You are on page 1of 23

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

DALAM PARADIGMA USUL FIKIH

Moh. Dahlan
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu
Jln. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
Email: drdahlan@yahoo.co.id

Abstract: Anthtropological Approach in the Paradigm of Islamic Legal Jurisprudence. Certain problems mainly
occuring in almost Muslim societies appears to be so complex as it requires an alternative approach in ushul
fiqh as a basis for developing a fiqh that is needed. Such alternative approach is adopted with paradigm of
anthropological ushul fiqh that offers an alternative anthropological studies to find out a solution and over come
the complicated paradigm of ushul fiqh in order to be contextual meaning. The Scientific theoretical framework
used here is the paradigm of Karl Mannheim who divided the category paradigm of science into an ideology
and utopia and scientific paradigms of Muhammad Arkoun who classified Islamic scientific reasoning becomes
logical “Tradition with a big T” (at-Turâst bi harfin kabîr) and as a logical “tradition with small t” (at-turâs bi
harfin shagîr). Based on the result, the anthropological studies on the paradigm of ushul fiqh or fiqh will be able
to support the level of interconnection and dynamics among various schools of law. The aspect of general and
particular pattern will be dynamic and dialectic so that the development of legal jurisprudence may function well
in accordance with the public interests as well as the nation’s benefit.
Keywords: anthropological paradigm; ushul fiqh; nation.

Abstrak: Pendekatan Antropologis Dalam Paradigma Usul fikih. Problematika umat dan bangsa yang mayoritas
Muslim berkembang begitu kompleks, sehingga pendekatan alternatif dalam usul fikih sebagai basis pengembang-
an keilmuan fikih dibutuhkan. Pendekatan alternatif di sini dimuncukan dengan paradigma usul fikih antropologis
yang hendak menawarkan alternatif kajian untuk menemukan solusi memecahkan kebuntuhan paradigma usul
fikih yang masih melangit menjadi membumi. Kerangka teori keilmuan yang digunakan adalah paradigma Karl
Mannheim yang membangi kategori paradigma keilmuan menjadi ideologi dan utopia dan paradigma keilmuan
Muhammad Arkoun yang mengklasifikan nalar keilmuan Islam menjadi nalar “Tradisi dengan T besar” (al-Turâts bi
harfin kabîr) dan nalar “tradisi dengan t kecil” (al-turâst bi harfin shagîr). Berdasarkan hasil kajian tersebut, kajian
antropologis di dalam paradigma usul fikih atau fikih akan mampu mendukung tingkat kesalingterkaitan dan
kedinamisan antara berbagai paham dan aliran mazhab hukum fikih. Aspek general pattern dan particular pattern
akan berkembang dinamis dan dialektis sehingga pengembangan hukum fikih dapat sesuai dengan kepentingan
umat dan bangsa dengan baik.
Kata kunci: paradigma antropologis; usul fikih; bangsa.

Pendahuluan ulama usul fikih, ada yang fundamentalis-literalistik


Wacana kajian paradigma usul fikih tidak lepas yang tidak menerima adanya penafsiran apa pun,
dari pembahasan wilayah doktrinal-tekstual dan dan ada juga yang luar biasa liberal sebagaimana
wilayah historis empiris yang tidak bisa dipisahkan, pandangan ulama usul fikih semisal Najmuddin
tetapi dua entitas tersebut dapat dibedakan. Ada At-Tufi yang menyebutkan bahwa maslahah
wilayah ubudiyah/nas sebagaimana salat, dan merupakan dalil mandiri dan menempati posisi
ada pula wilayah historis sebagaimana misalnya yang kuat dalam menetapkan hukum syara’/fiqh
wilayah muamalah atau praktik kehidupan umat baik maslahah itu mendapat dukungan nas-nas
seperti jual beli, pernikahan, dan gadai. Dalam syara’ ataupun tidak. Jika terjadi pertentangan
mengkaji masalah-masalah wilayah doktrin dan antara kepentingan nas hukum fikih dengan
wilayah historis begitu banyak di kalangan para kepentingan maslahah umat, maka yang dijadikan

47 |
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

dasar pijakan untuk memutuskan hukum adalah Sementara paradigma liberalisme dalam
maslahah umat. Namun demikian, ada problem hukum fikih terkadang melampaui batas, sehingga
umum dalam teori maslahah ini dimana teori tidak terikat lagi dengan nilai-nilai nas hukum fikih.
ini tidak bisa mengelak ketika dihadapkan pada Paradigma kajian hukum liberal ini jelas tidak bisa
masalah penyelesaian pertentangan antara diterima oleh nas hukum Islam dan pikiran rasional.
nas dengan maslahah. Sebab, ketika maslahah Demikian juga kasus pengkafiran Nasr Hamid Abud
bertentangan dengan nas hukum fikih secara Zaid karena pemikiran ijtihad hukum fikihnya yang
diametral, maka maslahah tersebut akan memasuki dinamis dan progresif di Timur Tengah, kasus
wilayah maslahah mulga (jenis kemaslahatan yang penutupan tempat-tempat hiburan malam secara
tidak bisa diterima) sebagaimana kasus masalah kasar dan destruktif di sejumlah kota di Indonesia,
kafarat orang yang berjima’ di hari-hari bulan dan yang paling aktual kasus pelabelan haram
Ramadlan tidak bisa langsung dengan dihukum terhadap perayaan Tabot di Bengkulu menjadi
dengan puasa dua bulan berturut-turut, tetapi bukti bahwa paradigma doktrinal-literalistik dan
harus urut dulu dengan memerdekaan budak, liberalisme telah memunculkan berbagai per-
jika tidak mampu baru, baru dikenakan puasa selisihan dan jauh dari kedamaian.3
dua bulan berturut-turut. Hal ini berbeda dengan Dalam bahasa Kamaruddin Hidayat, ia meng-
maslahah mu’tabarah sebagai jenis kemaslahatan kategorikan bahwa paradigma doktrinal-literalistik
yang dikaui dan diterima oleh nas hukum syara’.1 menempatkan pesan wahyu Allah sebagai sesuatu
Ada kajian At-Tûfi yang liberal dalam yang terpisah sama sekali dari faktor sejarah-
paradigma kajian ushul fikihnya tetapi ketika empiris manusia, sehingga pesan wahyu dalam
dihadapkan pada masalah kontradiksi antara nas nas hukum fikih berlaku sebagaimana adanya
hukum dan kepentingan kemaslahatan umat, tanpa pendalaman maksud dan tujuan dari nas-
maka teori maslahah berhadapan dengan teori nash hukum itu. Itulah titik pangkal lahirnya
keabsahana dari sisi menurut syara’/nas berupa paham fundamentalisme dalam hukum Islam
“maslahah mulgha”. Mengapa hal ini terjadi? yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan
Padahal dari sisi aspek teoritik keilmuan hukum Islam radikal yang menghendaki formalisasi nas
Islam sudah luar biasa liberal, problemnya adalah hukum dalam tataran kenegaraan. Unsur profane
karena paradigma ijtihad kemaslahatan masih bahasa wahyu tidak diberikan tempat sehingga
terjebak dalam wilayah doktrinal-literalistik. seolah-olah semua sakral. Padahal, wahyu lahir
Belum lagi ada masalah paradigma kajian hukum dan muncul dalam kisaran perkembangan sejarah
yang fundamentalis yang tidak mau sama sekali hidup manusia yang dinamis dan empiris.4
menerima penafsiran ulang, tetapi hanya menerima Dari problematika umat dan bangsa yang
dan mengamalkan wacana nas secara doktrinal- begitu kompleks, pendekatan alternatif dalam
literalistik sebagaimana paham Wahabi dan usul fikih dibutuhkan untuk menawarkan wacana
Hizbut Tahrir (HT) yang tidak mau berkompromi keilmuan fikih yang utuh untuk memberikan
dengan nilai-nilai budaya semisal budaya tahlil, petunjuk dan ketetapan hukum. Pendekatan
ziarah kubur, dan selametan (kenduri). Bahkan alternatif itulah yang di sini dimuncukan dengan
HT memiliki cita-cita utopia2 untuk membangun paradigma usul fikih antropologis yang hendak
khilafah Islamiyah dauliyah (pemerintahan Islam menawarkan alternatif kajian untuk menemukan
internasional), sehingga semua sistem politik dan solusi dalam memecahkan kebuntuhan paradigma
hukum beserta turunannya yang ada di negara- usul fikih yang masih melangit kemudian menjadi
negara modern yang tidak menggunakan sistem
khilafah dicap kafir dan ideologi berhala. 3
Tabot adalah tradisi keagamaan Islam yang dibawa
oleh kaum pekerja Madras-Bengali. Upacara ini adalah hari
berkabung kaum Syi’ah atas meninggalnya Husain bin Ali bin
1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), h. Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. http://bengkulumultimedia.
117-119. wordpress.com/2008/01/23/tabot-praktik-syiah-kultural-di-
2
Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap indonesia/ diakses tanggal 26 Nopember 2011.
Kaitan Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: 4
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, (Jakarta:
Moh. Dahlan: Pendekatan Antropologis

membumi melalui paradigma antropologis itu, wacana universal-dinamis dari ayat-ayat itu,
dan mempertemukan titik liberalisme dan bahkan malah menafikan pentingnya pendalaman
fundamentalisme yang tidak pernah ketemu serta dan penerapan ayat-ayat Alquran yang universal-
memberikan landasan dalam berpikir rasional- dinamis.7
empiris, bukan ide-ide utopia yang tidak realistis.
Nilai-Nilai Antropologis dalam Tradisi Usul
Kerangka Teori fikih dan Fikih
Dalam paradigma Karl Mannheim, ideologi Dalam menjelaskan wacana antropologis
memiliki pengertian ramalan mengenai masa dalam ilmu usul fikih, dapat dijelaskan bagaimana
depan yang berlandaskan pada kondisi riil yang cara kerja pendekatan antropologis dalam kajian
ada sekarang, ada hubungan mata rantai masa ilmu ushul fiqh/fiqh, yakni: Pertama, pendekatan
lalu dengan masa kini secara rasional, sedangkan ini memiliki ciri khas deskriptif, bukan doktrinal-
utopia adalah ramalan mengenai masa depan yang normatif, apalagi literalistik. Pendekatan ini
berlandaskan pada kondisi lain, yang pada saat bermula dari membaca fenomena riil kehidupan
ini belum ada. Oleh sebab itu, segala perubahan manusia sebagaimana adanya tanpa ada rekayasa
masyarakat yang tidak berlandaskan pada kondisi dan dijelaskan secara alamiah. Cara kerja ini
riil yang ada adalah utopia. Adapun utopia terbagi dikenal dengan thick description yang menjadi
menjadi dua macam: utopia absolute dan utopia bagian dari pengungkapan pengamalan empiris
relatif. Utopia relatif adalah jenis utopia atau hukum fikih oleh umat yang diperhatikan secara
harapan masa depan yang mungkin diwujudkan serius, mendalam dan berkelanjutan. Menurut
dalam masyarakat atau negara tetapi sistem itu Clifford Geertz, thick description adalah istilah
berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini, yang dipakai untuk menjelaskan fenomena yang
sedang utopia absolute adalah jenis utopia atau sedang berlangsung dan terjadi di masyarakat
harapan masa depan yang tidak mungkin dapat yang perlu dipahami dan diketahui untuk di-
diwujudkan dalam kondisi dan situasi apa pun. tafsirkan mengenai apa yang sedang dipikirkan
Dalam paradigma ideologi ini, seseorang yang dan dikerjakan masyarakat, dan kajian bermula
menganut ideologi lain akan dianggap sebagai dari dalam, tidak dari luar (outsider).8
utopia abslute. Padahal, menurut Karl Mannheim, Kajian antropologis menjadi salah satu
utopia tidak mungkin hanya diwujudkan dalam alternatif dalam mendalami dan memahami ajaran
satu paradigma pemikiran ataupun pendapat hukum fikih. Sebab, selama ini fiqh lebih banyak
yang sudah ada.5 dipahami dan didalami melalui jalur pendekatan
Dalam bahasa Muhammad Arkoun, paradigma doktrinal-literalistik. Paradigma antropologis ini
doktrinal-literalistik tersebut telah menjauhkan merupakan perubahan rute dari nalar yang me-
diri dari nalar keislaman yang universal-dinamis, langit menuju nalar yang membumi, dari wacana
yakni menjauhkan diri dari nalar “Tradisi dengan T fikih ekslusif menuju wacana fikih inklusif. Rute
besar” (at-Turâts bi harfin kabîr), tetapi pada saat yang dapat mengantarkan seseorang kepada
bersamaan malah mendekat dan memberlakukan tujuan yang hendak dicapai. Pencapain tujuan yang
nalar hukum yang rigid, sempit dan bersifat mengantarkan pada kemudahan dan kemaslahatan
lokalstik, yakni nalar “tradisi dengan t kecil” itu sangat dikehendaki oleh ulama usul fikih sesuai
(at-turâts bi harfin shagîr).6 Umat Islam hanya
bergerak dalam wilayah ayat-ayat al-Qur’ân yang
7
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation:
Civil Liberties, Human Rights and International Law, (Syracuse:
teknis-praktis, belum sampai pada pendalaman Syracuse University Press, 1990); lihat juga Abdullah Ahmed An-
Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy, (Yogyakarta:
5
Arief Budiman, “Dari Patriotisme Ayam dan Itik Sampai LKiS, 1996).
Ke Sosiologi Pengetahuan: Sebuah Kata Pengantar”, dalam 8
David N. Geller, “Pendekatan Antropologis”, dalam Peter
Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri,
dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 46; M Amin Abdullah, Urgensi
1991), hlm. xvii-xix. Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam,
6
Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islâmî: Qirâ’ah ‘Ilmiyyah, http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

