2 KINASIH
Cerita ini tidak mengandung konten dewasa, aman
di baca bagi yg sudah bisa baca.ALANA 3
Tentang Kinasih
Kinasih hanya gadis sederhana, mempunyai kisah
hidup yang sedikit luar biasa tapi tidak lebih istimewa dari
wanita lainnya. Banyak yang sudah dia lewati, termasuk
sebuah background kusam kedua orang tuanya yang
bercerai karena cinta memudar. Kinasih tak muluk
mempunyai harapan, dia menutupi banyak kisah muram
dalam dirinya dengan senyum. Tak ada yang mengenal
lebih dalam dari seorang Kinasih selain seorang gadis
berumur 22 tahun, berdarah separuh etnis China, single,
dan mempunyai karir sebagai pengajar di sebuah sekolah
ilmu komputer.
Kinasih tidak ingin jatuh cinta sembarangan tapi
kenyataannya dia tertarik pada sosok serabutan, seorang
pria berumur jauh darinyaseorang duda pula.
Keraguannya akan sosok pria seperti ayahnya yang
meninggalkan ibunya itu membibit di darahnya. Takut
pada masa depan suram yang tak di harapkan.
Mungkin ada hal yang harus duungkap, mungkin
juga ada hal yang harus di raih. Bukan semata jenjang
akademis yang dicapainya dengan gemilang tapi juga sisi4 KINASIH
rentan dari dasar hatinya yang membutuhkan
pertolongan.
Setting sebuah kota di Jawa Tengah, dengan bahasa
yang luwes dan sederhana. Tidak ada si kaya dan si miskin
yang dijodohkan karena hutang piutang, tidak ada juga si
Millyader ganteng, dingin, kejam, sok bossy, hidup lagi,
atau cewe nerd, cerdas, memikat, dan bernasib untung.
Dalam Kinasih ini, hanya ada cerita biasa, dari hidup yang
luar biasa.
Semoga bermanfaat.ALANA 5
"Mbak, numpang payungan!" suara bariton itu
mengagetkan Kinasih yang berdiri di trotoar, menunggu
angkutan kota datang. Sore ini, memang sedang hujan, dan
dia baru saja pulang dari kegiatan mengajarnya di salah
satu sekolah tinggi ilmu komputer, di kotanya.
Karena senggolan pria berambut ikal gondrong
itulah, dia merasa was-was. Jangan-jangan dia mau
berbuat jahat. Pikirnya.
Kinasih tidak bisa menolak, karena pria dengan
postur tinggi itu langsung menyelinap ke sebelahnya.
Untung payungnya cukup lebar untuk ukuran badan
Kinasih yang mungil. Pria itu kasih senyum ramah. Eh,
kayaknya pernah lihat. Kinasih lagi mencari kepastian
sambil memperhatikan mobil angkutan umum yang penuh
melintas di depannya.
“Baru pulang, ya Mbak Kikin.” tanya pria ini, agak
canggung, tapi matanya terus memperhatikan perempuan
dengan tinggi badan yang hanya mencapai pundaknya ini.6 KINASIH
Kinasih harus sampai mendongak untuk mencapai
wajah yang sebetulnya menarik kalau nggak lagi kusam
begitu. Ya, itu jelas kelihatan dari kantong mata yang
menggelap, dan juga rambut yang sepertinya belum di
keramas beberapa hari itu. Tabah! Kinasih mengurut dada.
"Kok, tau nama panggilan rumah saya, ya?" tanya
gadis ini bingung
Kinasih bukannya ge-er, nama panggilan yang
biasanya di pakai di rumah itu, di sebut sama pria ganteng,
tapi kusut ini. Ya, kenapa Kinasih nggak sebut dia cowo
ganteng, malah pria ganteng, memang apa bedanya? Ehm,
itu mungkin dari penerawangannya Kinasih, pria ini
umurnya sudah sekitar tiga puluhan,dan dia bukan type-
type mahasiswa yang suka gangguin dia di kampus.
Mentang-mentang Kinasih mungil, mereka suka mengira
gadis berumur 22 tahun ini mahasiswa juga. Mereka
banyak yang tertipu dengan penampilan Kinasih yang
manis dan ramah. Di kelas dia juga selalu bersikap
layaknya mahasiswa, tidak galak, dan memberi banyak
keringanan. Alhasil, banyak mahasiswa cowonya yang
menganggap Kinasih ini teman.
Kinasih agak merengut sebentar untuk mengingat
lagi pria di sebelahnya.
"Mbak Kikin nggak ngenalin saya?" alis pria ini agak
nyureng nunjukin kesan manly di wajahnya. Astaga,
Kinasih harus ternganga sebentar, tapi akhirnya melengosALANA 7
halus. Wajah mulusnya tertutup helai rambut sebahunya.
Kenapa agak deg degan ya.
"Saya lupa, Pak! Apa kita..."
"Saya tinggal di depan Mbak Kikin. Pintu kost
nomer 43." jawabnya lancar.
Kinasih menutup mulutnya dengan tangan. Masa
sih? Batinnya bertanya sendiri. Jadi pria ini tetangga
kostnya. Kenapa nggak sampai tau ya.
"Saya emang jarang di tempat, karena sering
bepergian, jadi wajar kalau Mbak nggak kenal saya yang
emang baru satu minggu tinggal di depan Mbak, tapi saya
pernah lihat Mbak, kok, dan sempet tau juga kalau Bu
Arum yang punya kost manggil Mbak, dengan sebutan
Kikin." Jelasnya, dengan bibir yang menghitam. Pria ini,
perokok berat, kayaknya. Kinasih menebak dengan akurat.
Memang seperti itulah, mungkin tampang-tampang pria
yang agak serabutan dengan gayanya ini. Aduh, mana
pakai ditindik segala itu kuping dan giwangnya itu, loh
yang bikin geli, bentuk hati. Masa pria beginian pakai
giwang cinta. Harus ketawa atau ngeri, ya?
"Mbak!" tepuk si pria, ke pundaknya.
"ly..iya, itu makanya saya bingung, soalnya saya
pikir kostan di depan saya masih kosong, ternyata Bapak
yang ngisi.”8 KINASIH
"Eh, nama saya Suharno, tapi panggil aja Harno,
jangan manggil Pak, saya belum tua." Dia ngajak Kinasih
salaman, dan sebagai manusia ramah, Kinasih menyambut
uluran tangan pria ini. Mereka saling menjabat sebentar.
Kinasih nyengir grogi.
"Ya udah mbak ya, saya duluan dulu. Itu bus saya
sudah datang!" pria itu berlari menembus hujan yang
sudah tidak terlalu deras lagi. Kinasih masih termangu,
bingung harus bagaimana dengan kesan yang baru saja dia
rasakan. Ya, kemana saja dia ini sampai tidak tau punya
tetangga kost baru.
Namanya jadul banget. Suharno. Nama _pakai
awalan Su itu, kan nama-nama yang sering di pakai kakek
neneknya dulu. Masa, orang tua dia masih menamakan
anaknya pakai nama Su.
Hujan memang sudah berhenti, tapi dinginnya
masih menemani Kinasih yang baru saja menaruh
payungnya di bangku kayu, di depan kostannya. Bangku
yang biasa di pakai duduk dan ngobrol dengan tetangga
kost lainnya itu, di geser agak merapat ke temboknya.
Biasanya Merrie, tetangga yang kamarnya pas di samping
kamar no. 43 itu yang suka meraat property kost di sekitar
hunian mereka. Hm, kenapa jadi concern ke nomer 43 ya.
Matanya jelas-jelas sedang menatap ke sana, tapi
kemudian buru-buru dia merogoh kunci dari dalam tas.
"Tante!" mendadak suara itu mengagetkan Kinasih.
Demi Tuhan, hari ini dia jantungan terus.ALANA 9
Seorang bocah perempuan dengan baju basah
kuyup itu berdiri di sampingnya. Astaga! Kinasih langsung
memutar badannya_ supaya bisa lebih _jelas
memperhatikan bocah yang menggigil kedinginan itu.
"Tante, kenal Bapak saya nggak?" tanyanya, sambil
menatap penuh harap. Datang-datang nanyain bapaknya,
memangnya Kinasih sudah ngumpetin bapaknya apa.
"Bapak kamu siapa? Memangnya tinggal di sini?"
tanya Kinasih sedikit ragu.
"Bapak saya wartawan, namanya Suharno Bastian.
Ini alamat yang saya tau."
Kinasih kaget juga, waktu bocah ini bilang, kalau
nama bapaknya itu Suharno Bastian. Apa pria yang tadi
ketemu di jalan itu, bapak bocah perempuan ini. Pria
dekil,kumel tapi manis itu.
"Saya bawa alamat ini Tante." Bocah itu
menyodorkan secarik kertas yang sudah lecek, plus basah
dengan tulisan acak-acakan yang menyebutkan alamat ini.
Ya, memang bener, sih ini alamatnya.
"Dek, kamu sama siapa ke sini?" tanya Kinasih
sambil celingukan ke sana sini mencari siapa tau ada
orang yang nganterin bocah ini ke sini.
"Sendiri, Tante." jawabnya, lalu duduk di bangku
kayu, memandangi Kinasih, "Tante, kenal, kan sama Bapak
saya."10 KINASIH
"“Eum, ya nggak terlalu kenal sih, tapi kalau memang
yang di bilang itu namanya Suharno, Tante tau. Dia tinggal
di depan tuh. Pintu itu kan nomer 43, di situ yang tinggal
namanya Suharno. Tapi kayaknya, dia nggak ada, deh
sekarang." jelas Kinasih, merasa kasihan sama bocah yang
badannya kedinginan itu.
“Ke mana, ya, Tante. Padahal, Yoan pengen banget
ketemu Bapak. Yoan kangen.” Wajahnya tambah murung,
ditingkahi hawa dingin yang semakin membuatnya pucat.
"Eh, mendingan kamu masuk dulu yuk ke kamar
Tante." Loh, kok jadinya dipanggil Tante mau aja. Kinasih
kan masih 22 tahun. Belum tua. Apa iya, kualat gara-gara
nyebut bapak bocah ini dengan sebutan ‘Pak’.
"lya, Tante. Yoan kedinginan." ujarnya.
Kinasih membuka pintu dan segera_ mencari
handuk untuk mengeringkan badan si bocah ini. "Kamu
berani amat nyari bapak kamu sampai ke sini. Memangnya
Bapak kamu nggak pernah pulang?"
Yoan menggeleng. Dasar Bapak tidak bertanggung
jawab. Maki Kinasih dalam hati.
“Bapak sama Mama udah cerai, Tante.”
"Ow!" akhirnya Kinasih meralat makiannya. Pantas
saja, kalau memang sudah bercerai. Yasmau bagaimana
lagi-ALANA 11
"Ganti bajunya ya, pake celana pendek Tante nih,
tapi kayaknya agak kegedean." Kinasih agak ragu
memberikan pakaian dia yang mungkin akan kedodoran
di pakai sama bocah perempuan berambut serupa
dengannya ini. Ya, dia mempunyai dagu runcing dan
bentuk wajah yang sama. Kalau di sandingkan, mereka
pasti dibilang ibu dan anak, tapi kan Kinasih masih
perawan. Dia nggak mau di bilang sudah punya anak.
“Tante, muat, kok!" Bocah itu sudah memakainya,
dan memang muat, meski agak kepanjangan. Celana itu,
kan celana hot pan yang dikasih Rita seminggu lalu.
Katanya, buat Kinasih yang mungil, lebih pantes pakai
yang pendek-pendek, supaya nggak tenggelam, dan
bentuk kakinya bisa kelihatan, sedikit membuat kesan
agar posturnya agak tinggi. Semua teman-temannya selalu
meledek Kinasih pendek, padahal nggak pendek-pendek
amat, sih. Tingginya itu 160 senti, ideal sama berat
tubuhnya yang 45 kg.
"Ya, sukur, deh kalau muat. Kaosnya juga muat, ya,
kayaknya.”
“Tante untung punya kaos-kaos sempit."
“Bukan, Sayang. Itu bukan kaos sempit. Tante masih
muat, kok."
"Badan Tante seminil, jadinya kaosnya hampir
sama kayak kaos Yoan di rumah."12 KINASIH
“Hehe, seminil” Kekeh Yoan, geli.
