You are on page 1of 18

Abstract: Abstract: A contemporary mufassir named Bint Shati (pen

name of Aisyah Abdurrahman, means child by the coast, or river,


more precisely because his residence (dumyat) is in the delta (estuary)
of the nil river) has neutralized a theory namely, anti-synonymity. The
point of this theory is that in the Koran, every sentence or word has
no similarity, because each meaning has a different interpretation and
a different sentence context. He uses this theory in the interpretation
of the verses of the Koran. For example, halafa and aqsama, both by
birth mean oaths. However, it turns out that these two words have
different meanings. Halafa, the connotation leads to perjury, which is
declared by hypocrites. Meanwhile, aqsama means a promise that is
kept by the believers and Allah. In terms of method, Bint Shati offers
interpretive researchers about how to do it. Namely looking for the
Original Meaning of a Vocabulary Based on the Dictionary. Compile
the Verses to be studied. Finds its true meaning. And linking with the
editor or the object of discussion or discussion of the verse. From
this method, Bntu Shati has a basis, namely, interpreting the Koran
with the Koran, then using the munasabah verse or surah, the rules of
al-ibrah bi generally al lafz la bi specifically al-sabab, that is, something
mentioned in that, people, does not apply only to people that, but
also apply to the public. and finally the laradufu fi quran theory,
which is that there are no synonyms in the Koran. And his work that
made his name rise, is human in the perspective of the Koran.
Keywords: Tafsir Alquran, Anti Synonymity, Binthu Shati '

Abstrak: Seorang mufassir kontemporer bernama Bint Shati (Nama


pena dari Aisyah Abdurrahman, berarti anak pinggir pantai, atau
sungai, lebih tepatnya karena tempat tinggal beliau (dumyat) berada di
delta(muara) sungai nil) telah memviralkan sebuah teori yaitu, anti
sinonimitas. Maksud teori ini adalah bahwa dalam alquran, setiap
kalimat atau kata-kata tidak memiliki persamaan, dikarenakan setiap
makna itu punya penafsiran yang berbeda dan konteks kalimat yang
berbeda. Teori ini ia gunakan dalam penafsiran ayat alquran. misalkan
halafa dan aqsama, secara lahirnya sama-sama bermakna sumpah.
Namun ternyata, kedua kata tersebut punya makna yang berbeda.
Halafa, konotasinya mengarah ke sumpah palsu, yang dinyatakan oleh
orang-orang munafik. Sedangkan aqsama bermakna janji yang ditepati
yang dinyatakan oleh orang-orang mukmin dan allah. Secara metode,
Bint Shati menawarkan kepada para peneliti tafsir, tentang cara yang
dilakukannya. Yakni mencari Makna Asli Sebuah Kosakata
Berdasarkan Kamus. Menghimpun Ayat yang akan diteliti.
Menemukan makna aslinya. Dan mengaitkan dengan redaksi atau
objek pembahasan atau pembicaraan ayat tersbut. Dari metodenya ini
Bntu Shati punya dasar yakni, menafsirkan alquran dengan alquran,
lalu menggunakan munasabah ayat atau surah, kaidah al-ibrah bi
umum al lafz la bi khusus al-sabab, yakni sesuatu yang disebut dalam
tersebut, orang, tidak berlaku hanya pada orang itu, melainkan juga
berlau untuk umum. dan terakhir teori laradufu fi quran, yakni tidak

2
ada sinonim dalam alquran. Dan karyanya yang membuat namanya
naik daun, adalah manusia dalam prespektif Alquran.
Kata kunci: Tafsir Alquran, Anti Sinonimitas, Binthu Shati’

Pendahuluan
Ilmu tafsir sebagai bingkai keilmuan yang fokus pada usaha
memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat Alquran telah
melahirkan sejumlah karya tafsir. Penelitian tafsir telah berkembang
seiring dengan tuntutan zaman. Ragam latarbelakang individu dan
kelompok manusia mempunyai kontribusi dalam memperkaya wacana
tafsir dan metode pendekatan dalam memahami Alquran. Seiring
berjalannya waktu, ilmu tafsir Alquran telah melahirkan beragam
corak penafsiran, sesuai dengan passion para mufassir serta kondisi
zaman dan kondisi (permasalahan) yang ada dimasyarakat. Kata
Abdullah Darraz, “Alquran bagaikan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut lainnya”.
Di abad ke 19, tafsir memasuki babak baru, dengan lahirnya
berbagai macam bentuk penafsiran yang identik dengan semangat
intelektual pada saat kemunculannya. Maka sangat wajar jika metode
tafsir alquran memiliki bentuk-bentuk yang permanen dari segi
linguistik, sastra, fikih, filsafat, budaya, ekonomi, sains, dll. Tentu saja,
metode tafsir yang digunakan seseorang terkadang menyisahkan
polemik di antara pakar tafsir lainnnya. Misalnya usaha menjelaskan
teori ilmiah modern terhadap ayat-ayat alquran sebagaimana banyak
ditemukan dalam Tafsir Tantawi Jauhari dan Tafsir al-Manar yang
ternyata tidak disetujui Amin al-Khulli, Rasyid Rida, Maragi, Mahmud
Syaltut, Abbas Muhammad al-Aqqad dan lain-lain.
Arah kesusastraan didalam menafsirkan Alquran dalam
kedudukannya sebagai suatu teks suci yang berbahasa arab, sebetulnya
bibit pengkajiannya telah muncul sejak dimulainya tafsir sosial. Tafsir
yang dibahas dan ajarkan oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al-
Maragi, yang setidaknya bisa dijadikan reprentasi dari model tafsir ini.
Akan tetapi usaha mereka belum sepenuhnya mengungkapkan isi
tafsir tersebut dari segi balagah maupun bayan alquran dan belum bisa
dijadikan acuan sebagai karya tafsir sastra.
Viralnya corak sastra pada penafsiran alquran dicapai ketika
munculnya Bintu Syati‟. Ia meniti jalan pembaruan metodologi
penafsiran. Beliau menafsirkan alquran dengan pendekatan yang

