You are on page 1of 122

PEMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH

TENTANG MENIKAH DENGAN NIAT CERAI

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH

ANDRI NUR WICAKSANA


04350057/03

PEMBIMBING
1. PROF. DR. KHOIRUDDIN N., MA.
2. DRS. SLAMET KHILMI, MSI.

AL AHWAL ASY SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008
‫ﻴ ﹺﻢ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﲪ ﹺﻦ ﺍﻟ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﷲ ﺍﻟ‬
ِ ‫ﺴ ﹺﻢ ﺍ‬
 ‫ﹺﺑ‬

ABSTRAK

Ibnu Taimiyah adalah salah seorang dari ulama besar Islam. Beliau dikenal
dengan fatwa-fatwanya yang banyak berbeda dengan ulama lain pada masanya, yang
bisa diketahui metode istinbat hukumnya melalui al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang membahas nikah jenis ini, dan
kumpulan fatwa atau pendapatnya tersebut sebagian besar ditulis dalam kitab Majmu>’
Fata>wa>. Untuk mengetahui dasar pendapat Ibnu Taimiyah tentang permasalahann nikah
dengan niat cerai, maka penyusun mendeskripsikan pendapatnya tersebut melalui
rumusan masalah yaitu, bagaimana hukum menikah dengan niat cerai menurut Ibnu
Taimiyah? lalu apa yang menjadi dasar pemikirannya, serta menguraikan pendapat ulama
lainnya sebagai pembanding.
Dalam permasalahan hukum nikah dengan niat cerai, ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama yang disebabkan karena tidak adanya nas} (al-Qur’an maupun Hadis)
yang mengaturnya secara jelas. Menurut hemat penyusun, nikah jenis ini hampir mirip
dengan nikah mut’ah dan tahlil, apabila dilihat secara mendasar.
Dalam mencari data, menjelaskan dan menyampaikan obyek penelitian secara
terarah, maka penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai pendapat Ibnu Taimiyah
tentang menikah dengan niat cerai, yaitu dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>. Penelitian ini
bersifat deskriptif-analitik, yaitu data-data yang ada disusun, dijelaskan kemudian
dianalisis dan disimpulkan secukupnya dari pemikiran tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan filosofis. Untuk menganalis data,
digunakan analisis kualitatif melalui metode : Deduksi, yakni dalam penelitian ini
menguraikan tentang fiqh nikah dan fiqh niat, pernikahan yang terlarang serta penjelasan-
penjelasan yang terkait. Deskriptif, yaitu penyusun mengumpulkan data tentang menikah
dengan niat cerai dan disusun, kemudian mengklasifikasikan serta
menginterpretasikannya. Disamping itu untuk lebih memperdalam kajian, penulis juga
membandingkan pendapat Ibnu Taimiyah tentang menikah dengan niat cerai dengan
pendapat ulama lain, sehingga diketahui unsur-unsur kesamaan dan perbedaan guna
mengambil kesimpulan yang lebih relevan dan akurat.
Menurut Ibnu Taimiyah hukum nikah dengan niat cerai adalah boleh, dengan
argumentasi bahwa asalkan pelaksanaan akad pernikahan tersebut dilaksanakan secara
mutlak dan tidak disyaratkan penentuan waktu di dalamnya. Terkadang Ibnu Taimiyyah
juga menyatakan makruh terhadap pernikahan model ini karena ternyata pernikahan jenis
tersebut bertentangan dengan konsep maqasid al-syari’ah. Yang menjadi dasar
pemikirannya adalah niat tidak merusak pernikahan sedikit pun, hal ini berdasarkan pada
sabda Rasulullah SAW.: “Allah tidak menganggap untuk umatku terhadap apa yang
(hanya) terbesit di dalam hatinya, selagi ia tidak/belum melakukannya atau
mengucapkannya”.
Sedangkan pendapat ulama yang memperbolehkan nikah semacam ini --menurut
penyusun-- hanya karena tidak ditemukannya nas} yang secara eksplisit mengatur tentang
hal tersebut, dan juga dikarenakan permasalahan hati tidak ada orang lain yang bisa
mengetahuinya, selain dirinya sendiri dan Allah yang Maha Tahu.

ii
MOTTO

“ LEMAH TELES GUSTI ALLAH SING MBALES, LEMAH


GARING GUSTI ALLAH SING PARING ”
KESALAHAN KEBANYAKAN DIKARENAKAN TIDAK TAHU,
TIDAK MENGERTI DAN TIDAK MEMAHAMI…

PENDIDIKAN ADALAH SALAH SATU CARA UNTUK


PERUBAHAN LEBIH BAIK…

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman

pada Surat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/1987. Panduan transliterasi

tersebut adalah:

A. Konsonan

No. Arab Nama Latin Nama


1. ‫ﺍ‬ alif - Tidak dilambangkan
2. ‫ﺏ‬ ba’ b -
3. ‫ﺕ‬ ta’ t -
4. ‫ﺙ‬ s\a' s\ s dengan titik di atas
5. ‫ﺝ‬ jim j -
6. ‫ﺡ‬ h}a' h} ha dengan titik di bawah
7. ‫ﺥ‬ kha’ kh -
8. ‫ﺩ‬ dal d -
9. ‫ﺫ‬ z\al z\ zet dengan titik di atas
10. ‫ﺭ‬ ra’ r -
11. ‫ﺯ‬ zai z -
12. ‫ﺱ‬ sin s -
13. ‫ﺵ‬ syin sy -
14. ‫ﺹ‬ s}ad s} es dengan titik di bawah
15. ‫ﺽ‬ d}a>d d} de dengan titik di bawah
16. ‫ﻁ‬ t}a’ t} te dengan titik di bawah
17. ‫ﻅ‬ z}a’ z} zet dengan titik di bawah
18. ‫ﻉ‬ ‘ain ‘ koma terbalik di atas
19. ‫ﻍ‬ gain g -
20. ‫ﻑ‬ fa’ f -
21. ‫ﻕ‬ qaf q -
22. ‫ﻙ‬ kaf k -
23. ‫ﻝ‬ lam l -
24. ‫ﻡ‬ mim m -
25. ‫ﻥ‬ nun n -

vii
26. ‫ﻭ‬ waw w -
27. ‫ﻫـ‬ ha’ h -
28. ‫ﺀ‬ hamzah ’ apostrop
29. ‫ﻱ‬ ya’ y -

B. Vokal

Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau

monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

1. Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama


1. -------
َ --- fathah a a
2. -----ِ------ Kasrah i i
3. -----ُ------ dammah u u

Contoh:
‫ ﻛﺘﺐ‬- Kataba ‫ – ﻳﺬﻫﺐ‬Yaz\habu
‫ – ﺳﺌﻞ‬Su’ila ‫ – ﺫﻛﺮ‬Z|ukira

2. Vokal Rangkap/Diftong

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara h}arakat

dan huruf, transliterasinya sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama


1. ‫ــَﻲ‬ Fath}ah dan ya’ ai a dan i
2. ‫َـَـﻮ‬ Fath}ah dan waw au a dan u

Contoh:
‫ ﻛﻴﻒ‬: Kaifa ‫ﺣﻮﻝ‬ : H{aula

viii
C. Vokal Panjang (Maddah)

Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa h}arakat dan huruf,

trasliterasinya sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Nama Latin Nama


1. ‫َ ــﺎ‬ Fath}ah dan alif ā a bergaris atas

2. ‫َ ــﻰ‬ Fath}ah dan alif layyinah ā a bergaris atas

3. ‫ِ ــﻲ‬ kasrah dan ya’ ī i bergaris atas

4. ‫ُ ــﻮ‬ dammah dan waw ū u bergaris atas

Contoh:
‫ﲢﺒﻮﻥ‬ : Tuhibbūna ‫ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ‬: al-Insān

‫ﺭﻣﻰ‬ : Rama> ‫ﻗﻴﻞ‬ : Qi>la

D. Ta’ Marbu>t}ah

1. Transliterasi Ta’ Marbu>tah hidup atau dengan h}arakat, fath}ah, kasrah, dan

d}ammah, maka ditulis dengan “t” atau “h”.

contoh: ‫ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬ : Zaka>t al-fit}ri atau Zaka>h al-fit}ri

2. Transliterasi Ta’ Marbu>tah mati dengan “h”

Contoh: ‫ ﻃﻠﺤﺔ‬- T{alh}ah

3. Jika Ta’ Marbu>tah diikuti kata sandang “al” dan bacaan kedua kata itu terpisah

maka ta’ marbu>tah itu ditransliterasikan dengan “h”

Contoh: ‫ﺭﻭﺿﺔ ﺍﳉﻨﺔ‬ - Raud}ah al-Jannah

ix
E. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid)

Transliterasi Syaddah atau Tasydid dilambangkan dengan huruf yang sama baik

ketika berada di ditengah maupun di akhir.

Contoh:

‫ﺤﻤﺪ‬‫ﻣ‬ : Muhammad
‫ﺩ‬ ‫ﺍﻟﻮ‬ : al-wudd

F. Kata Sandang “‫“ ﺍﻝ‬

1. Kata Sandang Yang Diikuti oleh Huruf Qamariyyah.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditulis dengan menggunakan

huruf “l ”.

Contoh:‫ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ‬: al-Qur’ān

2. Kata Sandang Yang Diikuti oleh Huruf Syamsiyyah.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditulis dengan menggunakan

huruf syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya.

Contoh:

‫ﺍﻟﺴﻨﺔ‬ : as –Sunnah

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, namun dalam

transliterasi ini penulis menyamakannya dengan penggunaan dalam bahasa Indonesia

yang berpedoman pada EYD yakni penulisan huruf kapital pada awal kalimat, nama

diri, setelah kata sandang “al”, dll.

x
Contoh:
‫ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻐﺰﺍﱄ‬ : al-Ima>m al-Gaza>li>

‫ﺍﻟﺴﺒﻊ ﺍﳌﺜﺎﱐ‬ : as-Sab‘u al-Mas\a>ni>

Penggunaan huruf kapital untuk Alla<h hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya

lengkap dan kalau disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang

dihilangkan, maka huruf kapital tidak digunakan.

Contoh:

‫ﻧﺼﺮ ﻣﻦ ﺍﷲ‬ : Nasrun minalla>hi


‫ﷲ ﺍﻷﻣﺮ ﲨﻴﻌﺎ‬ : Lilla>hi al-Amr jami>a>
H. Huruf Hamzah

Huruf Hamzah ditransliterasikan dengan koma di atas (’) atau apostrof jika berada di

tengah atau di akhir kata. Tetapi jika hamzah terletak di depan kata, maka Hamzah

hanya ditransliterasikan harakatnya saja.

Contoh:

‫ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬ : Ihya>’ ‘Ulu>m ad-Di>n

I. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il (kata kerja), isim atau huruf, ditulis terpisah.

Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim

dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab atau h}arakat yang dihilangkan,

maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata

lain yang mengikutinya.

Contoh :

‫ﻭﺍﻥ ﺍﷲ ﳍﻮ ﺧﲑ ﺍﻟﺮﺍﺯﻗﲔ‬ : wa innalla>ha lahuwa khair ar-Ra>ziqi>n

xi
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬

‫ اﻟﻠّﻬ ّﻢ ﺻ ّﻞ وﺳﻠّﻢ‬٠‫ أﺷﻬﺪ أن ﻻ إﻟﻪ إ ّﻻ اﷲ وأﺷﻬﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪﻩ ورﺳﻮﻟﻪ‬٠ ‫اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ‬

‫أﻣّﺎﺑﻌﺪ‬٠ ‫ﻋﻠﻰ ﺳﻴّﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤّﺪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ أﺟﻤﻌﻴﻦ‬

Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah Azza wa Jalla yang telah

mengkaruniakan kesempurnaan kepada manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Sholawat

serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda yang mulia nabi besar Muhammad

SAW. hingga hari akhir kelak.

Alhamdulillah, tiada pernah terkira penyusun telah menyelesaikan salah satu dari

syarat untuk mendapatkan kelulusan yang berupa skripsi, dalam rangkaian studi Strata

Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.

Ungkapan rasa terima kasih yang sangat dalam kepada pihak-pihak yang telah

membantu terlaksananya skripsi ini. Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lain adalah

karena bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs.Yudian W, MA, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah

2. Bapak Supriatna, M. Si., selaku Ketua Jurusan al-Ahwal as-Syakhsiyyah.

3. Bapak Prof. Dr. Khoiruddin N., MA. ,selaku Dosen Pembimbing Akademik dan

sekaligus Dosen Pembimbing I penyusunan skripsi yang telah banyak

memberikan kontribusi ide, saran, kritik, masukan dan arahan serta pandangan

yang sangat berharga.

xii
4. Bapak Drs. Slamet Khilmi,MSI. selaku Pembimbing II penyusunan skripsi yang

telah memberikan roda atas putaran isi kepala yang sedang menyusun skripsi ini

sehingga penyusun mendapatkan ide nyang baru.

5. Serta kepada semua fihak yang telah membantu atas tersusunnya skripsi ini,

mungkin penyusun tak dapat menghitung berapa besarnya bantuan yang

diberikan, semoga Tuhan sendiri yang membalas dengan sepuluh kali lipat yang

lebih baik.

Terakhir, penyusun persembahkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya

untuk air mata do’a yang tidak pernah kering, dan kasih yang senantiasa mengalir, ayah

dan ibu tercinta atas ketulusannya selama ini. Kepada saudariku tercinta, Fitri Muhimatul

Maskanah yang telah memberikan dorongan dan semangat. Untuk teman-teman setiaku

yang telah mendampingi dalam memberikan buku-buku dan kritikannya, terutama mas

Fauzi dari Yayasan Ali Maksum atas pinjaman referensinya dan mas Anas untuk

masukan-masukannya.

Demikian pengantar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan terima kasih

sekali lagi kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu. Semoga kasih

sayang dan hidayah-Nya selalu melengkapi kita semua. Amin. Tidak dapat dipungkiri

adanya subyektifitas dalam membuat karya ini, oleh karena itu penyusun berharap

terdapat manfaat yang dapat diambil dari penyusunan skripsi ini.

Yogyakarta, 9 Jumadil Awal 1429 H


15 Februari 2008 M
Penyusun

Andri Nur Wicaksana

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... ii

HALAMAN NOTA DINAS .......................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................

HALAMAN MOTTO...................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................... xiii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Pokok Masalah ............................................................................. 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................. 10

D. Telaah Pustaka ............................................................................. 10

E. Kerangka Teoretik ....................................................................... 12

F. Metode Penelitian ........................................................................ 17

G. Sitematika Pembahasan................................................................ 20

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH DAN TALAK

A. Nikah…………………………………………………………… 23

1. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah…………..……………. 23

2. Syarat dan Rukun Nikah……………………………………. 30

3. Tujuan dan Hikmah Nikah………………………………….. 35

4. Nikah Tahlil………………………………………………… 37

5. Nikah Mut’ah……………………………………………….. 41

xiv
B. Cerai/Talak………………………..……………………………. 45

1. Pengertian Cerai / Talak ……………………………………. 47

2. Macam dan Hukum Talak....................................................... 48

BAB III : BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH

A. Biografi dan Karya Ibnu Taimiyah……………………………... 53

B. Guru dan Murid Ibnu Taimiyah………………………………… 59

C. Majmu Fatawa.............................................................................. 62

D. Metode Istinbat Hukum Ibnu Taimiyah…….…………………... 66

BAB IV : ANALISIS

A. Niat

1. Pengertian Niat……………………………………………. 69

2. Pendapat Ulama Tentang Niat…………………………….. 72

B. Dasar Menikah dengan Niat Cerai Menurut Ibnu Taimiyah…..... 74

C. Menurut Ulama Lain :

1. Pendapat Ulama yang Membolehkan…………………….... 79

2. Pendapat Ulama yang Melarang ………………………….. 81

D. Analisis Pendapat Ibnu Taimiyah tentang Menikah dengan Niat

Cerai............................................................................................ 83

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………... 88

B. Saran-saran……………………………………………………… 89

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 90

LAMPIRAN I TERJEMAH TEKS ARAB ………..…..……………….. I

LAMPIRAN II BIOGRAFI ULAMA ……………….………… ……….. VI

CURICULUM VITAE……………………………………………………… VII

xv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama dalam kacamata manusia bukan hanya sebagai suatu aturan dan jalan

hidup untuk kebahagiaan sewaktu di dunia saja, akan tetapi juga sebagai jalan untuk

kebahagiaan akhirat. Perkawinan merupakan salah satu dari peristiwa hukum, yaitu

suatu peristiwa yang berhubungan antar pribadi.1 Islam sebagai agama yang

universal, selalu sesuai dengan jalannya perkembangan zaman tanpa terbatas ruang

dan waktu (s}a>lih likuli zama>n wa maka>n). Islam diturunkan kepada seluruh umat

manusia sebagai rahmat dan kemaslahatan bagi seluruh alam.

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri karena mereka

memerlukan pertolongan satu sama lain. Oleh karena itu, masing-masing individu

manusia mempunyai keinginan supaya memperoleh apa yang menjadi hajat

hidupnya. Dalam usaha memperoleh kebutuhan masing-masing timbulah persaingan,

perlombaan, penyerobotan, penganiayaan dan sebagainya. Supaya keadilan dan tata

tertib hidup dapat dipelihara dengan semestinya maka diperlukan adanya peraturan,

norma, atau hukum.2

1
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 83.
2
Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. ke-1 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997), hlm. 1.
2

Kedudukan al-Qur’an di dalam Islam adalah sumber dari segala sumber

hukum (mas}a>dir al-ah}ka>m). Ayat-ayat yang terdapat di dalamnya masih banyak

sekali yang bersifat umum. Maka keumumannya tersebut kemudian dijelaskan oleh

sunnah rasul. Jumhur ulama sepakat bahwa apabila ada kejadian yang nasnya tidak

terdapat di dalam al-Qur’an maupun sunnah, maka digunakanlah metode ijma’.

Apabila tidak terdapat pada ijma’ maka metode selanjutnya adalah meng-qiyas-kan

‘illat hukum furu’ kepada ‘illat hukum asal yang sudah ada nasnya.3

Pada dasarnya hukum Islam mempunyai tujuan melindungi (proteksi).4 Isi

dalam hukum di antaranya menetapkan hubungan pokok antara manusia dengan

Tuhan, dengan orang lain dan dirinya sendiri, serta menjadi tiang untuk menegakkan

berbagai kemaslahatan di dunia dan akherat. Penetapan tersebut bertujuan pada

pemeliharaan, terutama untuk menjaga dan mewujudkan kebutuhan yang bersifat

primer bagi manusia (d}aru>ri>).5 Hal-hal yang bersifat d}aru>ri> manusia bertitik tolak

pada lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. 6 Sehingga jelas bahwa

3
Abd al-Wahha>b Khalla>f, Kaidah-kaidah Hukum Islam, alih bahasa oleh Noer Iskandar al-
Barsany dan M. Tolchah Mansoer, cet. ke-8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 18.
4
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa oleh H.M. Rasjidi, cet. ke-1 (
Jakarta: Bulan Bintang, 1980 ), hlm.119
5
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003)
hlm.3.
6
‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Us{ul al-Fiqh, cet. ke-3 (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978),
hlm.200.
3

tujuan hukum Islam (syara’) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk

kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik di dunia maupun di akhirat.

Selanjutnya inilah yang menjadi acuan pada prinsip maqasid asy-syari’ah,

yaitu melindungi agama (hifz} al-din), melindungi jiwa dan keselamatan fisik (hifz} al-

nafs), melindungi kelangsungan keturunan (hifz} al-nasl), melindungi akal pikiran

(hifz} al-‘aql) dan melindungi harta benda (hifz al-mal). Kemudian Imam al-Qarrafi,

sebagaimana dikutip oleh Musthafa Kamal Pasha, menambahkan melindungi

kehormatan diri (hifz al-‘ird).7

Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa penetapan-penetapan hukum

dimaksudkan untuk melahirkan kemaslahatan bagi manusia, baik yang bersifat

d}aru>riyyah (primer), h}ajiyyah (sekunder) maupun tah}si>niyyah (pelengkap).8

Sudah diakui dalam sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan

pendapat umum adalah lebih cepat jalannya dari pada hukum, baik dalam perubahan

ataupun dalam pergantiannya sama sekali. Pembinaan hukum dapat diartikan dengan

merawat hukum yang telah ada, bukan menghancurkan, memanjakan dan

membiarkan tumbuh dan berkembang sesukanya, sedangkan pembaharuan hukum

adalah membenahi tatanan hukum yang baru supaya lebih baik.

7
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003)
hlm.3.
8
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, cet. ke-1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 65.
4

Kemampuan adaptif hukum Islam sebagaimana disebut di atas sebenarnya

disebabkan karena syari’at Islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali

kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari’at Islam ditetapkan demi agar

terciptanya kemaslahatan manusia berupa terwujudnya kebahagian manusia, lahir-

batin, duniawi-ukhrowi, sepenuhnya mencerminkan prinsip kemaslahatan tadi.

Dengan demikian kiranya jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran

hukum Islam adalah kemaslahatan.9

Dalam sejarah kehidupan manusia yang panjang, masalah perkawinan sudah

dikenal sejak Allah SWT menciptakan manusia pertama kali, Nabi Adam as. Allah

menjadikan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan. Hal ini merupakan

sunnatullah (hukum alam). Dalam kehidupan di dunia, semua makhluk hidup tidak

bisa terlepas dari pernikahan, demi kelestarian dan kelangsungan lingkungan alam

semesta. Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mulia.

Maka Islam memerintahkan kepada orang yang telah memiliki kemampuan (al-ba’ah)

untuk menjalankan syari'at ini. Karena di dalamnya terkandung tujuan yang sangat

agung dan suci, serta mempunyai hikmah yang begitu besar bagi kehidupan manusia.

Tujuan dari pernikahan adalah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang

tenang, tenteram, damai dan bahagia dalam bingkai mawaddah wa rah}mah. Oleh

9
Masdar F. Mas’ud, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari’ah”, dalam Ulumul
Qur’an, Nomor : 3, Vol IV, tahun 1995. hlm. 94
5

karena itu, pernikahan bukan semata-mata hanya untuk memuaskan nafsu.10 Hal ini

merupakan prinsip dasar teori keluarga sakinah, sebagaimana termaktub secara jelas

dalam firman Allah swt:

‫وﻣﻦ أﻳﺎﺗﻪ أن ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ أﻧﻔﺴﻜﻢ أزواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا إﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮدة‬
11
‫ورﺣﻤﺔ إن ﻓﻰ ذﻟﻚ ﻷﻳﺎت ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون‬

Pernikahan yang disyari’atkan Islam tidak sebatas legalitas intern agama

Islam saja yang hanya berdimensi ubudiyah saja. Akan tetapi sebuah pernikahan yang

diinginkan oleh agama Islam adalah pernikahan yang berdimensi ibadah (‘ubudiyah),

sosial, dan hukum (law). Dengan mencakup ketiga dimensi tersebut maka pernikahan

dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh syari’at Islam secara substansial dan

sesuai dengan tujuan pernikahan dalam suatu bangsa dan negara. Apabila ada salah

satu segi yang terabaikan, maka akan terjadi ketimpangan dalam pernikahan tersebut

serta akan menjadikan tujuan yang hakiki tersebut tidak dapat terealisasi dengan baik.
12

Menikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan oleh Allah Swt, lengkap dengan syarat dan rukunnya, tidak ada satu

hal yang menghalangi keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dan kecurangan dari

10
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 19.
11
Ar-Ruum [30]: 21.
12
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Pedoman Jaya, 1989) hlm.24
6

kedua belah pihak, serta niat dan maksud dari kedua mempelai sejalan dengan

tuntunan syariat Islam.13 Oleh karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan

diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rela, demi menjaga kehormatan dan

martabat kemulyaan manusia.14

Prinsip dasar akad nikah diadakan adalah untuk langgengnya kehidupan

perkawinan, suatu “perjanjian atau ikatan yang kokoh”. Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.15 Maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan, apalagi akad nikah yang

dilaksanakan dengan tujuan akhir perceraian. Bahkan mayoritas ahli Fiqh

mengatakan bahwa talak adalah suatu hal yang “terlarang”, kecuali karena ada alasan

yang benar atau darurat,16 walaupun dalam Islam ada pensyariatan perceraian (talak)

dan bahkan menghalalkannya, hal ini bukan berarti Islam mencetuskan ide

perceraian, tapi karena memang sudah ada di segala kebudayaan.

