u i (k ω r̂)ū(k ω r̂)θ(ωi − m i ) − v i (−k ω r̂)v̄ i (−k ω r̂)θ(−ωi − m i )]. (4.32)
Pada titik ini, terdapat sebuah pertanyaan untuk menganalisa apakah bagian
anti neutrino propagator berkontribusi terhadap proses keseluruhan. Tak satupun
proses yang terisolasi A + l α → A 0 + v̄ i dan B + v̄ i → B 0 + l β diizinkan berkontribusi
pada proses itu. Jika kita menghitung amplitudo transisi secara terpisah dengan
menggunakan Lagrangian lemah pada persamaan (4.14). Untuk neutrino Majorana,
amplitudo ditekan dengan kuat oleh ketidakserasian helisitas. Sejauh ini, kekekalah
4 momentum di kedua verteks x A dan x B secara otomatis diperlukan perhitungan
diantaranya kebutuhan energi yang kekal untuk neutrino intermediet dengan mem-
perhatikan partikel yang menyertainya dalam verteks x A (w i = kα0 dan dalam verteks
x B (w i = k β0 ) sudah eksplisit. Sisa eksplisit dalam fungsi delta pada persamaan
(p A − p i )2 = (p A − p α )2
62
p 2A − 2p A p i + p i2 = p 02 2 0
A + p α − 2p α p A
p 2A − p 02 2 2 0
A − p α + p i + 2p α p A = 2p A p i
(E 2A − M A2 ) − (E 02 02 2 2
A − M A ) − (E α − m α )+
q q
(E i2 − m i2 ) + 2p α p 0A = 2 E 2A − M A2 (E i2 − m i2 )
−M A2 + M A02 + m α
2
− m i2 − (E 0A 2 + E α2 )
q
+E i2 + E 2A + 2p α p 0A = 2 E 2A E i2 − M A2 E i2 − E 02 2 2 2
A mi + M A mi
−M A2 + M A02 + m α
2
− m i2 − 2E 0A E α + 2p α p 0A = −2E i M A
M A2 + M A02 − m α
2
+ m i2 + 2E 0A E α − 2p α p 0A
= Ei (4.33)
2M A
M A2 − (M A0 − m α )2 + m i2
= mi n(E i ). (4.34)
2M A
M A2 − (M A0 − m α )2 + m i2 = 2M A E i
M A2 + −2M A m i + m i2 = (M A0 − m α )2
(M A − m i )2 = (M A0 − m α )2
untuk M A > mi dan M A 0 > mα . Kondisi persamaan (4.35) dapat terpenuhi yang
mengarah pada kontribusi anti neutrino untuk persamaan (4.31) dan untuk momentum-
momentum yang terlibat. Kondisi pada persamaan (4.34) memcegah kontribusi anti
neutrino dan kasus-kasus dimana energi ambang diperlukan pada lepton alfa yang
dimulai pada reaksi produksi. Dengan demikian untuk mencegah kontribusi anti
63
neutrino, persamaan (4.35) lebih baik mengadopsi kondisi yang lebih lemah dari
batasan energi pada neutrino intermediet w i dan berubah tanda menjadi positif
untuk mempertahankan istilah pertama pada persamaan (4.29) (Nishi, 2006).
Analisis terhadap analogi yang mempengaruhi momentum-momentum dan
nilai massa dan yang memungkinkan kβ0 < −mi pada verteks x B masih seband-
ing dengan kα0 = kβ0 . Perhatikan kondisi kα0 > mi adalah kondisi kinematik untuk
memungkinkan produksi neutrino fisika pada x A dan kβ0 > mi memperbolehkan
kontribusi neutrino dengan energi di atas ambang batas untuk memicu reaksi pen-
deteksian. Pelanggaran kondisi-kondisi ini menyiratkan secara kinematis yang tidak
memungkinkan kontribusi pada proses produksi atau deteksi (Nishi, 2006).
Fungsi θ(w i − mi ) mencegah selain neutrino ikut berkontribusi dalam proses itu.
Paket gelombang untuk lepton yang datang l α (Nishi, 2006):
qB = p β + p B0 − k ω R̂ (4.38)
q A = p 0A − q α + k ω R̂ (4.39)
∂
Uβi Uα∗ i Ai (k β0 − k α0 )|−1q α=p α z̃
X
= |2p α
i ∂q2α
0 0 0
e i k w R−i w i (tB −t A )+i (p k +p B ).xB +i p A .x A
X
i
−i
x Uβi u β (pβ )γµ Lu i (k r R̂)γν Lψαz (p α )
4πR
ψB qB ) A A 0 ψ A (q A )
x J µB B 0 (qB , p0 B ) p J ν (q A , p0 A ) p , (4.41)
E B (qB ) E A (q)
dimana p α adalah akar dari f (|qα | = p α ) = kβ0 − kα0 = 0, yang mana datang dari
perubahan energi dari proses keseluruhan; jika tidak terdapat akar, maka proses itu
secara kinematis dilarang. Probabilitas deteksi adalah sebanding kuadrat amplitudo
persamaan (4.40) diintegrasi sepanjang ruang fase akhir d p0 A d p0 B d pβ [2E 0A (p0 A 2E B0 (pβ )]−1 .
Khususnya, sejak pβ , p0 A , p0 B fase-fase yang membedakan neutrino intermediet yang
berbeda v i (kecuali bentuk yang bergantung pada kecepatan rata-rata partikel A dan
B) (Nishi, 2006).