Ngomong-ngomong masalah rumah, di mana rumah
bocah ini. "Eh, Dek, rumah kamu di mana?" tanya Kinasih
sambil mengambil mie instan dari dalam _lemari
makannya. Kamar kostnya ini simple sekali ya, tata
ruangnya tidak rumit. Kalau boleh dibilang ini super
minimalis,hanya satu petak, dan satu buah ruangan
tambahan yang berfungsi untuk mandi. Mungkin tepatnya
di bilang kamar mandi darurat. Di situ hanya ada satu
kran, dan satu ember, plus WC conventional. Biasalah
standart Indonesia. Jongkok. Di sampingnya ada semacam
meja beton, yang dipakai Kinasih untuk menaruh kompor
dan bumbu-bumbu dapur. Sangat sederhana, dan ruangan
tambahan itu di pisahkan oleh sebuah pintu kayu yang
bisa dikunci pakai gembok. Sampai sekarang Kinasih
masih mikir, sebenarnya kenapa pintu itu harus dikasih
kunci model gembok.
“Rumah Yoan jauh Tante, di pinggiran, jalan raya ke
arah Jogyakarta."
"Di daerah Kartosuro?" tebak Kinasih.
"lya, Tante." jawabnya
“Kamu laper, kan. Tante bikinin mie rebus ya, biar
badannya hangat.”
"Makasih Tante, tapi Bapak pulangnya kapan ya?
Yoan udah kangen banget sama Bapak."ALANA 13
Kinasih menghela nafas. Kalau untuk alasan yang
satu itu nggak tau juga ya, kapan pria bernama klasik
berbendera slankers itu pulang. Mereka tidak terlalu
kenal, jadi tidak punya kontak yang bisa dihubungi.
Kenapa juga Kinasih harus menghubungkan
penampilan Suharno sama group musik kesayangan itu.
"Tante!" panggil Yoan mengagetkan.
"Apa?"
"Kapan Bapak pulang?"
Gadis ini menggeleng, sambil memasukkan mie
instan itu ke dalam air yang sudah mendidih di atas
kompor. Yoan rebahan di atas kasur yang di kasih sprei
warna kuning sama Kinasih. Baru aja tadi pagi dia
menggantinya. Jadi, masih rapi.
“Tante, tinggal sendirian di sini?"
"Iya." jawab Kinasih singkat
“Yoan nggak papa kan tiduran di sini,kan?”
“Iya nggak papa."
"Bapak lama amat sih!" keluhnya lagi
"Di tungguin aja, mudah-mudahan cepet
pulang." Bocah itu mengangguk.14 KINASIH
Kinasih menuangkan bumbu mie instan itu ke
dalam mangkok, sambil kemudian, mengaduk mie yang
sudah hampir jadi di dalam panci. Airnya bergolak
menghangatkan telapak tangannya. Bocah itu
mengingatkan Kinasih pada dirinya sendiri. Bapak dan
ibunya dulu juga bercerai saat Kinasih kelas lima SD. Tidak
beda jauhlah suasana hatinya kayak Yoan. Merindukan
Bapak yang nggak pernah pulang.
"Kalau Mama tau, Yoan pasti di marahin." ucap
bocah itu tiba-tiba
"Jadi Yoan nggak bilang sama Mama kalau mau ke
sini?"
"Nggak akan dikasih ijin Tante.”
"Kenapa?”
Yoan hanya mendengus. Bocah itu pasti punya
pengalaman buruk tentang hubungan Bapak dan
Mamanya yang tidak harmonis, sampai tidak mau
menjelaskan apapun.
"Yoan, makan dulu, mie nya sudah jadi." Kinasih
menuangkan mie ke dalam mangkok, dan menaruhnya di
atas meja. Gadis kecil itu bangkit dari kasur dan duduk
menghadapi mie rebus tanpa bumbu pedas itu.
"Makasih, Tante udah repot." wajahnya cerah
melihat mie instan hangat ituALANA 15
Kinasih mengangguk. Bocah itu cerdas, di lihat dari
caranya berinteraksi dengan orang asing yang baru
ditemuianya dia tidak sungkan dan canggung, bisa
berbicara lugas dan jelas tanpa ragu. Beruntung yang dia
temui Kinasih, coba kalo Aryo atau Rita yang kebetulan
tinggal di sebelah Kinasih, pasti sudah dicuekin, atau
malah di laporin ke RT.
“Pelan-pelan makannnya ya, masih panas!" Kinasih
duduk menemani bocah itu sambil memperhatikan raut
mukanya. Dia lupa bagaimana wajahnya Suharno itu, jadi
tidak bisa memastikan apakah mirip atau tidak. Kasihan,
sampai kangen begini sama bapaknya.
"“Bapak itu wartawan atau jurnalis gitu, Tante. Dia
emang jarang di rumah. Bepergian melulu. Paling Yoan
ketemuan sama Bapak tuh sebulan dua kali atau paling
banyak tiga kali.”
"“Memangnya begitu ya, kerjaannya wartawan, suka
ninggalin anaknya sampe kangen begini.” canda Kinasih.
"Hehe, iya kali. Yoan nggak ngerti Tante." jawab
Yoan datar, sambil terus nyeruput mie instannya. "Tante
nggak makan?"
"Nggak, udah kenyang. Tadi, Tante udah makan di
kampus.”
“Tante masih kuliah?"16 KINASIH
"Nggak, Tante dosen magang. Masih tahap jadi
dosen beneran. Kamu umurnya berapa tahun?"
"Yoan umur delapan tahun. Sudah kelas tiga
sekarang." Jawabnya, lengkap.
"Mama kamu kerja?" selidik Kinasih lagi
"Iya. Mereka dua-duanya kerja, dan Yoan tinggal
sama Mbak Titin."
"Siapa itu? pembantu?"
Yoan ngangguk. "Mbak Titin pasti dimarahin Mama
sekarang, soalnya pas dia jemput sekolah tadi, nggak
nemuin Yoan di sekolah."
Sekarang Kinasih baru sadar, kalau bocah ini
ternyata kabur dari rumah. Astaga! Gimana ini? Jangan-
jangan nanti dia dituduh nyulik anak orang lagi. Duh
Suharno, kenapa ngga pulang-pulang ya. Kelakuan kayak
Bang Toyib gini gimana nggak mau anaknya kangen.
"Tante mienya udah abis. Yoan boleh tiduran lagi
nggak di kasur?"
"Boleh, asal nggak mual aja sih. Kan abis makan,
takutnya perut kamu nggak nyaman."
"Tenang aja Tante, Yoan udah biasa."
"Ow, ya udah, deh! Tante mau mandi dulu ya. Kamu
di sini aja, jangan ke mana-mana, tungguin Bapak kamu.ALANA 17
Dari sini keliatan, kok, ke sana." sambil nunjuk kamar kost
yang letaknya di pisahkan lapangan badminton.
Bocah itu mengangguk, terus numpangin kepalanya
di bantal. Badannya miring ke arah kamar kost itu sambil
terus berharap bapaknya cepat pulang.
Kira-kira sepuluh menit, Kinasih mandi, lalu
menemui Yoan sudah tertidur pulas. Mungkin kecapekan.
Kasihan.
Jam delapan malam, Kinasih membuka laptop
sambil mempelajari materi yang akan dia sampaikan
besok ke mahasiswanya, dan hujan turun lagi. Gadis ini
bergerak untuk menutup jendela dulu, karena udaranya
cukup dingin. Dilihatnya Yoan masih tidur, dan dia tidak
mau mengganggunya. Mungin ibunya di luar sana sudah
sibuk dengan para polisi untuk mencari anaknya ini. Ya,
apa boleh buar, Kinasih tidak bermaksud jahat
menyembunyikan Yoan. Bocah itu yang datang sendiri ke
sini, untuk mencari bapaknya.
Baru beberapa detik dia fokus pada layar laptop,
sebuah suara derungan motor terdengar berhenti di
depan kamar kostnya. Cepat-cepat dia melongok dan
mencari tahu orang tersebut. Motor RX-King dengan
pengendara seorang pria berjaket coklat itu tengah
melepaskan helm hitamnya dengan buru-buru.
"SUHARNO!" sebut Kinasih senang. £hm,
maksudnya senang karena akhirnya bapaknya bocah ini18 KINASIH
datang juga. Tangannya membuka knop pintu dengan
cepat.
Suharno yang masih sibuk melepas sepatu itu, tidak
menyadari kalau Kinasih mencoba memanggilnya dengan
berbagai bahasa tubuh yang berserakan, diantara suara
hujan yang meramaikan genteng asbes mereka.
"Pak!" eh, salah. “Bapaknya Yoan!” Apa ya. " MAS!"
akhirnya Kinasih memutuskan untuk menyebut Mas
ketimbang Pak. Itu lebih manusiawi untuk pria seumuran
Suharno.
Pria itu masih tidak mendengar. Apa kupingnya
ketutupan rambut gondrongnya itu ya. Kinasih berjingkat-
jingkat agak mendekat tapi tidak yang sampai harus
kehujanan. Dia melambai dengan tangan kanannya. "MAS
SUHARNO!" panggilnya keras, dan barulah pria itu
menoleh.
"HI!" sapa pria itu ganti sambil melambai juga. Duh,
apa-apaan sih orang itu!
Gimana cara menyampaikannya, ya. Masa harus
berteriak kalau anaknya ada di kamar Kinasih.
Pria itu masih menunggu. Akhirnya Kinasih
mengambil payungnya dan menggunakannya untuk
mendekati pria itu. Mereka sempat saling mencuri
pandang sesaat sebelum Kinasih sampai di depan pria
yang sudah melepaskan jaketnya itu. Bau keringat
bercampur minyak wangi membuat Kinasih harusALANA 19
maklum. Pria ini duda. Tegasnya, tapi apa hubungannya
bau keringat sama duda. Agh, sudahlah! Kinasih di buat
mumet sama parfum wartawan kumel ini.
"Ada apa, Mbak, kok kayaknya emergency gini,
sampai harus nyamperin saya pakai payung." ucapnya
bingung, dia menaruh sarung tangannya di atas kusen
pintu.
"Eum, Mas..."
"Nggak manggil Pak lagi." Ledeknya. Kinasih hanya
nyengir.
"Itu di kamar saya ada anak perempuan, katanya
nyari Bapaknya. Namanya Yoan. Apa Mas ini, bapaknya?"
Kinasih agak lucu sama pertanyaannya sendiri. Dia
ini wanita berpendidikan, dosen juga, tapi tidak punya
susunan kalimat tanya formal yang bermutu.
Tapi, pria itu langsung berlari ke arah kamar
Kinasih tanpa basa-basi. Bahkan, menerjang hujan seperti
merenangi lautan.
"Mas Harno!" panggil Kinasih. Sikap pria itu sudah
membuktikan bahwa antara Suharno dan Yoan memang
ada hubungan. Kinasih lega, akhirnya semua ini harus
berakhir.
Pria bernama Suharno itu sedikit basah setelah
melewati jutaan kaki-kaki hujan di lapangan badminton20 KINASIH
tadi, mana tidak pakai sandal, kakinya nyeker dan basah,
tapi dia tampak terharu dengan tubuh Yoan yang tergolek
pulas di atas kasur. O so sweet, akhirnya Bang Toyib
ketemu sama anaknya lagi. Tatapan matanya yang sendu
itu, loh yang bikin Kinasih terharu.
"Kapan dia datang, Mbak?" suaranya agak serak,
menahan perasaan kangennya-mungkin.
"Tadi sore, pas saya baru pulang.” jawab Kinasih
sambil menaruh payungnya di bangku lagi.
“Apa dia bilang kalau ke sini itu sudah minta ijin
mamanya atau belum?"
Kinasih mengangguk, "Katanya dia nggak bilang
mamanya."
“Tck!" Cuma itu yang dikeluarkan dari mulut si
Suharno ini. Bibir bawahnya menggantung, membuat
kesan mencelos di dalam hatinya.
"Dia sudah makan, terus saya tinggalin mandi, tau-
tau udah tidur." jelas Kinasih.
"Ya, makasih udah ngerepotin, Mbak." ucapnya
serba salah.
Pria ini kelihatan bingung, karena_ sesekali
melarikan jemari tangannya menyisir rambutALANA 21
gondrongnya yang sekarang lengkap sudah; antara bau
tengik, dan basah.
Ada sedikit senyum di bibir Kinasih waktu
menyadari sebenarnya sejak tadi dia itu sedang mencari-
cari hal menarik dari pria yang duduk di bangku sambil
memandangi anak perempuannya itu tidur.
"Saya mau gendong dia ke kamar saya,supaya Mbak
Kikin bisa istirahat." Ujarnya
"Masih hujan Mas, kasihan!"
“lya ya." ucapnya sambil menengok hujan di luar
sana.
Kinasih berjalan ke arah meja dapurnya, kemudian
membuat secangkir kopi untuk Suharno. Saat kembali,
Kinasih menemui pria itu sedang menatap ke arah layar
laptopnya yang terbuka.
"Oh maaf, nggak sengaja." omongnya sambil
menghadapi Kinasih.
"Nggak apa-apa. Ini kopinya, Mas!"
