Professional Documents
Culture Documents
Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Menikah DGN Niat Cerai
Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Menikah DGN Niat Cerai
SKRIPSI
OLEH
PEMBIMBING
1. PROF. DR. KHOIRUDDIN N., MA.
2. DRS. SLAMET KHILMI, MSI.
ABSTRAK
Ibnu Taimiyah adalah salah seorang dari ulama besar Islam. Beliau dikenal
dengan fatwa-fatwanya yang banyak berbeda dengan ulama lain pada masanya, yang
bisa diketahui metode istinbat hukumnya melalui al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang membahas nikah jenis ini, dan
kumpulan fatwa atau pendapatnya tersebut sebagian besar ditulis dalam kitab Majmu>’
Fata>wa>. Untuk mengetahui dasar pendapat Ibnu Taimiyah tentang permasalahann nikah
dengan niat cerai, maka penyusun mendeskripsikan pendapatnya tersebut melalui
rumusan masalah yaitu, bagaimana hukum menikah dengan niat cerai menurut Ibnu
Taimiyah? lalu apa yang menjadi dasar pemikirannya, serta menguraikan pendapat ulama
lainnya sebagai pembanding.
Dalam permasalahan hukum nikah dengan niat cerai, ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama yang disebabkan karena tidak adanya nas} (al-Qur’an maupun Hadis)
yang mengaturnya secara jelas. Menurut hemat penyusun, nikah jenis ini hampir mirip
dengan nikah mut’ah dan tahlil, apabila dilihat secara mendasar.
Dalam mencari data, menjelaskan dan menyampaikan obyek penelitian secara
terarah, maka penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai pendapat Ibnu Taimiyah
tentang menikah dengan niat cerai, yaitu dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>. Penelitian ini
bersifat deskriptif-analitik, yaitu data-data yang ada disusun, dijelaskan kemudian
dianalisis dan disimpulkan secukupnya dari pemikiran tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan filosofis. Untuk menganalis data,
digunakan analisis kualitatif melalui metode : Deduksi, yakni dalam penelitian ini
menguraikan tentang fiqh nikah dan fiqh niat, pernikahan yang terlarang serta penjelasan-
penjelasan yang terkait. Deskriptif, yaitu penyusun mengumpulkan data tentang menikah
dengan niat cerai dan disusun, kemudian mengklasifikasikan serta
menginterpretasikannya. Disamping itu untuk lebih memperdalam kajian, penulis juga
membandingkan pendapat Ibnu Taimiyah tentang menikah dengan niat cerai dengan
pendapat ulama lain, sehingga diketahui unsur-unsur kesamaan dan perbedaan guna
mengambil kesimpulan yang lebih relevan dan akurat.
Menurut Ibnu Taimiyah hukum nikah dengan niat cerai adalah boleh, dengan
argumentasi bahwa asalkan pelaksanaan akad pernikahan tersebut dilaksanakan secara
mutlak dan tidak disyaratkan penentuan waktu di dalamnya. Terkadang Ibnu Taimiyyah
juga menyatakan makruh terhadap pernikahan model ini karena ternyata pernikahan jenis
tersebut bertentangan dengan konsep maqasid al-syari’ah. Yang menjadi dasar
pemikirannya adalah niat tidak merusak pernikahan sedikit pun, hal ini berdasarkan pada
sabda Rasulullah SAW.: “Allah tidak menganggap untuk umatku terhadap apa yang
(hanya) terbesit di dalam hatinya, selagi ia tidak/belum melakukannya atau
mengucapkannya”.
Sedangkan pendapat ulama yang memperbolehkan nikah semacam ini --menurut
penyusun-- hanya karena tidak ditemukannya nas} yang secara eksplisit mengatur tentang
hal tersebut, dan juga dikarenakan permasalahan hati tidak ada orang lain yang bisa
mengetahuinya, selain dirinya sendiri dan Allah yang Maha Tahu.
ii
MOTTO
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman
pada Surat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tersebut adalah:
A. Konsonan
vii
26. ﻭ waw w -
27. ﻫـ ha’ h -
28. ﺀ hamzah ’ apostrop
29. ﻱ ya’ y -
B. Vokal
Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau
1. Vokal Tunggal
Contoh:
ﻛﺘﺐ- Kataba – ﻳﺬﻫﺐYaz\habu
– ﺳﺌﻞSu’ila – ﺫﻛﺮZ|ukira
2. Vokal Rangkap/Diftong
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara h}arakat
Contoh:
ﻛﻴﻒ: Kaifa ﺣﻮﻝ : H{aula
viii
C. Vokal Panjang (Maddah)
Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa h}arakat dan huruf,
Contoh:
ﲢﺒﻮﻥ : Tuhibbūna ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ: al-Insān
D. Ta’ Marbu>t}ah
1. Transliterasi Ta’ Marbu>tah hidup atau dengan h}arakat, fath}ah, kasrah, dan
3. Jika Ta’ Marbu>tah diikuti kata sandang “al” dan bacaan kedua kata itu terpisah
ix
E. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid)
Transliterasi Syaddah atau Tasydid dilambangkan dengan huruf yang sama baik
Contoh:
ﺤﻤﺪﻣ : Muhammad
ﺩ ﺍﻟﻮ : al-wudd
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditulis dengan menggunakan
huruf “l ”.
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditulis dengan menggunakan
Contoh:
ﺍﻟﺴﻨﺔ : as –Sunnah
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, namun dalam
yang berpedoman pada EYD yakni penulisan huruf kapital pada awal kalimat, nama
x
Contoh:
ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻐﺰﺍﱄ : al-Ima>m al-Gaza>li>
Penggunaan huruf kapital untuk Alla<h hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya
lengkap dan kalau disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang
Contoh:
Huruf Hamzah ditransliterasikan dengan koma di atas (’) atau apostrof jika berada di
tengah atau di akhir kata. Tetapi jika hamzah terletak di depan kata, maka Hamzah
Contoh:
I. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il (kata kerja), isim atau huruf, ditulis terpisah.
Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab atau h}arakat yang dihilangkan,
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata
Contoh :
xi
KATA PENGANTAR
اﻟﻠّﻬ ّﻢ ﺻ ّﻞ وﺳﻠّﻢ٠ أﺷﻬﺪ أن ﻻ إﻟﻪ إ ّﻻ اﷲ وأﺷﻬﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪﻩ ورﺳﻮﻟﻪ٠ اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah Azza wa Jalla yang telah
mengkaruniakan kesempurnaan kepada manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda yang mulia nabi besar Muhammad
Alhamdulillah, tiada pernah terkira penyusun telah menyelesaikan salah satu dari
syarat untuk mendapatkan kelulusan yang berupa skripsi, dalam rangkaian studi Strata
Ungkapan rasa terima kasih yang sangat dalam kepada pihak-pihak yang telah
membantu terlaksananya skripsi ini. Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lain adalah
karena bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih
3. Bapak Prof. Dr. Khoiruddin N., MA. ,selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
memberikan kontribusi ide, saran, kritik, masukan dan arahan serta pandangan
xii
4. Bapak Drs. Slamet Khilmi,MSI. selaku Pembimbing II penyusunan skripsi yang
telah memberikan roda atas putaran isi kepala yang sedang menyusun skripsi ini
5. Serta kepada semua fihak yang telah membantu atas tersusunnya skripsi ini,
diberikan, semoga Tuhan sendiri yang membalas dengan sepuluh kali lipat yang
lebih baik.
untuk air mata do’a yang tidak pernah kering, dan kasih yang senantiasa mengalir, ayah
dan ibu tercinta atas ketulusannya selama ini. Kepada saudariku tercinta, Fitri Muhimatul
Maskanah yang telah memberikan dorongan dan semangat. Untuk teman-teman setiaku
yang telah mendampingi dalam memberikan buku-buku dan kritikannya, terutama mas
Fauzi dari Yayasan Ali Maksum atas pinjaman referensinya dan mas Anas untuk
masukan-masukannya.
Demikian pengantar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan terima kasih
sekali lagi kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu. Semoga kasih
sayang dan hidayah-Nya selalu melengkapi kita semua. Amin. Tidak dapat dipungkiri
adanya subyektifitas dalam membuat karya ini, oleh karena itu penyusun berharap
xiii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
HALAMAN MOTTO...................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
G. Sitematika Pembahasan................................................................ 20
A. Nikah…………………………………………………………… 23
4. Nikah Tahlil………………………………………………… 37
5. Nikah Mut’ah……………………………………………….. 41
xiv
B. Cerai/Talak………………………..……………………………. 45
C. Majmu Fatawa.............................................................................. 62
BAB IV : ANALISIS
A. Niat
1. Pengertian Niat……………………………………………. 69
Cerai............................................................................................ 83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………... 88
B. Saran-saran……………………………………………………… 89
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 90
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Agama dalam kacamata manusia bukan hanya sebagai suatu aturan dan jalan
hidup untuk kebahagiaan sewaktu di dunia saja, akan tetapi juga sebagai jalan untuk
kebahagiaan akhirat. Perkawinan merupakan salah satu dari peristiwa hukum, yaitu
suatu peristiwa yang berhubungan antar pribadi.1 Islam sebagai agama yang
universal, selalu sesuai dengan jalannya perkembangan zaman tanpa terbatas ruang
dan waktu (s}a>lih likuli zama>n wa maka>n). Islam diturunkan kepada seluruh umat
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri karena mereka
memerlukan pertolongan satu sama lain. Oleh karena itu, masing-masing individu
tertib hidup dapat dipelihara dengan semestinya maka diperlukan adanya peraturan,
1
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 83.
2
Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. ke-1 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997), hlm. 1.
2
sekali yang bersifat umum. Maka keumumannya tersebut kemudian dijelaskan oleh
sunnah rasul. Jumhur ulama sepakat bahwa apabila ada kejadian yang nasnya tidak
Apabila tidak terdapat pada ijma’ maka metode selanjutnya adalah meng-qiyas-kan
‘illat hukum furu’ kepada ‘illat hukum asal yang sudah ada nasnya.3
Tuhan, dengan orang lain dan dirinya sendiri, serta menjadi tiang untuk menegakkan
primer bagi manusia (d}aru>ri>).5 Hal-hal yang bersifat d}aru>ri> manusia bertitik tolak
pada lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. 6 Sehingga jelas bahwa
3
Abd al-Wahha>b Khalla>f, Kaidah-kaidah Hukum Islam, alih bahasa oleh Noer Iskandar al-
Barsany dan M. Tolchah Mansoer, cet. ke-8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 18.
4
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa oleh H.M. Rasjidi, cet. ke-1 (
Jakarta: Bulan Bintang, 1980 ), hlm.119
5
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003)
hlm.3.
6
‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Us{ul al-Fiqh, cet. ke-3 (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978),
hlm.200.
3
yaitu melindungi agama (hifz} al-din), melindungi jiwa dan keselamatan fisik (hifz} al-
(hifz} al-‘aql) dan melindungi harta benda (hifz al-mal). Kemudian Imam al-Qarrafi,
pendapat umum adalah lebih cepat jalannya dari pada hukum, baik dalam perubahan
ataupun dalam pergantiannya sama sekali. Pembinaan hukum dapat diartikan dengan
7
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003)
hlm.3.
8
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, cet. ke-1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 65.
4
disebabkan karena syari’at Islam tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari’at Islam ditetapkan demi agar
Dengan demikian kiranya jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran
dikenal sejak Allah SWT menciptakan manusia pertama kali, Nabi Adam as. Allah
sunnatullah (hukum alam). Dalam kehidupan di dunia, semua makhluk hidup tidak
bisa terlepas dari pernikahan, demi kelestarian dan kelangsungan lingkungan alam
semesta. Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mulia.
Maka Islam memerintahkan kepada orang yang telah memiliki kemampuan (al-ba’ah)
untuk menjalankan syari'at ini. Karena di dalamnya terkandung tujuan yang sangat
agung dan suci, serta mempunyai hikmah yang begitu besar bagi kehidupan manusia.
Tujuan dari pernikahan adalah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang
tenang, tenteram, damai dan bahagia dalam bingkai mawaddah wa rah}mah. Oleh
9
Masdar F. Mas’ud, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari’ah”, dalam Ulumul
Qur’an, Nomor : 3, Vol IV, tahun 1995. hlm. 94
5
karena itu, pernikahan bukan semata-mata hanya untuk memuaskan nafsu.10 Hal ini
merupakan prinsip dasar teori keluarga sakinah, sebagaimana termaktub secara jelas
وﻣﻦ أﻳﺎﺗﻪ أن ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ أﻧﻔﺴﻜﻢ أزواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا إﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮدة
11
ورﺣﻤﺔ إن ﻓﻰ ذﻟﻚ ﻷﻳﺎت ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون
Islam saja yang hanya berdimensi ubudiyah saja. Akan tetapi sebuah pernikahan yang
diinginkan oleh agama Islam adalah pernikahan yang berdimensi ibadah (‘ubudiyah),
sosial, dan hukum (law). Dengan mencakup ketiga dimensi tersebut maka pernikahan
dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh syari’at Islam secara substansial dan
sesuai dengan tujuan pernikahan dalam suatu bangsa dan negara. Apabila ada salah
satu segi yang terabaikan, maka akan terjadi ketimpangan dalam pernikahan tersebut
serta akan menjadikan tujuan yang hakiki tersebut tidak dapat terealisasi dengan baik.