3
berasal dari suami sekaligus guru beliau, Amin al-Khuli. Teori-teori
penafsirannya diterapkan oleh Bintu Syati‟ dalam Tafsir al-Bayan li al-
Quranul al-Karim. Tafsir Bintu Syati‟ di anggap sebagai tafsir yang
mampu mengangkat derajat aliran sastra. Walaupun tafsir tersebut
berisi 14 surah, namun cara penafsirannya inilah yang dinilai cumlaude
dimata para pengkaji alquran. Ia mampu membawa paradigma baru
dalam panggung tafsir. Selian itu beliau juga memviralkan sebuah
paradigma dalam bahasa dan sastra arab di era kontemporer ini. Yakni
teori anti sinonimitas. Hal tersebut terlihat dalam berbagai karya
beliau. Sekaligus ia seorang mufassir wanita pertama dalam literatur
sejarah islam.
Salah satu teorinya yang terkenal adalah teori antisinonimitas,
yakni menolak adanya sinonim didalam Alquran. Sebenarnya ulama
terdahulu sudah ada yang mengusung teori ini, namun telah
tenggelam oleh ulama-ulama yang pro dengan adanya sinonimitas
dalam Alquran. Padahal, citarasa Bahasa Arab lama menolak
pemaahaman seperti itu. Penjelasan Alquran-lah yang menyatakan
kedalaman dan kepekaan citarasa bahasa Arab dalam puncak
kemuliaan asal-usulnya. Dalam artikel ini, akan dibahas bagaimana
biografi Binthu syati‟, pandangan pemikiran, metode penafsiran, teori
antisinonimitas, pengaplikasian dan manusia dalam prespektif alquran.

Biografi Bintu Syati’


Bintu Syati‟ salah seorang perempuan yang memiliki sumbangsih
pemikiran terhadap peradaban Islam. Ia lahir pada tanggal 6
November 1913 Masehi atau 6 Dzulhijjah 1331 dan wafat pada ada
awal Desember 1998 dalam usia 85 tahun. Ia bernama asli Aisyah
Abdurrahman, sedangkan Bintu Syati‟ adalah nama kecil Aisyah yang
bermakna anak perempuan dari sungai. Hal ini dikarenakan Aisyah
Abdurrahman lahir dan dibesarkan di tepian sungai, tepatnya di kota
Dimyat (Damietta) sebelah barat Sungai Nil Mesir. Sejak kecil Aisyah
Bintu Syati‟ hidup dalam keluarga agamis dan mapan, baik dari segi
ekonomi maupun pendidikan. Kedua orang tuanya yaitu Muhammad
Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasir merupakan tokoh
agama alumni Al Azhar. Sedangkan kakeknya, Syekh Ibrahim ad-
Damhuji al-Kabir juga merupakan salah satu ulama besar Al Azhar.1

1 „A>ishah ‘Abd al-Rah}man Bint al-Sha>t{i>’, ‘Ala> al-Jisr, Ust{u>rat al-


Zama>n,(Mesir: Da>r Hila>l, 1966), 14-16.

4
Ayah Bintu Syati‟ memiliki prinsip bahwa seorang perempuan
harus berdiam diri di rumah. Sehingga dalam hal ini ayah Bin al-Syathi
tidak memberi izin putrinya untuk menempuh pendidikan di luar
rumah. Kebiasaan ini berlangsung sampai sang ibu meminta
kakeknya, Syekh Ibrahim ad-Damhuji al-Kabir dan guru sang ayah,
Syekh Mansur Ubayy Haykal al-Sharqawi untuk membantu meminta
izin agar putrinya bisa menempuh pendidikan di luar rumah dan di
pendidikan formal. Selama menempuh pendidikan di rumah, Aisyah
„Abdurrahman menggunakan nama Bintu Syati‟ dalam menulis pena
untuk menyembunyikan identitasnya, dengan tujuan menghindari
amarah dari ayahnya ketika membaca artikel yang telah ditulis olehnya.
Bintu Syati‟ memulai karir pendidikannya pada usia lima tahun
(1918 M) dengan didikan langsung dari sang ayah yang dilaksanakan
dalam metode tradisional di dalam rumah, masjid, dan sekolah
Alquran. Ia telah menyelesaikan hafalan al-qur‟an yang ditempuh di
Madrasah Alquran Al-Kuttab pada usia yang sangat belia. Pada tahun
1939 ia berhasil meraih gelar license (LC) jurusan sastra dan bahasa
Arab di Universitas Fuad I Kairo. Dua tahun kemudian, Bintu Syati‟
menyelesaikan pendidikan jenjang master dan pada tahun 1950
berhasil meraih gelar doktor pada bidang dan lembaga yang sama pula
yaitu sastra dan bahasa Arab di Universitas Fuad Kairo dengan
disertasi yang berjudul al-Ghuffra>n li Abu>al-A’la>al-Ma’a>riy.2
Selama menempuh pendidikan di Kairo, Bintu Syati‟ mulai
banyak menulis karya ilmiah, hingga akhirnya ia menjadi penulis di
sebuah lembaga jurnalistik. Suatu profesi yang jarang terjadi di
lingkungannya. Dengan posisi sebagai penulis ini, ia memulai karirnya
dengan banyak menerbitkan tulisannya nya ke beberapa media masa
terkenal di Mesir.3 Diantara majalah yang memuat tulisan Bin al-Syathi
adalah Nahdhah Islamiyyah, Ahra>m, al-Hila>l, al-Bala>gh, dan
Kawkebel-Sharq.
Bintu Syati‟ menikah dengan seorang pakar tafsir sekaligus
dosennya yaitu Prof. Amin al-Khulli dalam kondisi penyelesaian
pendidikan program magister. Pertemuan dengan suaminya inilah
yang menjadikan awal mula ketertarikan Bintu Syati‟ terhadap kajian

