You are on page 1of 302
2 KINASIH Cerita ini tidak mengandung konten dewasa, aman di baca bagi yg sudah bisa baca. ALANA 3 Tentang Kinasih Kinasih hanya gadis sederhana, mempunyai kisah hidup yang sedikit luar biasa tapi tidak lebih istimewa dari wanita lainnya. Banyak yang sudah dia lewati, termasuk sebuah background kusam kedua orang tuanya yang bercerai karena cinta memudar. Kinasih tak muluk mempunyai harapan, dia menutupi banyak kisah muram dalam dirinya dengan senyum. Tak ada yang mengenal lebih dalam dari seorang Kinasih selain seorang gadis berumur 22 tahun, berdarah separuh etnis China, single, dan mempunyai karir sebagai pengajar di sebuah sekolah ilmu komputer. Kinasih tidak ingin jatuh cinta sembarangan tapi kenyataannya dia tertarik pada sosok serabutan, seorang pria berumur jauh darinyaseorang duda pula. Keraguannya akan sosok pria seperti ayahnya yang meninggalkan ibunya itu membibit di darahnya. Takut pada masa depan suram yang tak di harapkan. Mungkin ada hal yang harus duungkap, mungkin juga ada hal yang harus di raih. Bukan semata jenjang akademis yang dicapainya dengan gemilang tapi juga sisi 4 KINASIH rentan dari dasar hatinya yang membutuhkan pertolongan. Setting sebuah kota di Jawa Tengah, dengan bahasa yang luwes dan sederhana. Tidak ada si kaya dan si miskin yang dijodohkan karena hutang piutang, tidak ada juga si Millyader ganteng, dingin, kejam, sok bossy, hidup lagi, atau cewe nerd, cerdas, memikat, dan bernasib untung. Dalam Kinasih ini, hanya ada cerita biasa, dari hidup yang luar biasa. Semoga bermanfaat. ALANA 5 "Mbak, numpang payungan!" suara bariton itu mengagetkan Kinasih yang berdiri di trotoar, menunggu angkutan kota datang. Sore ini, memang sedang hujan, dan dia baru saja pulang dari kegiatan mengajarnya di salah satu sekolah tinggi ilmu komputer, di kotanya. Karena senggolan pria berambut ikal gondrong itulah, dia merasa was-was. Jangan-jangan dia mau berbuat jahat. Pikirnya. Kinasih tidak bisa menolak, karena pria dengan postur tinggi itu langsung menyelinap ke sebelahnya. Untung payungnya cukup lebar untuk ukuran badan Kinasih yang mungil. Pria itu kasih senyum ramah. Eh, kayaknya pernah lihat. Kinasih lagi mencari kepastian sambil memperhatikan mobil angkutan umum yang penuh melintas di depannya. “Baru pulang, ya Mbak Kikin.” tanya pria ini, agak canggung, tapi matanya terus memperhatikan perempuan dengan tinggi badan yang hanya mencapai pundaknya ini. 6 KINASIH Kinasih harus sampai mendongak untuk mencapai wajah yang sebetulnya menarik kalau nggak lagi kusam begitu. Ya, itu jelas kelihatan dari kantong mata yang menggelap, dan juga rambut yang sepertinya belum di keramas beberapa hari itu. Tabah! Kinasih mengurut dada. "Kok, tau nama panggilan rumah saya, ya?" tanya gadis ini bingung Kinasih bukannya ge-er, nama panggilan yang biasanya di pakai di rumah itu, di sebut sama pria ganteng, tapi kusut ini. Ya, kenapa Kinasih nggak sebut dia cowo ganteng, malah pria ganteng, memang apa bedanya? Ehm, itu mungkin dari penerawangannya Kinasih, pria ini umurnya sudah sekitar tiga puluhan,dan