12
Menikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah Swt, lengkap dengan syarat dan rukunnya, tidak ada satu
hal yang menghalangi keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dan kecurangan dari
10
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 19.
11
Ar-Ruum [30]: 21.
12
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Pedoman Jaya, 1989) hlm.24
6
kedua belah pihak, serta niat dan maksud dari kedua mempelai sejalan dengan
tuntunan syariat Islam.13 Oleh karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rela, demi menjaga kehormatan dan
perkawinan, suatu “perjanjian atau ikatan yang kokoh”. Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.15 Maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan, apalagi akad nikah yang
mengatakan bahwa talak adalah suatu hal yang “terlarang”, kecuali karena ada alasan
yang benar atau darurat,16 walaupun dalam Islam ada pensyariatan perceraian (talak)
dan bahkan menghalalkannya, hal ini bukan berarti Islam mencetuskan ide
yang digariskan Islam. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara
13
Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm. 7.
14
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa H.M Rasjidi, cet.ke-1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), hlm. 120.
15
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 1 ( Surabaya : Arkola, 2002)
hlm.5.
16
S}abuni As}-, Tafsir Ayat Ahkam, alih bahasa Hamidi dan A.Manan, cet. ke-4 (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2003), III: 241-244.
7
suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Istilah ikatan suci dan
kokoh antara suami istri oleh al-Qur’an disebut dengan mis\a>qan gali>z}an.
Jika diamati, ikatan suami istri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh dan
kuat, maka tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun
hubungan antara suami istri adalah dibenci Islam, bahkan dipandang telah keluar dari
waktu. Salah satunya adalah muncul masalah tentang pernikahan dengan niat
cerai/talak. Hal ini menjadi model pernikahan yang timbul ke permukaan. Menurut
hemat penyusun, pernikahan model ini hampir sama dengan nikah Mut‘ah dan nikah
Muh}allil. Perbedaannya adalah dalam nikah dengan niat cerai akadnya tidak ada
syarat, sedangkan di dalam nikah Mut‘ah niat atau tujuannya jelas serta terdapat
17
An-Nisa’ [4]: 21.
18
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-3 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm.
316.
19
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk, cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haqq, 2004), hlm. 455.
8
Muh}allil yaitu seorang laki-laki yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga sehabis
maksud agar bekas suaminya dapat menikahi wanita itu kembali,20 sedangkan
menikah dengan niat cerai, yaitu seorang laki-laki menikahi wanita dan di dalam
hatinya terdapat niat menikah hanya untuk sementara waktu dan akan menceraikan
Pernikahan dengan niat cerai yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang
laki-laki melaksanakan akad nikah bersama calon istri, dan sejak awal akad
tersebut tidak langgeng.22 Sebagai contoh adalah seseorang pergi ke luar kota atau
luar negeri karena melaksanakan pekerjaan atau ada kepentingan lain di tempat baru
tersebut (misalnya untuk studi), kemudian dengan alasan takut terjerumus ke limbah
zina ia melaksanakan pernikahan dengan seorang wanita dengan tujuan hanya untuk
sementara, yaitu sampai urusannya selesai. Contoh lain seseorang hidup di tempatnya
sendiri tapi menikahi wanita dengan niat sementara dengan alasan hamil (karena
hartanya.
20
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tetang Nikah, alih bahasa Abu Fahmi Huaidi dkk, cet. ke-1
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 135.
21
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
22
Ibid., hlm. 84.
9
ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. Sebagian ulama ada yang
membolehkan misalnya Ibnu Qudamah dan ada juga yang melarangnya seperi Syams
ad-Din al-Maqdisi, karena tidak terdapat nas baik dari al-Qur’an maupun hadis yang
Di antara ulama yang menjadi obyek pokok kajian skripsi ini dalam
membahas nikah dengan niat cerai adalah Ibnu Taimiyah sebagaimana yang ditulis
dalam karyanya “Majmu>’ Fata>wa>”. Beliau dikenal pada zamannya jika berfatwa,
tidak pernah bersandar kepada mazhab tertentu, tetapi beliau berfatwa dengan dalil
yang menurutnya benar.23 Adapun ulama lain yang pernah membahas permasalahan
nikah dengan niat cerai adalah Ibnu Qudamah di dalam kitabnya “al-Mugni”.
B. Pokok Masalah
dirumuskan pokok masalah yang dikaji dan diteliti dalam penulisan skripsi ini, yaitu
sebagai berikut:
23
Ibnu Taimiyah, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, alih bahasa Munirul Abidin,
cet. ke-1 (Malang: Pustaka Zamzami, 2004), hlm. 5.
10
Setiap penelitian tentu saja tidak terlepas dari tujuan-tujuan tertentu yang
senantiasa terkait dengan pokok masalah yang menjadi inti pembahasan dan
1. Mengetahui apa saja hukum menikah dengan niat cerai dan hal-hal yang
mendasarinya.
asy-syaksiyyah).
D. Telaah Pustaka
baik pola pikir maupun fatwa-fatwanya, akan tetapi sejauh penelusuran penyusun,
lebih lanjut dari selama-lamanya ini adalah pernikahan bukan bertujuan untuk
berpisah. Dalam buku menikah dengan niat cerai karangan Dr. Saleh Ibn ‘Abd al-
‘Aziz al-Mansur membahas tentang permasalahan ini. Akan tetapi fokus utamanya
Walaupun Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur dapat dikatakan belum mengungkap
secara mendetail tentang permasalahan ini, tetapi pendapatnya telah dituliskan dalam
secara eksplisit) pada bab nikah Muh}allil. Asmawi menyebutkan bahwa apabila niat
untuk menceraikan hanya sebatas ungkapan hati (tidak diucapkan), dan ketika
pelaksanaan akad nikah tidak disebutkan niatnya, maka pernikahan itu sah-sah saja.26
24
Saleh Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 11.
25
Ibid, hlm 40.
26
Mohamad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet.ke-I (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), hlm.104.
12
Literatur ini tidak membahas pendapat Ibnu Taimiyah secara khusus, akan tetapi
literatur ini turut membantu dalam menganalisis pokok bahasan skripsi ini.
membahas permasalahan ini secara khusus. Pembahasan tentang menikah dengan niat
cerai umumnya dimasukkan pada bab nikah Mut‘ah atau nikah Muh}allil.
Niat Cerai menurut pemikiran Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni, disana
dibolehkan dengan syarat sedang dalam perjalanan jauh atau seorang musafir. 27
Menurut hemat penyusun, dari skripsi yang pernah penulis baca, belum ada
penelitian terhadap pendapat Ibnu Taimiyah khususnya tentang nikah dengan niat
cerai sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu’ Fatawa. Selain itu, pendapat dari
Ibnu Taimiyah terdapat perbedaan dengan karya sebelumnya yaitu pendapat Ibnu
27
Syihabuddin Ahmad, Menikah Dengan Niat Cerai ( Studi pemikiran Ibnu Qudamah ),
Skripsi UIN Sunan Kalijaga ( 2006 ), hlm.6.
28
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 28-38.
13
E. Kerangka Teoretik
Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam pemikiran hukum Islam,
apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas maka hukum
itulah yang harus diambil, tetapi apabila tidak ditemukan di dalamnya, maka dicari
dalam Sunnah. Jika di dalam keduanya tidak terdapat ketentuan hukum yang
memiliki ciri khas tersendiri, diantaranya ialah bercorak responsif, adaptif dan
dinamis. Hal ini dapat dilihat dari pekanya terhadap permasalahan yang berhubungan
dengan hukum Islam, baik yang bercorak pemikiran maupun temuan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di masyarakat. Untuk itu perlu adanya upaya merespon
29
Di dalam hukum Islam, sumber hukum Islamn secara global diklarifikasikan menjadi dua,
yaitu : 1).Nash atau Wahyu yang meliputi al-Qur’an dan Sunnah ; 2). Ijtiha>d atau Ra’y yang meliputi
Qiya>s, Ijma>’, Istih}sa>n, Mas}lahah al-Mursalah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Sah}bi, Sad al-Za>ri’ah dan
Syar’u Man Qablana. Lihat ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f. Ilmu Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Qalam 1978),
hlm. 21-22 dan Muhammad abu Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Bairut : Da>r al-Fikr al-‘Arabi, 1988) hlm. 203-
206.
30
Zarkasi Abd Salam dan Syamsul Anwar, Tanggapan Terhadap Makalah Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jurnal Asy Syir’ah No.1 Tahun XII 1998 hlm 12
14
lain.31 Al-Qur’an menyebutkannya bukan dengan kata-kata yang biasa, seperti ‘Aqd
dan ‘Ahd, akan tetapi menggunakan kata Mis\aq, yang maksudnya lebih mendalam
Mengatakan kata mis\a>qan gali>z}an atau perjanjian yang kuat hanya ditemukan tiga
kali dalam al-Qur’an: pertama dalam ayat ini, yang melukiskan hubungan suami istri;
secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa kesucian ikatan perkawinan antara
suami dan isteri mirip dengan kesucian hubungan Allah dengan pilihanNya, yaitu
Dalam sejumlah nas{ yang biasanya dijadikan sebagai acuan seputar talak
31
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1 ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.21.
32
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-3 )Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), hlm
316
33
An-Nisa>’ [4]: 21.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cet. ke-1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), II:368.
35
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1 ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.22.
15
Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, menikah dengan niat cerai tidak terlepas dari dua
hal.41 Pertama, di dalam akad ada syarat, maka dinamakan dengan nikah Mut‘ah, dan
hukumnya haram. Kedua, nikah dengan niat cerai/talak, tapi tanpa ada syarat. Hal ini
36
, Abu Daud, Sunan Ab’ Daud, kitab at} Talaq bab "fi Karahati at} Talaq" alih bahasa M.
Imam al Qahar hadis nomor : 1863 diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.
37
Kamal Muchtar, Ushul Fiqih (Yogyakarta PT. Dana Bakti Wakaf, , 1995) hlm 203. Hadis
dari Abu Hurairah dalam HR. Ibnu Majjah ra ditakhrijkan oleh Inu Majjah dari Ibnu ‘Abbas dalam
bukunya Kamal Muchtar menjadi sumber kaidah ketiga اﻟﻀﺮر ﻳﺰالyang berarti kemaddlaratan itu
harus dihilangkan.
38
Muslim, S}ahih Muslim, kitab an nikah, hadis nomor: 813 diriwayatkan oleh Sabrah Ibnul
Juhani r.a. hal 382
39
Ibnu Majah,Sunan Ibn Majah, kitab at-talaq bab “Orang yang mencerai, menikah atau
merujuk secara main-main ” alih bahasa M. Nasiruddin Al Bani, hadis nomor.1671-2069 diriwayatkan
oleh Abi Hurairah ra.
40
Ibnu Majah,Sunan Ibn Majah, kitab at talak bab “Orang yang Mentalak dalam Hatinya,
dan Tidak Terucapkan ” alih bahasa M. Nasiruddin Al Bani, hadis nomor.1672-2070 diriwayatkan
oleh Abi Hurairah ra.
41
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk, cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haqq, 2004), hlm. 455.
16
menurut Jumhur Ulama hukumnya tidak sah akadnya, karena yang diniatkan sama
Perdebatan ulama tentang hukum dari pernikahan ini muncul dari anggapan
apakah hal ini termasuk dalam kategori nikah Mut‘ah, dan perbedaan pandangan
tentang makna dari niat apakah termasuk syarat atau tidak. Al-’Auza‘i mengatakan
Selain itu juga dalam pernikahan ini mengandung unsur kemunkaran dan kerusakan,
apalagi tampak sekali terlihat adanya penipuan dan kecurangan.43 Dalam hal ini,
untuk menentukan hukum menikah dengan niat cerai tidak hanya cukup dengan
mengutip pendapat ulama terdahulu. Pengkajian dan penelitian tentang masalah ini
masih perlu untuk dilakukan. Dengan tetap berpegangan dengan al Qur’an dan Hadis
digunakan dalam berijtihad, tetapi dapat digunakan pendekatan tentang latar belakang
42
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA,
cet. ke-1(Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 37.
43
Ibid., hlm. 39.
44
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet. ke-15 (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 75
17
sangat besar dalam menentukan hukum itu sendiri sehingga tidak dapat dipungkiri
Dasar hukum lain yang dapat kita jadikan landasan bahwa keputusan-
adanya hukum maka akan memberikan pedoman dalam standar perilaku yang
F. Metode Penelitian
Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan rasional diperlukan suatu
metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena metode berfungsi sebagai cara
diinginkan oleh semua peneliti. Di samping itu metode merupakan cara bertindak
1. Jenis Penelitian
45
Ibid.