2 Issa J. Boullata, Modern Qur’an Exegeis: A Study of Bint al-Shatti’ Method inThe
Muslim World, 1974, 64.
3 M. Syihabuddin Muin, Shohibul Adib, dan Fahmi Arif El-Muniry, Ulumul

Qur’an Profil Para Mufassir Alquran dan Para Pengkajinya (Banten: Pustaka
Dunia, 2011), 257 .

5
tafsir. Karir akademik Bintu Syati‟ dimulai pada tahun 1929 sebagai
guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mans{uriah. Kemudian
menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa Inggris dan
Perancis pada tahun 1939. Pada tahun 1939, menjadi asisten dosen
pada Universitas Kairo, menjadi inspektur bahasa Arab pada sebuah
lembaga pada tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus sastra pada koran
al-Ahra>m. Kemudian pada tahun 1950 menjadi dosen bahasa Arab di
Universitas al-Syam, menjadi asisten profesor bahasa Arab di
Universitas khusus perempuan, dan menjadi profesor sastra Arab di
Universitas „Ain al-Syam pada tahun 1967. 4 Setelah pensiun dari
jabatannya di Universitas „Ain al-Syam, ia menjadi guru besar studi-
studi Alquran di Universitas Qurawiyyin, Fez, Maroko.
Issa J. Boullata mencatat diantara karya-karya Bintu Syati‟ yang
telah dipublikasikan adalah bidang studi Alquran, yaitu al-Tafsi>r al-
Baya>ni> li al-Qur’an al-Kari>m II, vol I (Kairo, Dar al-Ma’arif,
1962), edisi II, 1969, edisi III, 1968, Kita>buna al-Akbar (Umm
Durman, Jami’ah Umm Duman al-Islamiyah, 1967), Maqa>l fi al-
Insa>n Dira>sah Qur’aniyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif 1969), al-
Qur’an wa al-Tafsir al-Ashri (1970), al-I’jaz al-Baya>ni li al-Qur’an
al-Karim (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1970), al-Syakhshiyyah al-
Islamiyyah Dira>sah al-Qur’aniyyah (Beirut: Dar al-Ilm li al-
Malayin, 1973).5 Karya lainnya adalah Abu al-A’la al-Ma’arri, al-
Khamsa The Islamic Personality: Qur’anic Studies (1977), Treatise
on the Human Being: Qur’anic Studies (1969), The Qur’an and the
Human Condition (1978), Rhetorocal Exegeis of the Glorious
Qur’an (1990), Introduction to the Method (1971), dan
Explanatory Inimitability of the Qur’an and the Problems of Ibn
al-Azraq (1971).6
Prinsip Penafsiran
Adapun didalam tafsirnya, Bintu Syati‟ memusatkan perhatiannya
pada kesusastraan Arab. Beliau menempuh sebuah metode dengan

4 Wali Ramadhani, Bintu Sya>ti>’ dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-Asr


Dalam Kitab At-Tafsir Al-Baya>ni> Lil Qur’anil Kari>m ”, At-Tibyan Vol 3
No. 2, Desember 2018, 268.
5 Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi‟, Manusia, Sensifitas Hermeneutika Al-

Qur’an, terj M. Adib al-Arief, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), 10-11.


6 Roxanne D. Marcotte, The Qur’an in Egypt I: Bintu al-Sya>thi’ on Women’s

Emancipation, New Jersey: Islamic Publication Internatioanal, 2008, 182-183.

6
memecahkan berbagai persoalan kehidupan, sastra dan bahasa. Beliau
banyak berpedoman pada kitab-kitab yang konsen terhadap aspek-
aspek balaghah al-qur‟an. Menurut Bintu Syati‟ yang dituntut pertama-
tama dari mufassir ialah memahami kosa kata (mufradat) al-qur‟an
dan uslub (gaya bahasa) dengan pemahaman yang bertumpu pada
kajian metodologis-induktif sekaligus menelusuri rahasia-rahasia
ungkapannya. Upaya penafsiran ini mencakup empat hal:
1. Untuk mencapai makna yang tepat dari kata-kata dan gaya
penyataannya secara maksimal melalui studi literal yang cermat.
2. Guna memahami gagasan tertentu dalam al-qur‟an sesuai
konteksnya menurut tatanan kronologis pewahyuan sehingga
dapat diketahui mengenai keterangan wahyu dan tempatnya.
3. Untuk mengetahui pemahaman yang benar terhadap ali-qur‟an
sesuai kosa kata, gaya dan linguistik dari al-qur‟an itu sendiri.
4. Untuk memahami pernyataan yang sulit dengan cara menelaah
naskah secara tekstual maupun kontekstual.7
Pemikiran Bintu Syati‟ sangat terpengaruh dengan gaya sang guru
sekaligus pendamping hidupnya yakni Amin Al-Khuli. Metode yang
digunakan oleh Bintu Syati‟ dalam menafsirkan al-qur‟an bertumpu
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sebagian ayat al-qur‟an menafsirkan ayat al-qur‟an yang lain.
Yakni untuk melacak makna suatu ayat pada ayat yang lain.
2. Menggunakan prinsip munasabah, yakni mengaitkan hubungan
kata atau ayat dengan kata atau ayat yang lain baik didekatnya
maupun yang jauh dari ayat atau kata yang ditafsirkan.
3. Prinsip al-ibrah bi umum al-lafdz la bi khusus as-sabab.. yakni
pertimbangan dalam menentukan suatu masalah harus
berdasarkan pada redaksi dalil alqur‟an atau hadis yang berlaku
umum bukan berdasarkan sebab khusus turunnya dalil tersebut.
4. Bahwasannya setiap kata bahasa arab dalam al-qur‟an tidak
mengandung sinonimitas. Jadi satu kata hanya memiliki satu
makna. Hal ini untuk menjaga ke evektivitasan, esensi dan
keindahan al-qur‟an.

