You are on page 1of 11

MAKNA “MIN NAFSIN WAHIDATIN” DALAM TAFSIR

JALALAIN DAN AL-MANAR DALAM TINJAUAN


EPISTEMOLOGI ISLAM

Husnul Khotimah Siregar


Mahasiswa Magister IAT UINSU, Medan
Email: husnul.khotimahsiregar@uinsu.ac.id

Mega Prahesti
Mahasiswa Magister IAT UINSU, Medan
Email: mega.prahesti@uinsu.ac.id

Arifinsyah
Dosen Pascasarjana IAT UINSU, Medan
Email: arifinsyah@uinsu.ac.id

Abtract:
There are various interpretations of the meaning of min nafsin wahidatin. The equivalent
word has implications for where the first woman was created. Is it true from the rib of
Prophet Adam or is it only from one type and not from the rib of Prophet Adam. All of
these interpretations are represented by two interpretation studies from the classical and
contemporary eras, namely Tafsir Jalalain and Tafsir Al-Manar. This research is an
observation from library research and its review in Islamic Epistemology. Where after
observing the two interpretations, the meaning of min nafsin wahidatin from Tafsir Al-
Manar is that the first woman (Hawa) is not from the part of the Prophet Adam and
means only the same type, while according to Tafsir Jalalain it is one soul, absolutely
means Prophet Adam. These two interpretations are the application of the Islamic
epistemology of Bayani and Burhani. Where, when reviewing this interpretation from the
point of view of Islamic Epistemology, it is not the realm of seeking correct opinions and
questioning opinions that are believed to be incorrect, but to broaden one's point of view.
The various meanings of min nafsin wahidatin also have implications for life
psychologically, socio-culturally, educationally and even politically.
Keywords: Min Nafsin Wahidatin, Jalalain Interpretation, Al-Manar Interpretation,
Islamic Epistemology.
Abstrak:
Terdapat ragam penafsiran terhadap makna min nafsin wahidatin. Padanan kata
tersebut berimplikasi kepada dari mana wanita pertama diciptakan. Apakah benar dari
bagian tulang rusuk Nabi Adam atau apakah hanya dari jenis yang satu dan tidak dari
tulang rusuk Nabi Adam. Segala interprestasi tersebut diwakili dengan dua kajian tafsir
dari era klasik dan kontemporer yakni Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Manar. Penelitian
ini merupakan pengamatan dari pelaksanaan kajian kepustakaan (library research) dan
peninjauannya dalam Epistemologi Islam. Dimana setelah mengamati kedua tafsir
terbut, maka makna min nafsin wahidatin dari Tafsir Al-Manar yakni wanita pertama
(Hawa) bukan dari bagian Nabi Adam dan maksudnya hanya jenis yang sama, sedang
menurut Tafsir Jalalain adalah jiwa yang satu, mutlak berarti Nabi Adam. Kedua
penafsiran ini merupakan aplikasi dari epistemologi Islam Bayani dan Burhani.

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 1


Dimana, tatkala meninjau penafsiran tersebut dari sudut pandang Epistemologi Islam
maka bukanlah ranahnya mencari pendapat yang benar dan mempersoalkan pendapat
yang diyakini kurang benar namun untuk memperluas sudut pandang. Ragam
pemaknaan min nafsin wahidatin juga berimplikasi pada kehidupan secara psikologis,
sosial budaya, pendidikandan bahkan politik.

Kata Kunci: Min Nafsin Wahidatin, Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Manar, Epistemologi
Islam

Pendahuluan
Kitab suci yang haq dan mutlak kebenarannya, diyakini sepanjang masa ialah dan
hanyalah Al-Qur’an. Sesuai dengan fungsi diturunnya kepada manusia yakni sebagai
pelajaran, obat, petunjuk dan rahmat bagi manusia.1 Maka, apa yang termaktub di
dalamnya adalah kebenaran dan kebaikan. Allah ‘azza wa jalla tatkala menurunkannya
juga memastikan manusia terbaik yang menerimanya, yakni Nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam. Al-Qur'an dibacakan dalam Beliau, atau bahasa Arab.2 ini
perlu dipahami oleh setiap orang, baik yang sudah beriman maupun yang belum paham
maknanya.3
Gaya linguistik yang digunakan dalam Al-Qur'an dicirikan oleh fitur sastra dan
retorisnya yang unik, yang dikenal sebagai i'jaz, yang intrinsik dengan Al-Qur'an. Setiap
huruf dan kata di dalamnya mengandung makna yang tidak hanya berfungsi sebagai
pembacaan literal saja namun mengandung sesuatu yang mampu tertanam dalam kognisi
pembaca. Pemahaman yang didapat ini lahir dari telaah mendalam terhadap setiap kata
di dalam Al-Qur’an. Diantaranya terkait huruf jar seperti kata min (‫) ِمن‬. Kata min bukan
saja diartikan “daripada” namun juga “puncak suatu perkara”, “sebahagian”, “untuk
menjelaskan mengapa sesuatu seperti itu dan hal seperti apa itu”. 4 Oleh karenanya
pemaknaan huruf dalam bahasa Arab itu sangatlah luas. Satu kaidah ‘bila sebuah kata
memiliki beberapa makna, maka makna tersebut disesuaikan dengan konteks ayatnya’5.
Contohnya kata nafs yang terkait di berbagai tempat di dalam Al-Qur’an.
Sejalan dengan paparan tersebut, maka ada satu padanan kata di pada Al-Qur’an
yang menjadi kontroversial di dalam memahaminya. Yakni kalimat ‘min nafsin
wahidatin.’ Ia termaktub dalam QS. An-Nisa ayat 1:

Padanan kata ini ramai dibahas sebab berimplikasi kepada asal usul penciptaan
wanita yang pertama yakni Hawa. Terdapat dua argumen besar terhadap teori penciptaan
Hawa, Pertama; oleh kalangan mufasir klasik yang menyatakan bahwa min nafsin
wahidatin diartikan sebagai wanita pertama, yakni Hawa yang berasal dari tulang rusuk
Nabi Adam ‘alaihi as salam, seperti apa yang dipaparkan dalam kitab Jami’ al Bayan fi
1
Lihat QS. Yunus ayat 57
2
Lihat QS. Yusuf ayat 22, Ar-Ra’d ayat 37, Taha ayat 113, Az-Zumar ayat 28, Fusshilat ayat 3.
3
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya, 2019, Jakarta; Kencana, h 2
4
Muhammad Saleh, Thesis, Penciptaan Hawa dalam Al-Qur’an, PTIQ Jakarta, h. 107.
5
Khalid bin ‘Utsman as-Sabt, Qawa’idu at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, t.th, Dar Ibnu ‘Affar, h 423

2 | Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’.


Tafsir al-Qur’an oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.6 Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an oleh al-
Qurthubi7. Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib oleh ar-Razi8. dan juga oleh dua imam
Jalaluddin, al Mahalli dan as-Suyuthi dalam kitab tafsir mereka, Tafsir Jalalain.9
Pendapat kedua, hadir dari kalangan mufasir kontemporer, seperti
Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha pada kitab tafsirnya Tafsir al-Manar.10
mereka memberikan tafsir yang kontradiktif atas pendapat mufasir klasik. Menurut
Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan min nafsin wahidatin bukanlah Adam
sebab kata berikutnya berbentuk nakirah.
Menanggapi ragam penafsiran min nafsin wahidatin ini, maka kiranya butuh
pengkajian lebih lanjut. Maka tulisan ini hadir untuk meneliti bagaimana pemaknaan
yang ada pada kalimat min nafsin wahidatin. Dalam penelitian ini, dikhususkan dengan
memakai dua kitab tafsir dari periode klasik dan modern seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir
al-Manar.
Tidak cukup dengan telaah atas makna min nafsin wahidatin, dewasa ini
pembaca harus cerdas untuk kemudian mengambil sikap atas polemik dan keragaman
penafsiran atas min nafsin wahidatin tersebut. Maka, dengan melakukan pendekatan
epistemologi Islam, seperti Bayani, Burhani dan Irfani.11
Metode Penelitian
Penelitian ini ialah pengamatan dari pelaksanaan kajian kepustakaan (library
research) dan peninjauannya dalam Epistemologi Islam. Penelitian ini juga berupa
sebuah kajian literatur kualitatif berdasarkan metode analisis deskriptif dalam upaya
mengkonsolidasikan argumentasi penelitian tentang kesenjangan antara berbagai
interpretasi makna min nafsin wahidatin dalam QS. An-Nisa ayat 1.
Penelitian ini menggunakan Tafsir Al-Manar dan Tafsir Jalalain sebagai rujukan
utama dan didikukung dengan berbagai literatur seperti kitab tafsir dari era klasik, buku
dan jurnal yang relevan dengan topik judul.
Definisi Makna Min Nafsin Wahidatin
Untuk memahami makna padanan kata min nafsin wahidatin maka dibutuhkan
penjabaran definisi secara etimologi (lughatan) dan terminologi (istilahan). Adapun
menurut bahasa ‫من‬berarti daripada,12‫ نِ ˚فس‬berarti jiwa, ruh,1313 ‫ اوِحِدة‬berarti satu.14 Mak
secara harfiah ini diartikan sebagai ‘dari jiwa yang satu’. Lebih luas, maknanya secara
istilah bila merujuk pada kamus Al-Qur’an ialah ‫نِ ˚فس وا ِح ِد من ة‬, makna nafs
diartikan sebagai Adam ‘alaihi as salam1515 sebagaimana yang banyak dikutip oleh

