You are on page 1of 26

MAKALAH

MUNAKAHAT II (POLIGAMI, POLIANDRI, MONOGAMI)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer

Dosen Pengampu: Dr. Iim Ibrohim, M.Ag

Disusun Oleh:

Putri Wulandari (210414009)

Ratu Fitria Nova (210414081)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2022/2023
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمان الرحيم‬

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan izin
dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada
waktunya. Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer. Penulis berharap agar pembaca dapat
memahami isi dari makalah ini agar lebih memahami lebih mendalam tentang
poligami, poliandri, dan monogami.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan pada


makalah ini, dikarenakan penulis banyak mengalami berbagai kendala dalam
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila
makalah ini masih belum sempurna dan masih ada kesalahan dan kata yang
kurang tepat. Penulis menyelesaikan makalah ini dengan cukup menghabiskan
waktu, tenaga dan juga pikiran, penulis juga banyak mengalami hambatan dan
kendala. Namun penulis tidak menyerah begitu saja dan Alhamdulillah penulis
dapat melewati semuanya dan menyelesaikan makalah ini.

Walaupun makalah ini telah penulis selesaikan tetapi penulis sadar masih
banyak kekurangan dalam makalah ini dan penulis merasa tidak puas dengan apa
yang dicapai. Oleh karena itu penulis momohon untuk memberikan kritik dan
saran yang membangun.

Bandung, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................
ABSTRAK..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan Penulisan .....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................
A. Definisi Poligami......................................................................................................
a. Dasar Hukum Poligami......................................................................................
b. Poligami Rasulullah...........................................................................................
c. Poligami dalam Berbagai Sudut Pandang..........................................................
d. Hukum Poligami di Indonesia............................................................................
e. Rukun, Syarat dan Hikmah Poligami.................................................................
B. Definisi Poliandri...................................................................................................
a. Dasar Hukum Poliandri....................................................................................
b. Hukum Poliandri di Indonesia.........................................................................
c. Faktor Terjadinya Poliandri.............................................................................
d. Hikmah Larangan Poliandri.............................................................................
C. Definisi Monogami................................................................................................
a. Asas Monogami dalam Perkawinan di Indonesia............................................
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii
ABSTRAK

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk rumah tangga yang kekal, santun menyantuni dan kasih mengasihi.
Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Persoalan mengenai
poligami memang sudah sering dibahas. Islam membolehkan laki-laki untuk
berpoligami. Selain poligami, ada istilah poliandri yaitu peremuan yang menikahi
lebih dari satu laki-laki. Untuk poliandri, Islam melarang para perempuan untuk
melakukan poliandri, hal ini disebabkan karena jika perempuan tersebut hamil,
maka akan sulit menetukan ayah biologis dari sang anak. Meskipun di larang,
akan tetapi ada perempuan yang melakukan poliandri. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu mulai dari aspek ekonomi, jarak, suami yang tidak
bertanggung jawab, dan masih banyak lagi.

Kata kunci: Poligami, Poliandri, Monogami

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sudah menjadi fitrah bagi seorang laki-laki dan perempuan memiliki
perasaan dan juga kebutuhan untuk hidup bersama. Datangnya Islam yang
merupakan agama fitrah. Mensyariatkan perkawinan untuk menjadikan tujuan
suatu hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan
syariat Islam. Untuk mencapai pengaturan rumah tangga dan keturunan yang
terhormat maka jalannya adalah perkawinan. Karena tujuan dari perkawinan
sifatnya jangka panjang sebagaimana melindungi martabat dan kehormatan
dalam membina rumah tangga yang rukun, tentram dan bahagia.
Perkawinan adalah suatu hal yang sakral, akan tetapi pada kenyataannya
banyak suami yang menyepelekan suatu perkawinan dengan menikah lebih
dari satu perempuan atau disebut dengan poligami. Begitu pula sebaliknya,
yaitu seorang istri yang menikah dengan lebih dari satu laki-laki atau yang
disebut dengan poliandri.
Persoalan yang paling banyak dibicarakan dalam lingkup perkawinan
adalah poligami. Poligami ini memang sangat kontroversial, ada satu sisi
menolak poligami dengan sandaran berbagai macam, baik itu yang bersifat
normatif, psikologis bahkan banyak pula yang mengaitkan dengan munculnya
ketidakadilan gender. Banyak pula penulis-penulis barat yang mengatakan
bahwa ajaran poligami ini awalnya bersumber dari agama Islam yang sangat
diskriminatif terhadap kaum perempuan. Kemudian disisi lain, poligami ini
malah dikampanyekan karena mereka menganggap memiliki sandaran
normatif yang jelas dan tegas. Kelompok yang pro tersebut memandang
dengan adanya pembolehan tentang poligami ini bisa menjadi alternatif untuk
mengurangi perselingkuhan dan prostitusi yang merajalela.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalahnya
ialah sebagai berikut:

