You are on page 1of 9

STRATEGI OPTIMALISASI POTENSI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS

MELALUI PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL

Diana Dwi Jayanti


Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan
E-mail : diana_1111@yahoo.com

Abstract: Ability, problems, and needs that owned by children with special needs
are very heterogeneous. These are the result of the diversity of the specificity and
characteristics possessed by each of the individual with special needs. Those
heterogeniety in turn have implications for the educational services needed to
accommodate such diversity. So far, the government and the community has been
organizing educational services for individuals with special needs either in the
form of special education service or inclusive education. However, there are still
some obstacles, one of which related to instructional strategies that applied.
Learning process that has been applied, both in special schools and inclusive
schools, it is less able to accommodate the learning needs of children with special
needs. The curriculum is felt tends to be more traditional, the learning process is
based solely on achieving the objectives of the curriculum, and less able to touch
the basic needs of those children. Therefore, in order to develop the potential
ability of children with special needs in a more optimal, it is required the
development of learning strategy that emphasizes the distinctiveness of individual
learning process. This paper tries to propose one of the learning strategies that
enable to accommodate the basic learning needs of children with special needs to
develop her potential ability, namely individualized educational program.
Keywords :Strategies, learning, children with special needs

Pendahuluan
Kelahiran seorang anak merupakan continum dari eksistensi kelestarian manusia.
Bagaimanapun bentuk dan kondisinya, anak yang lahir ke dunia adalah pertanda siklus
organisme yang menjadi indikasi roda sebuah kehidupan. Setiap dari mereka lahir, hidup, dan
tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Untuk itu, orang tua dan pendidik mempunyai
tanggungjawab untuk menuntun dan menumbuhkan segala kekuatan kodrat dalam diri anak-
anak, sehingga mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakatnya. 1
Namun sebelum itu, setiap orang tua pasti mendambakan anak yang terlahir tanpa
kekurangan. Akan tetapi, tidak sedikit dari kita menemui anak-anak yang lahir dengan
gangguan maupun keterbatasan pada beberapa aspek, baik itu pada fungsi atau struktur
anatomi, psikologi maupun fisiologis, sehingga mengakibatkan berbagai hambatan.
Kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (selanjutnya
disebut, ABK). Mereka memerlukan perlindungan dan penanganan ekstra (baca: khusus) dari
orang tua, keluarga, pendidik, masyarakat da pemerintah agar mendapatkan persamaan
perlindungan dan kesempatan berkembang sesuai dengan kodrat potensi dan kemampuannya.

1
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: UST-Press, 2013), 20.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


223

Permasalahan ABK merupakan masalah yang cukup kompleks, baik secara kuantitas
maupun kualitas. Hal ini mengingat bahwa berbagai jenis ABK memiliki tantangan
permasalahan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Namun
secara umum keterbatasan atau hambatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus
biasanya akan berpengaruh pada keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan diri dan harga diri,
maupun berkurangnya fungsi sosial mereka sebagai bagian dari masyarakat di lingkungannya.
Jika masalah ABK ini dapat ditangani dengan baik secara dini dengan meningkatkan potensi
individual dan keterampilan anak-anak sesuai dengan potensi dan minat mereka, tentu akan
berdampak positif pada peningkatan keberfungsian diri mereka dalam masyarakat dan
lingkungannya. Pada penelitian inilah, penulis akan mengulas kajian tentang startegi
melejitkan potensi siswa yang mempunyia kebutuhan khusus dengan menggunakan Program
Pembelajaran Individual (selanjutnya disebut, PPI).

Anak Berkebutuhan Khusus: Prevalensi, Jenis, dan Karakteristiknya.