18
merujuk kepada data-data yang ada pada referensi berupa buku-buku dan
kitab-kitab yang terkait dengan topik penelitian. Dalam kajian pustaka ini,
tentang menikah dengan niat cerai, yaitu dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>. Di
2. Sifat Penelitian
3. Pengumpulan Data
Sumber data yang dijadikan rujukan untuk menyusun skripsi ini ada 2
(dua) kategori:
46
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-14 (Bandung; PT Remaja
Rosda Karya, 2001), hlm. 113.
47
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, edisi ke-7
(Bandung: TARSITO, 1980), hlm. 140.
19
4. Pendekatan Masalah
menggunakan pendekatan dalil atau kaidah yang menjadi pedoman perilaku manusia.
pensyariatan nikah. 48
berfikir:
48
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, cet. ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.
138.
49
Ibid. hlm. 17.
20
bahan analisis.
G. Sistematika Pembahasan
pembahasan secara menyeluruh dan sistematis dalam penulisan skripsi ini, penulis
pendahuluan, yang berisi tentang metode penelitian secara umum sebagai landasan
metode, yaitu latar belakang masalah dari penelitian ini yang menjadi sejarah awal
dan merupakan landasan pertama penelitian ini, perumusan suatu pokok masalah,
tujuan dan kegunaan yang akan menjadi arah penelitian ini, kemudian telaah pustaka
yang menguraikan beberapa kajian yang telah ada sebagai sumber kajian penelitian
50
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Edisi ke-7
(Bandung: TARSITO, 1980), hlm. 147.
21
ini, terkait dengan permasalahan yang dibahas. Selanjutnya adalah kerangka teoretik
yang membahas beberapa teori tentang hukum sebagai langkah dan cara berfikir
dalam menganalisa. Setelah itu dilanjutkan dengan metode penelitian dan diakhiri
dengan sistematika pembahasan. Pada bab ini merupakan langkah awal dan sangatlah
penting dikarenakan menjadi dasar dan alur pembicaraan yang lebih mengarahkan
Kemudian Bab kedua, berisi tinjauan umum yang menguraikan niat yang
kemudian sedikit dieksplorasi tentang nikah dan cerai. Uraian ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran umum secara lebih jelas sebagai acuan dalam menyelesaikan
pokok masalah dalam skripsi ini dan lebih memperjelas alur pembahasannya.
Fata>wa>., serta pendapat dan pandangannya dalam kitab tersebut tentang hukum
menikah dengan niat cerai. Biografi ini ditujukan untuk menjelaskan tentang sejarah
menikah dengan niat cerai Ibnu Taimiyah. Selain itu, pada bab ini juga diuraikan
dasar pemikiran yang digunakan Ibnu Taimiyah tentang hukum menikah dengan niat
cerai.
22
yang ada dalam skripsi ini yang kemudian diikuti dengan pemberian kritik dan saran-
BAB II
A. Nikah
Kata ( ﻨﻜﺎﺡnikah) berasal dari bahasa Arab ﻨﻜﺢ- ﻴﻨﻜﺢ- ﻨﻜﺎﺤﺎ, yang secara
disamping secara majazi (metaphoric) diartikan dengan "hubungan seks". Selain itu
juga menggunakan kata ﺝ ﺯﻭdari asal kata ﺯﻭﺝ, yang berarti "mengawini" untuk
makna nikah.2 Kata ﺯﻭﺝdalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali
Dengan demikian, dari kedua istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkawinan
mempunyai pasangan.
1
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm.1943.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-2, (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002).
hlm. 591.
3
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I ),
Yogyakarta : ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004, hlm.15.
24
Secara umum al-Qur’an hanya menggunakan dua kata tersebut (az-zauj dan
Memang ada juga kata ( ﻭﻫﺒﺕyang berarti "memberi") digunakan oleh al-Qur’an
untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw, dan menyerahkan
dirinya untuk dijadikan istri. Akan tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi
واﻣﺮأة ﻣﺆﻣﻨﺔ إن وهﺒﺖ ﻧﻔﺴﻬﺎ ﻟﻠﻨﺒﻲ إن أراد اﻟﻨﺒﻲ أن ﻳﺴﺘﻨﻜﺤﻬﺎ ﺧﺎﻟﺼﺔ ﻟﻚ ﻣﻦ....
5
دون اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ
6
ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻨﻜﺎح أو اﻟﺘﺰوﻳﺞ أو ﻣﻌﻨﺎهﻤﺎ
Dari pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang
maupun akibat dari nikah padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan
akibat. Oleh sebab itu, para ahli hukum Islam mutaakhirin memperluas pengertian
nikah menjadi :
4
Ibid.
5
Al-Ahzab [33]: 50.
6
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU
FIQH, cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II : hlm.48-49.
25
7
وﻣﺎﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ واﺟﺒﺎت
Adapun dari sisi istilah, pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada
ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang
keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan
Indonesia, perkawinan dapat juga dilihat sebagai fenomena penyatuan dari dua
satu keluarga besar yang asalnya terdiri dari dua kelompok, yakni satu kelompok dari
7
Ibid.
.
8
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 1 ( Surabaya : Arkola, ttt)
hlm. 5.
26
suami dan satu kelompok dari isteri yang kemudian menjadi satu kesatuan yang
utuh.9
Lebih jauh, lebih dari sekedar istilah yang digunakan untuk menunjukkan
pernikahan, ditegaskan tentang hukum umum penciptaan yaitu bahwa segala sesuatu
10
و ﻣﻦ آﻞ ﺷﻲء ﺧﻠﻘﻨﺎ زو ﺟﻴﻦ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺬ آﺮون
Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupan jenis apapun di alam ini ;
Karena itu berpasangan merupakan sunnah Allah ( fitrah atau hukum alam ), yang
dari jenis apapun membutuhkannya. Itulah sebabnya kenapa aturan tentang pasangan
Dasar hukum yang digunakan dalam pembahasan masalah nikah dengan niat
itu telah berlangsung sejak pertama kali munculnya manusia kemuka bumi
ini, yakni Nabi Adam dan Hawa. Dalam islam perkawinan dianggap
9
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi.., hlm.17.
10
al-Zariyat (51): 49
11
Khoiruddin Nasution, Islam TentangRelasi.., hlm.18.
27
sebagai ikatan yang suci lagi kokoh.12 Allah Swt dan Rasul-Nya Saw telah
antaranya yaitu:
* Al-Qur’an
ﻳﺎأﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮا رﺑﻜﻢ اﻟﺬي ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺲ واﺣﺪة وﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎ زوﺟﻬﺎ وﺑﺚ ﻣﻨﻬﻤﺎ
13
رﺟﺎﻻ آﺜﻴﺮا وﻧﺴﺎء واﺗﻘﻮا اﷲ اﻟﺬي ﺗﺴﺎءﻟﻮن ﺑﻪ واﻷرﺣﺎم إن اﷲ آﺎن ﻋﻠﻴﻜﻢ رﻗﻴﺒﺎ
وﻣﻦ ءاﻳﺎﺗﻪ أن ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ أﻧﻔﺴﻜﻢ أزواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا إﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮدة ورﺣﻤﺔ
14
إن ﻓﻲ ذﻟﻚ ﻵﻳﺎت ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون
* Al-Hadis
16
اﻟﻨﻜﺎح ﻣﻦ ﺳﻨﺘﻲ ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﺴﻨﺘﻲ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﻲ
ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ اﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﻴﺘﺰوج ﻓﺈﻧﻪ أﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ وأﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮج
17
وﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ وﺟﺎء
12
Hal ini seperti diungkap dalam firman Allah (Q.S. an-Nisa’ [4] : 21) :
ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ ﻭﻗﺪ ﺃﻓﻀﻰ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ.
13
An-Nisa>’ [4]: 1
14
Ar-Ru>m [30]: 21
15
An-Nisa>’ [4] : 3
16
Ibnu Majah, S}ahih Sunan Ibnu Majjah, Hadis no. 1508, kitab “an-Nikah”, bab “ma ja’a fi
fadhlin nikah”, alih bahasa M. Nashiruddin al Albani diriwayatkan oleh ‘Aisyah.. hlm.163
17
Ibid, hlm.162
28
18
ﺗﺰوﺟﻮا اﻟﻮدود اﻟﻮﻟﻮد ﻓﺎ ﻧﻰ ﻣﻜﺎﺛﺮ ﺑﻜﻢ اﻻْﻧﺒﻴﺎء ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ
b. Hukum menikah19
maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang
kategori,20 yaitu:
18
Sudarsono, “Pokok-pokok Hukum Islam MKDU”, cet ke-2, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001 )
hlm.191-192
19
Mohammad Asmawi menyebutkan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum nikah
secara umum bagi umat Islam adalah sunnah. ’Amr (perintah) dalam al-Qur’an dan Hadis adalah
menunjukkan ’amr anjuran (sunnah), bukan ’amr wajib. Kata perintah dalam ayat dan hadis adalah
bentuk ’amr yang disebut ’amr irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia demi
terciptanya ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya, tanpa adanya kekacauan, kerusakan
dan hal-hal negatif lainnya. (Diungkap dalam Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan
Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta: Dar as-Salam, 2004), hlm. 24-25).
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al Kutub al ‘Arabi, 1973), II : 13-18.
29
2) Nikah sunnah; yaitu bagi orang yang sudah mampu dan nafsunya
Dalam kondisi seperti ini, perkawinan adalah solusi yang lebih baik.
3) Nikah haram ; yaitu bagi orang yang tahu dan sadar bahwa dirinya
5) Nikah mubah ; yaitu bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-
menganjurkan bagi orang yang sudah mampu dan siap, baik secara moril
yang wajar dan dibenarkan. Oleh karena itu, perkawinan diatur dengan syarat
dan rukun tertentu agar tujuan pensyariatan perkawinan dapat tercapai. Rukun
perkawinan sangat penting karena apabila tidak terpenuhi maka perbuatan itu
Para ahli Fiqh merangkum syarat dan rukun nikah yang harus
21
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm. 989.
22
Ulama mazhab sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan,
kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Selanjutnya juga disyaratkan bahwa kedua mempelai harus
terlepas dari hal-hal yang membuat mereka dilarang menikah, baik karena sebab hubungan keluarga
maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen maupun sementara. [Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk, cet. ke-7, (Jakarta: Lentera
Basritama, 2001), halaman 315]. Ulama juga berpendapat bahwa setiap muslim tidak boleh menikahi
wanita musyrikah, begitu pula sebaliknya, berdasarkan nash al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 221 yang
berbunyi:
31
1) Beragama Islam.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri (bila
hendak berpoligami).
sebagai berikut:24
ﺍﻷﻳﺔ....ﻭﻻﺗﻨﻜﺤﻮﺍ ﺍﳌﺸﺮﻛﺖ ﺣﱴ ﻳﺆﻣﻦ ﻭﻻﻣﺔ ﺍﳌﺆﻣﻨﺔ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮﻛﺔ ﻭﻟﻮﺃﻋﺠﺒﺘﻜﻢ ﻭﻻﺗﻨﻜﺤﻮﺍ ﺍﳌﺸﺮﻛﲔ ﺣﱴ ﻳﺆﻣﻨﻮﺍ ﻭﻟﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮﻙ ﻭﻟﻮﺃﻋﺠﺒﻜﻢ
23
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh,
cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II, hlm.50.
24
Ibid. hlm. 54.
32
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
masa ‘iddah
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
b. Wali ()ﺍﻟﻭﻟﻲ25
pernikahan bagi gadis tanpa ada keridaan darinya. Karena ridanya merupakan
syarat yang fundamental untuk melaksanakan akad nikah secara sah dan
benar.26 Oleh karena itu, wali nikah itu harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :27
1) Beragama Islam
25
Kehadiran wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh
kebanyakan ulama berdasarkan sabda Nabi SAW. :
...ﻻ ﻧﻜﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﻮﱄ
(Dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis nomor 1871, "Kitab an-Nikah" "Bab La Nikaha illa bi
Waliy", diriwayatkan oleh ‘Aisyah )
Ada juga ulama semacam Abu Hanifah, Zufar, az-Zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila
seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah-sah saja, selama pasangan yang dikawininya
se-kufu’ (setara) dengannya. Menurut M. Quraish Shihab ketiadaan wali terbatas kepada para janda,
bukan gadis-gadis. Pandangan ini merupakan kompromi antara pendapat yang mengharuskan adanya
wali dan pendapat yang tidak mengharuskannya. Akan tetapi, -menurut M. Quraish Shihab lagi- adalah
amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda, karena "seandainya
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan. (Dalam M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, halaman 202-203).