Dalam pendekatan paket gelombang eksternal di kedua proses x A dan x B
seharusnya mempertimbangkan proses hamburan yang sebenarnya dengan neutrino
yang terlibat secara nyata. Kontribusi di luar kulit diabaikan pada jarak jauh dan
kontribusi anti neutrino secara eksplisit ditiadakan dengan mengeliminasi bentuk
kedua persamaan (4.28). Informasi-informasi ini memperbolehkan kita untuk menulis
kembali persamaan (4.37) dalam bentuk sedikit berbeda (Nishi, 2006):
X dp
−G 2 Uβi Uα∗ i Ai
X
=
i 2E i (p)
Zi
d 4 y < B 0 (p0 B ), l β (pB )|L 1 (y)e i (P −p i ).x B |B, νi (p) >
Z
d 4 x < A 0 (p0 A ), νi (p)|L †1 (y)e i P x A |A, l α (pβ ) >, (4.42)
dibuat dalam persamaan (4.42) dengan keadaan |B > dan |A, l α > dipusatkan sekitar
bentuk asli dalam persamaan (4.15)-(4.22) dan masing-masing dipusatkan sekitar
x B dan x A ; translasi secara eksplisit ditampilkan dengan operator translasi ei P x .
Hanya partikel neutrino dan anti neutrino aktif berjalan dari produksi ke
1
deteksi. Teori kuantisasi kedua untuk fermion spin 2
mendeskripsikan osilasi flavor
diselidiki pada subbab ini. Untuk menyelesaikan perhitungan probabilitas osilasi
pada TMK, kita mempunyai mendefinisikan keadaan neutrino yang diproduksi dan
yang dideteksi melalui interaksi lemah. Pertama, kita mendefinisikan stenografi un-
tuk kombinasi medan-medan yang muncul dalam lagrangian arus bermuatan efektif
pada persamaan (4.12) (Nishi, 2006):
satu partikel yang dijabarkan dalam bentuk fungsi gelombang massa (Nishi, 2006):
XZ g is (p) s
ψνi (x, g i ) =< 0|νi (x)|νi : g i >≡ dpp u (x; p), i = 1, 2, (4.44)
s 2E i i
dengan ψν1 (x) merupakan fungsi gelombang massa yang didefinisikan dalam per-
samaan (4.43). Persamaan (4.46) jika ψν1 (x, t ) = ψν2 (x, t ) = ψ(x), untuk waktu
yang ditentukan t, ψνe νe (x, t ) = ψ(x, t ) dan ψνµνe (x, t ) = 0 dalam kaitannya dengan
kesatuan matriks bauran (Nishi, 2006).
Meskipun pendekatan ini tidak menggunakan ruang Fock dan transformasi
Bogoliubov, observasi yang sama digunakan oleh Blasone dan Vitiello untuk kuan-
67
tisasi osilasi flavor seperti muatan flavor yang didefinisikan sebagai (Nishi, 2006):
Z
Q α (t ) = d x : ν†α (x, t )να (x, t ) :, α = e, µ (4.49)
anti partikel (=). Dalam versi kuantisasi kedua muatan-muatan dapat memperoleh
nilai negatif dan disamping densitas probabiltas fermion dalam kuantisasi pertama
adalah kuantitas positif. Kekekalan muatan total menjamin kekekalan probabilitas
total (Nishi, 2006).
Langkah selanjutnya adalah memisahkan muatan flavor dari bagian-bagian
left-handed dan right-handed:
1
Z
Q α± (t ) = d x : ν†α (x, t ) (1 ± γ5 )ν(x, t ) :, α = e, µ (4.50)
2
1 1
Z Z
ipx
ψ(x) = 3
d pψ̃(p)e †
, ψ (x) = −3
d pψ̃† (p)e −i p x . (4.52)
(2π) 2 (2π) 2
Z
P (νe → νµ ; t ) = d pP (p, t )ψ̃†ν e (p)ψ̃νe (p), (4.53)
dengan P didefinisikan pada persamaan (3.47) dalam bab 3. Dua fungsi gelombang
dengan komponen energi positif saja berkenaan dengan dua karakterisasi dasar den-
gan perbedaan massa yang tidak sama. Kemudian, kita tidak mungkin menekankan
kondisi flavor tertentu. Oleh karena itu, dari persamaan (4.44) (Nishi, 2006):
XZ g s (p) s
ψνi (x, g i ) = d p pi u (x; p)
s 2E i i
s†
XZ g is (p) s
u i (x; p)ψνi (x, g i ) = dpp u (x; p)u s †i (x; p)
s 2E i i
Z
s†
d pg is (p)
p
u i (x; p)ψνi (x, g i ) 2E i =
i p x ψνi (p : g i )
Z Z
s†
u i (x; p) d pe p = d pg is (p, s)
2E i
u s † (p)
p ψ̃νe (p) = g is (p, s) (4.54)
2E i (p)
dimana ψ̃(p adalah fungsi gelombang awal yang dihubungkan dengan neutrino
massa mi pada kreasi. Untuk normalisasi d p|g i (p|2 = 1; setiap amplitudo transisi
R
dapat ditulis dalam bentuk persamaan (4.53). Secara umum ψ̃i (p) = ψ̃(p, mi ) dan
kemudian untuk persamaan perbedaan massa yang kecil (Nishi, 2006):
∆m ∂
ψ̃ ≈ ψ̃(p, m̃) ± ψ̃(p, m i ) (4.55)
2 ∂m̃
m 1 +m 2
dengan m̃ = 2 dan ∆m = m2 − m1 . Dalam bentuk pertama, ψ̃i (p) ≡ ψ̃(p, m̃),
69
persamaan (4.51) dimasukkan nilai indeks i dan j, sehingga menjadi (Nishi, 2006):
1 1
Z
P (νe → νµ ; t ) = d pP ψ̃† (p)[1 − Λ1− (p) − Λ2− (p)]ψνi (p)
2 2
1
Z
si n 2 2θ d pψ̃† (p)[ f g (p) cos(∆E t )
4
∆m
− i γ.psi n∆E (p)t )]ψ̃(p) (4.56)
2E 1 (p)E 2 (p)
Catatan pada kasus ini, probabilitas perubahan bukan nol untuk t = 0 (Nishi,
2006):
1
Z
P (νe → νµ ; 0) = sin2 2θ d p f (p)ψ̃† (p)ψ̃(p) (4.57)
4
yang mana menyiratkan gangguan flavor lepton pada kreasi. Tetapi, persamaan ini
(Nishi, 2006):
(∆m)2
f g (p) ≈ (4.58)
4p2
Z
P (νe → νµ ; t ) ≡ d pP (p, t )ψ̃†ν e (p)ψ̃νe (p), (4.59)
70
m1 m2 sin2 2θ m 1 m 2 2 †
Z
P (νe → νµ ; t ) = dp P (p, t ) + ( ( − ) )ψ̃ν e (p)ψ̃νe (p).