dengan firman Allah swt. suasana alamiah seiring dengan perkembangan


sejarah hidup manusia dengan tetap berada dalam
koridor ketentuan nas hukum fikih yang qath’i.
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk Paradigma antropologis dalam kajian usul
kamu dalam agama suatu kesulitan (Q.S. al-Hajj fikih/fiqh akan memberikan sumbangan nyata
[22]: 78). untuk memperkokoh dalam mengakomodir
Tujuan legislasi hukum fikih dimaksudkan tradisi dan budaya masyarakat sebagai bagian
untuk memberikan keluasan dan kemudahan esensial dari pembentukan hukum fikih. Hal yang
bagi kaum Muslim, sehingga kaum Muslim dapat sangat bermakna dalam paradigma antropologis
dengan mudah mencapai tujuan kemaslahan adalah memposisikan dan menempatkan budaya
hidupnya yang hakiki. Dengan menjalankan masyarakat atau kebiasaan sebelumnya sebagai
ajaran fikih inklusif dan berlandaskan pada tradisi bagian dari nalar keilmuan fiqh/usul fikih yang
masyarakat, maka kaum Muslim akan memperoleh esensial dan integral, sehingga paradigma keilmuan
kemaslahatan hidup yang hakiki, sehingga ada ini mampu mengangkat dan mengakomodir
dialektika antara nas fikih dan budaya masyarakat. realitas hidup masyarakat. Deskripsi budaya
Dengan adanya dialektika antara budaya dan berjalan sebagaimana apa adanya tanpa ada
nas fikih, maka akan lahir wawasan fikih yang hegemoni dan kepentingan yang menafikan atas
mampu memberikan kemudahan dan jalan yang pesan utama nas fikih.
luas untuk ditempu oleh kaum Muslim. Inilah Peran ensensial budaya dalam pembangunan
pesan utama ayat tersebut yang menekankan bagi paradigma usul fikih yang berwawasan antro-
kaum Muslim untuk menciptakan kemudahan dan pologis sesungguhnya hendak menempatkan
keluasan dalam menjalankan norma-norma fikih. teori pembentukan hukum Islam/fikih berupa ‘urf
sebagai paradigma penting dalam mengakomodir
tradisi yang berjalan di masyarakat. Sebagaimana
diketahui bahwa ‘urf adalah sesuatu yang dikenal
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kamu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Q.S. dan menjadi tradisi dari suatu masyarakat. Tradisi
al-Baqarah [2]: 185). ini oleh ulama usul fikih kemudian dikukuhkan
sebagai bagian dari teori pembentukan norma
Ayat tersebut memberikan wawasan kepada
hukum fikih sebagaimana kaidah: al-‘adatu
kaum Muslim untuk memberikan kemudahan
syariatun muhakkamtun yang artinya “tradisi
bagi kaum Muslim melalui kajian antropologis
dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’”. 9
yang menempatkan manusia sebagai titik pijak
Paradigma ‘urf bukanlah dalil syar’i yang berdiri
dalam membangun dan merumuskan hukum fikih.
sendiri, tetapi merupakan dalil yang melestarikan
Pendekatan antropologis ini membantu paradigma
budaya sebagaimana adanya yang diyakini
usul fikih dalam menjelaskan kondisi riil yang
mambawa maslahah. 10 Adapun dalil naqli ‘urf
menjadi tradisi dan kebiasaan kaum Muslim dan
berdasarkan sunah Nabi sebagai berikut: “Hal-
umat manusia sebagaimana adanya. Wacana fiqh
hal yang dianggap baik oleh kaum Muslim, maka
yang sesungguhnya ini adalah yang memberikan
baik pula menurut Allah swt.”11
kemudahan dan tidak mendatangkan kesulitan,
Para ulama menyepakati bahwa ketika ayat-
tetapi kemudahan itu tidak sampai mendatang-
ayat Alquran diturunkan, banyak sekali ayat-
kan dosa dan maksiat. Segala aturan hukum
ayat yang meneguhkan tradisi yang terdapat di
fikih yang dihasilkan oleh ilmu ushul fiqh harus
tengah-tengah masyarakat. Banyak hadis-hadis
mencerminkan sifat dan karakter hukum fikih
yang memberikan kemudahan. Produk hukum
yang diharapkan adalah produk hukum fikih yang 9
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan
mampu mengantarkan kaum Muslim mencapai Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001), h.. 113; Abdul Wahhab
Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, t.th.), h. 79-80.
kemaslahatan individual dan kolektif. Wacana 10
Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh......, h. 81-82.
fiqh di sini tumbuh dan berkembang dengan 11
Muhammad Abu Zahrah, Usul fikih, terj. Saifullah
Moh. Dahlan: Pendekatan Antropologis

Nabi yang mengakui eksistensi ‘urf yang berjalan hal-hal yang sudah ada (ibqa’ ma kana), 14
di masyarakat, seperti akad jual beli pesanan yang bermakna bagi masyarakat yang hendak
(salam) sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa mengamalkannya.15
yang mengadakan transaksi jual beli salam pada Umar bin Khattab juga mengeluarkan ke-
kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, bijakan hukum berlandaskan tradisi masyarakat
takarannya, dan tenggang waktunya” (HR al- sebelumnya dalam mengelola tanah tanpa di-
Bukhari). Bahkan Imam al-Qarafi berpendapat ganggu, sementara ajaran fiqh tetap berlaku
bahwa setiap ijtihad harus terlebih dahulu optimal. Umar menempatkan gagasan kajian
meneliti tradisi yang berlaku di masyarakat, fikih antropologis ini ketia menetapkan hukum
sehingga produk hukum yang berlaku tidak rampasan perang yang tidak dibagikan pada
boleh bertentangan dengan kepentingan dan bala tentara Muslim yang ikut berperang di
kemaslahatan masyarakat. Semua ulama Mazhab Irak dan Syiria (Q.S. 59: 6-10), sedang masa nabi
menerima dan mengakui eksistensi ‘urf sebagai diterapkan. Ketika kebijakan Umar ditentang oleh
dalil dalam penetapan hukum fikih walaupun sahabat lainnya karena Nabi telah membagi tanah
masih ada persyaratan tidak adanya nash yang rampasan perang selama hidupnya, maka Umar
menjelaskan tentang hal tersebut, misalnya mengemukakan alasan-asalan logis yang secara
tradisi sewa kolam renang atau kamar mandi literalistik bertentangan dengan kebijakan Nabi
umum tidak ada batasan waktu yang jelas, saw tetapi secara substansial sama dengan merujuk
sedangkan dalam prinsip akad, keduanya harus pada pesan utama kebijakan Nabi sebagaimana
jelas. Tetapi seluruh ulama mengakui keabsahan ayat-ayat Alquran. Pada prinsipnya jika hal
akad itu berdasarkan ‘urf amali (tradisi dalam itu dilakukan pada masa pemerintahan Umar,
bentuk tindakan)..12 maka kebijakan itu dapat mengganggu pranata
Demikian juga kajian antropologis ini memiliki ekonomi umat setempat yang sudah berlaku
kedekatan teoritik dengan teori istishhab. secara alamiah, bahkan dapat memunculkan krisis
Sebagaimana teori Thick description Clifford ekonomi di wilayah tersebut .16
Geertz, para ulama usul fikih juga bekerja dengan Dalam konteks ini, paradigma usul fikih
model yang hampir sama, misalnya pendapat yang bersifat doktrinal-literalistik sering tidak
Imam al-Sarkhasi (dari kalangan ulama Hanafiyah) mampu merumusan wacana hukum/ fikih se-
yang menyebutkan kaidah bahwa “istishhâb al- bagaimana apa adanya. Walaupun demikian,
hal li itsbât al-hukm ibtida’un”.13 Dalam hal ini, Umar telah memberikan wawasan alternatif
istishhâb adalah upaya dari ulama ushul fiqh untuk yang mengakomodir kepentingan individual
menjelaskan dan menerapkan tradisi yang ada di dan kelompok, tidak hanya memperhatikan
kalangan umat yang sudah berjalan dengan baik kepentingan kelompok ekslusif kaum Muslim,
dan digalinya sebagai salah satu sumber hukum tetapi juga telah membawa gerakan pembangunan
yang diakui syara’ dan ini menjadi salah satu fiqh ke dalam alam yang natural dan terintegrasi
bentuk teori ijtihad ulama ushul fiqh. Walaupun dengan kepentingan umat lainnya. Gerakan
tidak sama persis, sebab thick description hanya pembumian wacana ilmu fiqh ini berbeda dengan
menjelaskan sebagaimana apa adanya dan wacana dominan para sahabat Nabi Muhammad
berkesinambungan, sedangkan istishhâb tidak saw lainnya yang semasa dengan Umar, karena
hanya sekedar menjelaskan sebagaimana apa
adanya tetapi juga menetapkan dan menerapkan
apa yang sudah ada dan berlaku. Oleh sebab itu, 14
Amir Syarifuddin, Usul fikih…, h. 365.
15
“Thick description dilakukan dengan cara living in, yaitu
istishhâb menjadi teori ijtihad yang mengukuhkan hidup bersama masyarakat yang hendak diteliti, mengikuti
tradisi dan tindakan sehari-hari mereka. John R Bowen, misalnya,
melakukan penelitian antropologi masyrakat muslim Gayo,di
Sumatra, selama bertahun-tahun”. M Amin Abdullah, Urgensi
12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), h. Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama dan Studi Islam,
142-143. http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-
13
Amir Syarifuddin, Usul fikih, Jilid II (Jakarta: Kencana, antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

