You are on page 1of 5

METODE IJTIHAD DAN PEMBARUAN UMAR BIN KHATTAB DALAM HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Khalifah Umar dikenal sebagai khalifah yang sangat disiplin dan adil dalam memutuskan
suatu perkara yang dihadapi oleh rakyatnya tanpa melihat latar belakang agama, etnis, ras, dan
warna kulit. Ia tidak memandang apakah itu agama Islam atau Yahudi, ia akan tetap
menyalahkan yang salah meskipun dari golongan Islam dan membenarkan yang benar meskipun
dari golongan Yahudi. Umar juga dikenal sebagai tokoh yang berijtihad dalam mengambil
keputusan. Meskipun pada kejadian tersebut sudah terjadi pada masa Rasul dan telah ditetapkan
keputusannya oleh Rasulullah. Hal ini Khalifah Umar lakukan, untuk kemaslahatan ummat dan
memberikan efek jera pada pelaku kejahatan dan untuk mengurangi pelaku maksiat.
Khalifah Umar melakukan ijtihad menggunakan beberapa metode yang dapat dijadikan
sebagai dasar dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Hal ini perlu dilakukan, karena
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Islam semakin beragam dan kompleks disebabkan
perkembangan zaman yang terjadi semakin cepat. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu
diselesaikan dengan cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kebingungan dalam masyarakat
Islam.
Hasil ijtihad Khalifah Umar memberikan khazanah pengetahuan yang luas dalam agama
Islam yang belum diperoleh pada masa-masa sebelum Khalifah Umar, hal ini menyebabkan
timbulnya pikiran-pikiran dan hukum-hukum baru dari hasil penetapan hukum yang dilakukan
oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Berdasarkan latar belakang tersebut, materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
bagaimana metode ijtihad khalifah Umar bin Khattab dan bagaimana pembaruan yang dilakukan
khalifah Umar bin Khattab
II. Pembahasan
A.      Riwayat Hidup Umar bin Khattab
Umar bin Khattab lahir di kota Mekah pada tahun 513 M.[1] Nama lengkapnya adalah
Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin
‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.[2]   Ibunya bernama Khatamah binti Hasyim bin al
Mughirah al Makhzumiyah.[3] Ia berasal dari bani Adi, salah satu bagian suku Quraisy.
[4] Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada
masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia
menjadi juara gulat di Mekkah.[5]
Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar
mengubur putrinya hidup-hidup.  Kemudian menurut beberapa catatan mengatakan bahwa pada
masa pra-Islam, Umar suka mabuk-mabukan dengan cara meminum anggur. Namun, setelah
menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan
meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.[6] Selain itu, ia juga terbiasa membuat
patung-patung berhala. Yang kadang-kadang ia buat dari gandum dan manisan. Sehingga, ketika
ia lapar, maka ia memakan bagian-bagian dari patung berhala yang ia buat sendiri. [7] Umar
masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun.[8] Adapun penyebab ia masuk Islam adalah
akibat dari lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh adiknya bernama Fatimah
yang menyebabkan hatinya luluh dan ingin segera menemui Rasulullah untuk menyatakan
keIslamannya.[9]
Pada saat menjadi khalifah, ia mendapat gelar amirul mukminin dan al faruq yang artinya
pembeda. Ia adalah khalifah yang sangat sederhana. Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H
Umar Bin Khattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang
Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat
perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu
Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.[10]
B.  Metode Ijtihad Umar bin Khattab
Pada saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, kata-kata musytarak, makna lugas dan
kiasan, adanya pertentangan nash juga makna tekstual dan kontekstual sudah mulai ditemukan di
dalam Alquran.[11]  Selain faktor-faktor tersebut, masih ada lagi beberapa faktor yang
menyebabkan Umar bin Khattab melakukan ijtihad mengenai hukum-hukum islam, diantaranya
adalah faktor militer, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang
semakin heterogennya rakyat negara Islam, dan faktor ekonomi.[12]
Adapun metode yang digunakan oleh Umar bin Khattab dalam melakukan ijtihad adalah
menggunakan metode bi ra’yi. Ar ra’yu secara bahasa adalah pendapat atau pertimbangan.
Sedangkan Ar ra’yu secara istilah, penulis menggunakan pendapat Abdul Wahab Khalaf, yaitu
(Pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang syariat
mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istinbath) terhadap sesuatu
yang tidak ada ketentuannya di dalam nash.[13]