Keutuhan dan kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan

yang digariskan Islam. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara

13
Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm. 7.
14
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa H.M Rasjidi, cet.ke-1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), hlm. 120.
15
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 1 ( Surabaya : Arkola, 2002)
hlm.5.
16
S}abuni As}-, Tafsir Ayat Ahkam, alih bahasa Hamidi dan A.Manan, cet. ke-4 (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2003), III: 241-244.
7

suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Istilah ikatan suci dan

kokoh antara suami istri oleh al-Qur’an disebut dengan mis\a>qan gali>z}an.

Allah SWT berfirman:

.17‫…وأﺧﺬن ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ‬

Jika diamati, ikatan suami istri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh dan

kuat, maka tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun

menghancurkannya. Karenanya, setiap usaha dengan sengaja untuk merusak

hubungan antara suami istri adalah dibenci Islam, bahkan dipandang telah keluar dari

Islam dan tidak pula mempunyai tempat terhormat di dalam Islam.18

Sejalan dengan perkembangan peradaban dan kemajuan zaman, masalah

perkawinan mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan bergulirnya

waktu. Salah satunya adalah muncul masalah tentang pernikahan dengan niat

cerai/talak. Hal ini menjadi model pernikahan yang timbul ke permukaan. Menurut

hemat penyusun, pernikahan model ini hampir sama dengan nikah Mut‘ah dan nikah

Muh}allil. Perbedaannya adalah dalam nikah dengan niat cerai akadnya tidak ada

syarat, sedangkan di dalam nikah Mut‘ah niat atau tujuannya jelas serta terdapat

syarat waktunya.19 Perbedaannya dengan nikah Muh}allil, bahwa dalam nikah

17
An-Nisa’ [4]: 21.
18
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-3 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm.
316.
19
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk, cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haqq, 2004), hlm. 455.
8

Muh}allil yaitu seorang laki-laki yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga sehabis

masa ‘iddahnya, kemudian suami tersebut mentalaknya atas konspirasi, dengan

maksud agar bekas suaminya dapat menikahi wanita itu kembali,20 sedangkan

menikah dengan niat cerai, yaitu seorang laki-laki menikahi wanita dan di dalam

hatinya terdapat niat menikah hanya untuk sementara waktu dan akan menceraikan

isterinya tersebut setelah kebutuhannya terpenuhi.21

Pernikahan dengan niat cerai yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang

laki-laki melaksanakan akad nikah bersama calon istri, dan sejak awal akad

pernikahan tersebut ia memiliki niat yang terselubung yaitu agar pernikahanya

tersebut tidak langgeng.22 Sebagai contoh adalah seseorang pergi ke luar kota atau

luar negeri karena melaksanakan pekerjaan atau ada kepentingan lain di tempat baru

tersebut (misalnya untuk studi), kemudian dengan alasan takut terjerumus ke limbah

zina ia melaksanakan pernikahan dengan seorang wanita dengan tujuan hanya untuk

sementara, yaitu sampai urusannya selesai. Contoh lain seseorang hidup di tempatnya

sendiri tapi menikahi wanita dengan niat sementara dengan alasan hamil (karena

sudah pernah berzina/bersetubuh sebelum nikah) atau karena alasan menginginkan

hartanya.

20
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tetang Nikah, alih bahasa Abu Fahmi Huaidi dkk, cet. ke-1
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 135.
21
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
22
Ibid., hlm. 84.
9

Permasalahan nikah dengan niat cerai ini, menurut pengamatan penyusun

ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. Sebagian ulama ada yang

membolehkan misalnya Ibnu Qudamah dan ada juga yang melarangnya seperi Syams

ad-Din al-Maqdisi, karena tidak terdapat nas baik dari al-Qur’an maupun hadis yang

membahasnya secara jelas.

Di antara ulama yang menjadi obyek pokok kajian skripsi ini dalam

membahas nikah dengan niat cerai adalah Ibnu Taimiyah sebagaimana yang ditulis

dalam karyanya “Majmu>’ Fata>wa>”. Beliau dikenal pada zamannya jika berfatwa,

tidak pernah bersandar kepada mazhab tertentu, tetapi beliau berfatwa dengan dalil

yang menurutnya benar.23 Adapun ulama lain yang pernah membahas permasalahan

nikah dengan niat cerai adalah Ibnu Qudamah di dalam kitabnya “al-Mugni”.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka dapat

dirumuskan pokok masalah yang dikaji dan diteliti dalam penulisan skripsi ini, yaitu

sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum menikah dengan niat cerai menurut Ibnu Taimiyah?

2. Apa yang menjadi dasar pemikiran Ibnu Taimiyah dalam menfatwakan

hukum nikah dengan niat cerai?

23
Ibnu Taimiyah, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, alih bahasa Munirul Abidin,
cet. ke-1 (Malang: Pustaka Zamzami, 2004), hlm. 5.
10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian tentu saja tidak terlepas dari tujuan-tujuan tertentu yang

senantiasa terkait dengan pokok masalah yang menjadi inti pembahasan dan

selanjutnya dapat dipergunakan sehingga dapat pula diambil manfaatnya.

Adapun penyusunan skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan secara lebih jelas bagaimana hukum menikah dengan niat

cerai menurut Ibnu Taimiyah.

2. Untuk menjelaskan dasar yang digunakan Ibnu Taimiyah dalam menetapkan

hukum menikah dengan niat cerai.

Adapun kegunaannya sebagai berikut:

1. Mengetahui apa saja hukum menikah dengan niat cerai dan hal-hal yang

mendasarinya.

2. Menambah wawasan keilmuan pada bidang hukum keluarga islam (ahwal

asy-syaksiyyah).

3. Memperdalam kajian tentang menikah dengan niat cerai

D. Telaah Pustaka

Terdapat beberapa referensi yang telah membahas mengenai Ibnu Taimiyah,

baik pola pikir maupun fatwa-fatwanya, akan tetapi sejauh penelusuran penyusun,

belum ditemukan literatur yang membahas mengenai permasalahan hukum nikah

dengan niat cerai secara khusus menurut Ibnu Taimiyah.


11

Di antara literatur yang sudah membahas mengenai Ibnu Taimiyah adalah :

Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur menyebutkan bahwa tujuan sebuah

pernikahan adalah untuk selama-lamanya. Sehingga Islam mendorong kaum

Muslimin untuk menikah dan mengecam sikap tabattul (membujang).24 Pemahaman

lebih lanjut dari selama-lamanya ini adalah pernikahan bukan bertujuan untuk

berpisah. Dalam buku menikah dengan niat cerai karangan Dr. Saleh Ibn ‘Abd al-

‘Aziz al-Mansur membahas tentang permasalahan ini. Akan tetapi fokus utamanya

hanya mengupas pendapat-pendapat para ulama, kemudian mengomentarinya.

Walaupun Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur dapat dikatakan belum mengungkap

secara mendetail tentang permasalahan ini, tetapi pendapatnya telah dituliskan dalam

bukunya nikah dengan niat talak. 25

Muhammad Asmawi, dalam "Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan",

memasukkan masalah menikah dengan niat cerai (walaupun tidak menyebutkannya

secara eksplisit) pada bab nikah Muh}allil. Asmawi menyebutkan bahwa apabila niat

untuk menceraikan hanya sebatas ungkapan hati (tidak diucapkan), dan ketika

pelaksanaan akad nikah tidak disebutkan niatnya, maka pernikahan itu sah-sah saja.26

24
Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 11.
25
Ibid, hlm 40.
26
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet.ke-I (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), hlm.104.
12

Literatur ini tidak membahas pendapat Ibnu Taimiyah secara khusus, akan tetapi

literatur ini turut membantu dalam menganalisis pokok bahasan skripsi ini.

Seperti halnya dengan Muhammad Asmawi, mayoritas ulama tidak

membahas permasalahan ini secara khusus. Pembahasan tentang menikah dengan niat

cerai umumnya dimasukkan pada bab nikah Mut‘ah atau nikah Muh}allil.

Seperti dijelaskan dalam skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syihabuddin

Jurusan Al Ahwal Asyakhsiyyah Fakultas Syari’ah dengan judul Menikah dengan

Niat Cerai menurut pemikiran Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni, disana

dibolehkan dengan syarat sedang dalam perjalanan jauh atau seorang musafir. 27

Menurut hemat penyusun, dari skripsi yang pernah penulis baca, belum ada

penelitian terhadap pendapat Ibnu Taimiyah khususnya tentang nikah dengan niat

cerai sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu’ Fatawa. Selain itu, pendapat dari

Ibnu Taimiyah terdapat perbedaan dengan karya sebelumnya yaitu pendapat Ibnu

Qudamah.28 Oleh karena itu, penulis memberanikan diri mencoba membahasnya

dalam skripsi ini.

27
Syihabuddin Ahmad, Menikah Dengan Niat Cerai ( Studi pemikiran Ibnu Qudamah ),
Skripsi UIN Sunan Kalijaga ( 2006 ), hlm.6.
28
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 28-38.
13

E. Kerangka Teoretik

Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam pemikiran hukum Islam,

apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas maka hukum

itulah yang harus diambil, tetapi apabila tidak ditemukan di dalamnya, maka dicari

dalam Sunnah. Jika di dalam keduanya tidak terdapat ketentuan hukum yang

dimaksud atau hanya disinggung secara samar-samar, maka pencarian hukumnya

melalui ijtiha>d atau ra’y.29

Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat

memiliki ciri khas tersendiri, diantaranya ialah bercorak responsif, adaptif dan

dinamis. Hal ini dapat dilihat dari pekanya terhadap permasalahan yang berhubungan

dengan hukum Islam, baik yang bercorak pemikiran maupun temuan peristiwa-

peristiwa yang terjadi di masyarakat. Untuk itu perlu adanya upaya merespon

kepekaan permasalahan tersebut.30

Perkawinan dalam syari’at Islam bukan hanya sekedar formalitas belaka,

bukan sembarang perikatan tapi diisyaratkan dengan menetapkan status ikatan

(transaksi/akad) nikah sebagai akad yang melebihi dari akad/transaksi-transaksi yang

29
Di dalam hukum Islam, sumber hukum Islamn secara global diklarifikasikan menjadi dua,
yaitu : 1).Nash atau Wahyu yang meliputi al-Qur’an dan Sunnah ; 2). Ijtiha>d atau Ra’y yang meliputi
Qiya>s, Ijma>’, Istih}sa>n, Mas}lahah al-Mursalah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Sah}bi, Sad al-Za>ri’ah dan
Syar’u Man Qablana. Lihat ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f. Ilmu Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Qalam 1978),
hlm. 21-22 dan Muhammad abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Bairut : Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1988) hlm. 203-
206.
30
Zarkasi Abd Salam dan Syamsul Anwar, Tanggapan Terhadap Makalah Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jurnal Asy Syir’ah No.1 Tahun XII 1998 hlm 12
14

lain.31 Al-Qur’an menyebutkannya bukan dengan kata-kata yang biasa, seperti ‘Aqd

dan ‘Ahd, akan tetapi menggunakan kata Mis\aq, yang maksudnya lebih mendalam

dan tidak main-main.32

Muhammad Quraish Shihab ketika mentafsirkan ayat yang berbunyi:


33
‫وآﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬوﻧﻪ وﻗﺪ أﻓﻀﻰ ﺑﻌﻀﻜﻢ إﻟﻰ ﺑﻌﺾ وأﺧﺬن ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ‬

Mengatakan kata mis\a>qan gali>z}an atau perjanjian yang kuat hanya ditemukan tiga

kali dalam al-Qur’an: pertama dalam ayat ini, yang melukiskan hubungan suami istri;

kedua (QS.al-Ahzab{33}: 7) menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi;

ketiga (QS.an-Nisa’{4}: 154) perjanjian Allah dengan manusia dalam konteks

melaksanakan pesan-pesan keagamaan.34 Dengan ungkapan-ungkapan tersebut,

secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa kesucian ikatan perkawinan antara

suami dan isteri mirip dengan kesucian hubungan Allah dengan pilihanNya, yaitu

Nabi-nabi atau Rasul-rasul.35

Dalam sejumlah nas{ yang biasanya dijadikan sebagai acuan seputar talak

adalah sebagai berikut :

31
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1 ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.21.
32
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-3 )Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm
316
33
An-Nisa>’ [4]: 21.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cet. ke-1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), II:368.
35
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1 ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.22.
15

.36‫™ أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﻄﻼق‬


37
‫™ ﻻ ﺿﺮر وﻻ ﺿﺮار‬

‫™ ﻳﺎ اﻳﻬﺎاﻟﻨﺎس إﻧﻲ ﻗﺪآﻨﺖ أذﻧﺖ ﻟﻜﻢ ﻓﻲ اﻻﺳﺘﻤﺘﺎع ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء وإن اﷲ ﻗﺪﺣﺮم‬


38
‫ذﻟﻚ إﻟﻰ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬
39
‫™ ﺛﻼث ﺟﺪهﻦ ﺟﺪ وهﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ اﻟﻨﻜﺎح واﻟﻄﻼق واﻟﺮﺟﻌﺔ‬
40
‫ اْو ﺗﻜﻠﻢ ﺑﻪ‬, ‫™ ْاْن اﷲ ﺗﺠﺎ وز ْﻻ ﻣﺘﻲ ﻋﻤﺎ ﺣﺪ ﺛﺖ ﺑﻪ اْﻧﻔﺴﻬﺎ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻌﻤﻞ ﺑﻪ‬

Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, menikah dengan niat cerai tidak terlepas dari dua

hal.41 Pertama, di dalam akad ada syarat, maka dinamakan dengan nikah Mut‘ah, dan

hukumnya haram. Kedua, nikah dengan niat cerai/talak, tapi tanpa ada syarat. Hal ini

36
, Abu Daud, Sunan Ab’ Daud, kitab at} Talaq bab "fi Karahati at} Talaq" alih bahasa M.
Imam al Qahar hadis nomor : 1863 diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.
37
Kamal Muchtar, Ushul Fiqih (Yogyakarta PT. Dana Bakti Wakaf, , 1995) hlm 203. Hadis
dari Abu Hurairah dalam HR. Ibnu Majjah ra ditakhrijkan oleh Inu Majjah dari Ibnu ‘Abbas dalam
bukunya Kamal Muchtar menjadi sumber kaidah ketiga ‫ اﻟﻀﺮر ﻳﺰال‬yang berarti kemaddlaratan itu
harus dihilangkan.
38
Muslim, S}ahih Muslim, kitab an nikah, hadis nomor: 813 diriwayatkan oleh Sabrah Ibnul
Juhani r.a. hal 382

39
Ibnu Majah,Sunan Ibn Majah, kitab at-talaq bab “Orang yang mencerai, menikah atau
merujuk secara main-main ” alih bahasa M. Nasiruddin Al Bani, hadis nomor.1671-2069 diriwayatkan
oleh Abi Hurairah ra.
40
Ibnu Majah,Sunan Ibn Majah, kitab at talak bab “Orang yang Mentalak dalam Hatinya,
dan Tidak Terucapkan ” alih bahasa M. Nasiruddin Al Bani, hadis nomor.1672-2070 diriwayatkan
oleh Abi Hurairah ra.
41
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk, cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haqq, 2004), hlm. 455.
16

menurut Jumhur Ulama hukumnya tidak sah akadnya, karena yang diniatkan sama

dengan yang disyaratkan.

Perdebatan ulama tentang hukum dari pernikahan ini muncul dari anggapan

apakah hal ini termasuk dalam kategori nikah Mut‘ah, dan perbedaan pandangan

tentang makna dari niat apakah termasuk syarat atau tidak. Al-’Auza‘i mengatakan

jika seseorang meniatkan talak, maka sama halnya dengan ia mensyaratkannya.42

Selain itu juga dalam pernikahan ini mengandung unsur kemunkaran dan kerusakan,

apalagi tampak sekali terlihat adanya penipuan dan kecurangan.43 Dalam hal ini,

untuk menentukan hukum menikah dengan niat cerai tidak hanya cukup dengan

mengutip pendapat ulama terdahulu. Pengkajian dan penelitian tentang masalah ini

masih perlu untuk dilakukan. Dengan tetap berpegangan dengan al Qur’an dan Hadis

serta kaidah-kaidah yang berlaku.

Pengkajian yang dimaksud adalah tidak hanya menganalisa nas yang

digunakan dalam berijtihad, tetapi dapat digunakan pendekatan tentang latar belakang

atau sebab munculnya suatu pendapat tersebut. Hukum merupakan keputusan-

keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan

ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.


44
Dari salah satu dasar hukum di atas dapat kita amati adanya peran penguasa yang

42
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 37.
43
Ibid., hlm. 39.
44
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet. ke-15 (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 75
17

sangat besar dalam menentukan hukum itu sendiri sehingga tidak dapat dipungkiri

adanya klaim yang kurang tepat.

Dasar hukum lain yang dapat kita jadikan landasan bahwa keputusan-

keputusan hukum mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa-masa


45
mendatang. Hukum merupakan sesuatu hal yang paten dalam masyarakat, dengan

adanya hukum maka akan memberikan pedoman dalam standar perilaku yang

tentunya akan dipatuhi masyarakat itu sendiri.

F. Metode Penelitian

Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan rasional diperlukan suatu

metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena metode berfungsi sebagai cara

mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti yang

diinginkan oleh semua peneliti. Di samping itu metode merupakan cara bertindak

supaya penelitian berjalan terarah dan mencapai hasil yang optimal.

Dalam mencari data, menjelaskan dan menyampaikan obyek penelitian secara

benar dan terarah, maka penyusun menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

45
Ibid.
18

Jenis penelitian ini adalah pustaka (library research),46 yaitu kajian

merujuk kepada data-data yang ada pada referensi berupa buku-buku dan

kitab-kitab yang terkait dengan topik penelitian. Dalam kajian pustaka ini,

penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai pendapat Ibnu Taimiyah

tentang menikah dengan niat cerai, yaitu dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>. Di

samping itu, penyusun menggunakan pula sumber-sumber lain yang berkaitan

dengan sumber-sumber primer, dan ditempatkan sebagai sumber sekunder.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu data-data yang ada

disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.47 Penelitian ini dapat digunakan

untuk menguraikan dan menggambarkan pemikiran Ibnu Taimiyah tentang

menikah dengan niat cerai, kemudian menganalisa dan menyimpulkan

secukupnya dari pemikiran tersebut.

3. Pengumpulan Data

Sumber data yang dijadikan rujukan untuk menyusun skripsi ini ada 2

(dua) kategori:

a. Data primer, berupa kitab “Majmu>’ Fata>wa>” yang merupakan

salah satu karya besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

46
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-14 (Bandung; PT Remaja
Rosda Karya, 2001), hlm. 113.
47
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, edisi ke-7
(Bandung: TARSITO, 1980), hlm. 140.
19

b. Data sekunder, yaitu data tambahan yang mempunyai relevansi

serta mendukung dengan tema pembahasan skripsi ini.

Sedangkan tehnik pengumpulan data yang dilakukan penyusun adalah

dengan melihat beberapa literatur serta referensi yang membahas serta

berkaitan dan mendukung tema pembahasan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu menganalisa data dengan

menggunakan pendekatan dalil atau kaidah yang menjadi pedoman perilaku manusia.

Yang kedua menggunakan pendekatan filosofis, yaitu kajian tentang hakekat

pensyariatan nikah. 48

5. Metode Analisis Data

Untuk menganalisa data, digunakan analisis kualitatif melalui metode

berfikir:

a. Deduksi, yakni metode yang bertitik tolak pada data-data yang

universal (umum), kemudian diaplikasikan ke dalam satuan-satuan

yang singular (khusus/bentuk tunggal) dan mendetail.49 Dalam

penelitian ini menguraikan tentang Fiqh Nikah, kemudian

mengungkap pernikahan yang terlarang dan penjelasan-penjelasan

yang terkait dengan hal tersebut.

48
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, cet. ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.
138.
49
Ibid. hlm. 17.
20

b. Deskriptif, yaitu penelitian dengan jalan mengumpulkan data,

mengklasifikasikannya, menganalisa dan menginterpretasinya.50

Dalam penelitian ini, penyusun mengumpulkan data tentang menikah

dengan niat cerai dan menjabarkan pendapat-pendapat ulama sebagai

bahan analisis.

c. Disamping itu, untuk lebih memperdalam kajian penulis juga

membandingkan pendapat Ibnu Taimiyah tentang menikah dengan

niat cerai dengan pendapat ulama lain, sehingga diketahui unsur-unsur

kesamaan dan perbedaan guna mengambil kesimpulan yang lebih

relevan dan akurat.

G. Sistematika Pembahasan

Sebagai upaya untuk dapat mempermudah dan memberikan gambaran

pembahasan secara menyeluruh dan sistematis dalam penulisan skripsi ini, penulis

menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, merupakan

pendahuluan, yang berisi tentang metode penelitian secara umum sebagai landasan

metode, yaitu latar belakang masalah dari penelitian ini yang menjadi sejarah awal

dan merupakan landasan pertama penelitian ini, perumusan suatu pokok masalah,

tujuan dan kegunaan yang akan menjadi arah penelitian ini, kemudian telaah pustaka

yang menguraikan beberapa kajian yang telah ada sebagai sumber kajian penelitian

50
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Edisi ke-7
(Bandung: TARSITO, 1980), hlm. 147.
21

ini, terkait dengan permasalahan yang dibahas. Selanjutnya adalah kerangka teoretik

yang membahas beberapa teori tentang hukum sebagai langkah dan cara berfikir

dalam menganalisa. Setelah itu dilanjutkan dengan metode penelitian dan diakhiri

dengan sistematika pembahasan. Pada bab ini merupakan langkah awal dan sangatlah

penting dikarenakan menjadi dasar dan alur pembicaraan yang lebih mengarahkan

pada pembahasan sehingga disusunlah skripsi ini.