6
Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Beirut; Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1978, Juz
I, h. 287
7
Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, 1966, Beirut; Dar al Kutub al-Ilmiyah, Juz I, h. 3
8
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, 1995, Beirut; Dar el-Fikr li at-Thib’ah wa an-Nasyr waat-Tauzi,
Juz IX, h. 167-168
9
Akan dijelaskan lebih lanjut pada halaman 7-8.
10
Akan dijelaskan lebih lanjut pada halaman 8
11
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi: Dirosat Ta’liliyyat Naqdiyyat Linadhmi al-ma’rafah
fi al-Saqofah al-Arrobiyyat, 1990, Beirut: Markas al-Wahdah al-Arobiah, h. 556
12
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, 1986, Surabaya: Pustaka
Progresif, h. 1075
13
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir... h. 1446
14
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir... h. 1586
15
Masduha, Al-Alfaazh; Buku Pintar Memahami Kata-Kata Al-Qur’an, 2013, Jakarta: Pustaka Kautsar,
h. 766, sedangkan kata wahidah menunjukkan makna ‘taukid’ (penguatan) yang mengatakan bahwa itu
diartikan sebagai kata Adam. Artinya, ‘benar-benar satu’ dan tidak ada selainnya. Dan indikasi lainnya
ialah penyebutan ‘minhuma’ yang berarti Adam dan Hawa.

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 3


mufasir klasik.
Kajian Tokoh dan Kitab Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Manar
Tafsir Jalalain ditulis oleh dua imam Jalaluddin. Pertama, oleh Jalaluddin al-
Mahalli, mempunyai nama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim
bin Ahmad. Ia lahir di Kairo pada tahun 791 H, dan wafat pada tahun 864 H. Sebutan al-
Mahalli yang lebih masyhur tersebut dinisbahkan kepada nama kawasan kelahirannya
yang terletak tidak jauh dari sungai Nil atau di bagian sebelah barat Kairo.16
Dalam hal pengejaran intelektual, sejak usia dini, ia menunjukkan
kecenderungan yang kuat untuk terlibat dengan beragam disiplin ilmu, termasuk teologi,
yurisprudensi, hermeneutika, prinsip-prinsip yurisprudensi, tata bahasa Arab, dan logika.
Oleh karena itu, selain dikenal sebagai mufassir, ia juga dikenal sebagai fuqaha dengan
spesialisasi di bidang fikih. Hal ini terlihat dari isi tulisannya. Terlepas dari
kepatuhannya pada mazhab fikih Syafi'i, ia telah mendapatkan pengakuan sebagai
seorang ulama terkemuka, yang terkenal karena pemahaman dan studinya yang
komprehensif tentang prinsip-prinsip fikih yang mencakup keempat mazhab.17
Dalam sisi lain, selain dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki karakter
yang terhormat (mulia), wara’ dan ‘alim, beliau juga dikenal sebagai pengarang yang
getol dan tokoh yang cukup atau sederhana kendati beliau bukanlah seorang yang miskin,
tetapi beliau memilih hidup berkecukupan. Dia bekerja sebagai pedagang untuk
menutupi pengeluaran hariannya. Namun, situasi tersebut tidak memenuhi ambisinya
untuk terus belajar.18
Kedua, penulis karya ini adalah Jalaluddin as-Suyuthi, juga dikenal sebagai al-
Hafidz Jalaluddin Abi Fadhil Abdurrahman Abu Bakar as-Suyuthi. Yang bersangkutan
lahir pada tahun 849 Hijriah dan meninggal dunia pada tahun 911 Hijriah. Individu yang
dimaksud lahir pada periode dinasti Mamluk dan berasal dari latar belakang ilmiah.
Akibatnya, sejak usia muda, ayahnya berusaha untuk memupuk kecenderungan putranya
terhadap pengejaran ilmiah dan kesalehan.
Sejak kecil, ayahnya bekerja tanpa lelah untuk menanamkan dalam dirinya
kecintaan belajar dan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Dia telah
mendorong putranya untuk menghadiri konferensi keagamaan dan memohon kepada
para sarjana terkemuka untuk melakukannya. Salah satu ulama yang mendukungnya
adalah al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang muhaddit terkemuka yang mengarang
Bulughul Maram.
Sebagai seseorang yang dianugerahkan ingatan dan keahlian yang sangat kuat,
energik, produktif yang tinggi, ia dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada saat
beliau berusia 8 tahun. Selain itu, dan karyanya mencapai sebanyak kurang lebih 500
karya, 19 baik dari karangan asli atau rangkuman dari kitab-kitab lain. Di Kairo, masjid
Imam Asy-Syuyuthi didirikan. Dia menyelamatkan seluruh hidupnya dengan belajar,
mengajar, mengeluarkan fatwa, dan menulis. Kemudian, ketika dia berusia empat puluh
tahun, dia memutuskan ingin keluar dari kegilaan dunia ('uzlah).

16Wahyudi Syakur, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf (Jombang: Dar al-Hikmah, 2008), h.
75.
17
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirun Terj. Muhammad Sofyan (Medan:
Penerbit Perdana Mulya Sarana, 2015), h. 21
18
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h.
111.
19
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirun Terj. Muhammad Sofyan... h. 22

4 | Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’.