Kemudian menurut Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, ijtihad bi ra’y baru ada jika ada
perbedaan atau pertentangan ‘illat[14]
Adapun kaidah-kaidah umum Umar bin Khattab ra. dalam berijtihad adalah :
1. Berpegang pada nash/teks al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijma’ dan Qiyâs. Maksud ijma’ disini adalah kesepakatan orang-orang yang mengerti
permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya.
Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa Umar,
seperti istilah sadz dzarâi’ danmashlahah. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu
masalah dengan yang lainnya yang serupa.
Adapun contoh qiyas adalah seperti ijtihad beliau tentang zakat ‘urûdh tijârah yang
diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat (bukan dengan unta) diqiyaskan dengan
penerimaan Rasulullah atasjizyah dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3. Maslahah dan Nash. Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan
hukum fikih. Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan
cenderung membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan
menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri
4. Mentarjih salah satu kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak
pada kemaslahatan.
5. Maslahah dan Sadz dzarâi’. Umar memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu
ada proteksi hukum dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari pada maslahah.
Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân. Hal tersebut beliau lakukan setelah melihat
kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawahnya.
Beliau sangat mengkhawatirkan hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah
berhala) secara pelahan dan berproses.
6. Ta’zir. Yaitu hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak
ditentukan Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
7. Qarînah yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya
suami. Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ditafsirkan
maka beliau pun akan memutuskan lain.
8. Lafadz dan Niyat. Artinya ketika seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk
menyindir atau menuduh zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta pendapat
orang-orang disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka ia akan segera
dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit dan berdalih.[15]

C. Pembaruan Hukum Islam Umar bin Khattab


Adapun pembaruan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab pada bidang hukum Islam
adalah :
1.    Umar tidak memotong tangan pencuri[16]
Mengenai kasus ini terdapat dua peristiwa yang penulis akan paparkan pada makalah ini
yaitu peristiwa pencurian cermin milik istri Ubaidillah bin Amr seharga 60 dinar[17]  oleh
budaknya. Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan karena menurtnya budak Ubaidillah
mencuri harta tuannya sendiri. Dan yang kedua pencuri di baitul maal, umar juga tidak
memotong tangannya karena menurut Umar, di dalam baitul mal tersebut terdapat hak pencuri
itu. [18]
Mengenai keputusan Umar ini, Imam Malik dan Syafi'i memandang bahwa apa yang
dilakukan oleh Umar adalah sebuah tahsis atas ayat al Qur'an yang masih muthlaq yang terdapat
dalam lafadz sariq dan sariqah yaitu hukum potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang
memiliki unsur hak atas harta yang dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul Maal dan
Tuannya tidak dihukum potong tangan.[19]

2. Al-Sawafi / Al-Qata’i
Tanah Al-Sawafi adalah tanah yang pada awalnya milik kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik
prajurit Negara atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang yang membantu dalam
distribusi logistik perang.  Maka tanah tersebut diserahkan kepada penguasa atau imam, yang dalam
perkembangannya diberikan kepada orang-orang yang berompeten mengurusnya. Kemudian hasil dari tanah
tersebut dialokasikan  kepada bait al maal setelah dipotong dengan upah pengelola tanah. Karena Umar
memberikan bagian kepada pengelola berdasarkan pemasukan yang diperoleh dari hasil produksi tanah
tersebut. [20]