dia bukan type- type mahasiswa yang suka gangguin dia di kampus. Mentang-mentang Kinasih mungil, mereka suka mengira gadis berumur 22 tahun ini mahasiswa juga. Mereka banyak yang tertipu dengan penampilan Kinasih yang manis dan ramah. Di kelas dia juga selalu bersikap layaknya mahasiswa, tidak galak, dan memberi banyak keringanan. Alhasil, banyak mahasiswa cowonya yang menganggap Kinasih ini teman. Kinasih agak merengut sebentar untuk mengingat lagi pria di sebelahnya. "Mbak Kikin nggak ngenalin saya?" alis pria ini agak nyureng nunjukin kesan manly di wajahnya. Astaga, Kinasih harus ternganga sebentar, tapi akhirnya melengos ALANA 7 halus. Wajah mulusnya tertutup helai rambut sebahunya. Kenapa agak deg degan ya. "Saya lupa, Pak! Apa kita..." "Saya tinggal di depan Mbak Kikin. Pintu kost nomer 43." jawabnya lancar. Kinasih menutup mulutnya dengan tangan. Masa sih? Batinnya bertanya sendiri. Jadi pria ini tetangga kostnya. Kenapa nggak sampai tau ya. "Saya emang jarang di tempat, karena sering bepergian, jadi wajar kalau Mbak nggak kenal saya yang emang baru satu minggu tinggal di depan Mbak, tapi saya pernah lihat Mbak, kok, dan sempet tau juga kalau Bu Arum yang punya kost manggil Mbak, dengan sebutan Kikin." Jelasnya, dengan bibir yang menghitam. Pria ini, perokok berat, kayaknya. Kinasih menebak dengan akurat. Memang seperti itulah, mungkin tampang-tampang pria yang agak serabutan dengan gayanya ini. Aduh, mana pakai ditindik segala itu kuping dan giwangnya itu, loh yang bikin geli, bentuk hati. Masa pria beginian pakai giwang cinta. Harus ketawa atau ngeri, ya? "Mbak!" tepuk si pria, ke pundaknya. "ly..iya, itu makanya saya bingung, soalnya saya pikir kostan di depan saya masih kosong, ternyata Bapak yang ngisi.” 8 KINASIH "Eh, nama saya Suharno, tapi panggil aja Harno, jangan manggil Pak, saya belum tua." Dia ngajak Kinasih salaman, dan sebagai manusia ramah, Kinasih menyambut uluran tangan pria ini. Mereka saling menjabat sebentar. Kinasih nyengir grogi. "Ya udah mbak ya, saya duluan dulu. Itu bus saya sudah datang!" pria itu berlari menembus hujan yang sudah tidak terlalu deras lagi. Kinasih masih termangu, bingung harus bagaimana dengan kesan yang baru saja dia rasakan. Ya, kemana saja dia ini sampai tidak tau punya tetangga kost baru. Namanya jadul banget. Suharno. Nama _pakai awalan Su itu, kan nama-nama yang sering di pakai kakek neneknya dulu. Masa, orang tua dia masih menamakan anaknya pakai nama Su. Hujan memang sudah berhenti, tapi dinginnya masih menemani Kinasih yang baru saja menaruh payungnya di bangku kayu, di depan kostannya. Bangku yang biasa di pakai duduk dan ngobrol dengan tetangga kost lainnya itu, di geser agak merapat ke temboknya. Biasanya Merrie, tetangga yang kamarnya pas di samping kamar no. 43 itu yang suka meraat property kost di sekitar hunian mereka. Hm, kenapa jadi concern ke nomer 43 ya. Matanya jelas-jelas sedang menatap ke sana, tapi kemudian buru-buru dia merogoh kunci dari dalam tas. "Tante!" mendadak suara itu mengagetkan Kinasih. Demi Tuhan, hari ini dia jantungan terus. ALANA 