7Wahyuddin, Corak Dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi,


(Banjarmasin : IAIN Antasari, 2011), 89-90.

7
Kemudian Bintu al-Syati‟ juga berkeyakinan bahwa al-qur‟an
menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri, harus difahami secara
keseluruhan dengan kesatuan karakteristik gaya bahasa yang khas dan
penerimaan tatanan kronologis al-qur‟an dapat memberikan
keterangan sejarah kandungan alqur‟an tanpa mmenghilangkan
keabadian nilainya.8

Metode Tafsir
Bintu Syati‟ mempertajam metode tafsirnya dengan rujukan
pemikiran suaminya dalam upaya menelaah kritik sastra, hitoris dan
antrologi yang merujuk pada pengalam Charles Darwin (1895). 9 Bintu
Syati‟ tidak menafikan sumber-sumber rujukan metode penafsiran Al-
Quran kepada orang-orang yang hidup pada zaman Nabi ataupun
kejadian pada masa itu untuk dijadikan sebagai data sejarah. Agar
signifikan religius orang-orang atau kejadian-kejadian tersebut
dipahami dalam konteks pesan Al-Quran dan totalitasnya. Perhatian
besar Bintu Syati‟ dalam penafsirannya bersumber terhadap
pandangan mufassir lampau, yaitu al-thabari, al-Zamakhshari,
Muhammad Abduh dan lain-lain.10
Penafsiran Bintu Syati‟ menggunakan pendekatan rasional, tradisi
riwayat dan kebahasaan. Menurutnya yang dimaksud metode sastra
dalam pengkajian Al-Quran ada dua tahap, yaitu :
a. Kajian external Al-Quran, merupakan kajian yang meliputi kajian
umum dan khusus. Kajian khusus adalah kajian tentang ulum al-
Quran dan kajian umum adalah kajian mengenai konteks material
dan immaterial lingkungan Arab.
b. Kajian Internal Al-Quran, merupakan kajian yang menelaah Al-
Quran dengan tujuan mencari makna etimologis dan terminologis
serta sirkulasi kosa kata dari makna semantik dalam satu ayat yang
di tafsirkan.11

8 Fatimah Bintu Thohari, „Āishah ‘Abd al-Raḥmān bint al-Shāṭi’: Mufasir Wanita
Zaman Kontemporer, Dirosat: Jurnal of Islamic Studies. Vol 1, Januari – Juni
2016, 95.
9 Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qu’ran, (Jakarta: Gema Insani,

2002), vii.
10 Adib dan Lukman Zain, Hakikat Manusia dalam Tafsir Maqa Fi al-Insan:

Dirasah Quraniyyah Karya Bintu Shati, (Cirebon: Diya Al-Afkar Vo. 6 No. I,
Juni 2018), 87.
11 Ibid, 88.

8
Kedua kajian metode sastra Bintu Syati‟ diperkuat oleh metode
Amin al-Khuli dengan sebutan al-ibtida bi al-Quran. Yang kemudian
Bintu Shati mengikhtisarkan prinsip-prinsip metode tersebut seperti
yang di tulis al-Khuli dalam bukunya Manahij Tadid ke dalam empat
ringkasan :12
a. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami
dari Alquran secara objektif, hal itu dimulai dengan pengumpulan
semua surat dan ayat mengenai topik yang ingin dipelajari.
Contohnya adalah kata hillun yang bermakna halalun terdapat empat
kali dalam Alquran yang disebutkan pada Q.S. al-Maidah : 5.
b. Menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan tersebut harus
disusun sesuai tatanan kronologis pewahyuannya sehingga
keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat
diketahui. Hal tersebut dilakukan untuk memahami gagasan
tertentu yang terkandung di dalam Al-Quran. Salah satu contohnya
adalah makna al-hillu oleh banyak mufassir diartikan dengan
mengatasi atau menghalalkan (al-halal) sebagai lawan dari haram (al-
haram). Pemaknaan kata tersebut dalam runtutan sebab turunnya
dimulai dari Q.S. al-Ra‟d : 31.13
c. Untuk memahami arti kata-kata yang ada di al-Quran harus dicari
arti linguistik asli yang memiliki rasa kearaban dari kata tersebut
daalm berbagai penggunaan, material dan figuratifnya, karena
bahasa Arab merupakan bahasa yang digunakan daam Al-Quran.14
d. Naskah yang ada dalam susunan A-Quran dipeajari unuk
memahami pertanyaan-pertanyaan serta megetahui maksud dan
tujuannya. Contohnya dalam surat Q.S. al-Balad : 3. Wa walidin wa
ma walad (dan demi bapak dan anaknya), makna walid dan walad
menurut al-Tabari dan Abu Hayyan yang menukil dari Ibn Abbas
mengandung arti umum yaitu seluruh hewan.15

12 „Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur‘an al-Karim, ter.Paiman,


(Bandung: Mizan, 1996), 10-11.
13 Ibid., 172.
14 „Aisyah, al-Tafsir al-Bayani....., 21.
15 Aisyah, al-Tafsir al-Bayani....., 174.