Definisi terminologis menurut perundang-undangan menyatakan bahwa anak
berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena memiliki hambatan/keterbatasan fisik, sosial, mental dan/atau
memiliki bakat kecerdasan istimewa.2 Berdasarkan beberapa laporan data dari Dirjen
Pendidikan Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional (Maret 2010) disebutkan bahwa
jumlah ABK di Indonesia sebanyak 324.000 Orang. Dari jumlah tersebut, hanya 75.000 anak
yang beruntung bisa bersekolah, sedangkan sisanya, sebanyak 249.000 anak, belum tersentuh
pendidikan.3
Deputi Bidang Perlindungan anak mengkategorisasikan sebanyak dua belas jenis anak
berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik atau kekhususan masing-masing.4
Keduabelas jenis anak berkebutuhan khusus tersebut antara lain:
1. Anak Tunanetra
Tunanetra atau gangguan penglihatan ini terbagi menjadi; a) Tunanetra total yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk melihat apapun, dan b) Tunanetra terbatas atau yang
biasa disebut dengan low vision. Anak-anak dengan hambatan penglihatan jenis low vision
masih memiliki sisa penglihatan yang bisa difungsikan, meskipun tidak dengan kaca mata
biasa, melainkan dengan alat bantu penglihatan optik non optik dan modifikasi lingkungan.
Karakteristik hambatan yang menonjol pada anak ini adalah ia mengalami kesulitan
dalam pemahaman yang berhubungan dengan informasi visual dari hasil penglihatan;
hambatan penguasaan keterampilan sosial, seperti kekurangsesuaian antara ucapan dan
tindakan sebagai akibat kekurangmampuan dalam mengetahui kondisi dan situasi yang ada di
lingkungan sekitarnya. Meskipun memiliki hambatan tersebut, banyak diantara mereka yang
tetap memiliki kemampuan berhitung, menerima informasi, dan penguasaan yang hampir
menyamai anak pada umumnya di usianya. Informasi-informasi yang mereka terima biasanya
diperoleh dari indera pendengaran maupun perabaan mereka yang lebih peka dibanding
dengan indera perabaan maupun pendengaran anak-anak pada umumnya.
2. Anak Tunarungu
2
Selengkapnya baca dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat 1.
3
Deputi Bidang Perlindungan Anak-Kemen PPPA , Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta, 2010), 2.
4
Ibid. 10, 13–16.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


224

Jenis kekhususan ini terbagi menjadi; 1) tunarungu ringan (masih bisa mendengar), 2)
tuna rungu berat (tidak bisa mendengar). Anak-anak dengan kekhususan ini pada umumnya
memiliki karakteristik gangguan komunikasi secara verbal sebagai akibat hilangnya seluruh
atau sebagian daya pendengarannya, sehingga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di
sekitarnya ia memerlukan bahasa yang khusus (isyarat). Selain itu anak dengan kekhususan
juga cenderung memiliki sifat ego-sentris yang melebihi anak normal dan mudah tersinggung.
Karakteristik kekhususan tersebut tentu akan berdampak pada pergaulan dengan lingkungan
sosial di sekitarnya.
3. Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki kapasitas mental (kecerdasan) dengan
taraf IQ dibawah normal, sehingga mengalami keterbatasan dalam fungsi-fungsi mentalnya.
Kekhususan ini dibagi menjadi 4 level kualitas; 1) tunagrahita ringan (IQ 70–55), 2)
tunagrahita sedang (IQ 55 – 40), 3) tunagrahita berat (40 – 25 ), 4) tunagrahita sangat berat
(IQ < 25).
4. Anak Tunadaksa
Karakteristik anak tunadaksa antara lain memiliki anggota tubuh yang kurag lengkap,
bentuk anggota tubuh dan tulang belakang yang tidak normal, kemampuan gerak sendi
terbatas, dan adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari.
5. Anak tunalaras (anak dengan hambatan dalam pengendalian emosi dan kontrol sosial)
Anak-anak dengan kekhususan ini umumnya memiliki karakteristik antara lain perilaku
yang tidak terarah, memiliki hambatan bahkan gangguan kepribadian, ketidakdewasaan dalam
bersikap maupun bertindak, serta cenderung melakukan pelanggaran sosial seperti melakukan
tindak kekejaman bukan karena untuk mempertahankan diri. Terkait dengan kekarteristik
intelegensi dan prestasinya, anak-anak ini umumnya berada pada kategori slow learner dan
tunagrahita ringan, hanya sedikit yang IQ-nya di atas rata-rata.
6. Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
GPPH merupakan sebuah gangguan perkembangan dan neurologis yang ditandai
dengan sekumpulan masalah berupa gangguan pengendalian diri, masalah rentang
atensi/perhatian, hiperaktivitas (memiliki dorongan untuk terus bergerak), dan impulsivitas
(sikap tidak sabar). Beberapa kesulitan akademis yang menyertai kekhususan ini antara lain,
dalam keterampilan membaca, biasanya tidak bisa fokus pada apa yang dibaca, mudah
kehilangan bagian yang sedang dibaca, Lupa pada apa yang dibaca dan harus membaca ulang
beberapa kali. Pada keterampilan menulis, biasanya anak-anak ini sulit merencanakan dan
mengorganisir tugas menulis, hasil tulisan sedikit dan lambat. Kemudian dalam aspek
keterampilan menulis, biasanya anak-anak ini sering mengalami kesalahan hitung akibat tidak
perhatian pada tanda-tanda perhitungan, sulit memecahkan persoalan karena ketidakmampuan
mempertahankan fokus untuk menyelesaikan semua langkah-langkah pemecahannya.5
7. Anak dengan gangguan Spectrum Autism
Karakteristik umum anak dengan gangguan spectrum autism biasanya memiliki
kelainan/gangguan/hambatan dalam tiga area dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ketiga