(4.60)
4E 1 E 2 4 2E 1 2E 2
Probabilitas total yang hilang dari perubahan neutrino elektron left-handed awal
ke neutrino elektron right-handed dengan analogi persamaan (3.79) menghasilkan
(Nishi, 2006):
m1 2
Z
P (νe L → νe R ; t ) + P (νe L → νµR ; t ) = d p(cos2 θ sin2 E 1 t
E 12
m2 2
+ sin2 θ sin2 E 2 t )ψ̃†ν e (p)ψ̃νe (p)
E 22
m1 2
Z
= d p(cos2 θ( )
2E 1
m2 2 †
+ sin2 θ( ) )ψ̃ν e (p)ψ̃νe (p). (4.61)
2E 2
1 ∆m H2 H1 ∆m
Z
δP (νe → νµ ; t ) = sin2 2θ d pψ̃† (p)[ − + γ.p
4 2 2E 2 2E 1 2E 1 E 2
∂
+(Λ1+ + Λ2+ − f g (p))i sin ∆E t ] ψ̃(p) + h.c, (4.63)
∂m
71
1 ∆m m2 2 m1 2
Z
2
δP (νe L → νµR ; t ) = sin 2θ d pψ̃† (p)[( ) −( )
4 2 2E 2 2E 1
m1 m2 ∂
+ sin ∆E t ] ψ̃(p) + h.c, (4.64)
2E 1 E 2 ∂m
νs (p)
g s ∗ (p) ≡ ψ̃†i (p) p i , (4.65)
2E i (p)
5.1 Kesimpulan
Probabilitas untuk transisi flavor diekspresikan dalam bentuk sudut bauran θ dan
∆E(p)t
2
mengekspresikan perbedaan fase keadaan eigen massa. Sedangkan pada
persamaan kuantisasi kedua untuk probabilitas osilasi flavor neutrino dengan energi
negatif:
Z
1 1
P (νe → νµ ; t) = dpP ψ̃ † (p)[1 − Λ1− (p) − Λ2− (p)]ψν i (p)
2 2
1 2 Z
+ sin 2θ dpψ̃ † (p)[fg (p) cos(∆Et)
4
∆m
− i γ.psin∆E(p)t)]ψ̃(p), (5.2)
2E1 (p)E2 (p)
Λ1− dan Λ2− yang merupakan operator proyeksi energi negatif, E1 dan E2 yang
merupakan energi neutrino, ∆Et yang merupakan selisih energi dari kedua
neutrino, dan fg (p) yang merupakan perbandingan massa antara energi positif dan
energi negatif. Selain itu, probabilitas osilasi flavor neutrino dengan energi positif:
1 2 ∆m Z H2 H1 ∆m
δP (νe → νµ ; t) = sin 2θ dpψ̃ † (p)[ − + γ.p
4 2 2E2 2E1 2E1 E2
∂
+(Λ1+ + Λ2+ − fg (p))i sin ∆Et] ψ̃(p) + h.c, (5.3)
∂m
72
73
Λ1+ dan Λ2+ yang merupakan operator proyeksi energi negatif, H1 dan H2 yang
merupakan operator energi neutrino. Perbedaan probabilitas antara kuantisasi per-
tama dan kuantisasi kedua yaitu: pada kuantisasi pertama terdapat probabilitas pe-
rubahan flavor neutrino yang berinterferensi antara energi positif dan energi negatif
(P f (p)), sedangkan pada kuantisasi kedua tidak terdapat interferensi. Kemudian,
pada kuantisasi kedua terdapat persamaan yang lebih kompleks dengan adanya
penjabaran operator proyeksi energi positif (Λ+ ) dan energi negatif (Λ− ) neutrino.