1
2

1. Apa yang dimaksud dengan poligami dan bagaimana hukumnya?


2. Apa yang dimaksud dengan poliandri dan bagaimana hukumnya?
3. Apa yang dimaksud dengan monogami dan bagaimana hukumnya?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun taujuan dari penulisan
makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan poligami beserta
hukumnya.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan poliandri beserta
hukumnya.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan monogami beserta
hukumnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Poligami
Secara etimologi poligami berasal dari bahasa yunani yaitu apolus yang
artinya banyak dan gamos yang artinya perkawinan. Dengan demikian
poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi poligami
adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.1 Dalam kamus Umum
Bahasa Indonesia poligami adalah adat seorang suami beristri lebih dari satu. 2
Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan
empat atau bahkan lebih dari Sembilan isteri. Konsep poligami (ta’addud al-
zaujāt) dalam ilmu fikih secara umum dipahami sebagai seorang suami dalam
waktu bersamaan yang mengumpulkan dua sampai empat istri. Poligami tidak
dapat diketahui secara pasti awal mula kemunculannya. Sejak ribuan tahun
silam, sebelum datangnya Islam poligami sudah menjadi tradsi yang dianggap
wajar.3
Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak
(suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang
bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligami.4
a. Dasar Hukum Poligami
Dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan disebutkan secara
jelas dan tegas dalam al-Qur‟an. Ayat yang sering menjadi rujukan para
ulama dalam hal poligami adalah QS. al-Nisa ayat 3 yaitu:

1
Haris Hidayatulloh, “Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm”, Religi: Jurnal Studi Islam,
Vol. 6 No. 2 (Oktober, 2015), 212
2
W.J.S. Poerwadarminta (1987), Kamus Umum Bahasa Indonesia (cet 10), Jakarta: Balai Pustaka,
hal. 763
3
Andi Intan Cahyani, “Poligami dalam Perspektif Hukum Islam”, Al-Qadau, Vol. 5 No. 2
(Desember, 2018), 273
4
Haris Hidayatulloh, “Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm”, Religi: Jurnal Studi Islam,
Vol. 6 No. 2 (Oktober, 2015), 212

3
4

‫س? ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل َث َو ُر ٰب? َع ۚ فَ?اِنْ ِخ ْفتُ ْم اَاَّل‬


َ ِّ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫سطُ ْوا فِى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬
ِ ‫َواِنْ ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق‬
‫تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َوا ِح َدةً اَ ْو َما َملَ َكتْ اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِ َك اَد ْٰنٓى اَاَّل تَ ُع ْولُ ْو ۗا‬
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi,
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang
saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Abu Ja'far berkata "Ahli takwil berbeda pendapat dalam menakwilkan
firman Allah tersebut.
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang paling utama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa makna ayat tersebut adalah, "Jika kalian takut tidak
dapat berlaku adil kepada (hak) anak-anak yatim itu, maka kalian
hendaknya juga merasa takut (untuk tidak dapat berlaku adil) pada kaum
perempuan. Oleh karena itu, janganlah kalian menikahi mereka, kecuali
dengan wanita yang tidak kalian khawatirkan akan berbuat sewenang-
wenang terhadap mereka, mulai dari satu sampai empat. Tapi jika kalian
tetap takut akan berlaku sewenang-wenang terhadap satu orang, maka
janganlah kalian menikahinya akan tetapi kalian harus (memelihara) budak
yang kalian miliki. Sesungguhnya itu lebih dapat membuat kalian tidak
bertindak sewenang-wenang kepada mereka. "5
Abu Ja'far berkata, "Jika kalian takut tidak dapat berlaku adil kepada
dua, tiga atau empat orang perempuan, maka kalian harus menikahi satu
perempuan saja. Atau jika kalian tetap takut tidak dapat berlaku adil kepada
satu orang perempuan, maka kalian bisa mengawini budak kalian. Itulah
yang terdekat agar kalian tidak berbuat aniaya."6
b. Poligami Rasulullah
Praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sangat jauh
berbeda dengan poligami yang terjadi sekarang ini. Oleh karena itu, untuk
5
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (2007), Jami’ Al-Bayan An-Ta’wil Al-Qur’an
Penerjemah: Ahsan Askan, Tafsir Ath-Thabari jilid 6, Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 383
6
Ibid, h. 404
5