9
Dari analisis metode tafsir Aishah Abdurrahman, dapat ditemukan
bahwa sistematika penafsirannya memiliki persamaan dengan metode
penafsiran tematik.16
Bintu al-Shati‟ adalah sosok mufasir perempuan yang melakukan
penelaahan terhadap Alquran dengan pendekatan analistis, tematik,
linguistik, sejarah, sosiologi dan kontekstual. Sehingga Bintu al-Shati‟
mampu menorehkan pemikirannya dengan karya kitab-kitab yang
menjadi inspirasi terhadap dunia tafsir. Maqal Fi al-Insan Dirasah
Qur‘aniyyah adalah salah satu kitab tafsir Bintu al-Shati‟ yang
merupakan karya tafsir dengan pendekatan sastra (bayani), tematik
(maudu‟i) serta analisis sastra kontekstual (al-tafsir al-adab al-ijtima’i).
Teori Anti Sinonimitas
Sinonim adalah bentuk bahasa atau kata yang maknanya mirip atau
sama dengan bentuk bahasa atau kata lain. Dalam bahasa arab dikenal
dengan istilah al-taraduf. Secara terminologis, sinonimitas atau
altaraduf adalah dua kata atau lebih yang memiliki satu arti ketika
dilihat dari akar katanya. Sedangkan antisinonimitas adalah dua kata
atau lebih yang tidak memiliki satu arti. Seperti perkataan cantik
dengan indah, manusia dengan insan.
Salah satu teori penting temuan Bint al-Sha>ti sebagai implikasi
dari metode tafsir yang ditawarkan suaminya, dan kebanyakan ahli
linguistik adalah bahwa apa yang dipandang sebagai sinonim menurut
ahli linguistik pada kenyataanya tidak pernah muncul dalam Alquran
menggunakan sebuah kata, maka kata tersebut tidak dapat diganti
dengan kata lain yang biasanya dipandang sebagai sinonim (muradif)
kata pertama tadi sebagaimana ditemukan dalam kamus bahasa arab
dan kitab tafsir.
Jika dirujuk berdasar pendapat ulama, maka sebagian besar atau
mayoritas ulama menolak adanya sinonimitas dalam alquran, alias
berteori bahwa setiap kata dalam alquran bersifat anti sinonim.
Adapun ulama yang berpegang pada pendapat bahwa terdapat
sinonimitas dalam alquran antara lain Sibawaih, Khalilm dan Suyuthi.
Adapun ulama yang berpegang pada pendapat bahwa terdapat
sinonimitas dalam al-Qur‟an antara lain Sibawaih, Khalil, dan Suyuthi.
Sedangkan ulama yang menyatakan penolakan diantaranya seperti Ibn

16Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan


Fazlur Rahman, Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 20
No. 1, Juni 2005, 56.

10
al-„Arabi,Ahmad bin Yahya Sa‟lab, Ahmad bin Faris. Mereka
berhujjah bahwa setiap kalimat dalam bahasa Arab (al-Qur‟an)
memiliki makna yang spesifik, yang membedakan antara satu kalimat
dengan lainnya.17
M. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, juga termasuk ulama
yang menolak adanya sinonim murni dalam al-Qur‟an. Ia
mengungkapkan kaidah umum mengenai mutaradif yakni, tidak ada
dua kata yang berbeda kecuali pada perbedaan maknanya. Dan
beberapa pemikir muslim kontemporer yang menerapkan metode
anti-sinonimitas dalam menafsirkan alquran selain Bint al-Sha>ti
adalah Muhammad Syahrur. Bint al-Sha>ti dipengaruhi juga oleh Abu
Hilal al-Asykari, Ibnu al-Araby Abu Qasim al-Anbariy. 18

Pengaplikasian
Dalam kitabnya al-Tafsir al-Bayani disana Bintu al-Sha>ti
mengemukakan tentang bagaimana metodologi teori anti sinonimitas :
“Pertama yang hendaknya dilakukan oleh peneliti makna kosa kata alquran
adalah menghimpun semua kata yang digunakan alquran menyangkut objek
sambil memperhatikan arti-arti yang dapat dikandungnya menurut penggunaan
bahasa, kemudia memperhatikan penggunaan alquran terhadap kata itu dengan
jalan susunan redaksi ayat secara menyeluruh, bukan pada kata yang bisa secara
berdiri sendiri terlepas dari konteksnya”19
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa ada beberapa langkah
atau metode yang dilakukan Bint al-Sha>ti dalam menerapkan
teorinya. Pertama, mencari makna asli sebuah kosakata berdasarkan
kamus serta menghimpun ayat-ayat yang didalamnya tercakup
kosakata tersebut. Kedua, setelah menemukan makna aslinya, maka
yang perlu dilakukan adalah mencari makna rasionalnya dalam alquran
dengan membaca redaksi yang mencakup kosakata tersebut terhadap
subjek ataupun objek tertentu.
Contohnya kata aqsama bersumpah dianggap bersinonim dengan
halafa. Bahkan dalam banyak kamus, kedua kata ini tidak dibedakan

17 Alif Jabal Kurdi dan Saipul Hamzah, “Menelaah Teori Anti-


Sinonimitas Bintu Al-Syathi‟ sebagai Kritik terhadap Digital Literate
Muslims Generation” Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities
Vol. 3, No. 2, Des. 2018: h. 245-260. DOI: 10.18326/millati.v3i1, 248.
18 Ibid, 249.
19 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tanggerang : Penerbit Lentera Hati,

2013, 124.

