You are on page 1of 30

DIALEKTIKA FIQIH DENGAN

REALITAS EMPIRIK MASYARAKAT

Muhammad Azzam Fawwaz (05020522030)

Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah Dan Hukum


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
05020522030@student.uinsby.ac.id
Abstract

The current article portrays considerations of what as of late called as "social fiqh", which
its substance is an endeavor to change qawly worldview (to be specific following the
maxims of researchers) to manhajy worldview (following the strategy of researchers). The
ascent of such thought a lot of worries with formalistic and legalistic patterns of normal
traditional fiqh. People have been encouraged to manipulate the fiqh and separate it from
ethics as its philosophical foundation by the formalistic and legalistic approach to it. As a
result, fiqh becomes rigid and loses its ability to establish truly effective rules for society.
To dismantle the rigidity of fiqh and make it effective in resolving social issues, an
epistemological solution is required. Neither the legal issues facing society nor the texts or
arguments of Islamic law are extensive. Culture also, public activity of the local area is
continually developing. Especially in light of current globalization, which necessitates a
particular approach to the establishment of contemporary Islamic law. This paper endeavors
to Present philosophical philosophy in fiqh concentrates on connected with culture what's
more, social. There are at least three philosophical perspectives on social and cultural law.
In the first place, the authentic methodology, specifically Islamic regulation that has been
polished Muslims ever, not only, generally speaking, of Shari'a regulation. Second, think
about the outright standards of Islamic regulation furthermore, widespread in laying out
friendly and social law. Third, balance contextual and textual approaches to
comprehension.

Keywords : Social Fiqh, Paradigm, Islamic law, Socio-culture,


Abstrak

Artikel saat ini menggambarkan pertimbangan tentang apa yang akhir-akhir ini disebut
sebagai "sosial fiqh”, yang substansinya adalah ikhtiar mengubah pandangan dunia qawly
(menjadi spesifik mengikuti prinsip-prinsip peneliti) ke manhajy pandangan dunia
(mengikuti strategi peneliti). Pendakian pemikiran seperti itu sangat mengkhawatirkan pola
formalistik dan legalistik dari fikih tradisional yang normal. Orang-orang didorong untuk
memanipulasi fikih dan memisahkannya dari etika sebagai landasan filosofisnya dengan
pendekatan formalistik dan legalistik terhadapnya. Akibatnya, fikih menjadi kaku dan
kehilangan kemampuannya untuk menetapkan aturan-aturan yang benar-benar efektif bagi
masyarakat. Untuk membongkar kekakuan fikih dan mengefektifkannya dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, diperlukan solusi epistemologis. Baik masalah
hukum yang dihadapi masyarakat maupun teks atau argumen hukum Islam yang luas.
Budaya juga, aktivitas publik dari daerah setempat terus berkembang. Apalagi mengingat
arus globalisasi yang membutuhkan pendekatan khusus dalam penegakan hukum Islam
kontemporer. Artikel ini berusaha untuk Filsafat filsafat masa kini dalam fikih
berkonsentrasi pada keterhubungan dengan kebudayaan apalagi sosial. Setidaknya ada tiga
perspektif filosofis tentang hukum sosial dan budaya. Pertama, metodologi otentik,
khususnya regulasi Islam yang telah dipoles Muslim pernah, tidak hanya, secara umum,
tentang regulasi syariah. Kedua, pikirkan tentang standar langsung peraturan Islam lebih
jauh lagi, tersebar luas dalam menyusun hukum yang ramah dan sosial. Ketiga,
seimbangkan pendekatan pemahaman kontekstual dan tekstual.

Kata Kunci : Fiqh Sosial, Paradigma, Hukum Islam, Sosial Budaya,

A. PENDAHULUAN

Dalam perjalanan sejarah, fikih telah memainkan peran penting dalam kehidupan umat
Islam. Sayangnya, dia keliru tentang cabang ilmu Islam yang tekstualistik-formalistik
karena perkembangan dan fikih yang mengesankan. Para ahli fikih cenderung mengambil
pendapat secara harfiah atau lebih memperhatikan kata-kata.
Ketika menyangkut hal-hal seperti pernikahan dan jual beli, misalnya, mereka
hanya dianggap sah jika mereka mengucapkannya dengan benar. Akad nikah dianggap
batal kecuali bahasa Arab digunakan oleh orang non-Arab yang akan menikah. Keganjilan
obsesi tercetak inilah yang membuat Imam al-Ghazali prihatin dan berkata, sejujurnya para
ahli hukum adalah peneliti peneliti dunia, karena mereka mengabaikan harapan, tujuan, dan
pengabaian bahwa persoalan itu adalah persoalan tegas yang ditujukan kepada Tuhan
terlebih lagi, mulai saat ini. Mereka hanya berkonsentrasi pada pengucapan dan masalah
cabang tertentu. Tuhan merancang manusia untuk hidup bersama (zoon politicon), sehingga
terjadi perkembangan kehidupan sosial dan masyarakat yang anggotanya saling bergantung
satu sama lain dan lambat laun berkembang menjadi kebudayaan. Untuk saling mengenal
(WDâruf), mereka membentuk suku dan bangsa. 1 Hasil dari niat, kerja, dan perasaan
manusia yang diwujudkan dengan mantap dan terus menerus itulah yang awalnya
membentuk budaya. Karena kodratnya, kehidupan sosial budaya masyarakat
mengungkapkan baik kemapanan maupun bunga yang selalu berubah, selalu berjuang
untuk kesempurnaan. Yaitu sosial dan sosial masyarakat kontak dengan budaya dan
masyarakat jaringan yang berbeda juga menyebabkan bahan. Kontak dengan masyarakat
yang berbeda melakukan sosialisasi, khususnya pengungkapan pengungkapan baru,
perpanjangan cepat pada sistem instruktif, kekuatan berjuang dengan kualitas yang ada
karena kerangka sosial yang terbuka dan harapan terbuka mewakili hal-hal yang akan
datang memberi makan dorongan utama yang sangat penting dari acara perubahan di mata
publik. Munculnya globalisasi dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah
memberikan dampak yang signifikan pada sejumlah bidang kehidupan sosial, termasuk
kehidupan medis, hukum, sosial, dan ekonomi. Masyarakat Islam, sebagai komponen
penting dari komunitas global, tidak dapat mengabaikan tantangan yang mereka hadapi
sehari-hari terkait dengan masalah hukum. Di satu sisi, pertumbuhan ilmu pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi berdampak pada hampir setiap aspek kehidupan umat Islam,
dan di sisi lain, kenyataan bahwa mereka diharuskan untuk mengikuti hukum dan
mengamalkan Islam adalah perpanjangan logis. dari iman mereka.

1
Abdullah M.Amin, Studi Agama Normativitas Atau Historitas (Yogyakarta, n.d.), 221.
Islam, sebagai agama yang menunjukkan rahmat alam semesta, dan perubahan adalah
realitas yang tak terbantahkan. Hukum Islam juga memberikan posisi yang paling tepat
untuk memfasilitasi perubahan yang benar dan aman. Islam dan laju kehidupan hidup
berdampingan satu sama lain. Salah satu tanggung jawab Islam adalah mengawasi dengan
baik perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Cendekiawan
Muslim memiliki tanggung jawab nyata untuk menghasilkan strategi dan metode yang
mempertimbangkan konteks sekitarnya agar agama berfungsi dan membumi. Hal ini
terutama berlaku dalam hal-hal yang berkaitan dengan kut fiqh sosial dan budaya. Dalam
hukum Islam, perubahan letak sosial budaya dan geografis merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi suatu perubahan hukum. Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah,
perubahan fatwa han terjadi akibat pergeseran waktu, tempat, kondisi, dan kebiasaan.
Memang hukum berputar dengan illah (alasan hukum)-Nya dalam mewujudkan membuat
dan meniadakan hukum, sebagaimana tertuang dalam kaidah-kaidah fikih 2. Perubahan han
sosial akan terus terjadi dalam kajian sosiologis, sampai-sampai manusia berfungsi sebagai
penyangga kehidupan sosial budaya dan selalu berpindah-pindah. Maraknya globalisasi dan
dunia yang semakin canggih akan dibarengi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan aspek sosial, ekonomi, medis, dan hukum masyarakat. Masyarakat Islam adalah bagian
penting dari dunia dan tidak dapat menghindari masalah hukum terkait yang membutuhkan
solusi yang tepat. Ketika ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi
dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang ditimbulkannya, maka
hukum Islam akan memainkan peran yang nyata dan fungsional agar hukum Islam
responsif dan dinamis. Langkah strategis yang biasa dilakukan adalah ijtihad sebagai
instrumen untuk menjalankan syariat Islam. Perlu ditekankan bahwa kurangnya relevansi
perangkat teoretis ushul fiqh untuk masalah hari ini mungkin juga menjadi penyebab
kemunduran fiqh Islam. Karya-karya dalam bidang ushul fiqh yang baik adalah al-Risalah
disusun oleh al-Syafi'i,