bisa memahami dengan jelas maksud dan tujuan dari praktik poligami
Rasulullah dapat dilihat dari persoalan atau sebab mengapa beliau
berpoligami. Diantaranya:
1. Rasulullah diutus untuk menyebarkan kasih dan sayang kepada
seluruh alam oleh Allah swt. Sejalan firman Allah dalam QS. al-
Anbiyā (21):107
2. Rasulullah diutus menjadi contoh suri tauladan untuk umat
manusia. Ini dijelaskn dalam QS. al-Ahzab (33): 21
3. Rasulullah diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat
kaum wanita, anak-anak yatim, para budak, dan kaum tertindas
lainnya. Ini dalam QS. al-Nisā (4): 127
4. Rasulullah menyuruh umatnya untuk berumah tangga untuk
membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia dan menumbuhkan
generasi Islami yang kuat dimasa depan. Bukan semata-mata untuk
menyalurkan fitrah seksnya.
5. dengan banyaknya wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
maka perlu mengkaji agar makna yang terkandung menjadi jelas
dan dicontohkan secara nyata sesuai dengan makna kandungannya.
Dengan mengetahui makna yang tersirat, maka dengan jelas
terlihat alasan-alasan dibalik praktik poligami yang dilakukan
Rasulullah tersebut.
Praktik poligami Rasulullah saw. secara jelas tidak berdasar pada
kebutuhan biologis, atau hanya untuk mendapatkan keturunan. Dalam
perkawinan Rasulullah, poligami yang beliau lakukan dengan mengawini
perempuan yang sudah lanjut usia kecuali Aisyah, dan juga poligami
dilakukan bukan pada kondisi atau situasi yang normal, melainkan dalam
situasi perang jihad, perjuangan dan pengabdian yang tujuan utamanya
untuk berdakwa dan menegakkan syiar Islam. Dengan mengetahui sejarah
poligami yang dilakukan Rasulullah saw. berserta alasan serta tujuannya
yang mempunyai prinsip mulia,secara jelas sangat jauh berbeda dengan
poligami yang berkembang dalam kehidupan masyarakat pada umumnya,
6

yang melupaka unsur keadilan di dalamnya sebagai syarat utama dalam


melakukan poligami tetapi mengedepankan pemenuhan nafsu biologis.7
c. Poligami dalam Berbagai Sudut Pandang
Firman Allah dalam QS. al-Nisā/4: 3 yang menjadi dasar rujukan
diperbolehkannya melakukan poligami menuai perbedaaan pendapat. Ulama
yang pada umumnya memperbolehkan melakukan praktik poligami tidaklah
cenderung memudahmudahkan, kebolehan tersebut mempunyai syarat yang
sangat ketat. Sedangkan yang cenderung melarang praktik poligami berasal
dari ulama-ulama kontmporer. Menurut mereka dalam Islam sesungguhnya
menganut prinsip monogami dan melarang keras terjadinya poligami karena
bersumber dari kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang memberikan status
dan kedudukan lebih dominan kepada laki-laki.8
Berikut pernyataan para ulama tafsir mengenai ayat tersebut:
1. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengutip perkataan
Imam Syafi’i, yaitu: “Sunnah Rasulullah saw yang menjadi
penjelasan bagi firman Allah sesungguhnya menunjukkan kepada
tidak boleh bagi seseorang selain Rasulullah saw menghimpun
istri-istri lebih banyak dari empat orang”. Selanjutbya Ibnu Katsir
berkata: “Perkataan Syafi’i ini merupakan jimak para ulama
kecuali pendapat yang diceritakan dari suatu kelompok Syi’ah
yang membolehkan menghimpun istri-istri lebih banyak dari
empat sampai dengan sembilan orang”. Ayat tersebut bermakna
bahwa apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
perempuan yatim jika kamu mengawininya, maka kawinilah
wanita merdeka satu sampai empat, atau budak-budak perempuan
yang kamu miliki
2. Al-Khasin dalam menafsirkan ayat di atas berkata “Yakni kamu
tidak sekali-kali mampu berlaku adil di antara istri-istrimu dan

7
Andi Intan Cahyani, “Poligami dalam Perspektif Hukum Islam”, Al-Qadau, Vol. 5 No. 2
(Desember, 2018), 274-275
8
Ibid, h. 276
7

kecenderungan hati, karena yang demikian itu termasuk dalam


hal-hal yang kamu tidak akan kuasa dan mampu atasnya”.
3. Dalam tafsir Jalalain dikatakan: “kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istrimu dalam hal cinta walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
cenderung dalam semua kecenderungan kepada istri yang kamu
cintai dalam hal pembagian malam dan nafkah
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa hukum poligami
itu mubah, sebab dalam hukum Islam secara mutlak tidak mengharamkan
dan tidak pula memberikan dispensasi (kelonggaran), dengan
mempertimbangkan bahwa watak yang dimiliki laki-laki mampu dalam
berbagi bidang, termasuk dalam perkawinan yang cenderung melakukan
poligami. Sehingga dalam melakukannya harus terlebih dahulu
mempertimbangkan mudharatnya. Menurut Imam al-Ghazali, poligami
dalam Islam memiliki aturan yang khusus. Seperti halnya dalam Islam yang
menganjurkan untuk berpuasa bagi laki-laki bujang yang belum mampu
melakukan pernikahan, sama dengan jika laki-laki tidak mampu untuk
berlaku adil maka jangan memaksakan diri melakukan poligami.9
d. Hukum Poligami di Indonesia
Negara Indonesia sebagai negara hukum, memiliki peraturan tesendiri
mengenai perkawinan, yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dalam
pasal 3 (1) UU No. 1/1974 undang-undang tersebut secara jelas bahwa
hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami yang
diperuntukkan bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Akan tetapi, dalam
undang-undang ini pula terdapat pengecualian, seorang suami bisa beristri
lebih dari satu orang apabila ada izin dari pihak yang bersangkutan, dalam
hal ini istri terdahulu. Adanya pengecualian ini berlandaskan pada agama
yang tidak mengharamkan praktik poligami.10

9
Ibid, h. 277
10
Ibid, h. 277
8

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.