5
Frieda Mangunsong, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, Jilid II, (Depok: LPSP3-UI, 2011), 3.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


225

area tersebut adalah kemampuan komunikasi, interaksi sosial, serta pola-pola perilaku
repetitive dan stereotip.6
8. Anak Tunaganda
Anak tunaganda merupakan anak yang memiliki ketunaan lebih dari satu. Anak-anak
dengan kehususan ini amatlah bervariasi. Membicarakan batasan mengenai anak tunaganda
sama seperti membicarakan pengertian mengenai ketunaan lainnya, dimana sulit sekali
menentukan definisi yang tepat untuk menjelaskan mengenai ketunaan-ketunaan tersebut.
Anak-anak dengan gangguan ini biasanya memiliki maslaah dalam hal komunikasi,
penggunaan bahasa, dan/atau keterbatasan kemampuan perseptual, serta memiliki tingkah
laku yang abnormal.7
9. Lamban Belajar (Slow Learner)
Jenis kekhususan ini dapat dikatakan merupakan kekhususan yang sering terjadi dan
ditemui di sekolah, namun sulit teridentifikasi. Mereka memiliki performansi akademik yang
rendah namun problem kekhususannya tidak begitu jelas. Skor IQ mereka sedikit lebih tinggi
dari anak tunagrahita, tetapi sedikit dibawah rata-rata anak-anak yang seusia dengannya.
Mereka membutuhkan pendidikan khusus tetapi tidak sesuai untuk dimasukkan di sekolah
khusus. Anak-anak ini memiliki karakteristik kurang konsentrasi, kurang bertahan dalam
berpikir abstrak. Hal itu berakibat kesulitan untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan
capaian kelompok usia sebaya. Karakteristik belajar yang lambat itulah sebagai ciri khusus
dari siswa lamban belajar, khususnya lambat belajar untuk bidang yang membutuhkan simbol
dan daya abstraksi.8
10. Anak dengan Kesulitan Belajar Khusus
Secara umum anak dengan kesulitasn belajar khusus ini memiliki karakterisktik
hambatan/penyimpangan pada satu atau lebih proses-proses psikologis dasar yang mencakup
pengertian atau penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan, dimana hambatannya dapat
berupa ketidakmampuan mendengar (bukan tuli), berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, berhitung. Hambatan tersebut termasuk kondisi-kondisi seperti gangguan persepsi,
kerusakan otak, MBD (Minimal Brain Disfunction), kesulitan membaca (dyslexia), dan
gangguan dalam memahami kata-kata (Developmental Aphasia). Batasan ini tidak mencakup
anak-anak yang mengalami hambatan belajar akibat dari kecacatan visual, pendengaran atau
motorik, keterbelakangan mental, gangguan emosional, atau kurangnya stimulasi dari
lingkungan.9
11. Anak dengan gangguan komunikasi
Anak dengan kekhususan ini mengalami hambatan/gangguan kemampuan komunikasi
antara lain, kemampuan bicara/bahasa di bawah kemampuan bicara/bahasa anak seusianya,
bisa mendengar tetapi sulit memahami dan memberi jawaban sehingga membutuhkan
beberapa kali pengulangan instruksi, serta menunjukkan kemampuan bicara dengan
pengucapan yang kurang akurat.10