26
Butsainan As-Sayyid al-Iraqi, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, alih bahasa oleh Kathur
Suhardi, cet. Ke-4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm 62.
27
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, Edisi Pertama (Jakarta: AKADEMIKA PRESINDO, 2002), hlm.99.
33
dipertanggungjawabkan.
1) Islam.
5) Laki-laki.30
28
Ulama Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah
mustahabb (dianjurkan) dan bukan merupakan kewajiban. [Dalam Muhammad Jawad Mughniyah,
Fiqih Lima Mazhab, halaman 314]. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa sahnya suatu
pernikahan (akad nikah) harus dihadiri oleh -minimal- dua orang saksi laki-laki. Berdasarkan hadis :
ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﻋﻠﻰ ﻏﲑ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ, ﻻ ﻧﻜﺎﺡ ﺇﻻ ﺑﻮﱄ ﻭﺷﺎﻫﺪﻱ ﻋﺪﻝ
Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan
pernikahan yang dituntut sebelum pasangan suami istri " berkumpul" (berhubungan seks/dukhul) atau
syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka -para saksi- ketika akad nikah dilaksanakan.
Akan tetapi, ulama melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk
menyiarkan berita pernikahan. [Dalam Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid II, alih bahasa oleh Imam
Ghozali said dan Ahmad Zaidun, cet. Ke-2 (Jakarta: Pustaka Amani,2002) halaman 431].
29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-27 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm.384.
34
6) Adil.31
belah pihak, pihak calon suami dan pihak calon istri, di hadapan saksi-
syarat yaitu:33
2. Proses akad ijab kabul dalam satu majelis, yaitu saat terjadinya
30
Dalam masalah ini, masih ada perbedaan pendapat tentang keberadaan saksi-saksi berkaitan
dengan identitasnya. Menurut ulama Hanafi cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan. [Dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, halaman 313].
31
’Adalah (adil) dapat diartikan sifat seseorang yang senantiasa berbuat salih, tidak pernah
melakukan perbuatan dosa besar dan kecil yang berkaitan dengan hak-hak orang (seperti mencuri roti)
dan perbuatan sehari-harinya tidak terlepas dari sifat muru’ah (adat-adat kesopanan), seperti makan-
makan di tengah jalan, buang air di jalanan dan sebagainya. (Mohammad Asmawi, Nikah dalam
Perbincangan dan Perbedaan, halaman 55).Masuknya adil dalam syarat saksi juga masih ada
perbedaan pendapat seperti Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa akad nikah boleh dengan dua orang
buta atau dua orang yang dianggap tidak adil (fasik) untuk dijadikan saksi. [Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU FIQH, Cet. Ke-2 (Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984/1985), II, hlm. 108.]
32
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, cet. ke-1 (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 92.
33
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., hlm. 31.
35
selain bahasa Arab, apabila kedua belah pihak atau salah satu dari
keduanya tidak faham bahasa Arab. Hal ini telah menjadi kesepakatan
adalah apa yang disebut dengan manfaat atau sebagian yang lain disebut
dengan hikmah.36 Laki-laki dan perempuan adalah "jiwa yang satu". Satu
34
Mayoritas ulama sepakat bahwa ijab kabul tidak sah apabila menggunakan kata-kata yang
digunakan untuk kepemilikan sesuatu, seperti : membeli, sadaqah, tamlik (memberikan kepemilikan).
Hanya Hanafi yang memperbolehkan dengan kata-kata tersebut. Syarat ijab kabul, menurut asy-Syafi’i
dan Hanbali harus menggunakan kata ﺘﺯﻭﻴﺞdan ﻨﻜﺎﺡatau musytaqq (pecahan kata) dari keduanya. Oleh
karena itu, tidak sah apabila menggunakan kalimat ( ﻫﺒﺔmemberi). Berbeda dengan Maliki yang
membolehkan dengan kata “memberi”. (dapat dilihat dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Lima Mazhab, hlm. 309-311). Sedang Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pernikahan telah dianggap
sah jika dilaksanakan dengan suatu proses yang dinamakan nikah dengan bahasa apapun dan dengan
ungkapan apapun yang tujuannya menikah. sebagaimana dikutip dalam (Salih bin Ahmad Al
Ghazali,Ensiklopedi Pengantin, alih bahasa oleh Farizal Tirmizi, Cet-Ke-1(Jakarta: Pustaka
Azzam,2001),hlm.81.
35
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 37.
36
Khoiruddin Nasutin,Islam Tentang .., hlm.34.
36
mendalam. Salah satunya yaitu agar salah satu pihak merasa tenteram dan
yang disebutkan al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21, yaitu untuk menciptakan
kehidupan rumah tangga yang tenteram dan timbul rasa kasih dan sayang.
yang dilarang oleh agama dan menjaga serta memelihara kehormatan diri.
Selain dari dua hal tersebut adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
Nilai asasi yang akan dicapai oleh kedua pasangan adalah ketenangan,
ketentraman dan kasih sayang. Bila hal tersebut mewarnai kehidupan rumah
tumbuh dalam keluarga yang sakinah akan sanggup memikul tanggung jawab
yang dikatakan oleh filosof Islam Imam al-Gazali adalah sebagai berikut:38
37
Biro Penerangan dan Motivasi Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional, Naseha
Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Kuning Mas Offset, 1983), hlm.1.
38
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke- 2 (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
1999), hlm. 27.
37
dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.
sebagai tujuan pokok atau utama, yang kemudian tujuan ini dibantu
dengan tujuan-tujuan:
d. Menjaga kehormatan,
e. Ibadah. 39
4. Nikah Tahlil
yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Perkawinan yang menyimpang dari
tujuan yang dibenarkan ialah perkawinan yang mempunyai tujuan antara lain
39
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang.., hlm. 35.
38
keturunan, tidak bermaksud untuk membina rumah tangga yang damai dan
dengan seorang perempuan dengan niat atau janji akan bercerai sesudah
bercampur, supaya perempuan itu bisa kawin kembali dengan suaminya yang
telah mentalaknya tiga kali.40 Seperti ucapan wali perempuan kepada seorang
laki-laki, "Aku nikahkan anakku dengan kamu, dengan syarat (perjanjian) bila
disebutkan.
sudah ditalak tiga tidak bisa rujuk kembali kecuali kalau sudah menikah
membangun rumah tangga, bukan niat agar halal atau orang itu menghalalkan
sebagai berikut:
40
A.Hasan, Soal Jawab Masalah Agama 1-2, (Bangil: ttp,1996)Hlm.411.
39
41
ﻟﻌﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ ♦
ﻟﻌﻦ اﷲ, هﻮ اﻟﻤﺤﻠﻞ: ﻗﺎل. أﻻ أﺧﺒﺮآﻢ ﺑﺎﻟﺘﻴﺲ اﻟﻤﺴﺘﻌﺎر؟ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ♦
42
اﻟﻤﺤﻠﻞ واﻟﻤﺤﻠﻞ ﻟﻪ
dikutuk oleh Rasulullah dan nikah ini tidak berbeda jauh dengan nikah
mendamaikan suami istri yang bercerai dan tercipta hubungan yang harmonis
41
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmiz\i, “Kitab an-Nikah”, hadis nomor 1039, “Bab Ma Ja’a fi al-
Muhallil wa al-Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ibn Mas‘ud. Dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
hadis nomor 1925, “Kitab an-Nikah”, “Bab al-Muhallil wa al-Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ‘Ali
ibn Abi Talib.
42
Ibn Majah, Sunan Ibn Majjah, Kitab an-Nikah, hadis nomor 1926, “Bab al-Muhallil wa al-
Muhallal Lah”, diriwayatkan oleh ‘Uqbah ibn ‘Amir.
43
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
44
Ibid, hal. 105.
40
tetap sah. Apalagi orang yang menjadikan muh}allil sebagai pekerjaan yang
Maliki, nikah Tah}lil adalah batal dan bahkan wajib cerai kalau sudah terlanjur
akad nikah maupun tidak, pernikahan yang dilangsungkan tetap tidak sah.
hadis ibnu majah tersebut diatas yaitu bagi fuqaha> yang mengesahkan,
perbuatan yang dilarang.48 Ketika seorang suami mentalak istrinya tiga kali,
maka ia tidak boleh ruju‘ sebelum si wanita habis masa ‘iddah-nya setelah
45
Ibid.
46
Ibid., hlm. 108.
47
Ibid.
48
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al Muqtasid, (Surabaya : Hidayah, t.t.),
hlm.32..
41
ﻓﺈن ﻃﻠﻘﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺤﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻜﺢ زوﺟ ﺎ ﻏﻴ ﺮﻩ ﻓ ﺈن ﻃﻠﻘﻬ ﺎ ﻓ ﻼ ﺟﻨ ﺎح ﻋﻠﻴﻬﻤ ﺎ أن
49
ﻳﺘﺮاﺟﻌﺎ إن ﻇﻨﺎ أن ﻳﻘﻴﻤﺎ ﺣﺪود اﷲ
berikut:
secara benar.
5. Nikah Mut‘ah51
49
Al-Baqarah [2]: 230.
50
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 69.
51
Nikah Mut‘ah adalah suatu perkawinan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu
tertentu. Perkawinan akan berakhir secara otomatis pada waktu yang telah disepakati sebelumnya.
Perkawinan ini diizinkan menurut Syi’ah duabelas tetapi haram menurut golongan Sunni. (Cyril
Glase,Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-2(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1999),hlm.291.
42
Asal kata mut’ah adalah dari kata ﺘﻤﺘﻊ, yang mempunyai arti bersenag-
senang.52 Dalam kamus al-‘Ashri disebutkan arti dari kata ﺍﺴﺘﻤﺘﻊ; ﺘﻤﺘﻊadalah
Nikah mut’ah disebut juga dengan istilah al zawa>j al-muaqqat, atau al-
Adapun mengenai hukum dari nikah model ini, ulama sepakat atas
إن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻤﺘﻌﺔ وﻋﻦ ﻟﺤﻮم اﻟﺤﻤﺮ اﻷهﻠﻴﺔ زﻣﻦ
55
ﺧﻴﺒﺮ
Khaibar. Ada pula yang menyebutnya pada tahun penaklukan kota Makkah
52
. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ILMU
FIQH, cet. ke-2 (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN,
1984/1985), II : 128.
53
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, hlm.572.
54
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), hlm.134.
55
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, “Kitab an-Nikah”, “Bab Naha Rasul Allah saw. an-Nikah
al-Mut‘ah ila yaumil qiyamah”, hadis no. 814, diriwayatkan oleh ‘Ali ibn Abi Talib.
43
(Yaum al-Fath}). Ada juga yang mengatakan pada waktu perang Tabuk. Selain
itu juga ada riwayat pada tahun haji wada>‘, atau ada yang meriwayatkan pada
waktu umrah qada>’, ada pula yang menyebutkan pada saat perang ’Autas.56
58
...ﻓﻤﺎاﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ ﻓﺂﺗﻮهﻦ أﺟﻮرهﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ...
59
...إﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ...
Mut‘ah tidak lain adalah rahmat dari Allah, sebagai kasih sayang bagi umat
56
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid.., II : 43.
57
Ibid.
58
An-Nisa’ [4]: 24.
59
Sehingga bacaannya menjadi:
...ﻓﻤﺎﺍﺳﺘﻤﺘﻌﺘﻢ ﺑﻪ ﻣﻨﻬﻦ ﺇﱃ ﺃﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ ﻓﺂﺗﻮﻫﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ...
60
Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid.., II : 44.
44
dicabutnya sendiri, dan ralatnya inilah yang benar. Kemudian ada pula yang
oleh al-Qur’an.
golongan Syi’ah.
61
As-S{abuni, Tafsir Ayat Ah{kam, alih bahasa Hamidi dan A.Manan, cet. ke-4 (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2003), III:.393.
62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 42-43.
45
Dari sini dapat simpulkan bahwa nikah mut’ah itu pada awalnya
diperbolehkan lagi dalam hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian di-
B. Cerai/Talak
adalah hal yang mudah dan kerap kali terjadi. Dikabarkan bahwa orang-orang jahiliah
suka mentalak istrinya kemudian rujuk lalu mentalaknya lagi dengan sesuka hati
Islam memberi batasan-batasan di dalam hal talak agar tidak untuk dipermainkan
karena pernikahan di dalam islam adalah ikatan suci lagi kokoh sebagai mana
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fat-h}ul Mu’i>n II, alih bahasa oleh Moch.
63
Anwar dkk, cet. ke-2 (Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003), hlm. 1185.
64
As-S{abuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum, alih bahasa Hamidi dan A. Manan, cet. ke-4
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), I : 262.