11
maknanya. Secara umum memang makna kedua kata ini adalah
berjanji atau bersumpah. Akan tetapi realitanya dibudaya arab sendiri
keduanya memiliki kegunaannya masing-masing. Kata halafa biasanya
digunakan untuk menyatakan perjanjian atau sumpah palu, sedangkan
kata aqsama menyatakan sebaliknya yakni terkait dengan perjanjian
yang jujur atau ditepati. 20
Jika diteliti lebih lanjut didalam alquran, akan didapati bahwa
kedua kata ini memang tidak bersinonim. Dalam alquran, kata yang
berakar dari tiga huruf yakni ‫ ح ل ف‬terdapat di 13 tempat. Dan tidak
dapat ditolak bahwa seluruh kata tersebut menunjukkan makna
sumpah palsu secara mutlak. Karena pada umumnya, kata halafa
memang dinisbatkan penggunaanya kepada orang-orang munafiq.
Sedangkan kata aqsama maupun derivasinya yakni kata qasam,
digunakan alquran untuk mensifati atau dinisbatkan kepada subjek
baik yang sanggup melaksanakan janji itu atau tidak mungkin ingkar
dengan janjinya maupun yang kepada subjek yang memang akan
melukai atau mendustai janjinya. Sehingga jika dirujuk kepada
maknanya, qasam akan memiliki dua makna yakni sumpah asli dan
sumpah palsu. Qasam dalam makna sumpah asli dinisbatkan dalam
alquran kepada beberapa subjek diantaranya Allah dan Ashabul
Jannah. Qasam dalam makna sumpah palsu yang dinisbatkan kepada
orang-orang yang bersumpah akan beriman sebelum datangnya
islam.21

Manusia dalam Alquran


Dalam alquran manusia disebut dengan istilah yang berbeda-beda
yang mana hal ini menandakan pesan-pesan khusus yang berbede
dengan pengertian lain, yang secara sepintas lafaz-lafaz itu mempunyai
kemiripan. Seperti kata al-basyar, an-nas, al-ins. Sangat banyak kamus
dan kitab-kitab yang ditulis para mufassir islam mensinyalir bahwa
lafa-lafaz tersebut sinonimnya sama. Padahal cita rasa bahasa arab
lama menolak pemahaman seperti ini. Penjelasan Alquran-lah yang
menyatakan kedalaman dan kemuliaan asal-usulnya. 22

20 Aisyah Abdurrahman Bint al-Sha<ti, al-Ijaz al-Bayani li al-Quran, Kairo:


Dari al-Marif, 2008, h. 221-222.
21 Ibid,.
22 Aisyah Bintu Syati‟, Manusia Dalam Prespektif Alquran, ter. Ali Zawawi,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 1.

12
1. Basyar
Ketika alquran menyebutkan kata basyar , menyebutkan, bahwa
yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik
yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang
membuat pengertian basyar mencakup keturunan anak Adam secara
keseluruhan. Kata basyar sebagaimana nama jenis yang memiiki makna
seperti itu disebutkan dalam Alquran di 35 tempat. Pada 25 tempat
diantaranya menyangkut sisi kemanusiaan para rasul dan nabi dengan
dilengkapi teks yang menunjukkkan perumpamaan “seperti”. Kata
basyar yang menjelaskan kesamaan sisi kemanusiaan rasul dengan sisi
kemanusiaan orang-orang kafir disebutkan dalam 13 tempat, baik
melalui kutipan langsung ucapan orang-orang kafir yang mendustakan
kenabian para rasul bahwa para rasul itu hanyalah seorang manusia
juga seperti mereka , maupun melalui rangkaian pernyataan Tuhan
yang mengakui dan menetapkan adanya sisi kemanusiaan para rasul. 23
Sebagaimana firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 9 – 11. Untuk
pemahaman bahwa manusia adalah aspek fisik anak Adam, alquran
tidak mempergunakan kata an-nas, al-insu, al-insan. Masing-masing kata
tersebut memiliki tekanan terhadap pesan makna tertentu yang
berbeda dengan pesan makna yang dilahirkan oleh kata lainnya. 24
2. An-Nas
Kata an-nas dalam Alquran disebut kurang lebih sebanyak 240 kali,
dengan tegas yang menunjukkan nama jenis bagi keturunan Adam,
atau menunjukkan keseluruhan makhluk hidup secara mutlak. 25
3. Ins
Kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan kata jin sebagai
lawannya. Penyebutan kata al-ins dalam format redaksional seperti itu
terdapat pada 18 ayat, yaitu Al-An‟am, ayat 112, 127, yang diulang dua
kali, dan 130, al-A‟raf ayat 38, 179, al-Isra‟ 88, an-Nam 17, Fushsilat
25 dan 29, al-Ahqaf 18, adz-Dzariyat 56, al-Jin 5 dan 6 dan surah ar-
Rahman ayat 33, 39, 56 dan 74. Sisi kemanusiaan pada manusia yang
disebut dalam Alquran dengan kata al-ins dalam arti “tidak liar” atau
“tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas, bahwa manusia
insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya
bersifat metafisik. Metafisik itu identik dengan “liar” atau “bebas”
karena tak mengenal ruang dan waktu. Dengan sifat kemanusiaan itu,