Kemudian Bab kedua, berisi tinjauan umum yang menguraikan niat yang

kemudian sedikit dieksplorasi tentang nikah dan cerai. Uraian ini dimaksudkan untuk

memberikan gambaran umum secara lebih jelas sebagai acuan dalam menyelesaikan

pokok masalah dalam skripsi ini dan lebih memperjelas alur pembahasannya.

Bab ketiga, menjelaskan serta memaparkan biografi Ibnu Taimiyah, aktifitas

keilmuan, pemikiran dan metode istinbat}-nya, karya-karyanya, terutama Majmu>’

Fata>wa>., serta pendapat dan pandangannya dalam kitab tersebut tentang hukum

menikah dengan niat cerai. Biografi ini ditujukan untuk menjelaskan tentang sejarah

tokoh Ibnu Taimiyah.

Bab keempat, merupakan inti untuk menjawap pokok permasalahan dari

penyusunan skripsi ini, yaitu mencoba menganalisa tentang bagaimana hukum

menikah dengan niat cerai Ibnu Taimiyah. Selain itu, pada bab ini juga diuraikan

dasar pemikiran yang digunakan Ibnu Taimiyah tentang hukum menikah dengan niat

cerai.
22

Sedangkan Bab kelima, sebagai penutup, yaitu kesimpulan dari pembahasan

yang ada dalam skripsi ini yang kemudian diikuti dengan pemberian kritik dan saran-

saran dari penyusun


23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NIAT, NIKAH DAN TALAK

A. Nikah

1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum Nikah

Kata ‫( ﻨﻜﺎﺡ‬nikah) berasal dari bahasa Arab ‫ﻨﻜﺢ‬- ‫ﻴﻨﻜﺢ‬- ‫ﻨﻜﺎﺤﺎ‬, yang secara

etimologi berarti: ‫( ﺯﻭﺍﺝ‬kawin).1

Al-Qur’an menggunakan kata "nikah" yang mempunyai makna "perkawinan",

disamping secara majazi (metaphoric) diartikan dengan "hubungan seks". Selain itu

juga menggunakan kata ‫ﺝ‬‫ ﺯﻭ‬dari asal kata ‫ﺯﻭﺝ‬, yang berarti "mengawini" untuk

makna nikah.2 Kata ‫ ﺯﻭﺝ‬dalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali

dalam al-Qur’an, sementara kata ‫ ﻨﻜﺎﺡ‬dalam terbagi bentuknya ditemukan 23 kali.3

Dengan demikian, dari kedua istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkawinan

(pernikahan) dapat dikatakan bahwa dengan pernikahan menjadikan seseorang

mempunyai pasangan.

1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm.1943.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-2, (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002).
hlm. 591.
3
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.15.
24

Secara umum al-Qur’an hanya menggunakan dua kata tersebut (az-zauj dan

an-nika>h) untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah.

Memang ada juga kata ‫( ﻭﻫﺒﺕ‬yang berarti "memberi") digunakan oleh al-Qur’an

untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw, dan menyerahkan

dirinya untuk dijadikan istri. Akan tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi

SAW.4 Hal ini seperti yang tertuang dalam firman Allah:

‫واﻣﺮأة ﻣﺆﻣﻨﺔ إن وهﺒﺖ ﻧﻔﺴﻬﺎ ﻟﻠﻨﺒﻲ إن أراد اﻟﻨﺒﻲ أن ﻳﺴﺘﻨﻜﺤﻬﺎ ﺧﺎﻟﺼﺔ ﻟﻚ ﻣﻦ‬....
5
‫دون اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‬

Adapun yang dikemukakan sebagian ahli Fiqh pengertian nikah adalah:

6
‫ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻨﻜﺎح أو اﻟﺘﺰوﻳﺞ أو ﻣﻌﻨﺎهﻤﺎ‬

Dari pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang

(yakni bersenggama). Pengertian tersebut sama sekali tidak menyinggung tujuan

maupun akibat dari nikah padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan

akibat. Oleh sebab itu, para ahli hukum Islam mutaakhirin memperluas pengertian

nikah menjadi :

‫ﻋﻘﺪ ﻳﻔﻴﺪ ﺣﻞ اﻟﻌﺸﺮة ﺑﻴﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة وﺗﻌﺎوﻧﻬﻤﺎوﻳﺤﺪ ﻣﺎﻟﻜﻠﻴﻬﻤﺎﻣﻦ ﺣﻘﻮق‬

4
Ibid.
5
Al-Ahzab [33]: 50.
6
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU
FIQH, cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II : hlm.48-49.
25

7
‫وﻣﺎﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ واﺟﺒﺎت‬
Adapun dari sisi istilah, pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang

Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Bunyi Pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan

perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada

ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang

perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang tersebut

dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk

keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan

tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan

kewajiban orang tua.

Secara sosiologis, sebagaimana menjadi kenyataan dalam masyarakat di

Indonesia, perkawinan dapat juga dilihat sebagai fenomena penyatuan dari dua

kelompok keluarga besar. Bahwa dengan perkawinan menjadi sarana terbentuknya

satu keluarga besar yang asalnya terdiri dari dua kelompok, yakni satu kelompok dari

7
Ibid.
.
8
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 1 ( Surabaya : Arkola, ttt)
hlm. 5.
26

suami dan satu kelompok dari isteri yang kemudian menjadi satu kesatuan yang

utuh.9

Lebih jauh, lebih dari sekedar istilah yang digunakan untuk menunjukkan

pernikahan, ditegaskan tentang hukum umum penciptaan yaitu bahwa segala sesuatu

dijadikan berpasang-pasangan. Dalam sebuah ayat Al Qur’an dinyatakan :

10
‫و ﻣﻦ آﻞ ﺷﻲء ﺧﻠﻘﻨﺎ زو ﺟﻴﻦ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺬ آﺮون‬

Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupan jenis apapun di alam ini ;

binatang, pepohonan, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, rerumputan dan lain-lain

termasuk manusia, diciptakan berpasang-pasangan, diciptakan mempunyai patner.

Karena itu berpasangan merupakan sunnah Allah ( fitrah atau hukum alam ), yang

dari jenis apapun membutuhkannya. Itulah sebabnya kenapa aturan tentang pasangan

ini ditetapkan Allah dalam berbagai ungkapan.11

Dasar hukum yang digunakan dalam pembahasan masalah nikah dengan niat

cerai ini, di antaranya :

a. Dalil anjuran untuk menikah

Perkawinan merupakan kebutuhan fitrah bagi setiap manusia. Dan

itu telah berlangsung sejak pertama kali munculnya manusia kemuka bumi

ini, yakni Nabi Adam dan Hawa. Dalam islam perkawinan dianggap

9
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi.., hlm.17.
10
al-Zariyat (51): 49
11
Khoiruddin Nasution, Islam TentangRelasi.., hlm.18.
‫‪27‬‬

‫‪sebagai ikatan yang suci lagi kokoh.12 Allah Swt dan Rasul-Nya Saw telah‬‬

‫‪menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di‬‬

‫‪antaranya yaitu:‬‬

‫‪* Al-Qur’an‬‬

‫ﻳﺎأﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮا رﺑﻜﻢ اﻟﺬي ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺲ واﺣﺪة وﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎ زوﺟﻬﺎ وﺑﺚ ﻣﻨﻬﻤﺎ‬
‫‪13‬‬
‫رﺟﺎﻻ آﺜﻴﺮا وﻧﺴﺎء واﺗﻘﻮا اﷲ اﻟﺬي ﺗﺴﺎءﻟﻮن ﺑﻪ واﻷرﺣﺎم إن اﷲ آﺎن ﻋﻠﻴﻜﻢ رﻗﻴﺒﺎ‬
‫وﻣﻦ ءاﻳﺎﺗﻪ أن ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ أﻧﻔﺴﻜﻢ أزواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا إﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮدة ورﺣﻤﺔ‬
‫‪14‬‬
‫إن ﻓﻲ ذﻟﻚ ﻵﻳﺎت ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون‬

‫وان ﺣﻔﺘﻢ أ ﻻ ﺗﻔﺴﻄﻮا ﻓﻰ اﻟﻴﺘﻤﻰ ﻓﺎ ﻧﻜﺤﻮا ﻣﺎ ﻃﺎ ب ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ا ﻟﻨﺴﺎء ﻣﺸﻨﻰ وﺛﻠﺚ‬


‫‪15‬‬
‫ورﺑﺎع وان ﺧﻔﺘﻢ ان ﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا ﻓﻮاﺣﺪة اوﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ا ﻳﻤﺎ ﻧﻜﻢ ذﻟﻚ اد ﻧﻰ ان ﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮا‬

‫‪* Al-Hadis‬‬
‫‪16‬‬
‫اﻟﻨﻜﺎح ﻣﻦ ﺳﻨﺘﻲ ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﺴﻨﺘﻲ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﻲ‬

‫ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ اﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﻴﺘﺰوج ﻓﺈﻧﻪ أﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ وأﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮج‬
‫‪17‬‬
‫وﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ وﺟﺎء‬

‫‪12‬‬
‫‪Hal ini seperti diungkap dalam firman Allah (Q.S. an-Nisa’ [4] : 21) :‬‬
‫ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ ﻭﻗﺪ ﺃﻓﻀﻰ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ‪.‬‬

‫‪13‬‬
‫‪An-Nisa>’ [4]: 1‬‬
‫‪14‬‬
‫‪Ar-Ru>m [30]: 21‬‬
‫‪15‬‬
‫‪An-Nisa>’ [4] : 3‬‬
‫‪16‬‬
‫‪Ibnu Majah, S}ahih Sunan Ibnu Majjah, Hadis no. 1508, kitab “an-Nikah”, bab “ma ja’a fi‬‬
‫‪fadhlin nikah”, alih bahasa M. Nashiruddin al Albani diriwayatkan oleh ‘Aisyah.. hlm.163‬‬
‫‪17‬‬
‫‪Ibid, hlm.162‬‬
28

18
‫ﺗﺰوﺟﻮا اﻟﻮدود اﻟﻮﻟﻮد ﻓﺎ ﻧﻰ ﻣﻜﺎﺛﺮ ﺑﻜﻢ اﻻْﻧﺒﻴﺎء ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬

b. Hukum menikah19

Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan

dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan

berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks)

maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang

bermacam-macam ini Sayyid Sabiq membagi hukum nikah menjadi 5

kategori,20 yaitu:

1) Nikah wajib ; yaitu bagi orang yang telah mampu untuk

melaksanakannya, nafsunya sudah meledak-ledak serta

dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan zina. Karena memelihara

jiwa dan menjaganya dari perbuatan haram adalah wajib, sedangkan

pemeliharaan jiwa tersebut tidak dapat terlaksana dengan sempurna

(baik) kecuali dengan pernikahan.

18
Sudarsono, “Pokok-pokok Hukum Islam MKDU”, cet ke-2, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001 )
hlm.191-192
19
Mohammad Asmawi menyebutkan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum nikah
secara umum bagi umat Islam adalah sunnah. ’Amr (perintah) dalam al-Qur’an dan Hadis adalah
menunjukkan ’amr anjuran (sunnah), bukan ’amr wajib. Kata perintah dalam ayat dan hadis adalah
bentuk ’amr yang disebut ’amr irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia demi
terciptanya ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya, tanpa adanya kekacauan, kerusakan
dan hal-hal negatif lainnya. (Diungkap dalam Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan
Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta: Dar as-Salam, 2004), hlm. 24-25).
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al Kutub al ‘Arabi, 1973), II : 13-18.
29

2) Nikah sunnah; yaitu bagi orang yang sudah mampu dan nafsunya

telah mendesak, tetapi ia masih sanggup mengendalikan dan

menahan dirinya dari perbuatan haram (terjerumus ke lembah zina).

Dalam kondisi seperti ini, perkawinan adalah solusi yang lebih baik.

3) Nikah haram ; yaitu bagi orang yang tahu dan sadar bahwa dirinya

tidak mampu memenuhi kewajiban hidup berumah tangga, baik

nafkah lahir seperti sandang, pangan dan tempat tinggal, maupun

nafkah batin seperti mencampuri istri dan kasih sayang kepadanya,

serta nafsunya tidak mendesak.

4) Nikah makruh ; yaitu bagi orang yang tidak berkeinginan menggauli

istri dan memberi nafkah kepadanya. Sekiranya hal itu tidak

menimbulkan bahaya bagi si istri, seperti karena ia kaya dan tidak

mempunyai keinginan syahwat (seks) yang kuat.

5) Nikah mubah ; yaitu bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-

alasan yang mewajibkan segera kawin dan tidak ada penghalang

yang mengharamkan untuk melaksanakan perkawinan.

Terlepas dari pendapat para mujtahid dan ulama di atas, maka

berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, Islam sangat

menganjurkan bagi orang yang sudah mampu dan siap, baik secara moril

maupun materi agar segera melaksanakan perkawinan.


30

2. Syarat dan Rukun Nikah

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia

yang wajar dan dibenarkan. Oleh karena itu, perkawinan diatur dengan syarat

dan rukun tertentu agar tujuan pensyariatan perkawinan dapat tercapai. Rukun

adalah unsur pokok (tiang penopang)21 dalam setiap perbuatan hukum,

sedangkan syarat adalah unsur pelengkapnya. Kedua hal ini dalam

perkawinan sangat penting karena apabila tidak terpenuhi maka perbuatan itu

dianggap tidak sah menurut hukum.

Para ahli Fiqh merangkum syarat dan rukun nikah yang harus

terpenuhi pada saat akad berlangsung meliputi beberapa hal berikut:

1) Ada calon mempelai, laki-laki (‫ ) ﺍﻟﺯﻭﺝ‬dan perempuan (‫;)ﺍﻟﺯﻭﺠﺔ‬

2) Ada wali dari calon istri (‫;)ﺍﻟﻭﻟﻲ‬

3) Ada dua orang saksi (‫;)ﺍﻟﺸﺎﻫﺩﺍﻥ‬

4) Ada ijab dan kabul (‫)ﺍﻟﺼﻴﻐﺔ‬.

a. Calon mempelai (‫)ﺍﻟﺯﻭﺝ ﻭﺍﻟﺯﻭﺠﺔ‬22

21
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm. 989.
22
Ulama mazhab sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan,
kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Selanjutnya juga disyaratkan bahwa kedua mempelai harus
terlepas dari hal-hal yang membuat mereka dilarang menikah, baik karena sebab hubungan keluarga
maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara. [Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk, cet. ke-7, (Jakarta: Lentera
Basritama, 2001), halaman 315]. Ulama juga berpendapat bahwa setiap muslim tidak boleh menikahi
wanita musyrikah, begitu pula sebaliknya, berdasarkan nash al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 221 yang
berbunyi:
31

Pihak laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan hendaknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut:23

1) Beragama Islam.

2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.

3) Orangnya diketahui dan tertentu.

4) Laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5) Mengetahui calon istrinya itu tidak haram dinikahinya.

6) Tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan itu.

7) Tidak sedang melakukan ihram

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri (bila

hendak berpoligami).

9) Tidak beristri empat orang.

Sedangkan calon mempelai wanita harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:24

1) Beragama islam atau Ahli kitab

2) Jelas jenis kelaminnya, yaitu wanita (bukan waria).

3) Wanita itu tertentu orangnya

4) Halal bagi calon suami.

‫ ﺍﻷﻳﺔ‬....‫ﻭﻻﺗﻨﻜﺤﻮﺍ ﺍﳌﺸﺮﻛﺖ ﺣﱴ ﻳﺆﻣﻦ ﻭﻻﻣﺔ ﺍﳌﺆﻣﻨﺔ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮﻛﺔ ﻭﻟﻮﺃﻋﺠﺒﺘﻜﻢ ﻭﻻﺗﻨﻜﺤﻮﺍ ﺍﳌﺸﺮﻛﲔ ﺣﱴ ﻳﺆﻣﻨﻮﺍ ﻭﻟﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮﻙ ﻭﻟﻮﺃﻋﺠﺒﻜﻢ‬

23
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh,
cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II, hlm.50.
24
Ibid. hlm. 54.
32

5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam

masa ‘iddah

6) Tidak dipaksa/ikhtiyar

7) Tidak dalam keadaan ihram Haji atau Umrah.

b. Wali (‫)ﺍﻟﻭﻟﻲ‬25

Perwalian wali bukanlah sebagai perwakilan dalam penyelenggaraan

pernikahan bagi gadis tanpa ada keridaan darinya. Karena ridanya merupakan

syarat yang fundamental untuk melaksanakan akad nikah secara sah dan

benar.26 Oleh karena itu, wali nikah itu harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut :27

1) Beragama Islam

2) Balig dan Berakal.

25
Kehadiran wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh
kebanyakan ulama berdasarkan sabda Nabi SAW. :
...‫ﻻ ﻧﻜﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﻮﱄ‬
(Dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis nomor 1871, "Kitab an-Nikah" "Bab La Nikaha illa bi
Waliy", diriwayatkan oleh ‘Aisyah )
Ada juga ulama semacam Abu Hanifah, Zufar, az-Zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila
seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah-sah saja, selama pasangan yang dikawininya
se-kufu’ (setara) dengannya. Menurut M. Quraish Shihab ketiadaan wali terbatas kepada para janda,
bukan gadis-gadis. Pandangan ini merupakan kompromi antara pendapat yang mengharuskan adanya
wali dan pendapat yang tidak mengharuskannya. Akan tetapi, -menurut M. Quraish Shihab lagi- adalah
amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda, karena "seandainya
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan. (Dalam M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, halaman 202-203).
26
Butsainan As-Sayyid al-Iraqi, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, alih bahasa oleh Kathur
Suhardi, cet. Ke-4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm 62.
27
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, Edisi Pertama (Jakarta: AKADEMIKA PRESINDO, 2002), hlm.99.
33

3) Tidak dipaksa, sebab orang yang dipaksa perkataannya tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

4) Terang laki-lakinya dan bersifat adil.

5) Tidak sedang ihram haji dan umrah.

6) Tidak mah}jur binafsi (tidak dicabut haknya dalam penguasaan harta

bendanya oleh pengadilan).

7) Tidak rusak pikirannya karena terlalu tua atau hal lainnya.

c. Dua orang saksi (‫)ﺍﻟﺸﺎﻫﺩﺍﻥ‬28

Disyaratkan dalam persaksian memenuhi hal-hal sebagai berikut:29

1) Islam.

2) Balig, anak kecil tidak sah menjadi saksi.

3) Berakal, tidak gila atau hilang akalnya.

4) Merdeka, persaksian budak tidak diperbolehkan.

5) Laki-laki.30

28
Ulama Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah
mustahabb (dianjurkan) dan bukan merupakan kewajiban. [Dalam Muhammad Jawad Mughniyah,
Fiqih Lima Mazhab, halaman 314]. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa sahnya suatu
pernikahan (akad nikah) harus dihadiri oleh -minimal- dua orang saksi laki-laki. Berdasarkan hadis :
‫ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﻋﻠﻰ ﻏﲑ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ‬, ‫ﻻ ﻧﻜﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﻮﱄ ﻭﺷﺎﻫﺪﻱ ﻋﺪﻝ‬

Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan
pernikahan yang dituntut sebelum pasangan suami istri " berkumpul" (berhubungan seks/dukhul) atau
syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka -para saksi- ketika akad nikah dilaksanakan.
Akan tetapi, ulama melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk
menyiarkan berita pernikahan. [Dalam Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid II, alih bahasa oleh Imam
Ghozali said dan Ahmad Zaidun, cet. Ke-2 (Jakarta: Pustaka Amani,2002) halaman 431].
29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-27 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm.384.
34

6) Adil.31

d. Ijab dan kabul (‫)ﺍﻟﺼﻴﻐﺔ‬

Akad nikah dilakukan dengan menyatakan persetujuan oleh kedua

belah pihak, pihak calon suami dan pihak calon istri, di hadapan saksi-

saksi. Pernyataan persetujuan tersebut dalam istilah fiqh disebut ijab

(pernyataan) dan qabul (penerimaan atau persetujuan).32 Untuk

mewujudkan akad yang mempunyai akibat-akibat hukum, ada beberapa

syarat yaitu:33

1. Kedua belah pihak yang berakad sudah tamyiz.

2. Proses akad ijab kabul dalam satu majelis, yaitu saat terjadinya

ijab kabul tidak diselingi dengan kata-kata lain.

30
Dalam masalah ini, masih ada perbedaan pendapat tentang keberadaan saksi-saksi berkaitan
dengan identitasnya. Menurut ulama Hanafi cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan. [Dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, halaman 313].

31
’Adalah (adil) dapat diartikan sifat seseorang yang senantiasa berbuat salih, tidak pernah
melakukan perbuatan dosa besar dan kecil yang berkaitan dengan hak-hak orang (seperti mencuri roti)
dan perbuatan sehari-harinya tidak terlepas dari sifat muru’ah (adat-adat kesopanan), seperti makan-
makan di tengah jalan, buang air di jalanan dan sebagainya. (Mohammad Asmawi, Nikah dalam
Perbincangan dan Perbedaan, halaman 55).Masuknya adil dalam syarat saksi juga masih ada
perbedaan pendapat seperti Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa akad nikah boleh dengan dua orang
buta atau dua orang yang dianggap tidak adil (fasik) untuk dijadikan saksi. [Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU FIQH, Cet. Ke-2 (Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984/1985), II, hlm. 108.]

32
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-1 (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 92.
33
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., hlm. 31.
35

3. Ucapan kabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali ucapan

kabul lebih baik dari ucapan ijab.

4. Masing-masing pihak yang melakukan akad mendengar dan

memahami pernyataan yang dimaksud.

Adapun kalimat yang digunakan dalam ijab kabul34 boleh dengan

selain bahasa Arab, apabila kedua belah pihak atau salah satu dari

keduanya tidak faham bahasa Arab. Hal ini telah menjadi kesepakatan

para ahli Fiqh.35

3. Tujuan dan Hikmah Nikah

Adapun yang dimaksud dengan tujuan perkawinan dalam bagian ini

adalah apa yang disebut dengan manfaat atau sebagian yang lain disebut

dengan hikmah.36 Laki-laki dan perempuan adalah "jiwa yang satu". Satu

dalam karakteristik penciptaannya, walaupun ada perbedaan dalam hal fungsi

dan tugasnya. Akan tetapi perbedaan tersebut mengandung makna yang

34
Mayoritas ulama sepakat bahwa ijab kabul tidak sah apabila menggunakan kata-kata yang
digunakan untuk kepemilikan sesuatu, seperti : membeli, sadaqah, tamlik (memberikan kepemilikan).
Hanya Hanafi yang memperbolehkan dengan kata-kata tersebut. Syarat ijab kabul, menurut asy-Syafi’i
dan Hanbali harus menggunakan kata ‫ ﺘﺯﻭﻴﺞ‬dan ‫ ﻨﻜﺎﺡ‬atau musytaqq (pecahan kata) dari keduanya. Oleh
karena itu, tidak sah apabila menggunakan kalimat ‫( ﻫﺒﺔ‬memberi). Berbeda dengan Maliki yang
membolehkan dengan kata “memberi”. (dapat dilihat dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Lima Mazhab, hlm. 309-311). Sedang Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pernikahan telah dianggap
sah jika dilaksanakan dengan suatu proses yang dinamakan nikah dengan bahasa apapun dan dengan
ungkapan apapun yang tujuannya menikah. sebagaimana dikutip dalam (Salih bin Ahmad Al
Ghazali,Ensiklopedi Pengantin, alih bahasa oleh Farizal Tirmizi, Cet-Ke-1(Jakarta: Pustaka
Azzam,2001),hlm.81.
35
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 37.
36
Khoiruddin Nasutin,Islam Tentang .., hlm.34.
36

mendalam. Salah satunya yaitu agar salah satu pihak merasa tenteram dan

nyaman berada disamping pasangannya.