2
“MEMBANGUN FIKIH YANG BERORIENTASI.Pdf,” n.d.
kitab-kitab mutakallimun dan cara berpikir ushul mazhab Hanafiyyah memiliki
pandangan dunia yang serupa, khususnya pandangan dunia literalistik, karena dalam
percakapan teks begitu dominan Bahasa Arab baik tentang tanda baca dan tata bahasa dan
mengabaikan percakapan tentang tujuan penting dari pengungkapan berada di belakang
teks yang ketat. Teknik rewel (al-tariqah al-lafziyyah) difokuskan pada teks syari'ah seperti
Al-Qur'an dan Hadits untuk mencari tahu caranya cara pengungkapan kedua sumber
tersebut menonjolkan peraturan fiqh yang dia maksud. Dengan memperoleh struktur
berwawasan dari al-Jabiry, model penalaran yang menyoroti penyelidikan teks dan bahasa
pada umumnya diatur sebagai proses pemikiran yang bertujuan Epistemologi Bayany, yang
sangat kontras dengan dan berijtihad model burhany dan, yang mengejutkan, lebih 'irfany.
Karena berpijak pada otoritas teks, maka ilmu bahasa Arab, ilmu kalam, dan disiplin
hukum Islam (fiqh) pada hakekatnya didasarkan pada akal sehat. Sepanjang sejarahnya,
mayoritas ahli hukum Islam telah mengandalkan akal sehat sebagai landasannya. Teks Al-
Qur'an dan as-Sunnah yang merupakan sumber hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab.
Betapapun liberalnya teks-teks itu, pemikiran hukum Islam tidak akan berhasil darinya 3.
Akibatnya, ketika menganalisis makna teks Alquran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum
Islam, pemikiran hukum Islam memiliki kecenderungan rasional-filosofis. Al-Jabiri
menyebut kecenderungan pemikiran rasional-filosofis dalam hukum ini sebagai ta'sis al-
bayan 'alaal-burhan (membangun disiplin bayany) dalam hukum Islam, yang didasarkan
pada kerangka yang disebut burhany. Isu tersebut kemudian berkembang ke titik di mana
para ahli hukum menganggap pendapat para imam mazhab sebagai nas-nas, atau nash, yang
tidak dapat diubah, digugat, atau diganti. Mereka melihat teks-teks cara berpikir sebagai
syari'ah sehingga teks-teks al- Al-Qur'an dan As-Sunnah harus disesuaikan dengan cara
berpikir. Pada saat yang sama, para hakim (qadis) yang kurang memiliki keahlian ilmiah
yang memadai menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan fikih. Mereka tidak
perlu memikirkan ijtihad atau mengubah hukum; mereka hanya menghafal hukum sekte,
yang berfungsi sebagai pedoman pengadilan. Mereka pada dasarnya menerapkan

3
Gatot Suhirman, “Fiqh Mazhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks
Islam Rahmat li- Indonesia),” Al-Mawarid 11, no. 1 (August 10, 2010),
https://doi.org/10.20885/almawarid.vol11.iss1.art7.
sepenuhnya peraturan yang disampaikan oleh para menteri tanpa mengambil tindakan
apapun.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dialektika fikih dengan realitas empirik masyarakat adalah suatu
pendekatan penelitian yang menggabungkan aspek fikih (hukum Islam) dengan realitas
empirik yang ditemukan dalam masyarakat. Metode ini bertujuan untuk menganalisis
interaksi antara prinsip-prinsip fikih dengan realitas sosial, budaya, dan ekonomi yang
diamati secara empiris di masyarakat. Penentuan Masalah Penelitian Identifikasi masalah
penelitian yang ingin diteliti yang melibatkan aspek-aspek fikih dan realitas empirik
masyarakat. Kajian Literatur: Melakukan tinjauan literatur yang relevan mengenai prinsip-
prinsip fikih yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga penelitian sebelumnya
yang telah dilakukan dalam bidang yang sama. Pengumpulan Data Empiris: Melakukan
pengumpulan data empiris yang berkaitan dengan realitas masyarakat yang ingin diteliti.
Data dapat dikumpulkan melalui survei, wawancara, observasi, atau sumber data lainnya
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Analisis Data Menganalisis data empiris yang telah
dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan dialektika fikih. Hal ini melibatkan
membandingkan prinsip-prinsip fikih dengan realitas empirik yang diamati,
mengidentifikasi kesenjangan antara keduanya, dan mencari pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana prinsip-prinsip fikih dapat diaplikasikan dalam konteks masyarakat.
Interpretasi Hasil: Menerjemahkan hasil analisis data ke dalam pemahaman yang lebih
dalam tentang hubungan antara fikih dan realitas empirik masyarakat. Ini melibatkan
mengevaluasi implikasi temuan penelitian terhadap pemahaman dan praktik fikih serta
saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut. Penyusunan Laporan: Menulis laporan
penelitian yang menggambarkan langkah-langkah penelitian, temuan, interpretasi, dan
rekomendasi yang dihasilkan. Laporan harus disusun dengan jelas dan sistematis sesuai
dengan format penulisan ilmiah yang berlaku. Metode penelitian dialektika fikih dengan
realitas empirik masyarakat memungkinkan untuk menerapkan prinsip-prinsip fikih dalam
konteks nyata masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih relevan dan
berarti dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat Muslim.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dialektika antara fikih dan realitas empirik masyarakat merujuk pada hubungan antara
pemahaman hukum Islam yang terdapat dalam fikih dengan realitas empirik yang diamati
dalam masyarakat. Fikih merupakan disiplin ilmu dalam Islam yang berfokus pada
pemahaman hukum syariah berdasarkan sumber-sumber utama, seperti Al-Qur'an dan
hadis. Di sisi lain, realitas empirik masyarakat mengacu pada pengamatan dan pengalaman
nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam hubungan ini, ada
beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, fikih merupakan studi teoritis terhadap
hukum Islam, sementara realitas empirik masyarakat berkaitan dengan praktik dan
implementasi hukum dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk
memahami bagaimana fikih dapat diterapkan secara efektif dan relevan dalam konteks
sosial, budaya, dan historis masyarakat. Kedua, realitas empirik masyarakat dapat
memberikan masukan penting bagi pengembangan fikih. Melalui pengamatan terhadap
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, pengalaman nyata mereka, serta perubahan
sosial dan teknologi yang terjadi, fikih dapat dikembangkan dan diperbarui agar tetap
relevan dan memberikan solusi yang bermanfaat bagi masyarakat4.

Namun, penting untuk memastikan bahwa realitas empirik masyarakat tidak secara
sembarangan menggantikan atau mengubah prinsip-prinsip utama dalam fikih. Fikih
memiliki kerangka dan metodologi yang telah dikembangkan selama berabad-abad, dan
prinsip-prinsip ini harus tetap menjadi landasan dalam menafsirkan dan menerapkan hukum
Islam. Dalam melakukan dialektika antara fikih dan realitas empirik masyarakat, peran
ulama dan cendekiawan muslim sangatlah penting. Mereka harus memiliki pemahaman
mendalam tentang fikih, sekaligus mampu memahami dan menganalisis realitas sosial dan

4
hasal-al Turabi, Fiqih Demokratis Dari Tradisionalisme Menuju Modernisme Populis, 1st ed. (arasy, 2003).
budaya masyarakat dengan bijak. Melalui dialog dan refleksi yang terus-menerus antara
fikih dan realitas empirik, dapat terjadi penyempurnaan dan adaptasi hukum Islam yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Penting juga untuk mengakui bahwa fikih tidaklah statis dan
dapat berkembang seiring dengan perubahan zaman. Namun, perubahan ini harus tetap
dalam batas-batas yang diizinkan oleh prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang mendasar.

Dalam hal ini, realitas empirik masyarakat dapat menjadi sumber inspirasi dan pemahaman
yang lebih baik tentang cara menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, dialektika antara fikih dan realitas empirik masyarakat merupakan suatu
proses yang melibatkan dialog, adaptasi, dan pembaruan yang bijak. Melalui pendekatan
ini, diharapkan fikih dapat tetap relevan dan memberikan pedoman yang bermanfaat bagi
masyarakat muslim dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan zaman. Dalam
konteks fikih dan realitas empirik masyarakat, terdapat hubungan yang penting antara
keduanya. Fikih, sebagai ilmu yang berurusan dengan hukum Islam, membutuhkan
pemahaman yang akurat tentang realitas empirik masyarakat untuk diterapkan dengan
efektif. Pertama, realitas empirik masyarakat dapat memberikan wawasan tentang situasi
dan kondisi yang dihadapi oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
pengamatan terhadap realitas ini, fikih dapat memahami permasalahan nyata yang dihadapi
oleh umat Muslim, tantangan yang dihadapi, dan perubahan sosial, ekonomi, atau politik
yang dapat mempengaruhi penerapan hukum Islam. Kedua, realitas empirik masyarakat
juga memberikan pemahaman tentang praktik dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Fikih, sebagai ilmu hukum Islam, harus dapat memahami dan merespons praktik-praktik ini
dengan bijak. Ini memungkinkan fikih untuk memberikan panduan yang praktis dan relevan
dalam memandu umat Muslim dalam menjalankan agama mereka5.

