You are on page 1of 20

Proposal Skripsi

TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA DAN PENYELESAINNYA


MELALUI NON LITIGASI

Proposal ini Diajukan Kepada Prodi Hukum Keluarga Fakultas Agama Islam Untuk
Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Program Skripsi

Disusun oleh : Miratul Khaiya


NIM : 1220003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYAH)


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2023
PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul : Tinjauan Umum Tentang Sengketa Dan


Penyelesainnya Melalui Non Litigasi

Ditulis oleh : Miratul Khaiya


NIM/ NIRM : 1220003/2020
Prodi : Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah)
Fakultas : Agama Islam

Setelah diteliti dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat menyetujuinya untuk
dipertahankan di depan sidang tim penguji proposal skripsi Fakultas Agama Islam Universitas
Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang.

Jombang, 1 Juni 2023


Pembimbing I Pembimbing II

NIPY. NIPY.

Mengetahui
Ketua Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah)
Fakultas Agama Islam
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang

Mahmud Huda, S.H.I, M.S.I


NIPY. 11010611193
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan implementasi dari proses
penyelesaian sengketa yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
Saat ini terdapat Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, sebelumnya pada tahun 1894 Pemerintahan
Hindia Belanda melalui Reglement Op Burgerlijke Rechtvordering atau Rv telah
menerapkan system penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi yaitu arbitrase
(termasuk mediasi). Selanjutnya, dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang berlaku pada
masa penjajahan Belanda juga mengisyaratkan agar hakim menerapkan perdamaian di
pengadilan. Pasal 130 HIR, berbunyi: “Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah
pihak menghadap, maka pengadilan negeri, dengan perantara ketuanya, akan
mencoba memperdamaikan mereka itu.”
Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur
non-litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian perkara
diluar pengadilan ini diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama,
dalam penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan.
Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa Alternatif
Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasai, konsiliasi dan
arbitrase.
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
(klien) dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya
atau saran kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien.
Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) sebagaimana diminta oleh kliennya,
dan selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil oleh
para pihak. Negoisasi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah/perundingan
langsung diantara para pihak yang bertikai dengan maksud mencari dan menemukan
bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima para pihak.Kesepakatan mengenai
penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui
oleh para pihak. Mediasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan
dengan dibantu oleh pihak luar yang tidak memihak/netral guna memperoleh
penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak. Konsiliasi atau Consilliation
dalam bahasa Inggris berarti perdamaian , penyelesaian sengketa melalui perundingan
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsisliator) untuk membantu pihak yang
berdetikai dalam menemukan bentuk penyelesaian yang disepakati para pihak. Hasil
konsilisiasi ini ini harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh
para pihak yang bersengketa, selanjutnya harus didaftarkan di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak. Pendapat ahli, upaya
menyelesaikan sengketa dengan menunjuk ahli untuk memberikan pendapatnya
terhadap masalah yang dipersengketakan untuk mendapat pandangan yang obyektif.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) merupakan upaya
tawar-menawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling
menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral bukan untuk memutuskan
sengketa melainkan para pihak sendirilah yang mengambil keputusan akhir.
Penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan (non litigasi) telah diatur pada sistem
hukum Indonesia dalam Undang-Undang Arbitrase.
Penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui
cara-cara di luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win
solution. Kelebihan proses nonlitigasi ini adalah sifat kerahasiaannya karena proses
persidangan dan hasil keputusannya yang tidak dipublikasikan. Selain itu, lambannya
proses penyelesaian sengketa akibat hal prosedural dan administratif juga dapat
dihindari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Tinjauan umum tentang Penyelesaian Sengketa ?
2. Apa saja yang termasuk penyelesaian di luar pengadilan ?
3. Bagaimana kedudukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penilitian