23 Bintu Syati‟, Manusia Dalam...., 2.


24 Ibid., 4.
25 Ibid., 5.

13
manusia berbeda dengan jenis-jenis makhluk lain yang metafisis, asing,
yang tidak berkembang biak seperti kita dan tidak hidup seperti cara
hidup kita.26
Tidak dapat dipastikan, bahwa batasan pengertian mengenai jin
bersifat mutlak. Jin tidak selalu diartikan sebagai makhluk lembut,
yang tak tampak oleh indera manusia kecuali dalam gelap yang
mencekam dan dalam bayangan-bayangan khayali. Akan tetapi
pengertian jin itu dapat diperluas sesuai dengan makna aslinya, yaitu
makhluk metafisis dan sesuai dengan kebalikan dari pengertian
manusia. Jin adalah berbagai jenis makhluk bukan manusia yang hidup
di alam “antah berantah” dan alam yang tak terindera, di balik dinding
alam manusia di planet bumi ini, tempat hidup manusia. Jin tidak
mengikuti hukum-hukum yang dikenal dalam tata kehidupan yang
mengatur manusia.
Dengan pemahaman yang luas seperti itu, dapat dihindarikan
munculnya paham atau dongeng sesat yang menolak keyakinan
adanya eksistensi jin. Tatkala mampu mengungkapkan rahasia jin
dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern yang mengakui adanya
makhluk lain selain manusia yang hidup di alam metafisik, misalnya
hidup di planet bintang dan bulan, manusia tidak henti-hentinya
bersikap masa bodoh, enggan mengakuinya, meski tidak menghalangi
adanya usaha menyingkap misteri tentang jin tersebut. al-insan dan al-
ins memiliki persamaan makna dilihat dari segi bahasa asalnya yang
menunjukkan benda lawan dari segi bahasa asalnya menunjukkan
benda lawan dari “liar, bebas”. Dipihak lain, masing-masing memiliki
perbedaan makna dilihat dari sisi pandangan tertentu yang
membedakannya dengan yang lain. Pesan makna yang dapat ditangkap
mengenai sisi kemanusiaan dari kata al-ins merupakan pesan yang jelas
berdasarkan konsistensi Alquran dalam penggunaan kata al-ins
teersebut yaitu selalu diposiskan sebagai lawan dari kata jin yang bebas
dan metafisis.27
4. Insan
Kata al-insan, berdasarkan penelitian yang Binthu shati lakukan
terhadap ayat-ayat yang istimewa itu tidaklah menekankan tentang
keutamaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam surah ar-Rahman;
14 dan al-Hijr 26; bukan pula tentang manusia secara fisik dengan
terminologi al-basyar. Nilai kemanusiaan pada manusia yang disebut

26 Ibid.,
27 Bintu Syati‟, Manusia Dalam ....., 6.

14
Alquran dengan terma al-insan itu terletak pada tingginya derajat
manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan
mampu memikil tugas keagamaan akibar taklif serta memikul amanat.
Sebab ia mendapat keistimewaan ilmu, pandai berbicara, mempunyai
akal dan kemampuan berpikir, mampu menghadapi ujian untuk
memilih antara yang baik dan yang buruk, mengatasi kesesatan yang
lahir dari kekuatan dan kemampuannya, serta mengendalikan segala
sesuatu yang dapat menutupi kesadaran nuraninya lantaran tergoda
oleh kemampuan, kedudukan dan derajatnya yang lebih tinggi dari
derajat dan martabat berbagai makro organisme dan makhluk-
makhluk lainnya.28
Sehingga ketika manusia terlena oleh bergelimangnya cahaya
keberhasilan dan bangga dengan kesombongan dan kecongkakannya
maka sesungguhnya ia hanyalah makhluk lemah yang berjalan
menelusuri perjalanan dunia dari alam yang antah berantah ke alam
ghaib, berjalan diatas jembatan yang mengantarkannya dengan pasti
ke liang lahat.
ۡ ۡ ِ ‫اَ ۡم لِ ۡ ِۡل ۡنس‬
٤٢ ‫اۡل ِخَرةُ َواۡلُ ۡوٰٰل‬
ٰ ‫ فَلِ ٰلِّه‬٤٢ ‫ان َما َتََ ّٰن‬ َ
24. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? 25. (Tidak!)
Maka milik Allah-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.
Ayat diatas memberikan pandangan tertentu tentang al-insan yakni
menjadi jelaslah perangai dan nilai-nilai kemanusiaan khusus yang ada
padanya yang memastikannnya tampil berbeda dari jenis manusia-
manusia lain yang dijelaskan Alquran dengan kata al-basyar dan al-ins.
Dalam alquran kata al-insan disebut di 65 tempat Binthu shati
memberikan sebuah analisa bahwa kata al-insan memiliki pesan
makna yang berbeda dengan pasan makna yang dikandung kata-kata
sinonim yang lain. Kata al-insan dalam surah al-Alaq disebutkan tiga
kali yang mengandung beberapa pesan: (a) pertama, mengingatkan
manusia akan asal-usul kejadiannya, yaitu segumpal darah, (b) kedua,
memberitahukan tentang kelebihan manusia, yaitu diberi ilmu, dan (c)
ketiga, menggugah kesadaran akan kemungkinan munculnya masalah
serius, yaitu sikap melampui batas. Sehingga ketika ia merasa serba
cukup maka ia melihat dirinya tidak lagi membutuhkan Tuhan yang
menciptakannya.29

