You are on page 1of 5
PAHAM RADIKAL DAN TRANSISI DEMOKRASI SERTA KEUTUHAN NKRI Oleh : Chairuddin Ismail ' L Pendahuluan Paham radikal menjadi berita media yang sangat ramai akhir-akhir ini, menyusul tersebarnya berita beberapa warga negara Indonesia ikut bergabung dengan mereka yang berjuang dalam suatu kekuatan yang diberi nama ISIS di Suriah Timur Tengah. Bahkan beberapa orang dikabarkan tertangkap di Turki dalam upaya memasuki Irak dari perbatasan Turki. Hal tersebut di atas menjadi ramai lagi ketika ditemukan berbagai buku panduan jihad yang berpahan radikal, serta adanya situs-situs internet yang dicurigai menyebarkan paham radikal tersebut. Dan yang baru adalah berita pemblokiran beberapa situs tertentu yang dicurigai diiringi dengan polemik berkepanjangan di media massa. Juga adanya tayangan aparat kepolisian yang melakukan penggerebekan dan penangkapan orang-orang yang dicurigai sebagai agen perekrut sukarelawan ISIS di beberapa tempat di Indonesia. Berbicara tentang paham radikalisme dan penyebarannya, tidak terlepas dari akar-akar pendorong di dalam kehidupan sosial politik suatu negara. Paham radikal, fundamentalisme dan terrorisme global di era globalisasi ini, memiliki akar kondisi yang berhimpitan, sehingga dalam diskusi ini ketiga hal tersebut akan dibicarakan dalam konteks pengertian yang relatif sama. Terrorisme pada awalnya merupakan respon pelampiasan frustasi bagi mereka yang merasa teralinieasi, untuk menimbulkan perasaan ketakutan, bagi masyarakat dan negara, dalam kondisi mereka tidak memiliki kekuatan yang sepadan untuk melawan, Tujuan terror adalah membangun rasa ketakutan, agar ‘mereka diperhitungkan. Terrorisme dibangun oleh paham radikal dan kadang pula fundamentalisme agama tertentu. Tulisan singkat ini dimaksukan sebagai naskah pemandu diskusi mengenai masalah Radikalisme dan penyebarannya di Indonesia, dan bagaimana upaya untuk mencegah dan menanggulanginya. IL. Paham Radikalisme, Fundamentalisme dan Terrorisme pada Era Globalisasi Ekonomi dan Pasar Bebas. ‘Akselerasi tatanan dunia Globalisasi Ekonomi (free-market democracy) selama lebih satu dekade ini tidak memberi kenyataan akan harapan terciptanya tatanan dunia yang semakin damai, demokratik dan sejahtera. Bahkan sangat kontradiktif dengan imajinasi tentang living in a pece world, dunia saat ini semakin dikacaukan oleh anarki sosial dan politik, yang muncul dalam berbagai wajah. Konflik komunal, etno=nasionalisme, sentimen kalangn fundamentalisme agama kembali marak, dan akhirnya terrorisme global pasca Tragedi WTC di ‘Amerika Serikat bagaikan hantu yang telah mengancam seluruh warga dunia. Hal tersebut di atas juga berkembang di Indonesia semenjak tragedi bom di Kuta Bali pada Oktober 2001, telah berkali-kali terjadi serangan terrorisme ‘Dr. Chairuddin Ismail, Drs, SH,MH, Jenderal Polisi (Pum) adalah Anggota Senat dan Pengajar di STIK-PTIK, serla pengajar beberapa Program S2 Hukum di beberapa Universitas, juga sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura. yang mencapai Klimaks pada pemboman di Hotel Marriot Agustus 2003 lalu. Kemudian berkembang daerah-daerah latihan terrorisme di Sumatera Utara, kemudian di Poso yang masih ada sampai sekarang ini bahkan kemudian kita dikagetkan adanya warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Timur Tengah, yang hingga kini menjadi trend Pertanyaan yang kemudian timbul dari kenyataan tersebut di atas, bagaimana mungkin hal itu bisa tercipta pada formasi lingkungan global yang dibangun oleh resep demokrasi liberal dan global free-market, tatanan yang sejak awal dipercaya dapat menjamin keamanan, civil liberties, dan kesejahteraan bagi seluruh warga dunia, apabila dijalankan secara baik. Amerika Serikat yang mnjadi pelopor formulasi tatanan dunia tersebut, juga membawa perngkat civil society, good governance dan human rights, yang dijadikan acuan di dalam transisi demokrasi negara-negara berkembang abad ke-21 ini Hal yang perlu dicermati untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas adalah bahwa kombinasi demokrasi dan kapitalisme global yang dijalankan diberbagai negara tidak serta merta menjamin keamanan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi seluruh dunia, Hal ini disebabkan karena, pertama: negara sebagai institusi politik modern yang bertanggung jawab atas stabilitas ruang sosial politik dan menjamin lingkungan yang kondusif bagi sirkulasi Kapital, diwilayah yang tengah mengalami fase transisi demokratik, telah gagal menjalankan tugas tersebut. Hal itu terjadi karena fase tersebut ternyata menjadi momentum untuk melampiaskan frustasi politik dan kemarahan yang mengendap ketika tatanan bejalan dalam lingkungan tertutup, sementara tatanan lama sudah hancur (Kaplan (2001), Hal yang kedua adalah, bahwa wajah dunia di era globalisasi tidak ahanya menampilkan wajah tengah bergerak menuju free-market democracy. Terdapat beberapa negara seperti Sudan, Afghanistan, Somalia dan beberapa negara lainnya yang masih berpijak pada model pemerintahan otoritarian. Angin liberalisasi ternyata tidak serta merta menyapu seluruh wilayah dunia untuk mengadopsi pemerintahan demokratik, era keterbukaan justru melahirkan pluralisme kultural. Dimensi-dimensi etnik, agama yang pada era perang dingin tidak muncul, saat ini tampil mengedepan dan menghadirkan model-model otoritas politik yang beberapa diantaranya bertentangan dengan demokrasi dan dipahami sebagai Radikalisme atau Fundamentalisme. Baik negara yang gagal dalam mengelola fase transisi demokrasi, maupun negara-negara otoriter yang masih menekan kebebasan sipil warga negaranya, kesemuanya itu dapat dikategorikan sebagai ‘falied state, atau negara gagal, arena negara-negara tersebut tidak mampu memberikan kebajikan_politik kKebebasan sipil, dan kesejahteran sosial bagi seluruh warga negaranya. Sebagai Konsekuensinya, negara tersebut kehilangan legitimasi dari rakyatnya, karena kketidak mampuannya meraih hati, fikiran dan suara rakyatnya. Rotberg mendefiniskan negara gagal sebagai negara yang tidak mampu menjaga stabilitas tatanan sosial politik. Eskalasi konflik yang semakin meluas dan mendalam, retaknya kohesivitas sosial, ancaman perang internal sebagai akibat menajamnya faksi-faksi politik di dalam berbagai variasi, serta politisasi yang tinggi dikalangan pejabat negara, schingga pengelolaan negara tidak bisa berjalan dengan baik, tingkat kesejahteraan yang semakin memburuk, dan demokratisasi korupsi yang menyebar dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah (Rotberg, 2002). Kondisi negara-negara gagal dalam transisi demokrasi maupun di negara otoriter tersebut menjadi lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya paham- paham radikal, fundamentalisme keagamaan, serta terrorisme global. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan negara untuk memenuhi harapan-harapan warga atas kebajikan politik stabilitas sosial-politik, kesejahteraan sosial dan seterusnya, telah mendorong orang-orang untuk mencari figur lain yang dianggap dapat memenuhi harapan tersebut, yakni faksi-faksi fundamentalis keamanaan, etno-nasionalisme, dan tokoh-tokon yang kharismatik bagi mereka. Warga negara antusiasme untuk terlibat dalam partisipasi diruang politik, dan kontrak sosial yang dibangun antara warga negara dengan negaranya mengalami kemerosotan. Indikasi ancaman kemerosotan negara menuju falied state ketika negara gagal menempatkan diri dalam membangun peceful and stable polical order pada saat transisi demokratis sedang berlangsung. Uraian di atas hendaknya menjadi landasan pemikiran untuk mencermati dan mencegah serta menanggulangi paham radikalisme, fundamentalisme keagamaan, dan terrorisme global di Indonesia. II. Keutuhan NKRI dan ancaman Paham Radikalisme di Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dibangun atas landasan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tinggal Ika. Pada pidator Ir Sukarno Tanggal 1 Juni 1945, ketika beliau mengusulkan dasar negara, yang pertama-tama diutarakan sebagai dasar negara adalah