You are on page 1of 4

Resep Selamat Menghadapi Pandemi dari Abad Pertengahan

Dua setengah tahun sudah dunia dilanda pandemi Covid-19. Kini keadaan sudah lebih baik
meskipun kita belum sepenuhnya bebas dari Covid-19 yang mematikan. Hal ini tentu saja
tidak lepas dari keberhasilan para ahli membuat vaksin Covid-19 dan disusul dengan
penggunaannya. Tercatat hingga September 2022 sebanyak 68% populasi dunia telah
mendapat vaksin Covid-19 (https://ourworldindata.org/covid-vaccinations). Capaian ini
menggembirakan.
Namun, belum lagi dunia dapat bernapas lega, muncul kasus berjangkitnya cacar
monyet atau monkeypox. Centers for Disease Control and Prevention (https://www.cdc.gov)
melaporkan adanya 61.282 kasus cacar monyet di 104 negara. Dunia khawatir cacar monyet
kelak juga membesar dan menjadi pandemi jika tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Kiranya wabah atau berjangkitnya penyakit menular dalam skala luas, bahkan global
(pandemi), merupakan kejadian yang tidak asing dalam sejarah umat manusia. Pes, kolera, flu
spanyol, flu asia, flu hongkong, flu babi, SARS, ebola, HIV/AIDS adalah sejumlah penyakit
yang pernah menjadi pandemi. Di Indonesia, sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang,
pernah terjadi banyak wabah, misalnya pes, malaria, cacar, kolera, flu spanyol, demam
berdarah, SARS, flu burung, dan flu babi.

Pandemi Terdahsyat
Di antara banyak wabah tesebut, sebelum abad ke-20, wabah pes dengan berbagai
variannya merupakan wabah yang terdahysat keganasannya. Sumber penyebab pes adalah
baksil Yersina pestis. Perwujudannya ada tiga macam yaitu pes bubo, pneumonia, dan
septikemia.
Pes bubo terjadi jika yang diserang adalah sistem imun. Penderitanya akan mengalami
pembengkakan kelenjar getah bening di pangkal paha, ketiak, atau leher. Pes pneumonia
terjadi jika yang diserang adalah saluran pernapasan. Adapun pes septikemia terjadi jika yang
diserang adalah darah dan sistem pencernaan. Serangan yang paling ringan adalah pes bubo,
tetapi ketiga-tiganya mematikan.
Wabah pes pernah melanda kekaisaran Byzantium pada tahun 541-542. Bencana ini
diperkirakan telah menewaskan 30-50 juta manusia. Lalu pada tahun 1346-1353 terjadi
pandemi pes yang dikenal sebagai Wabah Maut Hitam atau Black Death (2201 Fascinating
Facts, David Louis, Penerbit Crown Publisher, 1983). Pandemi ini menghancurkan tiga
benua: Asia, Afrika, dan Eropa dan menewaskan sekitar 25 juta manusia.

1
Pengaruh wabah pes begitu besar dan dahsyat bagi umat manusia. Oleh karena itu,
filsuf dan sastrawan besar Albert Camus sampai-sampai melahirkan sebuah novel
monumental yang secara khusus mengangkat tentang wabah ini pada tahun 1947. Judulnya
adalah La Peste yang telah diterjemahkan oleh N.H. Dini sebagai Sampar. Harus disyukuri
bahwa seiring dengan kemajuan di bidang kesehatan dan meningkatnya sanitasi, penyakit pes
kini bisa dikatakan telah hilang.

Seratus Cerita Melawan Pandemi


Terkait dengan pandemi ini, Giovanni Boccaccio, sastrawan Italia (1313-1375),
mengambil sisi lain untuk diceritakan, yakni tentang bagaimana orang-orang berusaha
selamat dari pandemi. Karyanya itu berjudul Decameron, sebuah novel berbingkai yang
ditulis setelah Wabah Maut Hitam melanda Eropa. Decameron menceritakan usaha
sekelompok anak muda menyelamatkan diri dari wabah maut yang telah melanda kota
mereka, Florentina.
Dalam pendahuluan ceritanya, Boccaccio menggambarkan bagaimana orang-orang
Florentina siang malam jatuh dan mati di jalan-jalan. Banyak pula yang sekarat lalu mati
sendirian di rumah sebab anggota keluarga yang lain sudah pergi atau mati lebih dahulu. Para
tetangga biasanya mengetahui kematian orang-orang malang itu setelah mencium bau
bangkainya. Ikatan darah dan sosial hancur akibat teror wabah yang mengerikan ini.
Agar selamat dari wabah maut tersebut, sepuluh anak muda (tujuh perempuan dan tiga
laki-laki) keluar dari kota menuju daerah pedesaan yang jauh. Di sana mereka mengkarantina
diri di sebuah vila selama sepuluh hari.
Guna mengisi hari-hari yang luang, mereka bersepakat untuk berbagi cerita di samping
kegiatan rekreatif lain. Satu hari masing-masing orang menuturkan sebuah cerita. Jadi, ada
seratus cerita selama sepuluh hari karantina yang mereka jalani. Dari angka seratus inilah
rupanya Boccaccio kemudian mendapatkan judul Decameron untuk karyanya.
Seratus cerita yang saling mereka bagikan itu mempunyai tema beragam. Namun, ada
suatu aturan yang wajib disepakati, yakni cerita-cerita itu harus membawakan kesenangan.
Cerita yang menimbulkan stres dan pikiran buruk harus dihindari. Ini penting untuk menjaga
semangat hidup. Dengan kekuatan cerita-cerita itu mereka melindungi diri dari tekanan
psikologis yang ditebarkan Wabah Maut Hitam. Maka berbagai anekdot, kisah konyol, satire,
mereka ceritakan secara bergiliran.
Salah satu cerita itu, misalnya, adalah kisah asal-usul orang kudus Santo Ciappelletto.
Konon Tuan Ciappelletto dikenal sebagai orang yang luar biasa jahat dan suka menipu. Suatu