46
Talak dalam keadaan biasa merupakan hal yang dibenarkan Allah Swt, akan
pandangan yang adil dan seimbang, perlu juga ditegaskan bahwa Rasulullah telah
memperlihatkan rasa benci beliau terhadap hal ini. Ungkapan ini beliau nyatakan
dalam kata-kata yang jelas, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis Rasulullah
66
أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ اﷲ اﻟﻄﻼق
Perlu diingat bahwa hubungan suami istri kadang-kadang karena ada suatu
sebab dapat menimbulkan hal yang buruk dan tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu,
Allah Swt mensyariatkan talak untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah
pihak yang tidak dapat hidup rukun dan damai lagi dalam sebuah rumah tangga,
untuk memutuskan dan memisahkan ikatan perkawinan, akan tetapi dalam melakukan
talak tetap ada batasan-batasan atau aturan tertentu sebagaimana firman Allah:
67
اﻟﻄﻼق ﻣﺮﺗﺎن ﻓﺈﻣﺴﺎك ﺑﻤﻌﺮوف أو ﺗﺴﺮﻳﺢ ﺑﺈﺣﺴﺎن
65
Musthafa Kamal Pasha dkk, Fikih Islam, cet. ke-1 (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002),
hlm. 272.
66
Ab’ Daud, Sunan Abu Daud, kitab at thalaq bab "fi karahati at thalaq" hadis nomor : 1863
diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra
67
Al-Baqarah [2]: 229.
47
1. Pengertian Cerai/Talak
ikatan).69
perkawinan dengan lafaz yang akan disebut kemudian70 seperti talak atau
arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti yang umum
adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang
Jawad Mughniyah adalah telah dewasa (balig), berakal sehat, atas kehendak
sendiri bukan karena terpaksa atau dipaksa oleh orang lain, sedangkan
68
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 241.
69
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fat-hul Mu’in, alih bahasa oleh Moch.
Anwar dkk, cet. ke-2 (Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003), II : 1347.
70
Ibid.
71
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), hlm. 103-104.
48
menjatuhkan talak.72
a. Talak ditinjau dari segi jumlah dan kebolehan kembali pada mantan
b. Talak dilihat dari sisi jelas tidaknya ucapan talak. Terbagi menjadi:
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur AB dkk. (Jakarta
72
76
Tala>q kina>yah yaitu talak dengan menggunakan kata sindiran atau kata-kata yang dapat
bermakna talak dan yang lainnya. Seperti kata: Kamu terpisah ()ﺒﺎﺌﻥ ﺃﻨﺕ. Kata ini dapat berarti berpisah
dari suami dan dapat diartikan terpisah (terhindar) dari kejahatan.
49
c. Talak dilihat dari sisi keadaan istri, haid atau suci dan sudah tua atau
77
masih kecil. Terbagi menjadi: sunni, bid‘i78 dan bukan sunni
maupun bid’i. 79
Mengenai hukum talak, para ahli hukum Islam berbeda pendapat. Hal
ini mengingat nas hukum yang berkenaan dengannya masih bersifat samar,
tersebut. Nas yang berkaitan dengan hukum talak ini adalah hadis: "Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Menurut hadis ini jelas bahwa
talak itu halal namun wujud kehalalannya disertai dengan sesuatu yang tidak
disukai (makruh). 80
Akan tetapi pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten
77
Talalq Sunni yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang
mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh
kembali selama bersih itu, ibid., hlm 42.
78
Talaq bid‘i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan
sekali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat. Ibid. hlm. 44.
79
Talak bukan Sunni dan bukan bid‘i yaitu: talak yang dilakukan terhadap istri yang belum
pernah dikumpuli, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah berhaid, atau istri yang telah
lepas haidh, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jiliod II, cet. ke-2, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984/1985), hlm. 228.
80
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut al-Qur’an dan
as-Sunnah, hlm. 257.
81
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, hlm. 317.
50
dan alasan yang berbeda-beda. Sehingga ulama pun membagi hukum talak ini
menjadi:
a. Wajib
Talak menjadi wajib, jika pihak h}aka>m (juru damai yang terdiri dari
dua orang penengah, satu dari pihak suami dan satu dari pihak istri) tidak
b. Sunnah
82
Ibid., hlm. 318.
83
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan.., hlm. 263.
51
c. Mubah
d. Haram
yang benar. Sebab dianggap haram karena pada dasarnya talak itu
merugikan bagi suami dan istri, serta tidak adanya kemaslahatan yang
e. Makruh
yang berjalan normal seperti biasanya dan tidak terjadi pertengkaran atau
suami istri, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam ini hukumnya
84
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, hlm. 233.
85
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.., hlm. 243
52
86
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, hlm. 233.
53
BAB III
Kalau Imam al-Gazali hidup dimasa kemunduran Islam, maka Ibnu Taimiyah
hidup dimana dunia Islam berada dipuncak disintegrasi politik, budaya dan peradaban
februari 1258 M2 di bawah pimpinan Hulagu Khan.3 Beratnya cobaan inilah yang
akhirnya membuat Ibnu Taimiyah menjadi seorang pejuang sekaligus ilmuan yang
handal.
Ibnu Taimiyah, dialah yang memiliki nama panjang Taqiyuddin Abu Abbas
Ahmad bin Abdul Halim bin Imam Majdudin Abu Al-Barakat Abdussalam bin Abu
Muhammad bin Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khadr bin Ali bin
1
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 136.
2
Lima tahun sebelum lahirnya Ibnu Taimiyah.
3
Harun Nasution, ISLAM di tinjau dari berbagai aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1985), I, hlm. 76.
54
Abdullah bin Taimiyah Al-Harani, lahir di Haran pada hari senin tanggal 10 Rabiul
Awwal tahun 661 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 Masehi.4
ketika Haran diserang oleh pasukan Mongol pada pertengahan tahun 667 H/ 1270 M,
keluarga besar Taimiyah, termasuk kedua orang tuanya dan tiga saudaranya, hijrah ke
Damaskus dan kemudian menetap di ibu kota Suriah itu. Ketika itu Ibnu Taimiyah
kekejaman mongol. 6
Syihabuddin Abdul Halim bin Abdus Salam(627-682) adalah seorang ulama besar
khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai mualim (guru) dalam mata pelajaran
tafsir dan hadis. Jabatan lain yang diembannya ialah direktur Madrasah Dar al-Hadis
as- Sukariyyah, salah satu lembaga pendidikan Mazhab Hanbali yang tergolong
4
Ibnu Taimiyah, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, cet. ke-1 (Malang: Pustaka
Zamzami, 2004), hlm.3.
5
Editor, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), jilid II, hlm. 624.
6
Mubarok Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. ke-2 ( Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm.169.
7
Ibid.
55
Majduddin Ibnu Taimiyah (Wafat 652 H/1254 M), adalah kakek dari Ibnu
Taimiyah yang juga mempunyai pengaruh besar pada saat itu. Kenyataan bahwa
karya utama Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani (1172 -1250 H/ 1759 -1839 M)8, yang
berjudul Nailul-Awthar yang terdiri dari dua belas jilid adalah sebuah komentar atas
kitab hukum karya kakek Ibnu Taimiyah, lebih lanjut Asy Syaukani menyatakan
dengan jelas dalam pengantarnya bahwa kitab karangan Majduddin Ibnu Taimiyah
belajar langsung pada ayahnya di Madrasah Dar al-Hadis as- Sukariyyah,10selain itu
ia juga belajar kepada sejumlah ulama terkemuka diantaranya Syeikh Syams al Din
Abu Qadamah, Syeikh Zain al Din bin al Najjar, al Majd bin Asakir dll. Mulai dari
mempelajari Al-Qur’an, hadis, bahasa arab, ilmu Qur’an, ilmu hadis, fiqh dan ushul
fiqh, sejarah , ilmu kalam, mantik, filsafat, tasawuf, ilmu jiwa, sastra dan bebagai
bidang ilmu lainnya.11 Ini memperlihatkan bahwa ia sangat tertarik kepada ilmu
Maka tidak salah apabila ia telah hafal Al-Qur’an bahkan memahaminya secara
8
Seorang ulama Zaydi dari Shan’a yang mendakwakan diri dan diakui sebagai pemimpin
Ahli Sunnah yang besar. {Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, cet- ke. 3
(Bandung: PUSTAKA, 1997), hlm. 287.}
9
Ibid.
10
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001), II :. 624.
11
Ibid.
56
kecerdasan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Adapun kitab hadis yang
pertama kali dihapalnya adalah Al-Jami’ bain as-Sahihain karya Imam Al Hamidi.13
pada bidang hadis sangat besar sehingga beliau amat menguasai ilmu rijalul hadits
(perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau
pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau
shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-
kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu
'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat
buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang
syari'ah.15
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzulhijjah tahun 728 H di dalam penjara Qal`ah
Dimasyq (Damaskus) disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim. Beliau
12
Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa oleh
Husein Muhammad, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 237.
13
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam.., II : 624.
14
Mubarok Jaih, Sejarah dan Perkembangan.., hlm.170.
15
“Kategori cendikiawan muslim”, : http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taymiyyah, akses 7
Oktober 2007.
57
berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit.
dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk dan dikuburkan
Ibnu Taimiyah, namun diperkirakan kurang lebih 300 sampai 500 buah dalam ukuran
besar kecil atau tebal tipis18 dan dari berbagai bidang keilmuan. Di antara karya-
a. Tafsir Surat al Maidah, satu jilid; Tafsir Surat Yusuf, satu jilid; Tafsir
16
Ibid.
17
Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. hlm .240
18
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam.., II : 626
58
nabi
q. Naqd Al Mantiq
Sheikh al Isla>m Ahmad Ibn Taimiyah yang dihimpun oleh ‘Abd al Rahman Bin
Muhammad Ibn Qasim bersama putranya Muhammad Ibn ‘Abd al Rahman. Kitab
tersebut kemudian diterbitkan pertama kali atas perintah putra mahkota Fahd ‘Abd al
berpendidikan. Kakek dan ayahnya adalah pecinta ilmu. Kakeknya seorang Faqih
19
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm 138.
20
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 33-34
60
aliran Hanbali ; dan ayahnyalah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama ( seperti tafsir
dan hadis ) dan eksak ( seperti aljabar dan kimia ). Di antara guru-guru Ibnu
Syams al-Din; dan nama panggilannya adalah ( kuniah ) Abu ‘Abd Allah.
Ia ahli dalam bidang hadis, fiqih, dan bahasa Arab. Di antara kitab yang
b. Ibn ‘Abd al-Da’im ( 577-678 H. ). Nama lengkapnya Ahmad ibn ‘Abd al-
Da’im ibn Ni’mah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Ahmad
ulama yang meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abd al-Da’im adalah al-Syaikh
sebagai ulama yang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa Arab. Di samping
adalah Syarh al-Mugni ( empat jilid ), Tafsir al-Qur’an, dan Ikhtisa>r al-
d. Ibnu Qudamah ( 597 – 682 H.), nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahman
1988 : 37 )
untuk pengembangan ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil karya-karya
yang dihasilkan dan murid muridnya. Di antara di bawah ini adalah beberapa dari
Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn Sa’ad ibn Harits al-Zar’i al-
judul. Di antara kitabnya yang banyak dijadikan rujukan adalah I’lam al-
‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman ibn Qaimaz al-Turkumani
22
Ibid. hlm.172-173.
62
c. Ibnu Katsir ( 701- 774 ). Nama lengkap beliau adalah ‘Imam al-Din
Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir. Di antara karyanya yang terkenal adalah
d. Al-Thufi ( lahir 670-an ). Nana lengkapnya adalah Sulaiman ibn ‘Abd al-
C. Majmu>’ Fata>wa>
1. Gambaran Umum
kitab Majmu>’ Fata>wa> merupakan himpunan sebagian tulisan Ibnu Taimiyah tentang
fatwa-fatwanya, berkat kerja keras Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dan
Majmu>’ Fata>wa> adalah salah satu karya besar dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, dimana dalam kitab ini beliau menulis kumpulan fatwa-fatwanya yang
berisi kajian masalah fiqh. Kitab Majmu’ Fatawa ini berusaha menguraikan
problematika yang dihadapi masyarakat yang mendapat tanggapan serta ijtihad pada
63
waktu itu, kitab ini lebih lengkap dari kitab-kitab yang lain dalam masalah fiqh dan
Menurut pengamatan penulis, jika dilihat dari cara ijtihad yang dilakukan
Ibnu Taimiyah dengan Ahmad bin Hanbal, terdapat perbedaan yang akan dibahas
pada bagian metode ijtidad Ibnu Taimiyah, namun yang perlu digaris bawahi dalam
hal ini adalah pada hasilnya. Dengan metode yang berbeda tentunya akan melahirkan
hasil yang berbeda pula, tetapi dalam hal ini tetap pada arah dan pemahaman yang
sama dan hal ini didapatkan dari Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu>’ Fata>wa>nya.