Tujuan pernikahan di dalam ajaran Islam di antaranya adalah seperti

yang disebutkan al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21, yaitu untuk menciptakan

kehidupan rumah tangga yang tenteram dan timbul rasa kasih dan sayang.

Tujuan selanjutnya adalah untuk menenangkan pandangan mata dari hal-hal

yang dilarang oleh agama dan menjaga serta memelihara kehormatan diri.

Selain dari dua hal tersebut adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,

sejahtera dan kekal.37

Nilai asasi yang akan dicapai oleh kedua pasangan adalah ketenangan,

ketentraman dan kasih sayang. Bila hal tersebut mewarnai kehidupan rumah

tangga, maka ia akan menghasilkan produk manusia unggulan. Generasi yang

tumbuh dalam keluarga yang sakinah akan sanggup memikul tanggung jawab

dan memberi kontribusi bagi peradaban manusia. Di antara beberapa

keutamaan dan faedah nikah tersebut diatas dapat dirangkum sebagaimana

yang dikatakan oleh filosof Islam Imam al-Gazali adalah sebagai berikut:38

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

37
Biro Penerangan dan Motivasi Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional, Naseha
Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Kuning Mas Offset, 1983), hlm.1.
38
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke- 2 (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
1999), hlm. 27.
37

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama

dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Pendapat yang lain tentang penetapan tujuan perkawinan pada

pemahaman sejumlah Nas, kalau disimpulkan akan terlihat minimal lima

tujuan umum, yakni :

a. Memperoleh ketenangan hidup, yang penuh cinta dan kasih sayang

sebagai tujuan pokok atau utama, yang kemudian tujuan ini dibantu

dengan tujuan-tujuan:

b. Tujuan reproduksi atau memperoleh keturunan,

c. Pemenuhan kebutuhan biologis,

d. Menjaga kehormatan,

e. Ibadah. 39

4. Nikah Tahlil

Islam menganjurkan perkawinan dengan tujuan dan maksud tertentu

yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Perkawinan yang menyimpang dari

tujuan yang dibenarkan ialah perkawinan yang mempunyai tujuan antara lain

hanya untuk memuaskan hawa nafsu saja, bukan untuk melanjutkan

39
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang.., hlm. 35.
38

keturunan, tidak bermaksud untuk membina rumah tangga yang damai dan

tenteram, dan tidak dimaksudkan untuk selamanya tetapi hanya untuk

sementara waktu saja. Di antara perkawinan yang dilarang adalah nikah

Tah}lil (Muh}allil) dan nikah Mut‘ah.

Nikah Tah}lil (Muh}allil) yaitu perkawinan antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan dengan niat atau janji akan bercerai sesudah

bercampur, supaya perempuan itu bisa kawin kembali dengan suaminya yang

telah mentalaknya tiga kali.40 Seperti ucapan wali perempuan kepada seorang

laki-laki, "Aku nikahkan anakku dengan kamu, dengan syarat (perjanjian) bila

kamu sudah bersetubuh dengannya, maka pernikahan ini secara otomatis

batal/bubar, atau kamu menjatuhkan talak kepadanya." Kemudian laki-laki

tersebut menerima pernikahan model tersebut dengan syarat yang telah

disebutkan.

Memang demikian bahwa dalam hukum pernikahan, wanita yang

sudah ditalak tiga tidak bisa rujuk kembali kecuali kalau sudah menikah

dengan orang lain. Artinya pernikahan yang kedua betul-betul niat

membangun rumah tangga, bukan niat agar halal atau orang itu menghalalkan

(muh}allil) dinikahi lagi oleh suami yang pertama (muh}allal lah).

Beberapa hadis yang membahas tentang hal ini di antaranya adalah

sebagai berikut:

40
A.Hasan, Soal Jawab Masalah Agama 1-2, (Bangil: ttp,1996)Hlm.411.
39

41
‫ﻟﻌﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ‬ ♦

‫ﻟﻌﻦ اﷲ‬, ‫هﻮ اﻟﻤﺤﻠﻞ‬: ‫ﻗﺎل‬. ‫أﻻ أﺧﺒﺮآﻢ ﺑﺎﻟﺘﻴﺲ اﻟﻤﺴﺘﻌﺎر؟ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬ ♦

42
‫اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ‬

Nikah semacam ini, menurut asy-Syafi‘i adalah suatu pernikahan yang

dikutuk oleh Rasulullah dan nikah ini tidak berbeda jauh dengan nikah

Mut‘ah.43 namun apabila dalam pelaksanaan akad nikah tidak disebutkan

perjanjian tersebut, maka nikah yang dilangsungkan tetap sah. Sehingga

dalam mazhab asy-Syafi‘i dikenal kaidah usul al-fiqh: 44

‫آﻞ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺻﺮح ﺑﻪ أﺑﻄﻞ ﻳﻜﺮﻩ إﺿﻤﺎرﻩ‬

Nikah Tah}lil menurut Hanafi adalah sah, bahkan laki-laki yang

menjadi muh}allil mendapatkan pahala dengan syarat dia berniat untuk

mendamaikan suami istri yang bercerai dan tercipta hubungan yang harmonis

di antara keduanya. Namun, jikalau hanya bertujuan untuk mengumbar hawa

nafsu maka hukumnya makruh, dan akad pernikahan yang dilangsungkan

41
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmiz\i, “Kitab an-Nikah”, hadis nomor 1039, “Bab Ma Ja’a fi al-
Muhallil wa al-Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ibn Mas‘ud. Dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
hadis nomor 1925, “Kitab an-Nikah”, “Bab al-Muhallil wa al-Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ‘Ali
ibn Abi Talib.
42
Ibn Majah, Sunan Ibn Majjah, Kitab an-Nikah, hadis nomor 1926, “Bab al-Muhallil wa al-
Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ‘Uqbah ibn ‘Amir.
43
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
44
Ibid, hal. 105.
40

tetap sah. Apalagi orang yang menjadikan muh}allil sebagai pekerjaan yang

menarik upah, maka hukumnya makruh tah}rim..45

Adapun pendapat Hambali, hukum nikah Tah}lil adalah haram dan

batal, berdasarkan hadis riwayat Ibn Majah di atas.46 Sedangkan menurut

Maliki, nikah Tah}lil adalah batal dan bahkan wajib cerai kalau sudah terlanjur

terjadi. Laki-laki yang menikahi janda dengan tujuan untuk menghalalkan

mantan suaminya dengan perjanjian yang ditentukan, baik disebutkan ketika

akad nikah maupun tidak, pernikahan yang dilangsungkan tetap tidak sah.

Akan tetapi, pada dasarnya nikah Tah}lil adalah batal.47

Silang pendapat ini disebabkan oleh silang pendapat mereka tentang

hadis ibnu majah tersebut diatas yaitu bagi fuqaha> yang mengesahkan,

memahami kata kutukan sebagai dosa besar semata. Sedangkan yang

menyatakan tidak sah memahami kutukan tersebut adalah batalnya akad

nikah karena dipersamakan dengan larangan yang menunjukkan batalnya

perbuatan yang dilarang.48 Ketika seorang suami mentalak istrinya tiga kali,

maka ia tidak boleh ruju‘ sebelum si wanita habis masa ‘iddah-nya setelah

45
Ibid.
46
Ibid., hlm. 108.
47
Ibid.
48
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al Muqtasid, (Surabaya : Hidayah, t.t.),
hlm.32..
41

menikah dengan laki-laki lain dan keduanya telah bersetubuh. Sehubungan

dengan hal ini Allah Swt berfirman:

‫ﻓﺈن ﻃﻠﻘﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺤﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻜﺢ زوﺟ ﺎ ﻏﻴ ﺮﻩ ﻓ ﺈن ﻃﻠﻘﻬ ﺎ ﻓ ﻼ ﺟﻨ ﺎح ﻋﻠﻴﻬﻤ ﺎ أن‬
49
‫ﻳﺘﺮاﺟﻌﺎ إن ﻇﻨﺎ أن ﻳﻘﻴﻤﺎ ﺣﺪود اﷲ‬

Oleh karena itu, menurut as-Sayyid S\abiq50 seorang perempuan tidak

halal ruju‘ dengan suami pertama, kecuali dengan syarat-syarat sebagai

berikut:

a. Pernikahan si perempuan dengan laki-laki yang kedua dilakukan

secara benar.

b. Hendaknya perkawinannya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh

(keinginan sungguh-sungguh dari kedua belah pihak).

c. Setelah akad nikah mereka berkumpul dengan sesungguhnya, sehingga

si suami merasakan "madu kecil"-nya dan si istri juga dapat merasakan

"madu kecil" suaminya.

5. Nikah Mut‘ah51

49
Al-Baqarah [2]: 230.
50
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 69.
51
Nikah Mut‘ah adalah suatu perkawinan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu
tertentu. Perkawinan akan berakhir secara otomatis pada waktu yang telah disepakati sebelumnya.
Perkawinan ini diizinkan menurut Syi’ah duabelas tetapi haram menurut golongan Sunni. (Cyril
Glase,Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-2(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1999),hlm.291.
42

Asal kata mut’ah adalah dari kata ‫ﺘﻤﺘﻊ‬, yang mempunyai arti bersenag-

senang.52 Dalam kamus al-‘Ashri disebutkan arti dari kata ‫ ﺍﺴﺘﻤﺘﻊ; ﺘﻤﺘﻊ‬adalah

mengambil manfaat/merasa lezat terhadap sesuatu.53

Nikah mut’ah disebut juga dengan istilah al zawa>j al-muaqqat, atau al-

zawa>j al-munqat}i’ yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan

yang dibatasi waktu.54sekalipun lamanya seribu tahun.

Adapun mengenai hukum dari nikah model ini, ulama sepakat atas

pengharamannya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah:

‫إن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ وﻋﻦ ﻟﺤﻮم اﻟﺤﻤﺮ اﻷهﻠﻴﺔ زﻣﻦ‬
55
‫ﺧﻴﺒﺮ‬

Meskipun pemberitaan dari Rasulullah SAW tentang larangan nikah

Mut‘ah merupakan pemberitahuan yang bersifat mutawa>tir, akan tetapi

masih diperselisihkan tentang waktu terjadi pengharamannya. Riwayat

pertama menyebutkan bahwa larangan tersebut terjadi pada saat perang

Khaibar. Ada pula yang menyebutnya pada tahun penaklukan kota Makkah

52
. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU
FIQH, cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II : 128.
53
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, hlm.572.
54
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), hlm.134.
55
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, “Kitab an-Nikah”, “Bab Naha Rasul Allah saw. an-Nikah
al-Mut‘ah ila yaumil qiyamah”, hadis no. 814, diriwayatkan oleh ‘Ali ibn Abi Talib.
43

(Yaum al-Fath}). Ada juga yang mengatakan pada waktu perang Tabuk. Selain

itu juga ada riwayat pada tahun haji wada>‘, atau ada yang meriwayatkan pada

waktu umrah qada>’, ada pula yang menyebutkan pada saat perang ’Autas.56

Mayoritas Sahabat dan ulama Fiqh mengharamkannya. Akan tetapi,

Ibnu ‘Abbas menghalalkannya dan pendapat ini sangat terkenal, bahkan

diikuti oleh para pengikutnya di Makkah dan Yaman.57 Mereka meriwayatkan

bahwa Ibnu ‘Abbas beralasan dengan firman Allah:

58
...‫ﻓﻤﺎاﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ ﻓﺂﺗﻮهﻦ أﺟﻮرهﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ‬...

Dalam salah satu qira’ah-nya ditambahkan:

59
...‫إﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ‬...

Dari Ibnu ‘Abbas juga diriwayatkan pula bahwa ia berkata: “Nikah

Mut‘ah tidak lain adalah rahmat dari Allah, sebagai kasih sayang bagi umat

Muhammad Saw. Seandainya ‘Umar tidak melarangnya, tentu tidak akan

terpaksa orang berbuat zina kecuali orang yang celaka saja”.60

56
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid.., II : 43.
57
Ibid.
58
An-Nisa’ [4]: 24.
59
Sehingga bacaannya menjadi:
...‫ﻓﻤﺎﺍﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ ﺇﱃ ﺃﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ ﻓﺂﺗﻮﻫﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ‬...

60
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid.., II : 44.
44

Muhammad ‘Ali as-Sabuni mengungkapkan bahwa nikah Mut‘ah

memang pernah diperbolehkan pada awal permulaan Islam, kemudian dihapus

dan ditetapkan keharamannya. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu

‘Abbas yang pernah membolehkannya, -ungkap ‘Ali as-Sabuni kembali- telah

dicabutnya sendiri, dan ralatnya inilah yang benar. Kemudian ada pula yang

meriwayatkan bahwa ia membolehkan nikah Mut‘ah karena dalam keadaan

darurat dan karena kesulitan dalam perjalanan.61

Adapun nikah mut’ah ini menurut seluruh imam mazhab apabila

terjadi hukumnya tetap batal dengan alasan:62

a. Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan

oleh al-Qur’an.

b. Banyak hadis-hadis yang dengan tegas menyebutkan keharamanya.

c. Sayyidina ‘Umar ketika menjadi Khalifah dengan berpidato diatas

mimbar mengharamkannya dan para sahabatpun menyetujuinya,

padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah,

andaikata mengharamkan kawin mut’ah itu salah.

d. Haramnya kawin mut’ah itu sudah Ijma’, kecuali oleh beberapa

golongan Syi’ah.

61
As-S{abuni, Tafsir Ayat Ah{kam, alih bahasa Hamidi dan A.Manan, cet. ke-4 (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2003), III:.393.
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 42-43.
45

e. Kawin mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk

mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya

merupakan maksud pokok dari perkawinan.

Dari sini dapat simpulkan bahwa nikah mut’ah itu pada awalnya

diperbolehkan, kemudian di-mansukh (direvisi) dalam perang Khaibar, lalu

diperbolehkan lagi dalam hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian di-

mansukh dalam hari-hari kemenangan kota Mekah, dan keharamannya terus

berlangsung hingga hari kiamat.63

B. Cerai/Talak

Sebelum datangnya Islam perceraian di dalam kalangan bangsa Arab kuno

adalah hal yang mudah dan kerap kali terjadi. Dikabarkan bahwa orang-orang jahiliah

suka mentalak istrinya kemudian rujuk lalu mentalaknya lagi dengan sesuka hati

hanya untuk mempermainkan isteri-isteri mereka.64

Islam memberi batasan-batasan di dalam hal talak agar tidak untuk dipermainkan

karena pernikahan di dalam islam adalah ikatan suci lagi kokoh sebagai mana

disebutkan didalam al-Qur’an sebagai mi>sa>qan ga>li>zan.

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fat-h}ul Mu’i>n II, alih bahasa oleh Moch.
63

Anwar dkk, cet. ke-2 (Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003), hlm. 1185.
64
As-S{abuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum, alih bahasa Hamidi dan A. Manan, cet. ke-4
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), I : 262.
46

Talak dalam keadaan biasa merupakan hal yang dibenarkan Allah Swt, akan

tetapi sekaligus merupakan perbuatan yang sangat dibenci.65 Dalam memberikan

pandangan yang adil dan seimbang, perlu juga ditegaskan bahwa Rasulullah telah

memperlihatkan rasa benci beliau terhadap hal ini. Ungkapan ini beliau nyatakan

dalam kata-kata yang jelas, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis Rasulullah

SAW yang menyatakan:

66
‫أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ اﷲ اﻟﻄﻼق‬

Perlu diingat bahwa hubungan suami istri kadang-kadang karena ada suatu

sebab dapat menimbulkan hal yang buruk dan tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu,

Allah Swt mensyariatkan talak untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah

pihak yang tidak dapat hidup rukun dan damai lagi dalam sebuah rumah tangga,

untuk memutuskan dan memisahkan ikatan perkawinan, akan tetapi dalam melakukan

talak tetap ada batasan-batasan atau aturan tertentu sebagaimana firman Allah:

67
‫اﻟﻄﻼق ﻣﺮﺗﺎن ﻓﺈﻣﺴﺎك ﺑﻤﻌﺮوف أو ﺗﺴﺮﻳﺢ ﺑﺈﺣﺴﺎن‬

65
Musthafa Kamal Pasha dkk, Fikih Islam, cet. ke-1 (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002),
hlm. 272.
66
Ab’ Daud, Sunan Abu Daud, kitab at thalaq bab "fi karahati at thalaq" hadis nomor : 1863
diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra
67
Al-Baqarah [2]: 229.
47

1. Pengertian Cerai/Talak

Secara bahasa kata talaq berasal dari kata ‫ ﺍﻹﻁﻼﻕ‬yang berarti

melepaskan atau meninggalkan,68 dapat pula berarti ‫( ﺤل ﺍﻟﻘﻴﺩ‬melepaskan

ikatan).69

Sedangkan menurut istilah syar‘i berarti melepaskan ikatan (akad)

perkawinan dengan lafaz yang akan disebut kemudian70 seperti talak atau

semacamnya. Soemiyati menyebutkan bahwa perkataan talak mempunyai dua

arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti yang umum

adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang

ditetapkan oleh hakim, maupun jatuh dengan sendirinya atau putusnya

perkawinan karena meninggal. Adapun dalam arti khusus adalah perceraian

yang dijatuhkan oleh pihak suami.71

Mengenai syarat bagi orang yang menceraikan menurut Muhammad

Jawad Mughniyah adalah telah dewasa (balig), berakal sehat, atas kehendak

sendiri bukan karena terpaksa atau dipaksa oleh orang lain, sedangkan

68
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 241.
69
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fat-hul Mu’in, alih bahasa oleh Moch.
Anwar dkk, cet. ke-2 (Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003), II : 1347.
70
Ibid.
71
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), hlm. 103-104.
48

menurut sebagian ulama mensyaratkan harus betul-betul bermaksud

menjatuhkan talak.72

2. Macam-macam dan Hukum Talak

Talak dibagi menjadi tiga macam sisi, yaitu:

a. Talak ditinjau dari segi jumlah dan kebolehan kembali pada mantan

istri. Terbagi menjadi: tala>q raj‘i73 dan tala>q ba’in. 74

b. Talak dilihat dari sisi jelas tidaknya ucapan talak. Terbagi menjadi:

s}arih75 dan kina>yah. 76

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur AB dkk. (Jakarta
72

: LENTERA BASRITAMA, 2002) hlm. 441-442.


73
Talaq raj‘i adalah talak di mana suami boleh merujuk istrinya pada waktu ‘iddah.
Merupakan talak satu atau dua yang tidak disertai uang tebusan (‘iwad}) dari pihak istri, lihat
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun
1974, tentang Perkawinan), hlm. 108.
74
Talaq ba>’in adalah talak yang tidak memberikan hak ruju‘ (kembali) dari mantan suami
terhadap mantan istri lantaran masa ‘iddah telah habis, talak macam ini terbagi menjadi dua, pertama,
talaq ba’in sughra yaitu talak yang tidak dapat diruju‘ kembali kecuali dengan melangsungkan akad
nikah yang baru, seperti talak dengan tebusan atau talak dengan istri yang belum digauli. Kedua, tala>q
ba>’in kubra yaitu talak tiga. Talak ini tidak dapat diruju‘ kecuali bekas istrinya sudah kawin lebih
dahulu dengan laki-laki lain, dan perkawinan tersebut telah berjalan dengan baik, artinya suami telah
menggaulinya sebagaimana layaknya orang bersuami istri, kemudian bercerai dan telah habis masa
‘iddah-nya. [Dalam Musthafa Kamal Pasha dkk., Fikih Islam, hlm. 288].
75
Talaq s}arih yaitu suatu lafaz yang maknanya jelas tidak mengandung pengertian lain
kecuali talak, seperti memakai kata yang berakar dari kata talak.Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari
al-Fannani, Fath}ul Mu’in II, alih bahasa oleh Moch. Anwar dkk, cet. Ke-2 (Bandung: Sinar Baru
Algesindo Ofset, 2003), hlm. 1356.

76
Tala>q kina>yah yaitu talak dengan menggunakan kata sindiran atau kata-kata yang dapat
bermakna talak dan yang lainnya. Seperti kata: Kamu terpisah (‫)ﺒﺎﺌﻥ ﺃﻨﺕ‬. Kata ini dapat berarti berpisah
dari suami dan dapat diartikan terpisah (terhindar) dari kejahatan.
49

c. Talak dilihat dari sisi keadaan istri, haid atau suci dan sudah tua atau
77
masih kecil. Terbagi menjadi: sunni, bid‘i78 dan bukan sunni

maupun bid’i. 79

Mengenai hukum talak, para ahli hukum Islam berbeda pendapat. Hal

ini mengingat nas hukum yang berkenaan dengannya masih bersifat samar,

yakni harus dikaitkan dengan kondisi atau sebab-sebab terjadinya talak

tersebut. Nas yang berkaitan dengan hukum talak ini adalah hadis: "Perbuatan

halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Menurut hadis ini jelas bahwa

talak itu halal namun wujud kehalalannya disertai dengan sesuatu yang tidak

disukai (makruh). 80

Akan tetapi pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten

dengan tujuan syariat adalah pendapat yang menyatakan bahwa perceraian

hukumnya terlarang, kecuali dengan alasan yang benar.81 Meskipun demikian,

77
Talalq Sunni yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang
mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh
kembali selama bersih itu, ibid., hlm 42.

78
Talaq bid‘i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan
sekali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat. Ibid. hlm. 44.

79
Talak bukan Sunni dan bukan bid‘i yaitu: talak yang dilakukan terhadap istri yang belum
pernah dikumpuli, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah berhaid, atau istri yang telah
lepas haidh, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jiliod II, cet. ke-2, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984/1985), hlm. 228.