1/1974) juga secara tegas tidak memperbolehkan poligami kecuali jika
pihak yang bersangkutan memberikan izin persetujuan. Begitu pula dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 55 dinyatakan bahwa laki-laki bisa
beristri lebih dari satu orang sampai empat orang dengan syarat suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, dan apabila syarat
tersebut dikhawatirkan tidak terpenuhi maka suami dilarang beristri lebih
dari satu.11
Jika kita melihat beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia,
tidak ada satupun peraturan yang melarang secara tegas pelaku poligami.
Karena, jika dilihat peraturan-peraturan tersebut memberikan celah untuk
melakukan poligami dengan syarat adanya persetujuan dari pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini istri.
e. Rukun, Syarat, dan Hikmah Poligami
Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah swt. sebut dalam al-
Qur’an ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang
disebutkan dalam hadist Rasulullah saw:
1. Jumlah istri paling banyak adalah empat, dan tidak boleh lebih.
2. Bisa berbuat dan berlaku adil antara istri-istrinya
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta
Ketiga syarat yang dikemukakan di atas harus terpenuhi. Baik itu
syarat satu, dua dan tiga membolehkan seorang lelaki yang hendak
berpoligami untuk menikahi sampai empat perempuan secara adil. Hukum
berlaku adil yang disebut di atas adalah fardhu atau wajib. Jadi,
meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Alasan dalam berpoligami
juga harus jelas dan mampu diterima oleh akal. Maka, dapat dikemukakan
uraian yang menjadi bahan berfikir terhadap dibolehkannya berpoligami
sebagai berikut:12

11
Ibid, h. 277
12
Ibid, h. 278
9

1. Poligami harus diakukan dalam kondisi tertentu,artinya tidak


dalam kondisi normal. misalnya jika istri sudah lanjut usia atau
sakit, sehingga dikhawatirkan suami tidak bisa menjaga
kehormatan dirinya jika tidak melakukan poligami.
2. Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan)
dan keterikatan di antara sesama manusia. Dengan kata lain,
melakukan poligami menjadi sebab terjalinnya hubungan dan
kedekatan antara banyak keluarga, dan ini pula salah satu sebab
poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
3. Poligami merupakan sebab terjaganya kehormatan sejumlah besar
wanita dan terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang berupa
nafkah, tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak,
dan ini merupakan tuntutan syariat.
4. Laki-laki yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi, sehingga
bawaannya tidak cukup baginya mempunyai seorang istri,
sedangkan dia tidk mau terjerumus dalam hal-hal yang melanggar
syariat.
5. Terkadang setelah menikah istri mandul, sehingga memilih
poligami daripada perceraian.
Al-Jurjani dalam kitabnya, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu
menjelaskan ada tiga hikmah yang dikandung poligami. Pertama,
kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang yang menunjukkan
bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran dalam tubuhnya.
Jadi menurutnya, sangatlah pantas laki-laki itu beristri empat. Kedua,
batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian lakilaki;
pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industry. Ketiga, bagi seorang
suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu
senggang selama tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk
mencurahkan kasih sayang.13

13
Ibid, h. 279
10

Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat mencatat empat


dampak negative poligami. Pertama, poligami dapat menimbulkan
kecemburuan di antara para istri. Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran
istri kalau-kalau suami tidak dapat bersikap bijaksana dan adil. Ketiga,
anak-anak yang lahir dari ibu yang berlainan sangat rawan perkelahian,
permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang
ekonomi. Bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk
poligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan,
maka yang akan menjadi korban akan lebih banyak.14
B. Definisi Poliandri
Poliandri secara etomoligis berasal dari bahasa Yunani yaitu Polus
artinya banyak, Aner artinya negatif dan Andros artinya laki-laki. Secara
terminologis, poliandri diartikan dengan perempuan yang mempunyai
suami lebih dari satu. Dalam kehidupan masyarakat poligini lebih
umum dikenal dari pada poliandri. Menurut Ali Husein Hakim dalam
bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan poliandri, yaitu
ketika seorang perempuan dalam waktu yang sama mempunyai lebih dari
seorang suami. Menurut Musfir al-Jahrani, perkawinan poliandri adalah
perkawinan seorang wanita pada waktu yang sama mempunyai suami lebih
dari satu.15
a. Dasar Hukum Poliandri
Hukum poliandri adalah haram berdasarkan al-Qur`an dan as-
Sunnah. Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah dalam surah An-Nisa ayat
24:
ْ‫س?? ۤا ِء اِاَّل َم??ا َملَ َكتْ اَ ْي َم??انُ ُك ْم ۚ ِك ٰت َب هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َواُ ِح?? َّل لَ ُك ْم َّما َو َر ۤا َء ٰذلِ ُك ْم اَن‬
َ ِّ‫ص?? ٰنتُ ِمنَ الن‬ َ ‫َوا ْل ُم ْح‬
ً ‫ض ?ة‬ َ ‫اس?تَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ? ٖ?ه ِم ْن ُهنَّ فَ? ٰ?ات ُْوهُنَّ اُ ُج? ْو َرهُنَّ فَ ِر ْي‬ْ ‫صنِيْنَ َغ ْي َر ُم ٰسفِ ِحيْنَ ۗ فَ َم??ا‬ ِ ‫تَ ْبتَ ُغ ْوا بِا َ ْم َوالِ ُك ْم ُّم ْح‬
‫ض ۗ ِة اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫ض ْيتُ ْم بِ ٖه ِم ۢنْ بَ ْع ِد ا ْلفَ ِر ْي‬ َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما تَ َرا‬
َ َ‫ۗ َواَل ُجن‬
“Dan (Diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-perempuan
yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang
14
Ibid, h. 279
15
Ima Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis, Psikologis dan
Sosiologis)”, Jurnal Qolamuna, Vol. 3 No. 2 (Februari, 2018), 185
11

kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagi kamu
selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu mencari
(istri) dengan hartamu (mahar) untuk menikahinya, bukan untuk berzina.
Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah
kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban.
Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan
sesudah menentukan kewajiban (itu). Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata: “Diharamkan menikahi
wanita-wanita yangbersuami. Allah menamakan mereka dengan al-
muhshanat karena mereka menjaga (ahshana) farji (kemaluan)
mereka dengan menikah.”Pendapat tersebut sejalan dengan
pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan, bahwa kata muhshanat yang
dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka
(al-harair), tetapi wanita yang bersuami (dzawah al-azwaj). Imam
Syafi’imenafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan: “Wanita-
wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan
atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka
berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah,
kecuali as-sabȃyȃ(yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena
perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya).”16
Dengan demikian jelas, bahwa wanita yang bersuami haram
dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil
Al-Qur`an atas haramnya poliandri. Hashana itu berarti mencegah,
di antara kata yang memiliki akar kata itu adalah kata hishn yang
berarti benteng. Namun makna ini bisa bergeser sesuai dengan
konteks pembicaraan dan sebabnya, misalnya Islam itu hishn (benteng),
kemerdekaan itu hishn, nikah itu hishn, dan ‘iffah (menjaga diri) juga

16
Ibid, h. 190
12

hishn. Allah SWT berfirman, “Dan apabila mereka telah menjaga diri,
kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina)”.17
Untuk itu jelas bahwa wanita yang bersuami haram dinikahi oleh laki-
laki lain. Dengan kata lain bahwa ayat di atas merupakan dalil Alquran
atas haramnya poliandri. Adapun dalil al-Sunnah yang melarang poliandri
adalah hadis Rasulullah yang berbunyi:
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka
(pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari
keduanya”
Hadits tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa jika dua
orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara
berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali
yang pertama, dengan kata lain hadis tersebut menunjukkan bahwa
tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami
saja. Dengan demikian jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas
wanita muslimah, baik berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun dalil al-
Sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.18
b. Hukum Poliandri di Indonesia
Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara
tegas disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Hal ini
sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 ayat 1 bahwa pada asasnya dalam
sautu perkawinan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Meskipun asas ini berlaku untuk pria (suami) dan wanita (istri), namun
dalam prakteknya yang dilarang adalah bagi wanita, di mana wanita haram
menikah lebih dari seorang suami (poliandri). 19 Dalam Kompilasi Hukum
Islam di terangkan juga pada BAB IV pada pasal 40 huruf a dan b
dilarangnya untuk melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita dalam keadaan tertentu yaitu wanita yang bersangkutan

17
Ibid, h. 190
18
A. Ja’far, “Larangan Muslimah Poliandri: Kajian Filosofis, Normatif Yuridis, Psikologis, dan
Sosiologis”, AL-‘ADALAH, Vol. 10 No. 3 (Januari, 2012), 327
19
Ibid, h. 328
13

masih terikat satu perkawinan dan wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain. Tidaklah sah pernikahan seorang istri yang masih
terikat dengan perkawinan lalu kawin dengan pria lain sangat dilarang di
Indonesia dan tidak diizinkan karena melanggar aturan negara baik hukum
positif dan hukum Islam.20
c. Faktor-faktor Terjadinya Poliandri
Pernikahan poliandri biasanya memang sangat jarang terungkap di
khalayak ramai akan tetapi ditemukannya perkawinan yang disebut
poliandri pada masyarakat Bunut. Padahal suami pertama belum dan tidak
pernah menceraikan istrinya ataupun mengucapkan talak terhadap istrinya.
Pernikahan tersebut di laksanakan secara resmi dan tanpa sepengetahuan
suami pertama, pernikahan poliandri ini hanya di ketahui oleh beberapa
pihak keluarga.21
Kebanyakan karena mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga,
sedangkan gaji dari suami yang tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah
tangga, sehingga istri mencari nafkah sendiri. Ada yang menjadi Tenaga
Kerja Wanita (TKW), ada menjadi tukang cuci, buruh dan lain-lain.
Sedangkan suami yang kurang memberi kasih sayang terhadap istri,
kurang rasa nyaman dan harmonis di dalam rumah tangga, suami yang
sering mabuk-mabukan, narkoba, sering memukul istri, jarak dengan
suami berjauhan dan kurangnya iman sebagai kontrol sosial
mengakibatkan istri melakukan poliandri. Dari sampel yang di dapat dari
responden terlihat faktor-faktor penyebab poliandri di kalangan
masyarakat muslim di Kelurahan Bunut yaitu22:
1. Faktor Ekonomi
Tidak di pungkiri bahwa faktor utama untuk penunjang dalam
rumah tangga adalah kestabilan ekonomi yang harus dijaga. Stabil
atau tidaknya ekonomi dapat memberikan pengaruh ada keharmonisan
20
Hasliza Lubis, “Poliandri di Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di Kelurahan
Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan”, Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 5
No. 1 (2020), 8
21
Ibid, h. 11
22
Ibid, h. 12
14