2
saat ia jatuh sakit. Kondisinya parah dan dia merasa ajalnya sudah dekat. Oleh karena itu, ia
menyesal dan melakukan pengakuan dosa kepada seorang biarawan.
Mendengar pertobatan itu, sang biarawan tersentuh hatinya dan meminta kepada Tuan
Ciappelletto agar mau dimakamkan di dekat biara jika ia mati. Karena penyakitnya yang
makin memburuk dan tak teratasi, Tuan Ciappelletto akhirnya mati. Dia lalu dimakamkan di
dekat biara dengan prosesi yang khidmat sesuai kehendak sang biarawan.
Dalam pidato pemakaman itu sang biarawan menyatakan kekagumannya atas
pertobatan Tuan Ciappellatto sehingga lelaki tua ini pantas diangkat menjadi orang kudus.
Karena mempercayai sang biarawan, orang-orang ikut menglorifikasi pertobatan Ciappelletto
di akhir hidupnya itu. Maka dia pun digelari sebagai Santo Ciappelletto setelah kematiannya.
Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-orang, bahwa Tuan Ciappelletto telah
menipu sang biarawan. Semua pengakuan dosanya itu palsu belaka.
Begitulah, melalui Decameron, Boccaccio menawarkan seratus cerita guna melindungi
diri saat wabah berjangkit. Usaha itu boleh kita sebut sebagai suatu “profilaksis naratif”,
yakni upaya menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit melalui narasi. 

Bukan Saran Asal-asalan


Resep Boccaccio dalam Decameron tidaklah asal-asalan. Tomasso del Garbo (1305-
1370), seorang dokter dari Florentina yang paling menonjol saat itu, memang menyatakan
bahwa ketika wabah melanda, orang-orang harus menghindarkan diri dari pikiran-pikiran
tentang kematian.  Mereka disarankan untuk berkumpul di taman dan melakukan hal-hal
yang menyenangkan tetapi tidak melelahkan. Mereka bisa bernyanyi, bermain, dan berbagi
kisah lucu atau hal-hal lain lain.
Nasihat yang serupa datang sekitar dua abad kemudian dari seorang teolog Italia,
Nicolas dari Burgo (1517-1537). Ia merekomendasikan agar selama wabah berjangkit kita
harus menghindari rasa takut, kemarahan, kesedihan, dan pikiran-pikiran yang berat. Kita
harus saling menjaga agar tetap berbahagia. Melalui campuran isolasi sosial dengan kegiatan
yang menyenangkan itu, kita membuat kemungkinan untuk selamat dari hari-hari terburuk
selama berjangkitnya wabah.
Cara-cara menghadapi wabah maut enam setengah abad yang lalu itu agaknya masih
tersimpan dalam ingatan kolektif orang Italia. Saat harus menjalani masa lockdown pada
masa-masa mengganasnya wabah Covid-19 (Maret 2020), mereka bernyanyi, membuat
“konser” di balkon-balkon rumah mereka untuk saling menghibur dan menularkan

3
kebahagiaan. Tren tersebut, saat itu tidak berhenti di Italia saja, tetapi kemudian meluas
seperti virus ke seluruh Eropa bahkan ke Spanyol dan Swedia.
Saran medis dari Abad Pertengahan itu mungkin akan diragukan menurut standar ilmu
kedokteran masa kini. Akan tetapi, ada satu hal dari saran itu yang tetap relevan, bahwa umat
manusia pada hakikatnya adalah “satu nasib” sehingga untuk bertahan hidup saat menghadapi
bahaya yang mengancam umat manusia, kita harus berbagi, saling menguatkan, dan bekerja
sama. (*)

You might also like