80
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut al-Qur’an dan
as-Sunnah, hlm. 257.
81
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, hlm. 317.
50

Islam dalam memperbolehkan perceraian kalau rumah tangga yang didirikan

sulit dirajut kembali, dalam menjatuhkan talak mempunyai muatan hukum

dan alasan yang berbeda-beda. Sehingga ulama pun membagi hukum talak ini

menjadi:

a. Wajib

Talak menjadi wajib, jika pihak h}aka>m (juru damai yang terdiri dari

dua orang penengah, satu dari pihak suami dan satu dari pihak istri) tidak

berhasil menyelesaikan pertikaian dan perselisihan antara suami dan istri,

tidak dapat diperbaiki kembali hubungan keduanya, setelah h}aka>m

berupaya mengungkapkan sebab-sebab terjadinya perselisihan dan

mengupayakan jalan keluarnya agar menghasilkan satu keputusan yang

adil. Sehingga h}aka>m berkeyakinan bahwa talak merupakan satu-satunya

jalan yang dapat menyelesaikan perpecahan tersebut.82

b. Sunnah

Talak dianggap sunnah apabila disebabkan oleh karena istri

mengabaikan terhadap kewajiban kepada Allah Swt, seperti salat, puasa

dan sebagainya, sementara suami tidak mampu memaksa istri untuk

menjalankan kewajiban tersebut, atau istri kurang rasa malunya

(mempunyai tabiat buruk, yaitu tidak mempan dinasihati).83

82
Ibid., hlm. 318.
83
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan.., hlm. 263.
51

c. Mubah

Perceraian diperbolehkan (mubah) tatkala hubungan rumah tangga

antara suami dan istri cenderung tertutup, pergaulan sehari-hari kurang

harmonis, ada ketidakcocokan dan lain sebagainya. Maka suasana rumah

tangga semacam ini dibolehkan terjadi perceraian.84

d. Haram

Talak diharamkan, yaitu talak yang dilakukan dengan tanpa alasan

yang benar. Sebab dianggap haram karena pada dasarnya talak itu

merugikan bagi suami dan istri, serta tidak adanya kemaslahatan yang

akan dicapai di balik talak tersebut. Jadi, haramnya talak sebagaimana

haramnya merusak harta benda.85

e. Makruh

Mohammad Asmawi mengatakan bahwa sebuah rumah tangga

yang berjalan normal seperti biasanya dan tidak terjadi pertengkaran atau

perselisihan yang dianggap dapat meretakkan keharmonisan hubungan

suami istri, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam ini hukumnya

makruh menurut asy-Syafi‘i dan Hanbali. Sedangkan pendapat Hanafi

84
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, hlm. 233.
85
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 243
52

adalah haram hukumnya, karena dapat menimbulkan kesengsaraan

terhadap istri dan anak-anaknya.86

86
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, hlm. 233.
53

BAB III

BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH

A. Biografi dan Karya Ibnu Taimiyah

1. Biografi Ibnu Taimiyah

Kalau Imam al-Gazali hidup dimasa kemunduran Islam, maka Ibnu Taimiyah

hidup dimana dunia Islam berada dipuncak disintegrasi politik, budaya dan peradaban

bahkan menjadi puing-puing yang berserakan.1 Dengan hancurnya Baghdad pada 10

februari 1258 M2 di bawah pimpinan Hulagu Khan.3 Beratnya cobaan inilah yang

akhirnya membuat Ibnu Taimiyah menjadi seorang pejuang sekaligus ilmuan yang

handal.

Ibnu Taimiyah, dialah yang memiliki nama panjang Taqiyuddin Abu Abbas

Ahmad bin Abdul Halim bin Imam Majdudin Abu Al-Barakat Abdussalam bin Abu

Muhammad bin Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khadr bin Ali bin

1
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 136.
2
Lima tahun sebelum lahirnya Ibnu Taimiyah.
3
Harun Nasution, ISLAM di tinjau dari berbagai aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1985), I, hlm. 76.
54

Abdullah bin Taimiyah Al-Harani, lahir di Haran pada hari senin tanggal 10 Rabiul

Awwal tahun 661 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 Masehi.4

Menurut H.A.R. Gibb, seorang orientalis yang banyak membahas keislaman,

ketika Haran diserang oleh pasukan Mongol pada pertengahan tahun 667 H/ 1270 M,

keluarga besar Taimiyah, termasuk kedua orang tuanya dan tiga saudaranya, hijrah ke

Damaskus dan kemudian menetap di ibu kota Suriah itu. Ketika itu Ibnu Taimiyah

masih berumur sekitar 6 tahun.5 Keluarga Ibnu Taimiyah bermigrasi ke Damaskus

dengan membawa kitab-kitab yang berharga untuk menghindarkan diri dari

kekejaman mongol. 6

Beliau berasal dari keluarga yang terhormat dan terpelajar, Ayahnya

Syihabuddin Abdul Halim bin Abdus Salam(627-682) adalah seorang ulama besar

yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Jami Damascus. Ia bertindak sebagai

khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai mualim (guru) dalam mata pelajaran

tafsir dan hadis. Jabatan lain yang diembannya ialah direktur Madrasah Dar al-Hadis

as- Sukariyyah, salah satu lembaga pendidikan Mazhab Hanbali yang tergolong

sangat maju dan bermutu pada waktu itu.7

4
Ibnu Taimiyah, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, cet. ke-1 (Malang: Pustaka
Zamzami, 2004), hlm.3.
5
Editor, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), jilid II, hlm. 624.
6
Mubarok Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. ke-2 ( Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm.169.
7
Ibid.
55

Majduddin Ibnu Taimiyah (Wafat 652 H/1254 M), adalah kakek dari Ibnu

Taimiyah yang juga mempunyai pengaruh besar pada saat itu. Kenyataan bahwa

karya utama Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani (1172 -1250 H/ 1759 -1839 M)8, yang

berjudul Nailul-Awthar yang terdiri dari dua belas jilid adalah sebuah komentar atas

kitab hukum karya kakek Ibnu Taimiyah, lebih lanjut Asy Syaukani menyatakan

dengan jelas dalam pengantarnya bahwa kitab karangan Majduddin Ibnu Taimiyah

tersebut dijadikan pegangan secara luas oleh para ulama.9

Ketika masih kanak-kanak Ibnu Taimiyah memulai pendidikannya dengan

belajar langsung pada ayahnya di Madrasah Dar al-Hadis as- Sukariyyah,10selain itu

ia juga belajar kepada sejumlah ulama terkemuka diantaranya Syeikh Syams al Din

Abu Qadamah, Syeikh Zain al Din bin al Najjar, al Majd bin Asakir dll. Mulai dari

mempelajari Al-Qur’an, hadis, bahasa arab, ilmu Qur’an, ilmu hadis, fiqh dan ushul

fiqh, sejarah , ilmu kalam, mantik, filsafat, tasawuf, ilmu jiwa, sastra dan bebagai

bidang ilmu lainnya.11 Ini memperlihatkan bahwa ia sangat tertarik kepada ilmu

pengetahuan dan ingin mengetahui sebanyak-banyaknya tentang ilmu pengetahuan.

Maka tidak salah apabila ia telah hafal Al-Qur’an bahkan memahaminya secara

8
Seorang ulama Zaydi dari Shan’a yang mendakwakan diri dan diakui sebagai pemimpin
Ahli Sunnah yang besar. {Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, cet- ke. 3
(Bandung: PUSTAKA, 1997), hlm. 287.}
9
Ibid.
10
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001), II :. 624.
11
Ibid.
56

mendalam12 ketika masih berumur 7 tahun karena ketekunan dan kelebihan

kecerdasan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Adapun kitab hadis yang

pertama kali dihapalnya adalah Al-Jami’ bain as-Sahihain karya Imam Al Hamidi.13

Lingkungan telah membentuk kepribadian Ibnu Taimiyah dengan


14
mempelajari ilmu-ilmu yang hidup dan berkembang pada zamannya. Perhatiannya

pada bidang hadis sangat besar sehingga beliau amat menguasai ilmu rijalul hadits

(perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau

pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau

shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-

Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki

kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan

kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu

'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat

buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang

syari'ah.15

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah tahun 728 H di dalam penjara Qal`ah

Dimasyq (Damaskus) disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim. Beliau

12
Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa oleh
Husein Muhammad, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 237.
13
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam.., II : 624.
14
Mubarok Jaih, Sejarah dan Perkembangan.., hlm.170.
15
“Kategori cendikiawan muslim”, : http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taymiyyah, akses 7
Oktober 2007.
57

berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur

dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk dan dikuburkan

pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam

Syarafuddin.16 Yaitu dipemakaman kaum sufi,17

1. Karya-karya Ibnu Taimiyah

Di kalangan peneliti tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai jumlah karya

Ibnu Taimiyah, namun diperkirakan kurang lebih 300 sampai 500 buah dalam ukuran

besar kecil atau tebal tipis18 dan dari berbagai bidang keilmuan. Di antara karya-

karyanya antara lain:

1). Bidang Tafsir:

a. Tafsir Surat al Maidah, satu jilid; Tafsir Surat Yusuf, satu jilid; Tafsir

Surat al Qolam, satu jilid; Tafsir Surat an Nur, Tafsir Mu’awizatain

b. Al Tibyan Fi> Nuzu>l Al Qur’a>n

2). . Bidang Aqidah

c. Risa>lah Hamawiyyah Kubra>, merupakan jawaban dari orang-orang

Hammah yang menanyakan tentang sifat-sifat Allah

16
Ibid.
17
Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. hlm .240
18
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam.., II : 626
58

d. Syarah Aqi>dah al As}fa>ni

e. Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi> Naqd Kalam al-Syi‘ah Wa al-

Qadariyyah, ditulis sebagi bantahan terhadap kitab Minha>j al-

Karo>mah Fi> Ma‘rifah Al Ima>mah karya Jamal Al Din Al Muttahar Al

Hilli, seorang pemimpin Isna Asy‘ariyah

f. Al Nubuwwah merupakan pembahasan yang sangat kritis dan filosofis

mengenai kenabian, keajaiban dan hal-hal yang bersifat rahasia dari

nabi

g. Kitab Bugya>h al-Murta>d (Kezaliman orang murtad).

3). Bidang Usul Figh

h. Qaidah Fi Taqrir al-Qiya>s

i. Qaidah Fi Kaifiyah Al Isytirak ‘Ala> al-Ah}kam Fi> an-Nas Wal Ijma

j. Qaidah Fi al-Ijtihad Wa Al Taqlid Fi al-Ah}ka>m

k. Raf‘al Malam ‘An al-Aimmah al-A‘la>m

l. Ma‘a>rij Al Wus}u>l (Tangga-tangga pencapai lurus).

4). Bidang Fiqh

m. Al Sari>m al-Mas}lul ‘Ala> Sya>tim al-Rasul, buku ini ditulis di

Damaskus tahun 693 H. Berkaitan dengan putusan terhadap ‘Assaf Al

Nasrani yang menghina rasul


59

n. Syarh Al ‘Umdah Limuna>fiq al-Di>n, terdiri dari 4 jilid

o. Al Fata>wa> Al Kubra> terdiri dari 5 jilid

5). Kitab-kitab yang ditulis untuk menentang falsafah Aristoteles

p. Bayan al-Muwa>faqa>t S}arih} al-Ma‘qu>l li S}ah}ih} Al Manqu>l

q. Naqd Al Mantiq

r. Kitab Al ‘Aql Wa Naql

s. Kitab al-Ra>dd ‘ala al-Manti>qiyyi>n adalah kitab yang memuat tentang

kritiknya terhadap kerangka pikir logika/filsafat.19

Kebesaran Ibn Taimiyah tercermin dengan terbitnya kitab Majmu>‘ al Fata>wa>

Sheikh al Isla>m Ahmad Ibn Taimiyah yang dihimpun oleh ‘Abd al Rahman Bin

Muhammad Ibn Qasim bersama putranya Muhammad Ibn ‘Abd al Rahman. Kitab

tersebut kemudian diterbitkan pertama kali atas perintah putra mahkota Fahd ‘Abd al

Azis al Su’ud, tahun 1398 H yang terdiri dari 30 jilid.20

B. Guru Dan Murid Ibnu Taimiyah

Sebagaimana telah disinggung di atas, Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga

berpendidikan. Kakek dan ayahnya adalah pecinta ilmu. Kakeknya seorang Faqih

19
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm 138.
20
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 33-34
60

aliran Hanbali ; dan ayahnyalah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama ( seperti tafsir

dan hadis ) dan eksak ( seperti aljabar dan kimia ). Di antara guru-guru Ibnu

Taimiyah, selain dari kalangan keluarganya, adalah sebagai berikut : 21

a. Ibn ‘Abd al-Qawi ( 603-699 H ). Nama lengkapnya Muhammad ibn ‘Abd

al-Qawi ibn Badran ibn ‘Abd Allah al-Maqdisi; julukannya ( laqab )

Syams al-Din; dan nama panggilannya adalah ( kuniah ) Abu ‘Abd Allah.

Ia ahli dalam bidang hadis, fiqih, dan bahasa Arab. Di antara kitab yang

disusunnya adalah Kitab al-Furu>q.

b. Ibn ‘Abd al-Da’im ( 577-678 H. ). Nama lengkapnya Ahmad ibn ‘Abd al-

Da’im ibn Ni’mah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Ahmad

ibn Bakr al-Maqdisi. Ibnu Taimiyah berguru hadis padanya. Di antara

ulama yang meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abd al-Da’im adalah al-Syaikh

Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibn Daqiq al-Id.

c. Al-Munaja’ ibn Utsman al-Tanukhi ( 611-195 ). Ia seorang faqih

terkemuka di Syam ( Suriah ) pada zamannya. Di samping itu, ia dikenal

sebagai ulama yang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa Arab. Di samping

mengajar, kegiatan at-Tanukhi adalah menulis. Di antara tulisannya

adalah Syarh al-Mugni ( empat jilid ), Tafsir al-Qur’an, dan Ikhtisa>r al-

Mas}u>l. Ibnu Taimiyah belajar fiqh padanya.

d. Ibnu Qudamah ( 597 – 682 H.), nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahman

ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Ia pemimpin


21
Mubarok Jaih, Sejarah dan Perkembangan.., hlm.171-172
61

mazhab dan ilmuwan yang cemerlang pada zamannya. ( Juhaya S.Pradja,

1988 : 37 )

Dari gambaran di atas, dapatlah dikatakan bahwa selain karena kepandaian,

kecerdasan dan ketekunan, kealiman Ibnu Taimiyah terdukung oleh situasi

lingkungannya, sehingga ia menjadi ulama yang giat mengajarkan ilmu-ilmunya.

Sebagai ‘alim yang cerdas, Ibnu Taimiyah banyak mencurahkan perhatiannya

untuk pengembangan ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil karya-karya

yang dihasilkan dan murid muridnya. Di antara di bawah ini adalah beberapa dari

muri-murid Ibnu Taimiyah :22

a. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w.751 H.). Nama lengkapnya adalah

Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn Sa’ad ibn Harits al-Zar’i al-

Dimasqi Abu ‘Abd Allah; Julukannya Syams al-Din. Ia lebih dikenal

dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Karyanya tidak kurang dari 14

judul. Di antara kitabnya yang banyak dijadikan rujukan adalah I’lam al-

Nawaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Kaidah fiqih yang dibangunnya hingga

sekarang ini masih dijadikan rujukan, yaitu kaidah “taqayyur al-fatwa bi

hasab taqayyur al-Azminah wa al-amwal wa al-niyyat wa al-awa’id.”

(Ibnu Qayyim al-jauziyyah, III, t.th : 4 ).

b. Al-Dzahabi ( 701-748 H ). Nama lengkapnya adalah Syams al-Din Abi

‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman ibn Qaimaz al-Turkumani

22
Ibid. hlm.172-173.
62

al-Dzahabi. Di antara kitabnya yang terkenal adalah al-Tafsir wa al-

Mufassirun dan al-Hadits wa al-Muhadditsun.

c. Ibnu Katsir ( 701- 774 ). Nama lengkap beliau adalah ‘Imam al-Din

Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir. Di antara karyanya yang terkenal adalah

Tafsir Ibnu Katsir.

d. Al-Thufi ( lahir 670-an ). Nana lengkapnya adalah Sulaiman ibn ‘Abd al-

Qawiy ibn Sa’id al-Thufi. Ia adalah seorang penganut Syi’ah yang

bermazhab hanbali. ( Juhaya S.Pradja, 1988: 37 ).

C. Majmu>’ Fata>wa>

1. Gambaran Umum

Seperti yang sudah dijelaskan pada pembehasan karya-karya Ibnu Taimiyah,

kitab Majmu>’ Fata>wa> merupakan himpunan sebagian tulisan Ibnu Taimiyah tentang

fatwa-fatwanya, berkat kerja keras Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dan

putranya (pengarang dari mesir).

Majmu>’ Fata>wa> adalah salah satu karya besar dari Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah, dimana dalam kitab ini beliau menulis kumpulan fatwa-fatwanya yang

berisi kajian masalah fiqh. Kitab Majmu’ Fatawa ini berusaha menguraikan

problematika yang dihadapi masyarakat yang mendapat tanggapan serta ijtihad pada
63

waktu itu, kitab ini lebih lengkap dari kitab-kitab yang lain dalam masalah fiqh dan

merupakan karya terbesar yang keluar dari Ibnu Taimiyah.

Menurut pengamatan penulis, jika dilihat dari cara ijtihad yang dilakukan

Ibnu Taimiyah dengan Ahmad bin Hanbal, terdapat perbedaan yang akan dibahas

pada bagian metode ijtidad Ibnu Taimiyah, namun yang perlu digaris bawahi dalam

hal ini adalah pada hasilnya. Dengan metode yang berbeda tentunya akan melahirkan

hasil yang berbeda pula, tetapi dalam hal ini tetap pada arah dan pemahaman yang

sama dan hal ini didapatkan dari Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>nya.

2. Sistematika Pembahasan

Kitab Majmu>’ Fata>wa> karangan Taimiyah ini, cara pembahasannya tidak

berbeda jauh dengan kitab-kitab fiqh yang lain. Dalam kitab ini, pembahasan di

dalamnya dilakukan tiap bab sehingga memudahkan pembaca untuk mengkajinya.

Pembahasannya dilakukan dengan mengkaji Nas yang berhubungan lalu memberikan

pendapat ulama sebelumnya atau langsung memberikan fatwanya seputar masalah

yang dibahas.

Fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Taimyah selain di dasarkan pada nas dan

pendapat ijma’ sebelumnya juga diberikan contoh sehingga para pembaca akan lebih

mendalam dalam memahaminya. Adapun urutan pembahasan pada Majmu>’ Fata>wa>

sebagai berikut :

No. Sub Bab Judul No Sub Bab Judul


.
1 Bab I ‫ آﺘﺎب ﺗﻮ ﺣﻴﺪ ا ﻟﺮ ﺑﻮ ﺑﻴﺔ‬20 Bab XX ‫آﺘﺎب آﺘﺎب اْﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ‬
‫اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ ﻧﻲ اﻟﺘﻤﺬ هﺐ‬
‫‪64‬‬

‫‪2‬‬ ‫‪Bab II‬‬ ‫‪ 21‬آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰ ءاﻟﺮاﺑﻊ‬ ‫‪Bab XXI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻻول‬
‫اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة ا ْﻻْءﺧﻼ ص‬ ‫اﻟﻄﻬﺎ رة‬
‫و اﻟﻤﻌﻮذﺗﻴﻦ‬
‫‪3‬‬ ‫‪Bab III‬‬ ‫‪ 22‬آﺘﺎب ﻣﺠﻤﻞ اﻋﺘﻘﺎد اﻟﺸﻠﻒ‬ ‫‪Bab XXII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ‬
‫ﻧﻲ اﻟﺼﻼ ة‬
‫‪4‬‬ ‫‪Bab IV‬‬ ‫‪ 23‬آﺘﺎب ﻣﻔﺼﻼاﻻءﻋﺘﻘﺎ د‬ ‫‪Bab XXIII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ‬
‫اث ﻣﻦ ﺳﺠﻮداﻟﺴﻬﻮ‬
‫اﻟﻲ ﺻﻼ ة اْهﻞ اﻻﻋﺬار‬
‫‪5‬‬ ‫‪Bab V‬‬ ‫‪ 24‬آﺘﺎب ا ْﻻ ﺳﻤﺎ ْ واﻟﺼﻔﺎت‬ ‫‪Bab XXIV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺮا‬
‫ﺑﻊ ﻣﻦ ﺻﻼة اْهﻞ‬
‫اﻻﻋﺬار اﻟﻲ اﻟﺰآﺎة‬
‫‪6‬‬ ‫‪Bab VI‬‬ ‫‪ 25‬آﺘﺎب ا ْﻻ ﺳﻤﺎ ْ واﻟﺼﻔﺎ ت‬ ‫‪Bab XXV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺨﺎ‬
‫ﻣﺲ اﻟﺰآﺎة و اﻟﺼﻮم‬
‫‪7‬‬ ‫‪Bab VII‬‬ ‫‪ 26‬آﺘﺎب ا ْﻻ ﻳﻤﺎ ن‬ ‫‪Bab XXVI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰءاﻟﺴﺎ د‬
‫س اﻟﺤﺞ‬
‫‪8‬‬ ‫‪Bab VIII‬‬ ‫‪ 27‬آﺘﺎب اﻟﻘﺪر‬ ‫‪Bab XXVII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰءاﻟﺴﺎ‬
‫ﺑﻊ اﻟﺰﻳﺎرة وﺷﻞ اﻟﺮﺣﺎل‬
‫اء ﻟﻴﻬﺎ‬
‫‪9‬‬ ‫‪Bab IX‬‬ ‫‪ 28‬آﺘﺎب اﻟﻤﻨﻄﻖ‬ ‫‪Bab XXVIII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ‬
‫ﻣﻦ اﻟﺠﻬﺎ د‬
‫‪10‬‬ ‫‪Bab X‬‬ ‫‪ 29‬آﺘﺎب ﻋﻠﻢ ا ﻟﺸﻠﻮك‬ ‫‪Bab XXIX‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء ﻟﺘﺎﺳﻊ‬
‫اﻟﺒﻴﻊ‬
‫‪11‬‬ ‫‪Bab XI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺘﺼﻮف‬ ‫‪30‬‬ ‫‪Bab XXX‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺼﻠﺢ اﻟﻲ اﻟﻮﻗﻒ‬
‫‪12‬‬ ‫‪Bab XII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻘﺮان آﻼ م اﷲ ﺣﻘﻴﻘﺔ‬ ‫‪31‬‬ ‫‪Bab XXXI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻮﻗﻒ اﻟﻲ اﻟﻨﻜﺢ‬
‫‪13‬‬ ‫‪Bab XIII‬‬ ‫آﺘﺎب ﻣﻘﺪﻣﺔ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ‬ ‫‪32‬‬ ‫‪Bab XXXII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻨﻜﺎح‬
‫‪14‬‬ ‫‪Bab XIV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻣﺠﺰا ﻻْور‬ ‫‪33‬‬ ‫‪Bab XXXIII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻄّﻼ ق‬
‫ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻟﻔﺎ ﺗﺤﺔ اء ﻟﻲ‬
‫ﺳﻮرة اﻻْﻋﺮاف‬
‫‪15‬‬ ‫‪Bab XV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰاﻟﺸﺎ ﻧﻲ‬ ‫‪34‬‬ ‫‪Bab XXXIV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻄﻬﺎر اﻟﻲ ﻗﺘﺎ ل ْا‬
‫ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻟﺰﻣﺮ‬ ‫هﻞ اﻟﺒﻐﻲ‬
‫‪16‬‬ ‫‪Bab XVI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠ ْﺰ اﻟﺜﺎﻟﺖ‬ ‫‪35‬‬ ‫‪Bab XXXV‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻄﻬﺎر اﻟﻲ ﻗﺘﺎ ل ْا‬
‫ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻻﺧﻼ ص‬ ‫هﻞ اﻟﺒﻐﻲ اﻻﻓﺘﺮاز‬
‫‪17‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰ ءاﻟﺮاﺑﻊ ‪Bab XVII‬‬ ‫‪36‬‬ ‫‪Bab XXXVI‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻤﺠﺪّل ا ْﻻوّل‬
‫اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة اﻻﺧﻼ ص و‬
‫اﻣﻌﻮ ذ ﺗﻴﻦ‬
‫‪18‬‬ ‫‪Bab XVIII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﺤﺪ ﻳﺚ‬ ‫‪37‬‬ ‫‪Bab XXXVII‬‬ ‫آﺘﺎب اﻟﻤﺠﺪّل اﻟﺜﺎ ﻧﻲ‬
‫‪19‬‬ ‫‪Bab XIX‬‬ ‫آﺘﺎب اْﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء‬
‫اﻻول اﻻﺗﺒﺎع‬
65

Dalam pembahasan ini, penyusun menfokuskan pada bab nikah. Pada bab ini

Ibnu Taimiyah memaparkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah

pernikahan, sistem pembahasannya tidak jauh berbeda dengan bab-bab sebelumnya.