"Kenapa harus repot ,sih, Mbak."
“Cuma kopi."
"Anak saya udah ngerepotin, saya akhirnya
ngerepotin juga.”22 KINASIH
Kinasih menggeleng. "Dia lucu." menunjuk Yoan
dengan dagu.
"Dia ini sebenarnya anak yang cerdas, cuma aja
mamanya itu-" omongan pria ini harus terhenti, karena
sepertinya ada semacam hal keramat dalam hubungan
rumah tangga yang tidak bisa dia ungkapkan di depan
Kinasih. Well, Kinasih pun tidak akan memaksa masuk ke
ranah terlarang itu
"Di minum dulu, Mas, kopinya." suruh Kinasih lagi,
sambil duduk di pinggiran tempat tidur. Mereka
berhadapan dengan jarak satu panjang kaki.
Suharno menyeruput kopi hitam yang disediakan
Kinasih, kemudian ditaruh lagi di meja.
"Saya terlalu sibuk sama pekerjaan saya, sampai
lupa nengokin Yoan."
Kinasih mengangguk, terus menoleh ke arah Yoan.
Dia sendiri gugup karena harus berhadapan dengan
Suharno.
Pria itu kemudian berdiri. "Saya mau mandi dulu
Mbak, nanti kalau dia bangun, suruh ke kamar saya aja!"
pesannya sambil jalan ke arah pintu. Kinasih ikut berdiri
dan meremas tangannya sendiri, saking gugupnya.
"Iya." jawabnya singkat, dan Suharno langsung
berlari lagi menembusi hujan. Tubuh bongsornya itu
kelihatan seperti jerapah yang kebelet buang air besar. YaALANA 23
ampun! Kinasih memejamkan mata mengusir pikiran
konyolnya.
Gadis ini tidak menutup pintu dan membiarkan
hawa dingin itu masuk. Malam ini entah kenapa dia,
sangat menikmati hujan ini. Suaranya lebih merdu dari
suara hujan-hujan sebelum malam ini.
Untuk beberapa menit, dia berkecimpung lagi
dengan kegiatan awalnya dengan materi ajarannya.
Kinasih juga mendengarkan musik menggunakan
earphone-nya. Suasana ini sangat mendukung, dan hatinya
nyaman, meski tidak terlalu tenang. Kenangan masa
lalunya begitu rumit, sampai dia harus mengalami masa-
masa sulit ini.
Rumah ini, yang dia hanya tinggali sepersekian
meternya saja, merupakan rumah peninggalan Bapaknya,
dan Bu Arum pemilik kost ini, sebenarnya adalah ibu
tirinya. Sedikit yang tahu semua itu, karena memang
Kinasih tidak pernah membeberkannya. Paling yang sudah
tinggal lama di sini saja yang tahu tentang dia. Bu Arum itu
menikahi Bapak Kinasih saat dia duduk dibangku SMP.
Kinasih punya adik tiri perempuan bernama, Anita yang
sekarang masih kuliah. Mereka juga jarang bicara, dan
bagi Kinasih itu bukan masalah. Sejak Bapaknya
meninggal hubungan mereka semakin renggang. Menyapa
ibu tirinya hanya untuk formalitas saja. Apa boleh buat.
Ya, kenapa Kinasih tidak menuntut haknya atas
rumah bapaknya ini? Itu yang menjadi pertanyaan, tapi24 KINASIH
bukan menjadi beban pikiran. Dia sudah merelakan
semuanya. Kinasih bukan orang yang serakah, karena
pada dasarnya, dia tidak menginginkan semua itu. dia
cukup senang bisa tinggal di salah satu kamar kost ini
tanpa harus membayar sewa bulanannya. Dia bisa
menempuh jenjang pendidikan, hingga lulus dengan biaya
asuransi pendidikan yang diberikan bapaknya dulu. Ini
sudah cukup baginya.
Bu Arum itu tidak jahat seperi ibu tiri yang sering
diceritakan. Dia hanya wanita berumur 52 tahun,
bertubuh sedikit berisi dan pintar memasak. Wajahnya
putih dan mulus, dulunya dia sinden dan bersuara bagus.
Sangat merdu, dan sesekali juga masih sering
menyanyikan beberapa lagu favoritnya. Penghuni kost
yang menempati area di samping rumah besar ini sering
mendengar, dan menikmati suara merdu Bu Arum kalau
sedang berkarouke-ria.
"Mbak!" Kinasih masih belum sadar namanya di
panggil dari depan pintu. Suharno sudah berdiri di sana
dengan penampilan beda.
Dia masuk, dan menepuk pundak Kinasih, dan
barulah gadis itu mengangkat dagu, mendongak pada si
wartawan yang menjulang di sampingnya. Earphone itu
dilepaskan dari kuping Kinasih, kemudian berdiri karena
takjub atau entahlah-
Apa mungkin karena pria ini habis mandi, jadi ada
aroma segar yang menguar dari badannya yangALANA 25
terbungkus kaos putih bersablon metamorfosis ulat keket
itu. Wajahnya juga tambah ganteng, dengan rambut yang
terkucir. Kok, jantung Kinasih tambah berantakan ya
detaknya. Bibirnya nggak sempat ngomong apa-apa, tapi
alisnya itu seperti merintih mewakili jeritan-jeritan liar
dari dasar hatinya. Kinasih terpesona begitu saja, dengan
kesan kedua si wartawan yang tadi dia bilang dekil and the
kumel itu.
Suharno ganteng. Nyengir frustasi.
Suharno menggendong Yoan, tanpa_ kesulitan.
Tubuh kecil itu meringkuk dalam dekapan bapaknya yang
hangat. Otot-otot tangannya tampak menonjol dan
membuat senyum Kinasih merebak. Kelihatannya perkasa
sekali. Bayangan rasa nyaman dalam dekapan itu
menghantui Kinasih yang kemudian nyengir lagi.
"Biar saya payungin Mas!" ujarnya menawarkan
"Udah nggak hujan lagi, kok!"
"Masa sih?" Kinasih berjalan keluar kamar untuk
memastikan. Memang tidak hujan lagi-kecewa? Mendadak
dia bersirobok dengan tatapan seorang wanita yang
menoleh ke arahnya secara reflek. Wanita itu tidak pernah
di lihatnya sebelum ini. Apa penghuni kost baru?
"Mas Harno!" sebut wanita itu sambil berjalan
mendekat.26 KINASIH
Kinasih menoleh ke belakang, dan mendapati
Suharno sudah berada di sana sambil menggendong Yoan,
sedangkan wanita itu kian dekat dengan wajah yang
disulut api dari neraka. Tampak membara dan
mengerikan. Setelah jarak mereka dekat, terlihatlah wajah
yang ternyata cantik itu, dan yang membuat kuping
Kinasih gatel adalah dia memanggil Suharno dengan
sebutan Mas juga. Apa dia ini.
"Jadi kamu ngumpetin Yoan di kamar pacar kamu!"
tuduhnya mematahkan keramahan yang di pasang Kinasih
barusan. Mukanya langsung pias menghadapi Suharno dan
wanita itu yang saling melontarkan tentakel amukan lewat
matanya.
Jadi dia mantan istrinya Suharno. Cantik, sexy,
berkelas. Kelihatan sekali dari penampilannya. Bajunya itu
bagus dan sepertinya memang mahal. Agh, Kinasih nggak
punya spec untuk level baju yang dibilang bagus.
Sebenarnya, baju murah pun bisa di bilang bagus, kan.
"Rin, Yoan ini datang sendiri ke sini. Aku nggak
nyulik dia, tau nggak!" jelas Suharno dengan nada tenang,
kemudian menoleh ke arah Kinasih yang berdiri serba
salah. Dia ingin masuk meninggalkan dua orang ini bicara,
tapi suara Suharno mencegahnya.
"Maaf ya Mbak, dia nggak tau apa-apa.”
"Halah, pake basa-basi! Ngomong aja terus terang
kalo dia ini pacar kamu, nggak usah sungkan, aku jugaALANA 27
nggak perduli!" ketusnya, dan Kinasih mengurut dada.
Sayang banget, penampilan anggun, tapi kelakuan
ragunan.
"Rina, please ayo bicara di kamarku aja!"
"Nggak mau! Aku ke sini mau jemput Yoana.
Sekarang bawa dia ke mobil. Aku nggak sudi lama-lama di
tempat kumuh ini!" ucapnya.
Suharno hanya menghela nafas, sambil kemudian
berjalan mengikuti wanita itu.
"Sebentar ya, Mbak!" omongnya seolah-olah punya
hutang penjelasan pada Kinasih. Gadis ini hanya kasih
senyum untuk memberi semangat. Mantan istri galaknya
minta ampun, pantas aja dicerai.
Tanpa ambil pusing Kinasih akhirnya berjalan
masuk ke kamarnya, tapi mendadak dia mendengar suara
jeritan Yoan.
"YOAN NGGAK MAU PULANG SAMA MAMA~!"
kepala Kinasih melongok lagi, dan mendapati Yoan sudah
terlepas dari gendongan bapaknya, menantang keras
ibunya dengan wajah geram. "YOAN KANGEN BAPAK.
YOAN MAU TINGGAL SAMA BAPAK!" sambungnya
"YOAN!" bentak sang ibu tanpa rasa sungkan.
“Rina, jangan membentak Yoan!"28 KINASIH
“Kamu selalu memanjakan Yoan sampai dia harus
begini."
"Rin, wajar jika dia kangen sama Bapaknya, kan."
"Mas, kamu nggak nyadar ya kalau kamu tuh-"
"RIN!" hardik Suharno seketika. "Jaga omonganmu
di depan Yoan." ucapnya lagi, dan wanita bernama Rina itu
menarik jatah oksigennya.
"Yoan, Mama sudah nyariin kamu dari tadi, tau
nggak?"
"Yoan pengen sama Bapak. Mama sih nggak bisa
ngerasain Yoan kangen, Yoan pengen ngobrol lagi sama
Bapak." isaknya kemudian,tapi Suharno berjongkok.
Kinasih terenyuh pada adegan itu. Suharno sudah
menunjukkan sikap yang benar di depan anaknya. Dia
terlihat sekali sangat mencintai anak perempuannya itu.
Rumit.
"Yoan pulang ya, sama Mama. Bapak janji besok ke
rumah, dan kita bisa ngobrol." jelas pria itu dengan sabar,
mengelus rambut Yoan dan memberikan senyum. Pantas
saja Yoan jadi kangen sama Bapaknya. Mungkin karena
sosoknya itu begitu hangat dan penuh kasih sayang.
"Yoan pengen sekarang.”ALANA 29
"Yoan, Mama udah capek ini. Mendingan kita
pulang, dan tidur. Besok Mama ada urusan penting, kamu
bisa ngertiin Mama nggak sih?"
"Yoan ngerti Ma, tapi Yoan kangen Bapak. Biarin
Yoan bobok sini sama Bapak, trus besok Yoan pulang."
“Yoan, besok pagi Bapak harus pergi pagi-pagi juga,
dan mungkin nggak sempet nganter Yoan." jelas Suharno
lagi
Duh! Kinasih nyesek juga mendengarnya. Kenapa
sih, mereka nggak mau mengalah demi Yoan, untuk
semalam aja.
"Yoan bisa dianterin sama Tante, Pak!" tunjuk Yoan
pada Kinasih. Mendadak Rina dan Suharno itu menoleh ke
arah Kinasih yang masih mengintip di balik pintu. Astaga,
ketahuan nguping. Gadis ini memberikan senyum gugup,
kemudian masuk dan menutup pintu.
“TANTEEEEEE!" panggil suara kenes Yoan.
Argh! Kinasih bingung harus gimana. Dia membuka
pintu lagi, dan mendapati Yoan sudah berdiri di sana.
"AKU NGGAK SUDI MAS, YOAN TINGGAL SAMA
PACAR KAMU!" ucap Rina lagi menuduh.
Suharno menghela nafas, "Rin, dia bukan pacarku,
dia hanya tetanggaku. Itu saja." dan sekarang penjelasan
itu terasa agak mencubit batin Kinasih. Iya sih, dia30 KINASIH
memang hanya tetangga, dan ketemu juga baru saja.
Diantara mereka nggak ada hubungan apa-apa, selain
hanya karena mereka ini adalah TLL; Tetangga Lima
Langkah, itu aja.
"AKU NGGAK PERCAYA!" Rina berkoar lagi, dan
sepertinya penghuni kost yang lain sudah terpancing
untuk keluar. Mereka melongok dari pintu-pintu mereka,
dan Kinasih menjadi malu. Mereka akan berpikir, Kinasih
menjadi pelakor diantara pria itu dan mantan istrinya.
Kinasih semakin pusing.