1. Tujuan
Setelah menentukan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan
terhadap masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Tinjauan umum tentang Penyelesaian Sengketa.
b. Untuk mengetahui macam bentuk penyelesaian di luar pengadilan
c. Untuk mengetahui kedudukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
2. Manfaat
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan keilmuan
tentang perjanjian khususnya berakitan dengan penyelesaian sengketa melalui
jalur non litigasi.
D. Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini peneliti mencantumkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang
terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Kemudian membuat ringkasan, baik
penelitian yang sudah dipublikasikan maupun belum dipublikasikan. Dengan
melakukan langkah ini, maka akan dapat dilihat sampai sejauh mana orisinalitas dan
posisi yang akan dilakukan. Adapun kajian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1. Berlin Bambang Irawan. 2015. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang. Skripsi yang berjudul Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase ditinjau
dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian sengketa. Fokus masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana
prosedur penyelesaian sengketa Hak Atas Tanah melalui Mediasi di Kantor
BadanPertanahan Nasional Kota Bandar Lampung ? 2. Bagaimanatingkat
keberhasilan penyelesaian sengketa Hak Atas Tanah melalui Mediasi di kantor
Badan Pertanahan Nasional kota Bandar Lampung?. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif atau lapangan. Skripsi ini mengkaji
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Hasil dari penelitian ini para pihak haruss
melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan Iembar
asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan
arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (putusan tetap) sehingga
Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut pasal 62 ayat (4) Undang-undang nomor 30
tahun 1999 tentang arbitrase. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase yang dijatuhkan oleh arbiter atau majeiis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU
No.30 Tahun 1999 sebelum memberi periniah pelaksanaan, Ketua Pengadilan
memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus
untuk arbitrase intemasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri
dapat menoiak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya
hukum apapun. Persamaan dengan penelitian ini sama-sama mengangkat judul
penyelesaian sengketa non litigasi dengan alternatif Arbitrase ditinjau dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2. Rehulina Dwitanty Sitepu. 2020. Fukultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul Evektivitas mediasi melalui lembaga litigasi dan non litigasi
dalam penyelesaian sengketa perdata (Studi Pengadilan Negeri Medan dan kantor
kecamatan Medan Baru). Dengan menggukan fokus permasalahan 1.Bagaimana
Upaya Mediasi Serta Dasar Pengaturannya? 2.Bagaimana Prosedur Mediasi Dalam
Penyelesaian Sengketa? 3.Bagaimana Efektivitas Mediasi Melalui Lembaga
Litigasi dan Non Litigasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata (Studi Pengadilan
Negeri Medan dan Kantor Kecamatan Medan Baru)?. Jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini metode penelitian kualitatif atau lapangan. Lembaga
penyelesaian sengketa alternatif adalah lembaga yang memberikan ruang kepada
para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa dengan pertimbangan-
pertimbangan dan kesepakatan yang para pihak sepakati tanpa khawatir harus
merenggangkan hubungan antara para pihak. Sebagaimana manusia merupakan
makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain (zoon politicon). Salah
satu penyelesaian sengketa alternatif adalah melalui mediasi yang mengedepankan
win-win solution, untuk tetap menjaga hubungan baik para pihak karena manusia
pada dasarnya saling membutuhkan. Efektivitas mediasi dilingkungan masyarakat
yang terjadi baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan belum sepenuhnya
efektif memberikan hasil perdamaian. Keinginan para pihak untuk berdamai
melalui mediasi masih sangat rendah.1 Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama

1
Rehulina Dwitanty Sitepu, Evektivitas mediasi melalui lembaga litigasi dan non litigasi dalam
penyelesaian sengketa perdata (Studi Pengadilan Negeri Medan dan kantor kecamatan Medan Baru). Skripsi
fakultas hukum, Universitas Sumatera Utara, 2020.
sama mengambil peran mediasi dalam menyelesaiakan permasalahan, sedangkan
perbedaaanya yaitu skripsi ini menyelesaiakan permasalahan tidak hanya non
litigasi namun dengan litigasi juga.
3. Azka Jihadul Ulya, 2016, fakultas syariah dan hukum, Universitas islam Negeri
Sunan Kalijaga Jogjakarta. Skripsi ini berjudul Mekanisme penyelesaian sengketa
melalui mediasi dikantor pertanahan kabupaten Cilapacap. Fokus masalah dalam
penelitian ini apakah proses penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi di
Kantor Pertanahan Kabupaten Cilacap sudah sesuai dengan aturan hukum?. Jenis
penelitian ini menggunakan metode kualitatif atau lapangan. Skripsi ini membahas
Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi di Kantor Pertanahan Kabupaten
Cilacap sebagian besar sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, peraturan yang dimaksud adalah Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan. Mekanisme mediasi yang dilakukan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Cilacap sebagian besar sudah sesuai dengan peraturan
tersebut, yaitu menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan nomor 05/JUKNIS/D.V/7. Kemudian berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
pada pasal 23 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa apabila penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dengan menggunakan bantuan mediator maka dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan untuk memperoleh akta perdamaian. Apabila para pihak
sudah tercapai kesepakatan perdamaian melalui mediasi di Kantor Pertanahan
Kabupaten Cilacap tersebut maka tidak ada keharusan/kewajiban untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan.2 persamaan penelitian ini sama sama
menggunakan peran mediator dalam menyelesaikan masalah, yang membedakan
adalah penyelesaian ini dilakukan dikantor pertanahan Cilacap.
E. Sistematika Penulisan
Bab I, uraian pendahuluan yang berisi gambaran umum berfungsi pengantar dalam
memahami pembahasan bab berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisaan

2
Azka Jihadul Ulya, Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi dikantor pertanahan
kabupaten Cilapacap. (Skripsi fakultas syariah dan hukum universitas islam negeri sunan kalijaga jogjakarta)
2016
proposal skripsi meliputi latar belakang, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.
Bab II, merupakan uraian tentang gambaran umum Tinjauan Umum Tentang
Sengketa Dan Penyelesainnya Melalui Non Litigasi
Bab III, menjelaskan tentang sifat dan jenis penelitian, sumber data penelitian
Teknik pengumpulan data, dan Teknik analasis data.
Bab VI, mengkaji dan menganalisa secara mendalam tentang Tinjauan Umum
Tentang Sengketa Dan Penyelesainnya Melalui Non Litigasi
Bab V, merupakan penutup dari keseluruhan isi proposal skripsi yang berisi
kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa


1. Pengertian sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI),
pengertian sengketa adalah 1) sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat;
pertengkaran; perbantahan. 2) pertikaian; perselisihan. 3) perkara (dalam
pegadilan).3
Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan yang
terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.4 Sedangkan menurut
Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling
mengalami perselisihan yang bersifat factual maupun perselisihan menurut persepsi
mereka saja.5
Sengketa adalah kondisi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan tersebut
kepada pihak kedua. Apabila suatu kondisi menunjukkan perbedaan pendapat,
maka terjadilah apa yang dinamakan sengketa tersebut. Dalam konteks hukum
khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan
yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan
yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan.
Sehingga dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu
pihak, karena tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan atau dipenuhi
namun kurang atau berlebihan yang akhirnya mengakibatkan pihak satunya
dirugikan.

3
Pengertian berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
4
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
5
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta.
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 1.
Sengketa yang timbul antara para pihak harus diselesaikan agar tidak
menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dan agar memberikan keadilan dan
kepastian hukum bagi para pihak. Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.
2. Penyelesaian Sengketa
Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya dilakukan
menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui Lembaga
litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi (di luar
pengadilan).
a. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan
definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 UU
30/1999 tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa sengketa
dalam bidang perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.6 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa litigasi merupakan proses menyelesaikan perselisihan
hukum di pengadilan yang mana setiap pihak bersengketa memiliki hak dan
kewajiban yang sama baik untuk mengajukan gugatan maupun membantah
gugatan melalui jawaban. 7
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian
sengketa melalui Lembaga pengadilan. Menurut Dr. Frans Hendra Winarta,
S.H., M.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa
mengatakan bahwa litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara
konvensional dalam dunia bisnis seperti dalam bidang perdagangan,
perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan
sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu
sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan

6
Bunyi Pasal 6 ayat (1), “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.
7
Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan Terhadap Mediasi dalam
Pengadilan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
https://www.academia.edu/29831296/Penyelesaian_Sengketa_Litigasi_dan_NonLitigasi_Tinjauan_terhadap_
Mediasi_dalam_Pengadilan_sebagai_Alternatif, diakses tanggal 26 Februari 2019.
sarana akhir (ultimum remidium) setelah upaya-upaya alternatif
penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.8
Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan
menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu
merangkul kepentingan bersama karena menghasilkan suatu putusan win-
lose solution. Sehingga pasti akan ada pihak yang menang pihak satunya
akan kalah, akibatnya ada yang merasa puas dan ada yang tidak sehingga
dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara para pihak yang
bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu
yang lama dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih mahal.
Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus
diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan,
juga karena terdapat tingkatan upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak
sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di
Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir. Sehingga tidak tercapai
asas pengadilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
b. Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi
Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan bahwa selain melalui litigasi
(pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur
non-litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut
dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS).9
Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal
dengan nama APS) telah memiliki landasan hukum yang diatur dalam UU
30/1999 tentang Arbitrase. Meskipun pada prakteknya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan merupakan nilai-nilai budaya, kebiasaan atau
adat masyarakat Indonesia dan hal ini sejalan dengan cita-cita masyarakat

8
Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2.