2. Sistematika Pembahasan
berbeda jauh dengan kitab-kitab fiqh yang lain. Dalam kitab ini, pembahasan di
yang dibahas.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Taimyah selain di dasarkan pada nas dan
pendapat ijma’ sebelumnya juga diberikan contoh sehingga para pembaca akan lebih
sebagai berikut :
2 Bab II 21آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰ ءاﻟﺮاﺑﻊ Bab XXI آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻻول
اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة ا ْﻻْءﺧﻼ ص اﻟﻄﻬﺎ رة
و اﻟﻤﻌﻮذﺗﻴﻦ
3 Bab III 22آﺘﺎب ﻣﺠﻤﻞ اﻋﺘﻘﺎد اﻟﺸﻠﻒ Bab XXII آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ
ﻧﻲ اﻟﺼﻼ ة
4 Bab IV 23آﺘﺎب ﻣﻔﺼﻼاﻻءﻋﺘﻘﺎ د Bab XXIII آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ
اث ﻣﻦ ﺳﺠﻮداﻟﺴﻬﻮ
اﻟﻲ ﺻﻼ ة اْهﻞ اﻻﻋﺬار
5 Bab V 24آﺘﺎب ا ْﻻ ﺳﻤﺎ ْ واﻟﺼﻔﺎت Bab XXIV آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺮا
ﺑﻊ ﻣﻦ ﺻﻼة اْهﻞ
اﻻﻋﺬار اﻟﻲ اﻟﺰآﺎة
6 Bab VI 25آﺘﺎب ا ْﻻ ﺳﻤﺎ ْ واﻟﺼﻔﺎ ت Bab XXV آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺨﺎ
ﻣﺲ اﻟﺰآﺎة و اﻟﺼﻮم
7 Bab VII 26آﺘﺎب ا ْﻻ ﻳﻤﺎ ن Bab XXVI آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰءاﻟﺴﺎ د
س اﻟﺤﺞ
8 Bab VIII 27آﺘﺎب اﻟﻘﺪر Bab XXVII آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰءاﻟﺴﺎ
ﺑﻊ اﻟﺰﻳﺎرة وﺷﻞ اﻟﺮﺣﺎل
اء ﻟﻴﻬﺎ
9 Bab IX 28آﺘﺎب اﻟﻤﻨﻄﻖ Bab XXVIII آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء اﻟﺜﺎ
ﻣﻦ اﻟﺠﻬﺎ د
10 Bab X 29آﺘﺎب ﻋﻠﻢ ا ﻟﺸﻠﻮك Bab XXIX آﺘﺎب اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء ﻟﺘﺎﺳﻊ
اﻟﺒﻴﻊ
11 Bab XI آﺘﺎب اﻟﺘﺼﻮف 30 Bab XXX آﺘﺎب اﻟﺼﻠﺢ اﻟﻲ اﻟﻮﻗﻒ
12 Bab XII آﺘﺎب اﻟﻘﺮان آﻼ م اﷲ ﺣﻘﻴﻘﺔ 31 Bab XXXI آﺘﺎب اﻟﻮﻗﻒ اﻟﻲ اﻟﻨﻜﺢ
13 Bab XIII آﺘﺎب ﻣﻘﺪﻣﺔ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ 32 Bab XXXII آﺘﺎب اﻟﻨﻜﺎح
14 Bab XIV آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻣﺠﺰا ﻻْور 33 Bab XXXIII آﺘﺎب اﻟﻄّﻼ ق
ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻟﻔﺎ ﺗﺤﺔ اء ﻟﻲ
ﺳﻮرة اﻻْﻋﺮاف
15 Bab XV آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰاﻟﺸﺎ ﻧﻲ 34 Bab XXXIV آﺘﺎب اﻟﻄﻬﺎر اﻟﻲ ﻗﺘﺎ ل ْا
ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻟﺰﻣﺮ هﻞ اﻟﺒﻐﻲ
16 Bab XVI آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠ ْﺰ اﻟﺜﺎﻟﺖ 35 Bab XXXV آﺘﺎب اﻟﻄﻬﺎر اﻟﻲ ﻗﺘﺎ ل ْا
ﻣﻦ ﺳﻮرة اﻻﺧﻼ ص هﻞ اﻟﺒﻐﻲ اﻻﻓﺘﺮاز
17 آﺘﺎب اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺠﺰ ءاﻟﺮاﺑﻊ Bab XVII 36 Bab XXXVI آﺘﺎب اﻟﻤﺠﺪّل ا ْﻻوّل
اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة اﻻﺧﻼ ص و
اﻣﻌﻮ ذ ﺗﻴﻦ
18 Bab XVIII آﺘﺎب اﻟﺤﺪ ﻳﺚ 37 Bab XXXVII آﺘﺎب اﻟﻤﺠﺪّل اﻟﺜﺎ ﻧﻲ
19 Bab XIX آﺘﺎب اْﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ اﻟﺠﺰء
اﻻول اﻻﺗﺒﺎع
65
Dalam pembahasan ini, penyusun menfokuskan pada bab nikah. Pada bab ini
Masalah “niat”, di dalam pembahasan kitab Majmu>’ Fata>wa> ini ditulis dengan
pasal tersendiri, yakni Pasal Tentang Kedudukan “niat” dalam Pernikahan, yang
termasuk pembahasan sub bab Wanita Yang Tidak Boleh dinikahi, bab Nikah pada
setelah itu yakni dengan menghubungkannya dengan nikah mut’ah dan nikah tahlil.
66
demikian menurut penyelidikan para sarjana ushul fiqh terdapat perbedaan antara
metode istinbat imam Ahmad dengan Ibnu Taimiyah, adapun untuk mengetahui
a. Nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber (dalil) hukum yang pertama
b. Fatwa sahabat, yaitu apabila beliau tidak memperoleh nas dan beliau
mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang
23
Ibid. hlm. 238.
24
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet. ke-3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 230.
25
Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensikloped.Hukum Islam.., II : 625.
67
suatu masalah, maka beliau memilih mana yang lebih dekat kepada al-
d. Hadis Mursal dan Hadis daif, Hadis Mursal dan Hadis daif akan tetap
dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat
seorang sahabat.
4 diatas. Dengan kata lain qiyas baru dipakai apabila dalam keadaan
terpaksa.
hukum utama dan pertama tetapi posisi sunnah diletakkan pada urutan kedua yaitu
setelah al-Qur’an. adapun sumber hukum ketiga bagi Ibnu Taimiyah adalah Ijma’
ketiga.
Menggunakan qiyas,26 sedangkan imam Ahmad meletakkan Hadis mursal dan daif
26
Dalam penggunaan qiyas ini Ibnu Taimiyah membaginya kepada dua macam yaitu qiyas
shahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan qiyas fasid (analogi yang
didasarkan pada ‘illat yang dibuat-buat) dan menurut beliau hanya qiyas sahih yang dapat dijadikan
pisau analogi hukum. Lihat Muh. Zuhri, Hukum Islam., hlm. 141.
68
pada urutan keempat dan baru pada urutan kelima Imam Ahmad menggunakan
qiyas.27
27
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi.., hlm. 626.
69
BAB IV
ANALISIS
A. Niat
Dalam pembahasan tentang menikah dengan niat cerai ini, perlu sedikit
dijelaskan masalah niat. Karena hal ini terkait erat dengan permasalahan tersebut.
1. Pengertian Niat
1
Kata niat ( )ﻨﻴﺔberasal dari kata ﻴﻨﻭﻱ – ﻨﻭﻯ- ﺔ ﻨﻴﺔ ﻭ ﻨﻭﺍﺓﻭﻨﻴ.
Adapun arti niat secara istilah adalah “tekad hati (kemauan) yang tertuju pada
amalan melakukan suatu ibadah untuk mendekatkan diri hanya kepada Allah dan
seseorang tentulah muncul dari ira>dah (keinginan) dan ih{tiya>r (usaha) orang tersebut.
1
Fuad Afrom al-Bustani, Munjid At-Thullab, cet. ke- 9 (Beirut : Dar al- Masyraq, 1968), hlm.
853.
2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, cet. ke-3 (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hlm. 1955.
3
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, cet. ke-3 (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003),
hlm. 25.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk, cet. ke-
4
Ira>dah mengarah kepada perbuatan karena satu tujuan yang dimaksudkan, dan inilah
yang dinamakan dengan niat. Oleh karena itu, makna niat adalah:
5
اﻹرادة اﻟﻤﺘﻮﺟﻬﺔ ﻧﺤﻮ اﻟﻔﻌﻞ أوﺗﻮﺟﻴﻪ اﻹرادة ﻧﺤﻮ اﻟﻔﻌﻞ
Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal
perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang
dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syari’at atau perbuatan
kebiasaan dan apakah status hukumnya --jika ia sebagai amal syari’at-- wajib atau
Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dan krusial dalam keabsahan
suatu ibadah. Hal ini mencakup juga di bidang mu‘amalah, iman, perjanjian dan
tindakan apapun. Ajaran Islam menuntut umatnya agar memulai suatu pekerjaan
إﻧﻤﺎاﻷﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﻴﺎت وإﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎﻧﻮى ﻓﻤﻦ آﺎﻧﺖ هﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ
7
وﻣﻦ آﺎﻧﺖ هﺠﺮﺗﻪ ﻟﺪﻧﻴﺎ ﻳﺼﻴﺒﻬﺎ أو اﻣﺮأة ﻳﺘﺰوﺟﻬﺎ ﻓﻬﺠﺮﺗﻪ إﻟﻰ ﻣﺎهﺎﺟﺮ إﻟﻴﻪ
5
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. ke-1 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 453.
6
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami, cet. ke-1
(Bandung : Alma’arif, 1986), hlm. 488.
7
Al-Buh{ari, Sahih al- Buh{ari, “Bab Kaif Kana Bad’ Al-Wahy ’Ila Rasul Allah”,
diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Hadis nomor: 1
71
Redaksi dalam kaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan
manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan ditinjau dari niat si
pembuat (pelaku).11
dari pelakunya.12
Bila terjadi suatu perbedaan pendapat dalam suatu transaksi antara maksud
pembuat dengan lafadh yang diucapkan, maka yang harus dipegangi ialah maksud
8
Al-Bayyinah [98]: 5.
9
Az-Zumar [39] : 2
10
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h wa an-Naz}a>ir fi al-Furu>’, (Surabaya: hidayah, t.t.),
hlm. 6.
11
Asjmuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah, Arti, Sejarah dan Beberapa Qa’idah Kulliyah,-
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).hlm.19.
12
Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh 2, ( Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 196.
72
Imam Jalaluddin as-Suyuti sendiri menjelaskan bahwa tempat dari niat adalah
di hati,14 hal ini menunjukkan bahwa masalah niat merupakan sejauh masalah yang
Posisi niat menurut pandangan asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal merupakan
sepertiga ilmu. Artinya bahwa kaidah yang berkaitan dengan niat merupakan salah
satu kaidah yang berdampak luas dalam berbagai amalan dan perbuatan dalam Islam.
Dalam masalah ibadah, ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa ibadah tidak sah
dilaksanakan tanpa dimulai dengan niat, seperti bersuci, wudhu, tayammum, puasa
dan lain sebagainya. Dalam masalah mu‘amalah, niat juga diperlukan dalam berbagai
amalan, seperti nikah dengan segala permasalahannya, wakaf, wasiat dan lain
sebagainya. Dalam masalah transaksi, niat juga dibutuhkan, seperti akad jual beli,
Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam mendudukkan niat, apakah niat itu
sebagai syarat ataukah sebagai rukun perbuatan. Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal
dalam permasalahan tertentu bisa menjadi rukun sebagaimana dalam shalat dan pada
permasalahan yang lain merupakan syarat seperti dalam permasalahan puasa. Fungsi
13
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h., hlm. 9.
14
Ibid., hlm. 22.
15
Abdul Azis Dahlan dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), IV: 1325.
73
dari niat sendiri menurut as-Suyuti adalah sebagai pembeda antara ibadah dengan
dengan perbuatan.17
Misalnya dalam hukum talaffuz} al-niyah (mengucapkan niat dalam salat), bagi Abu
Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal tidak perlu, karena ini sudah termasuk dalam
niat merupakan rukun salat dan membaca us}alli tidak termasuk rangkaian salat,
karena itu fungsi talaffuz} al-niyah adalah untuk menambah kemantapan dalam
memulai salat.
Pada dasarnya, ibadah ada yang membutuhkan niat dan ada pula yang tidak
memerlukan penjelasan dan penentuan (ta‘yin) secara khusus, seperti niat salat,
apakah salat wajib atau sunah, salat ‘asar atau magrib, dan lain sebagainya.
Sedangkan ibadah yang tidak membutuhkan niat karena bukan ibadah ‘amaliyah yang
diperintahkan secara adat dan sifatnya tidak dipahami lain dari amalan tersebut,
16
Imam Jala>luddin As-Suyu>ti, al-Asyba>h., hlm. 9.
17
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah Usuliyyah dan
Fiqhiyyah), cet. ke-4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 109.