"Kalau nggak percaya, terserah kamu!" Suharno
mendengus dan menghampiri Yoan yang berdiri
menggandeng tangan Kinasih.
"Yoan, dengerin apa yang dibilang Mama ya! Bapak
janji besok, bapak ke rumah Yoan."
Bocah kecil di samping Kinasih ini merengut kesal.
Dia tidak mau menjawab sama sekali, malah akhirnya
masuk ke kamar Kinasih, dan tidur di kasur itu lagi, mana
sekarang dia menutup tubuhnya pakai selimut.
"TUH KAN! Kamu ngajarin apa sama anak kamu,
sampai dia lengket sama pacar kamu, Mas? Aku ini
Mamanya, kenapa dia nggak mau dengerin aku?" Rina
gusar melihat kelakuan Yoan.
"Rin, ayok!" Suharno menarik tangan mantan
istrinya itu pergi dari hadapan Kinasih yang terbengong-
bengong sendirian. Malam ini sepertinya kisruh sekali, danALANA 31
Yoan bintiSuharno itu juga akhirnya bersarang di
kamarnya. Bagaimana ini?
Kinasih duduk di bangku, menghadapi bocah
perempuan yang masih ber-camping di bawah selimutnya.
Ini sedikit menegangkan karena dia tidak tahu apa yang
akan terjadi dengan dirinya sendiri. Suharno itu masih
berembuk dengan mantan istrinya, di luar pagar, di dekat
sedan pekat Civic yang berkilau di timpa lampu jalan yang
kebetulan ada di atasnya. Mereka bicara sangat seru,
sampai harus menggunakan bahasa tubuh yang meriah,
ibarat sedang bermain teater di pinggir jalan. Kinasih
hanya berpikir, apakah dulu mereka menikah berdasarkan
cinta? Lalu ke manakah semua cinta itu kini menguap.
Aish, kenapa harus bermonolog seperti ini?
Memangnya perduli apa Kinasih sama hubungan mereka
dulu. "Yo!" panggil Kinasih pada bocah perempuan yang
dia yakini tidak tidur itu. Yoan menyembul dari bawah
selimut dengan alur muka yang runyam. Bayangkan,
bocah umur 8 tahun itu bisa menampilkan warna muka
yang begitu suram dengan menghadapi semua ini.
Kasihan!
"Main game, yuk, di laptop!" ajak Kinasih untuk
membubarkan kesan kisruh di hati bocah perempuan itu.
Dia perlu dihibur sebentar. Yoan yang sedang bersimpuh
di atas kasurnya , merapikan rambut pendeknya, dan
berjalan dengan lututnya, kemudian turun, mendekati
Kinasih yang menunggunya.32 KINASIH
"Tante, Mama udah pulang belum?" tanyanya pelan
"Udah kali." Jawab Kinasih singkat.
"Yoan benci kalo Mama galak kayak gitu."
Kinasih mengangguk, dan memberikan usapan di
punggung Yoan. "Tapi dia tetap Mama kamu, Yoan."
"Iya, Yoan tau." Bocah itu duduk di samping
Kinasih, pada bangku yang tadi di tempati Bapaknya. Dia
memperhatikan layar laptop yang masih gelap.
“Mama tiap hari marah-marah terus kalo di rumah.
Nggak pernah dia nggak marah. Kesel jadinya." Ungkapnya
dengan nafas tersendat-sendat.
Kinasih hanya tersenyum, "Mungkin memang
begitu cara Mama Yoan menyayangi Yoan."
“Agh, yang bener aja! Masa sayang kok kayak gitu.
Sayang tuh ya, ngomongnya baik-baik aja. Emang
Mamanya Tante dulu sayangin Tante begitu bentuknya?"”
Kinasih nyengir. Nggak juga sih. Ibunya dulu sayang
banget sama Kinasih, sampai berjuang mati-matian
mencari nafkah untuk mereka. Kinasih punya kakak laki-
laki yang sekarang sudah menikah dan tinggal di luar
negri, tapi ibunya itu kini sudah tiada karena penyakit
gagal ginjalnya, saat Kinasih SMP. Dia akhirnya tinggal
bersama sang Bapak, sedangkan kakak laki-lakinya, Bagus,
menolak tinggal bersama ibu tiri, memilih hidup sendiri diALANA 33
Semarang bersama Bude, dan mbah Marto, meski
sekarang sudah terlalu jauh.
"Ya, setiap orang kan berbeda_ untuk
menyampaikan perasaannya, Yo!" sedikit memberikan
wejangan.
"Nggak, Yoan nggak suka!" protes bocah ini dengan
pendiriannya.
"Ya, Tante nggak bisa ngomong banyak, takut salah.
Tahu sendiri Mama Yoan itu tadi marahin Tante dan
ngomong yang nggak-nggak."
"lya, Tante. Ya udahlah, biarin aja. Yoan juga udah
paham banget sama adatnya Mama. Itu yang bikin Bapak
pergi dan nggak mau kembali ke rumah lagi."
Yoan menekur sebentar, sampai sebuah ketukan di
pintu yang terbuka itu mengagetkan mereka. Suharno
sudah berdiri di sana, memamerkan wajah tenang.
Sebelah tangannya berada di saku celana, sebelah lagi
memanggil anaknya supaya mendekat.
"Mama udah pulang, Pak?" tanya bocah itu
memastikan
"Udah. Sekarang ke kamar Bapak aja ya, jangan di
sini. Mbak Kikin mau istirahat."34 KINASIH
"Yoan manggilnya Tante, Pak." Cengir bocah itu,
lalu Suharno menatap Kinasih yang memasang wajah
datar.
"Tante Kikin, kami permisi dulu. Maaf udah
ngerepotin Tante." Ujar pria itu sambil menampilkan gigi
gingsulnya. Demi Tuhan, itu manis banget, dan bikin
Kinasih spechless. Oke, ini berlebihan, dan Kinasih pasti
hanya terpesona sesaat.
Pria itu dan Yoan, berjalan menyebrangi lapangan
badminton di depan kamar kost Kinasih, lalu sampai di
kamar no.43 itu dengan selamat. Mereka masuk dan
menutup pintu. Kemudian, Kinasih melakukan hal yang
sama, menutup pintu.
Dan menghempaskan diri di atas kasurnya.
Sungguh peristiwa yang sangat mendebarkan. Hari ini
Kinasih seperti mendapatkan sebuah pengalaman baru
menghadapi kehidupan. Tidak gampang untuk menjalani
sebuah kehidupan pernikahan, terlebih dengan dua
karakter yang sama-sama kuat. Kinasih tak mampu
berpikir banyak dan lebih memilih untuk membuat
dirinya lelap.ALANA 35
2
Pagi harinya, Kinasih terbangun oleh sebuah
ketukan di pintu. Waktu melirik jam dinding, ini masih
belum jam enam. Sebenarnya dia sudah harus bangun, tapi
badannya sedikit capek dan bangkit tidak bersemangat.
"Tan~teee!" pangilan itu, Kinasih sudah tahu dan
menarik dalam-dalam nafasnya.
"Tante Kikin!" panggil Yoan lagi.
Kinasih bangkit dari kasurnya dan berjalan ke arah
pintu, tanpa memperhatikan penampilannya yang
berantakan, dan pada saat dia membuka pintu itu—
"Oh!" dia kaget karena ternyata Yoan bersama
Bapaknya. Mereka berdiri dengan baju yang sudah rapi,
dan pria itu—Suharno, dia tersenyum geli memperhatikan
Kinasih yang memang masih membawa pesona bangun
tidurnya ke depan pintu.
BRAKH. Dia menutup pintu lagi, dan berlari ke
kamar mandinya. Mengambil satu gayung air dan
mengguyurkan ke wajahnya. Sebentar kemudian,36 KINASIH
menyambar sikat gigi dan mengoleskan odol, setelah itu
dia menyikat dengan semangat. Beberapa detik kemudian,
dia sudah ada di depan cermin, menyisir rambutnya yang
berantakan. Barulah dia kembali ke arah pintu.
Yoan cekikikan ketika melihat Kinasih sudah rapi
saat membuka pintu. "Tante, kenapa sih?" ledeknya, tapi
Kinasih malah mengacak rambut bocah perempuan itu
dengan gugup.
"Ada apa, Mas Harno?" tanya Kinasih kemudian
Pria itu mengangguk sebentar, dan mendorong
Yoan ke arahnya. "Nitip Yoan, aku harus segera ke
Mojokerto, ada yang harus dikerjain di sana." Omongnya
sambil melirik arloji silvernya. Pria ini bersikap seolah-
olah mereka sudah kenal cukup lama.
Kinasih mengerutkan kening. "Terus nanti gimana,
Mas?"
“Nanti, Mamanya yang jemput ke sini katanya."
"Mas?" Kinasih menatap gusar. "Saya nggak mau,
kalau nanti akhirnya kayak semalam lagi. Saya ini bukan
apa-apa. Loh,Mas." Dia menegaskan posisinya, dan pria itu
mengeratkan rahang.
"Aku sudah wanti-wanti sama dia, kalau peristiwa
semalam nggak boleh terulang lagi.”ALANA 37
Kinasih tidak tahu harus bilang apa, karena dia
sendiri meragukannya. Mana mungkin perempuan kayak
gitu di beri pengertian. Oh, Tuhan!
"Gini aja,deh, Mas," menjeda sebentar kalimatnya,
sambil memperhatikan Yoan yang sedang mendengarkan
mereka bicara. "Saya antar Yoan ke sekolah aja, terus
nanti biarin Mamanya jemput Yoan ke sekolah. Saya nggak
mau lagi ketemua sama mantan istri Mas yang—" Kinasih
menghentikan kalimatnya, sungkan menyebut galak,
meski kenyataannya dia itu lebih dari sekedar galak.
Perempuan bernama Rina itu, ganas.
"O,gitu?"” Suharno mempertimbangkan, kemudian
mengambil handphonenya. "Aku boleh tau nomer
handphone kamu, nggak? Biar kalau ada apa-apa lagi,
kamu bisa hubungi aku.” Omongnya. Apa nggak kebalik ya,
atau ini hanya modus untuk mendapatkan nomer Kinasih.
"O, boleh." Kinasih mengambil telepon genggamnya
yang dia simpan di bawah bantal, lalu menyerahkannya
pada Suharno. Pria itu mencatat nomernya sendiri di sana,
kemudian mengembalikan lagi pada Kinasih.
"Kamu bisa mengantar Yoan ke sekolah, setelah itu
hubungi aku."
"Oke!"
Suharno menatap putrinya sebentar, dan mengusap
kepalanya. "Jangan nakal lagi ya!"38 KINASIH
Yoan mengangguk,
"Jangan kabur-kaburan lagi. Nanti kalau kangen
Bapak, kamu tinggal telepon Bapak aja, trus nanti bapak
dateng ke rumah. Jangan bikin Mama kamu pusing.
Kasihan!"
"lya, Pak!" jawab Yoan mantap.
“Aku titip Yoan ya, Tante Kikin." Omongan itu jelas-
jelas setengah meledek, soalnya bibirnya si wartawan
yang pagi ini sudah mengurai rambut gondrong
sebahunya itu lagi tadi sempat di pasang cengiran. Kinasih
membalas dengan cengiran juga, dan mereka akhirnya
tersenyum nggak jelas.
"Kenapa jadi ikutan manggil Tante Kikin sih?"
protes Kinasih sebal. Wajahnya ditekuk kesal, tapi pria itu
sepertinya menikmati sekali kesan jengkel Kinasih.
Dia berjalan ke arah motornya, dan Kinasih
membatin sendiri, menganggumi sosok Suharno yang
memang sangat unik sekali menjadi seorang Bapak. Motor
itu melaju pergi, meninggalkan kepulan asap knalpot yang
tidak berarti.
“Tante, Yoan lapar!" ucapnya tanpa sungkan,
Astaga! Kinasih cuma memutar bola matanya. "Ayo,
tapi Tante mandi dulu ya. Kita makan di luar aja nanti.
Tante nggak mau kamu makan mie instan lagi, nggak
bagus buat pencernaan kamu.” Yoan mengangguk nurut.ALANA 39
Kinasih membawa Yoan menggunakan motor matic
Rita. Temannya itu, kebetulan lagi libur dan nggak ada
kerjaan, jadinya seharian ini, dia bisa bebas. Kinasih belum
punya dana khusus untuk mengajukan kredit motor,
maklum gajinya sendiri selama menjadi dosen magang
masih belum cukup untuk membayar uang muka kreditan.
Ngenes banget, tapi dia nggak ngeluh dan menjalani
semua ini apa adanya.
"Yo, udah sampe nih!" Kinasih mengantarkan Yoan
tepat di depan sekolah Yoan di salah satu sekolah swasta
di daerah Manahan.