mayoritas mereka lebih memperhatian aspek Banjari adalah masalah warisan yang dirumuskan
doktrinal-literalistik sebagaimana apa adanya dan dibangun berdasarkan tradisi masyarakat
dalam Sunah Nabi Muhammad saw apa tanpa setempat, bukan semata-mata berdasarkan nas
meneliti pesan utama dan faktor-faktor historis fikih saja. Di sini ada dialektika antara nas fikih
yang melahirkan adanya regulasi fiqh itu. Padahal, dengan tradisi masyarakat setempat, sehingga
jika wacana fiqh didominasi oleh arus gerakan lahirlah wacana fikih yang membumi, dalam istilah
doktrinal-literalistik, maka kepentingan umat trend saat ini dikenal dengan “fikih nusantara”.
setempat waktu itu tidak akan mungkin bisa Selain dua ulama fikih tersebut, juga ada
diakomodasi dan sulit diwujudkan kemaslahatan, ulama fikih yang juga terkenal dengan ijtihad-
jauh dari unsur budaya.17 ijtihadnya dalam ilmu fikih, yakni Shalih Darat
Paradigma kajian fikih antropologis ini hendak dengan nama lengkap Muhammad Shalih ‘Umar
menempatkan nilai-nilai budaya sebagai dasar al-Samarani yang lahir di Jepara tahun 1235 dan
pembangunan fiqh, sehingga penekanannya wafat tahun 1321 yang telah berjasa besar dalam
bukan pada aspek idealisasi dengan gerakan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan ajaran
universalisasi norma hukum fikih, tetapi me- fiqh di wilayah Pantai Utara Pulau Jawa. Dalam
nekankan pada upaya pribumisasi nilai-nilai penyebaran ajaran fikih dikembangkan wawasan
hukum fikih dan mentransformasikan diri dalam yang mengendepankan unsur tradisi dengan
pranata kehidupan masyarakat.18 Pranata yang tidak meninggalkan aspek normatif hukum
mengedepankan pemikiran inklusif juga mengaruhi fikih, sehingga dengan metode tersebut ajaran
proses transformasi ajaran fikih dalam kehidupan hukum fikih bisa tersebar di wilayah tersebut
masyarakat sebagaimana pernah dilakukan oleh dengan baik dan diterima warga setempat berkat
ulama-ulama fikih Nusantara, semisal Abdul adanya transformasi nilai-nilai fiqh dalam tradisi
Shamad al-Falimbangi (1116 H-1203 H) yang masyarakat. Ia juga telah berhasil melahirkan
banyak menghasilkan karya-karya monumental, ulama-ulama besar seperti KH Hasyim Asy’ari yang
kitab Hidâyah al-Salikin yang merupakan ter- kemudian menjadi pendiri Nahdlatul Ulama dan
jemahan dari karya Imam al-Ghazali, Bidâyah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
al-Hidayah. Demikian juga Muhammad Arsyad Muhammadiyah. Adapun karya keilmuannya
al-Banjari yang lahir di kampung Luk Gabang- adalah kitab Latha’if ath-Thaharah wa Asrar ash-
Atambul Banjar Kalimantan Selatan setelah Shalah. Karya tersebut mencerminkan adanya
diangkat sebagai anak angkat Sultan Banjar, ia upaya pengembangan ajaran hukum fikih tidak
naik haji dan mencari ilmu selama tiga puluh hanya sekadar dipahami secara lahir saja, tetapi
tahun. Ia berguru kepada Syaikh Atha’illah dan juga dikembangkan pada nilai-nilai dasarnya
mendapat ijazah mengajar di Masjidil Haram. juga, sehingga mudah diterima warga tanpa
Setelah belajar dengan Muhammad Sulaiman ada kendala. Demikian juga Mahfudz At-Tarmasi
al-Kurdi, ia kembali ke tanah air dan mengarang (1285-1339 H), sebelum belajar di Makkah, ia
kitab Sabil al-Muhtadin, Tuhfah ar-Raghibin, dan belajar pada Salih Darat. Ia ahli hadis dan juga
Hasyiyyah Fath al-Jawwâd.19 Dua ulama besar ahli ilmu ushul fikih mazhab Syafii, di antara
tersebut memiliki garis pemikiran ala Ahlussunah karyanya Manhaj Dzawi an-Nazhar. Dialah yang
wa al-Jamaah yang memiliki orientasi pelestarian melahirkan ulama-ulama ushul fikih dan fikih yang
budaya. Salah satu pikiran orisinal Arsyad al- berwawasan ahlussunah wa al-jamaah dan salah
satu muridnya adalah KH Hasyim Asy’arie, Pendiri
Nahdlatul Ulama.20
17
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress. KH Ahmad Dahlan juga mewariskan paham
com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi- ijtihad yang membumi dengan berusaha menafsir-
agama-dan-studi-islam/
kan ajaran-ajaran hukum fikih berlandaskan pada
18
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid
Institute, 2006), h. 19.
19
Abdul Manan A Ghani, Silsilah Keilmuan Ulama NU, 20
Abdul Manan A Ghani, Silsilah Keilmuan Ulama NU,
Moh. Dahlan: Pendekatan Antropologis

asas-asas budaya dan kondisi riil hidup masyarakat maka kepentingan umat lokal waktu itu tidak
sebagaimana kasus dalam kajian terhadap hadits mungkin bisa terakomodasi dan sulit mewujudkan
mengenai anjuran banyak anak. Dalam hal ini, kemaslahatan. Namun kenyataannya, arus benih-
Muhammadiyah ternyata melihat konteksnya, benih wacana hukum fikih yang menentang Umar
bahwa hadits itu dinyatakan oleh Nabi saw ketika inilah yang kemudian saat ini bermetamorfosis
kau Muslim jumlahnya masih sedikit, tetapi saat lebih jauh lagi dan menjauhi wacana fikih
ini sudha banyak jumlahnya, sehingga konteks awalanya, sehingga lahirlah sekarang wacana
penafsirannya sekarang harus bersifat kontekstual. fikih fundamentalis yang menentang segala
Majlis Tarjih Muhammadiyah juga sudah mulai bentuk pembaruan dan pembumian serta menolak
mengarah pada upaya kontekstualisasi nash akomodasi terhadap unsur-unsur budaya.22 Jika
hukum fikih tersebut. Walaupun demikian, Majlis demikian keadaannya, lalu bagaimana pendekatan
Tarjih Muhammadiyah masih mengharamkam antropologis dapat memberikan sumbangan
pembatasan dan penjaangan kelahiran, tetapi dalam pengembangan ilmu-ilmu fikih/usul fikih
pada saat bersamaan, Majlis Tarjih Muhammadiyah di masa kini dan mendatang? Problem ini tentu
juga membolehkan dengan melalui metode menjadi kegelisahan kajian fikih/usul fikih ini.
darurat. Demikian ijtihad-ijtihad hukum fikih Problem wacana fikih yang diajarkan oleh
yang dilakukan Muhammadiyah mencerminkan Ulama-ulama fikih/usul fikih tersebut telah mem-
maqasid al-syari’ah, sehingga pembangunan fikih berikan sumbangan dalam memberikan varian
yang dikembangkan senantiasa memperhatikan pemahaman keilmuan fikih yang dekat dan
aspek kepentingan manusia dengan senantiasa bertransformasi dengan budaya masyarakat,
mengujinya dengan aya-ayat Alquran dan Sunah semisal Sunan Kalijaga, salah satu dari Walisongo,
Nabi saw. Paradigma ilmu ushul fikih ini juga penyebar Islam di tanah Jawa, telah menyebar-
sekaligus menafikan asumsi yang selama ini kan ajaran-ajaran Islam, termasuk ajaran fikih
mengkalim bahwa Muhammadiyah selalu puritan dengan kreatif dan dinamis, sehingga masyarakat
dan berada di awang-awang, tidak pernah dengan mudah menerimanya tanpa ada konflik.
membumi ketika melakukan ijtihad hukum.21 Namun kenyataannya, arus benih-benih wacana
Dalam konteks ini, paradigma ushul fikih hukum fikih yang membumi yang ditawarkan
yang bersifat doktrinal-literalistik sering tidak Umar dan Ulama-ulama fikih/ushul fikih mulai
mampu merumusan wacana hukum/ fikih se- ditinggalkan dan beralih kepada wacana fikih
bagaimana apa adanya. Walaupun demikian, kaum fundamentalis yang menampilkan wajah
Umar telah memberikan wawasan alternatif menyeramkan dan penuh kekerasan sebagaimana
yang mengakomodir kepentingan individual kasus-kasus aktual perilaku kaum ISIS di Timur
dan kelompok, tidak hanya memperhatikan Tengah. Perilaku kaum ISIS itu pada dasarnya
kepentingan kelompok ekslusif kaum Muslim, hanya menggunakan simbol-simbol keislaman
tetapi juga telah membawa gerakan pembangunan dalam bentuk lahirnya, tetapi substansinya
fikih ke dalam alam yang natural dan terintegrasi jauh dari maksud dan tujuan ajaran Islam/fikih
dengan kepentingan umat. Gerakan pembumian yang selalu mendorong umat untuk berbuat
wacana ilmu fikih ini berbeda dengan wacana kebaikan dan menciptakan kemaslahatan.23 Jika
dominan para sahabat Nabi Muhammad saw demikian keadaannya, lalu bagaimana pendekatan
lainnya yang semasa Umar, karena mayoritas antropologis dapat memberikan sumbangan
mereka lebih memperhatian aspek doktrinal- dalam pengembangan ilmu-ilmu usul fikih di masa
literalistik sebagaimana Sunah Nabi Muhammad
saw apa adanya tanpa meneliti pesan utama dan 22
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi
faktor-faktor historis yang melahirkan adanya untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
regulasi fikih. Padahal, jika wacana fikih yang com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-
agama-dan-studi-islam/
didominasi oleh arus gerakan doktrinal-literalistik, 23
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
21
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

kini dan mendatang? Problem ini tentu menjadi ushul fikih masa lalu.26
kegelisahan kajian usul fikih. Kedua, pendekatan antropologis juga mem-
Kajian antropologis yang memberikan ruang berikan ruang untuk membangun keterkaitan
bagi tradisi lokal yang berlaku (local practices) antara berbagai domain hidup secara lebih
untuk diakomodir dan diakui. Tradisi hidup ber- utuh (connections across social domains). Kajian
agama yang dilakukan oleh masyarakat, misal- antropologis memberikan ruang untuk mem-
nya tradisi perayaan perkawinan (resepsi) atau bangun sinergitas antara berbagai elemen hidup,
walimatul ursy. Dengan meminjam bahasa M Amin sehingga ada hubungan yang relevan antara satu
Abdullah, local practices yang dalam kajian ilmu aspek dengan aspek lainnya.27 Dengan meminjam
fikih dikenal dengan “praktik pengamalan fikih teori David N. Geller, pendekatan antropologis
lokalistik sebagai hasil kajian ulama ushul fikih dalam konteks kajian ushul fikih ini hendak me-
dalam menghadapi tradisi lokal perlu mendapat nawarkan pendekatan holistik, yakni praktek
perhatian. Dalam studi fikih/ushul fiqh, kajian ini sosial kemasyarakatan perlu diteliti secara esensial
jika titik tekannya pada pengakuan tradisi sebagai dan dinilai sebagai hal yang saling terkait dengan
bahan pertimbangan pembangunan hukum masuk lainnya. Kajian ini hendak menempatkan norma-
kategori ‘urf dan jika titik tekan kajiannya pada norma hukum fikih sebagai bagian dari realitas
pengakuan pada tradisi yang sudah berlaku sosial kemasyarakatan yang utuh, sehingga hukum
sebelumnya sebagai bahan pertimbangan, maka fikih tidak bisa dilihat sebagai hal otonom dari
ia masuk kategori istishhab.24 Dengan demikian, praktek-praktek sosial lainnya.28 Paradigma usul
praktik pengamalan fikih di masyarakat akan fikih di sini hendak membentuk regulasi hukum
dinilai melenceng dari hukum fikih otentik kalau fikih yang saling berhubungan di antara satu
tidak ada hubungan intensif dengan nas-nas dengan lainnya. Pendekatan antropologis ini
hukum fikih. Paradigma ini adalah paradigma membangun wacana usul fikih yang mampu
normatif. Sementara itu, menurut antropolog, melahirkan wacana fikih yang berkarakter
praktik pengamalan fikih di masyarakat harus kesalingterkaitan dan keterhubungan.29
diteliti dengan cermat dan mendalam untuk dapat Ketiga, selain itu, pendekatan antropologis
mememahami kandungan praktinya, sehingga hendak menawarkan wawasan komparatif
otentisitas tidak ditentukan sesamata-mata oleh (comparative), yakni membandingkan antara
nas fikih, tetapi juga realitas sosial budaya atau satu tradisi dengan tradisi lainnya untuk saling
praktik pengamalan empirisnya. 25 memperkaya di antara masing-masing tradisi
Sisi kelebihan pendekatan antropologis ini itu. Dalam kajian antropologis, Clifford Geertz
adalah bahwa kedalaman dalam menggunakan membandingkan antara tradisi Islam Indonesia dan
teori hukum adat (’urf) ini sebagai titik sentral tradisi Islam Maroko untuk tujuan memperkaya
dalam pembangunan hukum-hukum fikih, sehingga keduanya.30
dengan penekanan pada tradisi/hukum adat di Dalam masalah komparasi ini, para usul
masyarakat dapat berkembang dan dinamis. Hal
ini berbeda jika titik tekannya pada penalaran
doktrinal-literalistik atau wacana normatif, maka 26
Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh......, h. 89
27
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi
yang akan terjadi adalah pemberangusan tradisi
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
di masyarakat. Dengan demikian, teori ‘urf harus com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-
digunakan dengan memadai dalam menjawab agama-dan-studi-islam.
28
David N. Geller, “Pendekatan Antropologis”, dalam
realitas hidup masyarakat sebagaimana ulama
Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama....., h. 34.
29
Moh Dahlan, Abdullahi Ahmed An-Na’im: Epistemologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
30
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi
24
Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh......, h. 89 untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
25
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress. agama-dan-studi-islam. lihat juga Talal Asad, Formations of
com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi- the Secular: Christianity, Islam, Modenity, (Stanford, California:
Moh. Dahlan: Pendekatan Antropologis