Adapun yang dibahas dalam bab nikah yaitu :

No. Judul Sub Bab


1 Rukun Nikah dan Syaratnya
2 Wanita Yang Tidak Boleh Dinikah
3 Syarat Nikah
4 Cacat di Dalam Pernikahan
5 Nikahnya Orang Kafir
6 Mahar
7 Walimatul ‘Urus
8 Keluarga
9 Menggilir Para Isteri
10 Nusyuz (Pertentangan Isteri terhadap Suami)
11 Khulu’ (Perceraian Atas Permintaan Isteri
Dengan Ganti Rugi Dari Pihak Isteri)

Masalah “niat”, di dalam pembahasan kitab Majmu>’ Fata>wa> ini ditulis dengan

pasal tersendiri, yakni Pasal Tentang Kedudukan “niat” dalam Pernikahan, yang

termasuk pembahasan sub bab Wanita Yang Tidak Boleh dinikahi, bab Nikah pada

kitab Majmu>’ Fata>wa> karya Ibnu Taimiyah.

Pada awal pembahasannya, beliau mengungkapkan pendapat dan yang

mendasarinya kemudian diberikan penjelasan dan contoh-contohnya. Pembahasan

setelah itu yakni dengan menghubungkannya dengan nikah mut’ah dan nikah tahlil.
66

D. Metode Istinbat} Hukumnya

Ibnu Taimiyah adalah seorang tokoh besar mazhab Hambali,23 walaupun

demikian menurut penyelidikan para sarjana ushul fiqh terdapat perbedaan antara

metode istinbat imam Ahmad dengan Ibnu Taimiyah, adapun untuk mengetahui

perbedaan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

`Imam Ahmad dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan

kepada dasar-dasar berikut:24

a. Nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber (dalil) hukum yang pertama

dan utama. Ia tidak membedakan antara derajat al-Qur’an dan Hadis. 25

b. Fatwa sahabat, yaitu apabila beliau tidak memperoleh nas dan beliau

mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang

menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini. Tetapi beliau

tidak mau menyebut fatwa sahabat sebagai Ijma’.

23
Ibid. hlm. 238.
24
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet. ke-3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 230.
25
Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensikloped.Hukum Islam.., II : 625.
67

c. Fatwa sebagian sahabat, yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam

suatu masalah, maka beliau memilih mana yang lebih dekat kepada al-

Qur’an dan Sunnah.

d. Hadis Mursal dan Hadis daif, Hadis Mursal dan Hadis daif akan tetap

dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat

seorang sahabat.

e. Qiya>s, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh

ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada point 1-

4 diatas. Dengan kata lain qiyas baru dipakai apabila dalam keadaan

terpaksa.

Ibnu Taimiyah pun menempatkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber

hukum utama dan pertama tetapi posisi sunnah diletakkan pada urutan kedua yaitu

setelah al-Qur’an. adapun sumber hukum ketiga bagi Ibnu Taimiyah adalah Ijma’

sedangkan Imam Ahmad menempatkan pendapat sebagian sahabat pada urutan

ketiga.

Perbedaan selanjutnya adalah sumber hukum yang ke empat, Ibnu Taimiyah

Menggunakan qiyas,26 sedangkan imam Ahmad meletakkan Hadis mursal dan daif

26
Dalam penggunaan qiyas ini Ibnu Taimiyah membaginya kepada dua macam yaitu qiyas
shahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan qiyas fasid (analogi yang
didasarkan pada ‘illat yang dibuat-buat) dan menurut beliau hanya qiyas sahih yang dapat dijadikan
pisau analogi hukum. Lihat Muh. Zuhri, Hukum Islam., hlm. 141.
68

pada urutan keempat dan baru pada urutan kelima Imam Ahmad menggunakan

qiyas.27

27
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi.., hlm. 626.
69

BAB IV

ANALISIS

A. Niat

Dalam pembahasan tentang menikah dengan niat cerai ini, perlu sedikit

dijelaskan masalah niat. Karena hal ini terkait erat dengan permasalahan tersebut.

1. Pengertian Niat
1
Kata niat (‫ )ﻨﻴﺔ‬berasal dari kata ‫ ﻴﻨﻭﻱ – ﻨﻭﻯ‬- ‫ﺔ ﻨﻴﺔ ﻭ ﻨﻭﺍﺓ‬‫ﻭﻨﻴ‬.

Secara bahasa mempunyai arti : maksud, niat dan hajat.2

Adapun arti niat secara istilah adalah “tekad hati (kemauan) yang tertuju pada

amalan melakukan suatu ibadah untuk mendekatkan diri hanya kepada Allah dan

memenuhi peraturan-Nya”.3 Muhammad Jawad Mughniyah mendefinisikan, niat

adalah tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk

mengikuti perintah-perintah Allah.4

Tengku M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa setiap perbuatan

seseorang tentulah muncul dari ira>dah (keinginan) dan ih{tiya>r (usaha) orang tersebut.

1
Fuad Afrom al-Bustani, Munjid At-Thullab, cet. ke- 9 (Beirut : Dar al- Masyraq, 1968), hlm.
853.
2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm. 1955.
3
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003),
hlm. 25.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk, cet. ke-
4

7, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), hlm. 22.


70

Ira>dah mengarah kepada perbuatan karena satu tujuan yang dimaksudkan, dan inilah

yang dinamakan dengan niat. Oleh karena itu, makna niat adalah:
5
‫اﻹرادة اﻟﻤﺘﻮﺟﻬﺔ ﻧﺤﻮ اﻟﻔﻌﻞ أوﺗﻮﺟﻴﻪ اﻹرادة ﻧﺤﻮ اﻟﻔﻌﻞ‬

Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal

perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang

dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syari’at atau perbuatan

kebiasaan dan apakah status hukumnya --jika ia sebagai amal syari’at-- wajib atau

sunnat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya.6

Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dan krusial dalam keabsahan

suatu ibadah. Hal ini mencakup juga di bidang mu‘amalah, iman, perjanjian dan

tindakan apapun. Ajaran Islam menuntut umatnya agar memulai suatu pekerjaan

dengan niat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

‫إﻧﻤﺎاﻷﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﻴﺎت وإﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎﻧﻮى ﻓﻤﻦ آﺎﻧﺖ هﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ‬
7
‫وﻣﻦ آﺎﻧﺖ هﺠﺮﺗﻪ ﻟﺪﻧﻴﺎ ﻳﺼﻴﺒﻬﺎ أو اﻣﺮأة ﻳﺘﺰوﺟﻬﺎ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ ﻣﺎهﺎﺟﺮ إﻟﻴﻪ‬

5
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. ke-1 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 453.
6
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami, cet. ke-1
(Bandung : Alma’arif, 1986), hlm. 488.
7
Al-Buh{ari, Sahih al- Buh{ari, “Bab Kaif Kana Bad’ Al-Wahy ’Ila Rasul Allah”,
diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Hadis nomor: 1
71

Dalam al-Qur’an juga menyebutkan:


8
‫وﻣﺎ أﻣﺮوا إﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪوا اﷲ ﻣﺨﻠﺼﻴﻦ ﻟﻪ اﻟﺪﻳﻦ ﺣﻨﻔﺎء‬
9
‫ﻓﺎ ﻋﺒﺪوا اﷲ ﻣﺨﻠﺼﺎ ﻟﻪ اﻟﺪﻳﻦ‬

Berdasarkan nas{ di atas, fuqaha menginduksikan kaidah yang terkait

dengan niat, yaitu:


10
‫اﻷﻣﻮر ﺑﻤﻘﺎﺻﺪهﺎ‬

Redaksi dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan

manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan ditinjau dari niat si

pembuat (pelaku).11

Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah dilihat

qarinah-qarinah (tanda-tanda) yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis

dari pelakunya.12

Bila terjadi suatu perbedaan pendapat dalam suatu transaksi antara maksud

pembuat dengan lafadh yang diucapkan, maka yang harus dipegangi ialah maksud

pembuat transaksi, selama maksud itu diketahui, sebagaimana kaidah fiqhiyyah:


١٣
‫ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﻠﻔﻆ ﻋﻠﻰ ﻧﻴﺔ اﻟﻼ ﻓﻆ ﻻ ﻓﻰ اﻟﻤﻌﺎﻧﻰ واﻟﻤﺒﺎن‬

8
Al-Bayyinah [98]: 5.
9
Az-Zumar [39] : 2
10
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h wa an-Naz}a>ir fi al-Furu>’, (Surabaya: hidayah, t.t.),
hlm. 6.
11
Asjmuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, Arti, Sejarah dan Beberapa Qa’idah Kulliyah,-
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).hlm.19.
12
Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh 2, ( Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 196.
72

Imam Jalaluddin as-Suyuti sendiri menjelaskan bahwa tempat dari niat adalah

di hati,14 hal ini menunjukkan bahwa masalah niat merupakan sejauh masalah yang

abstrak hanya diri pelaku dan Tuhan saja yang mengetahuinya.

2. Pendapat Ulama Tentang Niat

Posisi niat menurut pandangan asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal merupakan

sepertiga ilmu. Artinya bahwa kaidah yang berkaitan dengan niat merupakan salah

satu kaidah yang berdampak luas dalam berbagai amalan dan perbuatan dalam Islam.

Dalam masalah ibadah, ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa ibadah tidak sah

dilaksanakan tanpa dimulai dengan niat, seperti bersuci, wudhu, tayammum, puasa

dan lain sebagainya. Dalam masalah mu‘amalah, niat juga diperlukan dalam berbagai

amalan, seperti nikah dengan segala permasalahannya, wakaf, wasiat dan lain

sebagainya. Dalam masalah transaksi, niat juga dibutuhkan, seperti akad jual beli,

utang-piutang dan lain sebagainya.15

Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam mendudukkan niat, apakah niat itu

sebagai syarat ataukah sebagai rukun perbuatan. Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal

mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedangkan asy-Syafi‘i

mendudukkannya sebagai rukun perbuatan, tapi As-Suyuti mengatakan bahwa niat

dalam permasalahan tertentu bisa menjadi rukun sebagaimana dalam shalat dan pada

permasalahan yang lain merupakan syarat seperti dalam permasalahan puasa. Fungsi

13
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h., hlm. 9.
14
Ibid., hlm. 22.
15
Abdul Azis Dahlan dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), IV: 1325.
73

dari niat sendiri menurut as-Suyuti adalah sebagai pembeda antara ibadah dengan

kebiasaan dan juga untuk membedakan tingkatan kualitas ibadah.16

Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya

perbuatan, sedangkan rukun merupakan ketentuan yang harus dilakukan bersama

dengan perbuatan.17

Akibat dari perselisihan ini, maka membawa dampak (konsekuensi) hukum.

Misalnya dalam hukum talaffuz} al-niyah (mengucapkan niat dalam salat), bagi Abu

Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal tidak perlu, karena ini sudah termasuk dalam

rangkaian salat. Sedangkan bagi as-Safi‘i menyatakan, sunah membacanya, karena

niat merupakan rukun salat dan membaca us}alli tidak termasuk rangkaian salat,

karena itu fungsi talaffuz} al-niyah adalah untuk menambah kemantapan dalam

memulai salat.

Pada dasarnya, ibadah ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak

membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah ‘amaliyah yang

memerlukan penjelasan dan penentuan (ta‘yin) secara khusus, seperti niat salat,

apakah salat wajib atau sunah, salat ‘asar atau magrib, dan lain sebagainya.

Sedangkan ibadah yang tidak membutuhkan niat karena bukan ibadah ‘amaliyah yang

diperintahkan secara adat dan sifatnya tidak dipahami lain dari amalan tersebut,

16
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h., hlm. 9.
17
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah Usuliyyah dan
Fiqhiyyah), cet. ke-4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 109.
74

seperti beriman kepada Allah, cukup dengan membaca syahadatain, sedang setiap

harinya tidak perlu melakukan niat bila beriman kepada Allah.18

B. Dasar Menikah dengan Niat Cerai menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya

adalah salah seorang ulama dari mazhab Hanbali. Ia adalah tokoh yang

memperbaharui, membela, mengembangkan dan memperhatikan ajaran-ajaran

mazhab Hambali. Seperti yang telah dijelaskan, dalam menetapkan hukum, Ibnu

Taimiyah mendasarkan pada empat pijakan utama yaitu al-Qur’an pada urutan

pertama dan utama kemudian hadis/ sunnah Rasul pada urutan kedua, kemudian pada

urutan ketiga Ibnu Taimiyah menempatkan ijma lalu pada urutan keempat atau

terakhir baru beliau menggunakan qiya>s.19

Dari uraian tentang dalil-dalil istinbat} hukum Ibnu Taimiyah tersebut, jika

dibawa dalam pemikirannya tentang hukum menikah dengan niat cerai, maka tidak

ditemukan dalil dari nas tentang pengharaman maupun pembolehannya. Sebagaimana

18
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan
Fiqhiyyah), hlm. 110.
19
Sebagaimana disebutkan sebelumnya qiyas yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah
qiyas shahih karena beliau membagi qiyas kepada dua macam yaitu qiya>s s}ah}ih dan qiya>s fa>sid. Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi., hlm. 626. Selain itu juga Ibnu Taimiyah hanya menerima qiyas dalam
keputusan fiqh tetapi dalam memahami/membuktikan kebenaran agama beliau mengajak
menggunakan dalil wahyu bukan qiyas atau logika sehingga disimpulkan bahwa qiyas yang ditolaknya
adalah qiya>s Syumu>li, selanjutnya ia menerima qiya>s tams\ili. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Cet. Ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 141.
75

diketahui bahwa dalam pengambilan hukum, Ibnu Taimiyah mendasarkan pada nas

al-Qur’an maupun Hadis.

Nikah dengan niat talak ialah seorang pria menikahi seorang wanita dan di

dalam hatinya (niat) akan menceraikan wanita tersebut setelah selesai masa study

atau domisili atau kebutuhanya telah terpenuhi/selesai.20

Ulama berbeda pendapat tentang hal menikah dengan niat talak ini. Sebelum

masuk pada hukum menikah dengan niat cerai menurut Ibnu Taimiyah alangkah lebih

baiknya melihat beberapa pandangan para imam mazhab seputar masalah ini. Berikut

pendapat mereka tentang nikah dengan niat talak:

1. Mazhab Hanafi

Ulama mazhab ini berkata: “Seandainya seorang laki-laki menikahi

seorang wanita dan dalam niatnya, dia hidup bersama hanya dalam beberapa

waktu tertentu, maka nikahnya tetap sah, karena pembatasan waktu yang

dilarang itu hanyalah yang diucapkan.21

2. Mazhab Maliki

Dalam kitab al-Muntaqa> Syarh}u Muwat}t}a sebagaimana disadur oleh

Shaleh bin Abdul Aziz al-Mansur, Malik al-Baji berkata: “Dan orang yang

menikahi wanita tetapi bukan untuk memiliki selamanya, melainkan hanya

untuk bersenang-senang dengannya dalam beberapa waktu, setelah itu

20
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm. 21.
21
Ibid.
76

diceraikan, hal itu boleh-boleh saja tetapi kurang (tidak) baik dan bukan

termasuk akhlak manusia layaknya.22

3. Mazhab Syafi’i

Nikah semacam ini, menurut Syafi’i adalah suatu pernikahan yang

dikutuk oleh Rasulullah SAW, dan nikah ini tidak berbeda jauh dengan nikah

mut’ah dengan batas waktu yang telah ditentukan. Begitu juga dengan nikah

muhallil dimana seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang janda yang

telah dijatuhi talak tiga oleh suaminya dan laki-laki yang bersangkutan

mempunyai niat bila telah bersetubuh dengan janda yang bersangkutan akan

menjatuhkan talak agar halal dinikahi kembali oleh mantan suaminya.

Seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang gadis dan terlintas

dalam benak pikiranya punya niat menikahi hanya untuk sementara waktu

saja, semisal salama masa kuliah, setahun, sebulan dan semacamnya. Tetapi

ketika pelaksanaan akad nikah tidak disebutkan niat yang terkandung dalam

hatinya maka pernikahan itu sah sah saja.23

4. Mazhab Hambali

Di dalam mazhab ini menurut Ibnu Taimiyah terdapat tiga pendapat

yaitu sebagai berikut:

22
Ibid.
23
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
77

1) Dikatakan bahwa pernikahan itu boleh. Ini adalah pilihan Abu

Muhammad al-Maqdisi yang merupakan pendapat jumhur.

2) Dikatakan bahwa nikah ini adalah nikah tahlil yang dilarang. Dari

periwayatan imam Auza’i dan pendapat yang diambil dari al-Qadhi dan

para sahabatnya dalam kitab “al-Khila>f”.

3) Dikatakan pula bahwa pernikahan ini makruh dan bukan haram.24

Dari beberapa pandangan tentang nikah dengan niat cerai menurut para ulama

mazhab tersebut maka Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang benar dalam hal ini

adalah pernikahan itu berbeda (bukan) termasuk nikah Mut’ah dan juga bukan

termasuk nikah tah}lil. Perbedaanya adalah sang suami hanya tidak ingin hidup lama

bersama istrinya itu, dan itu bukan syarat,25 maka itu tidak diharamkan.26

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa menikah dengan niat cerai bukan

termasuk nikah tah}lil dan juga tidak termasuk nikah Mut’ah.27 Letak perbedaannya

dengan nikah tah}lil, nikah tah}lil bertujuan hanya untuk menghalalkan mantan suami

yang telah menjatuhkan talak tiga kepada mantan istrinya dan batas waktu pernikahan

bersifat sementara. Semisal wali perempuan mengatakan, “ Aku nikahkan anakku

dengan kamu, dengan syarat (perjanjian) bila kamu telah bersetubuh dengannya maka

24
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tetang Nikah, alih bahasa oleh Abu Fahmi dan Syamsuri,
cet. ke-1 ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), hlm. 136.
25
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm.27
26
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa..,hlm.136.
27
Ibid.
78

pernikahan ini secara otomatis bubar, atau kamu menjatuhkan talak kepadanya”.28

Sedang dalam nikah ini sang suami berkehendak untuk menikah dan menyenanginya

hanya saja ia tidak menginginkan kelanggengan seorang istri di sisinya,29 dan ini

bukan syarat. Sedang perbedaannya dengan nikah Mut‘ah adalah nikah Mut’ah

kondisinya seperti sewa-menyewa yang berakhir dengan berakhirnya masa sewa serta

tidak ada unsur kepemilikan sang suami terhadap istrinya setelah masa itu berakhir.30

Adapun dalam pernikahan yang dimaksud, yaitu ada unsur kepemilikannya yang

tetap dan mutlak. Terkadang niatnya berubah, lalu ia tetap menjadikannya sebagai

istrinya, dan hal itu dibolehkan, sebagaimana jika ia menikah dengan niat untuk

menjadikan seorang istri selamanya, namun dalam perjalanan rumah tangganya, ia

mencerai istrinya maka hal itu dibolehkan.31

Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah menyatakan, Hasan bin Ali sering melakukan

perceraian barangkali faktornya adalah memang ia hendak melakukan hal itu setelah

beberapa waktu, dan tak ada seorang pun dari sahabat yang mengatakan bahwa itu

adalah nikah Mut’ah. Lagi pula dalam hal ini, ia tidak bermaksud untuk menceraikan

ketika mencapai suatu batas tertentu. Akan tetapi sampai batas sejauh mana ia

berkehendak, dan seberapa lama ia tinggal di negeri bersangkutan. Walaupun ia

28
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm 102.
29
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa .., hlm. 136.
30
Ibid.
31
Ibid.
79

berniat untuk menceraikannya pada saat itu juga, namun terkadang niat itu berubah.

Kondisi seperti ini tidak mengharuskan untuk menunda pernikahan yang akan

dilaksanakan, dan tidak dikatakan menjadikan seperti sewa menyewa yang disebut

(al-ija>rah al- musammah).32

Begitu juga sebagaimana disatir oleh Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd

ar-Razzaq, bahwasanya Ibnu Taimiyah mengatakan dalam salah satu riwayat

dikatakan bahwa Zaid ibn Harisah pernah berniat menceraikan istrinya yaitu Zainab

bint Jahsy, namun dengan niat tersebut tidak membuat istrinya terlepas

kedudukannya sebagai istri. Bahkan Zainab tetap menjadi istrinya sehingga ia benar-

benar menceraikannya. Di sini dapat diketahui, niat Zaid untuk menceraikan istrinya

tidak menodai pernikahan yang telah berlangsung. Dalam hal ini bahwa niat untuk

menceraikan istri tidak berpengaruh atas jatuhnya talak.33

C. Menurut Ulama Lain

1. Pendapat ulama yang membolehkan

Ibnu Qudamah seorang tokoh terkemuka mazhab Hambali

mengatakan bahwa seorang suami tidak harus berniat (pada saat akad) untuk

tetap mempertahankan istrinya. Boleh jadi, jika ia serasi dengannya, maka ia

32
Ibid.hlm.137
33
Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd ar-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah (dari "A"
sampai "Z"), alih bahasa Ahmad Syaikhu, cet. ke-2 (Bogor: Pustaka Ibnu Kasir, 2005), hlm. 49.
80

akan mempertahankannya, dan jika tidak (serasi), maka ia boleh saja

menceraikannya.34

Sebab niat untuk hidup selamanya bersama istri bukanlah suatu hal

yang wajib, bahkan boleh saja ia menceraikannya. Apabila ia bermaksud

ingin menceraikannya setelah beberapa waktu, maka ia telah meniatkan

perkara yang diperbolehkan. Jadi, niat untuk mempertahankan maupun

menceraikan tidak berpengaruh terhadap keabsahan akad nikah.

Ulama yang membolehkannya beranggapan bahwa nikah ini berbeda

dengan nikah Tahlil, karena niatnya tidak disebutkan dalam akad35, ia hanya

tidak ingin hidup lama dengan istrinya itu, dan ini bukan syarat36; maupun

nikah Mut‘ah, karena ada satu keinginan untuk menikah dan menyukainya.37

Menurut salah satu ulama kontemporer yaitu Syaikh Ibnu Baz, ketika

ditanya tentang bolehnya seseorang menikah di negeri asing sedangkan ia

berniat meninggalkannya dalam waktu tertentu, seperti ketika berakhirnya

konferensi atau pendelegasian. Ia menjawab bahwa nikah ini boleh-boleh

saja, jika niatnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah. Ketika

seseorang menikah di negeri asing dengan niat bila telah selesai studinya,

pekerjaannya dan lain sebagainya, dia akan menceraikannya, maka hal ini

34
Ibid., hlm. 645.
35
Mohammad Asmawi, Nikah dalam.., hlm. 103.
36
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm. 28.
37
Ibid., hlm. 63.
81

tidak apa-apa. Niat ini hanya antara dirinya dan Allah, dan bukan merupakan

syarat.38

2. Pendapat Ulama yang Melarang

Sebagai bahan perbandingan, perlu diungkapkan beberapa pendapat

ulama yang melarang pernikahan model ini. Di antara ulama yang melarang

menikah dengan niat talak adalah al-’Auza‘i, dan pendapatnya telah masyhur.

