Demostrasi Kontekstual Modul 1.4

You might also like

You are on page 1of 3

Kasus 1

Anak perempuan bernama Aleyna, seorang siswi kelas 8 SMP yang cerdas,
mendapati dirinya dalam situasi yang sulit ketika ditegur oleh ibu Aulia karena
ketahuan mencontek saat Ulangan Bahasa Indonesia. Awalnya, Sarah mencoba
untuk tetap semangat dan berpikir positif, namun rasa malu dan khawatir di bully
mulai muncul dipikirannya. Merasa tidak nyaman dan khawatir akan resposns
teman-temannya, Aleyna memilih untuk enggan masuk sekolah dengan alasan
sakit. Sudah satu minggu berlalu, Aleyna tidak kunjung masuk sekolah. Perasaan
takut dibully/ diejek terus-menerus membebani pikiran. Ia merasa kehilangan
semangatnya dan sulit untuk menemukan motivasi untuk kembali ke sekolah.

Setelah seminggu tidak masuk sekolah, Aleyna akhirnya dikunjungi oleh ibu Aulia,
selaku guru Bahasa Indonesia Kelas 8. Saat bertemu dengan Aleyna, Ibu Aulia
mengaplikasikan prinsip-prinsip Segitiga Restitusi untuk membantu Aleyna
menyelesaikan masalahnya. Pertemuan tersebut dimulai dengan tahap
"Menstabilkan Identitas" yang bertujuan untuk membangun kembali kepercayaan
diri Aleyna. Ibu Aulia berbicara dengan lembut kepada Aleyna, memberikan
pengertian bahwa satu kesalahan tidak membuatnya berubah sebagai murid yang
cerdas dan berbakat. Aleyna perlahan mulai mengerti dan menerima bahwa
kesalahan adalah bagian dari proses belajar.

Setelah Aleyna merasa lebih stabil dengan identitasnya, ibu Aulia melanjutkan ke
tahap "Validasi Tindakan yang Salah." Ibu Aulia menyampaikan bahwa memang
benar Aleyna melanggar peraturan sekolah, tetapi kesalahan tersebut tidak
membuatnya menjadi orang yang buruk. Ibu Aulia mengakui rasa malu yang
dirasakan Aleyna dan memastikan bahwa ibu Aulia dan sekolah mendukungnya
untuk memperbaiki kesalahan dan belajar dari situasi tersebut. Dengan adanya
validasi ini, Aleyna merasa dihargai dan mendapatkan kepastian bahwa dirinya
masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.

Selanjutnya, Ibu Aulia melanjutkan ke tahap "Menanyakan Keyakinan" dengan


bertanya kepada Aleyna tentang keyakinannya terkait menghadapi teman-
temannya dan masalah yang dihadapinya. Aleyna mengungkapkan
kekhawatirannya akan dibully/ diolok-olok oleh teman-temannya dan keraguan
terhadap dirinya sendiri setelah melakukan kesalahan tersebut. Ibu Aulia
menguatkan Aleuna bahwa teman-temannya mungkin akan lebih memahami dan
menerima jika Aleyna menunjukkan upaya untuk memperbaiki diri. Ibu Aulia
berdiskusi tentang strategi dan dukungan kepada Aleyna untuk menghadapi
teman-temannya dengan jujur dan berani, serta memfokuskan diri pada
pembelajaran dan pertumbuhan pribadi.

Dengan bantuan dari ibu Aulia dan pemahaman tentang Segitiga Restitusi, Aleyna
merasa lebih percaya diri dan mampu menghadapi teman-temannya di sekolah.
Dalam beberapa minggu, Aleyna kembali ke sekolah dan meminta maaf kepada
teman-temannya atas kesalahannya. Teman-temannya merespons dengan
pemahaman dan dukungan, membuktikan bahwa Aleyna tidak perlu merasa
khawatir dijauhi. Aleyna belajar bahwa kesalahan adalah kesempatan untuk
belajar dan tumbuh, serta bagaimana menghadapi konsekuensi dengan sikap
yang bertanggung jawab. Melalui penerapan teori Segitiga Restitusi, Aleyna
mampu pulih dari rasa malu dan mengembalikan kepercayaan dirinya, serta
menjalin hubungan yang lebih baik dengan teman-temannya di sekolah.