fikih telah membangun tradisi kajian hukum dan tidak perlu bersujud, cukup dengan isyarat
fikih dengan cara komparatif, semisal Wahbah dengan membungkukkan badannya ketika
Az-Zuhaili membahas masalah ijtihad arah hendak bersujud. Terkait dengan kondisi salat
qiblat dalam kitabnya yang menyebutkan yang terakhir, Imam Syafi’i mewajibkan untuk
bahwa, bagi Ulama Hanafiyah, jika seseorang mengulangi salatnya di tempat yang suci menurut
salat dan menghadap qiblat, tetapi di tengah qaul jadid-nya, tetapi menurut qaul qadim dari
salat kemudian tahu kalau salah, maka ia wajib Imam Syafi’i hanya sunah saja mengulanginya.33
memutar badannya ke arah yang benar. Jika Dalam kajian usul fikih, jika terjadi per-
telah selesai baru tahu akan kesalahannya, maka tentangan di antara dua dalil (ta’arudul adillah),
ia tidak wajib mengulang salatnya. Sementara maka cara yang harus ditempu adalah memadukan
itu, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika dan mengkompromikan (al-jam’u wa al-taufiq).
tahu akan kesalahan ijtihadnya dalam menghadap Dalam hal terjadi khilafiyah di atas, Ulama usul
qiblat di dalam melaksanakan salat, maka ia wajib fikih pada dasarnya mengakui dan berusaha
menghentikan salatnya dan wajib mengulanginya mengkompromikan sebagaimana misalnya kasus
tidak cukup hanya pindah arah qiblat. Ulama salat di tempat yang najis, permasalahannya
Syafi’iyah berpendapat bahwa jika seseorang salat adalah bahwa salat tidak boleh bersujud pada
jama’ ketika saat salat yang pertama menghadap tempat yang najis, sementara tempat sujudnya
ke arah qiblat yang diyakini, kemudian pada saat najis, sehingga cukup menggunakan isyarat
salat yang kedua kemudian berubah arah karena membungkuk. Problem inilah yang kemudian
keyakinannya berubah, maka salat yang kedua melahirkan dua pendapat dalam diri Imam
mengikuti arah yang kedua dan yang pertama Mazhab, pendapat qaul jadid Imam Syafi’i me-
tidak perlu diulang.31 wajibkan mengulangi di tempat suci, tetapi
Dalam masalah pakaian penutup aurat pendapat qaul qadim-nya hanyalah sunah. Cara
perempuan, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memadukan dan mengkompromikannya adalah
berpendapat bahwa aurat perempuan di hadapan bahwa salat yang berada dalam kondisi darurat
mahramnya atau dihadapan sesama perempuan di tempat najis wajib dilakukan, tetapi implikasi
adalah bagian antara lutut dan dan pusat. Ulama hukumnya ada dua pilihan; pertama, bisa memilih
Malikiyah berpendapat bahwa aurat perempuan pengulanan ketika sudah di tempat yang suci, dan
adalah seluruh tubuhnya kecuali kepala, leher, kedua, bisa juga tidak perlu mengulang karena
tangan dan kaki. Sementara itu, ulama Hanabilah hanya sunah sifatnya.
berpendapat bahwa aurat perempuan meliputi Demikian juga masalah kesucian pakaian
seluruh tubuhnya kecuali wajah, leher, kepala, ketika salat. Ulama Hanafiyah menyebutkan hal itu
tangan, telapak kaki dan betis.32 sebagai syarat sahnya salat. Sementara itu, Ulama
Dalam masalah kesucian dari najis, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hal itu adalah sunah
Hanafiyah menyebutkan bahwa suci dari najis muakkad. Dari dua pendapat itu dapat dicarikan
yang tidak diampuni, baik pakaian, badan maupun jalan tengahnya dengan berpendapat bahwa salat
tempatnya termasuk telapak kaki, dua tangan dan dengan menggunakan pakaian suci dan bersih
kaki adalah syarat sahnya salat. Sementara itu, menjadi keharusan yang perlu dilaksanakan oleh
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa bersesuci setiap Muslim, tetapi hal itu bukanlah segala-
dari najis adalah sunah muakkad. Demikian juga galanya karena salat bukanlah tujuan dari salat
jika seseorang berada dalam kondisi terpaksa itu sendiri, sehingga di sini pendapat para Ulama
semisal di penjara di tempat najis, maka se- Ushul fikih telah melampaui pendapat ilmuwan
seorang itu wajib menjalankan salat menurut mutakhir34 yang berbagai kesempatan banyak
Jumhur Ulama sesuai dengan kemampuannya menyinggung tentang tindakan rasional dan
tindakan instrumental, yakni “tujuan menentukan
31
Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Salat: Kajian Berbagai Mazhab,
terj. Masdar Helmy, (Bandung: Pustaka Media Utama, 2004), 33
Az-Zuhaili, Fikih Salat..., h. 88 dan 95.
h. 118-119. 34
Bandingkan dengan pemikiran Haryatmoko, Guru
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

pilihan sarana dikenal sebagai tindakan rasional, yang terakhir bisa digunakan. Sementara itu,
sedangkan sarana menentukan tujuan dikenal ulama-ulama fundamentalis yang berwawasan
sebagai tindakan instrumental.” Dengan demikian, doktrinal-literalistik telah menjadikan khilafah
salat itulah yang menjadi tujuannya, sedangkan sebagai tujuan bagi dirinya, sehingga sistem
bersesuci adalah sarana menuju pada pelaksanaan politik kenegaraan lainnya pasti dianggap salah,
salat. Dengan demikian, pemikiran dan pandangan tidak ada yang benar walaupun misalnya bisa
para ulama-ulama terdahulu pada dasarnya tidak membawa kemakmuran dan keadilan, sehingga
ideologis atau berkaca mata kuda, tetapi bersifat tindakan mereka ini dapat dimasukkan dalam
utopia realatif, dalam arti bahwa pemikiran dan kategori tindakan instrumental. Dalam bahasa
pandangan-pandangan tentang hukum fikih Karl Mannheim dikenal dengan tindakan ideologis,
memberikan ruang dan jangkauan yang luas yakni tindakan yang menempatkan dirinya paling
dengan beragam pendapatnya yang sesungguhnya benar dan yang lain salah, apa pun alasannya,
hal itu masih dalam taraf bisa dikompromikan, vis a vis antara satu paradigma keilmuan dengan
bukan ideologis yang tidak pernah akan ketemu paradigma lainnya.
antara satu pendapat dengan pendapat lainnya. Paradigma komparatif ini juga akan mem-
Pendapat Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah bantu kaum Muslim dalam menghindari tindak-
berkembang sebagaimana irama musik yang bisa an ideologis. Pendekatan antropologis dalam
memberikan keseimbangan dalam menjalankan kajian hukum fikih jika berlandaskan paradigma
ibadah atau ritual salat yang bisa fleksibel dan komparatif, maka hukum fikih sebagai produknya
tidak menyulitkan. Tujuan yang dapat tercapai, akan progresif dan dinamis karena dikembangkan
yakni terlaksananya salat dan beribadah kepada dengan paradigma keilmuan yang dinamis dan
Allah swt, sedangkan sarananya bisa menyesuaikan progresif. Di sinilah dikembangkan fiqh al-muaqaran
dengan kemampuannya. Inilah yang dalam (fikih perbandingan mazhab) sebagaimana karya
teori Karl Mannheim dikenal dengan utopia Wahbah Az-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islam
relatif, berupa pembangun masa kini yang bisa wa Adillatuhu, yang sudah diterjemahkan oleh
berlandaskan pada budaya yang berbeda atau Masdar Helmy berjudul Fikih Salat: Kajian Berbagai
realitas baru, tidak monolitik. Mazhab, terbitan Pustaka Media Utama, Bandung,
Pemikiran Ulama Hanafiyah dan Ulama tahun 2004.
Malikyah tersebut menjadi pelajaran bahwa Hasil-hasil kajian keilmuan usul fikih ter-
mereka memiliki pemikiran dan paradigma kajian sebut juga menjadi karakter keilmuan yang
keilmuan fikih/ilmu usul fikih yang inklusif dan dikembangkan di kalangan Nahdlatul Ulama
progresif, tidak rigid dan tidak dogmatis. Hal dan Muhammadiyah yang telah melahirkan
ini berbeda dengan paradigma Ulama yang sumbangan besar dalam pengembangan keilmuan
berwawasan doktrinal-literalistik, dimana mereka fikih yang berwawasan kebangsaan dan telah
pada dasarnya telah terjebak pada frame tindakan terbukti mampu mendukung kemajuan hidup
instrumental, yakni tujuan menentukan pilihan berbangsa dan bernegara dengan tetap setia
sarana, misalnya kalau najis dijadikan sebagai pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
sandaran satu-satunya dalam menjalan salat, Dengan paradigma usul fikih yang berpijak pada
maka hal itu telah menjadikan sarana sebagai tradisi, maka hasil pemikirannya memberikan
tujuan, bersesuci adalah sarana, sedangkan salat sumbangan nnyata dalam pengembangan
adalah tujuannya. Jika itu yang terjadi, maka fikih yang berwawasan kebangsaan. Dengan
di sini ada pembalikan pola pikir. Sebagaimana paradigma usul fikih yang berpijak pada nalar
misalnya khilafah itu pada dasarnya adalah sarana kesalingterkaitan, maka produk keilmuan fikihnya
untuk mencapai kemakmuran dan keadilan mampu menyapa dan mengembangkan wacana
dalam masyarakat, bukan tujuan dalam dirinya kemajemukan hidup beragama atau fikih inklusif-
sendiri, sehingga jika ada instrumen sistem pluralis. Dengan paradigma usul fikih yang
politik lain yang dapat mengantarkan kepada berwawasan komparatif, maka produk hukum
kemakmuran dan keadilan itu, maka teori fikihnya akan dinamis dan progresif sehingga
Moh. Dahlan: Pendekatan Antropologis

regulasi hukum fikih akan selalu sesuai dengan kepesantren sebagai pemangku utama budaya
dinamika perkembangan situasi dan kondisi. Nusantara yang berpegang teguh pada nilai-nilai
Unsur dinamis-progresif itu dapat dikembangkan tradisi dan norma hukum fikih/agama, maka
dari general pattern (qiyam al-asasiyah/maqasid identitas kebangsaan Indonesia harus semakin
al-syari’) yang terdapat dalam paradigma usul dikukuhkan. Sebab, dari identitas ke-Nusantara-
fikih, sehingga hal itu menjadi tujuan perumusan an itu, lahir Pancasila sebagai cerminannya. Oleh
hukum fikih, sedangkan realitas konkrit yang sebab itu, NU sebagai ormas Islam terbesar di
pasti berbeda-beda (particular pattern/qawaid Indonesia harus selalu memberikan pengawalan
al-ushuliyah) juga perlu menjadi pertimbangan dan dukungan terhadap NKRI. Salah satu bentuk-
sebagai faktor sarana untuk mencapai tujuan nya adalah dengan selalu mengembangkan
tersebut karena di sini tempat berlaku dan wacana hukum fikih yang inklusif-pluralis, yakni
dipraktikkannya hukum-hukum far’i (hukum- mengakomodir dan melestarikan budaya dan
hukum cabang).35 tradisi masyarakat yang baik. Dalam menjawab
Inilah yang dikembangkan oleh Muhammad kasus-kasus aktual, NU selalu menjawabnya
Arkoun berupa pengembangan nalar “Tradisi melalui metode ijtihadnya berupa ittiba’ qauli dan
dengan T besar” (al-Turâst bi harfin kabîr) sebagai ittiba’ manhaji, yakni membaca dan mendalami
tujuan dari pengembangan keilmuan fikih dan wawasan-wawasan dan pendapat ulama-ulama
sebagai landasan dalam melakukan ijtihad dalam terdahulu dan juga menggunakan metode ijtihad
ilmu ushul fikih, sedangkan nalar “tradisi dengan ulama-ulama terdahulu untuk membangun wacana
t kecil” (al-turâst bi harfin shagîr) hanyalah hukum fikih masa kini dan mendatang. 37
instrumen atau pendukung untuk pengambangan
wacana keilmuan utama yang ada dalam Tradisi Simpulan
dengan T besar tersebut. Kajian antropologis di dalam paradigma
Dalam bahasanya Majlis Tarjih Muham- usul fikih atau fikih akan mampu mendukung
madiyah, ijtihad hukum fikih harus selalu me- tingkat kesalingterkaitan dan kedinamisan antara
ngaitkan maqasid al-syari’at dengan beberapa berbagai paham dan aliran mazhab hukum fikih.
metode ijtihad. Gerakan ijtihad Majlis Tarjih Aspek general pattern dan particular pattern
Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang berjalan di harus dikembangkan dengan dinamis dan
atas realitas rasional-empiris, tetapi bergerak dan dialektis. Dengan demikian, kajian antropologis
berjalan dalam ranah realitas empiris atau budaya dalam paradigma usul fikih akan melahirkan
manusia. Oleh sebab itu, kasus-kasus aktual yang wacana keilmuan fikih yang utuh, integratif dan
dimunculkan melalui Majlis Tarjih Muhammadiyah komparatif, sehingga pengembangan hukum
dalam pembahasan ijtihadnya menjadi indikator fikih dapat sesuai dengan kepentingan umat
bahwa Majlis Tarjih Muhammadiyah selalu per- dan bangsa dengan baik. Dengan pendekatan
hatian terhadap perkembangan hidup manusia antropologis ini, segala pendapat dan rumusan
secara rasional-empiris, seperti kasus Keluarga keilmuan fikih terbuka untuk dikaji ulang dan
Berencana, Bayi Tabung, Bunga Bank dan Asurani. ditransformasikan dalam kehidupan umat dan
Dengan paradigma ijtihad tersebut, ulama- bangsa serta tidak hanya bersifat melibatkan
ulama mujtahid Muhammadiyah masuk kategori elemen tertentu, tetapi dapat melibatkan semua
“mutahid kontemporer” dalam ilmu ushul fikih.36 elemen yang berkompeten dengan lahirnya
Dalam bahasanya NU, sesuai dengan pendapat hukum fikih. Dengan cara demikian,
elemen penting Nusantara, yakni kesultanan dan perbedaan paradigma keilmuan dan tindakan
dalam mengamalkan ajaran hukum fikih tidak
akan menyebabkan perpecahan, sebab perbedaan
35
M Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi telah dijadikan model sebagai instrumen untuk
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.
com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi- memperkaya dan mengembangkan wacana
agama-dan-studi-islam
36
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