Namun, penting untuk diingat bahwa realitas empirik masyarakat tidak boleh
menjadi satu-satunya faktor penentu dalam fikih. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang
mendasar harus tetap menjadi pijakan dalam pengembangan hukum Islam. Realitas empirik
masyarakat dapat menjadi sumber informasi yang berharga, tetapi penafsiran dan aplikasi
hukum harus tetap didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang kuat. Selain itu, dalam

5
Muh Turizal Husein, “DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ISLAM,” n.d.
memahami realitas empirik masyarakat, penting untuk menggunakan pendekatan ilmiah
dan metodologi yang akurat. Pengumpulan data, analisis, dan pengamatan yang cermat
diperlukan untuk memastikan pemahaman yang objektif tentang realitas tersebut. Hal ini
memungkinkan fikih untuk memiliki dasar yang kuat dalam merumuskan panduan hukum
yang relevan dan sesuai dengan konteks masyarakat.

Dalam fikih dan realitas empirik masyarakat saling terkait dan saling mempengaruhi. Fikih
harus memahami realitas empirik masyarakat untuk dapat memberikan panduan hukum
yang relevan dan efektif. Namun, fikih juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-
nilai Islam yang mendasar. Dengan menggunakan pendekatan ilmiah yang tepat, fikih dapat
beradaptasi dengan perubahan dalam realitas empirik masyarakat tanpa mengabaikan aspek
inti dari ajaran agama Islam. Fikih sosial dan budaya merupakan cabang fikih yang khusus
membahas masalah-masalah yang timbul dari konteks sosial dan budaya masyarakat. Fikih
sosial dan budaya bertujuan untuk memahami dan memberikan panduan hukum Islam yang
relevan dalam menghadapi realitas sosial dan budaya yang beragam. Dalam konteks ini,
fikih sosial dan budaya berusaha untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam
dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial serta budaya yang ada dalam masyarakat. Fikih
sosial dan budaya mengakui bahwa setiap masyarakat memiliki kekhasan budaya dan
sistem sosialnya sendiri, dan oleh karena itu, fikih perlu bersifat responsif terhadap
perbedaan tersebut. Fikih sosial dan budaya mempelajari berbagai masalah yang berkaitan
dengan pernikahan, perceraian, waris, peradilan, keadilan sosial, etika bisnis, dan masalah-
masalah lainnya yang timbul dari konteks sosial dan budaya. Studi ini melibatkan
penelitian terhadap praktik dan kebiasaan sosial dalam masyarakat serta memperhatikan
nilai-nilai budaya yang berlaku6.

Pendekatan fikih sosial dan budaya memungkinkan fikih untuk memberikan solusi
yang lebih kontekstual dan relevan dalam menghadapi masalah-masalah sosial dan budaya.
Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial dan budaya yang
berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Misalnya, dalam masalah pernikahan, fikih
sosial dan budaya dapat mempertimbangkan adat istiadat atau tradisi dalam masyarakat

6
“143002-ID-Pengenalan-Metodologi-Filosofis-Dalam-Ka.Pdf,” n.d., 168.
tertentu dalam mengatur tata cara pernikahan, selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam. Namun, dalam menerapkan fikih sosial dan budaya, penting untuk tetap
menjaga konsistensi dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam.

Meskipun fikih sosial dan budaya responsif terhadap perbedaan sosial dan budaya, prinsip-
prinsip Islam yang mendasar seperti keadilan, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia
harus tetap dihormati dan ditegakkan. Fikih sosial dan budaya merupakan cabang fikih
yang berfokus pada penerapan hukum Islam dalam konteks sosial dan budaya masyarakat.
Pendekatan ini memungkinkan fikih untuk memberikan panduan yang relevan dan sesuai
dengan perbedaan sosial dan budaya yang ada. Namun, tetap diperlukan konsistensi dengan
prinsip-prinsip Islam yang mendasar dalam menghadapi masalah-masalah sosial dan
budaya. Lingkungan Hukum dan Kelompok yang belum berkembang Budaya Sejak Nabi
Muhammad SAW. mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Beliau melaksanakan risalah
kenabian dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan yang jatuh
pada tanggal 6 Agustus 610 M.5 yang merupakan tahun ke-41 kelahirannya. Islam datang
kepada masyarakat jahiliah hanya untuk membawa syariat yang sempurna agar dapat
mengatur hubungan yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Islam
datang kepada masyarakat jahiliyah hanya untuk membawa syariat yang sempurna agar
dapat mengatur hubungan yang adil dan egaliter di antara individu manusia7.

Munculnya Nabi Muhammad pada prinsipnya. Menyampaikan pelajaran libertarian,


dapat dianggap sebagai perubahan di arena publik, khususnya kerangka kerja regulasi,
dengan pengungkapan dan arah dari Allah SWT. Di sisi lain, ketika Nabi Muhammad
masih belum dikenal, ada cabang ilmu tertentu yang membahas hukum Islam sekarang
disebut fikihbeserta segala komplikasinya. Ajaran Islam tidak, sebagaimana dinyatakan
dalam teori hukum kemudian dan disebut sebagai al-ahkâm al-khamsah, mengkategorikan
ajaran Islam tertentu sebagai wajib, haram, mubah, makruh, atau sunnah. Klasifikasi ini
merupakan sejarah para ahli hukum Islam (mujtahid) yang rajin mempelajari ayat-ayat
Alquran, sunnah Nabi, dan adat istiadat umat Islam awal. Karena perkembangan fikih

7
“143002-ID-Pengenalan-Metodologi-Filosofis-Dalam-Ka.Pdf,” 66.
terjadi bersamaan dengan perkembangan Islam, maka pada masa-masa awal itu sering
dianggap sebagai Islam itu sendiri.

Dalam Al-Qurr’an, kata fiqh juga digunakan dalam pengertian yang umum yaitu
pemahaman (ilmu), sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Taubah ayat 122.
Pada saat dibentuk, kata fiqh masih berarti pemahaman pengetahuan atau tentang
Artikulasi Al-Qur’an fî al-diQμ (pemahaman masalah yang ketat) dalam pengulangan 122
surah At-Taubah di atas menunjukkan bahwa kata fiqh mengandung makna memahami hal-
hal yang ketat dengan baik dan dengan hukum, ideologi, etika, ekonomi, dan lain-lain.
Akibatnya faqqihhu fî al-dîn (Ya Allah, beri dia penghargaan pemahaman (mendalam)
tentang agama Islam), menunjukkan bahwa pada Pada masa Nabi, istilah fikih belum
digunakan dalam arti hukum yang luar biasa seperti yang dipahami sekarang. Ilmu fikih
merupakan salah satu cabang ilmu yang baru muncul belakangan ini. Baik hijriah dan
yurisprudensi telah berfokus pada pembahasan yurisdiksi tertentu. Karena itu, oleh barang
antik tertentu seperti Ibnu Khaldun, undang-undang diklasifikasikan sebagai informasi baru
di lapangan agama (min Al-Qur’an al-hadîtsah fî al-millah)8.

Hal ini tidak terlepas dari befiqh yang memiliki nuansa baru yang berbeda dengan
zaman Nabi yang masih dipahami secara luas. Imam mujtahid merujuk pada teks-teks
sharak seperti Al-Qur’an dan Hadits di samping tradisi dan fakta sosial ketika
mengembangkan teori-teori fikih untuk tujuan menentukan hukum Islam. Munculnya dua
pendapat Imam al-Mahdi yang disebut sebagai qawl qadîm (penda-pat lama) dan qawl jadid
(pendapat baru), adalah ilustrasi yang terkenal. Qawl qadîm yang dikemukakan oleh Imam
al-Mahdi sementara di Irak sambil qawl jadiîd selama di Mesir. Adanya perbedaan serta
pendapat lama dan baru yang ada antara lain dipengaruhi oleh keadaan dan keadaan yang
berbeda antara Mesir dan Irak, bukan oleh perbedaan penalaran (khususnya Hadits yang
baru-baru ini ditemukan di Irak). Selain itu, munculnya perbedaan sektarian di kalangan
imam mazhab tidak terlepas dari lingkungan terdekat para imam. Abu Hanifah yang tinggal
di Kufah, Malik bin Anas yang tinggal di Madinah, Irak dan Masir, dan Ahmad ibn
8
“Terjemah Bidayatul Mujtahid I.Pdf,” n.d., 2.
Hanbals yang tinggal di Irak, semuanya memiliki sudut pandang (mazhab) yang berbeda.
Perbedaan pendapat, atau ikhtilâf, tidak merusak sistem hukum Islam sebaliknya, itu
menutupi dan memperkuat fondasi hukum Islam yang lebih mapan.