6
Frieda Mangunsong, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, Jilid I (Depok: LPSP3-UI, 2011), 169
7
Frieda Mangunsong, Psikologi, Jilid II, 169.
8
Sangeeta Chauhan. MS. Slow Learners: Their psychology and educational programmes: International Journal
of Multidiciplinary Research. 1, 8, Desember 2011. 279-289
9
Frieda Mangunsong, Psikologi, Jilid I, 198.
10
Deputi Bidang Perlindungan Anak-Kemen PPPA , Karakteristik, 16.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


226

12. Anak dengan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa


Anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa biasanya memiliki
karakteristik perkembangan yang sangat pesat pada aspek kognisi dan intelektual, tetapi tidak
disertai dengan kesesuaian capaian perkembangan pada aspek sosial-emosionalnya. Terdapat
kesenjangan yang cukup signifikan pada perkembangan kognisi intelektualnya dengan aspek
sosio-emosinalnya. Ia memiliki kemampuan yang sangat baik bahkan jauh di atas rata-rata
usia sebanyanya dalam menangkap dan memahami informasi di sekitarnya, memiliki ingatan
yang sangat baik, perbendaharaan kata yang sangat kaya, penalaran yang tajam, daya
konsentrasi baik, menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik, pengamat yang
cermat, daya absraksi tinggi, dan kreativitas jauh di atas rata-rata usianya. Namun demikian,
terdapat tantangan yang biasanya dihadapi oleh anak-anak dengan karakteristik ini. Tantangan
tersebut terutama berhubungan dengan penyesuaian aspek sosio-emosional.

Aksesibilitas Pendidikan ABK; Menguak Amanat Perundang-Undangan.


Kebijakan yang berkaitan dengan penanganan ABK telah ditegaskan dalam Pasal 51
dan 52 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak, yang
menyebutkan bahwa anak yang memiliki kekhususan baik itu hambatan/cacat fisik dan/atau
mental diberikan kesempatan yang sama dalam perolehan pelayanan pendidikan (aksesbilitas)
yang sesuai dengan kekhususan masing-masing.
Sebagai usaha memberikan aksesibilitas pelayanan pendidikan seluas mungkin, di
Indonesia telah tersebar 1.311 sekolah luar biasa, dengan rincian sebagai berikut:11
a. Sekolah Khusus Tunanetra (SLB-A): 32 sekolah
b. Sekolah Khusus Tunarungu/tunawicara (SLB-B): 97 sekolah
c. Sekolah Khusus Tunagrahita (SLB-C): 106 sekolah
d. Sekolah Khusus Tunadaksa (SLB-D): 10 sekolah
e. Sekolah Khusus Tunalaras (SLB-E): 7 sekolah
f. Sekolah Khusus Autis (SLB-F): 20 sekolah
g. Sekolah Khusus Tunaganda (SLB-G): 4 sekolah
h. Sekolah Khusus campuran (SLB campuran): 1.036 sekolah
Namun demikian dari keseluruhan jumlah sekolah khusus (SLB) tersebut, dengan
segala fakta dan situasi fasilitas, terdapat problem yang berkaitan dengan penyebarannya dan
kesesuaian rasio antara jumlah siswa ABK dan jumlah fasilitas SLB yang tersedia di seluruh
Indonesia.12
Selain layanan dalam bentuk pendidikan khusus, terdapat juga layanan pendidikan
inklusif yang dicetuskan oleh pemerintah sejak tahun 2000. Hal ini pada dasarnya sebagai
kelanjutan program pendidikan terpadu yang diluncurkan pada sekitar tahun 1980, tetapi
kurang berkembang, dan hanya diikuti oleh tunanetra dan tunarungu. Baru kemudian pada
tahun 2000 dimunculkan kembali menggunakan konsep pendidikan inklusif. Berdasarkan
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003,
perihal Pendidikan Inklusif, maka diselenggarakan dan dikembangkan di setiap