keilmuan fikih sebagai produk dari ilmu ushul NU, Jakarta: LTM-NU, 2014.
fikih. Geller, David N., “Pendekatan Antropologis”,
dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan
Pustaka Acuan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta:
Abdullah, M Amin Urgensi Pendekatan Antropologi LKiS, 2002.
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http:// Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, (Jakarta:
aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi- Paramadina, 1998).
pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-
h t t p : / / b e ng k u l um u l t i m e d i a . w or d pr e s s .
dan-studi-islam/
com/2008/01/23/tabot-praktik-syiah-kultural-di-
Abdullah, M Amin, Urgensi Pendekatan Antropologi indonesia/ diakses tanggal 26 Nopember 2011.
untuk Studi Agama dan Studi Islam, http://
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait:
aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-
Dar al-Qalam, t.th.
pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-
an-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syariah,
dan-studi-islam/
terj. Ahmad Suaedy, Yogyakarta: LKiS, 1996.
Arkoun, Mohammed, Al-Fikr al-Islâmî: Qirâ’ah
an-Na’im, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic
‘Ilmiyyah, Beirut: Markaz al-Inmâ’ al-Qawmî,
Reformation: Civil Liberties, Human Rights
1987.
and International Law, Syracuse: Syracuse
Budiman, Arief, “Dari Patriotisme Ayam dan Itik
University Press, 1990.
Sampai Ke Sosiologi Pengetahuan: Sebuah
Kata Pengantar”, dalam Karl Mannheim, Risalah NU, Edisi 41 Tahun 2013
Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Syarifuddin, Amir, Usul fikih, Jilid II Jakarta:
Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman, Kencana, 2009.
(Yogyakarta: Kanisius, 1991). Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam
Dahlan, Moh, Abdullahi Ahmed An-Na’im: Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,
Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Pustaka Pelajar, 2009). Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001
Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995. Zahrah, Muhammad Abu, Usul fikih, terj. Saifullah
Ghani, Abdul Manan A, Silsilah Keilmuan Ulama Ma’sum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fikih Salat: Kajian Berbagai
Mazhab, terj. Masdar Helmy, Bandung:
Pustaka Media Utama, 2004.
USUL FIKIH DALAM HUKUM ISLAM PROGRESIF

Yusdani
Pusat Studi Islam dan Hukum Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Email: yusdani_msi@yahoo.com

Abstract: Ushûl Fiqh in Progressive Islamic Law. The present article is aimed at describing though of ushûl fiqh
which becomes a basis of progressive Islamic law. Basically, the progressive Islamic law has a basic concept of
ushûl fiqh setting out ijtihad based contextual concept that comes from the essential of Islamic basic values
(maqâsid as-syarî’ah). Its essential values such as justice, equity, and equality are transformed to respond the
contemporary humanity issues including democracy, human rights, gender equality, the rights of minorities, the
relationship between religion and state, culture, science, and technology. Hence, the concept of progressive
ushûl fiqh will develop and offer more humane Islamic law (anthropocentric transformative) than before by
upholding the prophetical values. The framework can create some various field in Islamic such as cultural Islamic,
interfaith Islamic law, political Islamic law, govermental Islamic law, environmental Islamic law, and multicultural
Islamic law.
Keywords: ushûl fiqh; progresive islamic law; maqâsid as-syarî’ah; ijtihad

Abstrak: Usul Fikih dalam Hukum Islam Progresif. Artikel di bawah ini membahas pemikiran usul fikih yang dijadikan
dasar pijak fikih Islam progresif. Fikih Islam progresif memiliki konsep dasar usul fikih yang mengedepankan
konsep kontekstual berbasis ijtihad, yakni yang bertitik tolak dari nilai-nilai dasar Islam yang esensial (maqâshid
as-syarî`ah). Nilai-nilai dasar Islam seperti keadilan, persamaan, dan kesetaraan diterjemahkan untuk merespon
isu-isu kemanusiaan kontemporer seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, hak-hak kaum
minoritas, hubungan agama dan negara, budaya, dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Dengan begitu, konsep
usul fikih progresif hendak mengembangkan dan menawarkan fikih Islam yang lebih humanis ( antroposentris
transformatif) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai profetik. Kerangka pemikiran usul fikih seperti ini dapat
melahirkan fikih dalam berbagai lapangan seperti fikih kebangsaan, fikih kebudayaan, fikih lintas agama, fikih
politik, fikih kenegaraan, fikih lingkungan, dan fikih kebhinekaan.
Kata kunci: ushul fikih; fikih Islam progresif; maqâshid as-syarî`ah; dan ijtihad.

Pendahuluan Dampaknya, agama dicurigai hanya dijadikan


Pada era kontemporer sekarang ini, agama alat legitimasi perilaku manusia dalam mencapai
terutama Islam sebagai doktrin/ajaran Tuhan yang segala hasratnya, atau dengan kata lain agama
dijadikan pedoman hidup umatnya sering dituduh, secara mendasar dianggap sebagai sarana rasa
kalau tidak malah dianggap gagal melindungi keterasingan manusia dari ketidakmampuannya
keberlangsungan hidup manusia dan nilai-nilai untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaannya.
luhur kemanusiaan. Fenomena agama seperti ini Oleh karena itu, agama dianggap sebagai ajaran
terlihat dengan tidak pernah sepinya sejarah dunia yang sudah usang (out of date) dan sama sekali
dari perang dan “terlibat” dalam berbagai konflik tidak responsif terhadap persoalan kemanusiaan.2
kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama.1
2
Hasan Mustafa al-Basy, Huquq al-Insan baina al-Falsafah wa
al-Adyan, ( Libya: Jami’iyah al-Da’wah al-Islamiyah al-Alamiyah,
1
Charles Kimball, When Reigion Becomes Evil, (United 1997), baca juga Endang Mintarja, HAM dalam Perspektif Agama
States: Harper Collins Publishers Inc. 2008), h. . 115. Yusdani, dan Filsafat, dalam Tanwir Jurnal Pemikiran Agama & Peradaban,
Fiqh Politik Muslim Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, Edisi ke-3, Vol. 1, No. 3, September 2003, Jakarta: PSAP
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

Bersamaan dengan keraguan terhadap agama Dampak dan implikasi dalam jangka waktu
berlangsung, sebagian orang mulai berpaling ke yang panjang dari fenomena tersebut di atas adalah
filsafat untuk mencari kemuliaan hidup. Filsafat seolah mengindikasikan Islam menjadi agama langit
dilirik sebagai ajaran yang membumi karena yang tidak membumi dan kehilangan tenaga untuk
memang filsafat berasal dari bumi. Akan tetapi, menjawab permasalahan-permasalahan zaman
karena kebenaran filsafat merupakan kebenaran dan kemanusiaan, terutama dalam bidang fikih
yang relatif, ia juga mengalami gugatan dan (hukum Islam). Karena atas dasar tantangan dan
dalam perkembangannya, filsafat dianggap malah tuntutan realitas inilah mengetuk dan mendorong
mengggiring manusia ke arah kehancurannya. kesadaran para pemikir muslim kontemporer untuk
Filsafat dianggap tidak mampu mengayomi merobohkan tembok stagnasi dan membangun
manusia di muka bumi ini dan tidak mengindahkan kembali wajah Islam yang responsif atas kemajuan
nilai-nilai sejati kemanusiaan. Pertanyaan yang zaman. Kemudian dalam kajian fikih muncullah
muncul kemudian adalah kemana manusia harus istilah fikih Islam progresif.6
mencari dan menemukan kebenaran untuk me-
lindungi umat dan nilai-nilai luhur manusia?3 Islam Progresif dan fikih Islam Progresif
Dalam pencarian jawaban terhadap persoalan Untuk merespon berbagai persoalan ke-
di atas, dari segi absolutisme dan relatifisme manusiaan kontemporer, sebagaimana dijelaskan
suatu kebenaran, tidak perlu diragukan bahwa di muka bahwa salah satu tren pemikiran Islam
agama merupakan kebenaran mutlak karena adalah Islam progresif dan dalam bidang hukum
bersumber dari Yang Maha Mutlak. Hanya saja, Islam (fikih) muncul pula fikih Islam progresif.
dalam perjalanannya, wahyu Tuhan yang sampai Fikih Islam progresif dengan demikian merupakan
ke tangan manusia melalui utusan-Nya berpotensi fikih Islam yang dibangun di atas landasan Islam
mengalami reduksi dan distorsi makna. Atas progresif. Secara umum Islam Progresif dapat
dasar itulah, hal ini merupakan salah satu faktor dimaksudkan untuk memberi penekanan utama
yang dapat menyebabkan dan melahirkan ragam kepada pengembangan ilmu pengetahuan,
interpretasi yang intoleran dan eksklusif. Oleh wacana keadilan, keterbukaan, sikap toleransi,
karena itu, untuk menemukan kebenaran wahyu dan perlunya membangun integrasi moral
Tuhan yang dapat menjamin dan memberikan kaum muslimin dalam membangun negara dan
perlindungan terhadap manusia dan kemanusia- bangsa. Di samping itu Islam progresif bukan
an dalam agama-agama di atas perlu menggali hanya memahami Islam sebagai hanya agama,
prinsip-prinsip dan nilai-nilai substansial esensial tetapi lebih jauh Islam juga sebagai peradaban.
yang dikandung kitab suci agama.4 Lebih jauh lagi dapat diuraikan bahwa istilah
Sementara itu perkembangan dan dinamika Islam progresif merupakan pengembangan lebih
globalisasi yang disertai dengan kecanggihan IT- mendalam dan lanjut dari pemikiran dan posisi
nya telah memberikan dampak dan memunculkan Islam moderat yang sering diperhadapkan dengan
pola hidup dan pola hubungan kemanusiaan yang Islam radikal di satu pihak, dan Islam liberal yang
baru dan berbeda dengan masa sebelumnya. dianggap lebih sekular di pihak lain. Akan tetapi
Implikasi dari dinamika dan perkembangan ini, meskipun demikian dalam beberapa sisi antara
adalah terjadilah semakin lebar jurang (gap) yang pemikiran Islam progresif dan Islam liberal dapat
memisahkan antara Islam dan realitas kehidupan dipertukarkan dan dipertemukan.7
manusia, termasuk dalam bidang fikih (Hukum
Islam).5
Insider/Outsider, ( Yogyakarta: IrCiSod, 2012), h. 349-350, Yusdani,
Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
3
Endang Mintarja, HAM dalam Perspektif Agama..., h. 206- 2015), h. 237. Yusdani, Fiqh Politik Muslim..., h. 321.
207, dan Yusdani, Fiqh Politik Muslim..., h. 115. 6
Farid Essack, Qur’an,Liberation..., h. 50, M. M. Arfan
4
Endang Mintarja, HAM dalam Perspektif Agama…, h. Mu’ammar,” Islam Progresif dan Ijtihad..., h. 349-350, Yusdani,
207, dan Yusdani, Fiqh Politik Muslim..., h. 115 Menuju Fiqh Keluarga..., h. 237 dan Yusdani, Fiqh Politik Muslim...,
5
Farid Essack, Qur’an, Liberation & Pluralism, (Oxford: h. 321.
Oneworld, 1997), h. 50, M. M. Arfan Mu’ammar, Islam Progresif 7
Untuk konteksIndonesia istilahIslamProgresifdapatdibaca
dan Ijtihad Progresif Membaca Gagasan Abdullah Saeed, dalam lebih lanjut Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan
Yusdani: Usul Fikih dalam Hukum Islam Progresif