Selain itu, terdapat perbedaan nilai dari fg (p) yang merupakan faktor momentum
dan perbandingan massa pada kuantisasi I dan kuantisasi II; selisih perbedaan massa
pada kuantisasi II dengan penjabaran yang lebih detail ( 2E∆m
1 E2
)
5.2 Saran
Z
P (νe → νµ ; t) = dx|ν̂µT ψf (x, t)|2
Z
= dx|ν̂µT ψf (x, t)|† |ν̂µT ψf (x, t)|
Z
= dx|ν̂µT K D (t)ψf (x, 0)|† |ν̂µT K D (t)ψf (x, 0)|
Z
= dxψf† (x, 0)K D† (t)ν̂µ ν̂µT K D (t)ψf (x, 0)
Z
= dxψf† (x, 0)K D† (t)Pν µ K D (t)ψf (x, 0)
Z Z
= dx d3 x0 ψf† (x0 , 0)K D† (x − x0 ; t)Pν µ
Z
d3 x0 K D (x − x0 ; t)ψf (x0 , 0)
Z Z Z
d3 p D† 0
= dx d3 x0 ψf† (x0 , 0) 3
K (p; t)eip.(x−x ) Pν µ
(2π)
Z
d3 p D
Z
0
d3 x0 3
K (p; t)e−ip.(x−x ) ψf (x0 , 0)
(2π)
Z Z
d3 x0 † 0 ip.x0 Z d3 p −ip.x0 D†
= dx 3 ψf (x )e 3 e K (p; t)Pν µ
(2π) 2 (2π) 2
Z
d3 x 0 0 −ip.x0
Z
d3 p ip.x0 D
3 ψ f (x )e 3 e K (p; t)
(2π) 2 (2π) 2
Z Z
d3 p † D† −ipx0
Z
d3 p † D ipx0
= dx 3 ψ̃ν e (p)K (p; t)e 3 ψ̃ν e (p)K (p; t)e
(2π) 2 (2π) 2
Z
= dxψν† e (x)K D† (p; t)K D (p; t)ψν e (x)
Z
= dpψ̃ν† e (p)K D† (p; t)(p)K D (p; t)ψ̃ν e . (0.1)
Z
P (νe → νµ ; t) = dx|ν̂µT ψf (x, t)|2
Z
= dpϕ̃Tν e (p)K D†µ e (p, t)ϕ̃ν e (p)KµD e (p, t)
Z
= dp|ϕ̃ν e (p)KµD e (p, t)|† |ϕ̃ν e (p)KµD e (p, t)|
Z
= dp|KµS e (p, t)ϕ̃ν e (p)|2
80
81
Z
= dp|KµS e (p, t)|2 |ϕ̃ν e (p)|2
Z
= dpP (p, t)|ϕ̃ν e (p)|2 , (0.2)
(0.3)
Z ∞
Ps (νe → νµ ; t) = dx|ψµ (x, t; θ|2
Z−∞
∞
= dx|ψµ (x, t; θ|† |ψµ (x, t; θ|
Z−∞
∞
= dx|(ψ1 (x, t) − ψ2 (x, t)) cos θ sin θ|†
−∞
Z ∞
− cos2 θ sin2 θ(1 − Imψ2† (x, t)ψ1 (x, t)dx)
−∞
sin2 2θ
= 1 − IN Ts (t). (0.4)
2
Z ∞
dp 1 1
IN Ts = ψ(p − p̄)( cos(E1 + E2 )t + cos(E1 − E2 )t
−∞ 2π 2 2
!2
3
γ p + mi 1 1
+ ( cos(E1 + E2 )t + cos(E1 − E2 )t))
Ei (p) 2 2
!2
Z ∞
dp 1 1 γ 3 p + mi
= ψ(p − p̄)( cos 2Ēt + cos ∆Et +
−∞ 2π 2 2 Ei (p)
1 1
( cos 2Ēt + cos ∆Et))
2 2
Z ∞
dp 1 1 1 p2 + m1 m2
= ψ(p − p̄)( cos 2Ēt + cos ∆Et − (
−∞ 2π 2 2 2 E1 E2
2
pm1 + pm2 1 p + m1 m2 pm1 + pm2
+ ) cos 2Ēt + ( + )
E1 E2 2 E1 E2 E1 E2
cos ∆Et))
Z ∞
dp 1 p2 + m1 m2
= ψ(p − p̄)( + ) cos ∆Et
−∞ 2π 2 E1 E2
1 p2 + m1 m2
+( − ) cos 2Ēt)
2 E1 E2
Z ∞
dp 1 1 1 p2 + m1 m2
= ψ(p − p̄)( + − ) cos ∆Et
−∞ 2π 2 2 2 E1 E2
1 p2 + m1 m2
( − ) cos 2Ēt)
2 E1 E2
Z ∞
dp
= ψ(p − p̄)(1 − f (p) cos ∆Et + f (p) cos 2Ēt. (0.5)
−∞ 2π
Z ∞
dp ∆E(p)t
IN Ts = ψ(p − p̄)(1 − f (p)(1 − 2 sin2 ) + f (p)(1 − 2 sin2 Ēt)
−∞ 2π 2
Z ∞ Z ∞
dp dp ∆E(p)t
= ψ(p − p̄) − ψ(p − p̄)2 sin2
−∞ 2π −∞ 2π 2
Z ∞ Z ∞
dp dp ∆E(p)t
−f (p) ψ(p − p̄) + f (p) ψ(p − p̄)2 sin2
−∞ 2π −∞ 2π 2
83
Z ∞ Z ∞
dp dp
−f (p) ψ(p − p̄) − f (p) ψ(p − p̄)2 sin2 Ēt
−∞ 2π −∞ 2π
Z ∞ Z ∞
dp 2 ∆E(p)t dp
= 1 − f (p) ψ(p − p̄)2 sin + f (p) ψ(p − p̄)
−∞ 2π 2 −∞ 2π
Z ∞
dp ∆E(p)t
f (p) ψ(p − p̄)2 sin2
−∞ 2π 2
Z ∞
dp
+f (p) ψ(p − p̄)2 sin2 Ēt. (0.6)
−∞ 2π
Z
P (νe − νe ; t) = dx|ν̂eT ψf (x, t)|2
Z
= dx|ν̂eT ψf (x, t)|† |ν̂eT ψf (x, t)|
Z
= dx|ν̂eT K D (t)ψf (x, 0)|† |ν̂eT K D (t)ψf (x, 0)|
Z
= dxψf† (x, 0)K D† (t)ν̂e ν̂eT K D (t)ψf (x, 0)
Z