keluarga.33 Ekonomi berkaitan dengan nafkah yang di hasilkan oleh


keluarga. Keluarga dipandang sebagai pemenuhan segala kebutuhan
tiap anggota keluarga tersebut. Setelah terjadinya akad, maka tugas
suami memberikan nafkah untuk istrinya. Di dalam rumah tangga
seorang istri bertugas memelihara dan mendidik anak, dan seorang
suami bertugas memenuhi kebutuhan dan memberi nafkah keluarga
selama ikatan perkawinan masih berjalan.
Hasil dari wawancara peneliti dengan Ibu Dija selaku wanita yang
melakukan pernikahan poliandri faktor sulitnya akan ekonomi tidak
ada perubahan kondisi waktu dengan waktu yang lama dari
ekonominya. Ketika seseorang mengalami krisis finansial dalam
keluarga, ia berusaha mencari solusi dengan alasan hidupnya lebih
baik lagi jika ia menikah dengan pria lain. Pada akhirnya istri mencari
jalan pergi dengan meninggalkan suaminya ke daerah lain. Lalu, di
daerah barunya dimana ia tinggal, istri melakukan perkawinan yang
kedua dengan pria lain yang dapat memberikan perlindungan atau
pemenuhan kebutuhan ekonominya namun dengan suami pertama
tidak adanya perceraian.23
2. Rendahnya Pendidikan serta Kurangnya Kesadaran dan
Pemahaman Masyarakat Tentang Hukum
Dari hasil wawancara dengan Ibu Fika salah satu pelaku wanita
yang poliandri beliau memberikan alasan melakukan perkawinan
tanpa adanya perceraian dari suami pertama karena mereka sudah
lama tidak bersama dan suami tidak pernah memberi kabar sehingga
beliau beranggapan sama dengan cerai dan melakukan prosedur
perceraian sangat merepotkan di pengadilan. Masih terdapat
masyarakat yang tidak sadar dan paham mengenai pentingnya
perkawinan yang dicatatkan. perkawinan yang dicatatkan dipandang
sebagai sekedar administrasi tidak disadari dari segi manfaat dari
pencatatan perkawinan. Masih ada anggapan masyarakat bahwa tanpa

23
Ibid, h. 13
15

perceraian yang resmi terhadap perkawinan pertama, tetap bisa


melaksanakan perkawinan yang kedua. Masyarakat tidak sadar bahwa
selain undang-undang mengatur perkawinan juga ada hukum pidana
yang dapat menjerat. Rendahnya tingkat pendidikan yang pelaku
peroleh mengakibatkan mereka tidak paham akan peraturan
perundangundangan mengenai prosedur perkawinan dan perceraian
yang benar. Sehingga mengakibatkan mereka melakukan perkawinan
poliandri yang menurut mereka jika sudah dilakukan ijab kabul maka
perkawinan mereka sudah dinyatakan sah.24
3. Suami Pertama Tidak Bertanggung Jawab
Hasil wawancara peneliti dengan narasumber bahwa pihak suami
melalaikan kewajiban sebagai suami dengan tidak memberi nafkah
kepada istri baik jasmani yaitu memberi untuk biaya hidup maupun
rohani. Dalam kasus Ibu Rika karena suami yang sudah tua dan sering
sakit-sakitan sehingga tidak sanggup memberi nafkah lahir dan batin
mengakibatkan ketidakharmonisan di dalam rumah tangga sehingga
Ibu Rika melakukan poliandri. Dalam kasus yang lain juga tercatat
seorang istri karena suami jarang di rumah serta sering memukuli istri,
sering mabuk-mabukan mengakibatkan tidak harmonis di dalam
rumah tangga. Selain itu juga, suami yang terkena jerat kasus narkoba
yang mengakibatkan suami tidak bertanggungjawab sebagai suami.
Sehingga istri memilih meninggalkan suaminya dan menikah lagi
dengan pria lain.25
4. Suami Berangkat Bekerja Jauh dari Istrinya
Suami bekerja jauh sehingga meninggalkan istri hal ini
menyebabkan istri berselingkuh dengan pria lain dan melaksanakan
perkawinan dengan perkawinan yang kedua dilakukan secara siri. Istri
merasa kebutuhan seksual tidak terpenuhi akibat suami yang bekerja
jauh. Akhirnya melakukan poliandri karena jarak dengan suami yang