Para pakar muslim selain memiliki persamaan era kontemporer sedangkan di lain pihak jawaban
dan sekaligus perbedaan pendapat dalam men- atas tantangan tersebut harus didasarkan pada
definisikan Islam progresif ini. Perbedaan ini khazanah (warisan-tradisi) Islam itu sendiri.
berimplikasi pula pada perbedaan para pemikir Selain para pemikir yang setuju dengan terma
kontemporer dalam menjelaskan definisi dan Islam progresif, terdapat pula pemikir muslim
kerangka metodologi Islam progresif. Dalam kaitan lain yang kurang begitu setuju, seperti Mudzaffar
ini, Syed Hussein Alatas misalnya menjelaskan yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
bahwa term Islam progresif tidak menyiratkan dan dengan labelisasi Islam dengan label progresif,
adanya abstraksi ataupun reduksi dari totalitas konservatif atau liberal karena menurutnya label-
Islam, melainkan sebuah istilah yang mengindikasi- label seperti ini cenderung membatasi kemampuan
kan bahwa Islam itu memang sejatinya bersifat seorang pembicara untuk berhubungan dengan
progresif. Karakter dan watak orisinal Islam audiennya yang disebabkan oleh pembedaan dan
seperti inilah sesungguhnya yang diangkat dan penggolongan masyarakat muslim. Sementara itu,
dimunculkan ke permukaan. Sementara itu, pemikir ketidaksetujuan dari pemikir Islam lainnya Ashgar
lain seperti Alparsalan Acikgenc, menyatakan bahwa adalah karena Islam itu secara inheren sudah bersifat
Islam progresif adalah Islam yang menawarkan progresif, membebaskan dan revolusioner. Oleh
keseimbangan antara mysterious and the rational karena itu, baginya, lebih baik mengkategorikan
aspects of human nature.8 Islam secara periodik seperti kajian keislaman di
Penjelasan lain tentang Islam progresif era modern ketimbang berbicara tentang istilah
adalah sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Islam modern dan lain-lain.11
Saeed yang menguraikan bahwa Islam progresif Seperti halnya Ashgar, begitu pula Syed
merupakan salah satu dari sekian banyak aliran Farid Alatas menyoal secara kritis penggunaan
pemikiran Islam kontemporer yang berupaya istilah Islam progresif di atas dengan menyata-
untuk incorporate the contexts and the needs kan bahwa istilah tersebut tidak perlu karena
of modern Muslims 9 yang pada akhirnya se- akan mengindikasikan pula ada Islam yang tidak
sungguhnya menuju “want to act to preserve progresif. Lebih jauh lagi, istilah ini berkonotasi
the vibrancy and variety of the Islamic tradition.10 hubungan intim dengan apa yang disebut dengan
Pandangan dan penjelasan Abdullah Saeed Islam liberal, mengaca kepada pengalaman cen-
ini, meneguhkan prinsip dasar Islam progresif dikiawan-cendikiawan yang ada di Mesir dan
yang menjadi dasar kerangka kerja fikih Islam Indonesia.12 Meskipun sebagian pemikir muslim
progresif, yaitu di satu pihak memahami konteks, tidak setuju dengan penggunaan istilah Islam
tantangan dan kebutuhan hidup umat manusia di progresif, tetapi mereka sepakat bahwa dimensi
progresif Islam menjadi urgen dan relevan untuk
Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), h. 15-158, Ahmad diangkat dan disosialisasikan dalam kehidupan
Gaus AF, Islam Progresif: Wacana Pasca Arus Utama (Peta Pemikiran kontemporer, termasuk dalam lapangan fikih.13
dan Gerakan Islam Indonesia)”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi
No. 22 Tahun 2007, h. 96, Zuhairi Misrawi dan Novriantoni, Doktrin
Islam Progresif: Mamahami Islam sebagai Agama Rahmat (Jakarta: 11
IDSS, Progressive Islam and The State..., h. 14-15.
LSIP, 2004), dan Zuly Qodir dkk (ed.), Muhammadiyah Progresif: Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan
Manifesto Pemikiran Kaum Muda (Yogyakarta: Lesfi-JIMM,2007). Ijtihad…,h. 529.
Istilah Islam Progresif dalam konteks dunia pemikiran Islam, dapat 12
IDSS, Progressive Islam and The State..., h. 16. Tholhatul
dibaca lebih lanjut Omid Safi (ed.), Progressive Muslims: On Justice, Choir dan Ahwan Fanani (ed.) “Islam Progresif dan Ijtihad..., h. 529.
Gender, and Pluralism ( Oxford: One World, 2006). 13
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif
8
IDSS, Progressive Islam and The State in Contemporary dan Ijtihad..., h. 529. Untuk kasus di Indonesia dapat dibaca
Muslim Societies, Laporan Seminar yang diadakan di lebih lanjut Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and
Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006. IDSS, Identity The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the
Progressive Islam and The State..., h. 7. dan Tholhatul Choir dan Indonesian Religious Courts (Amsterdam: ICAS / Amsterdam
Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad...,, h. 528. University Press, 2010); Jan Michiel Otto ( editor), Sharia
9
Abdullah Saeed, Islam dalam..., h. 14. dan Tholhatul Choir Incorporated A Comparative Overview of the Legal Systems of
dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad..., h. 528. Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden
10
Omid Safi, (ed.), “Introduction,” dalam Progressive University Press, 2010); Nina Nurmila, Women, Islam and
Muslims: On Justice, Gender, and Pluralisin, (Oxford: Oneworld, Everyday Life Renegotiating polygamy in Indonesia (London &
2003), h. 2. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam New York: Routledge, 2009); dan Jamal J.A. Nasir, The Status of
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

Berdasarkan penjelasan panjang lebar bekerja di dalam perkembangan diskursus hukum


tentang Islam yang berdimensi progresif tersebut Islam, tidak tertutupnya pintu ijtihad sebagaimana
di atas dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud yang disimpulkan oleh Joseph Schacht.16 Pan-
dengan fikih Islam progresif adalah fikih yang dangan Hallaq ini dikritik dan dibantah oleh
berupaya mengangkat dan mensosialisasikan Sherman Jackson17 dan Michel Hoebink18 yang
dimensi dan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan justru membuktikan kebalikannya yaitu bahwa
kesamaan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai- memang secara fakta menunjukkan hampir tidak
nilai esensial dalam Islam. ada perkembangan yang sama sekali baru setelah
fase pembukuan dan pembakuan hukum Islam
Kerangka Dasar Pemikiran Fikih Islam oleh empat mazhab yang terkenal itu yang
Progresif disebabkan oleh terbuka lebarnya pintu taqlid.
Bagi mereka berdua, Hallaq terlalu berlebihan,
Munculnya fikih progresif adalah tidak dapat
karena, meminjam istilah Jackson, ”regime of
dilepaskan dan erat kaitannya dengan suatu
taqlid” sudah menjadi fenomena global.19
keprihatinan yang berangkat dari penilaian bahwa
Islam secara umum dan hukum Islam (fikih) secara Atas sanggahan, kritik dan bantahan ter-
khusus sering kali dituduh dan sekaligus digugat sebut di atas, Hallaq pun akhirnya secara halus
sebagai penyebab munculnya image Islam sebagai mengakui bahwa secara dominan, hukum Islam
agama terlalu normatif dan tradisional. Lambannya, memang sudah kehilangan spirit ijtihad. Akan
kalau tidak malah mandegnya, perkembang- tetapi meskipun demikian di sana-sini masih ada
an hukum Islam paska fase kodifikasi14 telah orang yang melakukan ijtihad. 20
memposisikan ketertinggalan fikih Islam jauh di Fenomena dominasi dan stagnasi pemikiran
belakang perkembangan peradaban manusia secara keislaman pada umumnya dan hukum Islam
umum. Isu tertutupnya pintu ijtihad yang sangat khususnya sebagaimana tersebut di atas adalah
mendominasi selama berabad-abad telah benar- realita yang tak terbantahkan. Inilah yang me-
benar menjadikan umat Islam bergantung kepada ngantarkan Islam pada posisi yang sering kali
referensi intelektual abad klasik dan pertengahan bertentangan dengan kenyataan dan kebutuhan
yang dibarengi oleh ketidakmampuannya berdialog kehidupan dunia dan masyarakat kontemporer.
dengan realitas yang senantiasa berkembang.15 Hukum (Islam atau fikih) yang seharusnya, menurut
Wael B. Hallaq, seorang guru besar hukum pendekatan sosiologi hukum, bergerak bersama
Islam McGill University, mencoba mendekonstruksi dengan perkembangan masyarakat, tidak berlaku
secara kritis dan akademik mengenai tidak pada hukum Islam. Piranti kerangka bangunan
matinya tradisi ijtihad di kalangan fuqaha. Hallaq metodologi yang sebenarnya membuka peluang
memaparkan betapa sebenarnya ijtihad masih untuk mendorong pembaruan hukum Islam harus

Edition of the Revised and Updated Work (Leiden & Boston: 16


Wael B. Hallaq, Was the Gate of ljtihad Closed? dalam
Brill, 2009). International Journal of Middle East Studies 16 (1984), h. 3-41. Artikel
14
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin a1-’Aq1 a1-’Arabi, ini adalah bagian dari disertasi Ph.D nya pada Washington
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyah, 1989), terutama University tahun 1983. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani
pada bab 11; Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad…, h. 524.
An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge 17
Sherman A. Jackson, Islamic Law and The State: The
University Press, 1997), h. 1-36. Menurut Hallaq, dominasi empat Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-Qarafi, (Leiden:
mazhab pada masa formatif ini disebabkan oleh kemampuan E. J. Brill, 1996), h. 96. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani
pendiri mazhab ini menawarkan sebuah tatanan yang jelas (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad …., h. 524.
yang menggantikan sistem yang sebelumnya tidak tertata 18
Michel Hoebink, Two Half of the Same Truth: Schacht,
bagus. Pandangan semacam ini sebenarnya dibangun oleh Hallaq, and the Gate of Ijtihad (Amsterdam: Middle East
Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law Research Associates, 1994). dan Tholhatul Choir dan Ahwan
yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Pendapat inilah Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad …,h. 524.
yang nantinya dikriktik oleh Hallaq dalam disertasinya yang 19
Jackson, Islamic Law..., h. 79-96. Bandingkan dengan
menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. dan Tholhatul Taha Jabir al-Alwani, Ijtihad (Herdon, Virginia: IIIT, 1993),
Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihadi..., h. 523. h1m. 17-18. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed), Islam
15
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal..., h. 1-36 dan Progresif dan Ijtihad ….,h. 524.
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.) Islam Progresif dan 20
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif
Yusdani: Usul Fikih dalam Hukum Islam Progresif