9 Seorang bocah perempuan dengan baju basah kuyup itu berdiri di sampingnya. Astaga! Kinasih langsung memutar badannya_ supaya bisa lebih _jelas memperhatikan bocah yang menggigil kedinginan itu. "Tante, kenal Bapak saya nggak?" tanyanya, sambil menatap penuh harap. Datang-datang nanyain bapaknya, memangnya Kinasih sudah ngumpetin bapaknya apa. "Bapak kamu siapa? Memangnya tinggal di sini?" tanya Kinasih sedikit ragu. "Bapak saya wartawan, namanya Suharno Bastian. Ini alamat yang saya tau." Kinasih kaget juga, waktu bocah ini bilang, kalau nama bapaknya itu Suharno Bastian. Apa pria yang tadi ketemu di jalan itu, bapak bocah perempuan ini. Pria dekil,kumel tapi manis itu. "Saya bawa alamat ini Tante." Bocah itu menyodorkan secarik kertas yang sudah lecek, plus basah dengan tulisan acak-acakan yang menyebutkan alamat ini. Ya, memang bener, sih ini alamatnya. "Dek, kamu sama siapa ke sini?" tanya Kinasih sambil celingukan ke sana sini mencari siapa tau ada orang yang nganterin bocah ini ke sini. "Sendiri, Tante." jawabnya, lalu duduk di bangku kayu, memandangi Kinasih, "Tante, kenal, kan sama Bapak saya." 10 KINASIH "“Eum, ya nggak terlalu kenal sih, tapi kalau memang yang di bilang itu namanya Suharno, Tante tau. Dia tinggal di depan tuh. Pintu itu kan nomer 43, di situ yang tinggal namanya Suharno. Tapi kayaknya, dia nggak ada, deh sekarang." jelas Kinasih, merasa kasihan sama bocah yang badannya kedinginan itu. “Ke mana, ya, Tante. Padahal, Yoan pengen banget ketemu Bapak. Yoan kangen.” Wajahnya tambah murung, ditingkahi hawa dingin yang semakin membuatnya pucat. "Eh, mendingan kamu masuk dulu yuk ke kamar Tante." Loh, kok jadinya dipanggil Tante mau aja. Kinasih kan masih 22 tahun. Belum tua. Apa iya, kualat gara-gara nyebut bapak bocah ini dengan sebutan ‘Pak’. "lya, Tante. Yoan kedinginan." ujarnya. Kinasih membuka pintu dan segera_ mencari handuk untuk mengeringkan badan si bocah ini. "Kamu berani amat nyari bapak kamu sampai ke sini. Memangnya Bapak kamu nggak pernah pulang?" Yoan menggeleng. Dasar Bapak tidak bertanggung jawab. Maki Kinasih dalam hati. “Bapak sama Mama udah cerai, Tante.” "Ow!" akhirnya Kinasih meralat makiannya. Pantas saja, kalau memang sudah bercerai. Yasmau bagaimana lagi- ALANA 11 "Ganti bajunya ya, pake celana pendek Tante nih, tapi kayaknya agak kegedean." Kinasih agak ragu memberikan pakaian dia yang mungkin akan kedodoran di pakai sama bocah perempuan berambut serupa dengannya ini. Ya, dia mempunyai dagu runcing dan bentuk wajah yang sama. Kalau di sandingkan, mereka pasti dibilang ibu dan anak, tapi kan Kinasih masih perawan. Dia nggak mau di bilang sudah punya anak. “Tante, muat, kok!" Bocah itu sudah memakainya, dan memang muat, meski agak kepanjangan. Celana itu, kan celana hot pan yang dikasih Rita seminggu lalu. Katanya, buat Kinasih yang mungil, lebih pantes pakai yang pendek-pendek, supaya nggak tenggelam, dan bentuk kakinya bisa kelihatan, sedikit membuat kesan agar posturnya agak tinggi. Semua teman-temannya selalu meledek Kinasih pendek, padahal nggak pendek-pendek amat, sih. Tingginya itu 160 senti, ideal sama berat tubuhnya yang 45 kg. "Ya, sukur, deh kalau muat. Kaosnya juga muat, ya, kayaknya.” “Tante untung punya kaos-kaos sempit." “Bukan, Sayang. Itu bukan kaos sempit. Tante masih muat, kok." "Badan Tante seminil, jadinya kaosnya hampir sama kayak kaos Yoan di rumah." 