= dxψf† (x, 0)K D† (t)Pν e K D (t)ψf (x, 0)
Z Z
= dx d3 x0 ψf† (x0 , 0)K D† (x − x0 ; t)Pν e
Z
d3 x0 K D (x − x0 ; t)ψf (x0 , 0). (0.7)
sin2 2θ
LK D†µ e LKµD e L = (P − P f (p) + f (p) 2 sin2 Ēt)L
2
1 p2 + m1 m2
= (P − P ( − )+
2 E1 E2
1 p2 m1 m2 sin2 2θ
( − ) 2 sin2 Ēt)L
2 E1 E2 2
P (p, t) P (p, t)p2 P (p, t)m1 m2
= ( + +
2 2E1 E2 2E1 E2
2 2
sin 2θ sin Ēt sin 2θ sin2 Ēt
2
+ − p2
2 2E1 E2
2 2
m1 m2 sin 2θ sin Ēt
− )L
2E1 E2
84
2 2 ∆Et
P (p, t)L 2 sin 2θ sin 2
L
= +p
2 2E1 E2
2 2 ∆Et
sin 2θm1 m2 sin 2 L sin2 2θ sin2 ĒtL
+ +
2E1 E2 2
2 2
2 sin 2θ sin ĒtL m1 m2 sin 2θ sin2 ĒtL
2
−p − (0.8)
2E1 E2 2E1 E2
Z
d3 p 1 Z 3 Z 3 X
0 0
K(x , x; y , y) = d x d y [(p + m)e−ip(x+y)
(2π)3 2E s
+ (p − m)eip(x+y) ]γ 0
Z
d3 p 1 Z 3 Z 3 X s
= d x d y [u (p)ūs (p)e−ip(x+y)
(2π)3 2E s
+ v s (p)v̄ s (p)eip(x+y) ]γ 0
Z
31 X Z d3 x s −ipx
Z
d3 y s −ipy
= dp [ 3 u (p)e 3 ū (p)e
2E s (2π) 2 (2π) 2
Z
d3 x s ipx
Z
d3 y s ipy 0
3 v (p)e 3 v̄ (p)e ]γ
(2π) 2 (2π) 2
Z
1 X s
= d3 p [u (x; p)ū(y; p) + v s (x; p)v̄(y; p)]γ 0 . (0.11)
2E s
86
i2
S (2) = T < LW >2
2
−1
= T < L1 + L†1 >2
2
−1
= T [< L1 >2 +2 < L1 >< L†1 > + < L†1 >2 ]
2
−1
= T [2 < L1 >< L†1 >]
2
= −T [< L1 >< L†1 >]
x < lβ |¯lβ (x)|0 > γ µ L Uβ i iS((y − x); mn Uα∗ i γ ν L < 0|lα (y)|lα >
X
i
Z
= d yd x < B (p B )|Jµ (x)|B >< A0 (p0 A )|Jν† (y)|A >
4 4 0 0
i
∗
≡ Uβ i Uα i Ai . (0.13)
87
bab 4
Z
Ai = d4 yd4 x < B 0 (p0 B )|Jµ (x)|B >< A0 (p0 A )|Jν† (y)|A >
i
Z
4 4 1 Z
d J B B 0 (q , p0 )ψ (q )e−iqB .(y−xB )
= d yd x 3 dq B µ B B B B
(2π) 2
1 Z
d J A A0 (q , p0 )ψ (q )e−iqA.(x−xA) xū (y, p)γ µ L
3 dq A ν A A A A β
(2π) 2
Z
iSF (y − x; mi )γ L ν d e−iqα.(x−xA)
dq α
3
Z Z Z
(2π) 2 B B 0
= dq
d
B dq
d
A dq
d
α 6
Jµ (qB , p0 B )ψB (qB )JνA A0 (qA , p0 A )ψA (qA )
(2π)
Z
e iqB xB +iqAxA+iqαxα
xūβ (y, p)γ L[ d4 yd4 xe−iqB y+ipB y
µ
2π 3 3
Z Z
B = d xd ydx0 dy0 ei(kβ −k0β )y ei(kα−k0α)x iSi ((y − x); mi )
2π
Z
1 0 0 0
R 3 3 ikβ y −kαx
= 2π dx0 dy0 ei kβ y−kα x iSi ((y−x);mi )d xd ye
2π
Z X Z d3 p
0 0 3 3 ikβ y−kαx
= 2πδ(kβ − kα ) d xd ye [us (y; p)ūsn (x; p)
2En n
(y0 − xo − mi ) − vns (y; p)v̄(x; p)θ(x0 − y0 − mi )]
0
Z
−iei kw r−ikβ ikα .x
= 2πδ(kβ0 − kα0 ) dxdy
4πr
x[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]
0
−iei kw (R+R̂(y−xB )−R̂(x−xA )−ikβ y+ikα x
Z
= 2πδ(kβ0
− dxdykα0 )
4π(R + R̂(y − xB ) − R̂(x − xA ))
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]. (0.15)
88
0
Z
−iei {kw R+(kw R̂y−kβ y)−(kw R̂x−kα x)−kw xB −kw xA }
B = 2πδ(kβ0 − kα0 ) dxdy
4π(R + 1 − 1)
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]
0
Z
−iei {kw R+(kw R̂−kβ )y−(kw R̂−kα )x−kw xB −kw xA }
= 2πδ(kβ0 − kα0 ) dxdy
4πR
0
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]e −iwi tB +iwi tA
−i2πδ(kβ0 − kα0 ) Z (2π)6 0 i(kw R̂−kα )x−i(−kw R̂+kβ )y+i{−kw R−kw xB −kw xA }
= dxdy e
4πR (2π)6
0
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]e −iwi tB +iwi tA
−i 0