Kasus 2

Anak laki-laki bernama David, seorang siswa kelas 8 SMP yang ceria namun
kurang disiplin, seringkali melanggar peraturan sekolah dengan tidak memakai
kaos kaki. Meskipun sudah berkali-kali diingatkan oleh guru dan teman-temannya,
David tampak cuek dan mengabaikan aturan tersebut. Ia merasa aturan tersebut
tidak terlalu penting dan merasa nyaman tanpa memakai kaos kaki. Karena
sikapnya yang acuh tak acuh terhadap peraturan tersebut, David sering kali
dihukum dan mendapatkan teguran dari guru-guru di sekolah.

Meskipun dihukum dan mendapatkan teguran berulang kali, David tetap


mempertahankan sikapnya yang tidak patuh terhadap peraturan memakai kaos
kaki. Ia merasa bahwa peraturan tersebut terlalu kaku dan membatasi
kebebasannya. Setiap kali ia dihukum, David merasa frustrasi dan kesal, namun
tetap tidak berubah dalam perilakunya.

Situasi ini berlangsung selama beberapa waktu, hingga David mulai merasakan
konsekuensi dari perilakunya yang melanggar peraturan sekolah. Teman-
temannya mulai menjauhinya dan guru-guru mulai kecewa terhadap sikapnya.
David merasa kesepian dan terisolasi karena perilaku yang tidak patuh terhadap
peraturan. Pada titik ini, David menyadari bahwa sikapnya yang tidak
menghormati aturan telah merugikan dirinya sendiri.

Melihat perubahan sikap David, seorang guru, Ibu Aulia, memutuskan untuk
berbicara dengan David secara pribadi. Ibu Aulia menerapkan pendekatan
Segitiga Restitusi dalam percakapannya dengan David. Ia memulai dengan tahap
"Menstabilkan Identitas" dengan memberikan apresiasi atas potensi dan bakat
yang dimiliki David. Ibu Aulia kemudian melanjutkan dengan tahap "Validasi
Tindakan yang Salah" dengan mengakui bahwa peraturan memakai kaos kaki
memang terlihat sepele, tetapi tetap penting untuk dipatuhi sebagai bagian dari
aturan sekolah yang harus dihormati.

Selanjutnya, Ibu Aulia memasuki tahap "Menanyakan Keyakinan" dengan


bertanya kepada David tentang alasan di balik sikapnya yang tidak patuh terhadap
peraturan. David mengungkapkan rasa ketidakpuasannya terhadap aturan yang
dianggapnya tidak penting dan membatasi kebebasannya. Ibu Aulia
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjelaskan bahwa aturan tersebut
bukan hanya tentang kaos kaki, tetapi juga tentang menghormati aturan dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Ia meyakinkan David bahwa mengikuti
peraturan bukan berarti kehilangan kebebasan, tetapi sebaliknya, merupakan
langkah penting dalam menjaga ketertiban dan menciptakan lingkungan yang
harmonis.

Melalui percakapan tersebut, David mulai memahami pentingnya menghormati


peraturan dan aturan yang berlaku di sekolah. Ia menyadari bahwa dengan
mematuhi peraturan, ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan teman-
temannya dan guru-gurunya. David berkomitmen untuk mengubah perilakunya,
mulai memakai kaos kaki secara konsisten, dan berusaha menjadi siswa yang
lebih disiplin. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan dukungan dari guru-
gurunya dan pemahaman yang baru, David melangkah maju untuk mengatasi
kebiasaannya yang melanggar peraturan.

You might also like