12 KINASIH “Hehe, seminil” Kekeh Yoan, geli. Ngomong-ngomong masalah rumah, di mana rumah bocah ini. "Eh, Dek, rumah kamu di mana?" tanya Kinasih sambil mengambil mie instan dari dalam _lemari makannya. Kamar kostnya ini simple sekali ya, tata ruangnya tidak rumit. Kalau boleh dibilang ini super minimalis,hanya satu petak, dan satu buah ruangan tambahan yang berfungsi untuk mandi. Mungkin tepatnya di bilang kamar mandi darurat. Di situ hanya ada satu kran, dan satu ember, plus WC conventional. Biasalah standart Indonesia. Jongkok. Di sampingnya ada semacam meja beton, yang dipakai Kinasih untuk menaruh kompor dan bumbu-bumbu dapur. Sangat sederhana, dan ruangan tambahan itu di pisahkan oleh sebuah pintu kayu yang bisa dikunci pakai gembok. Sampai sekarang Kinasih masih mikir, sebenarnya kenapa pintu itu harus dikasih kunci model gembok. “Rumah Yoan jauh Tante, di pinggiran, jalan raya ke arah Jogyakarta." "Di daerah Kartosuro?" tebak Kinasih. "lya, Tante." jawabnya “Kamu laper, kan. Tante bikinin mie rebus ya, biar badannya hangat.” "Makasih Tante, tapi Bapak pulangnya kapan ya? Yoan udah kangen banget sama Bapak." ALANA 13 Kinasih menghela nafas. Kalau untuk alasan yang satu itu nggak tau juga ya, kapan pria bernama klasik berbendera slankers itu pulang. Mereka tidak terlalu kenal, jadi tidak punya kontak yang bisa dihubungi. Kenapa juga Kinasih harus menghubungkan penampilan Suharno sama group musik kesayangan itu. "Tante!" panggil Yoan mengagetkan. "Apa?" "Kapan Bapak pulang?" Gadis ini menggeleng, sambil memasukkan mie instan itu ke dalam air yang sudah mendidih di atas kompor. Yoan rebahan di atas kasur yang di kasih sprei warna kuning sama Kinasih. Baru aja tadi pagi dia menggantinya. Jadi, masih rapi. “Tante, tinggal sendirian di sini?" "Iya." jawab Kinasih singkat “Yoan nggak papa kan tiduran di sini,kan?” “Iya nggak papa." "Bapak lama amat sih!" keluhnya lagi "Di tungguin aja, mudah-mudahan cepet pulang." Bocah itu mengangguk. 14 KINASIH Kinasih menuangkan bumbu mie instan itu ke dalam mangkok, sambil kemudian, mengaduk mie yang sudah hampir jadi di dalam panci. Airnya bergolak menghangatkan telapak tangannya. Bocah itu mengingatkan Kinasih pada dirinya sendiri. Bapak dan ibunya dulu juga bercerai saat Kinasih kelas lima SD. Tidak beda jauhlah suasana hatinya kayak Yoan. Merindukan Bapak yang nggak pernah pulang. "Kalau Mama tau, Yoan pasti di marahin." ucap bocah itu tiba-tiba "Jadi Yoan nggak bilang sama Mama kalau mau ke sini?" "Nggak akan dikasih ijin Tante.” "Kenapa?” Yoan hanya mendengus. Bocah itu pasti punya pengalaman buruk tentang hubungan Bapak dan Mamanya yang tidak harmonis, sampai tidak mau menjelaskan apapun. "Yoan, makan dulu, mie nya sudah jadi." Kinasih menuangkan mie ke dalam mangkok, dan