11
Ibid. 21.
12
Ibid. 23.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


227

Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, dan
SMK.13
Konsep Pendidikan Inklusif sendiri dimaksudkan sebagai sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kebutuhan khusus dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.14

Program Pembelajaran Individual: Sebuah Strategi Intruksional


Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pemaparan sebelumnya, anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang mengalami ketidaksempurnaan (cacat) secara jasmani maupun
gangguan pada aspek psikologisnya. Anak berkebutuhan khusus ini jelas sangat bervariasi,
sehingga masing-masing anak juga memiliki masalah yang berbeda-beda satu sama lain,
sesuai dengan perbedaan jenis kecacatan/kekhususan dan tingkat keparahannya. Oleh karena
itu diperlukan pelayanan pendidikan yang mempertimbangkan berbagai variasi tersebut.
Pendidikan yang diberikan pun lebih khusus dan bervariasi, tidak hanya dari segi materi tetapi
juga metode, alat, evaluasi, serta strategi pengajarannya juga harus disesuaikan dengan variasi
kebutuhan masing-masing anak. Terdapat berbagai macam strategi instruksional yang dapat
dikembangkan untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus, salah satunya adalah Program Pembelajaran Individual (PPI). 15
Program Pembelajaran Individual (PPI) diadopsi dari istilah Individualized Educational
Program (IEP). PPI pada dasarnya merupakan dokumen tertulis yang dikembangkan dalam
suatu rencana pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Mercer dan Mercer (1989),
dalam Rochyadi (2005), mengemukakan bahwa program individual menunjuk pada suatu
program pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas dengan waktu yang cukup
sesuai dengan kondisi dan motivasinya. Lynch (1994), dalam Rochyadi (2005), juga
mengemukakan bahwa IEP/PPI merupakan suatu program belajar yang didasarkan pada gaya,
kekuatan, dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar.16 Pada prinsipnya PPI
merupakan suatu program pembelajaran yang didasarkan pada kebutuhan setiap anak. PPI
yang menyesuaikan kondisi dan situasi anak, bukan anak yang menyesuaikan PPI. Program
ini di samping memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat belajar sesuai kebutuhan,
kemampuan, kecepatan dan caranya sendiri, juga agar siswa dapat belajar secara optimal serta
bisa mencapai tingkat penguasaan bahan pelajaran yang dipelajarinya.
PPI merupakan suatu program strategi pembelajaran yang bertolak dari suatu pandangan
yang mengakui bahwa manusia merupakan makhluk individu sebagai suatu kesatuan dari jiwa
dan raga (a whole being) yang membentuk organisme. Dalam organisme tersebut terdapat
dorongan (drives) yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) dan
merupakan daya penggerak (motivation) untuk memperahankan hidup. Dorongan, kebutuhan,
dan motivasi tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda antar organism satu dengan yang lain.

13
Frieda Mangunsong, Psikologi, Jilid I, 14.
14
Deputi Bidang Perlindungan Anak-Kemen PPPA , Karakteristik, 24.
15
Frieda Mangunsong, Psikologi, 29.
16
Endang Rochyadi, Pengembangan Program Pembelajaran Individual bagi Anak Tunagrahita, (Jakarta: Dit.
PPTK & KPT; Dit Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, 2005), 33.