Setelah sakit sebentar, Imam Asy-Syuyuthi meninggal dunia di Raudhatul Miqyas pada
usia 61 tahun. Qaushun atau Qaisun, di luar gerbang Qarafah, tempat dimakamkannya
Jenazahnya.
Konteks sejarah penafsiran Jalalain terkait erat dengan kondisi bahasa Arab yang
berlaku pada masa itu yang mengalami kemunduran. Faktor utama yang berkontribusi
terhadap masalah ini berasal dari percampuran individu berlatar belakang Arab dan non-
Arab. Akibatnya, penutur asli bahasa Arab mengalami penurunan kemahiran berbahasa
Arab akibat pergeseran pola dan struktur kalimat yang dipengaruhi oleh bahasa 'ajam.
Insiden yang disebutkan di atas memiliki dampak buruk yang signifikan terhadap bangsa
Arab karena menyebabkan pengabaian terhadap standar dan aturan bahasa Arab asli
yang telah ditetapkan, yang mengakibatkan berkurangnya penekanan pada pelestarian
esensi asli bahasa tersebut.
Dengan adanya latar belakang penulisan tafsir ini, maka dapat dilihat bahwa tafsir
ini tidak hanya menguraikan makna atau substansi dari sebuah kata, namun juga
memaparkan aspek kebahasaan dengan memakai aturan-aturan yang hendak dilakukan
dalam menjelaskan suatu kata seperti mengungkapkan mengenai wazn, sharaf, dan juga
sinonim katanya.20 Selain itu, mengenai metode penafsiran, Tafsir Jalalain menggunakan
metode ijmali (global) dan mayoritas ulama mengatakan bahwa corak penafsiran yang
sepadan untuk disematkan kepada tafsir jalalain adalah corak umum.21
Adapun Tafsir Al-Manar ditulis oleh Muhammad Abduh yang bernama lengkap
Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nashr,
Bahirah, Mesir. Beliau memiliki sejarah pendidikan intelektual bermula dari
kampungnya sendiri, kemudian beliau dikirim orang tuanya ke Thantha untuk menuntut
ilmu, walaupun ia sempat kembali ke kampung halaman dan menyurutkan tekadnya
untuk menimba ilmu, akan tetapi setelah ia bertemu dengan pamannya yang seorang
‘alim akhirnya ia kembali ke Thantha untuk menimba ilmu kembali.22
Setelah belajar di Thantha, ia memutuskan untuk lanjut mencari ilmu ke
Universitas al-Azhar, Kairo. Disana ia belajar ilmu logika, filsafat dan juga sastra bahasa.
Selain itu, untuk lebih memuaskan dirinya, ia juga belajar matematika, etika, politik
serta juga filsafat yang digurui oleh Jamaluddin al-Afghani. Pada saat inilah al-Afghani
banyak menyokong pemikiran-pemikirannya kepada Muhammad Abduh terumata
pemikirannya mengenai penentangan terhadap Khedevi Isma’il (penguasa Mesir pada
saat itu) untuk melanjutkan misi gerakan pembaharuan yang telah dirintis oleh
Muhammad Ali.
Setelah studi Muhammad Abduh selesai, ia lanjut mengajar di al-Azhar dan di
Dar al-‘Ulum. Ia juga aktif dalam hal tulis-menulis sehingga beliau sering menulis
artikel untuk diterbikan di majalah al-Ahram, bahkan beliau juga pernah diangkat sebagai
pemimpin redaksi al-Waqa’i al-Mishriyyah. Disamping itu, ia juga terlibat kedalam
politik praktis atas pengaruh gurunya, yakni Jamaluddin al-Afghani. Pada saat inilah ia
menguraikan pandangan-pandangan al-Afghani untuk menghidupkan dan mengangkat
antusiasme hubbul wathan atau cinta tanah air rakyat Mesir dan membangun Partai
Nasional Mesir (al-Hizb al-Wathan). Akan tetapi, pada saat Khedevi Isma’il
mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yakni Khedevi Taufiq, akhirnya al-

20
Abdullah Taufiq, dkk, Ensiklopedi Islam Cet VII (Jakarta: PT. Ichtiar Baru), h. 198
21
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388.
22
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an...h. 139.