menaruhnya di atas meja. Gadis kecil itu bangkit dari kasur dan duduk menghadapi mie rebus tanpa bumbu pedas itu. "Makasih, Tante udah repot." wajahnya cerah melihat mie instan hangat itu ALANA 15 Kinasih mengangguk. Bocah itu cerdas, di lihat dari caranya berinteraksi dengan orang asing yang baru ditemuianya dia tidak sungkan dan canggung, bisa berbicara lugas dan jelas tanpa ragu. Beruntung yang dia temui Kinasih, coba kalo Aryo atau Rita yang kebetulan tinggal di sebelah Kinasih, pasti sudah dicuekin, atau malah di laporin ke RT. “Pelan-pelan makannnya ya, masih panas!" Kinasih duduk menemani bocah itu sambil memperhatikan raut mukanya. Dia lupa bagaimana wajahnya Suharno itu, jadi tidak bisa memastikan apakah mirip atau tidak. Kasihan, sampai kangen begini sama bapaknya. "“Bapak itu wartawan atau jurnalis gitu, Tante. Dia emang jarang di rumah. Bepergian melulu. Paling Yoan ketemuan sama Bapak tuh sebulan dua kali atau paling banyak tiga kali.” "“Memangnya begitu ya, kerjaannya wartawan, suka ninggalin anaknya sampe kangen begini.” canda Kinasih. "Hehe, iya kali. Yoan nggak ngerti Tante." jawab Yoan datar, sambil terus nyeruput mie instannya. "Tante nggak makan?" "Nggak, udah kenyang. Tadi, Tante udah makan di kampus.” “Tante masih kuliah?" 16 KINASIH "Nggak, Tante dosen magang. Masih tahap jadi dosen beneran. Kamu umurnya berapa tahun?" "Yoan umur delapan tahun. Sudah kelas tiga sekarang." Jawabnya, lengkap. "Mama kamu kerja?" selidik Kinasih lagi "Iya. Mereka dua-duanya kerja, dan Yoan tinggal sama Mbak Titin." "Siapa itu? pembantu?" Yoan ngangguk. "Mbak Titin pasti dimarahin Mama sekarang, soalnya pas dia jemput sekolah tadi, nggak nemuin Yoan di sekolah." Sekarang Kinasih baru sadar, kalau bocah ini ternyata kabur dari rumah. Astaga! Gimana ini? Jangan- jangan nanti dia dituduh nyulik anak orang lagi. Duh Suharno, kenapa ngga pulang-pulang ya. Kelakuan kayak Bang Toyib gini gimana nggak mau anaknya kangen. "Tante mienya udah abis. Yoan boleh tiduran lagi nggak di kasur?" "Boleh, asal nggak mual aja sih. Kan abis makan, takutnya perut kamu nggak nyaman." "Tenang aja Tante, Yoan udah biasa." "Ow, ya udah, deh! Tante mau mandi dulu ya. Kamu di sini aja, jangan ke mana-mana, tungguin Bapak kamu. ALANA 17 Dari sini keliatan, kok, ke sana." sambil nunjuk kamar kost yang letaknya di pisahkan lapangan badminton. Bocah itu mengangguk, terus numpangin kepalanya di bantal. Badannya miring ke arah kamar kost itu sambil terus berharap bapaknya cepat pulang. Kira-kira sepuluh menit, Kinasih mandi, lalu menemui Yoan sudah tertidur pulas. Mungkin kecapekan. Kasihan. Jam delapan malam, Kinasih membuka laptop sambil mempelajari materi yang akan dia sampaikan besok ke mahasiswanya, dan hujan turun lagi. Gadis ini bergerak untuk menutup jendela dulu, karena udaranya cukup dingin. Dilihatnya Yoan masih tidur, dan dia tidak mau mengganggunya. Mungin ibunya di luar sana sudah sibuk dengan para polisi untuk mencari anaknya ini. Ya, apa boleh buar, Kinasih tidak bermaksud jahat menyembunyikan Yoan. Bocah itu yang datang sendiri ke