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


228

Sehingga dalam belajar, pandangan ini menghendaki adanya proses yang lebih bersifat khas
indivual.17
Pada konteks situasi, kondisi, dan kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus,
terdapat variasi perbedaan serta kompleknya masalah dan hambatan belajar yang dihadapi
oleh anak-anak tersebut. Hal ini tentu membawa implikasi kepada kompetensi guru dalam
menyusun program pembelajaran yang mampu mengakomodasi kebutuhan mereka.
Kegagalan dalam mengakomodari kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus akan
berakibat buruk terhadap proses pembelajaran lebih lanjut. Oleh karena itu dalam pendidikan
anak berkebutuhan khusus PPI bisa menjadi salah satu alternatif strategi yang bisa digunakan
untuk memberikan pelayanan pendidikan ABK, mengingat bahwa PPI merupakan cara yang
berupaya mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan dari masalah yang dihadapi oelh anak
berkebutuhan khusus.18 Secara ringkas berikut beberapa prinsip-prinsip dasar tentang PPI:
1. PPI bertujuan menselaraskan antara kebutuhan siswa, tugas dan perkembangan belajar
siswa dalam upaya mengembangkan potensi siswa secara optimal.
2. PPI berpusat pada siswa. Setiap komponen PPI difokuskan pada kemajuan dan kebutuhan
siswa (kurikulum digunakan sebagai rambu-rambu).
3. PPI tidak semata-mata berdasarkan tujuan pembelajaran tetapi berdasarkan hasil asesmen.
4. PPI tidak mengendalikan siswa, melainkan siswa yang mengendalikan PPI, karena siswa
yang akan belajar, maka kebutuhan, perkembangan, dan minat siswa menjadi orientasi
dalam mempertimbangkan penyusunan program.

Penyusunan dan Pengembangan Program Pembelajaran Individual


Program pembelajaran individual disusun tidak hanya oleh satu pihak, misalnya guru
saja. Penyusunan PPI ini membutuhkan kerjasama tim yang terdiri dari kepala sekolah, guru,
orang tua, siswa, maupun terapis yang berinteraksi dengan anak. PPI ini dibuat ketika para
tenaga profesi, orang tua atau siswa mengadakan pertemuan dan mendiskusikan suatu hasil
serta memutuskan bahwa anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan pelayanan khusus
dan kemudian didisain suatu program pembelajaran individual.
Keterlibatan orang tua dalam perumusan/penyusunan PPI ini penting karena dapat
mempengaruhi pelibatan diri, perhatian, termasuk dana mereka (bila diperlukan) di dalam
pelaksanaan program yang akan ditentukan. Dianjurkan pada orang tua untuk mengerti
prosedur yang akan ditentukan. Mulai dari pertimbangan-pertimbangan dalam mendesain
program sampai bagaimana program itu nantinya akan berjalan. Terdapat beberapa komponen
penting dalam penyusunan PPI, antara lain:
a. Taraf performansi/ kemampuan siswa saat ini.
Dalam pembuatan keputusan mengenai PPI para ahli dan orangtua mendasarkan data
dari hasil pengukuran/asesmen tentang tingkat kemampuan/performansi awal siswa sebelum
dilaksanakannya PPI. Tingkat performansi pendidikan anak menyangkut berbagai kondisi
internal anak, yang meliputi: kemampuan-kemampuan yang dimiliki (tingkat intelegensi,
kecakapan akademik, perkembangan sosial, bahasa) dan keterampilan yang sudah dikuasai