tunduk patuh di bawah dominasi ”kesakralan” teks Islam tersebut saat ini mulai marak dilakukan atas
yang diinterpretasi oleh muslim generasi awal dan dasar suatu kesadaran dan kebutuhan akan dua hal:
abad tengah. Oleh karena itu, adalah tepat apa yang pertama adalah untuk merespons secara kreatif dan
disimpulkan bahwa hukum Islam sesungguhnya positif anggapan negatif dunia global yang menilai
masih hidup, tetapi piranti metodologis dan bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa
landasan epistemologinya telah mati. Inilah yang lamban dalam merespon laju zaman sehingga ada
menjadikan hukum Islam stagnan dan tidak berdaya gap yang sangat lebar antara dunia Islam dan
serta kehilangan daya responsifnya ketika berdialog dunia Barat; kedua adalah adanya kesadaran bahwa
dengan realitas yang selalu perkembangan dan salah satu strategi untuk melawan ekstrimisme
menuntut perubahan serta penyesuaian.21 yang senantiasa dituduhkan pada Islam adalah
Sebagaimana telah dikemukakan dalam dengan memberdayakan elemen-elemen dan
paparan di atas bahwa munculnya istilah Islam aspek progresif pada masyarakat muslim dan
progresif, muslim progresif dan ijtihadi progresif menjembatani jurang pemisah antara dunia Islam
sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di dengan lainnya. Dua hal inilah yang menjadi dasar
muka dapat dijelaskan dengan pernyataan bahwa: urgensi edukasi dan sosialisasi Islam progresif.24
The Present generation of Muslims, like the many Barry Desker, direktur IDSS, dan Zainul Abidin
preceding ones, faces the option of reproducing Rasheed, Menteri Luar Negeri Malaysia, sepakat
meaning intended for earlier generations or of bahwa mengangkat, menggali dan mengembangkan
critically and selectively appropiating traditional dimensi progresif Islam ini menjadi suatu keharusan.
understandings to reinterpret the Qur’an as a Bagi Desker, dimensi atau aspek progresif Islam ini
part of the task of reconstructing society.”22 sekalipun sebenarnya bukan barang baru karena
sesungguhnya dalam dunia Islam ada suatu tradisi
Kemudian pada tanggal 7-8 Maret 2006,
yang tidak pernah pudar, yaitu apa yang disebutnya
The Institute of Defence and Strategic Studies
dengan istilah on going drive to reform yang men-
(IDSS) telah menyelenggarakan seminar dengan
tradisi sejak runtuhnya Dinasti Ottoman tahun
tema “Progressive Islam and The State in Contem-
1924. Oleh karena itu kajian dan pengembangan
porary Muslim Societies” di Marina Mandarin
dimensi progresif semacam ini, menurut Rasheed
Singapore. Narasumber pada seminar tersebut
akan menawarkan sebuah pendekatan rasional dan
adalah antara lain Ashgar Ali Engineer, Abdullah
moderat dalam mengelola pola hubungan dunia
Saeed, Syed Hussein Alatas, Ibrahim Abu-Rabi,
luas. Sementara Desker menawarkan strategi reliving
Alparsalan Acikgence Syafi’i Anwar, Julkipli Wadi,
the progressive spirit of the pioneering Muslims,
Chandra Muzaffar dan Syed Farid Alatas. Latar
Rasheed menawarkan konsep re-imagine Islam as
belakang tema seminar tersebut diangkat adalah
civilizational project that carries a cultural heritage
berdasarkan akan kebutuhan (need) terhadap
of both progress and reform.25
kajian dimensi progresif dari kebangkitan umat
Islam. Kebangkitan Islam itu sendiri yang biasa
ditarik ke belakang sejak abad 19 memiliki Kerangka Metodologi fikih Islam Progresif
karakter rational and cosmopolitan approach Secara mendasar uraian tentang latar belakang
dalam mengkaji problematika masyarakat Islam.23 fikih Islam progresif di atas juga mengindikasikan
Kajian dan eksplorasi tentang dimensi progresif mengenai kerangka metodologinya. Akan tetapi
sebelum memaparkan bagaimana kerangka kerja
(theoritcal framework) fikih Islam progresif ini,
21
Khaleed Abou El-Fadhl, Speaking in God’s Name: Islamic
ada baiknya dilihat posisi pemikir muslim progresif
Law, Authority and Women, (Oxford: Oneworld, 2001), h. 171.
dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan dalarn tren pemikiran muslim yang ada saat ini. Di
Ijtihadi ….,h. 525.
22
Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism, (Oxford:
Oneworld, 1997), h. 50. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani 24
IDSS, Progressive Islam and The State..., h. 2. dan Tholhatul
(ed.), Islam Progresif dan Ijtihad…,h. 526. Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad..., h. . 527.
23
IDSS, Progressive Islam and The State..., Laporan Seminar 25
IDSS, Progressive Islam and The State..., h. 2-3. dan Tholhatul
yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihadi...,h. 527.
Maret 2006. dan Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Baca juga Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

dunia Islam kontemporer sekarang ini setidaknya Lebih jauh lagi dalam buku, Islamic Thought,
terdapat enam tren kelompok pemikir muslim Abdullah Saeed menyebutkan enam karakteristik
yang sedang mengemuka saat ini, yaitu: yang paling penting yang dimiliki oleh mereka
1. The Legalist-traditionalist, merupakan aliran yang mengaku dirinya sebagai muslim progresif,
pemikiran Islam yang titik tekannya adalah yaitu:
pada hukum-hukum yang dikembangkan 1. Mereka mengadopsi pandangan bahwa be-
dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra berapa bidang hukum Islam tradisional mem-
modern; butuhkan perubahan dan reformasi substansial
2. The Theological puritans, aliran pemikiran dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan
Islam yang fokus pemikirannya adalah pada masyarakat muslim saat ini.
dimensi etika dan doktrin Islam; 2. Mereka cenderung mendukung perlunya fresh
3. The Political Islamists, aliran pemikiran Islam ijtihad (pemikiran yang segar) dan metodologi
yang kecenderungan pemikirannya adalah baru dalam ijtihad untuk menjawab per-
pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir masalahan-permasalahan kontemporer.
mendirikan negara Islam; 3. Beberapa di antara mereka juga meng-
4. The Islamist Extremists, aliran pemikiran Islam kombinasikan atau mengintegrasikan secara
yang memiliki kecenderungan menggunakan kreatif kesarjanaan Islam tradisional dengan
kekerasan untuk melawan setiap individu dan pemikiran dan pendidikan Barat modern.
kelompok yang dianggapnya sebagai lawan 4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa
baik muslim ataupun non-muslim; dinamika dan perubahan sosial, baik pada
5. The Secular Muslims, aliran pemikiran Islam ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi
yang beranggapan bahwa agama merupakan atau teknologi, harus dapat direfleksikan
urusan pribadi (private matter); dan dalam hukum Islam.
6. The Progressive ijtihadists, yaitu para pemikir 5. Mereka tidak mengikatkan dirinya atau
muslim modern/kontemporer yang berupaya tidak merasa terikat pada dogmatisme atau
menafsir ulang ajaran agama agar bisa mazhab hukum dan teologi tertentu dalam
menjawab kebutuhan masyarakat modern. pendekatan kajiannya.
Pada katagori yang terakhir inilah posisi 6. Mereka lebih meletakkan titik tekan pe-
muslim progresif. 26 mikirannya pada keadilan sosial, keadilan
Kategorisasi tersebut di atas hampir sama gender, HAM dan relasi yang harmonis antara
dengan kategorisasi yang dibuat oleh Tariq Ramadan Muslim dan non-Muslim.29
yang juga membagi tren atau kecenderungan Dalam kesempatan yang lain, yaitu pada
pemikiran Islam dewasa ini menjadi enam kelompok seminar “Progressive Islam and The State in
yang dianggap dapat merepresentasikan perspektif Contemporary Muslim Societies” di Marina Mandarin
Muslim yang terkenal pada abad 20 dan 21, yaitu: Singapore, Abdullah Saeed memberikan kriteria
“Scholastic Traditionalism,” “Salafi Literalism,” yang agak berbeda dengan kriteria di atas, yakni
“Salafi Reformism,” Political Literalist Salafism,” sepuluh kriteria yang lebih bersifat teknis gerakan
“Liberal or Rational Reformism,” “Sufism”.27 Menurut yang membedakan muslim progresif dengan lain-
Tariq Ramadan,posisi atau tren pemikiran muslim nya. Menurutnya, muslim progresif memiliki:
progresif ada pada kelompok Liberal or Rational 1. Menunjukkan rasa nyaman (comfort) ketika
Reformism.28 menafsir ulang atau menerapkan kembali
hukum dan prinsip-prinsip dasar Islam;
2. Berkeyakinan bahwa keadilan gender adalah
26
Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction, (London ditegaskan dalam Islam,
and New York: Routledge, 2006), h. 142-150. Tholhatul Choir dan
3. Berpandangan bahwa semua agama secara
Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihadi.., h. 532.
27
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam, inheren adalah sama dan harus dilindungi
(New York: Oxford University Press, 2004), h. 24-28. Tholhatul
Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif dan Ijtihad…, h. 533.
28
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif 29
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif
Yusdani: Usul Fikih dalam Hukum Islam Progresif

secara konstitusional; pada keadilan, kebaikan dan keindahan haruslah


4. Berpandangan bahwa semua manusia juga ditinggalkan untuk kemudian diganti dengan ke-
setara dan sama; tentuan dan status hukum yang sesuai dengan
5. Berpandangan bahwa keindahan merupa- prinsip universal Islam dengan menggunakan
kan bagian inheren dari tradisi Islam baik pendekatan progressive ijtihadist. Dengan cara
yang ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi seperti inilah Islam dan hukum Islam akan dapat
maupun musik, eksis dan hidup dalam percaturan dunia dan mampu
6. Mendukung kebebasan berbicara, berkeyakin- menjawab persoalan-persoalan kontemporer
an dan berserikat; seperti masalah hak-hak asasi manusia, gender,
7. Menunjukkan kasih sayang pada semua pluralisme dan lain sebagainya.32 Dalam bahasa
makhluk; Omid Safi, apa yang dilakukan oleh muslim
8. Menganggap bahwa hak “orang lain” itu progresif adalah “is not so much an epistemological
ada dan perlu dihargai; rupture from what has come before as a fine-tuning,
9. Memilih sikap moderat dan anti-kekerasan a polishing, a grooming, an editing, a re-emphasizing
dalam menyelesaikan permasalahan ma- of this and a correction of that”.33
syarakatnya; dan Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa
10. Menunjukkan kesukaan dan antusiasnya progressive ijtihadists sebagai kerangka kerja
ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan fikih Islam progresif. Kerangka kerja seperti ini
dengan peran agama dalam tataran publik.30 tidaklah berkehendak untuk menciptakan sebuah
agama atau ajaran baru melainkan mencoba mere-
Dari berbagai kriteria terurai di atas jelas
interpretasi fondasi religius tradisional untuk meng-
menunjukkan bahwa muslim progresif dituntut
akomodasi kehidupan kontemporer, terutama
penguasaannya pada dasar-dasar Islam dan
dalam menjawab isu-isu fikih muslim masa kini.
permasalahan-permasalahan kontemporer untuk
kemudian melalui proses berfikir metodologis
menemukan jawabannya. Karena itulah Abdullah Aplikasi Metodologi Fikih Islam Progresif
Saeed juga rnenyebutnya dengan progressive dalam Praktis
ijtihadist. Dengan begitu, mereka dituntut untuk Dalam tataran praksis, pemikiran fikih Islam
melompat jauh melampaui apologia yang sering progresif dapat dibaca terhadap isu-isu dasar yang
dikumandangkan oleh kaum tradisionalis ataupun menjadi konsennya seperti penegakan syari’ah,
modernis dan juga melampaui batasan-batasan Islam dan demokrasi, posisi kaum perempuan,
yang dicanangkan oleh kaum neo-modernis.31 relasi antaragama, Islam dan Hak Asasi Manusia
Nilai keadilan, kebaikan dan keindahan adalah (HAM ), posisi kaum minoritas. Pandangan fikih
nilai-nilai universal Islam yang menjadi jiwa semua Islam progresif terhadap berbagai isu kemanusiaan
ketentuan-ketentuan hukum. Segenap ketentuan kontemporer ini bertolak belakang dengan
dan status hukum Islam tradisional, termasuk pandangan muslim lainnya seperti telah diuraikan
dalam bidang hukum keluarga yang tidak berpihak di atas. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa
kehadiran dan urgensi fikih Islam progresif dalam
konteks Islam dewasa ini bertujuan merumuskan
30
IDSS, Progressive Islam and The State..., h. 5; Bandingkan
dcngan lima kriteria yang dikemukakan olch Omid Safi, yaitu: seperangkat hukum Islam (fikih) yang dapat menjadi
berkehendak untuk melawan ketidakadilan pada masyarakat referensi alternatif dan solutif untuk terciptanya
di mana muslim berada, menyadari bahwa tidak semua masyarakat yang berkeadilan, menjunjung
yang datang dari Barat itu pasti benar dan menguntungkan,
mendukung pluralisme, memiliki keinginan untuk berhubungan
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, meratanya nuansa
dengan apa yang sifatnya tradisional dalam Islam, dan yang kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya
terakhir adalah mendukung kesetaraan gender. Lihat, Omid kemaslahatan bagi semua. Dengan demikian,
Safi, Progressive Muslims..., h. 9-15; lihat pula Omid Safi, What
suatu rumusan fikih Islam yang sesuai dengan
is Progressive Islam?, dalam The International Institute for the
Study of Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No.13,
Desember 2003, h. 10. Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), 32
Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Progresif
Islam Progresif dan Ijtihad..., h. 535. dan Ijtihad..., h. 535.
31
IDSS, Progressive Islam and The State, h. 15. Tholhatul Choir 33
Omid Safi, Progressive Muslim..., h. 16. Tholhatul Choir
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