sini, untuk mencari bapaknya. Baru beberapa detik dia fokus pada layar laptop, sebuah suara derungan motor terdengar berhenti di depan kamar kostnya. Cepat-cepat dia melongok dan mencari tahu orang tersebut. Motor RX-King dengan pengendara seorang pria berjaket coklat itu tengah melepaskan helm hitamnya dengan buru-buru. "SUHARNO!" sebut Kinasih senang. £hm, maksudnya senang karena akhirnya bapaknya bocah ini 18 KINASIH datang juga. Tangannya membuka knop pintu dengan cepat. Suharno yang masih sibuk melepas sepatu itu, tidak menyadari kalau Kinasih mencoba memanggilnya dengan berbagai bahasa tubuh yang berserakan, diantara suara hujan yang meramaikan genteng asbes mereka. "Pak!" eh, salah. “Bapaknya Yoan!” Apa ya. " MAS!" akhirnya Kinasih memutuskan untuk menyebut Mas ketimbang Pak. Itu lebih manusiawi untuk pria seumuran Suharno. Pria itu masih tidak mendengar. Apa kupingnya ketutupan rambut gondrongnya itu ya. Kinasih berjingkat- jingkat agak mendekat tapi tidak yang sampai harus kehujanan. Dia melambai dengan tangan kanannya. "MAS SUHARNO!" panggilnya keras, dan barulah pria itu menoleh. "HI!" sapa pria itu ganti sambil melambai juga. Duh, apa-apaan sih orang itu! Gimana cara menyampaikannya, ya. Masa harus berteriak kalau anaknya ada di kamar Kinasih. Pria itu masih menunggu. Akhirnya Kinasih mengambil payungnya dan menggunakannya untuk mendekati pria itu. Mereka sempat saling mencuri pandang sesaat sebelum Kinasih sampai di depan pria yang sudah melepaskan jaketnya itu. Bau keringat bercampur minyak wangi membuat Kinasih harus ALANA 19 maklum. Pria ini duda. Tegasnya, tapi apa hubungannya bau keringat sama duda. Agh, sudahlah! Kinasih di buat mumet sama parfum wartawan kumel ini. "Ada apa, Mbak, kok kayaknya emergency gini, sampai harus nyamperin saya pakai payung." ucapnya bingung, dia menaruh sarung tangannya di atas kusen pintu. "Eum, Mas..." "Nggak manggil Pak lagi." Ledeknya. Kinasih hanya nyengir. "Itu di kamar saya ada anak perempuan, katanya nyari Bapaknya. Namanya Yoan. Apa Mas ini, bapaknya?" Kinasih agak lucu sama pertanyaannya sendiri. Dia ini wanita berpendidikan, dosen juga, tapi tidak punya susunan kalimat tanya formal yang bermutu. Tapi, pria itu langsung berlari ke arah kamar Kinasih tanpa basa-basi. Bahkan, menerjang hujan seperti merenangi lautan. "Mas Harno!" panggil Kinasih. Sikap pria itu sudah membuktikan bahwa antara Suharno dan Yoan memang ada hubungan. Kinasih lega, akhirnya semua ini harus berakhir. Pria bernama Suharno itu sedikit basah setelah melewati jutaan kaki-kaki hujan di lapangan badminton 20 KINASIH tadi, mana tidak pakai sandal, kakinya nyeker dan basah, tapi dia tampak terharu dengan tubuh Yoan yang tergolek pulas di atas kasur. O so sweet, akhirnya Bang Toyib ketemu sama anaknya lagi. Tatapan matanya yang sendu itu, loh yang bikin Kinasih terharu. "Kapan dia datang, Mbak?" suaranya agak serak, menahan perasaan kangennya-mungkin. "Tadi sore, pas saya baru pulang.” jawab Kinasih sambil menaruh payungnya di bangku lagi. “Apa dia bilang kalau ke sini itu sudah minta ijin mamanya atau