Budaya dan Aspek Sosial dalam Hukum Paradigma ushûl al-fiqh para ulama menggunakan
istilah “dua substansi” dan “fiqh” secara bergantian: sebagai kumpulan hukum syariah dan
ilmu. Argumen terperinci memberikan pengetahuan tentang hukum pembagian praktis,
yang merupakan komponen pertama fikih. Serangkaian hukum fisika praktis yang
diturunkan dari dalil-dalil terperinci merupakan substansi kedua, fikih. Kedua zat ini
menunjukkan bahwa fiqh pada hakekatnya yang layak atau amaliyah didapat melalui proses
ijtihad oleh para mujtahid dari poin demi poin pertengkaran baik Al-Qur’an, Hadits,
perjanjian, dll. Regulasi Syarak dibundel dalam struktur informasi dan bermacam-macam
Substansi pertama merujuk pada fiqh sebagai epistemo yang merupakan logika hukum
Islam, sedangkan substansi kedua mendefinisikan fiqh sebagai seperangkat hukum Islam.
Sebagai hukum syarak praktis, fikih bersifat kontekstual selain bersifat tekstual. Penetapan
hukum berdasarkan teorema naqli atau serta pertimbangan fenomena sosial sebagai faktor
penentu hukum, menunjukkan tekstualitas dan tekstualitas konfiqh. Oleh karena itu, fikih
selain menampilkan sisi standardisasi demikian juga sisi yang tepat. Sebagai objek
penetapan dan konvensi hukum, sisi empirik yang berupa undang-undang pra-konsep
menjadi garis utama9.

Pemahaman seperti itu tidak ekstrim dengan alasan bahwa fikih itu memberi makan
sebagian dari peraturan Islam, bahkan ada beberapa peneliti yang membandingkan
miliknya. Sementara itu, para ulama ushûl al-fiqh mengartikan hukum Islam sebagai
ketentuan Allah dan Rasul-Nya (khithâb terkait dengan perbuatan baik berupa tuntutan,
pilihan, atau ketetapan. Menurut definisi ini, teks dari mana hukum undang-undang Tuhan
yang tenang berasal adalah apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Selain itu, para ahli
hukum mendefinisikan hukum Islam dalam hal konsekuensi dari suatu tindakan seperti
wajib, melanggar hukum, dan diperbolehkan yang dikenakan oleh ketentuan (kata) Alhasil,
bisa dikatakan bahwa dalil-dalil syariah bersumber dari Al-Quran, Hadits, ijma', qiyas,

9
Vita Fitria, “REAKTUALISASI HUKUM ISLAM : PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI,” n.d., 6.
istihsân, dan seterusnya sifat normatif dari tindakan-tindakan empiris plagiarisme. gagasan
hukum konvensional, yang datang dari Barat dan mempertimbangkan fakta-fakta
masyarakat ketika membuat keputusan hukum.

Marx Weber lebih lanjut, Emile Durkheim, misalnya, mengungkapkan hal itu Fakta benar-
benar menegaskan bahwa hukum adalah cerminan ketabahan di mata publik rakat. Arnold
M. Rose mengajukan teori umum tentang perubahan sosial dalam kaitannya dengan
perubahan hukum yang dipengaruhi oleh tiga faktor, sejalan dengan Marx, Weber, dan
Durkheim Pertama, penemuan teknologi secara bertahap dimasukkan ke dalam masyarakat;
Kedua, kehidupan masyarakat saling berinteraksi atau berkonflik; ketiga, ada gerakan
politik. Sudut pandang eksperimental diingat untuk bagian sosial dan sosial masyarakat
telah berubah menjadi pemikiran secara bersamaan transmisi peraturan Islam sejak periode
perkembangannya ketika Al-Qur'an terungkap atau Hadits diberikan oleh Nabi
Muhammad. Misalnya, dalam Al-Qur’an Allah membahas tentang para sahabat yang
bertanya tentang masa haid Nabi Muhammad ketika menetapkan hukum darah haid. Al-
Baqarah: 222). Dalam bait ini, ada sahabat di antara sahabat yang bertanya kepada Nabi
Muhammad tentang hukum darah wanita, dan menjawab bahwa darah wanita itu najis
(berantakan). harus dihindari dalam artian seorang istri tidak boleh melakukan hubungan
seksual dengan orang lain saat dia sedang menyusui. Sepintas akan terlihat bahwa ayat ini
merupakan penetapan hukum Islam karena masyarakat menyebabkan istri-istri sahabat
Nabi mengalami haid. Melalui asbâb al-nuzûl-nya atau Hadist Nabi melalui asbâb al-its
wurûd, ayat-ayat Al-Qur’an mengandung berbagai nas negatif dan positif. Terdapat
perbedaan antara fikih dan hukum konvensional dalam proses penetapan hukumnya karena
fikih tampak lebih bersifat deduktif, berdasarkan dalil untuk menentukan status hukum
persoalan faktual, sedangkan hukum konvensional bersifat induktif, berdasarkan fakta
empiris yang kemudian diputarbalikkan. ke dalam diktum hukum untuk menentukan status
hukum suatu perkara. Meskipun tampaknya diubah, keduanya sah Islam dan peraturan
biasa sebenarnya tidak menolak investasi sosial dan sosial dalam jaminan peraturan.
Akibatnya, istilah mashlahah mursalah dan al-âdah muhakkamah digunakan dalam hukum
Islam10. Maslahah kemasan tanah-tanah sosial, adat-istiadat, dan budaya masyarakat diakui
sebagai bagian dari hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam saja.

Pengakuan kebiasaan sosial dan dalam gaya hidup masyarakat setempat domain regulasi
Islam dalam terang umat Islam sangat memperhatikan batas-batasnya mengatur sumber-
sumber regulasi berbasis teks terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dalam hubungannya
dengan kasus sosial dan budaya daerah setempat khususnya setelah Islam menyebar di
Indonesia berbagai bangsa dengan berbagai yayasan sosial dan sosial yang sangat berbeda
(multikultural). Kritik Fiqh terhadap Realitas al-Qaradawi untuk Menjawab Pertanyaan
Filosofis: Haruskah Ijtihad Hukum Ditundukkan pada Realitas Sosial atau Sebaliknya?
Maka itu penting terkonsentrasi lebih lanjut adalah motivasi di balik perkembangannya
sebuah regulasi itu sendiri. Setiap hukum bertujuan untuk berbuat kebaikan, membawa
kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi objek hukum (mukallaf). Menurut Jeremy
Bentham, hukum yang mampu mencapai tujuan dan visinya adalah efektif dan efisien.
Menarik diri dari sini, realitas sosial sebagai agregasi pertempuran budaya yang mendalam
bergaul satu sama lain secara lokal berperan penting dalam mempengaruhi item yang sah
terhadap persoalan yang mereka hadapi. Terlepas dari kenyataan bahwa Dengan cara ini,
itu tidak berarti semua jenis kondisi masyarakat (realitas sosial) dapat diwajibkan semua
dalam semua dalam pengembangan regulasi. Namun, keharusan realitas sosial itu sendiri
untuk diverifikasi membuat legalitas realitas sosial tidak dapat diterapkan terlepas dari
aturan istinbath hukum11.

Hal inilah yang menjadi dasar pembatasan al-Qaradawi terhadap ranah realitas
sosial sebagai penentu produk hukum (ijtihad) untuk kasus-kasus yang nashnya belum
mencakup aspek kasus yang jelas dan utuh, sehingga mengharuskan mujtahid
menggunakan argumentasi sekunder. untuk mendukung validitas suatu produk ijtihad.
Selain itu, penting untuk ditekankan bahwa hukum hanya dapat diterapkan pada realitas
sosial positif (urf sahih) yang tertanam dalam tradisi masyarakat dan tidak bertentangan

10
Muh Irhas Darojat, “Konsentrasi: Bisnis dan Manajemen Syariah,” n.d., 39.
11
“143002-ID-Pengenalan-Metodologi-Filosofis-Dalam-Ka.Pdf,” 167.
dengan maqashid syariah. Sebaliknya, budaya sosial yang menyimpang urf fasid tidak
dapat dijadikan argumentasi internal hukum.