9
Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta. Penerbit : Sinar
Grafika. Hal. 8.
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Cara penyelesaian tersebut adalah dengan musyawarah dan mufakat
untuk mengambil keputusan. Misalnya dalam forum runggun adat yang
menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan, dalam
menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat
dikenal adanya Lembaga hakim perdamaian yang secara umum berperan
sebagai mediator dan konsiliator tepatnya di Batak Minangkabau. Oleh
sebab itu, masuknya konsep ADR di Indonesia tentu saja dapat dengan
mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.10
Pembahasan mengenai APS semakin ramai dibicarakan dan perlu
dikembangkan sehingga dapat mengatasi kemacetan dan penumpukan
perkara di Pengadilan. Istilah APS merupakan penyebutan yang diberikan
untuk pengelompokan penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Ada yang mengartikan APS sebagai
Alternative to Litigation yang mana seluruh mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari APS.
Pasal 1 Angka (10) UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa APS
sendiri merupakan Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.11 Sedangkan APS sebagai Alternative to Adjudication
meliputi penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif.
Namun dalam perkembangan dan pemberlakuan khususnya di Indonesia
terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut :12
1) Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam
UU 30/1999 tentang Pasar Modal mengenai makna maupun pengertian
konsultasi. Namun apabila melihat dalam Black’s Law Dictionary dapat
kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi adalah : “act of

10
Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di Pengadilan dan di Luar
Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 2. Hal. 219.
11
Pasal 1 Angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
12
Riski Abdriana Yuriani. 2013. Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Menyelesaikan Sengketa
Melalui Mediasi. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta. Hal. 21- 24.
consulting or conferring; e.g. patient with doctor, client with lawyer.
Deliberation of persons on some subject”.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya
konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu
pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan satu pihak lain yang
merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada
klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya
tersebut. Klien dapat menggunakan pendapat yang telah diberikan
ataupun memilih untuk tidak menggunakan adalah bebas, karena tidak
terdapat rumusan yang menyatakan sifat “keterikatan” atau “kewajiban”
dalam melakukan konsultasi.13
Hal ini berarti konsultasi sebagai bentuk pranata APS, peran dari
konsultasn dakam menyelesaikan sengketa atau perselisihan hanyalah
sebatas memberikan pendapat (hukum) saja sebagaimana permintaan
klien. Selanjutnya mengenai keputusan penyelesaian sengketa akan
diambil sendiri oleh para ihak yang bersengketa, meskipun adakalanya
pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-
bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa tersebut.
2) Negoisasi
Istilah negosiasi tercantum dalam Pasal 1 Angka (1) UU 30/1999
tentang Arbitrase yaitu sebagai salah satu APS. Pengertian negosiasi
tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang, namun dapat dilihat
dalam Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa pada
dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri
sengketa yang timbul dalam pertemuan langsung dan hasil kesepakatan
tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak.
Selain dari ketentuan tersebut tidak diatur lebih lanjut mengenai
“negosiasi” sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa oleh para
pihak.

13
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya. Penerbit : Airlangga
University Press. Hal. 429
Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih
Amriani, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama meupun yang berbeda.14 Hal ini selaras
dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa
negosiasi adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan
dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis
dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesian atau jalan keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.15
3) Mediasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya
disebut PERMA 1/2016) bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.16
Pengaturan mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat
(3), (4), dan (5) UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa terhadap sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi, maka penyelesaian
sengketa diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator. Mediasi pada dasarnya adalah
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian
mengenai prosedur mediasi yang efektif, sehingga dapat membantu
dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka
sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi juga
dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
sebagaifasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan

14
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 23.
15
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta. Penerbit :
Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.
16
Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya
mufakat.
4) Konsiliasi
Pengertian mengenai konsiliasi tidak diatur secara eksplisit dalam
UU 30/1999 tentang Arbitrase. Namun penyebutan konsiliasi sebagai
salah satu Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan
dalam ketentuan Pasal 1 angka (10) dan Alinea ke-9 (Sembilan) dalam
penjelasan umum Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
konsiliasi yaitu 17:
“Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a
friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a
view towards avoiding trial and in a labor disputes before
arbitration”.
“Court of Conciliation is a court which proposes terms of
adjustment, so as to avoid litigation”.
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah
fungsi menjadi konsiliator, dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi
yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
dan menawarkannya kepada para pihak apabila para pihak dapat
menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution.
Kesepakatan yang terjadi akan bersifat final dan mengikat para pihak.
Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari
sengketa. Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, kedua cara ini
melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai.18
5) Penilaian ahli
Sebagaimana dapat diambil kesimpulan atas pengertian Alternatif
Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 Angka (10) bahwa Penilaian Ahli
merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.19

