You are on page 1of 3

Problematika Sains Barat

23 November 2021

Oleh: Dr. Budi Handrianto

Melalui interaksi sains dan teknologi, peradaban Barat mengukuhkan superioritasnya atas
bangsa-bangsa lain.  Sains, sebagai fondasi dan mesin teknologi, telah menjadi senjata rahasia
Barat yang canggih. Sains, meskipun sudah dipisahkan, berbeda dengan teknologi. Orang Islam
sering salah kaprah mengidentifikasi peradaban Barat dengan kemajuan teknologi seperti alat-
alat listrik, elektronik, otomotif, transportasi, senjata pemusnah massal dan lain-lain. Kemudian
umat Islam berusaha mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri.

Kita harus sadar bahwa sains itu bukan teknologi. Sains berhubungan dengan ide-ide dan cara-
cara yang abstrak sementra teknologi bertujuan memproduksi benda-benda yang dapat berguna
untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi merupakan aplikasi pengetahuan
ilmiah dan tanpa pemahaman dan penguasaan landasan ilmiahnya, hanya memproduksi piranti
teknologis melalui imitasi adalah sangat beresiko. Kalaupun bisa diambil dari apa yang ada pada
kemajuan teknologi Barat adalah teknologi yang sifatnya mempermudah aspek keseharian dalam
kehidupan. Sedangkan problematika yang ada di Barat terletak pada sains yang mendasari
lahirnya teknologi tersebut.

Sains Barat modern yang sampai saat ini didominasi oleh paham positivisme tentu saja tidak sepi
dari kritik, baik dari ilmuwan Barat sendiri maupun dari ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang
mengkritik di antaranya adalah Karl Popper, Thomas Kuhn, Madzab Frankfurt, Paul Feyerabend,
dan Rorty. Pada dasarnya kritikan tersebut merupakan respon terhadap ciri-ciri positivisme di
atas. Paling tidak kritik terhadap positivisme ada empat. Pertama, fakta tidak bebas melainkan
bermuatan teori. Fakta selalu dipahami dalam kerangka teoritis tertentu. Kedua, falibilitas teori.
Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empirik,
kemungkinan munculnya fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas, melainkan sarat-
nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase
objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan alam semesta yang sarat persoalan dan senantiasa
berubah.

Yang menjadi problem utama dari sains Barat modern adalah landasan ide positivisme. Jika
dikatakan ilmu itu bebas-nilai maka yang dimaksud bukan bebas nilai sama sekali, tapi bebas
dari hal-hal yang bersifat non-indrawi termasuk persoalan metafisika. Padahal setiap manusia
mempunyai perspektif masing-masing dalam melihat sesuatu. Dalam benak seseorang sudah ada
paradigma maupun worldview yang berbeda-beda sehingga persepsi terhadap fakta pun berbeda.
Pandangan para ahli tentang sains itu tidak bebas nilai sudah dikemukakan di depan, baik oleh
ilmuwan Barat maupun Islam.
Soal fenomenalisme di mana pengetahuan yang absah hanya pada fenomena alam yang tampak
saja, berarti metafisika yang merupakan alam di balik fenomena ditolak oleh sains Barat. Inilah
problem besar bagi sains karena dalam Islam, juga agama-agama, aspek metafisika justru
menjadi faktor utama karena Tuhan adalah sosok dzat yang tidak tampak langsung secara
indrawi. Sains Barat “menyingkirkan” Tuhan sedikit demi sedikit karena saat itu para wakil
Tuhan di muka bumi (gereja) banyak melakukan penyelewengan, termasuk inkuisisi yang
menghantui masyarakat Barat. Ilmuwan Barat seakan-akan ingin menyingkirkan sumber masalah
selama ini yang menyengsarakan dan mengakibatkan anarkisme, baik dari kalangan gereja
maupun penentangnya.

Nominalisme dalam paham positivisme sains Barat juga tidak mungkin. Mereka mengklaim
bahwa kenyataan satu-satunya adalah individu secara partikular, bukan universal. Padahal akal
manusia selalu menghubung-hubung informasi satu dengan yang lain. Bahkan banyak hal tidak
bisa diukur karena berhubungan satu sama lain.