Menurut Roscoe Pound, hukum harus menjadi faktor pendorong ke arah perubahan
masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya jika ingin menjadi hukum yang sesuai dengan
konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial. Pembatasan masalah yang dijelaskan di atas
sangat penting. Islam awal berkembang dengan cara yang sama. Law mampu beradaptasi
dengan lingkungannya dan terlebih lagi dengan budaya moderat yang sedang berkembang
saat itu. Teks-teks yang dijatuhkan pada saat itu berfungsi sebagai bentuk legitimasi atau
sebagai sarana untuk mengingkari realitas sosial yang muncul pada abad ke-19 Jahiliyah.
Penulis menegaskan bahwa salah satu aspek dari perspektif al-Qaradawi tentang fikih yang
diabaikan adalah ketidakpastian seputar kerangka metodologi yang secara konseptual
menggariskan hubungan antara fikih dan pengaruh realitas sosial. Al-Qaradawi baru-baru
ini menekankan pentingnya realitas sosial dalam proses perumusan hukum dalam konsep
Fiqh al-waqi yang diberikan. Hukum kebenaran al-Qaradawi belum ditutup menjadi aturan
yang luar biasa. Hal ini merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh sejumlah ulama Maliki
dan Fiqh serta mayoritas mazhab Hanafi. Menurut ushul fiqh Wahbah Az Zuhaili, ada
kaidah di kedua mazhab yang mengatakan bahwa hadis secara praktis (al-'urf al-'amali)
mampu takhshish terhadap nash12. Salah satu contohnya adalah ketika dibuat dalil yang
mengharamkan riba pada makanan; Namun Hanafiyyah mengatakan bahwa jenis makanan
yang diharamkan terbatas pada jenis makanan yang umum/makanan pokok, seperti
gandum. Unsur-unsur Hukum dalam Kebenaran Hukum Sosial Mulai dari latar belakang
sejarah perkembangan manusia berkaitan dengan kolaborasi yang mendalam masyarakat,
masalah aturan atau standar adalah manifestasi yang diperlukan dengan tujuan akhir
mencapai harmonisasi kehidupan. Menurut sosiologi empiris, aturan atau norma merupakan
pedoman atau kunci untuk memantapkan interaksi sehingga pelanggaran terhadap aturan
atau norma akan menghasilkan sanksi atau hukuman sosial. Norma sosial adalah pedoman
bagi semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk aturan agama dan hukum. Masyarakat

12
Sokhi Huda, “Kritik Pemikiran Richard C. Martin dalam Studi Agama dan Relevansinya dengan Studi Islam
di Indonesia,” n.d., 105.
yang tidak menganut norma-norma agama atau sosial, tidak memahami fikih sosial secara
fundamental, atau mengingkarinya dan menyimpang dari norma-norma tersebut,

Dianggap sebagai masyarakat yang tidak beradab. Sepanjang seluruh keberadaan


keberadaan manusia Ini telah banyak dibuktikan, bahwa orang yang tunduk pada aturan
akan melakukannya melahirkan masyarakat yang baik, begitu pula sebaliknya jika daerah
setempat memberontak dengan pedoman yang telah ditetapkan akan melahirkan
masyarakat yang bergejolak keributan. Sepanjang perjalanan hidup seseorang, interaksi
yang dilakukan manusia dengan masyarakat tidak pernah berjalan mulus dan aman.
Meskipun selalu terjadi ketimpangan sosial bahkan konflik dalam kehidupan
bermasyarakat, setiap orang menginginkan kehidupan yang layak antara interaksi
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Permasalahan yang muncul di masyarakat ketika
masyarakat tidak mampu berinteraksi sesuai dengan perannya. Pengaruh teknologi,
informasi, dan pengaruh global lainnya, antara lain, menyebabkan masalah tersebut.
Masalah lain yang sering muncul adalah pemahaman yang berbeda pedoman kegiatan
publik di mata publik, khususnya tentang penerjemahan berada di luar jangkauan regulasi
yang sesuai. Masalah dengan interpretasi aturan Hukum sangat rumit karena latar belakang
pendidikan juru bahasa berbeda, sehingga pendekatan yang digunakan berbeda. Tata
kehidupan merupakan contoh keinginan akan norma hukum agar kontrol sosial masyarakat
dapat tercapai. Bagaimanapun, pada saat persyaratan pedoman dilakukan dengan benar,
sejak saat itu peraturan bercampur dengan masyarakat. Sebaliknya, jika hukum tidak
dilaksanakan dengan baik, maka menjadi norma karena tidak menyatu dengan kehidupan
masyarakat sehari-hari13. Unsur halal dalam realitas bersahabat dapat menciptakan realitas
yang ada terjadi terus-menerus dalam permintaan aktivitas publik menggabungkan menjadi
spesifik:

1. Regulasi akan menghadapi unsur-unsur dalam mengelola perubahan.

2. Perubahan sosial sejauh pembangunan dan keresahan akan membawa hasil pada
pemulihan yang sah.
13
Toha Ma’arif, “FIQIH INDONESIA MENURUT PEMIKIRAN HASBI ASH-SHIDDIQI, HAZAIRIN DAN MUNAWIR
SYADZALI,” n.d., 38.
3. Karena kehendak peraturan disertai dengan intervensi positif dan negatif berupa penyakit
hukum, maka undang-undang itu sendiri mengalami perubahan.

4. Kemampuan regulasi sebagai friendly control atau social control adalah tujuan yang
terhormat

Peraturan Menurut Achmad Ali, unsur-unsur dan tugas pengaturan dalam perubahan
ramah hari ini spesialis yang sah diharapkan untuk bertindak sebagai penyelenggara atau
pemodel hiburan virtual dan sebagai moderator sosial. Selain itu, ditegaskan bahwa
partisipasi dalam perencanaan kehidupan masyarakat memerlukan pergeseran dari keahlian
menjadi penafsir dokumen hukum. Karena itu juga dinyatakan bahwa penerapan ilmu-ilmu
sosial sangat penting bagi penggunaan hukum sebagai alat aktif untuk mengubah kondisi
dan tatanan sosial. Paradigma fikih dengan masyarakat merujuk pada pendekatan atau
kerangka pemahaman yang digunakan dalam menerapkan hukum Islam dalam kehidupan
masyarakat. Paradigma ini melibatkan hubungan dan interaksi antara fikih sebagai ilmu
hukum Islam dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam
penerapan hukum tersebut. Pada dasarnya, fikih berfungsi sebagai panduan hukum Islam
yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis, serta melibatkan penafsiran dan aplikasi oleh
para ulama dan cendekiawan muslim. Paradigma fikih dengan masyarakat mengakui
pentingnya memahami dan merespons kebutuhan, aspirasi, dan konteks masyarakat dalam
menerapkan hukum Islam. Dalam paradigma ini, peran dan kontribusi masyarakat sangat
penting. Fikih tidak bisa lepas dari realitas sosial, budaya, dan historis masyarakat yang
mempengaruhi pemahaman dan penerapan hukum14. Oleh karena itu, para ulama dan
cendekiawan muslim perlu terlibat dalam dialog dan interaksi dengan masyarakat untuk
memahami masalah yang dihadapi, perubahan yang terjadi, serta nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat. Paradigma fikih dengan masyarakat juga
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan hukum dan pengambilan
keputusan. Keterlibatan masyarakat dapat berupa masukan, konsultasi, atau mekanisme
partisipatif lainnya untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan
kepentingan dan keadilan masyarakat yang dilayani. Selain itu, paradigma fikih dengan

14
“07. BAB IV.Pdf,” n.d.
masyarakat juga mengakui pentingnya kontinuitas dan adaptasi dalam penerapan hukum
Islam.

Masyarakat terus berubah dan berkembang, baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, maupun
teknologi. Oleh karena itu, fikih harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan
memberikan panduan yang relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan
masyarakat. Namun, penting untuk diingat bahwa paradigma fikih dengan masyarakat tidak
mengabaikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang mendasar. Fikih tetap didasarkan
pada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur'an dan hadis, serta prinsip-prinsip hukum Islam
yang telah mapan. Paradigma ini memungkinkan pemahaman dan penerapan hukum Islam
yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa mengorbankan
aspek inti dari agama Islam. Paradigma fikih dengan masyarakat menggambarkan
pentingnya dialog, interaksi, dan partisipasi masyarakat dalam pemahaman dan penerapan
hukum Islam. Paradigma ini memungkinkan fikih untuk lebih responsif terhadap kebutuhan
dan konteks sosial, budaya, dan historis masyarakat, sambil tetap memegang teguh prinsip-
prinsip dan nilai-nilai Islam yang mendasar. Korelasi antara fenomena sosial dan fikih
dalam sistem hukum positif merujuk pada hubungan saling mempengaruhi antara realitas
sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan interpretasi dan penerapan hukum Islam
dalam sistem hukum positif15.

Dalam sistem hukum positif, fikih sebagai sumber hukum Islam memiliki peran
yang penting dalam membentuk dan menerapkan hukum dalam konteks sosial yang ada.
Fikih memberikan panduan dan prinsip-prinsip hukum Islam yang didasarkan pada sumber-
sumber utama seperti Al-Qur'an dan hadis. Namun, interpretasi dan aplikasi hukum Islam
dalam konteks sosial ditentukan oleh faktor-faktor sosial, politik, dan budaya yang ada
dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat, seperti perubahan sosial,
perkembangan teknologi, perkembangan ekonomi, perubahan nilai-nilai budaya, dan
perubahan kehidupan politik, dapat mempengaruhi interpretasi dan penerapan hukum Islam
dalam sistem hukum positif. Masyarakat adalah pemangku kepentingan utama dalam
proses pembentukan dan perubahan hukum, dan kebutuhan serta aspirasi masyarakat dapat

15
“143002-ID-Pengenalan-Metodologi-Filosofis-Dalam-Ka.Pdf,” 177.
mempengaruhi cara fikih diinterpretasikan dan diaplikasikan dalam konteks sosial yang
terus berubah.