28 Bintu Syati‟, Manusia Dalam....., 7.


29 Ibid., 8.

15
Dizaman konseptual ini, kesetaraan gender telah diangkat dan
banyak dibahas, hal ini tidak lain adalah untuk mengangkat harokah
wanita sekaligus memberikan kebebasan kepada kaum wanita untuk
tampil dipanggung intelektualitas dunia. Teladan adalah hal yang
paling efektif dalam memberikan jalan dakwah. Dari sosok Bintu al-
Syathi ini, sebagai mahasiswa mampu meneladani perjalanan hidup
beliau, bagaimana ia berusaha menunjukkan bahwa perempuan
mampu menjadi seorang mufassir ang berkompeten.
Dalam literatur sejarah telah diwarnai oleh banyak wanita yang
namanya telah ditulis dengan tinta emas. Dizaman nabi ada Siti Aisyah
Ummul Mukminin, dalam ilmu hadis, beliau merupakan seorang
perawi perempuan yang banyak meriwayatkan hadis. Seperti guru
imam syafii bernama yang merupakan seorang wanita bernama
sayyidah nafisah teman dekat sekaligus guru. Imam syafii banyak
belajar kepadanya, bertanya dan berdisukusi. Bahkan imam syafii
berkata seandainya ia meninggal untuk disholatkan dirumah ulama
perempuan tersebut.
Paradigma anti-sinonimitas Bint Shati telah membawa
paradigman baru dalam penafsiran-penafsiran ayat alquran yang bisa
kita terapkan. Karena bahasa dalam setiap zaman selalu berubah,
begitu pula pemaknaan seseorang dan konteks yang ada
membutuhkan penafsiran yang baru.

Kesimpulan
Dizaman konseptual ini, kesetaraan gender telah diangkat dan
banyak dibahas, hal ini tidak lain adalah untuk mengangkat harokah
wanita sekaligus memberikan kebebasan kepada kaum wanita untuk
tampil dipanggung intelektualitas dunia. Teladan adalah hal yang
paling efektif dalam memberikan jalan dakwah. Dari sosok Bintu al-
Syathi ini, sebagai mahasiswa mampu meneladani perjalanan hidup
beliau, bagaimana ia berusaha menunjukkan bahwa perempuan
mampu menjadi seorang mufassir ang berkompeten. Dalam literatur
sejarah telah diwarnai oleh banyak wanita yang namanya telah ditulis
dengan tinta emas. Dizaman nabi ada Siti Aisyah Ummul Mukminin,
dalam ilmu hadis, beliau merupakan seorang perawi perempuan yang
banyak meriwayatkan hadis. Seperti guru imam syafii bernama yang
merupakan seorang wanita bernama sayyidah nafisah teman dekat
sekaligus guru. Imam syafii banyak belajar kepadanya, bertanya dan
berdisukusi. Bahkan imam syafii berkata seandainya ia meninggal

16
untuk disholatkan dirumah ulama perempuan tersebut. Paradigma
anti-sinonimitas Bint Shati telah membawa paradigman baru dalam
penafsiran-penafsiran ayat alquran yang bisa kita terapkan. Karena
bahasa dalam setiap zaman selalu berubah, begitu pula pemaknaan
seseorang dan konteks yang ada membutuhkan penafsiran yang baru.

Bibliography
Al-Syathi’, Aisyah Abdurrahman Bintu. Manusia, Sensifitas
Hermeneutika Al-Qur’an, terj M. Adib al-Arief
al-Sha>t{i>’, ‘A>ishah ‘Abd al-Rah}man Bint. ‘Ala> al-Jisr, Ust{u>rat al-
Zama>n. Mesir: Da>r Hila>l, (1966).
Boullata, Issa J. “Modern Qur‟an Exegeis: A Study of Bint al-Shatti‟
Method inThe Muslim World”. (1974).
Adib, M. Syihabuddin Muin, Shohibul dan El-Muniry, Fahmi Arif.
Ulumul Qur’an Profil Para Mufassir Alquran dan Para Pengkajinya.
Banten: Pustaka Dunia, (2011).
Ramadhani, Wali. Bintu Syati‟ dan Penafsirannya Terhadap Surah Al-
Asr Dalam Kitab At-Tafsir Al-Baya>ni> Lil Qur’anil Kari>m.
“At-Tibyan” ,Vol 3 No. 2, Desember, 2018.
Syathi‟, Aisyah Abdurrahman Bintu. Manusia, Sensifitas Hermeneutika
Al-Qur’an, terj M. Adib al-Arief. Yogyakarta: LKPSM, (1997).
Marcotte, Roxanne D. “The Qur‟an in Egypt I: Bintu al-Sya>thi‟ on
Women‟s Emancipation”, New Jersey: Islamic Publication
Internatioanal, (2008).
Wahyuddin. Corak Dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-
Syathi. Banjarmasin : IAIN Antasari, (2011).
Thohari, Fatimah Bintu. „Āishah „Abd al-Raḥmān bint al-Shāṭi‟:
Mufasir Wanita Zaman Kontemporer, “Dirosat: Jurnal of Islamic
Studies” Vol 1, Januari – Juni, (2016).
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan al-Qu’ran. Jakarta: Gema
Insani, (2002).
Adib dan Zain, Lukman. “Hakikat Manusia dalam Tafsir Maqal Fi al-
Insan: Dirasah Quraniyyah Karya Bintu Shati”. Cirebon: Diya Al-
Afkar Vol. 6 No. I, Juni, (2018).
Abdurrahman, Aisyah. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur‘an al-Karim,
ter.Paiman. Bandung: Mizan, 1996.
Saleh, Ahmad Syukri “Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer
dalam Pandangan Fazlur Rahman”, Kontekstualita: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 20 No. 1, Juni (2005).

17
Kurdi, Alif Jabal dan Saipul Hamzah, “Menelaah Teori Anti-
Sinonimitas Bintu Al-Syathi‟ sebagai Kritik terhadap Digital
Literate Muslims Generation”Millatī, Journal of Islamic Studies and
Humanities Vol. 3, No. 2, Des. 2018, 248.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tanggerang : Penerbit Lentera Hati,
2013.
Aisyah Abdurrahman Bint al-Sha<ti, al-Ijaz al-Bayani li al-Quran,
Kairo: Dari al-Marif, 2008, h. 221-222.
Syati‟, Aisyah Bintu. Manusia Dalam Prespektif Alquran. ter. Ali Zawawi.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

18

You might also like