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 5


Afghani diusir dari Mesir dan Muhammad Abduh dikenakan sanksi berupa
tahanan kota yang mengharuskannya kembali ke daerah asalnya. Namun, setelah
beberapa lama alhasil ia diperbolehkan kembali menginjak Kairo berkat usaha dari
Menteri RiadPasya.23
Muhammad Abduh memiliki reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. Ide
dasarnya adalah untuk membebaskan akal dari batasan taqlid yang menghambat
perkembangan ilmu agama. Selain itu, tujuan dari konsep ini adalah untuk
menyempurnakan gaya bahasa Arab yang digunakan dalam dokumen resmi pemerintah,
tulisan publik, dan konteks lainnya. Tujuan pemikiran ini adalah untuk mengklarifikasi
prinsip-prinsip ambigu teks kanonik Islam, untuk mengembangkan teks kanonik Islam
(dengan menyesuaikan interpretasi mereka dengan realitas kehidupan modern), dan
untuk memperkuat cara berpikir spiritual umat Islam dengan membersihkan hambatan
mental yang muncul sebagai akibat dari pergeseran masyarakat era sekarang. 24
Muhammad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad Syamsuddin al-Qalamuni
menulis Tafsir Al-Manar berikutnya. 1865, Qalamun, Libya. Saya suka belajar bahasa
asing termasuk Prancis, Turki, dan Arab.25 Pada saat ia belajar di Tripoli, berkat
kedekatannya denga Syaikh Husain akhirnya ia berkesempatan untuk untuk mengarang
beberapa surat kabar, kesempatan inilah yang nantinya dapat memperlancar jalannya
dalam menegakkan atau membangun penerbitan surat kabar atau majalah al-Manar.
Ketika Rasyid Ridha berjuang di Libanon, saat itu jugalah bersamaan dengan
gerakan pembaharuan yang mulai marak sebagaimana yang digalakkan oleh Muhammad
Abduh di Mesir melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Distribusi majalah ini meluas ke
seluruh negara Muslim, termasuk Rasyid Ridha. Saat itulah rasa kagum Rasyid Ridha
terhadap Muhammad Abduh dan al-Afghani mulai menggelegak. Setelah itu ia pun
mengayunkan langkahnya untuk Muhammad Abduh. Mereka pun bertemu pertama kali
pada saat Muhammad Abduh ke Tripoli dan pertemuan kedua pada saat Muhammad
Abduh menjalani masa pembuangan di Beirut.26
Pada tahun 1897, Rashid Ridha membuat keputusan untuk pindah ke Mesir
karena tanggapan dan intimidasi yang tidak menyenangkan yang dia hadapi dari
pemerintah Kekaisaran Ottoman di Lebanon terkait gagasan reformasi yang
diusulkannya. Setelah rentang waktu beberapa bulan, individu tersebut mendirikan
tempat tinggal di Mesir. Selain itu, mereka mencapai prestasi penting dengan
menerbitkan edisi perdana majalah al-Manar, sebuah publikasi yang mencakup artikel-
artikel yang memberikan komentar tentang Al-Qur'an.
Bermula dari rasa kagum, akhirnya Muhammad Abduh pun menjadi guru Rasyid
Ridha ketika ia memustuskan untuk menetap di Mesir. Rasa kagum Rasyid Ridha
terhadap al-Urwah al-Wutsqa membuatnya semangat untuk mengusulkan penulisan
tafsir al-Qur’an. Ketika gagasan ini pertama kali diajukan, ditolak oleh Muhammad
Abduh karena menganggap buku tidak berguna bagi mereka yang hatinya sudah
mengeras dan hanya 20% dari apa yang penulis maksudkan yang dapat dipahami oleh
pembaca. Ibu Ridha, Kemudia, sekali lagi memohon kepada putranya untuk mengajar
tafsir. Awalnya Abduh juga keberatan karena menurutnya hal itu sangat sedikit diminati,

23
Nofri Andi, “Tafsir al-Manar: Magnum Opus Muhammad Abduh”, dalam Jurnal UlunnuhaNomor 1,
(2016), h. 58
24
Nofri Andi, “Tafsir al-Manar: Magnum Opus Muhammad Abduh”... h. 60-62
25
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an...h. 145
26
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an...h. 147-148.

6 | Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’.