Korelasi antara fenomena sosial dan fikih dalam sistem hukum positif dapat dilihat dalam
beberapa aspek, antara lain:

1. Interpretasi hukum: Fenomena sosial dapat mempengaruhi cara fikih diinterpretasikan


dalam konteks sosial yang berkembang. Perubahan sosial dan budaya masyarakat dapat
menimbulkan masalah baru yang belum diatur dalam tradisi fikih, dan oleh karena itu,
interpretasi hukum harus mengakomodasi fenomena sosial tersebut.

2. Penetapan kebijakan hukum: Perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat dapat menjadi
faktor dalam penetapan kebijakan hukum yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam.
Aspek-aspek seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial, yang
merupakan fenomena sosial yang diakui secara luas, dapat mempengaruhi cara hukum
Islam diterapkan dalam sistem hukum positif.

3. Penyempurnaan hukum: Fenomena sosial dapat menjadi motivasi untuk penyempurnaan


hukum yang ada. Perubahan dalam masyarakat dan perubahan kebutuhan sosial dapat
mendorong adanya reformasi hukum dalam sistem hukum positif untuk menjawab
tantangan dan kebutuhan yang muncul.

Namun, dalam korelasi antara fenomena sosial dan fikih dalam sistem hukum
positif, penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam yang mendasar tetap
dihormati dan dipertahankan. Meskipun interpretasi dan aplikasi hukum dapat dipengaruhi
oleh fenomena sosial, prinsip-prinsip Islam harus tetap menjadi landasan utama dalam
pembentukan dan perubahan hukum. Korelasi antara fenomena sosial. Realitas sosial
masyarakat dalam fikih merujuk pada kondisi dan fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat dan menjadi faktor penting dalam interpretasi dan penerapan hukum Islam 16.
Fikih sebagai ilmu hukum Islam harus memperhatikan realitas sosial masyarakat agar

16
Ahmad Fauzi, “Al-Maslahah al-Syar’iyah Sebagai Sumber Hukum Islam (Kajian Kitab Dawabith al-
Mashlahah Syeh Said Ramadan Buti),” Jurnal Pemikiran Keislaman 27, no. 2 (September 5, 2016),
https://doi.org/10.33367/tribakti.v27i2.271.
panduan hukum yang diberikan dapat relevan, efektif, dan mengakomodasi kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Dalam memahami realitas sosial masyarakat dalam fikih, beberapa
aspek yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Kondisi sosial: Fikih harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat, seperti struktur
sosial, sistem ekonomi, pola hubungan sosial, perubahan sosial, dan isu-isu sosial yang
muncul. Misalnya, dalam konteks pernikahan, fikih harus mempertimbangkan perubahan
dalam pola perkawinan, perubahan dalam peran gender, dan tantangan sosial lainnya yang
dapat mempengaruhi hukum dan panduan yang diberikan.

2. Nilai dan norma masyarakat: Fikih juga harus memahami nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kekhasan budaya dan sistem
nilai yang berbeda, dan fikih harus mempertimbangkan hal ini dalam menginterpretasikan
dan menerapkan hukum Islam. Misalnya, adat istiadat atau tradisi tertentu dalam
masyarakat dapat mempengaruhi tafsir lokal terhadap hukum Islam dalam konteks sosial
tertentu.

3. Masalah sosial yang dihadapi masyarakat: Fikih perlu memperhatikan masalah-masalah


sosial yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, kejahatan, dan
isu-isu lainnya. Fikih harus memberikan panduan hukum yang mengatasi masalah-masalah
sosial ini dan berkontribusi pada keadilan dan kesejahteraan sosial.

Dengan memperhatikan realitas sosial masyarakat, fikih dapat memberikan panduan


hukum yang relevan dan sesuai dengan konteks sosial yang ada. Hal ini memungkinkan
fikih untuk berfungsi sebagai alat yang dapat membantu masyarakat dalam menghadapi
tantangan sosial dan membangun kehidupan yang lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Namun, penting untuk mencatat bahwa dalam mempertimbangkan realitas sosial
masyarakat, fikih juga harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang mendasar dan
tidak mengabaikan nilai-nilai dan tuntunan agama. Prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan
etika Islam tetap menjadi pijakan dalam pembentukan panduan hukum. Realitas sosial
masyarakat memiliki peran penting dalam fikih. Fikih harus memahami kondisi sosial,
nilai-nilai, dan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat dalam
menginterpretasikan dan menerapkan hukum Islam. Dengan mempertimbangkan realitas
sosial masyarakat, fikih dapat memberikan panduan hukum yang relevan dan bermanfaat
bagi masyarakat.

Ilmuwan sosial mengatakan bahwa Islam dicirikan oleh beberapa kecenderungan yang
dominan dan objektif, yang antara lain Pertama, teknologiisasi kehidupan, yang
menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan
kecenderungan pola perubahan yang akan berkembang di masa depan, masa kini, dan masa
depan. Masyarakat inovatif digambarkan dengan normalisasi dan perubahan kerja harga
diri, untuk lebih spesifik pemikiran yang lebih umum kecakapan dan efisiensi. Gerakan
masyarakat teknologi paling menekankan produktivitas dan efisiensi. Hubungan kerja dan
keluarga akan menjadi lebih produktif dan efisien. Kedua, kecenderungan orang untuk
berperilaku lebih efektif. Masyarakat semacam ini dicirikan oleh pola hubungan sosial yang
murni utilitarian dan penting. Eksistensi seseorang ditentukan oleh seberapa bermanfaatnya
bagi orang lain. Secara spesifik pola hubungan sosial akan berubah dari afektif menjadi
afektif netral, dan hubungan personal dan emosional akan menjadi efektif dan netral.
Ketiga, masyarakat serius data. Masyarakat semacam ini, kehadiran seorang individu
benar-benar bergantung pada seberapa besar itu data aturan. Proses penguasaan informasi
ditentukan oleh sistem nilai yang dibangun secara objektif dan terbuka di tengah
masyarakat. masyarakat yang kuat data akan semakin maju jika dia diwakili oleh kerangka
itu terbuka dan benar-benar dijalankan oleh publik. Pada akhirnya akan muncul budaya
yang menghargai keragaman sosial. Karena Islam dianggap sebagai agama yang paling
utama dan diyakini berasal dari zaman shalihun li kulli, maka wajar jika Islam mampu
merespon peristiwa-peristiwa kontemporer dengan tepat17. Gagasan mewujudkan agama
semboyan Islam modern sejalan dengan kaidah ushul, taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri
al-azminah wa al-amkinah Artinya masyarakat selalu dipagari dari ruang dan waktu ketika
hukum halus. Sejak zaman para sahabat, pergeseran realitas sosial ini berperan penting
dalam menegakkan hukum sepanjang sejarah. Misalnya pada masa kekhalifahan Abu Bakar
ada pembangkangan di dalam masyarakat membayar zakat. Abu Bakar berpendapat untuk
memerangi mereka karena menurutnya zakat sama dengan jizya (pajak). Ketika Umar bin
17
muhammad syah ismail, Filsafat hukum islam (Bumi aksara, 1992).
Khattab menjadi khalifah, dia tidak memberikan bagian zakat kepada para muallaf,
meskipun faktanya Dikatakan bahwa al- mu'allafah qulûbuhum adalah kelompok yang
menerima zakat.

Umar sang Khalifah Arab menganggap bahwa Islam sudah kuat dan orang yang baru
masuk Islam tidak boleh diperlakukan berbeda.7 Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah,
dia menyuruh orang untuk mengambil unta liar dan membiarkan mereka menjualnya
sampai akhir tahun. pemilik unta diketahui dan uang hasil penjualan menjadi miliknya.
Hukum ini tidak pernah ada pada masa Nabi. Usman ra. rumusan hukumnya didasarkan
pada keadaan masyarakat pada saat itu, karena sewajarnya jika unta dibiarkan sendiri akan
terlantar tanpa pemiliknya. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra., ia memilih
memberikan sanksi sebagai denda bagi para ahli (as-shanna') dengan asumsi itu
membahayakan produk kliennya, diterapkan jika si tukang tidak bisa memberikan verifikasi
itu kerugian itu tidak ditimbulkan olehnya. Urusan diselesaikan oleh wadah Ali Abi Thalib
ra. sejak ada kebutuhan, karena, dalam kasus seperti itu tidak sanksi yang akan terjadi
antara lain adalah klien ragu-ragu untuk datang ke jack of all trades, atau di sisi lain
produsen bertindak tanpa peringatan, dan jika ada kerusakan dia akan lepas tangan18.

Dari penjelasan di atas, jelas dari contoh hasil ijtihad khulafaurrasyidin sambil
membentuk peraturan fikih, kondisi ilmu manusia terus-menerus memikirkan dan
berdampak padanya. Hal ini menjadi bukti bahwa hukum fikih ditentukan dengan
memperhatikan realitas sosial. Yusuf al-Qaradawi adalah seorang cendekiawan Muslim
terkenal di dunia Islam modern, khususnya di bidang hukum Islam, di mana dia banyak
memusatkan perhatiannya. Dia juga punya sudut pandang fikih yang menonjolkan
signifikansinya realitas sosial selama waktu yang dihabiskan untuk perincian yang sah
undang-undang Dengan demikian, sebenarnya tidak diharapkan adanya fatwa tersebut dia
sangat praktis dan mudah beradaptasi berpikir tentang realitas ramah perubahan yang sah.