Bocah itu menyerahkan helm ke arah Kinasih.
"Makasih Tante!" serunya. Dia menggunakan seragam
merah putih yang memang kemarin dia simpan di tasnya.
Benar-benar sudah merencanakan untuk kabur menemui
bapaknya. Sungguh bocah yang nekat.
"Kalo ada apa-apa, hubungi Tante, ya!" ucap Kinasih
sebelum menstarter motornya lagi
"Iya Tante!" jawabnya, kemudian melambai.
Kinasih memutar motornya dan menjauhkan diri
dari depan pagar sekolah, menghilang ke arah Selatan.
Hatinya benar-benar lega, karena akhirnya dia sudah
terbebas dari Yoan. Bukan karena dia tidak suka pada
bocah itu, tapi dia hanya merawa khawatir dengan
hubungan kekeluargaan mereka yang seharusnya masih
dijaga. Kinasih membicarakan masalah Suharno, dan40 KINASIH
mantan istrinya itu yang seharusnya nggak uring-uringan
menghadapi kehidupan perceraian mereka yang tragis.
Kasihan Yoan.
Di lampu merah Proliman, Kinasih belok kanan ke
arah Gilingan. Dia harus melewati terminal Tertonadi ke
daerah Nusukan. Di sana dia harus bekerja, di sebuah
tempat bimbingan belajar anak-anak SD sampai SMA, dan
sore harinya menjadi pendidik di sekolah komputer.
Jadwal hari ini lumayan padat, tapi mudah-mudahan
nggak hujan. Pintanya dalam hati, sambil memakirkan
motor di depan sebuah ruko berlantai lima. Suasananya
sudah lumayan ramai. Di depan pintu dia berpapasan
dengan pria itu, Bayu. Bayu Aryanto, sosok yang selama ini
sudah dia jadikan mantan, tapi masih jadi bayangan buat
Kinasih. Dalam arti, pria itu masih saja menggentayangi
kegiatan Kinasih ke mana-mana.
"Kamu tadi nganter siapa, Kin, ke Manahan?"
tanyanya.
Kinasih melirik. Tuh, kan, dia tahu. Kinasih nggak
heran, soalnya dia itu memang begitu. Bayu itu memang
type cowo yang rasa ingin tahunya tinggi sekali, sampai-
sampai harus ngepoin mantan pacarnya ini, meski
sebenarnya itu tidak penting dan buang-buang energi.
Tapi nggak, dia itu menganggap itu, kegiatan sampingan,
hobby baru, katanya ke Mas Imron si administrasi di
tempat bimbel ini.ALANA 41
Sekarang Bayu memang satu tempat kerja. Dia juga
mengajar bimbingan belajar, hanya untuk mata pelajaran
bahasa Inggris, sedangkan Kinasih mengajar Matematika
dan Fisika.
"Kamu liat di mana, Mas Bay?" tanya Kinasih sambil
naruh tasnya di sofa, melemparkan punggung di sana, dan
menikmati hawa pendingin ruangan yang pas banget di
atasnya. Bayu masih berdiri, bersandar di tembok. Mereka
saling menatap' sebentar, kemudian membuang
pandangan. Mas Imron cuma geleng kepala saja.
"Ya, sekedar liat aja." Jawabnya.
"Dia anak tetanggaku, yang nebeng dianterin
sekolah. Orang tuanya nggak sempet nganterin, buru-buru
kerja keluar kota." Jawab Kinasih. Dia memang harus
menjawab dengan akurat, karena kalau tidak, Bayu akan
mengejar jawabanterus sampai besok Subuh, dan
seterusnya.
“Tetanggamu, kan jomblo semua, Kin."
"Agh,mbuh, Mas!" Kinasih langsung malas
menanggapi, dia berdiri, nyangking tasnya dan bersiap
masuk kelas. Beberapa muridnya pasti sudah ada yang
datang, dan mending dia ngobrol sama anak SMP
ketimbang Bayu.
"Kin!" panggil Bayu mengejar.
“Aku mau nyiapin materi dulu Mas!" ngeloyor pergi.42 KINASIH
Kinasih masuk ke dalam kelas yang sudah di huni
tiga orang murid SMP. Mereka itu Ayu, Damar, dan Yulan,
tapi waktu mau mengajak bicara, handphonenya bergetar
di saku jasnya. Buru-buru dia duduk di bangku guru, dan
menerima panggilan itu yang ternyata dari Si Wartawan
Dekil itu.
“Tante!" sapanya, masih menggoda.
"Hm, apa, Pak Harno!" goda Kinasih ganti, dan
bibirnya menyungging senyum. Ternyata suara pria itu
enak juga kalau di dengerin di handphone.
"“Eum, Yoan gimana?" tanyanya
"Sudah saya antar ke sekolah.”
"Ow, makasih, ya!" serunya sambil ngos-ngosan,
kayaknya sambil jalan dan membawa tentengan satu ton.
“Pak Harno lagi marathon?" tebak Kinasih sambil
nyengir.
"lya, ini udah tiga kilometer, Tante. Mau bantuin
dorong nggak?"
"Ish, dorong gimana?"
"Dorong pake truck."
"Nggak lucu." Balas Kinasih. Kok jadi begini ya
pembicaraan mereka. Aneh nggak sih? Mereka kan baruALANA 43
ketemu kemarin, terus sudah bisa ngobrol kayak teman
lama, dan nggak tau kenapa Kinasih merasa santai saja.
“Agh, nggak lucu ya."
"Pak Harno udah sampe mana ini?" Kinasih
mengalihkan pembicaraan.
“Aku di Bandara, mau ke Mojokerto, Tante."
"Kapan pulang?" uphs, kenapa harus tanya itu—
Kinasih merem sebentar, mengutuki kebodohannya
sendiri. Kenapa harus keceplosan itu, nanti dia kira
Kinasih menanti kepulangan pria dekil itu.
"Eh, kapan ya?" Kinasih diam tidak berkomentar.
“Maunya kapan, Tante?"
“Loh, kok tanya saya, Pak?"
"Mungkin, saya tiga hari, Tante, di Mojokerto."
"Ehm, ya.” Jawab Kinasih datar.
"Kalau Yoan datang, aku titip ya, Tan!"
"Boleh-boleh, asal nggak disatroni nenek sihir itu
lagi aja, Pak!"
"Nggak, dia udah saya bilangin jangan ke tempat
saya lagi, kalau nggak, saya akan—" Suharno diam44 KINASIH
Dua detik kemudian masih diam, dan Kinasih sudah
melihat kelasnya penuh.
"Pak, saya harus mengajar dulu ya."
"Oh iya, maaf mengganggu. Saya juga harus
boarding pass. Sampai ketemu lagi ya."
Kinasih menyimpan handphonenya di tas, dan
berdiri menghadapi murid-muridnya.
Dua hari kemudian, menjelang Maghrib, Kinasih
bersiap pulang. Dia membereskan semua buku, dan
melipat laptop di depannya. handphone di atas meja
bergetar lagi. Ini sudah yang kesekian kali benda pintar itu
menggeliat minta disentuh, tapi diabaikan karena masih
sibuk mengajar. Di tengok sebentar, ternyata Bayu yang
memanggil. Si Mantan ini bener-bener nggak bisa berhenti
mengganggu, ketenangan Kinasih.
"Ya, Mas Bay!" sahut perempuan ini.
"Kin, aku ada di depan kampus."
"Kok?"
"lya, kita makan malam bareng, yuk!" ajaknya
"Mas, aku udah di tunggu sama Rita, dia baru jadian
sama Aryo, dan kami nanti mau makan bareng. Dia
sukuran ceritanya.”ALANA 45
Terdengar deheman pendek Bayu yang seperti
keberatan,
"Kenapa Mas?"
"Kamu nih, ya aneh, orang baru jadian, kok malah
mau kamu gangguin?"
"Mereka yang ngajak, kok! Dan lagi, nggak aku aja,
kali, Mas yang di ajak. Ada Merrie, sama Anjar. Kami cuma
mau makan di Angkringan.” jelas Kinasih. Jari tangannya
di tekan-tekan ke kening, mijat rasa pusing yang
mendadak muncul. Mungkin juga kurang tidur. Nggak jelas
kenapa, semalam kok Kinasih chatingan sama Pak
Wartawan itu sampai jam dua dini hari, dan yang
diobrolin itu random, tapi nggak sampai menyinggung
masalah rumah tangga pria itu. Kinasih tahu diri kok, dan
nggak mau mengusik semua itu. Hanya saja, mereka
membicarakan masalah Yoan. Bocah kecil itu ternyata
pintar melukis. Itu yang di kisahkan sang Bapak dengan
rasa bangga. Dia sudah beberapa kali mengikuti lomba
melukis dan memenangkannya. Kinasih pikir itu keren.
Untuk anak perempuan seumuran Yoan, bisa mempunyai
prestasi di masa kecilnya itu sedikit banyak akan
membangun rasa percaya diri dalam perkembangan
mentalnya.
Kinasih tidak mempunyai prestasi apa-apa dulu.
Masa kecilnya sudah begitu sulit dengan keadaan kisruh
keluarganya. Bapak dan ibunya jarang bicara. Memang,
mereka tidak bertengkar, tapi mereka saling mendiamkan,46 KINASIH
itu yang parah menurut Kinasih. Tidak ada keterbukaan,
dan komunikasi yang baik diantara satu sama lain. Ini
yang membuat Kinasih menjadi dewasa_ sebelum
waktunya. Dia harus menjadi perantara diantara orang
tuanya. Ketika ibunya ingin menagih sesuatu pada
bapaknya, ibunya itu malah nyuruh Kinasih yang
ngomong, atau sebaliknya. Itu terjadi kalau Bapak ada di
rumah, mengingat sebenarnya bapaknya itu memang
jarang pulang, jadi Kinasih nggak harus tiap hari jadi surat
berjalan. Kinasih masih berumur sepuluh tahun, saat
mereka mulai menemukan ketidakcocokkan.
Mengenaskan, setelah duabelas tahun menikah akhirnya
kadar perekat mereka menjadi kering, retak, dan
terpreteli.
"Kin!" sebut Bayu menyadarkan,
"Ya udahlah Mas, tungguin sebentar ya."
Kinasih segera memasukkan semua itu ke dalam
tas, lalu beberapa menit kemudian sudah menampakkan
diri di depan mobil SUV Bayu yang terparkir di depan
gedung kampus.
Bayu kelihatan senang waktu Kinasih mau di ajak
pulang bareng. Itu sudah jadi keinginannya sejak dua hari
lalu. Cowo ini ingin balikan lagi sama Kinasih. Apalagi
sekarang ibunya sudah mau membuka hati untuk gadis
yang dulu ditolaknya mentah-mentah itu. Ya, Bayu
memang berasal dari keluarga yang terpandang, dengan
kedua orang tua yang lengkap dan harmonis. Mereka kaya,ALANA 47
tapi ketika menghadapi seorang Kinasih, gadis sederhana,
dengan kehidupan keluarga yang timpang, ibunya
menunjukkan sikap kurang menerima.
Bayu sedih dan frustasi karena semua itu.
Dulu saat Kinasih masih kuliah, dan bekerja
serabutan di toko baju di daerah Widuran, ibunya
menganggap Kinasih cuma pesuruh alias pembantu, jadi
kurang kompeten untuk menjadi calon istri anaknya.
Soalnya, banyak yang ngantri mendapatkan cinta Bayu,
dan mereka itu dari keluarga terpandang juga.
Sikap itu yang membuat Kinasih kurang simpati
juga sama mereka, dan memilih untuk menjauh, sampai
akhirnya melihat Bayu berkencan dengan seorang gadis
pilihan ibunya secara diam-diam, seketika itu juga Kinasih
langsung mutusin hubungan secara sepihak.
"Kita makan malam di rumahku aja ya, Kin." Bayu
menoleh sebentar, saat Kinasih melihat ke arahnya.
Kinasih kaget—"Kenapa harus di rumah Mas Bay?"
dengan nada keberatan
"Ibuku. Dia pengen ketemu kamu, katanya."
Kepala Kinasih menunduk gusar. Kenapa jadi
begini? Bukannya ibunya Bayu itu nggak suka sama dia.
Mobil berhenti tepat di lampu merah. Suasana jadi
canggung seketika.48 KINASIH
"Ibuku sudah mau nerima kamu, Kin." sambungnya
lembut, tapi Kinasih masih belum berkomentar. Semakin
gugup saja, membayangkan dirinya harus bertemu lagi
dengan wanita yang biasa bicara dengan nada tinggi itu.
Kepalanya semakin pusing.