Persatuan Indonesia”, karena hanya dengan keyakinan persatuan Indonesia ini semua etnik (suku bangsa) yang ada di Nusantara ini bisa menjadi satu bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan. Setelah itu, diajukan sila Peri Kemanusiaan yang adil dan beradab, karena sila ini akan memberikan penghargaan bagi ummat manusia lain yang merupakan makhluk Tuhan YME. namun tidak menjadi satu bangsa dengan Indonesia, Kemudian diatas 2 (dua) sila tersebut dibangunlah sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam perwakilan, disusul oleh sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan tujuan dan cita-cita pembentukan NKRI. Ke-empat sila tersebut diatas dipayungi oleh keyakinan atas Ketuhanan YAME. Dari penjelasan tersebut di atas kita memperoleh pemahaman bahwa sejak awal nilai persatuan telah menjadi pertimbangan penting, mengingat Nusantara ‘merupakan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau yang dikelilingi oleh lautan (archipelagic water). Dengan demikian paham radikalisme, fundamentalisme dan terrorisme global menjadi ancaman yang sangat serius bagi keutuhan NKRI Sementara itu pada Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa negara diproklamasikan atas berkat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka adil dan makmur. Hal ini menunjukkan Kecintaan bangsa Indonesia akan perdamaian, bahkan menyatakan ikut serta memelihara perdamaian dunia yang abadi tersebut. ‘Negara RI dibangun untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang kemudian menjadi tanggung jawab TNI dan Polri yang kemudian dibangun’ dalam sistem pemerintahan, Negara juga bertujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut memelihara perdamaian dunia yang abadi, yang juga menjadi tanggung jawab kementerian di dalam pemerintahan negara. Tatanan berpikir seperti ini tidak boleh dilupakan, apalagi dipinggirkan ketika kita ingin membangun keutuhan NKRI, sekalipun di dalam iklim demokrasi, yang pada era reformasi dikenal sebagai free-market domocracy ini. Sebenarnya paham radikal sudah muncul semenjak awal kemerdekaan Indonesia, paham yang ingin membangun Negara Islam Indonesia, yaitu DU/TIL Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan Tenggara, Daud Beureuh di Acer dan seterusnya. Namun dapat diatasi oleh negara yang baru merdeka tersebut, Bahkan kemudian muncul ideologi Komunis (PKI) yang Kemudian mencapai puncaknya pada Gerakan September 30 (G30S/PKI) yang memunculkan era orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Socharto, yang Kemudian lengser menyusul era krisis moneter Tahun 1998. Semenjak itu dimulailah era Reformasi hingga sekarang ini Pada era reformasi berbagai tatanan sosial=politik demokrasi diadopsi berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, yang dipercaya dapat menjamin keamanan, civil liberties, dan kesejahteraan bagi seluruh warga, temyata belum sepenuhnya terwujud. Berbagai paham radikal bermunculan silih berganti, bahkan terjadi konflik etnik di Kalimantan antara Suku Madura dan Dayak, konflik di Am,bon Maluku berupa gabungan konflik agama dan etnik, serta berbagai kelompok ajaran radikal dan sesat yang dapat memicu kemarahan penganut agaman tertentu, Dari berbagai analisis yang ditulis oleh pakar, memang Hewasa ini Indonesia termasuk negara yang berada di dalam proses transis demokrasi, yang dipelopori oleh Amerika serikat tersebut. Kita ingin membangun demokrasi yang terkonsolidasi, dan tidak kembali bergerak —menuju otoritarianisme dan atau tidak menentu (otoriter tidak, dekorasi juga tidak). Akan tetapi sekalipun kita tidak atau belum dikategorikan sebagai negara yang gagal rmengelola masa transisi itu, namun potensinya ada di dalam tatanan sosial politik kita Indonesia sebagai negara dewasa ini dapat dikategorikan sebagai negara lemah (weaken state) yang berpotensi menjadi negara gagal (failed state), karenanya berbagai paham radikal dan fundamentalisme keagamaan yang menyebar ke Asia Tenggara, menjadikan Indonesia sebagai negara