18
Husein, “DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ISLAM,” 177.
D. HASIL WAWANCARA

Saya sebagai peneliti melakukan wawancara secara langsung. Wawancara dengan Bapak
Ahmad Khoirul Hakim S.Pd M. Pd pengajar disalah satu universitas nahdlaul ulama di
sidoarjo juga pengurus pwnu jatim serta para ahli atau praktisi yang memiliki pemahaman
tentang dialektika fikih dengan realitas empirik masyarakat . Maka pada hari Senin 05 Juni
2023 pukul 15.15 wib maka peneliti memperoleh data sebagai Berikut beberapa contoh
pertanyaan yang dapat Anda ajukan:

1. Peneliti : Bagaimana Anda memahami konsep dialektika fikih dengan realitas empirik
masyarakat?

Dosen : Keterkaitan antara prinsip-prinsip fikih (hukum Islam) dengan realitas sosial,
budaya, dan ekonomi yang diamati secara empiris dalam masyarakat dapat dipahami
sebagai konsep dialektika fikih dengan realitas empiris masyarakat. Dialektika digunakan
untuk menggambarkan dialog yang terjadi antara prinsip-prinsip fikih dan realitas aktual
masyarakat dalam setting ini. Pemahaman bahwa prinsip-prinsip fikih tidak dapat
dipisahkan dari realitas masyarakat yang dihadapinya diperlukan untuk dialektika ini.
Sebaliknya, konteks sosial, budaya, dan ekonomi suatu masyarakat harus diperhitungkan
saat menerapkan dan menafsirkan prinsip-prinsip fikih. Dalam metodologi ini, kebenaran
eksperimental masyarakat menjadi penting karena mencerminkan apa yang terjadi di mata
masyarakat dan masyarakat. Realitas sosial, budaya, dan ekonomi ini tidak dapat diabaikan
dalam praktik fikih. Kajian dan investigasi interaksi antara prinsip-prinsip fikih dengan
realitas empiris yang dihadapi manusia sehari-hari oleh karena itu diperlukan untuk
dialektika fikih dengan realitas empiris masyarakat.

2. Peneliti : Menurut Anda, apa relevansi prinsip-prinsip fikih dalam menangani isu-isu
sosial, budaya, dan ekonomi dalam masyarakat saat ini?
Dosen : Dalam masyarakat saat ini, berurusan dengan masalah sosial, budaya, dan ekonomi
sangat relevan dengan prinsip-prinsip fikih.

Pertimbangkan faktor-faktor relevan Seperti Relevansi dalam Menyelesaikan Masalah dan


Konflik Sosial Standar fikih, yang bergantung pada kualitas Islam, memberikan sistem
yang dapat membantu menyelesaikan perjuangan sosial dan masalah yang muncul di mata
publik. Misalnya, standar keadilan, nilai, dan kebaikan sosial dapat diterapkan untuk
menyelesaikan masalah seperti kesenjangan keuangan, pelanggaran sosial, atau masalah
kebebasan bersama. Relevansi untuk Menjaga Kehidupan Nilai dan Budaya Tradisional:
Nilai dan budaya tradisional juga dapat dilestarikan dalam masyarakat melalui penerapan
prinsip-prinsip fikih. Aspek budaya dan tradisi yang menganut prinsip tersebut dapat
dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan prinsip fikih dalam
menafsirkan dan menerapkan hukum Islam. Ketepatan dalam Perputaran Keuangan yang
Dapat Dikelola Standar moneter dalam fikih, seperti kesopanan dalam transaksi,
menghindari riba (bunga), dan perhatian tentang hak-hak sipil, memiliki kepentingan yang
signifikan dalam memajukan kemajuan keuangan yang dapat didukung dan mampu di mata
publik. Kesenjangan sosial dan ekonomi dapat dikurangi dan kemakmuran ekonomi yang
merata dapat dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip ini. Namun, penting untuk diingat
bahwa individu dan kelompok sosial dapat menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip
fikih secara berbeda. Akibatnya, penting bagi para sarjana, akademisi, dan anggota
masyarakat untuk terlibat dalam dialog dan diskusi inklusif untuk mencapai pemahaman
yang lebih komprehensif dan relevan tentang bagaimana menangani masalah sosial,
budaya, dan ekonomi dalam masyarakat kontemporer.

3. Peneliti : Bagaimana faktor sosial dan budaya mempengaruhi implementasi prinsip-


prinsip fikih dalam kehidupan nyata masyarakat?

Dosen : Faktor sosial dan budaya memainkan peran penting dalam implementasi prinsip-
prinsip fikih dalam kehidupan nyata masyarakat. Penting untuk memahami bahwa faktor
sosial dan budaya ini dapat memberikan kontribusi yang kompleks dan beragam dalam
implementasi prinsip-prinsip fikih. Oleh karena itu, penting untuk mengadopsi pendekatan
yang kontekstual dan inklusif dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip fikih
dalam kehidupan nyata masyarakat.

Interpretasi dan Pemahaman Faktor sosial dan budaya dapat mempengaruhi interpretasi dan
pemahaman prinsip-prinsip fikih dalam masyarakat. Setiap kelompok sosial dan budaya
dapat memiliki perspektif dan konteks unik yang membentuk pemahaman mereka terhadap
ajaran fikih. Misalnya, tradisi lokal, norma sosial, dan nilai-nilai budaya dapat berpengaruh
dalam menafsirkan prinsip-prinsip fikih. Praktik dan Adat Istiadat Faktor sosial dan budaya
juga dapat mempengaruhi praktik dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat. Terkadang,
praktik-praktik tersebut dapat berbeda dengan prinsip-prinsip fikih. Misalnya, dalam
beberapa masyarakat, terdapat praktik-praktik tradisional yang tidak sepenuhnya sesuai
dengan prinsip-prinsip fikih, tetapi tetap dijalankan karena memiliki akar kuat dalam
budaya lokal. Peran Gender: Faktor sosial dan budaya juga memainkan peran penting
dalam implementasi prinsip-prinsip fikih terkait peran gender dalam masyarakat. Kondisi
Sosio-Ekonomi: Faktor sosio-ekonomi juga dapat mempengaruhi implementasi prinsip-
prinsip fikih. Pluralitas dan Multikulturalisme Faktor sosial dan budaya juga berperan
dalam situasi pluralitas dan multikulturalisme di masyarakat.

4. Peneliti : Apa tantangan yang Anda temui dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip fikih
dalam realitas empirik masyarakat?

Dosen : Penting untuk diingat bahwa tantangan-tantangan ini tidak mutlak dan dapat
bervariasi tergantung pada konteks masyarakat tertentu. Dalam menghadapi tantangan-
tantangan tersebut, penting untuk melibatkan dialog yang terbuka dan berkelanjutan antara
ulama, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum untuk mencapai pemahaman yang lebih
baik dan menerapkan prinsip-prinsip fikih secara efektif dalam kehidupan nyata.
Masyarakat modern seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai sekular dan pandangan non-
agama. Tantangan yang dihadapi adalah mengintegrasikan prinsip-prinsip fikih dalam
konteks yang dominan sekular ini dan menjelaskan relevansi serta manfaatnya dalam
kehidupan nyata masyarakat.Perubahan Sosial dan Teknologi: Perubahan sosial yang cepat
dan kemajuan teknologi juga merupakan tantangan dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip
fikih. Teknologi baru dan perubahan sosial dapat memunculkan isu-isu baru yang belum
tercakup dalam tradisi fikih. Tantangan yang dihadapi adalah memperbarui interpretasi
fikih untuk menghadapi perubahan ini.

5. Peneliti : Bagaimana Anda melihat perbedaan dalam pemahaman dan praktik fikih antara
kelompok-kelompok sosial dan budaya dalam masyarakat?

Dosen : Perbedaan dalam pemahaman dan praktik fikih antara kelompok-kelompok sosial
dan budaya dalam masyarakat adalah hal yang umum terjadi. Penting untuk diingat bahwa
perbedaan dalam pemahaman dan praktik fikih antara kelompok-kelompok sosial dan
budaya bukanlah sesuatu yang negatif atau bertentangan. Ini mencerminkan keragaman
masyarakat dan kemampuan fikih untuk beradaptasi dengan konteks yang berbeda. Namun,
penting juga untuk mendorong dialog, pemahaman saling menghormati, dan kolaborasi
antara kelompok-kelompok sosial dan budaya untuk mencapai pemahaman yang lebih
inklusif dan menerapkan prinsip-prinsip fikih secara efektif dalam masyarakat yang
beragam. Konteks Sosial dan Budaya: Setiap kelompok sosial dan budaya memiliki konteks
unik yang mempengaruhi pemahaman dan praktik fikih mereka. Tradisi, norma, dan nilai-
nilai budaya yang berbeda dapat memengaruhi cara kelompok tersebut memahami dan
menerapkan prinsip-prinsip fikih. Misalnya, kelompok yang hidup di daerah perkotaan
mungkin memiliki pemahaman dan praktik fikih yang berbeda dengan kelompok yang
hidup di pedesaan.