akan tetapi Ridha terus meyakinkannya dengan menyatakan bahwa situasi saat
ini berbeda dengan situasi zaman dahulu, akhirnya Abduh pun bersedia dengan usulan
tersebut,
Pembelajaran tafsir pun berlangsung melalui ceramah-ceramah yang dilakukan
Muhammad Abduh, sedangkan Rasyid Ridha mencatat dan menyimpannya untuk diedit
di majalah al-Manar. Akan tetapi, sebelum di cetak, Ridha tetap mendatangi Abduh untuk
memperlihatkan dan mengkoreksi hasil tulisan tersebut. Hal ini pun berlangsung sampai
waktu wafatnya Muhammad Abduh, yakni sampai kepada penafsiran surah al-Nisa’ ayat
126.
Penafsiran selanjutnya diteruskan oleh Rasyid Ridha hingga Surah Yusuf ayat
52. Secara keseluruhan, tafsir al-Manar terdiri dari 11 jilid. Tafsir ini memakai metode
tahlili (analisis) dengan corak penafsiran adabi ijtima’i, Ajari wanita itu dengan benar,
karena dia, sejujurnya, terbuat dari pecahan kaca. Dan tulang yang paling terdistorsi
adalah yang paling atas. Jika Anda memaksanya untuk berubah, itu pasti (patah), tetapi
jika Anda membiarkannya saja, itu akan terus-menerus bungkuk. Karena itu, jagalah
wanita itu sebaik mungkin agar mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Makna Min Nafsin Wahidatin dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Manar
Dalam kitab tafsir Jalalain, kata nafsin wahidatin bermakna Adam ‘alahi as
salam. Dhamir (kata ganti) “minha” yang terdapat di surah al-Nisa’ ayat 1 tersebut
ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh Adam a.s.” dan kata “zawjaha” ditafsirkan dengan
Hawa, istri Adam.27 Penafsiran ini tentu memiliki kesamaan dengan penafsiran ulama-
ulama klasik lainnya. Mereka mendasarkan kepercayaan ini pada hadits Nabi saw
tertentu yang menyatakan bahwa wanita (Hawa) diciptakan dari salah satu tulangs
Adam as:28
“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Ajari dia dengan baik,
karena sejujurnya dia mungkin terbuat dari pecahan kaca. Dan karat tulang yang
paling jelek ada di bagian paling atas. Jika Anda memaksanya untuk berhenti, dia pasti
(patah), tetapi jika Anda membiarkannya, dia akan selalu bungkuk. Karena itu,
pastikan dia dirawat dengan cara terbaik!.”
Adapun di dalam tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh mengatakan bahwa yang
dimaksud nafsin wahidatin (satu jiwa) di sini bukanlah Adam ‘alahi as salam baik dari
redaksi ayat ataupun dari makna ayat. Sebagian mufassir menyatakan bahwa seluruh
ayat.
Namun, dalam penafsirannya terhadap Al-Manar, Muhammad Abduh mengklaim
bahwa “nafsin wahidatin” yang dimaksud di sini bukanlah Adam 'alahi as salam, baik
redaksi teks maupun maknanya. Banyak mufassir mengatakan bahwa masyarakat
Makkah dan kaum Quraisy adalah penerima yang dituju dari ayat-ayat yang
menggunakan seruan yang dimaksud. Jika benar, maka jelas bahwa Bani Quraisy atau
Bani Adnan lah yang dimaksud dengan istilah “nafsin wahidatin” (satu jiwa). Akan
tetapi, jika ayat ini dimaksudkan untuk berlaku bagi semua orang Arab secara umum,
maka jelas nafsin wahidatin yang dimaksud adalah orang keturunan Arab atau Qahtani.
Dan jika kita mengatakan ayat-ayat itu ditujukan untuk semua umat Islam, maka
jelaslah bahwa keyakinan bahwa semua manusia pada akhirnya adalah keturunan dari
orang-orang yang pertama dan utama menyebut diri mereka Muslim.29
27
Lihat Tafsir Jalalain
28
Siti Munasaroh, “Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Manar” (Skripsi, Tafsir Hadis, UINSunan
Kalijaga Yogyakarta), h. 7
29
Siti Munasaroh, “Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Manar”... h. 9

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 7


Muhammad Abduh juga menyatakan petunjuk yang menguatkan bahwa yang
dimaksudkan dengan nafsin wahidatin bukanlah Adam ‘alaihi as salam adalah firman
Allah:

ُ َّ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلن‬


‫اس ٱتَّقُواْ َربَّ ُك ُم ٱلَّذِي َخلَقَ ُكم ِمن نَّ ۡف ٖس َٰ َو ِحدَ ٖة‬
Secara khusus, pemanfaatan isim nakirah digunakan. Jika memang acuan yang
dimaksud adalah Adam, maka bentuk gramatikal yang tepat digunakan adalah ism
ma'rifah. Bagaimana entitas ilahi mengungkapkan jiwa individu ketika komunikasi
mereka biasanya diarahkan ke semua suku bangsa.30
Menurut Rasyid Ridha, interpretasi yang berlaku di kalangan mufassir adalah
bahwa istilah "nafs wahidah" mengacu pada Adam as. Dalam contoh khusus ini,
individu yang bersangkutan tidak mengacu pada isi tekstual atau makna yang tampak
dari ayat tersebut. Namun, interpretasi yang berasal dari pemahaman mereka tentang
ayat tersebut menunjukkan bahwa Adam (saw) berperan sebagai nenek moyang umat
manusia.31
Selain itu, sudut pandang yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh berfungsi
untuk menghilangkan ambiguitas yang muncul dalam hal ini. Namun demikian, perlu
dicatat bahwa penulis tidak menyalahkan individu yang percaya bahwa Adam adalah
nenek moyang seluruh umat manusia, karena ia tidak secara eksplisit menyatakan
bahwa Al-Qur'an membantah perspektif ini. Penulis menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak
memberikan pernyataan definitif, berpotensi mengecualikan interpretasi alternatif.
Studi Epistemologi Islam; Tafsir Min Nafsin Wahidatin
Berangkat dari ragam penafsiran terhadap ‘min nafsin wahidatin’, maka perlu
telaah lebih lanjut mengapa terjadi keragaman tersebut. Hal demikian dapat difahami
dengan análisis mendalam atas metodologi yang dipakai oleh mufasir-mufasir tersebut.
Memahami sesuatu dengan metodologi yang benar adalah salah satu kunci
dalam memperoleh kebenaran. Proses untuk mendapatkan sebuah kebenaran dan
pemahaman ini dalam kajian filsafat disebut dengan epistemologis. Epistemologi
mencapai posisi yang penting sebab ia merupakan cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar.32 Lebih jauh, kematangan dalam memahami dan
mempraktekkan sebuah epistemologi berdampak pada pemberian warna dan jenis dari
ilmu pengetahuan yang dihasilkan33
Dalam kajian Islam, epistemologi bukan merupakan hal yang baru. Epistemologi
juga dipakai dalam memahami kajian studi Islam termasuk Tafsir Al-Qur’an. Secara
umum, Muhammad Al-Jabiri membagi epistemologi Islam ke dalam tiga macam, yakni:

30
Siti Munasaroh, “Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Manar”... h. 92
31
Siti Munasaroh, “Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Manar”... h. 85
32
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, 2016, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, h.
187
33
M. Zainal Abidin, Tafsir Filsafat atas Kehidupan, 2007, Yogyakarta: Pondok UII, h. 98. Lihat juga R.
Haree, The Philosophies of Science: An Introductory Survei, London: Oxford University Press, 1978, h.
5.

8 | Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’.


bayani, burhani dan irfani.34
Pertama, epistemologi Bayani, yakni epistemologi yang berasaskan sumber
pengetahuannya dari teks atau pendalaman akan kajian teks. Diantara ilmu keislaman
yang menjadi produk dari epistemologi ini ialah; Hadis, Ushu al-Fiqh, Fiqh dan lainnya.
Dalam kajian tafsir, fokus utama dari epitemologi ini ialah ialah redaksi ayat.35
Kedua, epistemologi Burhani, yakni epistemologi yang berasaskan
pengetahuannya dari akal. Burhani, secara sederhana merupakan kegiatan berfikir
dengan logis guna mendapatkan kebenaran proposisi dengan melakukan pendekatan
deduktif yang mengaitkan proposisi yang satu dengan yang lainnya yang telah terbukti
kebenarannya secara aksimotis.36 Epistemologi ini banyak dipakai di bidang keagamaan
khususnya oleh Mu’tazilah sebagai kelompok yang dikenal rasionalis. Berdasarkan cara
kerja epistemologi ini, Ibnu Khaldun memberikan sebutan ulu mal-aqliyyah pada
epistemologi Burhani ini.37
Ketiga, epistemologi Irfani, yakni epistemologi yang berasumsi pada ilmu
pengetahuan adalah kehendak (irodah). Epistemologi ini tergolong unik sebab tidak
dapat diperdebatkan dan dirasionalkan. Ciri khas dari epistemologi ini dalam
memperoleh pengetahuan ialah dengan al kasyf. Epistemologi Irfani mengutamakan apa
yang ada dalam diri berupa perenungan mendalam dari pada penjelasan dan
penggambaran. Umumnya, epistemologi ini disandarkan oleh kaum sufi yang berciri
khas kan metafora atau tamsil dalam komunikasi dan pemahaman.38
Bayani, burhani dan irfani sebagai epistemologi Islam kiranya mendapat
justifikasi langsung dari Al-Qur’an. Terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan
manusia menggunakan metodologi berpikir. Itu terbukti pada ayat yang berisi perintah
untuk berfikir, menggunakan akal. Epistemologi Burhani dan Bayani mewakili
himbauan tersebut. Epistemologi Irfani juga terwakili dengan adanya ayat-ayat yang
menghimbau manusia untuk merenung dan berpikir secara mendalam dengan
menggunakan intuisi.
Berangkat dari pembagian epistemologi Islam di atas, maka makna min nafsin
wahidatin yang terdapat pada Tafsir Al-Manar dan Tafsir Jalalain, memberikan sebuah
penguatan akan dua epistemologi yang disandarkan padanya, yakni; Bayani dan Burhani.
Imam Jalaluddin al Mahalli dengan tafsirnya yang bersandar pada teks dan bil ma’tsur
sebagai sebuah silogisme atas Bayani, sedang Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
selain pada teks, menggunakan rasio yang lebih dominan sehingga ini menjadi
reinterpretasi dari epistemologi Burhani.
Implikasi Ragam Pemaknaan Min Nafsin Wahidatin
Munculnya dua pendapat besar dalam memahami makna min nafsin wahidatin,
yakni apakah diri yang satu yang dimaksud adalah Adam atau sejenis lain seperti Adam,
dalam artian mempersoalkan apakah Hawa benar dari tulang rusuk Nabi Adam ‘alaihi as
salam ataukah bukan, berdampak ke beberapa aspek kajian. Terkhusus, bila difahami

34 35
Disini Al-Jabiri mengatakan Epistemologi Arab, namun hemat penulis ini dapat pula difahami
sebagai Epistemologi Islam, Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi: Dirosat Ta’liliyyat
Naqdiyyat Linadhmi al-ma’rafah fi al-Saqofah al-Arrobiyyat, 1990, Beirut: Markas al-Wahdah alArobiah,
h. 556.
35
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi,… h. 556.
36
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer..................... h. 187.
37
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi,… h. 383-384
38
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi,… h. 252.