Dalam kitab al-Muharrir karangan Majd ad-Din Abu al-Barakat, sebagaimana

disadur oleh Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, disebutkan petikan ucapan:

"Jika sang suami meniatkan hal itu (talak), maka sama halnya ia

mensyaratkan". Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur juga mengungkapkan

pendapat ‘Ala’ ad-Din al-Mardawi bahwa nikah ini termasuk nikah Mut‘ah,

yaitu nikah yang memiliki batas waktu tertentu atau dengan cara

mensyaratkan talak pada suatu saat nanti atau meniatkannya di dalam hati.39

Syams ad-Din al-Maqdisi pun sependapat bahwa jika seseorang

meniatkan talak dalam hatinya, sama dengan ia mensyaratkannya. Seperti itu

pula halnya orang yang menikah berjangka waktu, yakni sama dengan nikah

mut‘ah, atau syibh al-mut‘ah semi mut‘ah (menyerupai nikah mut‘ah). Hal ini

38
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk., cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haq, 2004), hlm. 458.
39
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm. 37.
82

tidak akan menjadi Mut‘ah kecuali ia menikahi istrinya untuk selama-

lamanya.40

Pendapat lain yang menarik, tidak berselisih dengan pendapat pertama

tentang sahnya pernikahan ini, namun mengajak untuk tidak menyebarkan

model pernikahan ini adalah pendapat Ibnu ‘Usaimin, di mana dijelaskan

perkara ini dari berbagai aspeknya. Ketika ia ditanya tentang hal ini41, ia

menjawab bahwa pernikahan ini tidak terlepas dari dua hal:

Pertama, disyaratkan dalam akad bahwa dia akan menceraikan

istrinya untuk waktu satu bulan, satu tahun atau setelah studinya selesai. Ini

adalah nikah Mut‘ah yang diharamkan.

Kedua, meniatkan hal tersebut dengan tanpa mensyaratkannya.

Pendapat yang terkenal dari mazhab Hanabilah adalah haram dan akadnya

rusak. Karena sesuatu yang diniatkan seperti sesuatu yang disyaratkan.

Rasulullah Saw Bersabda:


42
‫إﻧﻤﺎاﻵﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ وإﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎﻧﻮى‬

Ibnu ‘Usaimin melanjutkan, nikah ini sah dan bukan Mut‘ah, karena

definisinya tidak sesuai dengan kriteria nikah Mut‘ah. Tetapi diharamkan dari

segi pengkhianatan dan penipuan kepada istri dan keluarganya.43

40
Ibid.
41
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa.., hlm. 455.
42
Abdurrahman Asjmuni, Qawa’id Fiqhiyyah , arti, sejarah dan beberapa qa’idah kulliyah,
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab.hlm.19.
83

Ada pula pendapat yang lebih keras dalam melarang pernikahan ini.

Yaitu Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, ia mengatakan nikah dengan niat

talak tidak sesuai dengan syariat Islam dan tujuan-tujuan mulia yang

terkandung dalam pensyariatan nikah, oleh karena itu hukumnya haram dan

batal. Apabila niat pelakunya diketahui, maka keduanya wajib dipisahkan.

Jika pelakunya mengetahui hukum nikah tersebut, maka ia harus di-ta‘zir.

Apabila tidak ada seorangpun yang tahu niat yang terkandung di dalam

hatinya, maka nikahnya sah secara lahir dan batal secara batin.

D. Analisis Pendapat Ibnu Taimiyah Tentang Nikah dengan Niat Cerai

Setelah melihat pandangan dan pendapat ulama tentang menikah dengan niat

cerai ini maka menurut penyusun hal ini tidak lepas dari beberapa hal berikut :

Pertama. Sabda Rasulullah SAW :


44
‫إﻧﻤﺎاﻷﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﻴﺎت وإﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎﻧﻮى‬

Setiap perbuatan manusia, baik atau buruk, berpahala atau berdosa

tergantung pada niatnya. Jika niat tersebut berimplikasi pada hal yang baik

tentunya niat tersebut bermuara pada kemaslahatan, akan tetapi jika niat

43
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, hlm 456.
44
Abdurrahman Asjmuni, Qawa’id Fiqhiyyah , arti, sejarah dan beberapa qa’idah kulliyah, (
Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).hlm.19.
84

tersebut berlaku sebaliknya maka akan mempunyai konsekuensi hukum yang

mengarah pada kemadharatan.

Dalam permasalahan pernikahan dengan niat cerai, yaitu apa yang

diniatkan sama dengan apa yang disyaratkan. Ketika seorang meniatkan

dalam hatinya untuk menikah dalam batas waktu tertentu, entah itu setahun,

dua tahun atau seterusnya maka sama saja dengan ia mensyaratkanya.

Kedua. Firman Allah :

‫وإن ﺗﺒﺪواﻣﺎﻓﻲ اﻧﻔﺴﻜﻢ اوﺗﺨﻔﻮﻩ ﻳﺤﺎﺳﺒﻜﻢ ﺑﻪ اﷲ ﻓﻴﻐﻔﺮﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎءوﻳﻌﺬب ﻣﻦ ﻳﺸﺎء واﷲ ﻋﻠﻰ آﻞ‬
45
‫ﺷﻲءﻗﺪﻳﺮ‬

Penggalan ayat tersebut diatas menjelaskan kepada kita bahwasanya

apapun yang tersirat di dalam hati baik ataupun buruk akan diminta

pertanggung jawabanya kelak oleh Allah SWT. Adapun apa yang tersirat di

dalam hati itu bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Ada yang dinamai

h}a>jis, yaitu yang mula-mula tergores dalam hati secara spontan dan berakrir

seketika. Setelah itu kha>tir, yaitu yang terlintas sejenak kemudian terhenti dan

ini menimbulkan nafsu. Kemudian hadi>s\un al-nafsi, yaitu hati sudah mulai

bicara dan mempertimbangkan : apakah dilakukan atau tidak. Kemudian

datanglah fase ham, yaitu keteguhan hati untuk melakukan apa yang telah

dipertimbangkan sambil memikirkan bagaimana cara pencapaiannya. Setelah

45
Al-Baqarah : 284
85

proses ham ini selesai, maka yang terakhir timbullah azam, yaitu meneguhkan

kemauan untuk mengerjakan.

Menurut sementara ulama, hajis, khatir, haditsun nafsi dan ham tidak

termasuk dalam lintasan hati yang oleh karenanya akan mendapat perhitungan

dari Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:


46
‫ان اﷲ ﺗﺠﺎوزﻵﻣﺘﻰ ﺗﺠﺎوز ﻋﻦ أﻣﺘﻲ اﻟﺨﻄﺄ واﻟﻨﺴﻴﺎن و ﻣﺎ اﺳﺘﻜﺮهﻮا ﻋﻠﻴﻪ‬

Dari ayat di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa apa yang

masih di dalam hati masih diampuni oleh Allah, tetapi pada fase azam sudah

tidak dalam lintasan hati lagi melainkan sudah meneguhkan.

Ketika dihadapkan dalam masalah nikah dengan niat cerai ini, jelas

keadaan hati pelaku sudah berada pada tingkataan azam untuk melakukan

perceraian karena pernikahan yang dilakukannya merupakan suatu rangkaian

dari niatnya untuk menceraikan istrinya kelak, walaupun toh pada

kenyataannya nanti dia mengurungkan niatnya untuk bercerai dan

melanjutkan tali perkawinannya.

Ketiga. Ada unsur penipuan dan kecurangan

Perempuan yang dinikahi sama sekali tidak mengetahui kalau ia

dinikahi hanya untuk sementara waktu saja dan seandainya perempuan itu

tahu bahwa ia dinikahi hanya untuk sementara waktu saja maka jelas,

46
Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibnu Majah, Hadis no. 1675, kitab “an-Nikah”, “bab ma ja’a fi
fadhlin nikah”, diriwayatkan oleh Ali Bin Abu Thalib. hlm.253
86

perempuan itu tidak akan rela menikah dengannya, apalagi keluarga

siperempuan tentu tidak akan merestuinya. Disini sangat jelas bahwa ada

unsur penipuan dan kecurangan.

Dan apabila hal ini dihadapkan kepadanya apakah dia rela apabila

putrinya dinikahi oleh orang lain hanya untuk sementara waktu saja sampai

urusannya telah selesai, apabila ia tidak rela, bagaimana ia rela melakukan hal

itu kepada orang lain.

Hal seperti ini sudah sangat jelas bertentangan dengan keimanan. Hal

seperti ini sudah sangat jelas bertentangan dengan keimanan, sebagaimana

sabda Rasulullah SAW :


47
‫ واﻟﻨﺎس اْﺟﻤﻌﻴﻦ‬,‫ ووﻟﺪﻩ‬,‫ﻻﻳﺆﻣﻦ أﺣﺪآﻢ ﺣﺘﻲ اْآﻮن اْﺣﺐ اﻟﻴﻪ ﻣﻦ واﻟﺪﻩ‬

Diantara ulama yang menganggapnya makruh ialah Imam Malik dan

Imam Ahmad. Dalam suatu waktu, Ibnu Taimiyyah juga mengatakan makruh

sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya yang berjudul Al-Fatawa Al-

kubro Al-Mishriyyah, berikut kutipannya : “ Dan jika seseorang meniatkan

dengan pasti untuk menceraikan isterinya ketika berakhir masa safarnya,

maka hukumnya makruh. Adapun masalah sah atau tidaknya nikah ini, ada

perbedaan pendapat… “, dan adapun seorang suami meniatkan batas waktu

dan tidak dinyatakannya pada isterinya, dalam hal inipun ada perbedaan

47
Al-Buh{ari, S{ahih Buh{ari, bab "man kana yu'minu billah wal yaumil akhir fala yu'dzi
jarahu" diriwayatkan dari anas ra. hadis no : 12, hlm.26.
87

pendapat, Abu hanifah dan Syafi’i meringankan alias boleh. Sementara Imam

Malik, Imam Ahmad dan yang lain menganggapnya makruh.48

Ibnu Taimiyah memberikan fatwanya berdasarkan apa yang

menurutnya benar, menurut penulis pendapatnya adalah hasil dari ijtihad

beliau sendiri walaupun pada awalnya mungkin ada pengaruh dari mazhab

yang selama ini ia ikuti. Beliau selain sebagai ahli fiqh juga ahli di dalam

ilmu tasawuf, hal ini dapat kita lihat dari sejarah biografi beliau dan dari

karya-karya kitab fiqh dan kitab tasawuf yang dihasilkannya. Dengan

demikian, sangat dimungkinkan adanya dua pendapatnya tentang nikah

dengan niat cerai seperti yang dituliskan penyusun sebelumnya.

48
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm.38.
88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan studi terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah mengenai

hukum menikah dengan niat cerai yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

maka penyusun dapat menuangkan hasil dari studi ini dalam beberapa poin

kesimpulan, yaitu:

a. Menurut Ibnu Taimiyah, nikah dengan cara seperti ini hukumnya boleh,

asal pelaksanaan akad pernikahan dilaksanakan secara mutlak dan tidak

disyaratkan penentuan waktu di dalamnya. Pada suatu waktu, Ibnu

Taimiyyah juga mengatakan hukumnya makruh sebagaimana yang

terdapat dalam kitabnya yang berjudul Al-Fatawa Al-kubro Al-

Mishriyyah, berikut kutipannya : “ Dan jika seseorang meniatkan dengan

pasti untuk menceraikan isterinya ketika berakhir masa safarnya, maka

hukumnya makruh.

b. Menurut penyusun, Ibnu Taimiyah membolehkan nikah semacam ini

hanya karena tidak ditemukannya Nas yang secara eksplisit mengatur

tentang hal tersebut dan juga dikarenakan masalah hati yang tidak ada

orang yang bisa mengetahuinya, selain dirinya sendiri dan Allah yang

Maha Tahu. Pendapatnya makruh disebabkan jika dihubungkan dengan


89

nas{ lain yang umum maka kesimpulannya bertentangan dengan tujuan

perkawinan dan juga dikarenakan rusak akadnya.

B. Saran-saran

Dari uraian pembahasan di atas, sehubungan dengan menikah dengan niat

cerai, maka saran-saran penyusun adalah:

a. Walaupun pernikahan ini sah secara hukum, akan tetapi perlu dilihat juga

dari sudut pandang moral. Sekalipun pernikahan ini tidak dengan tegas

menyebutkan adanya sifat sementara, akan tetapi mengandung sifat

penipuan dan pengkhianatan yang dapat mengakibatkan bermacam-

macam kerugian.

b. Meskipun tidak menentang pendapat yang membolehkannya, akan tetapi

pernikahan dengan model ini hendaknya tidak disebarluaskan karena

dampak-dampak yang dapat timbul akibat dari pernikahan ini.

c. Perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

model dan tata cara pernikahan. Hal ini dikarenakan banyaknya bentuk-

bentuk pernikahan yang terus berkembang bersamaan dengan

perkembangan masyarakat yang tidak mengenal batas-batas ruang dan

waktu.
90

DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok al-Qur’an dan Tafsir

Ash-Shabuni,Muhammad Ali, Tafsir Aya>t al-Ahka>m, 2 Jilid , Penterjemah: Hamidi


dan A. Manan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.

DEPARTEMEN AGAMA RI, AL-QUR’AN DAN TERJEMAHNYA, Jakarta : CV


ATLAS, 2000

Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, 6 jilid , Ciputat: Lentera Hati, 2000.

Rasyid Rida, Muhammad, Tafsir al-Mana>r, 12 Jilid, t.tp. : t.np., 1973.

2. Kelompok Hadis

Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il, al-S}a>hih al-Bukha>ri, 4 Jilid,
Beirut : Da>r al-Fikr, t.t.

Ibn Majjah, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu
Mabjjah, 3 Jilid , t.tp., Da>r al-Fikr, 1995.

Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, 2 Jilid,
Bandung : Syirkah al-Ma’arif, t.t.

Tirmizi, Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa ibn Surah at-, Sunan at-Tirmiz\i, 3 jilid, Beirut
: Da>r al-Fikr, 1994.

CD Program Hadis, Kutub at-Tis’ah, Vol. I, thn 1991-1992.

3. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh

A. Boisard, Marcel Humanisme dalam Islam, Penterjemah: H.M.Rasjidi, Jakarta:


Bulan Bintang, 1980.

Abdurrahman Asjmuni, Qawa’id Fiqhiyyah , (arti, sejarah dan beberapa qa’idah


kulliyah), Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003.
91

Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd ar-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah (dari
"A" sampai "Z"), alih bahasa Ahmad Syaikhu, Bogor: Pustaka Ibnu Kasir,
2005.

Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Dar


as-Salam, 2004.

Biro Penerangan dan Motivasi Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional,


Nasehat Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Kuning Mas Offset, 1983

Bustani, Fuad Afrom, al-, Munjid At-Thulla>b, Beirut : Da>r al- Masyraq,1968

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, II, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,


ILMU FIQH, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama/IAIN, 1984/1985

Djaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995

Daud, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002

Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath}ul Mu’i>n, Penterjemah: Moch.
Anwar dkk, Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003.

Ghazali, Salih bin Ahmad, al-, Ensiklopedi Pengantin, Penterjemah: Farizal Tirmizi,
Jakarta: Pustaka Azzam,2001

Hasan, Ahmad, Soal Jawab Masalah Agama 1-2, Bangil: ttp,1996

Hasan, M.Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1998

Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al Muqtasid, 2 jilid, (Surabaya :


Hidayah, t.t.),

Ibnu Taimiyah, Syekh al-Islam, Majmu Fatawa tentang Nikah, Penterjemah: Abu
Fahmi Humaidi dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002

Ibnu Taimiyah, Syekh al-Islam, Majmu>’ Fata>wa>, Bab Nikah, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002
92

____________, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, Penterjemah: Munirul


Abidin, Malang: Pustaka Zamzami, 2004

Iraqi, Butsainan As-Sayyid, al-, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Penterjemah :


Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002

Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-


Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: AKADEMIKA PRESINDO,2002

Juraisy, Khalid, al-, Fatwa-Fatwa Terkini, 4 Jilid , Penterjemah: Musthofa Aini dkk,
Jakarta: Darul Haq, 2003.

Khalla>f, Abd Wahha>b, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Penterjemah: Noer Iskandar


Al-Barsany dan M.Tolchah Mansoer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002.

Mansur, Saleh Ibn ‘Abd al ‘Aziz, al-, Nikah dengan Niat Thalak?, Penterjemah:
Alpian MA Jabbar, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004.

Maraghi, Abdullah Mustofa, al-, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa
oleh Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001.

Muchtar, Kamal dkk, Ushul Fiqh , 2 jilid, ( Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk,
Jakarta: Lentera Basritama, 2001

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami,


Bandung : Alma’arif, 1986

Nasution, Harun, ISLAM di tinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Universitas


Indonesia (UI-Press), 1985

Pasha, Musthafa Kamal dkk, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri,2002

_____________, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan


Umat, Bandung: Mizan, 1997.

Shiddieqi, T.M.Hasbi, Ash-, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997.
93

Shiddieqi, T.M.Hasbi, Ash-, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001

Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, Bandung: PUSTAKA,
1997.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset,1999

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.

Rofiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Sabiq, As Sayyid, Fiqh Sunnah, 4 jilid, (Beirut : Dar al Kutub al ‘Arabi, 1973). .

Shiddiqi, Nourouzzaman Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1997.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-


undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberti, 2004.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik.


Bandung: TARSITO,1980.

Syah, Ismail Muhammad, dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah Usuliyyah


dan Fiqhiyyah), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Zuhri, Muhammad., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 1997

4. Kelompok Buku Lain-lain

Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid II, cet. ke-5 Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Anggota IKAPI, Undang-undang Perkawinan, Bandung : Fokusmedia, 2005

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum
Pondok Pesantren Krapyak, 1996
94

Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Diperoleh dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taymiyyah kategori cendikiawan


muslim

Glase, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1999

J. Moloeng, Lexi, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. Ke-2, (Surabaya ; Pustaka Progresif,


2002).

Soekanto Soerjono, “Pokok-pokok Sosiologi Hukum” , cet. Ke-15, Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada, 2005.

Taimiyah, Ibnu, Menghindari Perentangan Akal Dan Wahyu, alih bahasa Munirul
Abidin M. Ag., Malang: Pustaka Zamzami, 2004.
Lampiran I

No Bab Foot Halaman Terjemahan


Note
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
1 I 11 5 benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.

…dan mereka (isteri-isterimu) telah


2 17 7 mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,


padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-
3 33 14 isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah


menjatuhkan talak.
4 36 14
Tidak boleh mendatangkan mudharat (kepada
istrinya) dan tidak boleh membalas
5 37 14
kemadharatan.

Hai umat manusia, sesungguhnya aku pernah


memberi izin kepada kalian untuk melakukan
nikah mut’ah dengan perempuan. Dan (kini)
Allah telah mengharamkan perilaku yang
6 38 15
demikian sampai hari kiamat.

Ada tiga perkara: kesungguhannya memang


benar-benar sungguh-sungguh dan ungkapan
7 39 15 olok-oloknya sama dengan ungkapan yang
sungguh-sungguh; yaitu nikah, talak dan rujuk.

Sesungguhnya Allah memaafkan untuk umatku


terhadap sesuatu yang terdetik di dalam
hatinya, selama ia belum melakukannya atau
8 40 1٥
mengucapkannya.

….Dan perempuan mukmin yang menyerahkan


9 II 5 24 dirinya kepada nabi kalau nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang mukmin.

Aqad yang mengandung ketentuan hukum


kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz
10 6 24
nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya

Aqad yang memberikan faedah hukum


kebolehan mengadakan hubungan keluarga
(suami-istri) antara pria dan wanita dan
7 25 mengadakan tolong menolong dan memberi
11
batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masingnya.

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-


pasangan supaya kamu mengingat akan
12 10 26
kebesaran Allah

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada


Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
13 13 27 perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu.

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah


Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteramkepadanya, dan dijadikan-Nya
14 14 27 diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.

Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil


terhadap (hak-hak )perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka
15 15 27
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
dekat kepada berbuat tidak aniaya.

Dari ‘Aisyah ra berkata, bersabda Rasulullah


saw: nikah adalah bagian dari sunnahku maka
16 16 27 barang siapa yang tidak mengerjakan sunnahku
bukanlah termasuk dalam golonganku.

Hai kaula muda, barang siapa diantara kamu


yang sudah mampu untuk menikah maka
hendaknya cepat nikah karena nikah itu akan
memejamkan mata(nya) dan memelihara
17 17 27 kemaluan-(nya dari perbuatan maksiat). Dan
bilamana masih belum mampu untuk nikah,
hendaknya (sering-seringlah) berpuasa karena
puasa itu adalah pengebiri

Kawinilah kamu sekalian wanita yang pengasih


lagi beranak (keturunan banyak anak), karena
sesungguhnya aku akan merasa bangga dengan
18 18 28
banyaknya kamu (umatku) terhadap umat yang
lain kelak di hari kiyamah.

Rasulullah SAW mengutuk orang yang


menjadi muhallil dan muhallalah
19 41 39
Ketahuilah, maukah kukabarkan kepadamu
tentang kambing jantan yang dipinjamkan?
Para sahabat menjawab, “mau, wahai
20 42 39 Rasulullah.” Baliau bersabda, “ dia adalah
muhallil, Allah mengutuk muhallil dan
muhallalah.”

Setiap sesuatu bila disebutkan adalah batal dan


21 44 39 bila disembunyikan adalah makruh.

Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah


talak yang kedua) maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang
22 lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa
49 41
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri)
untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.
Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang
pernikahan mut’ah dan melarang memakan
55 42
23 daging himar jinak pada waktu perang khoibar.

…Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati


(campuri) diantara mereka, berikanlah kepada
58 43 mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai
24
suatu kewajiban…

……Sampai masa tertentu….


25 59 43
Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah
26 66 46 menjatuhkan talak.

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu


boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
27 67 46 menceraikan dengan cara yang baik.

Kehendak yang berhadap kepada perbuatan,


28 IV 5 70 atau mengarahkan kehendak kearah perbuatan.

Sesungguhnya segala perbuatan itu menurut


niat dan bahwasanya bagi tiap-tiap manusia
29 7 70
apa yang diniatkan.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya


menyembah Allah dengan memurnikan
30 8 71 ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus.

Maka sembahlah Allah dengan ketaatan


31 9 71 kepada-Nya.

32 10 71 Segala urusan didasarkan kepada maksud


(menurut maksud pelakunya)

Maksud dari lafadz tergantung dari orang yang


33 13 71 melafazkan, bukan dilihat makna dan
susunannya.