6. Peeliti : Bagaimana pentingnya dialog dan interaksi antara ulama, akademisi, dan praktisi
fikih dengan masyarakat dalam konteks dialektika fikih dengan realitas empirik
masyarakat?

Dosen : Dialog dan interaksi antara ulama, akademisi, dan praktisi fikih dengan masyarakat
memiliki banyak pentingnya dalam konteks dialektika fikih dengan realitas empirik
masyarakat.Penting untuk menciptakan ruang dan kesempatan bagi dialog dan interaksi ini,
sehingga prinsip-prinsip fikih dapat lebih terintegrasi dalam kehidupan nyata masyarakat.
Kolaborasi dan komunikasi yang terus-menerus antara para pemangku kepentingan ini akan
memperkuat implementasi prinsip-prinsip fikih, membangun pemahaman yang lebih
inklusif, dan mempromosikan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam masyarakat.

7. Peneliti :Bagaimana pengembangan bahan ajar fikih yang kontekstual dapat membantu
dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip fikih dalam kehidupan sehari-hari masyarakat?

Dosen : Pengembangan bahan ajar fikih yang kontekstual memiliki peran penting dalam
mengaplikasikan prinsip-prinsip fikih dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pengembangan bahan ajar fikih yang kontekstual memungkinkan prinsip-prinsip fikih
menjadi lebih relevan, praktis, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Kasus-Kasus Praktis: Bahan ajar fikih yang kontekstual dapat mencakup studi
kasus dan contoh-contoh praktis yang mengilustrasikan penerapan prinsip-prinsip fikih
dalam situasi kehidupan nyata. Ini membantu individu memahami bagaimana prinsip-
prinsip fikih dapat diimplementasikan dalam konteks yang berbeda-beda, serta memberikan
panduan konkret dalam menghadapi masalah dan situasi tertentu. Keterlibatan Masyarakat:
Dalam pengembangan bahan ajar fikih yang kontekstual, melibatkan masyarakat dalam
proses pengembangan sangat penting. Hal ini dapat dilakukan melalui survei, wawancara,
diskusi kelompok, atau partisipasi langsung masyarakat dalam merancang bahan ajar.
Dengan melibatkan masyarakat, bahan ajar dapat lebih akurat mencerminkan kebutuhan
dan konteks sosial-budaya masyarakat yang akan menggunakannya.

8. Peneliti :Bagaimana proses pengambilan keputusan fatwa dapat mempertimbangkan


realitas empirik masyarakat agar fatwa tersebut lebih relevan dan diterima oleh
masyarakat?

Dosen : Proses pengambilan keputusan fatwa yang mempertimbangkan realitas empirik


masyarakat sangat penting untuk menjadikan fatwa tersebut lebih relevan dan diterima oleh
masyarakat. Penelitian dan Analisis: Para ulama dan cendekiawan fikih perlu melakukan
penelitian yang cermat dan analisis mendalam tentang realitas empirik masyarakat yang
terkait dengan masalah yang akan difatwakan. Mereka perlu memahami konteks sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penerapan
prinsip-prinsip fikih dalam masyarakat.

Mengumpulkan Data dan Informasi: Para ulama dapat mengumpulkan data dan informasi
dari berbagai sumber yang relevan, termasuk riset ilmiah, studi empiris, data statistik, serta
melibatkan ahli dan praktisi yang memiliki pemahaman dan pengalaman dalam realitas
empirik yang bersangkutan. Data dan informasi ini membantu dalam memahami secara
lebih baik kondisi masyarakat dan mempertimbangkan implikasi dari keputusan fatwa .
Penerapan Prinsip-Prinsip Fikih secara Fleksibel: Dalam pengambilan keputusan fatwa,
ulama dapat menerapkan prinsip-prinsip fikih secara fleksibel untuk memperhitungkan
realitas empirik masyarakat yang kompleks. Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan
situasi masyarakat, prinsip-prinsip fikih dapat diinterpretasikan dan diterapkan dengan cara
yang memungkinkan penyesuaian dan solusi yang sesuai dengan realitas empirik yang
dihadapi. Edukasi dan Komunikasi yang Efektif: Setelah fatwa dikeluarkan, penting untuk
melakukan edukasi dan komunikasi yang efektif kepada masyarakat. Penjelasan yang jelas
dan komunikasi yang terbuka membantu masyarakat memahami dasar pemikiran fatwa,
prinsip-prinsip fikih yang digunakan, dan relevansinya dengan realitas empirik yang
mereka alami. Dengan mempertimbangkan realitas empirik masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan fatwa, fatwa tersebut dapat menjadi lebih relevan, diterima.
KESIMPULAN

Hubungan antara pemahaman hukum Islam yang terkandung dalam fikih dengan realitas
empiris yang diamati dalam masyarakat disebut sebagai dialektika antara fikih dengan
realitas empiris masyarakat. Ilmu hukum dapat dikembangkan dan dimutakhirkan
sedemikian rupa sehingga tetap relevan dan menawarkan solusi yang bermanfaat bagi
masyarakat dengan memperhatikan persoalan yang dihadapi masyarakat, pengalaman nyata
yang mereka miliki, dan perubahan sosial dan teknologi yang dihasilkan. Prinsip-prinsip
fikih yang telah dikembangkan selama berabad-abad harus terus menjadi dasar untuk
menafsirkan dan menerapkan hukum Islam. Rancangan undang-undang sosial dan
kemasyarakatan untuk memahami dan memberikan arahan tentang aturan Islam yang
penting dalam mengelola berbagai faktor riil sosial dan sosial.

Yurisprudensi sosial dan budaya bertujuan untuk menggabungkan prinsip-prinsip


hukum Islam dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dan budaya dalam pengaturan ini.
Akibatnya, para intelektual dan cendekiawan Muslim harus berdialog dan berinteraksi
dengan masyarakat untuk memahami tantangan yang dihadapi, perubahan yang terjadi,
serta norma dan nilai sosial. Dalam sistem hukum positif, interaksi antara realitas sosial
masyarakat dengan interpretasi dan penerapan hukum Islam disebut sebagai korelasi antara
fenomena sosial dan fikih. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat dapat berdampak pada
bagaimana fikih ditafsirkan dan diterapkan dalam konteks sosial yang berubah-ubah, dan
masyarakat merupakan pemangku kepentingan utama dalam proses pembentukan dan
perubahan hukum. Dalam fikih, istilah “realitas sosial masyarakat” mengacu pada kondisi
dan peristiwa sosial yang terjadi dalam masyarakat dan memainkan peran penting dalam
bagaimana hukum Islam ditafsirkan dan diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

“07. BAB IV.Pdf,” n.d.


“143002-ID-Pengenalan-Metodologi-Filosofis-Dalam-Ka.Pdf,” n.d.
Darojat, Muh Irhas. “Konsentrasi: Bisnis dan Manajemen Syariah,” n.d.
Fauzi, Ahmad. “Al-Maslahah al-Syar’iyah Sebagai Sumber Hukum Islam (Kajian Kitab
Dawabith al-Mashlahah Syeh Said Ramadan Buti).” Jurnal Pemikiran Keislaman
27, no. 2 (September 5, 2016). https://doi.org/10.33367/tribakti.v27i2.271.
Fitria, Vita. “REAKTUALISASI HUKUM ISLAM : PEMIKIRAN MUNAWIR
SJADZALI,” n.d.
Huda, Sokhi. “Kritik Pemikiran Richard C. Martin dalam Studi Agama dan Relevansinya
dengan Studi Islam di Indonesia,” n.d.
Husein, Muh Turizal. “DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ISLAM,”
n.d.
ismail, muhammad syah. Filsafat hukum islam. Bumi aksara, 1992.
Ma’arif, Toha. “FIQIH INDONESIA MENURUT PEMIKIRAN HASBI ASH-SHIDDIQI,
HAZAIRIN DAN MUNAWIR SYADZALI,” n.d.
M.Amin, Abdullah. Studi Agama Normativitas Atau Historitas. Yogyakarta, n.d.
“MEMBANGUN FIKIH YANG BERORIENTASI.Pdf,” n.d.
Suhirman, Gatot. “Fiqh Mazhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-
Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li- Indonesia).” Al-Mawarid 11, no. 1 (August
10, 2010). https://doi.org/10.20885/almawarid.vol11.iss1.art7.
“Terjemah Bidayatul Mujtahid I.Pdf,” n.d.
Turabi, hasal-al. Fiqih Demokratis Dari Tradisionalisme Menuju Modernisme Populis. 1st
ed. arasy, 2003.

You might also like