= 2πδ(kβ0 − kα0 ) (2π)6 δ 3 (−kw R̂ + kβ )δ 3 (−kw R̂ + kα )e −iwi tB +iwi tA
4πR
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi ) − vi (−kω r̂)v̄i (−kω r̂)θ(−ωi − mi )]. (0.16)
1 Z d Z d Z d BB0
Ai = 6
dqB dqA dqα Jµ (qB , p0 B )ψB (qB )JνA A0 (qA , p0 A )
(2π)
ψA (qA )eiqB .xB ei(qA+qα).xA ūβ (pβ )γ µ L
−i 0
2πδ(kβ0 − kα0 ) (2π)6 δ 3 (−kw R̂ + kβ )δ 3 (−kw R̂ + kα )e −iwi tB +iwi tA
4πR
[ui (kω r̂)ū(kω r̂)θ(ωi − mi )γ ν Lψα (qα )
Z
d 2πδ(k 0 − k 0 )(ω − m ) −i 0 iqB .xB +i(qA +qα ).xA −iwi tB +iwi tA
= dq α β α i i e
4πR Z
x uk (pβ )γ µ L[ui (kω r̂)ū(kω r̂)γ ν Lψα (qα ) d δ 3 (−k R̂ + k )
dq B w β
Z
d δ 3 (−k R̂ + k )J B B 0 (q , p0 )ψ (q )ψ (q )J A A0 (q , p0 )
dq A w α µ B B B B A A ν A A
Z
d 2πδ(k 0 − k 0 )(ω − m ) −i 0 ikw R+i(pk +p0 )xB +ip0 .xA −iwi (tB −tA )
= dq α β α i i e B A
4πR
x uk (pβ )γ µ L[ui (kω r̂)ū(kω r̂)γ ν Lψα (qα )
ψB qB ) A A0 ψA (qA )
JµB B 0 (qB , p0 B ) q Jν (qA , p0 A ) q
EB (qB ) EA (q)
(0.17)
89
Z
0
P(p, t) = dpψ̃ν† j (p, gj )ψν i (p, gi )|Uµ1 |2 |Ue1 |2 + Uµ∗ 1 Ue1 Uµ2 Ue∗ 2 e i(E2 −E1 )t
0
+|Uµ1 |2 |Ue1 |2 + Uµ∗ 2 Ue2 Uµ1 Ue∗ 1 e −i(E2 −E1 )t
Z
∆E(p)t
= dpψ̃ † (p)ψ̃(p)sin2 θsin2
Z 2
= dpψ̃ † (p)(P (p, t) cos E1 (p)t) cos E2 (p)t)
!2
0 2 γ 3 p + mi
− (γ ) sin E1 (p)t) sin E2 (p)t)]
Ei (p)
γ 3 p + m1
− iγ 0 cos E1 (p)t) sin E2 (p)t)
E1 (p)E2 (p)
3
0 γ p + m2
+ iγ cos E2 (p)t) sin E1 (p)t)ψ̃(p)
E1 (p)E2 (p)
Z
1 1 1 p2 + m1 m2
= dpψ̃ † (p)(P (p, t)( + − ) cos ∆Et
2 2 2 E1 E2
1 p2 + m1 m2 γ.p
( − ) cos 2Ēt)i sin∆E(p)t)ψ̃(p)
2 E1 E2 E1 (p)E2 (p)
90
Z
= dpψ̃ † (p)(P (p, t)(1 − f (p) cos ∆Et + f (p) cos 2Ēt))
∆m
− i γ.psin∆E(p)t)ψ̃(p)
2E1 (p)E2 (p)
Z
= dpψ̃ † (p)(P − P f (p) + f (p) sin2 2θ sin2 Ēt
∆m
− i γ.psin∆E(p)t)ψ̃(p)
2E1 (p)E2 (p)
Z
1 1
= dpP ψ̃ † (p)[1 − Λ1− (p) − Λ2− (p)]ψν i (p)
2 2
1 2 Z †
sin 2θ dpψ̃ (p)[f (p) cos(∆Et)
4
∆m
− i γ.psin∆E(p)t)]ψ̃(p) (0.19)
2E1 (p)E2 (p)
Z
1 2 m1 m2
P (νe → νµ ; t) = dpP (p, t) + sin 2θ( sin E1 t − sin E2 t)2 ψ̃ν† e (p)ψ̃ν e (p)
4 E1 E2
Z
∆E(p)t
= dp[sin2 θ sin2
2
1 2 m1 m2
+ sin 2θ( sin E1 t − sin E2 t)2 ]ψ̃ν† e (p)ψ̃ν e (p)
4 E1 E2
Z
sin2 2θ E2 t E1 t E1 t E2 t 2
= dp (sin cos − sin cos )
2 2 2 2 2
sin2 2θ m1 m2
+ ( ( sin E1 t − sin E2 t)2 )ψ̃ν† e (p)ψ̃ν e (p)
4 E1 E2
Z
1 m1 1 m2 2 sin2 2θ m1 1 m2 1 2 †
= dpP (p, t)( − ) +( ( − ) )ψ̃ν e (p)ψ̃ν e (p)
4 E1 4 E2 4 E1 2 E2 2
Z
m1 m2 sin2 2θ m1 m2 2 †
= dp P (p, t) + ( ( − ) )ψ̃ν e (p)ψ̃ν e (p). (0.21)
4E1 E2 4 2E1 2E2
LAMPIRAN B
Osilasi Flavor untuk Spin 0
∂
ı ϕ(~x, t) = βEp ϕ(x, t)
∂t q
= β m2 − p2 ϕ(x, t)
q
= β m2 − 52 ϕ(x, t)
q
= − 52 +m2 ϕ(x, t) (0.1)
3
" #2 " #
X 1 h̄ ∂ h̄ ∂
ψ(x, t) = ψ(x, t)
k=1 2m ı ∂xk i ∂t
3
" #2
X 1 h̄
pk ψ(x, t) = [p0 ] ψ(x, t)
k=1 2m ı
3
" #2
X 1 h̄
pk ψ(x, t) − [p0 ψ(x, t) = 0
k=1 2m ı
4
" #2
1 h̄
ψ(x, t) + (mc)2 = 0
X
pµ (0.3)
µ=1 2m ı
∂ mc
Dµ = k= . (0.4)
∂xµ h̄
80
81
4
" #2
X 1 h̄ ∂ mc 2
ψ(x, t) − ( ) = 0 (0.5)
µ=1 2m ı ∂xk h̄
= (Dµ2 − k 2 )ψ(x, t) = 0.