74
seperti beriman kepada Allah, cukup dengan membaca syahadatain, sedang setiap
adalah salah seorang ulama dari mazhab Hanbali. Ia adalah tokoh yang
mazhab Hambali. Seperti yang telah dijelaskan, dalam menetapkan hukum, Ibnu
Taimiyah mendasarkan pada empat pijakan utama yaitu al-Qur’an pada urutan
pertama dan utama kemudian hadis/ sunnah Rasul pada urutan kedua, kemudian pada
urutan ketiga Ibnu Taimiyah menempatkan ijma lalu pada urutan keempat atau
Dari uraian tentang dalil-dalil istinbat} hukum Ibnu Taimiyah tersebut, jika
dibawa dalam pemikirannya tentang hukum menikah dengan niat cerai, maka tidak
18
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan
Fiqhiyyah), hlm. 110.
19
Sebagaimana disebutkan sebelumnya qiyas yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah
qiyas shahih karena beliau membagi qiyas kepada dua macam yaitu qiya>s s}ah}ih dan qiya>s fa>sid. Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi., hlm. 626. Selain itu juga Ibnu Taimiyah hanya menerima qiyas dalam
keputusan fiqh tetapi dalam memahami/membuktikan kebenaran agama beliau mengajak
menggunakan dalil wahyu bukan qiyas atau logika sehingga disimpulkan bahwa qiyas yang ditolaknya
adalah qiya>s Syumu>li, selanjutnya ia menerima qiya>s tams\ili. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Cet. Ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 141.
75
diketahui bahwa dalam pengambilan hukum, Ibnu Taimiyah mendasarkan pada nas
Nikah dengan niat talak ialah seorang pria menikahi seorang wanita dan di
dalam hatinya (niat) akan menceraikan wanita tersebut setelah selesai masa study
Ulama berbeda pendapat tentang hal menikah dengan niat talak ini. Sebelum
masuk pada hukum menikah dengan niat cerai menurut Ibnu Taimiyah alangkah lebih
baiknya melihat beberapa pandangan para imam mazhab seputar masalah ini. Berikut
1. Mazhab Hanafi
seorang wanita dan dalam niatnya, dia hidup bersama hanya dalam beberapa
waktu tertentu, maka nikahnya tetap sah, karena pembatasan waktu yang
2. Mazhab Maliki
Shaleh bin Abdul Aziz al-Mansur, Malik al-Baji berkata: “Dan orang yang
20
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm. 21.
21
Ibid.
76
diceraikan, hal itu boleh-boleh saja tetapi kurang (tidak) baik dan bukan
3. Mazhab Syafi’i
dikutuk oleh Rasulullah SAW, dan nikah ini tidak berbeda jauh dengan nikah
mut’ah dengan batas waktu yang telah ditentukan. Begitu juga dengan nikah
muhallil dimana seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang janda yang
telah dijatuhi talak tiga oleh suaminya dan laki-laki yang bersangkutan
mempunyai niat bila telah bersetubuh dengan janda yang bersangkutan akan
dalam benak pikiranya punya niat menikahi hanya untuk sementara waktu
saja, semisal salama masa kuliah, setahun, sebulan dan semacamnya. Tetapi
ketika pelaksanaan akad nikah tidak disebutkan niat yang terkandung dalam
4. Mazhab Hambali
22
Ibid.
23
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm. 103.
77
2) Dikatakan bahwa nikah ini adalah nikah tahlil yang dilarang. Dari
periwayatan imam Auza’i dan pendapat yang diambil dari al-Qadhi dan
Dari beberapa pandangan tentang nikah dengan niat cerai menurut para ulama
mazhab tersebut maka Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang benar dalam hal ini
adalah pernikahan itu berbeda (bukan) termasuk nikah Mut’ah dan juga bukan
termasuk nikah tah}lil. Perbedaanya adalah sang suami hanya tidak ingin hidup lama
bersama istrinya itu, dan itu bukan syarat,25 maka itu tidak diharamkan.26
termasuk nikah tah}lil dan juga tidak termasuk nikah Mut’ah.27 Letak perbedaannya
dengan nikah tah}lil, nikah tah}lil bertujuan hanya untuk menghalalkan mantan suami
yang telah menjatuhkan talak tiga kepada mantan istrinya dan batas waktu pernikahan
dengan kamu, dengan syarat (perjanjian) bila kamu telah bersetubuh dengannya maka
24
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa tetang Nikah, alih bahasa oleh Abu Fahmi dan Syamsuri,
cet. ke-1 ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), hlm. 136.
25
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm.27
26
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa..,hlm.136.
27
Ibid.
78
pernikahan ini secara otomatis bubar, atau kamu menjatuhkan talak kepadanya”.28
Sedang dalam nikah ini sang suami berkehendak untuk menikah dan menyenanginya
hanya saja ia tidak menginginkan kelanggengan seorang istri di sisinya,29 dan ini
bukan syarat. Sedang perbedaannya dengan nikah Mut‘ah adalah nikah Mut’ah
kondisinya seperti sewa-menyewa yang berakhir dengan berakhirnya masa sewa serta
tidak ada unsur kepemilikan sang suami terhadap istrinya setelah masa itu berakhir.30
Adapun dalam pernikahan yang dimaksud, yaitu ada unsur kepemilikannya yang
tetap dan mutlak. Terkadang niatnya berubah, lalu ia tetap menjadikannya sebagai
istrinya, dan hal itu dibolehkan, sebagaimana jika ia menikah dengan niat untuk
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah menyatakan, Hasan bin Ali sering melakukan
perceraian barangkali faktornya adalah memang ia hendak melakukan hal itu setelah
beberapa waktu, dan tak ada seorang pun dari sahabat yang mengatakan bahwa itu
adalah nikah Mut’ah. Lagi pula dalam hal ini, ia tidak bermaksud untuk menceraikan
ketika mencapai suatu batas tertentu. Akan tetapi sampai batas sejauh mana ia
28
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Dar as-Salam, 2004), hlm 102.
29
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa .., hlm. 136.
30
Ibid.
31
Ibid.
79
berniat untuk menceraikannya pada saat itu juga, namun terkadang niat itu berubah.
Kondisi seperti ini tidak mengharuskan untuk menunda pernikahan yang akan
dilaksanakan, dan tidak dikatakan menjadikan seperti sewa menyewa yang disebut
Begitu juga sebagaimana disatir oleh Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd
dikatakan bahwa Zaid ibn Harisah pernah berniat menceraikan istrinya yaitu Zainab
bint Jahsy, namun dengan niat tersebut tidak membuat istrinya terlepas
kedudukannya sebagai istri. Bahkan Zainab tetap menjadi istrinya sehingga ia benar-
benar menceraikannya. Di sini dapat diketahui, niat Zaid untuk menceraikan istrinya
tidak menodai pernikahan yang telah berlangsung. Dalam hal ini bahwa niat untuk
mengatakan bahwa seorang suami tidak harus berniat (pada saat akad) untuk
32
Ibid.hlm.137
33
Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd ar-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah (dari "A"
sampai "Z"), alih bahasa Ahmad Syaikhu, cet. ke-2 (Bogor: Pustaka Ibnu Kasir, 2005), hlm. 49.
80
menceraikannya.34
Sebab niat untuk hidup selamanya bersama istri bukanlah suatu hal
dengan nikah Tahlil, karena niatnya tidak disebutkan dalam akad35, ia hanya
tidak ingin hidup lama dengan istrinya itu, dan ini bukan syarat36; maupun
nikah Mut‘ah, karena ada satu keinginan untuk menikah dan menyukainya.37
Menurut salah satu ulama kontemporer yaitu Syaikh Ibnu Baz, ketika
saja, jika niatnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah. Ketika
seseorang menikah di negeri asing dengan niat bila telah selesai studinya,
pekerjaannya dan lain sebagainya, dia akan menceraikannya, maka hal ini
34
Ibid., hlm. 645.
35
Mohammad Asmawi, Nikah dalam.., hlm. 103.
36
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm. 28.
37
Ibid., hlm. 63.
81
tidak apa-apa. Niat ini hanya antara dirinya dan Allah, dan bukan merupakan
syarat.38
ulama yang melarang pernikahan model ini. Di antara ulama yang melarang
menikah dengan niat talak adalah al-’Auza‘i, dan pendapatnya telah masyhur.
disadur oleh Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, disebutkan petikan ucapan:
"Jika sang suami meniatkan hal itu (talak), maka sama halnya ia
pendapat ‘Ala’ ad-Din al-Mardawi bahwa nikah ini termasuk nikah Mut‘ah,
yaitu nikah yang memiliki batas waktu tertentu atau dengan cara
mensyaratkan talak pada suatu saat nanti atau meniatkannya di dalam hati.39
pula halnya orang yang menikah berjangka waktu, yakni sama dengan nikah
mut‘ah, atau syibh al-mut‘ah semi mut‘ah (menyerupai nikah mut‘ah). Hal ini
38
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, alih bahasa Musthofa Aini dkk., cet. ke-2
(Jakarta: Dar al-Haq, 2004), hlm. 458.
39
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan.., hlm. 37.
82
lamanya.40
perkara ini dari berbagai aspeknya. Ketika ia ditanya tentang hal ini41, ia
istrinya untuk waktu satu bulan, satu tahun atau setelah studinya selesai. Ini
Pendapat yang terkenal dari mazhab Hanabilah adalah haram dan akadnya
Ibnu ‘Usaimin melanjutkan, nikah ini sah dan bukan Mut‘ah, karena
definisinya tidak sesuai dengan kriteria nikah Mut‘ah. Tetapi diharamkan dari
40
Ibid.
41
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa.., hlm. 455.
42
Abdurrahman Asjmuni, Qawa’id Fiqhiyyah , arti, sejarah dan beberapa qa’idah kulliyah,
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab.hlm.19.
83
Ada pula pendapat yang lebih keras dalam melarang pernikahan ini.
Yaitu Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, ia mengatakan nikah dengan niat
talak tidak sesuai dengan syariat Islam dan tujuan-tujuan mulia yang
terkandung dalam pensyariatan nikah, oleh karena itu hukumnya haram dan
Apabila tidak ada seorangpun yang tahu niat yang terkandung di dalam
hatinya, maka nikahnya sah secara lahir dan batal secara batin.
Setelah melihat pandangan dan pendapat ulama tentang menikah dengan niat
cerai ini maka menurut penyusun hal ini tidak lepas dari beberapa hal berikut :
tergantung pada niatnya. Jika niat tersebut berimplikasi pada hal yang baik
tentunya niat tersebut bermuara pada kemaslahatan, akan tetapi jika niat
43
Khalid al-Juraisy (ed.), Fatwa-fatwa Terkini I, hlm 456.
44
Abdurrahman Asjmuni, Qawa’id Fiqhiyyah , arti, sejarah dan beberapa qa’idah kulliyah, (
Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003 ).hlm.19.
84
dalam hatinya untuk menikah dalam batas waktu tertentu, entah itu setahun,
وإن ﺗﺒﺪواﻣﺎﻓﻲ اﻧﻔﺴﻜﻢ اوﺗﺨﻔﻮﻩ ﻳﺤﺎﺳﺒﻜﻢ ﺑﻪ اﷲ ﻓﻴﻐﻔﺮﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎءوﻳﻌﺬب ﻣﻦ ﻳﺸﺎء واﷲ ﻋﻠﻰ آﻞ
45
ﺷﻲءﻗﺪﻳﺮ
apapun yang tersirat di dalam hati baik ataupun buruk akan diminta
pertanggung jawabanya kelak oleh Allah SWT. Adapun apa yang tersirat di
h}a>jis, yaitu yang mula-mula tergores dalam hati secara spontan dan berakrir
seketika. Setelah itu kha>tir, yaitu yang terlintas sejenak kemudian terhenti dan
ini menimbulkan nafsu. Kemudian hadi>s\un al-nafsi, yaitu hati sudah mulai
datanglah fase ham, yaitu keteguhan hati untuk melakukan apa yang telah
45
Al-Baqarah : 284
85
proses ham ini selesai, maka yang terakhir timbullah azam, yaitu meneguhkan
Menurut sementara ulama, hajis, khatir, haditsun nafsi dan ham tidak
termasuk dalam lintasan hati yang oleh karenanya akan mendapat perhitungan
Dari ayat di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa apa yang
masih di dalam hati masih diampuni oleh Allah, tetapi pada fase azam sudah
Ketika dihadapkan dalam masalah nikah dengan niat cerai ini, jelas
keadaan hati pelaku sudah berada pada tingkataan azam untuk melakukan
dinikahi hanya untuk sementara waktu saja dan seandainya perempuan itu
tahu bahwa ia dinikahi hanya untuk sementara waktu saja maka jelas,
46
Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibnu Majah, Hadis no. 1675, kitab “an-Nikah”, “bab ma ja’a fi
fadhlin nikah”, diriwayatkan oleh Ali Bin Abu Thalib. hlm.253
86
siperempuan tentu tidak akan merestuinya. Disini sangat jelas bahwa ada
Dan apabila hal ini dihadapkan kepadanya apakah dia rela apabila
putrinya dinikahi oleh orang lain hanya untuk sementara waktu saja sampai
urusannya telah selesai, apabila ia tidak rela, bagaimana ia rela melakukan hal
Hal seperti ini sudah sangat jelas bertentangan dengan keimanan. Hal
Imam Ahmad. Dalam suatu waktu, Ibnu Taimiyyah juga mengatakan makruh
maka hukumnya makruh. Adapun masalah sah atau tidaknya nikah ini, ada
dan tidak dinyatakannya pada isterinya, dalam hal inipun ada perbedaan
47
Al-Buh{ari, S{ahih Buh{ari, bab "man kana yu'minu billah wal yaumil akhir fala yu'dzi
jarahu" diriwayatkan dari anas ra. hadis no : 12, hlm.26.