belum?" Kinasih mengangguk, "Katanya dia nggak bilang mamanya." “Tck!" Cuma itu yang dikeluarkan dari mulut si Suharno ini. Bibir bawahnya menggantung, membuat kesan mencelos di dalam hatinya. "Dia sudah makan, terus saya tinggalin mandi, tau- tau udah tidur." jelas Kinasih. "Ya, makasih udah ngerepotin, Mbak." ucapnya serba salah. Pria ini kelihatan bingung, karena_ sesekali melarikan jemari tangannya menyisir rambut ALANA 21 gondrongnya yang sekarang lengkap sudah; antara bau tengik, dan basah. Ada sedikit senyum di bibir Kinasih waktu menyadari sebenarnya sejak tadi dia itu sedang mencari- cari hal menarik dari pria yang duduk di bangku sambil memandangi anak perempuannya itu tidur. "Saya mau gendong dia ke kamar saya,supaya Mbak Kikin bisa istirahat." Ujarnya "Masih hujan Mas, kasihan!" “lya ya." ucapnya sambil menengok hujan di luar sana. Kinasih berjalan ke arah meja dapurnya, kemudian membuat secangkir kopi untuk Suharno. Saat kembali, Kinasih menemui pria itu sedang menatap ke arah layar laptopnya yang terbuka. "Oh maaf, nggak sengaja." omongnya sambil menghadapi Kinasih. "Nggak apa-apa. Ini kopinya, Mas!" "Kenapa harus repot ,sih, Mbak." “Cuma kopi." "Anak saya udah ngerepotin, saya akhirnya ngerepotin juga.” 22 KINASIH Kinasih menggeleng. "Dia lucu." menunjuk Yoan dengan dagu. "Dia ini sebenarnya anak yang cerdas, cuma aja mamanya itu-" omongan pria ini harus terhenti, karena sepertinya ada semacam hal keramat dalam hubungan rumah tangga yang tidak bisa dia ungkapkan di depan Kinasih. Well, Kinasih pun tidak akan memaksa masuk ke ranah terlarang itu "Di minum dulu, Mas, kopinya." suruh Kinasih lagi, sambil duduk di pinggiran tempat tidur. Mereka berhadapan dengan jarak satu panjang kaki. Suharno menyeruput kopi hitam yang disediakan Kinasih, kemudian ditaruh lagi di meja. "Saya terlalu sibuk sama pekerjaan saya, sampai lupa nengokin Yoan." Kinasih mengangguk, terus menoleh ke arah Yoan. Dia sendiri gugup karena harus berhadapan dengan Suharno. Pria itu kemudian berdiri. "Saya mau mandi dulu Mbak, nanti kalau dia bangun, suruh ke kamar saya aja!" pesannya sambil jalan ke arah pintu. Kinasih ikut berdiri dan meremas tangannya sendiri, saking gugupnya. "Iya." jawabnya singkat, dan Suharno langsung berlari lagi menembusi hujan. Tubuh bongsornya itu kelihatan seperti jerapah yang kebelet buang air besar. Ya ALANA 23 ampun! Kinasih memejamkan mata mengusir pikiran konyolnya. Gadis ini tidak menutup pintu dan membiarkan hawa dingin itu masuk. Malam ini entah kenapa dia, sangat menikmati hujan ini. Suaranya lebih merdu dari suara hujan-hujan sebelum malam ini. Untuk beberapa menit, dia berkecimpung lagi dengan kegiatan awalnya dengan materi ajarannya. Kinasih juga mendengarkan musik menggunakan earphone-nya. Suasana ini sangat mendukung, dan hatinya nyaman, meski tidak terlalu tenang. Kenangan masa lalunya begitu rumit, sampai dia harus mengalami masa- masa sulit ini. Rumah ini, yang dia hanya tinggali sepersekian meternya saja, merupakan rumah peninggalan Bapaknya, dan Bu Arum pemilik kost ini, sebenarnya adalah ibu