3. Pembagian Harta Ghanimah (Rampasan Perang)[21]


Pada masa Umar bin Khattab, harta rampasan perang dibagi menjadi dua bagian, yakni
harta yang bergerak seperti unta, kuda, emas, perak dan lain sebagainya dan harta yang tidak
bergerak seperti tanah pertanian. Harta yang dibagikan Umar adalah harta yang bergerak saja
sedangkan harta tak bergerak tidak dibagikan kepada kaum muslimin melainkan disita oleh
Negara dengan dikelola oleh pemiliknya sendiri. Namun, pemiliknya dikenakan pajak.
Kemudian dari hasil pajak tersebut dibagi-bagikan kepada kaum muslimin setelah disisihkan
untuk gaji tentara yang ditugaskan di pos-pos pertahanan seperti Bashrah dan Kufah di Irak, dan
negeri-negeri yang terbebaskan.[22]
 Adapun alasan Umar adalah tanah-tanah pertanian tersebut digunakan untuk membiayai
keperluan para tentara yang bertugas di wilayah-wilayah pendudukan Islam. Selain itu, untuk
mencegah penumpukan harta oleh kaum muslimin. Sehingga yang terjadi adalah adanya
kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak
lain. Sedangkan dalam pandangan Umar, Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya
berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja.[23]  Sehingga menyebabkan orang-orang
yang masuk islam dikemudian hari tidak mendapatkan harta lagi dari rampasan perang itu.
4. Had orang yang minum khamr
Pada zaman Umar menjadi khalifah, peminum khamr dicambuk sebanyak 80 kali,
sedangkan pada zaman Rasul dicambuk sebanyak 40 kali. Pernyataan ini senada dengan hadits
berikut ini.
. َ‫ َو اَرْ بَ ِع ْين‬Qْ‫ْن نَح‬Qِ ‫ َدتَي‬Q‫ َدهُ بِ َج ِر ْي‬Qَ‫ر فَ َجل‬Q َ ‫ ِر‬Q‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُأتِ ِي بِ َرج ٍُل قَ ْد َش‬
َ Q‫ب ْال َخ ْم‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ اَ َّن النَّب‬ ِ ‫ع َْن َأن‬
ٍ ِ‫َس بْنُ َمال‬
ِ ‫ك َر‬
َ
‫ق َعل ْي ِه‬ َّ ‫َأ‬ ُ َ
ٌ َ‫ ُمتف‬.ُ‫ فَ َم َر بِ ِه ُع َمر‬، َ‫ف ال ُح ُدوْ ِد ث َمانوْ ن‬ ْ ‫َأ‬
ُّ ‫ َخ‬: ‫ف‬ ٍ ْ‫من بْنُ عَو‬ ِ ْ‫ َع ْب ُد الرَّح‬  ‫ فَقَا َل‬.‫اس‬ َ ‫قَا َل فَ َعلَهُ َأبُوْ بَك ٍر فَل َّما َكانَ ُع َم ُر ا ْستَ َش َر الن‬
َّ َ ْ
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a.; Bahwasanya Nabi saw dihadapkan kepadanya orang yang
telah minum arak, maka beliau menjilidnya (mencambuknya, menderanya)[24] dengan
dua buah pelepah kurma kira-kira 40 kali, Anas berkata : “Abu Bakarpun
melakukannya.” Maka setelah zaman Umar orang-orang bermusyawarat, dan
Abdurrahman bin Auf berkata : Hukuman-hukuman yang paling ringan itu ialah
delapan puluh dera.” Kemudian Umar memerintahkan hukuman delapan puluh dera itu.
(Muttafaq ‘Alaihi)[25]

Adapun perilaku Umar yang memberikan had hukuman yang bagi pemabuk yang
melebihi dari sunnah Rasul, Ruwai'i menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila
dimaksudkan sebagai takzir, hal ini terkait dengan dhohir atsar yang menyatakan kalau hukuman
itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan begitu penambahan
hukuman hanya bersifat takzir. Hal ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi,
adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya
hukumnya tidak sah. Meskipun demikian Syafi'i langsung menyepakati hukum dera 80 kali.

D.      Tanggapan Penulis
Jika dilihat hasil ijtihad hukum fiqh Umar bin Khattab, maka terkadang berbeda dengan
pada masa Rasulullah. Hal ini dapat difahami karena tingkat kompleskitas dan keberagaman
masyarakat pada masa Rasulullah berbeda pada zaman Umar. Ketika Umar diangkat menjadi
khalifah wilayah islam sudah berkembang dan bertambah luas sampai ke Mesir sehingga
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu lebih beragam dan terkadang
belum terjadi pada masa Rasulullah. Selain itu, dalam memutuskan hukum fiqh, Umar bin
Khattab mengedepankan kemaslahatan ummat dan pertimbangan-pertimbangan yang didasari
berdasarkan kemanusiaan. Maka tidak heran, jika Umar dalam mengambil keputusan yang
berhubungan dengan ilmu fiqh berbeda dengan Rasul. Namun, keputusannya tersebut tidak
melenceng dari ajaran-ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Umar bin Khattab merupakan seorang khalifah yang cerdas dan tegas dalam mengambil
keputusan. Hal ini dapat dilihat dari keputusan hasil ijtihadnya yang terkadang berbeda dengan
yang dilaksanakan oleh Rasul. Sehingga hasil ijtihad Umar bin Khattab dapat dikatakan
pembaruan dalam hukum Islam.
B.       Saran-saran
Penulisan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik
yang sifatnya membangun dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi
menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada makalah ini.

You might also like