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 9


secara literal dan tekstual maka didapatlah pemahaman wanita hanya sub-
ordinat dari laki-laki, sebagaimana yang dipaparkan dalam Tafsir Jalalain dengan
bersandar pada pendukung Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

‫ إذا لقيته فسلم‬: ‫حق المسلم على المسلم‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫فأجبه‬ ‫دعاك‬ ‫واذا‬ ‫عليه‬
‫ وإذا عطس فحمد هللا فيه واذا مرض‬,‫واذا استنصحك فانصح له‬
Penafsiran Jalaluddin al Mahalli dan as-Suyuthi ini yang berlandaskan pada
hadis di atas, bahwa wanita tercipta dari tulang rusuk (wanita) ini mampu memberikan
sebuah asumsi bahwa perempuan merupakan cabang atau sub-ordinat dari laki-laki.
Dampaknya, muncullah kaum feminis yang mempertentangkan pernyataan wanita
yang dinilai merendahkan wanita tersebut dan ini serupa dengan berimplikasi pada
bias gender, tafsir misoginis.39 Akibatnya pula, pada akhirnya segala pertentangan ini
dalam kehidupan berimplikasi pada ranah psikologis, sosial budaya, pendidikan juga
politik.
Kesimpulan
Makna min nafsin wahidatin secara bahasa ialah dari jiwa yang satu. Namun,
padanan kata ini menjadi sebuah polemik sebab ditafsirkan beragam di kalangan para
mufasirin. Min nafsin wahidatin ini menjadi pernyataan mengenai asal mula wanita
diciptakan. Diantara pendapat yang terkemuka dan kontroversial mengenai dari
manusia wanita diciptakan tersebut hadir pada tafsir era klasik dan kontemporer. Tafsir
Al-Manar dan tafsir Jalalain, mewakili dua pendapat besar terhadap makna kata
tersebut. Dalam tafsir Jalalain min nafsin wahidatin diartikan sebagai jiwa yang satu
yakni, Adam. Artinya, wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sedang, menurut
Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar, min nafsin wahidatin diartikan sebagai jenis
yang serupa dengan Adam dan bukan berarti bagian dari padanya (bukan dari tulang
rusuk Adam). Keberagaman ini jika ditinjau dari sudut epistemologi Islam ialah suatu
keniscayaan dan memicu pemakluman besar terhadap segala interpretasi di dalamnya.
Pemberlakuan dan pengetahuan akan ragam metodologi dalam pengambilan suatu
perkara dapat membuat sudut pandang yang luas, tidak berkutat kepada mana pendapat
yang benar ataupun salah. Dalam penelitian ini misalnya, penafsiran dalam tafsir Al-
Manar dan Jalalain menggunakan dua diantara epistemologi Islam yang ada, yakni
Bayani dan Burhani

39
Nunu Burhanuddin, Membincang Persepsi Keterpinggiran Perempuan, dalam JurnalESENSIA,
Vol. 16, No. 1, April 2015, h. 8.

10 | Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Hasyimy, Sejarah kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.


Abdullah Taufiq, dkk, Ensiklopedi Islam Cet VII, Jakarta: PT. Ichtiar Baru. 2006.
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Surabaya:
Pustaka
Progresif, 1986.
Al-Qur’an al-Karim
Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1966.
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz IX, Beirut: Dar el-Fikr li at-Thib’ah
wa an-
Nasyr wa at-Tauzi, 1995.
Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al Kutub
al-Ilmiyah, 1978.
Khalid bin ‘Utsman as-Sabt, Qawa’idu at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, t.th, Dar Ibnu
‘Affar.
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016.
M. Zainal Abidin, Tafsir Filsafat atas Kehidupan, Yogyakarta: Pondok UII, 2007.
Masduha, Al-Alfaazh; Buku Pintar Memahami Kata-Kata Al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka
Kautsar, 2013.
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat Aqli al-Arabi: Dirosat Ta’liliyyat Naqdiyyat
Linadhmi al-ma’rafah fi al-Saqofah al-Arrobiyyat, Beirut: Markas al-Wahdah
alArobiah, 1990.
Muhammad Husain adz-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirun Terj. Muhammad Sofyan,
Medan: Penerbit Perdana Mulya Sarana, 2015.
Muhammad Saleh, Thesis, Penciptaan Hawa dalam Al-Qur’an, PTIQ Jakarta.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005. Nofri Andi, “Tafsir al-Manar: Magnum Opus Muhammad Abduh”,
dalam Jurnal
Ulunnuha Nomor 1, 2016.
Nunu Burhanuddin, Membincang Persepsi Keterpinggiran Perempuan, dalam Jurnal
ESENSIA, Vol. 16, No. 1, April 2015.
R. Harre, The Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University Press,
London, 1978.
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2015.
Siti Munasaroh, “Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Manar”, Skripsi, Tafsir Hadis,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya, Jakarta: Kencana,
2019.
Wahyudi Syakur, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, Jombang: Dar al-Hikmah,
2008.

Husnul, Mega, Arifinsyah: Makna ‘Min Nafsin Wahidatin’. | 11

You might also like