24
Ibid, h. 13
25
Ibid, h. 14
16

sangat jauh, suami yang jarang pulang karena bekerja di luar daerah dan
istri tidak terpenuhi hasrat biologisnya. Dalam kasus Ibu Afni karena
jarak dengan suami sedangkan suaminya bekerja di kalimantan sebagai
supir jadi suami jarang pulang mengakibatkan Ibu Afni melakukan
poliandri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu Afni bahwa dia
melakukan perkawinan lagi tanpa adanya ucapan talak dari suami
pertamanya karena suami jauh dan pergi sudah lama.26
Tidak hanya di keluarahan Bunut saja, kasus poliandri pun terjadi di
Kabupaten Pidie Jaya, dan faktor-faktor nya pun kurang lebih sama seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, mulai dari aspek ekonomi, jarak, tidak
terpenuhi nafkah batin, usia suami yang sudah lanjut dan sakit-sakitan,
kurangnya keharmonisan dan juga kurangnya iman dan lemahnya
pemahaman agama sebagai kontrol sosial.
Praktik poliandri bermula dari ketidak berdayaan ekonomi masing-
masing pasangan suami istri. Kebanyakan dari pasangan itu bergantung
pada suami, yaitu hasil dari kerja suami. Sebagaimana manusia dewasa
lainnya, apalagi bagi yang telah berkeluarga, kebutuhan bukan hanya
nafkah lahir, seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi, akan tetapi juga
nafkah batin, seperti kasih sayang, perhatian, serta pemenuhan kebutuhan
biologis bersama pasangan. Faktor-faktor tersebut adalah kendala-kendala
yang sulit dihindari oleh TKW yang hidup berjauhan dari suami dan
keluarga. Inilah Faktor-Faktor pelaku melakukan poliandri yaitu aspek
ekonomi, aspek jarak, aspek tidak terpenuhnya hasrat biologis, aspek usia
suami yang sudah lanjut dan aspek kurangnya iman dan lemahnya
pemahaman agama sebagai kontrol sosial.27
d. Hikmah Larangan Melakukan Poliandri
Kaitannya dengan Poliandri, secara logis dari sisi medis dapat
dijelaskan bilamana seorang laki-laki memiliki banyak istri,

26
Ibid, h. 15
27
Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten
Pidie Jaya)”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Hukum Islam, Vol. 1 No. 1 (Januari-
Juni 2017), 267
17

kemudian salah satu istrinya hamil, maka akan mudah diketahui siapa
ayah calon bayi dalam kandungan istrinya. Sedangkan
poliandri, bilamana seorang wanita bersuami lebih dari satu, maka
saat hamil sulit diketahui siapa ayahnya. Secara medis memang ada
kemungkinan wanita bisa memiliki dua telur, meski kebanyakan satu telur
sebulan. Kondisi tersebut menimbulkan kebingungan. Karena itu,
poliandri cenderung tidak dilakukan, agama juga melarang. Bentuk
perkawinan poliandri memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi.
Hubungan antara seorang ayah dan anak-anaknya tidak dapat diidentifikasi
secara jelas. Kehidupan keluarga yang merupakan pembentukan
zona aman serta nyaman bagi generasi selanjutnya serta ikatan antara
generasi sebelumnya dan generasi selanjutnya, adalah sebuah tuntutan
fitrah manusia.28
C. Definisi Monogami
Monogami berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata monos yang berarti
satu atau sendiri, dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami merupakan
suatu kondisi dimana seseorang hanya memiliki satu pasangan pada
pernikahan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, monogami ialah
perkawinan seseorang (seorang laki-laki dan seorang perempuan saja)29
Monogami berarti relasi personal yang mendalam dan eksklusif antara
suami dan istri yang setara dan paling sesuai dengan martabat manusia.
Mereka berdua hidup sebagai mitra yang saling membutuhkan, saling
melengkapi dan saling memperkaya. Kesatuan itu merupakan kesatuan yang
eksklusif, disebut eksklusif karena kesatuan menunjuk pada kesatuan cinta
suami dan istri yang tak terbagi kepada orang lain. Monogami sesungguhnya
adalah komitmen bersama untuk menghormati perkawinan dengan membatasi
pengalaman paling intim dalam hubungan perkawinan.30

28
Ima Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis, Psikologis dan
Sosiologis)”, Jurnal Qolamuna, Vol. 3 No. 2 (Februari, 2018), 201
29
W.J.S. Poerwardarminta (1987), Kamus Umum Bahasa Indonesia (cet 10), Jakarta: Balai
Pustaka, h. 654
30
Brendah Pua, “Kedudukan Asas Monogami Dalam Pengaturan Hukum Perkawinan di
Indonesia”, NUSANTARA: Jurnal Ilu Pengetahuan Sosial, Vol. 9 No. 6 (2022), 2380
18