Sebenarnya, apa yang membuat dia berubah haluan
dan mau menerima Kinasih lagi, padahal Kinasih masih
tetap Kinasih yang dulu, yang berasal dari
keluarga brokenhome, yang punya kakak gay dan menikah
dengan pria Australia. Apa nantinya semua latar belakang
ini tidak akan membuat keluarga Bayu jadi tambah malu.
"Kin!" tegur Bayu sambil berusaha megang tangan
perempuan di sampingnya. "Aku janji nggak akan
menyerah buat kamu, Kin."
Kinasih, menarik senyum datar. Omongan Bayu itu
tetap saja nggak bisa menenangkan batinnya. Kinasih
trauma dengan tudingan miring Ny.Wirayadi padanya.
Tuk Tuk. Ketukan di jendela kaca di sampingnya itu
membuat Kinasih menoleh. Seseorang bertengger di atas
motor dengan pakaian serba hitam, termasuk helm dan
jaketnya. Kinasih menarik badannya menjauh dari sisi
kaca, mendekat pada Bayu.ALANA 49
"Mas!" ucapnya, dan Bayu bersikap protektif
dengan melongok ke arah orang di luar sana.
“Mau ngapain sih dia?"
"“Nggak tau, Mas."
Tapi pandangan Kinasih tetap ke sana, dan ketika
sosok itu melepaskan helmnya, barulah perempuan ini
bernafas lega. Orang itu Si Wartawan dekil itu, Suharno.
Pria gondrong yang mukanya masih kusut itu
melempar senyum ke = arahnya. Tapi, Kinasih
memperhatikan cewe yang membonceng di belakangnya.
Dia memeluk pinggang Suharno kuat-kuat. Lengket
banget, kayak hak milik. Jelas-jelas itu bukan mantan istri
laki-laki itu. Duh, siapa ya?
THIN TIIMIIIN! Jeritan panjang klakson di
belakangnya itu membuat mereka harus_ segera
bergerak.Kinasih kembali ke joknya, dan Bayu menginjak
gas untuk melanjutkan perjalanan.
"Siapa sih?” Bayu mulai penasaran, apalagi waktu
melihat gelagat Kinasih yang masih belum bisa
melepaskan pandangannya ke arah motor di sampingnya.
"KIN!" sedikit menghardik, dan Kinasih menoleh
sekilas.
"Dia tetangga kostku, Mas.” Tapi kok, lagi-lagi
Kinasih dibuat jantungan, waktu melihat motor itu masuk50 KINASIH
ke sebuah hotel. Tangannya mengepal spontan, dengan
banyak asumsi aneh berhamburan. Kenapa mereka ke
Hotel? Jangan-jangan.....
"Mas, aku mau pulang aja. Anterin aku pulang
sekarang! Aku nggak mau ketemu sama ibu kamu dulu.
Aku belum siap di hina lagi." ucap Kinasih yang
mendadak badmood.
"Ih, kok gitu. Tadi katanya mau. Kita udah separo
jalan, Kin. Tanggung!" rayu Bayu dengan wajah memohon.
“Aku nggak mau, Mas! Pokoknya anterin aku pulang
sekarang juga!" desak perempuan ini ngeyel. Nggak jelas
kenapa hatinya kok kayak di remet-remet nggak karuan.
Duh, kenapa Suharno sudah pulang dari Mojokerto,
ya. Padahal, kemarin dia bilang baru besok dari sana. Apa
karena perempuan yang dibawanya masuk ke hotel itu ya.
Tanpa sadar, Kinasih sudah dibuat pusing sama
wartawan dekil itu.
Kinasih berjalan agak cepat. Di belakang gadis itu,
Bayu memasang muka semrawut—kecewa, karena gadis
itu akhirnya menolak makan malam di rumahnya. Ya,
memangnya siapa yang sudi jatuh ke lubang yang sama.
Perempuan lain juga pasti akan mikir lebih dari sekali
kalau jadi Kinasih. Kecuali kalau perempuan itu emangALANA 51
nggak punya otak buat mikir, atau mungkin juga otaknya
lagi keseleyo.
Bayu menatap pasrah pada punggung mantan
pacarnya yang menolak jalan berdampingan. Sakit hati, sih
sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin
perjuangannya untuk mendapatkan simpati dari gadis itu
harus dimulai dari awal lagi. Kinasih itu jinak-jinak
merpati, kalau para musisi jaman dulu_bilang.
Menggambarkan sifat dan prilaku Kinasih itu memang
nggak jauh dari species cantik itu.
Aryo melambai ke arah Kinasih, tapi kemudian
menurunkan tangannya lagi, waktu melihat Bayu yang
sengit. Wajahnya itu seperti sedang mengancam semua
orang di sekitarnya. Radiasinya membolongi muka
mereka.
Kinasih membalas panggilan Aryo, tapi dia tidak
mendekat, tangannya sibuk mencari kunci dari dalam tas.
"Ditungguin dari tadi, tuh sama Rita!" seru cowo itu
"Huss, jangan berisik—SARU, udah malam!" ledek
Kinasih, tanpa memperdulikan wajah Bayu yang
cemberut.
"Kamu ikut nggak, sih?" Rita nongol dari dalam
kamarnya.
Kinasih memenuhi dadanya dengan sejumput
udara, dan menggeleng.52 KINASIH
“Aku lagi badmood, Rit. Sorry, ya!"
"Nggak asik kamu, Kin."
"Kalian pergi aja deh!"
“Emang kenapa sih?" Rita concern sejenak, dengan
menurunkan nada omongannya.
"Badanku capek. Aku mau tidur aja kayaknya."
Kinasih menguap nggak sengaja.
“Halah, ngomong aja, nggak mau diganggu, ya Mas
Bay!" Rita malah ganti nyindir ke Bayu.
"Dia cuma nganterin aku, kok. Bentar lagi juga
pulang. Iya, kan, Mas Bay!" seru Kinasih ganti, tapi Bayu
melengos kecut—ngambek kayaknya. Bodo amat.
"Jahat kamu, Kin. Kasihan kan udah nganterin Den
Ayu Kinasih, masa nggak dikasih teh atau apa kek. Kamu,
kan baru belanja stok dapur, Kin !" Rita emang bawel.
Sampai urusan dapur di bawa ke depan rumah.
"Nggak ada air panas. Males mau ngerebusnya."
celetuk Kinasih.
"Alasan!" nyinyir Rita lagi. Duh, nih kayaknya mau
ngajakin berantem deh! Kinasih berdehem pendek
"Rit!" Aryo akhirnya mengeksekusi pembicaraan
pacar barunya itu dengan Kinasih, melihat gelagat KinasihALANA 53
yang kepalanya sudah berasap, kemudian dia
menggeretnya masuk.
Kinasih melirik Bayu, yang masih diam. Cowo ini
baperan juga rupanya.
"Kamu tunggu di sini ya, Mas! Jangan masuk!" dikte
Kinasih sebelum menutup pintu, tapi—
“Aku mau pulang aja, Kin. Besok pagi aku jemput
kamu, ya." ucapnya sambil berdiri.
"Jemput ke sini maksudnya, Mas?”
“Iya.”
"Apa nggak kejauhan, Mas?"
“Nggak." jawabnya sambil terus menatap ke wajah
Kinasih. Sumpah, masih belum ada senyum bersahabat di
sana. Dua alisnya masih menyatu rembukan.
“Oh, ya, udah, terserah Mas Bay aja, deh." Kinasih
memang tidak menolak, dan hanya ingin tahu, sejauh apa
Bayu akan meraihnya lagi nantinya. Jika semua ini
memang sudah jalan hidupnya, Kinasih sebagai
perempuan tidak akan terlalu jual mahal, tapi dia tetap
merasa wajib untuk memikirkannya, kalau perlu, semedi
barengan Mpu Sendok untuk mendapatkan wangsit.
Takut nanti jodohnya jauh, tapi mudah-mudahan,
nggak. Dia memang punya cita-cita ingin menikah sebelum54 KINASIH
umur 25 tahun. Baginya umur 25 tahun itu sudah keramat
untuk kaum wanita yang masih melajang. Meski banyak di
luaran sana yang berumur lebih dari 25 bahkan 30 masih
belum pada nikah. Ya, itu memang urusan masing-masing,
mungkin juga sudah jalannya memang begitu. Hidup tiap
individu kan berbeda, tapi cita-cita membumbung boleh
kan.
Bayu berjalan pergi sebelum Kinasih menutup
pintu kamarnya, tapi dia nggak langsung mandi seperti
biasanya. Badannya capek banget, sampai harus
terhempas ke kasur tanpa sadar.
Suharno ke Hotel sama perempuan itu. Pikirannya
ke sana lagi, dan jelasnya itu sedikit mengganggu suasana
hatinya barusan. Masa sih, hanya karena melihat hal itu
dia jadi badmood sampai nyaris gelut sama Rita karena
kata-kataan.
"Kin!" Kinasih mendengus pelan saat mendengar
namanya disebut Rita di luar kamar. Mereka pasti mau
memastikan lagi; apa Kinasih jadi ikut apa nggak.
"Kin, ini aku, loh yang bayar." tegas Aryo. Dia
memang punya penghasilan lumayan karena kerja
di showroom mobil, ketimbang yang lainnya. Kinasih
bangun lagi dari kasur.
“Aku nggak ikut. Beneran aku capek." jawab Kinasih
menghadapi tiga orang itu, tidak termasuk Marrie. Rita
menarik tangan Kinasih dan menggoyangkannya.ALANA 55
"Kamu kenapa, sih sama Bayu, apa karena masalah
sama Pak Wartawan itu dia jadi begini?" Rita kan memang
mulutnya kayak kaleng rombeng. Pasti nyambungnya
kemana-mana. Konslet.
Aryo, nyubit lengan pacarnya sambil meringis.
"Kamu tuh dasar, Rit. Mau tau aja urusan orang.”
Aku, kan cuma nanya, Mas Aryo.”
“Nanya tuh ya nggak gitu, pake etika, bukan pake
otot!"
"Ya, maaf ya, Kin."
"Nggak papa, kalian pergi aja, deh sana, keburu
malam. ntar makanannya abis!"
"Kin, ini tuh Solo. Mana mungkin kuliner abis di
kota ini. Please, deh!" Anjar ikutan ngomong, baru
kedengaran suaranya dari kemarin. Kinasih sempet
senyum saja merespon.
"Ya udah, kita berangkat ya. Jaga basecamp ya!"
Aryo menarik tangan Rita, dan ngeloyor pergi
meninggalkan depan pintu kamar Kinasih.
Sekarang benar-benar sepi. Kinasih merebahkan
diri di kasur lagi sambil memeluk guling. Matanya
terpejam untuk membuat rileks tubuhnya.56 KINASIH
Tok TokTok Astaga! Pintunya diketuk lagi. Kinasih
berdecak kesal. Siapa sih?
"Kin, buka bentar!" Rita. Agh, apa lagi sih!
"Kin, aku nitip kunci!" seru Rita kemudian, mau
nggak mau Kinasih bangkit lagi dari kasur, menemui
temannya.
“Aku takut, kalau nanti Ratih pulang, aku nggak ada
di rumah. Kemarin kunci dia ilang, jadinya tinggal
punyaku. Aku titip ya, Say!" omong Rita setelah Kinasih
membuka pintu. Berhubung Rita senyum, Kinasih jadi
tidak tega mau ngomel, mana dia kasih kedipan cantik
lagi—genit, membuat Kinasih tarik nafas sebentar, antara
kesel sama gemes.
"Hm." sahut perempuan ini malas, dan tangannya
menerima kunci itu dari tangan Rita. Setelah kunci
diterima, dia langsung lari lagi. Hhhh, ada-ada aja! Keluh
gadis ini sambil menutup pintu.
Sekarang apa? Dia jadi malas untuk rebahan lagi,
takut kalau-kalau nanti pintunya di ketuk lagi, malah
kepalanya malah tambah pusing. Kinasih beranjak ke
dapur, memasak air untuk mandi. Kayaknya enak kalau
mandi air hangat. Badannya butuh di pijat soalnya.
Lumayan untuk relaksasi darurat dengan menggunakan
air hangat, meski nggak bisa berendam, tapi cukuplah.
Tok Tok Tok! Astaga si Rita ini emang keterlaluan,
bolak balik gangguin orang. Matanya sengit melihat keALANA 57
arah pintu. Ditinggalkan sebentar air yang dia masak di
ceret, dan bersiap menyemprot Rita supaya kapok nggak
gangguin orang.
"APA LAGI SEKARANG?" serbunya dengan dua
tangan dipasang di patahan pinggangnya, wajahnya di
buat lebih angker dari kuburan keramat, tapi— senyum
absurd Suharno menyambarnya. Pria dengan rambut
gondrong lusuh berantakan itu) memberi gesture
serabutan di depan badannya.