X
(0.6)
µ
∂ mc
Dµ† = k= . (0.8)
∂xµ h̄
∂ψ
Hψ = ıh̄ (0.9)
∂t
∂ψ
dengan memperkenalkan ∂t
sebagai komponen yang independen (Nish, 2006):
ψ4 = −k −1 D4 ψ (0.10)
(Dµ2 − k 2 )ψ = 0
X
µ
3
Dk2 ψ + D42 ψ − k 2 ψ = 0
X
k=1
3
Dk2 ψ − kD4 ψ4 − k 2 ψ = 0.
X
(0.11)
k=1
82
1
ψ = √ (ϕ + χ) (0.12)
2
1
ψ4 = √ (ϕ − χ) (0.13)
2
3
Dk2 ψ − k 2 ψ = kD4 ψ4
X
k=1
3
X Dk2
ψ − kψ = D4 ψ4
k=1 k
3
X Dk2 1 1 1
√ (ϕ + χ) − k √ (ϕ + χ) = D4 √ (ϕ − χ)
k=1 k 2 2 2
3
X Dk2
(ϕ + χ) − k(ϕ + χ) = D4 (ϕ − χ)
k=1 k
3 3
X 1 Dk2 X 1 Dk2
ϕ+ χ − kϕ − kχ = D4 ϕ − D4 χ (0.14)
k=1 2 k k=1 2 k
3
X 1 Dk2
(ϕ + χ) − kϕ = D4 ϕ (0.15)
k=1 2 k
3
X 1 Dk2
(ϕ + χ) − kχ = −D4 χ (0.16)
k=1 2 k
3
" #2 " #
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
− (ϕ + χ) + ϕ = − ϕ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
3
" #2 " #
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
(ϕ + χ) + ϕ = − ϕ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
3
" #2
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
(ϕ + χ) + ϕ = − ϕ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
" #2
1 h̄ ∂
5 (ϕ + χ) + mc2 ϕ = ıh̄ ϕ (0.17)
2m ı ∂x4
83
3
X 1 Dk2
(ϕ + χ) − kχ = −D4 χ
k=1 2 k
3
" #2 " #
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
(ϕ + χ) − χ = − − χ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
3
" #2 " #
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
(ϕ + χ) − χ = − − χ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
3
" #2
X h̄ h̄ ∂ mc h̄ ∂
(ϕ + χ) − χ = χ
k=1 2mc ı ∂xk h̄ ı ∂x4
" #
h̄ h̄ mc ∂
− 5+ χ = ıh̄ χ. (0.18)
2mc ı h̄ ∂x4
Setelah itu, fungsi gelombang dengan bentuk Hamiltonian dapat dirumuskan den-
gan (Nish, 2006):
ıh̄ ∂ϕ
∂t
H =
ıh̄ ∂χ
∂t
ϕ ψ
=
ψ ϕ
h i2
1 h̄ 2
2m ı
5 (ϕ + χ) + mc ϕ
=
h i2
h̄ h̄ mc
2mc ı
5 (ϕ + χ) + h̄
χ
h i2 h i2
1 h̄ 2 1 h̄
2m ı
5 − mc 2m ı
5
=
h i2 h i2
1 h̄ 1 h̄
− 2m ı
5 − 2m ı
5 + mc2
h i2 h i2
1 h̄ 1 h̄ 2
2m ı
5 2m ı
5 mc 0
=
h i2 h i2 +
1 h̄ 1 h̄
− 2m ı
5 − 2m ı
5 0 −mc2
#2
1 1 1 h̄ 1 0 1 0
"
2
= 5 +
mc + eψ
−1 −1 2m ı
0 −1 0 −1
84
#2
1 0 0 1 1 h̄ 1 0
"
2
= 5 +
mc
−1 0 2m ı
0 −1 0 −1
" #2
1 h̄
= (σ3 + ıσ2 ) 5 + σ(mc2 )
2m ı
1 2 2
= (σ3 + ıσ2 ) h̄ 5 + σ3 (mc2 )
2m
52
= −(σ3 + ıσ2 ) + σ3 m, (0.19)
2m
52
H S Tn = −(σ3 + ıσ2 ) + m2n , (0.21)
2mn
dengan (H S Tn )2 = (−∆2 + m2n )1S T seperti Hamiltonian pada persamaan (3.3). Ma-
triks σk merepresentasi matriks Pauli dan 1S T merupakan matriks identitas (Nish,
2006).
Densitas muatan dapat didefinisikan seperti (Nishi, 2006):
yang mana adalah notasi Klein-Gordon yang tepat. Densitas muatan pada per-
samaan (3.102)adalah fungsi gelombang (bermuatan) yang kompleks bukan nol.