17
Ibid. 34
18
Ibid. 35

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


229

anak (misalnya: dalam hal motorik, kemampuan perseptual, serta mobilitas gerak anggota
tubuh), termasuk juga motivasi belajar yang dimilikinya.
b. Tujuan umum (annual goal) yang akan dicapai dan Tujuan pembelajaran khusus (short-
term objective).
Kemudian setelah diketahui performansi awal siswa, tim merumuskan kebutuhan
belajar siswa dan menetapkan tujuan pembelajaran umum maupun khusus, sesuai dengan
kebutuhan tersebut. Tujuan umum dan khusus ini perlu untuk dirumuskan agar pendidik
memiliki parameter yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah diterapkan. Dengan tujuan ini, pendidik sekaligus mengetahui poin-
poin yang belum tercapai sehingga secara cepat akan dapat memberikan pandangan dalam
rangka melakukan evaluasi pembelajaran.
c. Deskripsi tentang pelayanan pembelajaran.
Deskripsi tentang pelayanan pembelajaran ini merupakan pernyataan tentang pelayanan
dan perlengkapan materi secara khusus yang meliputi:
1. Materi apa yang diberikan
2. Bagaimana prosedur strategi/metode yang digunakan untuk menyampaikan materi
tersebut.
3. Alat bantu pengajaran apa yang digunakan untuk mempermudah pemahaman pengajaran.
d. Waktu dan lamanya diberikan pelayanan
Deskripsi tentang kapan dimulainya kegiatan pembelajaran, berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk memberikan pelayanan, serta estimasi tentang pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan, merupakan hal-hal yang juga penting untuk dirumuskan dalam PPI.
e. Evaluasi
Aspek evaluasi juga menjadi hal yang harus dimasukkan dalam perumusan PPI, dengan
misalnya menetapkan kriteria capaian dan prosedur evaluasi yang tepat. Kriteria yang menjadi
acuan atau patokan bukanlah acuan norma, melainkan didasarkan pada perbandingan capaian
performa individu sesudah pelaksanaan PPI dengan performansi awal anak. Penilaian PPI ini
harus bersifat: 1) menyeluruh, menyangkut semua aspek kepribadian siswa, yang meliputi :
kognitif, afektif, dan psikomotor. Juga harus mencakup aspek proses dan hasil belajar. 2)
berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahap, dan terus menerus untuk
memperoleh gambaran tentang perubahan perilaku pada siswa sebagai hasil kegiatan belajar-
mengajar. 3) siklikal, kemajuan belajar diukur secara teratur dan periodik (setiap hari) dan
menggunakan hasil evaluasi untuk mengambil keputusan dalam merencanakan program
pembelajaran selanjutnya. Keberhasilan atau kegagalan siswa dalam belajar merupakan input
dalam merumuskan kembali tujuan pembelajaran, aktivitas (KBM), metode, dan media yang
dibutuhkan.

Penutup
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 51 dan 52 tentang Perlingdungan Anak,
menegaskan bahwa anak yang memiliki kekhususan baik itu hambatan/cacat fisik dan/atau
mental diberikan kesempatan yang sama dalam aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
yang sesuai dengan kekhususan masing-masing. Berdasarkan hal tersebut menjadi kewajiban
pemerintah bekerjasama dengan masyarakat untuk menyediakan layanan pendidikan yang
sesuai dengan situasi, konsisi dan kebutuhan setiap anak berkebutuhan khusus. Beberapa hal

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014


230

telah dilakukan sebagai usaha memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus ini,
antara lain melalui pendidikan khusus, dan pengembangan pendidikan inklusif. Namun
demikian mengingat situasi, kondisi, dan kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus, yang
memiliki variasi perbedaan yang sangat luas, baik dari segi kompleknya masalah maupun
hambatan belajar yang dihadapi oleh anak-anak tersebut. Maka, dalam memberikan layanan
pendidikan yang sesuai, perlu dikembangkan suatu strategi insruksional pembelajaran yang
dapat diterapkan baik itu di sekolah khusus maupun sekolah inklusif, sehingga dapat
mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar ABK yang beragam tersebut. Dan berdasarkan
prinsip-prinsip yang mendasarinya, Program Pembelajaran Individual (PPI) dapat menjadi
salah satu alternatif pilihan yang bisa diterapkan dalam memberikan layanan pada anak
berkebutuhan khusus.

Daftar Rujukan
Deputi Bidang Perlindungan Anak-Kemen PPPA , Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus,
Jakarta: 2010
Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Yogyakarta: UST-Press. 2013.
Mangunsong, Frieda. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Jilid I. Depok: LPSP3-UI, 2009.
Mangunsong, Frieda. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Jilid II. Depok: LPSP3-UI, 2011.
MS, Sangeeta Chauhan. Slow Learners: Their psychology and educational programmes:
International Journal of Multidiciplinary Research. 1, 8, Desember 2011.
Rochyadi, Endang. Pengembangan Program Pembelajaran Individual bagi Anak
Tunagrahita, Jakarta: Dit. PPTK & KPT; Dit Dikti, Departemen Pendidikan Nasional,
2005.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 51 dan 52 tentang Perlingdungan Anak
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat (1)

AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014

You might also like