Reduksionisme dalam sains Barat juga bermasalah. Alam semesta ini hanya direduksi menjadi
fakta-fakta fisik saja. Padahal fakta-fakta non-fisik lebih banyak lagi. Hal ini karena menurut
sains Barat, pengetahuan disebut ilmiah apabila saintifik empiris. Jika tidak, maka gugurlah dari
keilmiahannya atau dianggap tidak absah. Reduksionisme ini telah membuang banyak sekali
ilmu pengetahuan yang tidak dimasukkan dalam unsur empirisisme. Sains Barat juga mereduksi
otoritas dan intuisi menjadi nalar dan pengalaman indrawi saja. Memang benar pada mulanya
dalam hal otoritas dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang
menalari dan mengalami, tapi ini tidak kemudian berarti karena itu otoritas dan intuisi dapat
direduksi menjadi nalar dan pengalaman indrawi belaka.

Ciri khas sains Barat yaitu naturalisme dan mekanisme juga sudah banyak yang menentang.
Kajian ini sudah sejak lama dibicarakan oleh para filosof, termasuk filosof muslim seperti Al-
Ghazali, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Dengan menjadikan hukum alam yang mekanistik maka
peran Tuhan mengatur alam raya ini menjadi tidak ada. Tuhan bagaikan Sang Pembuat Jam
(Watch Maker) di mana setelah jam dibuat maka jam tersebut bergerak sendiri sampai mati.
Selama jam tersebut berjalan, sang pembuat jam tidak berperan sama sekali.

Jika dalam sains Barat saluran pengetahuan hanya berupa panca indra, maka dalam Islam justru
panca indra merupakan saluran pengetahuan yang paling rendah. Dalam Islam ada berbagai
saluran pengetahuan, dimulai dari yang paling rendah yaitu panca indrawi, kemudian meningkat
kepada yang lebih tinggi yaitu akal, intuisi dan terakhir yang paling tinggi adalah wahyu. Panca
indra merupakan saluran yang paling rendah karena hanya menangkap partikular-partikular pada
dunia di sekitarnya. Dengan demikian maka pengetahuan yang dicapai hanyalah pengetahuan
praktis-empiris. Di luar pengetahuan tersebut maka tidak digolongkan sebagai ilmu. Mereka
sering menyampaikan ungkapan, “seing is believing”, suatu kebenaran baru akan diyakini
apabila mereka mengalaminya secara langsung melalui panca indra. Padahal dalam Islam justru
sebaliknya, yaitu “believing is seeing”, artinya jika manusia percaya (yakin, iman) maka ia akan
melihat kebesaran-Nya. Keyakinan seorang muslim terhadap Sang Pencipta (al-Khaliq) akan
memantapkan posisi diri dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya (created book), sebagaimana
kitab suci yang merupakan firman-Nya.

Problem sains Barat yang mengusik keimanan –termasuk keimanan seorang muslim adalah
tersingkirnya Tuhan di dalam sains. Sains Barat yang dipandang netral (bebas nilai) karena
bersifat positivistik pada tahap asumsi-asumsi dan preposisi-preposisi tidak melibatkan Tuhan
alias ateistik. Jadi, sains Barat modern yang berkembang saat ini adalah sains sekular dan anti
Tuhan.

Sifat sains Barat modern yang seperti itu telah membawa masalah besar bagi umat Islam saat ini.
Sebab, sains Barat modern tersebut diajarkan kepada anak-anak muslim mulai dari tingkat dasar
hingga pendidikan tinggi. Padahal, dengan mempelajari sains Barat yang sekular tersebut akan
membuat seorang muslim jauh dari Tuhannya. Semakin dalam akan semakin jauh karena sifat
kesekularannya. Walaupun tidak sedikit ilmuwan yang mempelajari sains Barat yang shalih
dalam beragama, namun keshalihannya tersebut bukan didapat dari dirinya mempelajari sains
Barat tersebut. Keshalihannya bisa jadi dia dapatkan ketika pendidikan masa kecil dari orang tua
ataupun lingkungannya. Kemungkinan juga bisa didapatkan dari lingkungan tempat dia tinggal
dan yang bersangkutan termasuk rajin mengaji dan sebagainya.

Efek negatif dari sains Barat ini telah lama disadari oleh kaum ilmuwan muslim. Mereka
berusaha untuk mengembalikan sains pada asalnya yaitu dari Sang Maha Pencipta alam ini dan
memberikan unsur spiritual pada sains. Dengan kata lain, sains Barat modern harus di-Islamisasi.
Beberapa ilmuwan muslim yang lantang menyuarakan ide Islamisasi sains pada akhir abad ke-20
adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Ja’far
Idris, Ziauddin Sardar, Ibrahim Kalin, Muzaffar Iqbal, dan lain-lain

https://mediadakwah.id/problematika-sains-barat/

You might also like