Densitas muatan Φ̄Φ mirip dengan densitas probabilitas fermion ψ † ψ dalam kasus
Dirac meskpun bentuk tersebut adalah bukan batasan positif seperti yang dijelaskan
sebelumnya(Kasus Dirac hanya untuk partikel berenergi positif). Adjoin Φ̄ = Φ† σ3
didefinisikan untuk membuat struktur normal dari besar perubahan yang tak bergan-
tung waktu (Nish, 2006):
Z
dxΦ̄n (x, t)Φ(x, t)(Φn , Φn ). (0.24)
T
Pada subbab 1, fungsi gelombang massa yaitu ψm ≡ (ψ1T , ψ2T )dan fungsi gelom-
bang flavor yaitu ψfT ≡ (ΦTν e , ΦTν µ ) yang memenuhi hubungan ψf ≡ U ψm . Ke-
samaan dari U U ⊗ 1S T dan dari Pν α ⊗ 1S T adalah mutlak tanpa modifikasi dalam
notasi. Selanjutnnya, evolusi waktu dari ψf dapat diberikan melalui operator evo-
lusi waktu K S T yang beraksi dalam bentuk yang sama seperti persamaan (3.10).
Dalam analogi yang lengkap untuk perhitungan dari (3.14) dan (3.48), persamaan
perubahan waktu dapat didefinisikan sebagai (Nishi, 2006):
Z
P (νe → νµ ; t) = dxν̂µT Φ̄n (x, t)U −1 U 1 ν̂µT Φ(x, t)
Z
= dx|ν̂µT Φ̄f (x, t)|† |ν̂µT Φf (x, t)|
Z
= dx|ν̂µT K S T (t)Φf (x, 0)|† γ 0 |ν̂µT K S T (t)Φf (x, 0)|
Z
= dxΦ̄f (x, 0)K̄ S T (t)ν̂µ ν̂µT K S T (t)Φf (x, 0)
Z
= dxΦ̄f (x, 0)K̄ S T (t)Pν µ K S T (t)Φf (x, 0)
Z Z
= dx d3 x0 Φ̄f (x0 , 0)K̄ S T (x − x0 ; t)Pν µ
Z
d3 x0 K S T (x − x0 ; t)Φf (x0 , 0)
Z Z Z
d3 p S T 0
= dx d3 x0 Φ̄f (x0 , 0) 3
K̄ (p; t)eip.(x−x ) Pν µ
(2π)
86
Z
d3 p S T
Z
0
d3 x 0 3
K (p; t)e−ip.(x−x ) Φf (x0 , 0)
(2π)
Z Z
d3 x0 0 ip.x0
Z
d3 p −ip.x0 S T
= dx 3 Φ̄ f (x )e 3 e K̄ (p; t)Pν µ
(2π) 2 (2π) 2
Z
d3 x 0 0 −ip.x0
Z
d3 p ip.x0 S T
3 Φ f (x )e 3 e K (p; t)
(2π) 2 (2π) 2
Z Z
d3 p ST −ipx0
Z
d3 p ST 0
= dx 3 Φ̄νe (p)K̄ (p; t)e 3 Φν e (p)K (p; t)eipx
(2π) 2 (2π) 2
Z
= dpΦ̄e (p)K̄ S T (p; t)(p)K S T (p; t)Φe (p), (0.25)
dimana ψf (x, 0)T = (Φe (xT , 0). Operasi adjoint diperluas ψ̄f = ψf† (1θ ⊗σ3 dengan
1θ adalah identitas dalam ruang bauran (Nish, 2006).
Informasi evolusi waktu karena osilasi dapat dirumuskan dengan analogi dari
persamaan (3.58) (Nish, 2006):
dimana fungsi f p) didefinisikan dalam persamaan (3.55) dan (Nish, 2006: 12):
s
1 m1 m2
µ= ( + ). (0.27)
2 m2 m1
Bernadini, A.E dan Stefano De Leo. 2004. Dirac Spinors and Flavor Oscillations.
Europe: Phys. J. C 37.
Bernadini, A.E dan Stefano De Leo. 2005. Flavor and Chiral Oscillations with
Dirac Wave Packets. Physical Review D. 71.
Giuinti, Carlo dan Chung W. Kim, 2007. Fundamentals of Neutrino Physics and
Astrophysics. Oxford: Oxford University Press.
Gross, Franz. 2004. Relativictic Quantum Mechanics and Field Theory. Germany:
Willey VHC Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
Julio. 2003. Neutrino Mixing dalam Skenario Tiga Generasi. Depok: Universitas
Indonesia.
Kenneth, Krane. 2011. Mpdern Physics Third Edition. New York: John Wiley &
Sons.
Keyser, Boris. 1997. Comment on Recent Argument That Neutrinos Are Not
Majorana Particles. USA: National Science Foundation.
Leo, Stefano De dkk. 2004. Wave Packets and Quantum Oscillations. Int. J. Mod.
Phys. A 19 , 677-694
Lesov, Alexander, 2009. The Weak Force: From Fermi to Feynman. South
Carolina: University of South Carolina.
Manzur, Ibnu. 2009. رر رر رررر ررررر ر ر ر ر ررر ر. Saudi Arabia: Bullag Misr al-
Matb’ah al-Kubra al-‘Amiriyah
Wibowo, Herlik. 2009. Grand Unified Theory and Massive Neutrino. Surabaya:
Insitut Teknologi Sepuluh Nopember.
Wijaya, Eko Budi. 2012. Massa Neutrino Setelah Perusakan GUT SU(6)
Dimensi-5. Jakarta: Universitas Indonesia.