87
pendapat, Abu hanifah dan Syafi’i meringankan alias boleh. Sementara Imam
beliau sendiri walaupun pada awalnya mungkin ada pengaruh dari mazhab
yang selama ini ia ikuti. Beliau selain sebagai ahli fiqh juga ahli di dalam
ilmu tasawuf, hal ini dapat kita lihat dari sejarah biografi beliau dan dari
48
Saleh ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mansur, Nikah dengan Niat Talak?, alih bahasa Alpian MA
Jabbar, cet. ke-1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), hlm.38.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
hukum menikah dengan niat cerai yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka penyusun dapat menuangkan hasil dari studi ini dalam beberapa poin
kesimpulan, yaitu:
a. Menurut Ibnu Taimiyah, nikah dengan cara seperti ini hukumnya boleh,
hukumnya makruh.
tentang hal tersebut dan juga dikarenakan masalah hati yang tidak ada
orang yang bisa mengetahuinya, selain dirinya sendiri dan Allah yang
B. Saran-saran
a. Walaupun pernikahan ini sah secara hukum, akan tetapi perlu dilihat juga
dari sudut pandang moral. Sekalipun pernikahan ini tidak dengan tegas
macam kerugian.
c. Perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
model dan tata cara pernikahan. Hal ini dikarenakan banyaknya bentuk-
waktu.
90
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, 6 jilid , Ciputat: Lentera Hati, 2000.
2. Kelompok Hadis
Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il, al-S}a>hih al-Bukha>ri, 4 Jilid,
Beirut : Da>r al-Fikr, t.t.
Ibn Majjah, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu
Mabjjah, 3 Jilid , t.tp., Da>r al-Fikr, 1995.
Muslim, Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, 2 Jilid,
Bandung : Syirkah al-Ma’arif, t.t.
Tirmizi, Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa ibn Surah at-, Sunan at-Tirmiz\i, 3 jilid, Beirut
: Da>r al-Fikr, 1994.
Abu Hafs ’Usamah ibn Kamal ibn ‘Abd ar-Razzaq, Panduan Lengkap Nikah (dari
"A" sampai "Z"), alih bahasa Ahmad Syaikhu, Bogor: Pustaka Ibnu Kasir,
2005.
Bustani, Fuad Afrom, al-, Munjid At-Thulla>b, Beirut : Da>r al- Masyraq,1968
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, II, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001
Djaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995
Daud, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002
Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath}ul Mu’i>n, Penterjemah: Moch.
Anwar dkk, Bandung: Sinar Baru Algesindo Ofset, 2003.
Ghazali, Salih bin Ahmad, al-, Ensiklopedi Pengantin, Penterjemah: Farizal Tirmizi,
Jakarta: Pustaka Azzam,2001
Ibnu Taimiyah, Syekh al-Islam, Majmu Fatawa tentang Nikah, Penterjemah: Abu
Fahmi Humaidi dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002
Ibnu Taimiyah, Syekh al-Islam, Majmu>’ Fata>wa>, Bab Nikah, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002
92
Juraisy, Khalid, al-, Fatwa-Fatwa Terkini, 4 Jilid , Penterjemah: Musthofa Aini dkk,
Jakarta: Darul Haq, 2003.
Mansur, Saleh Ibn ‘Abd al ‘Aziz, al-, Nikah dengan Niat Thalak?, Penterjemah:
Alpian MA Jabbar, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004.
Maraghi, Abdullah Mustofa, al-, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa
oleh Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001.
Muchtar, Kamal dkk, Ushul Fiqh , 2 jilid, ( Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk,
Jakarta: Lentera Basritama, 2001
Pasha, Musthafa Kamal dkk, Fikih Islam, Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri,2002
Shiddieqi, T.M.Hasbi, Ash-, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997.
93
Shiddieqi, T.M.Hasbi, Ash-, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, Bandung: PUSTAKA,
1997.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset,1999
Rofiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Sabiq, As Sayyid, Fiqh Sunnah, 4 jilid, (Beirut : Dar al Kutub al ‘Arabi, 1973). .
Syah, Ismail Muhammad, dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid II, cet. ke-5 Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum
Pondok Pesantren Krapyak, 1996
94
J. Moloeng, Lexi, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001.
Taimiyah, Ibnu, Menghindari Perentangan Akal Dan Wahyu, alih bahasa Munirul
Abidin M. Ag., Malang: Pustaka Zamzami, 2004.
Lampiran I
3. Imam asy-Syafi’i
Nama lengkap tokoh besar ini adalah Muhammad ibn Idris ibn ‘Abbas ibn
‘Usman ibn Syafi’i ibn Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Hasyim ibn al-Mutallib. Panggilan
sehari-harinya Abu ‘Abd Allah. Lahir pada tahun 150 H/ 767 M dan meninggal di
Fustat, Mesir tahun 204 H/820 MN. Ada perbedaan pendapat mengenai tempat
kelahirannya, sebagian mengatakan di Graza, Palestina dan sebagian lain berpendapat
di Asqalan.
Imam asy-Syafi’i lahir dalam keadaan yatim. Ia diasuh dan dibesarkan oleh
ibunya sendiri dalam keadaan yang sangat sederhana. Setelah berumur dua tahun,
ibunya membwanya pulang ke kampung asalnya, Makkah. Di sinilah ia tumbuh dan
dibesarkan. Pendidikannya dimulai dari membaca al-Qur’an. Sejak dini telah
memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Dalam usia 9 tahun sudah
menghafal seluruh isi al-Qur’an dengan lancer. Setelah itu, ia berangkat ke dusun
Badui, Banu Huzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Kemudian
kembali lagi ke makkah dan belajar ilmu fiqh pada Imam Muslim ibn Khalid az-
Zanji. Selain itu ia juga mempelajari bidang ilmu Hadis dan berguru pada Imam
Sufyan ibn ‘Uyainah, serta bidang ilmu al-Qur’an dan berguru pada Imam Isma’il ibn
Qastantin.
Di samping cerdas asy-Syafi’i juga sangat tekun dalam belajar. Pada usia 10
tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik, dan
pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Setelah itu, ia pergi ke
Madinah untuk berguru pada Imam Malik, kemudian pergi ke Irak dan berguru pada
ulama besar di sana, antara lain imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan.
Setelah itu, ia kembalii ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik kurang lebih
selama empat tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Pada usia 29 tahun, as-Syafi’i mulai mengajar di Madinah. Ia terkenal sebagai
ulama ahli fiqh, ahli Hadis, Tafsir, Bahasa dan Sastra Arab, ilmu Falak, ilmu ushul
dan tarikh. Setelah itu ia pindah ke Yaman atas undangan ‘Abd Allah ibn Hasan, wali
negeri tersebut. Di sana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di
samping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru.
Pada tahun 181 H/797 M ia kembali mengajar di Makkah. Selama 17 tahun di
Makkah, ia mengajarkan berbagai ilmu agama, terutama kepada para jamaah haji
yang datang dari penjuru dunia. Selanjutnya pada tahun 198 H/813 M ia pergi ke
Bagdad dan mengajar di sana. Belum genap setahun di sana, ia diminta oleh wali
negeri Mesir, 'Abbas ibn Musi untuk pindah ke Mesir.
Dalarn meng-istinbat-kan hukum, asy-Sya-fi'i memakai lima dasar, yaitu al-
Qur'an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Sebagai ulama yang tempat
mengajarnya berpindah-pindah, asy-Syafi'i mempunyai ribuan murid, di antaranya ar-
Rabi' ibn Sulaiman al-Muridi, Yusuf ibn Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim dan lain-
lain. Sebagai seorang ulama yang tekun dan berbakat menulis, ia mempunyai banyak
karangan-karangan kitab, seperti ar-Risalah al-Umm, Kitab a]-Musnad, Ikhtilaf al-
Hadis lain-lain.
6. Ibn al-Hummam
Namanya adalah Muhammad ibn 'Abd al-Wihid ibn 'Abd al-Hami'd ibn Mas'ud
ibn Hamid ad-Din ibn Sa'd ad-Din. Lahir di Iskandariah tahun 790 H/1387 M dan
meninggal pada tahun. 861 H/1456 M. la adalah seorang ahli Fiqh mazhab Hanafi,
teolog, ahli Nahwu. Namanya lebih dikenal dengan ibn al-Hummam.
Ibn al-Hummam tumbuh dan besar dalam. keluarga ulama yang terhormat. Belum
genap usia 10 tahun, ayahnya meninggal dunia. Maka ia selanjutnya diasuh oteh
neneknya dari pihak ibu yang dikenal sebagai faqihah, ahli Fiqh perempuan. Oleh
sang nenek ia diperintahkan untuk belajar al-Qur'an dengan 'Abd ar-Rahman al-
Akbari, seorang ahli Fiqh lskandariyah. Setelah itu ia belajar ke Kairo kepada Syihab
ad-Din al-Haisami untuk menghafal al-Qur'an dan kepada Syams ad-Din az-Zaratini
untuk belajar ilmu Tajwid.
Berkat kerja kerasnya dalam menuntut ilmu, menjadikan ia terkenal sebagai
argumentator, baik dalam ilmu Fiqh, usul al-fiqh, usul ad-Din, tafsir, hadis, mantiq,
bahasa Arab, tasawwuf, matematika dan sastra. Semua keahlian ini diperoleh dari
sejumlah gurunya, antara lain Jainal ad-Din al-Humaidi, Zain ad-D'in at-Iskandari,
Muhammad al-Bisati al-Maliki, Izz ad-Din ibn 'Abd as-Salam al-Bagdadi, Badr ad-
Din al-'Ain al-Hanafi serta sejumlah ulama besar lainnya yang sulit dihitung.
Pandangan-pandangan ilmiahnya terlihat dari sikapnya yang senantiasa membela
kebenaran. la mengatakan apa yang sesuai dengan keputusan hatinya, tak peduli
apakah sejalan dengan pendapat imamnya atau bertentangan, sesuai dengan pendapat
mazhab lain atau bertentangan dengan mazhab empat sekalipun. Berkat kecerdasan
dan keberanniannya, ia pernah menjadi muffi dan mengajar beberapa perguruan
tinggi.
Terdapat ratusan ulama yang pemah belajar kepada Ibn al-Humman di antaranya
Badr ad-Din al-'lraqi al-Miliki, Syaraf ad-Din al-Munadi asy-Syafi’i, Jamal ad-Din
ibn Hisyam at-Misri al-Hanbali dan Zain ad-Din ibn Qatlubaga al-Hanafi. Di samping
itu, Ibn al-Hummam produktif menghasilkan karya-karya ilmiah, di antaranya yaitu
at- Tahifr fl Usul al-Fiqh, Fath al-Qadir wa Zad al-Faqir dan karya-karya lainnya.
9. lbnu 'Usaimin
Ia adalah Abu 'Abd Allah Muhammad ibn Salih ibn Muhammad ibn 'Usaimin al-
Muqbil al-Wuhaibi at-Tamimi. Lahir di Unaizah, wiiayah Qasim pada tahun 1347 H
dalam lingkungan keluarga yang dikenal agamis dan istiqamah. Kepada kakeknya
dari,pihak ibu, Syaikh 'Abd ar-Rahman ibn Sulaimin 'Ali Damig, ia belajar membaca
al-Qur'.an dan menghafalkannya. Ia belajar juga ilmu kaligrafi, ilmu hisab dan
sebagian ilmu sastra.
Sepeninggalan gurunya, Ibnu 'Usaimin dinobatkan menjadi imam Jami' Kabir.
Mengenai. tulis menulis ia baru menekuninya pada tahun 1382 H, ketika pertama kali
mengarang buku Fath Rabb al-Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah. Buku ini adalah
ringkasan dari kitab karya Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, yaitu ar-Risalah al-
Hamawiyyah fl al-'Aqidah.
CURRICULUM VITAE
Orang tua
Ayah : M. CHUSNAN
Ibu : SUMARTI
Pendidikan:
1. Formal :
2. Non Formal :