Kinasih yang tadinya masih terbawa emosi, kini
menurunkan tangannya dari pinggang, kemudian
menaikkan ke kepala,menggaruk di sana sebentar. Kenapa
mendadak yang muncul Suharno. Apa ini sulapan?
"Mas Harno?"
"Kamu lagi kesel ya?"
Seketika itu juga Kinasih melongo. Bukan karena
apa-apa, tapi gadis ini seakan tersihir oleh suaran vibrasi
tuan wartawan dekil ini yang mengena ke jantungnya,
alhasil dia gemetaran dengan efek yang timbulkannya.
Bulu kuduk Kinasih meremang saat mendengar ada
perpaduan yang kental antara gesekan pita suara dan
tekanan udara yang masuk melalui rongga pernafasannya.
"Mbak Kikin lagi kesel sama saya?" dia menuduh
dirinya sendiri sambil memiringkan posisi kepala agak ke
kanan.58 KINASIH
“Ah..bukan! Maaf, itu tadi Rita ngerjain terus,
jadinya saya—"
"Ow.." sambutnya seolah perduli. Matanya menukik
serius pada tutur kata gadis yang masih berdiri canggung
di antara pintu yang setengah terbuka itu.
"Eum, ada apa Mas?" tanya Kinasih kemudian
memotong dua detik suasana canggung barusan. Pria itu
menoleh ke sana sini, dan memperhatikan sekitar kostan
ini yang sepi.
"Pada ke mana semuanya, kok sepi?"
"Eum, mereka pada pergi sukuran, ngerayain
jadiannya Aryo sama Rita.”
Lalu pria ini memberi kurva senyum yang labil,
sebentar berganti dengan cengiran absurd. Tapi dia
mengangguk, cukup memberi kesan kalau dia cukup
terkesan.
"Dasar anak muda!" ocehnya, sambil menarik nafas
dalam-dalam. Oh, jadi dia memang merasa tua. Kinasih
mengurut dada.
"Mas Harno perlu bantuan saya?" tanya Kinasih
lagi,
"lya, saya boleh pinjam panci?"
"Panci?" ulang Kinasih.ALANA 59
"Saya mau masak mie, tapi nggak punya panci.
Maklum nggak sempet mikir beli panci." ujarnya dengan
muka malu-malu ndeso. Duda sepertinya memang
cenderung terlantar, apalagi dengan pola hidup yang
serabutan. Untung di kamar kostan ini sudah disediakan
ranjang sama lemari, juga meja. Kalau nggak, mungkin dia
sudah jempalitan di lantai.
"Ya, boleh. Sebentar saya ambilkan." Kinasih
berjalan ke dapur dan membuka pintu lemari perabotan
masaknya. "Panci buntut, kan Mas?" tanya Kinasih
setengah kenceng.
“Panci punya buntut?" pria itu mencandai Kinasih,
“Iya kayaknya, yang biasa buat masak mie , sih, Mbak.
Yang bisa dipegang buntutnya.” Imbuhnya, tanpa maksud
jorok, tapi asumsinya jadi ngeres. Kan sama saja, jadinya.
Kinasih kembali ke depan Suharno dengan
membawa panci dan sendok sayurnya sekalian. Dia yakin
benar, pria ini nggak punya apa-apa selain masalah.
Kasihan.
Diserahkannya panci itu langsung, dan si wartawan
ini menerima dengan senyum. Kinasih mendadak lupa
sama perkara hotel tadi dan mencoba bersikap ramah.
"Saya pake dulu ya, Mbak. Apa Mbak Kikin mau
saya masakin mie?" ujarnya menawarkan.60 KINASIH
"Nggak usah Mas, makasih!" tapi sebenarnya perut
Kinasih lapar. Dia cukup gigit jari saja menyesali
omongannya sendiri.
"Ya, sudah. Maaf mengganggu. Monggo di lanjutkan
lagi kegiatannya tadi. Saya masak dulu.”
Suharno berbalik, meninggalkan Kinasih tanpa
menuggu jawaban.
Fiuuh! Sekali lagi Kinasih menutup pintu. Setengah
berharap Suharno mau berbagi mie instan dengannya.
Maklum anak kost memang begini—darurat makan,
bencana kostional.
Suara ceret melengking tinggi, menyadarkan
Kinasih akan rencana mandinya.
Sekitar jam sepuluh malam, terdengar suara orang
batuk-batuk di luar sana. Kinasih agak terganggu, dan
penasaran juga siapa yang batuk sampai membangunkan
orang tidur. Setelah acara mandi tadi, Kinasih memang
sengaja tidur lebih awal, untuk menjaga kondisi kesehatan
tubuhnya. Tangannya menyibak tirai jendela sedikit,
mengintip keluar dan melihat Suharno sedang duduk
lesehan di depan kamar nomer 43 itu sambil merokok.
Pria itu terlihat santai dengan memegang camera
dan sesekali memeriksa notifikasi di handphone
pintarnya. Lalu menghisap lagi rokok yang masih separuhALANA 61
batang. Dia ini apa nggak sadar, ya. Sudah batuk ngiklik
kayak begitu, masih saja merokok, ditambah lagi bibirnya
yang penuh itu tampak menghitam karena_ nikotin.
Investasi kok penyakit. Hidupnya memang tidak sehat,
tapi kenapa tetap saja terlihat fit dan atletis dengan
bentuk bahu dan lengan yang kekar. Meski tidak besar,
tapi otot bisepnya itu terbentuk alami tanpa tratement.
Kinasih menutup lagi tirai jendela, dan
memutuskan untuk tidur, tapi mendadak handphonenya
berbunyi di bawah bantal. Cepat-cepat dia merogoh dan
melihat si penelepon. Suharno? Ngapain dia nelepon
malam-malam begini. Astaga! Dia kan harusnya tau, lampu
di kamar ini sudah dimatikan, dan itu artinya penghuninya
sudah tidur, tapi kenapa nekat nelepon, kecuali dia tau
kalau tadi Kinasih ngintip.
Ragu-ragu Kinasih menerima panggilan masuk itu,
dan membiarkan sura getaran hanphonenya berhenti
sendiri, tapi dua detik kemudian, pesan masuk.
-Mbak, sudah tidur ya?-
Kinasih mendengus dan menyimpan lagi telepon
pintarnya di bawah bantal. Rasanya kalau nanti
ditanggapi, bisa sampai jam dua dini hari lagi. Kinasih
nggak bisa mengikuti kebiasaan hidup pria itu. Sangat jauh
dari ekspektasinya. Pria semacam Suharno tidak akan
mungkin masuk dalam agenda hidupnya di masa depan.
Tidak! Tegas Kinasih sambil menggeleng di atas bantalnya.62 KINASIH
Pagi-pagi sudah hujan. Kinasih menagih cahaya
matahari saat membuka jendela, tapi justru yang
dilihatnya adalah pria gondrong itu yang sedang mengelap
motornya di depan teras kamarnya. Dia menoleh ke arah
Kinasih dan melambai. Semalam itu, Kinasih memang
tidur cukup nyenyak tanpa mimpi buruk. Sempat dia
mendengar ketukan di pintu, tapi karena saking
mengantuknya, dia tak bisa membuka kelopak mata.
Diabaikan lambaian tangan Suharno dan beranjak
ke kamar mandi.
Sekitar jam setengah delapan, Kinasih sudah siap
berangkat. Dia memasukkan laptop dan segala macamnya
ke dalam tas, kemudian membuka pintu kamar.
Diperhatikannya Suharno sudah sudah
mengeluarkan motornya ke lapangan badminton. Pria itu
sudah rapi pula dengan rambut yang terikat separuh. Cuek
bebek.
Apa memang seperti itu, gaya seorang wartawan
lepas sepertinya.
"Pagi, Mbak Kikin!" sapanya sambil memamerkan
gingsulnya lagi.ALANA 63
“Pagi!" sapa Kinasih sambil mengunci pintu.
"Sebentar Mbak, jangan di kunci dulu!" pria itu
menahan. "Saya mau ngembaliin panci yang semalam."
imbuhnya sambil kemudian berlari masuk ke kamarnya.
Kinasih melihat arloji, dan cukup gelisah juga,
karena tempat kerjanya cukup jauh dari sini. Pria itu
kembali keluar dengan membawa panci, berbarengan
dengan munculnya Rita di depan pintu kamar Aryo. Oh
Tuhan, semalam dia kan membawa kunci kamar Rita—
"Kembaliin kunciku dulu, Kin! Sialan kamu bikin
aku tidur di tempat Aryo!” makinya,
"Lha terus Aryo?"
"Dia tidur di kamar Anjar."
"Sorry!" sahut Kinasih sambil menerima panci dari
Suharno.
“Ada oleh-oleh sedikit dari Mojokerto Mbak!"
"Hah, kok pake segala dikasih oleh-oleh sih,Mas!"
“Aku mau juga, dong, Mas Harno!" celetuk Rita yang
berjalan mendekat.
"Ya, sebentar saya ambilkan."64 KINASIH
Pria itu kembali masuk ke kamarnya, dan keluar
sambil membawa sebuah kantong kresek. "Ini tinggal
terasi Rit!"
Rita cemberut—"Kinasih di kasih krupuk ikan sama
jenang, lha aku dikasih trasi. Pilih kasih kamu Mas!" tuduh
perempuan bawel ini sengit. Dia menyambar kresek di
tangan Kinasih dan menyomot satu bungkus krupuk ikan
dari sana. "Ini buat aku aja ya, Kin."
Kinasih hanya menatap serba salah ke arah
Suharno yang menggeleng jengah. Dia kembali sibuk
dengan mengecek spedometer motornya.
"Rit, ini kuncinya." Kinasih memberikan kunci
kamar Rita dan kembali ke kamar untuk menaruh
pancinya. Dia membiarkan Rita membawa krupuk ikan
pemberian Suharno itu dengan ikhlas. Ya hanya urusan
makanan untuk apa rebutan. Dia toh, bisa membelinya
sendiri kapan-kapan.
Diam-diam Suharno memperhatikan sikap Kinasih
yang kelihatan mengalah. Perempuan itu sejak pertama
kali dilihatnya memang sudah menunjukkan gerak-gerik
yang anggun, dan manis. Tidak neko-neko, dan sabar. Saat
dia harus mengurus Yoan saja, semua itu sudah kelihatan
sekali dia itu punya hati yang lembut. Suharno menyukai
type wanita seperti itu, hanya saja Kinasih sudah ada yang
punya. Semalam itu, kelihatan sekali dia langsung nempel
ke arah pacarnya itu waktu Suharno mengetuk jendelaALANA 65
kaca mobilnya. Pria itu beruntung sekali mendapatkan
Kinasih.
Kinasih berjalan ke arah halte bus di pinggir jalan
raya, waktu motor Suharno berhenti begitu saja. Pria itu
membuka helm dan menghembus nafas sebentar. "Aku
anterin, Mbak ke tempat kerjanya!" ujarnya menawarkan,
raut wajahnya dibuat editorial sekali dengan memasang
senyum yang paling simetris yang cocok dengan wajah
gantengnya. Itu yang dia pikir selama ini.
"Nggak apa-apa, Mas, saya nunggu bus aja." jawab
Kinasih menggagalkan niat baik Suharno
"Kenapa, Mbak? Motor saya butut ya." sedikit
merendahkan diri
Kinasih mengerutkan alis,tidak setuju di bilang
cewe matre dalam ungkapan Suharno. "Tempat kerja saya
agak jauh, nanti Mas Harno malah telat." jawabnya
"Saya kerja bebas, tidak terikat waktu." sahut
Suharno menyakinkan
"Eum—" Kinasih berpikir
“Ayolah, keburu_ telat loh!"§ memamerkan
gingsulnya lagi, tapi met Kinasih yang masih ragu, pria ini
menghela nafas. "Saya udah jinak, Mbak..." candanya tanpa
senyum. Ini membuat Kinasih tak bisa menahan senyum.
Gadis ini mau tidak mau mengangguk.66 KINASIH
Kinasih menerima ajakan pria ini, dan membonceng
di belakangnya setelah menerima helm. "Mudah-mudahan
polisinya masih pada tidur." Bisiknya, mengingat pria di
depannya ini tidak mengenakan helm.
"Ya, semoga masih pada mimpi." Timpal si
wartawan ini ganti. Tapi baru beberapa meter motor itu
melaju sebuah klakson panjang berteriak nyaris
membangkitkan arwah nenek moyang Kinasih yang sudah
di kubur puluhan tahun lalu. Dia menoleh, dan mendapati
SUV hitam pekat Bayu berada tepat di belakangnya.