target, yang dianggap mampu mengembangkan kekuatan tersebut. ‘Sekalipun konflik komunal bisa diatasi, namun konflik-konflik yang laten di bidang politik belum menampakkan konsep ponyelesaian yang stabil, hal ini dapat dicermati dari berbagai konflik di tubuh parpol, serta serangan yang tiada henti kepada pemerintah, hasil pemilu. Barangkali kita kelira di didalam penerapan demokrasi, Perangkat demokrasi seperti civil society, good government, dan Jruman right adalah perangkat yang dibangun di atas paham individualisme, yang, menjadi paham masyarakat Amerika dan Eropa Barat, sementara di Indonesia semenjak nenek moyang kita paham kolektivisme (kekeluargaan) menjadi anutan masyarakat. Beberapa orang yang mengecap pendidikan barat cenderung mengabaikan hal ini, dan menganggap apa yang sukses diterapkan di Amerika secara otomatis bisa sukses di Indonesia. Hal inilah yang menjadikan berbagai potensi konflik di bidang sosial politik, kegaduhan di dalam pemberantasan korusi Gan seterusnya. Barangkali kita periu menyimak hal ini, dan secara kreatif mensingkretisme perangkat demokrasi kira dengan paham kekeluargaan ini Dengan demikian kita senantiasa terjepit oleh kedua paham itu di dalam kehidupan sosial politik kita. ‘Keutuhan NKRI sangat tergantung pada pilihan-pilihan politik yang diterapkan oleh bangsa Indonesia, pahanm radikal, fundamentalisme dan terrorisme global _memperoleh lingkungan yang kondusif untuk berkenbang ‘manakala, negara gagal mewujudkan stabilitas keamanan, politik, dan memberikan kebajikan politik pada warganya IV. Pencegahan dan Penanggulangan Paham Radikal di Indonesia Berdasarkan uraian terdahulum maka upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan paham radikalisme, fundamentalisme keagamaan, dan terrorisme global di era free-market democracy ini dapat dikelompokkan pada 3 (tiga) upaya yakni Upaya-upaya yang bersifat Pre-emtif, untuk mengeliminasi paham-paham iersebut sejak dini, Upaya-upaya yang bersifat Preventif, yang ditujukan pada pencegahan berupa mengurangi peluang (kesempatan) penyebarannya dan Upaya- upaya yang bersifat Repressif, yakni melakukan tindakan hukum bagi mereka yang nyata-nyata melanggar hukum. Upaya-upaya Pre=emtif (pre-emptieve measure) diarahkan pada pencermatan sosio-struktural masyarakat di bidang ideologi, politik, sosial, ekonomi, dan ketahanan keamanan untuk melihat potensi-potensi ancaman paham radikal semenjak dini. Aparat pemerintahan dan masyarakat lokalitas harus bekerjasama untuk menangani hal ini, secara sosiologis kultural dan tidak ‘mengedepankan otoritas apalagi kekuasaan, tetapi lebih pada upaya saling asah asih dan asuh. Upaya ini berlandaskan pada upaya membangun kohesivitas sosial ditingkat komunitas, yang pada akhirnya membangun otonomi secara devolusi dan bukan sekedar otonomi administratif. Ruang publik harus disediakan pada tataran bawah, Upaya=upaya yang bersifat Preventif dibangun oleh Pemerintah Daerah yang didukung oleh aparat kemanan secara sinergi, yang mengedepankan ketertiban sebagai tujuan sosial, dan tidak semata-mata mengedepankan hukum dan penegakannya. ‘Upaya-upaya Repressif dilakukan dengan sasaran pelanggar hukum dan ketertiban yang tidak bisa ditangani secara preventif ataupun pre-emtif, ‘Upaya-upaya tersebut di atas hendaknya dilakukan setelah meneliti dan mencermati berbagai fenomena sosial di tiap-tiap wilayah, dilakukan secara proaktif, dan tidak secara reaktif dan insidentil saja. Hal ini perlu ditekankan mengingat era reformasi dan keterbukaan ini, menjadi hal-hal demikian itu menjadi berita menarik untuk media massa, dan sangat laris bangi media TV maupun media sosial lainnya, tanpa memperhitungkan dampak buruknya bagi upaya pencegahan dan penanggulangan V. Penutup Demikianlah naskah singkat ini dibuat sebagai pemandu diskusi dalam acara diskusi publik dengan tema : “Penyebaran Paham Radikal Berbahaya Nagi NKRI", semoga bermanfaat bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi penulis. Amien Jakarta, 9 April 2015.

You might also like