Perkawinan yang bersifat monogami tentunya dikehendaki Allah


sendiri. Allah ingin agar pilihan hidup manusia untuk menikah dan
membentuk keluarga membawa mereka kepada kebahagiaan yang utuh
dan lengkap, oleh karena itu hendaknya pasangan benar-benar mengerti
apa artinya sifat monogami ini dan menghayatinya dengan sungguh-
sungguh. Berbagai keinginan yang akan membiarkan diri jatuh pada godaan-
godaan dengan hadirnya pihak lain dalam keluarga, dan juga relasi-relasi
dengan orang lain yang bersifat rahasia menjadi sesuatu yang amat
bertentangan dengan sifat monogami ini, maka sudah selayaknya untuk
dihindari.31
a. Asas Monogami dalam Perkawinan di Indonesia
Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama
seorang laki-laki hanya boleh mempunyai satu orang perempuan sebagai
strinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-
laki sebagai suaminya. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No. 16/2019
dan juga pada Pasal 27 KUHP.32
Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan
putusnya suatu perkawinan (perceraian) harus benar-benar dipikiran serta
dipertimbangkan dengan matang. Sebab jika hal tersebut terjadi maka akan
membawa akibat yang luas, tidak hanya menyangkut diri suami atau istri
tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. Dengan demikian
diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta
begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).33
Asas monogami yang dianut dalam UU perkawinan Pasal 3 ayat (1)
menentukan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seoran istri dan begitu pula sebaliknya. Namun
pada Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menentkan bahwa pengadilan dapat
31
Ibid, h. 2380
32
Mieke Angraeni Dewi, “Tinjauan Yuridis UU No. 16 Tahun 2019 Menurut Asas Monogami dan
Hubungan Hukum Dalam Perkawinan”, Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol. 17 No. 2 (April
2020), 142
33
Ibid, h. 142
19

memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yag bersangkutan. Formalitas untuk
beristri lebih dari satu ini diatur dalam pasa 4 dan 5 UU Perkawinan. Yaitu
harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.34

34
Brendah Pua, “Kedudukan Asas Monogami Dalam Pengaturan Hukum Perkawinan di
Indonesia”, NUSANTARA: Jurnal Ilu Pengetahuan Sosial, Vol. 9 No. 6 (2022), 2380
BAB III
KESIMPULAN
Persoalan yang paling banyak dibicarakan dalam lingkup perkawinan
adalah poligami. Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang
ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah paling mengetahui kemaslahatan
hamba-Nya. Hukum poligami dibolehkan dan telah didahului oleh agama-agama
samawi, seperti agama Yahudi dan Nasrani. Islam membolehkan poligami
meskipun dengan persyaratan khusus suami berpoligami atau mempunyai istri
lebih dari satu, akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi sekarang terdapat istri
yang mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan atau disebut
poliandri. Berbeda dengan poligami yang hukumya dibolehkan, hukum mengenai
poliandri dalam pandangan Islam sangat dilarang, karena akan menimbulkan
mudharat yaitu dari segi keturunan, ketidaktahuan menentukan ayah biologis dari
anak yang dilahirkan sangat tinggi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Muza. “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi Kasus


di Kabupaten Pidie Jaya).” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum
Islam 1 (2017): 248-274. Oktober 2022. <https://www.jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/samarah/article/view/1582>.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami’ Al-Bayan An-Ta’wil Al-
Qur’an. Penerj. Ahsan Askan. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Cahyani, Andi Intan. “Poligami dalam Perspektif Hukum Islam .” Al-Qadau 5


(2018): 271-180. Oktober 2022.
<https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al-qadau/article/view/
7108/5858>.

Dewi, Mieke Angraeni. “TINJAUAN YURIDIS UU NO.16 TAHUN 2019


MENURUT ASAS MONOGAMI DAN HUBUNGAN HUKUM DALAM
PERKAWINAN.” HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT 17 (2020):
138-145. Oktober 2022.
<http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/hdm/article/view/1495>.

Hayati, Irma Nur. “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis,


Psikologis dan Sosiologis).” Jurnal Qolamuna 3 (2018): 181-206. Oktober
2022. <http://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna/article/view/
89/67>.

Hidayatulloh, Haris. “ADIL DALAM POLIGAMI PERSPEKTIF IBNU HAZM.”


Religi: Jurnal Studi Islam 6 (2015): 207-236. Oktober 2022.
<http://journal.unipdu.ac.id/index.php/religi/article/view/488>.

Ja’far, A. “LARANGAN MUSLIMAH POLIANDRI: KAJIAN FILOSOFIS,


NORMATIF YURIDIS, PSIKOLOGIS, DAN SOSIOLOGIS.”
AL-‘ADALAH 10 (2012): 325-330. Oktober 2022.
<http://103.88.229.8/index.php/adalah/article/view/278>.
Lubis, Hasliza. “Poliandri di Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di
Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan.” Al-
Istinbath: Jurnal Hukum Islam 5 (2020): 1-20. Oktober 2022.
<https://scholar.archive.org/work/ddrmdxdapfcdzo7bobvf3pe5dy/access/
wayback/http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/
download/1198/pdf>.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,


1987.

Pua, Brendah. “KEDUDUKAN ASAS MONOGAMI DALAM PENGATURAN


HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA.” NUSANTARA : Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial 9 (2022): 2372-2403. Oktober 2022.
<http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/7872/4670
>.

You might also like