Astaga, dia lupa kalau pagi ini Bayu akan menjemputnya.
Bagaimana ini? Suharno menyeringai pias, ketika
pundaknya ditepuk Kinasih untuk minggir ke sebelah kiri.
Pelan-pelan dia turun, dan mencopot helmnya. "Maaf Mas,
aku lupa kalo dia mau jemput." Ujarnya serba salah.
Suharno mengambil helm itu dan meringis.
"Nggak apa-apa. Udah sana!" usir pria ini. "Aku
duluan ya!" ucapnya permisi, dan melesat begitu saja
tanpa basa-basi lagi. Kinasih sempat melihat punggung
yang kian menjauh itu dengan hati sedikit runyam.
TIIIN TIIIIIN. Menjatuhkan bahu sebentar, dan
berjalan mendekati mobil Bayu. Dia memberikan tatapan
sinis sebelum masuk dan duduk di sebelah cowo itu.
"Siapa dia?”
Kinasih sudah bisa menebak, pertanyaan itu pasti
terlontar dari mantan pacarnya ini. Bayu memang typeALANA 67
cowo yang cemburuan dan egois. "Tetangga kost." Jawab
perempuan ini sambil memasang seatbelt.
"Kamu nebeng sama dia, atau memang sedang
menjalin hubungan sama cowo itu?" tanyanya dengan biji
mata membulat sempurna.
"Apa-apaan, sih, Mas Bay, nih? Dia kan Cuma
menawarkan diri mengantar.”
“Tapi kan kamu tau aku bakalan jemput kamu pagi
ini!" sedikit naik nadanya, membuat Kinasih harus
beringsut agak jauh. Sekarang dia mepet ke pintu mobil.
“Aku lupa, Mas." Penjelasan itu hanya ditanggapi
dengan dengusan.
"Masa bisa lupa." Komentarnya
"Ya sudah kalo nggak percaya.”
“Aku bukannya nggak percaya, tapi—" mendengus
kasar untuk kesekian kali, dan Kinasih tidak suka dengan
kebiasaan Bayu yang satu ini, sedikit banyak seperti
meremehkan.
Kinasih memilih untuk diam, dan fokus ke arah
depan. Dia tidak perduli dengan persepsi Bayu mengenai
semua ini, karena yang jelas antara dirinya dan Mr.
Wartawan itu tidak terjadi apa-apa.68 KINASIH
"Kenapa diam?" tanya Bayu setelah mereka hampir
sampai di tempat kerja. Pagi ini mereka memang bekerja
di tempat yang sama.
"Nggak kenapa-napa."
"Kamu—" omongan Bayu terpotong, karena Kinasih
meliriknya sengit.
“Aku nggak mau Mas Bay ngomong macam-macam
mengenai aku. Apapun yang Mas Bay pikirkan, itu salah."
Jelas Kinasih lagi
“Memangnya kamu tau apa yang aku pikirkan?"
Bayu meringis
"Ya sedikit banyak aku tau, Mas." Kinasih
menunduk
Perjalanan ketempat kerja rasanya lebih lama dari
biasanya, dan sumpek rasanya di benak Kinasih harus
menghadapi situasi it ayu terus membicarakan masalah
ibunya yang kekeuh ingin bertemu dengannya—secepat
mungkin. Tidak jelas kenapa, tapi sepertinya ada sesuatu
yang mendesak. Kinasih mulai takut memikirkan sesuatu
yang mungkin dia akan hadapi.
“Mau, ya." Bayu memohon, dan Kinasih hanya bisa
mengangguk.
Dia menyanggupi untuk bertemu dengan Ny.
Wirayadi itu lagi. Ya, kata hatinya memang harus diALANA 69
pastikan dulu kebenarannya. Selama ini dia tidak pernah
salah berasumsi.
"Tapi nggak nanti malam ya, Mas. Minggu aja,
soalnya aku harus mengajar les private di rumah anak
tetanggaku."
"Ya, Minggu aja. Aku ngerti kok, Kin. Aku seneng
kamu sudah mau menerima ajakanku."
Bayu semringah senang, dan menjejeri Kinasih
dengan hati setengah lega. Masih banyak kemungkinan
sampai hari Minggu nanti, dan dia harus mewaspadai juga
cowo-cowo yang berada di sekitar Kinasih, termasuk cowo
yang tadi mengendarai motor itu. Dia ingin tahu siapa dia.
Sore harinya Kinasih sudah stand bye di kamar
kostnya, dan bersiap untuk pergi ke rumah anak muridnya
yang masih duduk di kelas enam SD untuk mengajar les
private semua mata pelajaran. Dia memang sengaja di
leskan untuk menghadapi ujian nasional yang akan
berlangsung dua bulan lagi. Kinasih semakin intens
dengan kegiatannya, karena ini menyangkut nama baiknya
sebagai pengajar.
Setelah mengenakan pakaian yang pantas, dia
keluar kamar. Dilihatnya sososk adik tirinya itu tengah
berjalan membawa sebuah nampan yang ditutupi. Nita70 KINASIH
tampak dingin melirik kakaknya "Nit!" sapanya ragu, gadis
itu menghela nafas.
"Apa, mbak?"
"Mau ke mana?"
"Bukan urusan Mbak!" jawabnya ketus.
"Hm," Kinasih mengangguk melihat adiknya
berjalan masuk lagi ke dalam rumah. Marrie muncul dan
berjalan mendekati Kinasih, kemudian menarik gadis itu
masuk ke dalam kamar.
“Ada apa?" tanya Kinasih. "Kalau mau pinjam uang,
aku belum gajian." Ujarnya.
PUK. Merrie menepuk pundak Kinasih sambil
merengut. "Aku nggak pinjam uang, lagian uang aku lebih
banyak dari uangmuy, Kin." Celetuknya.
“Sombong!" sindir Kinasih sambil terkekeh
"Eh, itu anak ibu kost dari tadi mondar-mandir
nengokin kamar Mas Harno, tau nggak!"
"Halah, gosip kamu ya!" tuding gadis ini
"Nggak, beneran. Sumpah inyong, Kin. Dia tadi
ngeliat Mas Harno pulang, terus bawa nampan itu ke sana,
tapi ternyata Mas Harno udah keluar duluan buru-buru.”ALANA 71
Kinasih mengeryit. "Maksudnya, Mas Harno emang
udah pulang, tapi terus pergi lagi gitu?”
Marrie mengangguk, "Nita ada maksud sama Mas
Harno kayaknya.”
"Sssst, jangan menyebar gosip!"
"Ish, aku nggak nyebar gosip tau nggak, ini fakta.”
Kinasih menghempas tangan tidak perduli,
kemudian berdiri. "Aku mau ngelesin Mayang sekarang.
Ngobrolnya ntar lagi ya."
Merrie ikutan berdiri menyandingi Kinasih. "Mas
Harno itu sibuk terus, jarang ada di tempat."
“Aku nggak tau." Jawab Kinasih
"Kamu kan deket sama dia."
Kinasih memberikan kerutan di kening menanggapi
omongan Marrie. "Kamu jangan macem-macem, Mer.
Jangan ngomongin aku yang nggak-nggak loh!"
Merrie hanya mencibir. "Aku sih berharap antara
kamu sama Mas wartawan itu ‘iya-iya’, Kin. Bukannya aku
mendukung, tapi kelihatannya hubungan kamu sama Bayu
itu udah nggak harmonis."72 KINASIH
Ya, memang beginilah kenyataannya, mereka
semua nggak ada yang tahu, kalau Kinasih dan Bayu itu
sudah putus. “Aku berangkat dulu, Mer!"
"Oke!"
Kinasih berjalan agak cepat meninggalkan kamar
kostnya setelah mengunci pintu. Di pagar dia berpapasan
dengan motornya mas wartawan itu, dan pria itu masih
menyungging senyum.
"Mau ke mana, Mbak Kikin?"
"Ngajar Mas."
“Ada jadwal ngajar lagi?"
"Iya." Jawab Kinasih singkat
“Saya antar?"
“Cuma di dekat sini kok Mas." Kinasih berjalan
melipir menghindari motor Suharno yang sudah setengah
jalan melewati gerbang.
"Ya udah kalo begitu." Sahutnya sambil nyelonong
masuk, tanpa noleh lagi. Kinasih berdecak sebentar,
sambil kemudian melanjutkan langkah. Dia agak cuek,
atau ini hanya perasaan Kinasih aja.
Ugh, rasanya dicuekin itu nggak nyaman ya, tapi
Kinasih menarik semua rasa tidak nyaman itu dari orbit
yang tidak tepat di dalam tubuhnya, yang nggak tau persisALANA 73
di mana letaknya. Perasaan tidak nyaman itu lebih tepat di
bilang sebagai pusaran angin di duodenumnya yang
berebut mencari celah untuk keluar. Bilang saja, mau
kentut. Kinasih melengos halus, saat satu lirikan super
kilat itu menyambarnya. Ya, untuk apa dipikirkan.
Suharno masih sempet meliriknya, tapi nggak ada
ekspresi di sana. Greget. Mendadak dia harus minggir,
waktu ada taxi berhenti di depannya begitu saja. Berniat
pergi, tapi ketika pintu di buka, sepasang kaki mungil itu
turun dengan lincahnya. Yoana binti Suharno itu muncul
lagi, dan beruntung Bang Toyibnya juga ada di rumah.
"Tante!" sapanya mantap, suaranya masih kenes,
dan senyumnya itu masih bagus.
"Eh, Yoan!" sapa Kinasih balik
"Tante mau ke mana?”
"Mau ngajar. Kamu, dari mana?" melihat gadis kecil
itu membawa tas besar yang kelihatannya berat. Jangan
bilang dia kabur dan mau tinggal di sini sama bapaknya
yang jarang di rumah itu. Duh!
"Yoan, dari tempat les."
"Oh."
"Bapak ada nggak, Tante?"
"Ada."74 KINASIH
"Hm, Tante..." sebutnya
"Apa?" Kinasih menjawab panggilan itu
"Yoan mau kasih liat ke tante."
" Liatin apa?"
“Yoan melukis."
“Hm, Yoan pintar melukis ya?"
Gadis cantik itu mengangguk bangga, tapi KInasih
memang sedang buru-buru. Dia berdecak sebentar
sebelum memberikan statement...
“Aku buru-buru, Yo. Gimana kalo nanti aja."
"Iya sih...." sebentar berpikir. "Ya udah deh, ntar aja.
Yoan mau ketemu Bapak dulu." Sambil memasuki pagar.
Duh, repot bener sih nih anak, bawaannya sudah kayak
orang mau pindahan. Kinasih menggeleng untuk kesekian
kalinya.
Sore ini tidak hujan, jadi jalanannya nggak basah.
Kakinya melangkah setengah ngebut menuju rumah di
ujung jalan. Rumah keluarga Saptono, yang punya dua
orang anak perempuan yang cantik-cantik. Yang satu
sudah di bangku SMK Farmasi, yang satu lagi masih SD.
Kinasih mengajar Mayang yang kebetulan punya adat
manja yang nggak ketulungan. Nggak perlu diceritain
detail manja itu kayak gimana, yang jelas ngerepotin orang
di sekitarnya. Kinasih masih bisa memaklumi levelALANA 75
kemanjaan Mayang, karena dia memang nggak ada di
sekitar bocah itu setiap hari, setiap waktu, jadi dia nggak
repot. Tapi yang harus di khawatirkan itu pembantunya,
ibunya juga kakak perempuannya, dan satu lagi, bapaknya.
"Itu Mbak Kikin, mbak Mayangnya sekarang nggak
ada." pembantunya itu menjelaskan dengan sikap
canggung. Perempuan asal Karang Anyar itu sebentar-
sebentar menggigit bibirnya yang kering.
"Ke mana ya?" Kinasih sedikit kecewa, bukan
karena hari ini dia nggak dapat bayaran, tapi karena
waktu belajar itu memang sangat mahal belakangan ini.
Pikiran anak-anak sekarang itu sudah
terkontaminasi gadget dan sebagainya. Tuntutan jaman
yang membuat mereka mengenyampingkan hal primer
seperti Jelas-jelas sudah mau ujian nasional, tapi masih
main-main sama jam belajar. Itu sangat tidak bertanggung
jawab sekali. Dia menyayangkan ini, dan tentu saja kecewa
sekali. Keperduliannya itu dilandasi latar belakang
hidupnya sendiri yang tidak pernah mendapatkan hal
lebih seperti anak-anak jaman sekarang. Kinasih tidak
pernah tau gadget, tidak pernah mendapatkan les private,
atau waktu luang untuk bermain. Dia hanya tau belajar,
dan membantu ibunya berjualan setelah bercerai dengan
bapaknya.
"Dia tadi pergi sama temennya, Mbak."