17
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase. Jakarta. Penerbit :
PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 36.
18
Sri Hajati, Op.cit. hal. 434.
19
Lihat dalam Pasal 1 Angka (1), Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah Lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Penilaian ahli merupakan cara penyelesian sengketa oleh para pihak
dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang
sedang terjadi.
Bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan tidak
hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan
pendapat maupun sengketa yang terjadi di antara parapihak dalam suatu
perjanjian pokok, melainkan juga dapar memberikan konsultasi dalam
bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak
yang meemrlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian.
Pemberian opini atau pendapat (hukum) tersebut dapat merupakan suatu
masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian
yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat
terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah
dibuat oeh para pihak untuk memerjelas pelaksanaannya.
6) Arbitrase
Landasan hukum mengenai arbitrase dapat dilihat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Arbitrase diatur dalam
Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman) bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.20
Pasal 1 ayat (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase menjelaskan bahwa
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk
mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang
mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi
atau konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari
penyelesaian sengketa melalui Lembaga peradilan yang selama ini
dirasakan memerlukan waktu yang lama.

20
Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Peraturan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor :
04/BAPMI/12.2014 tentang Peraturan dan Acara Arbitrase yang
selanjutnya disingkat Peraturan BAPMI, tepatnya diatur pada Pasal 1
Huruf (a) bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa
perdata di luar pegadilan umum yang diselenggarakan di BAPMI
dengan menggunakan Peraturan dan Acara ini yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase.
Terdapat dua aliran ADR, yang pertama adalah pendapat bahwa
arbitrase terpisah dari alternatif penyelesaian sengketa dan aliran yang
kedua berpendapat bahwa arbitrase merupakan pula alternatif
penyelesaian sengketa. Sedangkan di dalam UU 30/1999 tentang
Arbitrase menganut aliran kombinasi dari kedua aliran tersebut diatas
(combination of processes). Arbitrase dapat berdiri sendiri, di samping
dapat merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa.21
Pada umumnya Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan Lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara
lain22:
a) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak sehingga citra yang
sudah dibangun tidak terpengaruh karena sifat privat
penyelesaian sengketa;
b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
procedural dan administrative, karena sidang dapat langsung
dilaksanakan ketika persyaratan sudah dipenuhi para pihak;
c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil.
d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak
dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun

21
0 Sudargo Gautama. 2001. Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia : Penyelesaian Sengketa
Secara Alternatif (ADR). Bandung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 122.
22
Penjelasan atas UU 30/1999 tentang Arbitrase bagian Umum
langsung dapat dilaksanakan, karena putusan arbitrase memiliki
sifat final dan binding.
Meskipun demikian kebenaran tersebut relative, sebab di negara-
negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses
arbitrase. Karena satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan
adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.
3. Kedudukan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Kehadiran upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan diakui di Indonesia,
sebagaimana dapat kita lihat dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman, selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah a) penyelidikan dan penyidikan, b)
penuntutan, c) pelaksanaan putusan, d) oemberian jasa hukum, dan e) penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.33 Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa.23
Juga dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 BAB XII UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur “Penyelesaian sengketa di luar pengadilan”
bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan
negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

23
Vide Pasal 58 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, memperkuat kedudukan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan
secara lengkap dan sistematis keadaan obyek yang diteliti kemudian menganalisis data
yang terkumpul.
B. Jenis Penelitian
Secara umum, dalam penelitian dibedakan antara data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang dapat diperoleh dari secara langsung dari sumbernya. Data
sekunder yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya tetapi diperoleh dari
bahan pustaka berupa dokumen. selanjutnya penulis menggunakan Penelitian
kepustakaan adalah suatu penelitian yang bertujuan mendapatkan data sekunder. Data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan
mengkaji bahan-bahan kepustakaan.
C. Analisis Data
Data sekunder dan data primer dianalisis secara kualitatif. Penelitian
mempunyai spesifikasi deskriptif analitis, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta
secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.24
Menurut Sugiyono (2004:169) Analisis deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan mendiskripsikan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum
atau generalisasi (Priyatno, 2016). Data yang terkumpul dikelompokkan dan dipilah-
pilah dicari yang relevan dan representatif yang berhubungan dengan pokok
permasalahan yang diteliti. Data yang telah dikelompokkan kemudian dipelajari secara
mendalam, ditelaah dan dipaparkan secara deskriptif, kemudian dibuat kesimpulan
yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diangkat dan dibahas tersebut.

24
Irawan Soehartono, 1999, Metode Penelitian Sosial Suatu Tehnik Penelitian Bidang Kesejahteraan
Sosial Lainnya, Remaja Rosda Karya, Bandung, hlm. 63.
DAFTAR PUSTAKA

4 Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia
dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2.
Melalui Mediasi. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta.
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 23.
Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di Pengadilan dan
di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 2. Hal. 219.
Riski Abdriana Yuriani. 2013. Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Menyelesaikan
Sengketa
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta.
Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.

You might also like