Sesungguhnya segala perbuatan itu menurut


34 42 82 niat dan bahwasanya bagi tiap-tiap manusia
apa yang diniatkan.
Sesungguhnya segala perbuatan itu menurut
niat dan bahwasanya bagi tiap-tiap manusia
35 44 83 apa yang diniatkan.

Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di


dalam hatimu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-
36 45 84 Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-
Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

Sesungguhnya Allah memaafkanku dari


umatku ; kesalahan, lupa dan yang terpaksa.
37 46 85
Tidak beriman seseorang diantara kamu,
sehingga saya lebih ia cintai daripada orang
38 47 86
tuanya, anaknya dan semua manusia.
Lampiran II
BIOGRAFI ULAMA

1. Imam Abu Hanifah


Nama lengkapnya Abu Hanifah an-Nu’man Ibn Sabit ibn Zauti. Lahir 80 H/699
M di Kufah pada masa pemerintahan Dinasti Umawiyah. Ia dikenal rajin dan teliti
dalam bekerja dan fasih berbahasa, ahli ilmu-ilmu syariah dan bahasa Arab. Ia teguh
dalam memegang prinsip , berani mengatakan kebenaran dihadapan siapapun. Sejak
masa muda, ia mencintai ilmu pengetahuan terutama berhubungan dengan hukum
islam. Ia mengunjungi berbagai tempat untuk berguru, diantaranya Imam ‘Ata’ ibn
Abi Rabah (w. 114 H), dan masih banyak lagi gurunya yang lain,
Minatnya yang mendalam terhadap ilmu Fiqh, kecerdasan, ketekunan dan
kesungguhan dalam belajar mengantarkannya menjadi seorang yang ahli dibidang
Fiqh,. Selain itu, ia juga mendalami ilmu hadist dan tafsir, karenanya keduanya
berkaitan dengan Fiqh. Pengetahuan lain yang diimilikinya adalah sastra Arab dan
ilmu hikmah. Sehingga ia pun diangkat menjadi mufti kota Kufah menggantikan
Imam Ibrahim an-Nakha’i.
Imam Abu Hanifah sangat terkenal sehingga banyak orang datang untuk
mendengar fatwa-fatwanya. Dan dalam waktu yang singkat muridnya pun berjumlah
banyak, diantaranya Abu Yusuf (113-182 H), Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani
(132-189 H), Zufar ibn Huzail (w, 158H/775) dan lain sebagainya.
Ia digelari Imam ‘Ahl ar-Ray’ karena lebih banyak menggunakan argumentasi
akal daripada ulama lainnya,. Selain itu juga banyak menggunakan qiyas dalam
menetapkan suatu hukum . Namun demikian, bukan berarti ia mendahulukan nqiyqs
daripada Nas, Dasar-dasar yang digunakan untuk menetapkan suatu hukum adalah al-
Qur’an , as-Sunnnnah, Fatwa-fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan Urf. Sebagai
seorang ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Abu Hanifah
meniggalkan banyak ide dan buah pikiran. Sebagian ide dan buah pikirannya ditulis
sendiri dalam benntuk buku, akan tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya
untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain: al-Faraid
dan al-Fiqh al-Kabir.

2. Imam Malik ibn Anas


Namannya lengkapnya Abu ‘Abd Allah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir
ibn ‘Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn ‘Amr ibn Haris al-Asybahi. Lahir di
Madinah, 94 H/716 M dan meninggal pada tahun 179 H/795 M. seorang ahli hadis,
ahli fiqh dan mujahid besar. Ia dijuluki Imam Dar al-Hijrah (tokoh panutan penduduk
Madinah). Ia dipandang sebagai perawi hadis Madinah yang paling terpercaya.
Pada mulanya, Imam Malik mencurahkan studinya pada ilmu riwayat, fatwa
Sahabat dan Tabiin. Namun kemudian mengarahkan perhatiannya pada bidang ilmu
keislaman lainnya. Di bidang fiqh, ia memperhatikan hadis ahl al-Madinah yang
diterimanya dari Yahya ibn Sa’id al-Ansari. Corak ra’y ahl al-Madinah adalah
pemaduan antara nas-nas dan berbagai maslahat yang berbeda-beda.
Adapun metode dan dasar istinbat Imam Malik adalah al-Qur’an, Sunnah, ‘Amal
ahl al-Madinah (praktek penduduk Madinah), Fatwa sahabat, Qiyas, al-Maslahah al-
Mursalah, Istihsan dan Sadd az-Zara’i.
Karya Imam Malik yang terbesar adalah kitab al-Muwatta’, kitab hadis pertama
yang disusun. Al-Muwatta’ merupakan kitab hadis dan fiqh sekaligus yang di
dalamnya terhimpun hadis-hadis dalam tema-tema fiqh. Silsilah sanad hadisnya
dipandang sebagai “silsilah emas”.

3. Imam asy-Syafi’i
Nama lengkap tokoh besar ini adalah Muhammad ibn Idris ibn ‘Abbas ibn
‘Usman ibn Syafi’i ibn Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Hasyim ibn al-Mutallib. Panggilan
sehari-harinya Abu ‘Abd Allah. Lahir pada tahun 150 H/ 767 M dan meninggal di
Fustat, Mesir tahun 204 H/820 MN. Ada perbedaan pendapat mengenai tempat
kelahirannya, sebagian mengatakan di Graza, Palestina dan sebagian lain berpendapat
di Asqalan.
Imam asy-Syafi’i lahir dalam keadaan yatim. Ia diasuh dan dibesarkan oleh
ibunya sendiri dalam keadaan yang sangat sederhana. Setelah berumur dua tahun,
ibunya membwanya pulang ke kampung asalnya, Makkah. Di sinilah ia tumbuh dan
dibesarkan. Pendidikannya dimulai dari membaca al-Qur’an. Sejak dini telah
memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Dalam usia 9 tahun sudah
menghafal seluruh isi al-Qur’an dengan lancer. Setelah itu, ia berangkat ke dusun
Badui, Banu Huzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Kemudian
kembali lagi ke makkah dan belajar ilmu fiqh pada Imam Muslim ibn Khalid az-
Zanji. Selain itu ia juga mempelajari bidang ilmu Hadis dan berguru pada Imam
Sufyan ibn ‘Uyainah, serta bidang ilmu al-Qur’an dan berguru pada Imam Isma’il ibn
Qastantin.
Di samping cerdas asy-Syafi’i juga sangat tekun dalam belajar. Pada usia 10
tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik, dan
pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Setelah itu, ia pergi ke
Madinah untuk berguru pada Imam Malik, kemudian pergi ke Irak dan berguru pada
ulama besar di sana, antara lain imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan.
Setelah itu, ia kembalii ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik kurang lebih
selama empat tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Pada usia 29 tahun, as-Syafi’i mulai mengajar di Madinah. Ia terkenal sebagai
ulama ahli fiqh, ahli Hadis, Tafsir, Bahasa dan Sastra Arab, ilmu Falak, ilmu ushul
dan tarikh. Setelah itu ia pindah ke Yaman atas undangan ‘Abd Allah ibn Hasan, wali
negeri tersebut. Di sana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di
samping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru.
Pada tahun 181 H/797 M ia kembali mengajar di Makkah. Selama 17 tahun di
Makkah, ia mengajarkan berbagai ilmu agama, terutama kepada para jamaah haji
yang datang dari penjuru dunia. Selanjutnya pada tahun 198 H/813 M ia pergi ke
Bagdad dan mengajar di sana. Belum genap setahun di sana, ia diminta oleh wali
negeri Mesir, 'Abbas ibn Musi untuk pindah ke Mesir.
Dalarn meng-istinbat-kan hukum, asy-Sya-fi'i memakai lima dasar, yaitu al-
Qur'an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Sebagai ulama yang tempat
mengajarnya berpindah-pindah, asy-Syafi'i mempunyai ribuan murid, di antaranya ar-
Rabi' ibn Sulaiman al-Muridi, Yusuf ibn Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim dan lain-
lain. Sebagai seorang ulama yang tekun dan berbakat menulis, ia mempunyai banyak
karangan-karangan kitab, seperti ar-Risalah al-Umm, Kitab a]-Musnad, Ikhtilaf al-
Hadis lain-lain.

4. Imam Ahmad bin Hanbal


Nama tengkap Imam besar ini adalah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Usd ibn
Idris ibn 'Abd Allah ibn Anas ibn 'Auf. Panggilan sehari-harinya Abu 'Abd Allah.
Lahir di Bagdad 164 W&W M dan meninggal di kota yang sama pada tahun 241
H/855 M. Pendidikannya diawali dengan belajar al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama pada
ulama-ulama Bagdad sampai usia 16 tahun. Pada tahun 183 H ia berangkat ke Kufah,
tahun 186 H ke Basrah, kemudian ke Makkah tahun 197 H. Negara dan kota-kota lain
yang pernah disinggahinya adalah Syam, Yaman, Maroko, Aljazair, Persia, Khurasan
dan lain-lain. Di antara guru-gurunya adalah Sufyin ibn Tyainah, Hammid ibn Khalid,
Ismail ibn 'Aliyah, 'Abd ar-Rahman al-Mahdi, Imam asy-Syifi’i dan lain-lainnya. Dari
para guru-gurunya. ia mendalami. ilmu Fiqh, Hadis, Tafsir, ilmu Kalam, ilmu Usul
dan bahasa Arab. Sehingga mengantarkannya menjadi ulama yang ahli di segala
bidang, terutama agama. .
Sebagai ulama besar, namanya dikenal banyak orang dan orang-orang pun
berdatangan untuk mendengar fatwa-fatwanya dan mendapatkan ilmu darinya. Di
antara murid-muridnya: adalah lmam Hasan ibn Musi, Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam az-Zur'ah ad-Dimasqi dan Imam Salih.
Imam Hanbali mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap hadis-hadis Nabi
SAW. Di mana saja ia mendengar ada ulama hadis, ia mendatanginya untuk
mendapatkan hadis darinya. Ketekunan belajar dan kesungguhan dalam meneliti
hadis mengantarkannya menjadi ulama hadis yang menghafal ribuan hadis. Hal ini
terbuk.ti dengan kesanggupannya menyusun al-Musnad, yaitu kitab hadis yang
menghimpun kurang lebih 40.000 hadis. dan disusun berdasarkan tertib nama Sahabat
yang meriwayatkannya.
Dalam meng-istinbat-kan hukum, prinsip-prinsip yang digunakan adalah nas. (al-
Qur'an dan hadis sahih), fatwa Sahabat, hadis mursal dan daif, serta qiyas. Imam,
Hanbali selain hafal al-Qur'an dengan fasih dan lancar, juga mengerti tafsirnya secara
mendalam. la banyak meninggalkan karya tulis, di antaranya Kitab at-Tafsir, as-
Sunan, an-Nasikh wa Mansukh dan lain-lain.

6. Ibn al-Hummam
Namanya adalah Muhammad ibn 'Abd al-Wihid ibn 'Abd al-Hami'd ibn Mas'ud
ibn Hamid ad-Din ibn Sa'd ad-Din. Lahir di Iskandariah tahun 790 H/1387 M dan
meninggal pada tahun. 861 H/1456 M. la adalah seorang ahli Fiqh mazhab Hanafi,
teolog, ahli Nahwu. Namanya lebih dikenal dengan ibn al-Hummam.
Ibn al-Hummam tumbuh dan besar dalam. keluarga ulama yang terhormat. Belum
genap usia 10 tahun, ayahnya meninggal dunia. Maka ia selanjutnya diasuh oteh
neneknya dari pihak ibu yang dikenal sebagai faqihah, ahli Fiqh perempuan. Oleh
sang nenek ia diperintahkan untuk belajar al-Qur'an dengan 'Abd ar-Rahman al-
Akbari, seorang ahli Fiqh lskandariyah. Setelah itu ia belajar ke Kairo kepada Syihab
ad-Din al-Haisami untuk menghafal al-Qur'an dan kepada Syams ad-Din az-Zaratini
untuk belajar ilmu Tajwid.
Berkat kerja kerasnya dalam menuntut ilmu, menjadikan ia terkenal sebagai
argumentator, baik dalam ilmu Fiqh, usul al-fiqh, usul ad-Din, tafsir, hadis, mantiq,
bahasa Arab, tasawwuf, matematika dan sastra. Semua keahlian ini diperoleh dari
sejumlah gurunya, antara lain Jainal ad-Din al-Humaidi, Zain ad-D'in at-Iskandari,
Muhammad al-Bisati al-Maliki, Izz ad-Din ibn 'Abd as-Salam al-Bagdadi, Badr ad-
Din al-'Ain al-Hanafi serta sejumlah ulama besar lainnya yang sulit dihitung.
Pandangan-pandangan ilmiahnya terlihat dari sikapnya yang senantiasa membela
kebenaran. la mengatakan apa yang sesuai dengan keputusan hatinya, tak peduli
apakah sejalan dengan pendapat imamnya atau bertentangan, sesuai dengan pendapat
mazhab lain atau bertentangan dengan mazhab empat sekalipun. Berkat kecerdasan
dan keberanniannya, ia pernah menjadi muffi dan mengajar beberapa perguruan
tinggi.
Terdapat ratusan ulama yang pemah belajar kepada Ibn al-Humman di antaranya
Badr ad-Din al-'lraqi al-Miliki, Syaraf ad-Din al-Munadi asy-Syafi’i, Jamal ad-Din
ibn Hisyam at-Misri al-Hanbali dan Zain ad-Din ibn Qatlubaga al-Hanafi. Di samping
itu, Ibn al-Hummam produktif menghasilkan karya-karya ilmiah, di antaranya yaitu
at- Tahifr fl Usul al-Fiqh, Fath al-Qadir wa Zad al-Faqir dan karya-karya lainnya.

7. Muhammad Rasyid Rida


Ia lahir di Suriah pada tahun 1865 dan dikebumikan pada tahun 1935. Muhammad
Rasyid Rida merupakan seorang pemikir dan ulama pembaharu di Mesir pada awal
abad ke-20. la dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama.
Pendidikannya diawali dengan belajar membaca al-Qur'an, menulis dan berhitung
di kampungnya Qalamun, Suriah. Setelah lancar, ia masuk ke Madrasah ar-
Rasyidiyah di Tripoli, hanya selama setahun. Di sana ia belajar ilmu bumi, ilmu
hitung, ilmu bahasa dan ilmu agama. Ketika berumur 18 tahun, ia belajar di Madrasah
al-.Wataaiyyah al-Islamiyyah dengan guru Syeikh Husain al-Jisr. Di sini ia belajar
ilmu mantiq, matematika, filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama. Di sekolah
inilah tumbuh dalam diri Rasyid Rida semangat ilmiah dan ide pembaharuan.
Selain menekuni pelajaran di Madrasah al-Wataaiyyah al-Islamiyyah, Rasyid
Rida juga tekun mengikuti, perkembangan dunia Islam melalui surat kabar al-'Urwah
al-Wusqa, sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin oleh Jamal ad-Din al-
Afgani dan Muhammad 'Abduh. Ide-ide pembaharuan yang dikumandangkan kedua
tokoh itu sangat berkesan dalam diri Rasyid Rida, sehingga menimbulkan keinginan
kuat untuk bergabung dan berguru kepada keduanya. Namun Rasyid Rida tidak dapat
berjumpa dengan al-Afgani karena ia lebih dahulu meninggal sebelum bertemu.
Rasyid Rida sempat bertemu dengan Muhammad 'Abduh di tempat pembuangannya
di Beifit. Perternuan dan dialog antara keduanya menumbuhkan semangat
pembaharuan Rasyid Rida untuk memajukan Islam.
Kemudian Muhammad 'Abduh kembali ke Mesir pada tahun 1898, yang
kemudian Rasyid Rida mengikutinya. Selanjutnya ia mengusulkan kepada
Muhammad 'Abduh untuk menerbitkan majalah, yang berisi ide-ide dan pikirannya.
Maka terbitlah sebuah majalah "al-Manii", nama yang diusulkan Rasyid Rida. Format
isi majalah tersebut sama dengan majalah al-'Urwah al-Wusqa.
Selanjutnya Rasyid Rida mengusulkan kepada gurunya untuk menafsirkan al-Qur'an
dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman dan diterbitkan dalam majalah
al-Manar. Kemudian kumpulan tafsir tersebut dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
Sampai wafatnya Muhammad 'Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surat an-
Nisa' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya dilakukan oleh Rasyid Rida.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Rida adalah dalam bidang
agama, bidang pendidikan dan bidang politik. Pemikiran pembaharuan yang dicetus
oleh Rasyid Rida dari gurunya, Muhammad 'Abduh memberikan pengaruh dalam
dunia keilmuan Islam. Ide-ide yang terkandung dalam majalah al-Manar banyak
mengilhami gerakan-gerakan pembaharuan, bahkan terasa sampai ke Indonesia.
8. Ibnu Bazz
Ia adalah 'Abd al-'Aziz ibn 'Abd Allah ibn 'Abd ar-Rahman ibn Muhammad 'Abd
Allah ibn Bazz. Lahir di Riyad.pada tahun 1330 H di tengah keluarga yang mayoritas
para penuntut ilmu. Pernah menjabat sebagai rektor di Universitas Islam Madinah
dari ketua umum Lajnah Dia’imah, setingkat dengan menteri. Selain itu, ia aktit di
berbagai lembaga-lembaga ilmiah dan majelis-majelis keislaman di kerajaan Arab
Saudi. Puncaknya, berkat keaktifan dan keluasan ilmunya, pada tahun 1414 H ia
diangkat menjadi Mufti 'Amm kerajaan Arab Saudi.

9. lbnu 'Usaimin
Ia adalah Abu 'Abd Allah Muhammad ibn Salih ibn Muhammad ibn 'Usaimin al-
Muqbil al-Wuhaibi at-Tamimi. Lahir di Unaizah, wiiayah Qasim pada tahun 1347 H
dalam lingkungan keluarga yang dikenal agamis dan istiqamah. Kepada kakeknya
dari,pihak ibu, Syaikh 'Abd ar-Rahman ibn Sulaimin 'Ali Damig, ia belajar membaca
al-Qur'.an dan menghafalkannya. Ia belajar juga ilmu kaligrafi, ilmu hisab dan
sebagian ilmu sastra.
Sepeninggalan gurunya, Ibnu 'Usaimin dinobatkan menjadi imam Jami' Kabir.
Mengenai. tulis menulis ia baru menekuninya pada tahun 1382 H, ketika pertama kali
mengarang buku Fath Rabb al-Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah. Buku ini adalah
ringkasan dari kitab karya Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, yaitu ar-Risalah al-
Hamawiyyah fl al-'Aqidah.

10. Ibnu Qudamah


Ibnu Qudamah adalah ularna besar di bidang ilmu Fiqh. yang kitab-kitab fiqhnya
merupakan kitab standar bagi Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya adalah Muwaffiq
ad-Din Abu Muhanunad 'Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah ibn
Miqdam ibn Nasr al-Maqdisi ad-Dimasyqi al-Hanbali. Menurut para seijarawan, ia
termasuk keturunan 'Umar ibn al-Khattab melalui jalur 'Abd Allah ibn 'Umar.
Beliau dilahirkan di kota Nablus (sebuah kota di negara Palestina) tepatnya di
sebuah desa di pegunungnan yang bemarna Jamma'il pada tahun 541 H/1147 M. Pada
usia 10 tahun (tahun 551 11), bersama kcluarganya pindah ke Damaskus. Menurut
versi lainnya, ia hidup ketika ketika Perang Salib sedang berlangsung, khususnya di
daerah Syam (Suriah sekarang).
Di antara guru-guru yang pernah mengajarnya adalah:
1. Hibbat Allah ibn al-Hasan ad-Daqqaq
2. Abu al-Fath ibn al-Bati
3. Abu Zar'ah ibn Tahir
4. Ahmad ibn al-Muqarrib
5. Mu'mar ibn al-Fakhir
6. Ahmad ibn Muhammad ar-Rahabi
7. Hidairah ibn Umar al-'Alawi
8. AI-Mubarak ibn Muhammad al-Badarai
9. Syahdah al-Katibah

Sedangkan di antara murid-muridnya adalah:


1. At-Baha`Abd ar-Rahman
2. Ibnu Naqatah
3. Ad-Diya` al-Maqdisi
4. Abu Syamah
5. Ibn an-Najr, dan lain-lain.

Karya-karya penting Ibn Qudamah antara lain yaitu :


1. AI-Mugni; sebuah karya monumentall yang memuat seluruh permasalahan fiqh
dengan segala aspeknya.
2. AI-Kafi; kitab fiqh, merupakan ringkasan bab fiqh
3. AI-Muqni, kitab fiqh yang ditulis dalam beberapa jilid, akan tetapi tidak selengkap
al-Mugni
4. AI-'Umdah fi al-Fiqh ; kitab fiqh kecil yang disusun untuk para pemula dengan
mengemukakan argumentasi dari al-Qur'.an dan al-Hadis.
5. Raudah an-Nazir fi Usul al-Fiqh membahas persoalan usul al-fiqh, merupakan
kitab usul tertua dalam Mazhab Hanbali.
6. Mukhtasar i'lal al-Hadis ; berbicara tentang cacat-cacat hadis
7. Mukbtasar al- Garib al-Hadis ; membicarakan tentang hadis-hadis garib
8. Al-Burhan., fi Masa’il al-Qur’an ; membahas ilmu-ilmu al-Qur'an
9. Kitab al-Qadr; berbicara tentang takdir
10. Fada’il as-Sahabah ; membahas kelebihan para Sahabat Nabi
11. Kitab at-Tawwabin fi al-Hadis, miembicamkan masalah-masalah taubat dalam
hadis
12. AI-Mutahibbin fi Allah; tentang tasawuf
13. AI-Istibsyar fi Nasab al-Ansar, berisi tentang keturunan orang-orang Ansar
LAMPIRAN III

CURRICULUM VITAE

Nama : Andri Nur Wicaksana

Tempat/tanggal lahir : Pacitan, 20 Juli 1984

Alamt asal : RT.02/01 Jambu Bangunsari Pacitan Pacitan

Alamat di Yogyakarta : Jl.Timoho Gg. Gading No.4

Orang tua

Ayah : M. CHUSNAN

Ibu : SUMARTI

Alamat : RT.02/01 Jambu Bangunsari Kec.Pacitan Kab.Pacitan

Pekerjaan : Depag dan Guru

Pendidikan:

1. Formal :

a. TK Taman Harapan Tahun 1991-1992

b. SDN Bangunsari II Tahun 1992-1997

c. SLTP N.1 Pacitan Tahun 1997-2000

d. MAN 1 Pacitan Tahun 2000-2003

e. UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta Tahun 2003-2008

2. Non Formal :

a. Pesantren Al-Munawir Tahun 2003-2007


Pengalaman Organisasi:

1. Pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Tahun 1998-2000.

2. Pengurus Organisasi Bina Desa (UIN) Tahun 2003-2005

3. Kepala Biro Konsultasi Hukum (PSKH) UIN Tahun 2005-2007

4. Kantor Advokat Heni Astiyanto ( Legal Center 97 ) Tahun 2006-sekarang

5. PAH KUA Gondokusuman Tahun 2007-sekarang

You might also like