kebutuhan kehidupan masyarakat kontemporer dikembangkan di dunia muslim pada umumnya dan
masa kini. Atas dasar itu, dalam pandangan fikih khususnya di Indonesia. Dengan begitu, fikih perlu
Islam progresif, kedudukan semua warga negara diorientasikan pada pemecahan persoalan-persoalan
equal, kaum minoritas dilindungi dan dijamin hak- kemanusiaan yang fundamental dan kebangsaan
haknya secara adil dan setara.34 secara keseluruhan. Agar mampu diarahkan pada
Bertitik-tolak dari kerangka pemikiran, meto- pemecahan problema-problema ini, fikih Islam harus
dologi dan contoh-contoh penerapan fikih Islam terlibat dalam pembaruan sosial dan berangkat
progresif di atas, dapat dikemukakan beberapa dari situasi sosial itu sendiri. Mengadakan refleksi,
pokok pikiran bahwa reformasi hukum Islam (fikih) evaluasi kritis dan dekonstruksi total dalam kajian
yang dilakukan di dunia muslim meliputi ruang fikih memang belum begitu memperoleh perhatian
lingkup yang begitu luas meliputi pembaruan dalam yang serius. Dengan melakukan semua langkah
bidang materi hukum dalam bidang keluarga seperti ini, dimaksudkan sebagai suatu usaha mempelajari
penertiban hukum perkawinan, waris, wasiat, dan struktur sosial, mendalami institusi-institusi sosial
lapangan politik, negara dan pemerintahan, seperti yang ada di dalamnya (seperti institusi ekonomi,
relasi agama dan negara, hak konstitusi warga politik, pendidikan, budaya, dan lain-lain), dan
negara, budaya, gender, HAM dan lain-lain. melihat seberapa besar institusi-institusi itu terlibat
dalam menciptakan ketidakadilan sosial yang men-
Oleh karena itu kehadiran fikih progresif adalah
jadi persoalan bangsa ini.
untuk merumuskan seperangkat hukum Islam yang
dapat menjadi referensi dasar bagi terciptanya Salah satu contoh persoalan yang sedang
masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai- dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini terkait
nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum dengan gagasan di atas selain sedang melemah-
perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan nya ikatan kebangsaan, juga persoalan kian me-
kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan nguatnya eksklusivitas keagamaan yang kontra
bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, multikulturalitas di satu pihak dan melemahnya
dalam fikih Islam progresif adalah suatu rumusan semangat multikulturalitas sebagai daya perekat
baru (tafsir) atas Syari’at Islam yang sesuai dengan ikatan bangsa Indonesia di pihak lain. Bersamaan
kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter dengan itu, situasi bangsa ini ketika di era Orde
genuine kebudayaan (lokalitas, seperti Indonesia), Baru meminjam istilah Samir al-Khalil, telah me-
seperti adanya keharusan menegakkan demokrasi lakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh
dalam nation-state Indonesia. entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain
yang bernama “identitas nasional”, sehingga hal
Konsekuensi dari semua penjelasan di atas
ini telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa
adalah bahwa dalam hukum Islam progresif
ini begitu lemah.35
terutama dalam bidang politik, negara dan
pemerintahan semua warga negara mempunyai Demikian juga kenyataan sosial yang sangat
kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi
yang adil, kaum minoritas dan perempuan telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan
dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara. sektarianisme yang tak terelakkan untuk mem-
Demikian pula dalam bidang hukum keluarga, perebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya,
terutama relasi gender dalam keluarga setara civil society sebagai komunitas politik di mana
dan adil dalam pandangan fikih Islam progresif, masyarakat membagi norma-norma dan nilai-
tidak ada diskriminasi. nilai guna membangun konsensus bersama atas
dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan,
Untuk mengembangkan pemikiran fikih
ternyata demikian rapuh.
Islam yang bervisi kemanusiaan dan kebangsaan
tersebut di atas yang lebih bercorak empiris-historis Pola penyeragaman dalam kehidupan bangsa
sudah saatnya dilakukan refleksi dan evaluasi khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru,
kritis sebagai bagian penting dari pengembangan
metodologi pemikiran Islam terutama fikih yang
35
Hujair AH. Sanaky, Pendidikan Multikulturalisme dan
Budaya Bangsa, dalam UNISIA Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, edisi
Agama dan Teologi Populis Transformatif Oktober-Desember
Yusdani: Usul Fikih dalam Hukum Islam Progresif

telah memandulkan proses kreativitas dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham
emansipasi kesadaran masyarakat. Kemudian, ketika monokulturalitas yang menjadi tekanan utama
keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang
tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik berkarakteristik penyeragaman dalam berbagai
rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu aspek sistem sosial, politik dan budaya. Akhirnya,
muncul pula gerakan penegasan identitas komunal sampai saat ini, wawasan multikulturalitas bangsa
masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan Indonesia masih sangat rendah. Implikasinya,
terutama gerakan fundamentalisme agama. sekarang ini menyebabkan berbagai kekisruhan
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan etnis yang merebak di banyak tempat di wilayah
krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada tentu merupakan bagian dari krisis multidimensi
faktor terpenting yang tidak bisa dielakkan adalah yang dihadapi negara dan bangsa Indonesia sejak
penerapan ajaran-ajaran agama yang cenderung pertengahan tahun 1997.38 Untuk itu, sangat
mengabaikan aspek sosio-kultural dan dinamika dibutuhkan strategi penerjemahan dan penggalian
masyarakat dewasa ini. Munculnya sikap keagamaan nilai-nilai keislaman dalam konteks ke-Indonesiaan
sebagian komunitas penolakan total terhadap tradisi kontemporer. Hal inilah yang menjadi fokus fikih
lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas Islam progresif.
dengan tanpa kemampuan dan strategi dalam
mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan Simpulan
sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya akan Bahwa pemikiran fikih Islam progresif ber-
melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem pijak pada konsep dasar usul fikih dengan me-
dalam beragama.36 ngedepankan konsep contextual based ijtihad
Adalah suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, (progressive ijtihadist) yang bertitik-tolak dari
bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai nilai-nilai dasar Islam yang esensial (maqâshid as-
keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, syarî`ah). Nilai-nilai dasar Islam seperti keadilan,
aspirasi politik dan Iain-lain, sehingga“masyarakat persamaan, kesetaraan, dan lain-lain diterjemahkan
dan bangsa Indonesia seperti ini secara sederhana dan diintegrasikan sedemikian rupa untuk merespon
dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. isu-isu kemanusiaan kontemporer seperti demokrasi,
Kesadaran untuk merawat realitas “multikultural” hak asasi manusia, kesetaraan gender, hak-hak kaum
ini di tengah melemahnya ikatan kebangsaan masa minoritas, hubungan agama dan negara, budaya
kini terkait erat dengan kebutuhan mendesak untuk dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
merekonstruksi kembali multikulturalitas bangsa Atas dasar itu, konsep usul fikih Islam
ini agar menjadi “integrating force” yang dapat progresif tersebut hendak mengembangkan
mengikat seluruh keragaman agama, etnis dan dan menawarkan fikih Islam yang humanis
budaya untuk kehidupan bersama anak bangsa”.37 (antroposentris transformatif) dengan menjunjung
Secara historis kesadaran tentang multi- tinggi nilai-nilai profetik. Dengan usul fikih seperti
kulturalitas sudah muncul sejak negara Republik ini dapat dijadikan titik berangkat diversifikasi dan
Indonesia terbentuk dan digunakan oleh pendiri pengembangan fikih yang bersifat transdisipliner.
bangsa Indonesia untuk “mendesain kebudayaan Dari kerangka pemikiran usul fikih seperti ini
bangsa Indonesia. Karena itulah, bagi bangsa dapat melahirkan fikih dalam berbagai lapangan
Indonesia masa kini konsep multikulturalitas seolah seperti fikih kebangsaan, fikih kebudayaan, fikih
menjadi sebuah konsep baru dan asing. Hal ini lintas agama, fikih politik, fikih kenegaraan, fikih
karena, kesadaran tentang konsep multikulturalitas lingkungan, fikih kebinnekaan, dan lain-lain.
yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini tidak ter-
wujud pada masa Orde Baru. Kesadaran ini Pustaka Acuan
diberangus atas nama kesatuan, persatuan dan AF, Ahmad Gaus, Islam Progresif: Wacana Pasca
Arus Utama (Peta Pemikiran dan Gerakan Islam
36
Hasyim Muzadi, dalam Kompas, 3 September 2002.
MADANIA Vol. 19, No. 1, Juni 2015

Indonesia), dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad:
Nomor 22, September 2007. antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian
al-Alwani, Taha Jabir: Ijtihad. Herdon, Virginia: Ilahi Press, 1998.
IIIT, 1993 Muzadi, Hasyim 2002. dalam Kompas, 3 September
al-Basy, Hasan Mustafa, Huquq al-Insan baina 2002.
al-Falsafah wa al-Adyan, Libya: Jami’iyah al- Nasir, Jamal J.A, The Status of Women under
Da’wah al-Islamiyah al-Alamiyah, 1997 Islamic Law and Modern Islamic Legislation
Choir, Tholhatul dan Ahwan Fanani (ed.), Third Edition of the Revised and Updated
Islam Progresif dan Ijtihadi Progresif dalam Work, Leiden & Boston: Brill, 2009
Pandangan Abdullah Saeed” dalam .Islam Nurlaelawati, Euis, Modernization, Tradition and
dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Identity The Kompilasi Hukum Islam and Legal
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Practice in the Indonesian Religious Courts.
Dahlan, Moh, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Amsterdam: ICAS / Amsterdam University
Gus Dur, Yoyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013. Press, 2010
Esack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism, Nurmila, Nina, Women, Islam and Everyday Life
Oxford: Oneworld, 1997. Renegotiating Polygamy in Indonesia, London
el-Fadhl, Khaleed Abou, Speaking in God’s Name: & New York: Routledge, 2009
Islamic Law, Authority and Women, Oxford: Otto, Jan Michiel (ed), Sharia Incorporated A
One world, 2001 Comparative Overview of the Legal Systems of
Hallaq, Wael B, Was the Gate of ljtihad Closed? Twelve Muslim Countries in Past and Present,
dalam International Journal of Middle East Leiden: Leiden University Press, 2010.
Studies 16, 1984. Qodir, Zuly dkk (ed.), Muhammadiyah Progresif:
Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories: Manifesto Pemikiran Kaum Muda. Yogyakarta:
An Introduction to Sunni Usul al- fikih. Lesfi-JIMM, 2007
Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Rachman, Budhy Munawar, Reorientasi Pembaruan
Hoebink, Michel, Two Half of the Same Truth: Schacht, Islam Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme
Hallaq, and the Gate of Ijtihad. Amsterdam: Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: LSAF
Middle East Research Associates, 1994 dan Paramadina, 2010.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwin a1-’Aq1 a1- Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of
’Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al- Islam. New York: Oxford University Press, 2004.
’Arabiyah, 1989 Saeed, Abdullah, Islamic Thought An Introduction.
Jackson, Sherman A, Islamic Law and The State: London and New York: Routledge, 2006.
The Constitutional Jurisprudence of Shihab Safi, Omid (ed.), Introduction, dalam Progressive
al-Din al-Qarafi. Leiden: E. J. Brill, 1996 Muslims: On Justice, Gender, and Pluralisin,
Kimball, Charles, When Reigion Becomes Evil, United Oxford: Oneworld, 2003.
States: Harper Collins Publishers Inc, 2008 Safi, Omid, What is Progressive Islam?, dalam
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim The International Institute for the Study of
World, Bombay: Tripathi, 1972 Islam in the Modern World (ISIM) News Letter,
Mintarja, Endang, HAM dalam Perspektif Agama Nomor.13, Desember 2003..
dan Filsafat, dalam Tanwir Jurnal Pemikiran Safi, Omid (ed.), Progressive Muslims: On Justice,
Agama & Peradaban, Edisi ke-3, Vol. 1, Gender, and Pluralism, Oxford: One World,
Nomor 3, September 2003, Jakarta: PSAP 2006.
Muhammadiyah, 2003. Sanaky, Hujair AH, Pendidikan Multikulturalisme
Misrawi, Zuhairi dan Novriantoni, Doktrin Islam dan Budaya Bangsa”, dalam UNISIA Jurnal Ilmu-
Progresif: Mamahami Islam sebagai Agama Ilmu Sosial, edisi Agama dan Teologi Populis
Rahmat, Jakarta: LSIP, 2004. Transformatif, Oktober-Desember 2005.
Mu’ammar, M. Arfan, Islam Progresif dan Ijtihad Yusdani, Fiqh Politik Muslim Progresif, Yogyakarta:
Progresif Membaca Gagasan Abdullah Saeed, Kaukaba Dipantara, 2015
dalam Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif,
dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015

You might also like