tirinya. Sedikit yang tahu semua itu, karena memang Kinasih tidak pernah membeberkannya. Paling yang sudah tinggal lama di sini saja yang tahu tentang dia. Bu Arum itu menikahi Bapak Kinasih saat dia duduk dibangku SMP. Kinasih punya adik tiri perempuan bernama, Anita yang sekarang masih kuliah. Mereka juga jarang bicara, dan bagi Kinasih itu bukan masalah. Sejak Bapaknya meninggal hubungan mereka semakin renggang. Menyapa ibu tirinya hanya untuk formalitas saja. Apa boleh buat. Ya, kenapa Kinasih tidak menuntut haknya atas rumah bapaknya ini? Itu yang menjadi pertanyaan, tapi 24 KINASIH bukan menjadi beban pikiran. Dia sudah merelakan semuanya. Kinasih bukan orang yang serakah, karena pada dasarnya, dia tidak menginginkan semua itu. dia cukup senang bisa tinggal di salah satu kamar kost ini tanpa harus membayar sewa bulanannya. Dia bisa menempuh jenjang pendidikan, hingga lulus dengan biaya asuransi pendidikan yang diberikan bapaknya dulu. Ini sudah cukup baginya. Bu Arum itu tidak jahat seperi ibu tiri yang sering diceritakan. Dia hanya wanita berumur 52 tahun, bertubuh sedikit berisi dan pintar memasak. Wajahnya putih dan mulus, dulunya dia sinden dan bersuara bagus. Sangat merdu, dan sesekali juga masih sering menyanyikan beberapa lagu favoritnya. Penghuni kost yang menempati area di samping rumah besar ini sering mendengar, dan menikmati suara merdu Bu Arum kalau sedang berkarouke-ria. "Mbak!" Kinasih masih belum sadar namanya di panggil dari depan pintu. Suharno sudah berdiri di sana dengan penampilan beda. Dia masuk, dan menepuk pundak Kinasih, dan barulah gadis itu mengangkat dagu, mendongak pada si wartawan yang menjulang di sampingnya. Earphone itu dilepaskan dari kuping Kinasih, kemudian berdiri karena takjub atau entahlah- Apa mungkin karena pria ini habis mandi, jadi ada aroma segar yang menguar dari badannya yang ALANA 25 terbungkus kaos putih bersablon metamorfosis ulat keket itu. Wajahnya juga tambah ganteng, dengan rambut yang terkucir. Kok, jantung Kinasih tambah berantakan ya detaknya. Bibirnya nggak sempat ngomong apa-apa, tapi alisnya itu seperti merintih mewakili jeritan-jeritan liar dari dasar hatinya. Kinasih terpesona begitu saja, dengan kesan kedua si wartawan yang tadi dia bilang dekil and the kumel itu. Suharno ganteng. Nyengir frustasi. Suharno menggendong Yoan, tanpa_ kesulitan. Tubuh kecil itu meringkuk dalam dekapan bapaknya yang hangat. Otot-otot tangannya tampak menonjol dan membuat senyum Kinasih merebak. Kelihatannya perkasa sekali. Bayangan rasa nyaman dalam dekapan itu menghantui Kinasih yang kemudian nyengir lagi. "Biar saya payungin Mas!" ujarnya menawarkan "Udah nggak hujan lagi, kok!" "Masa sih?" Kinasih berjalan keluar kamar untuk memastikan. Memang tidak hujan lagi-kecewa? Mendadak dia bersirobok dengan tatapan seorang wanita yang menoleh ke arahnya secara reflek. Wanita itu tidak pernah di lihatnya sebelum ini. Apa penghuni kost baru? "Mas Harno!" sebut wanita itu sambil berjalan mendekat. 26 KINASIH Kinasih menoleh ke belakang, dan mendapati Suharno sudah berada di sana sambil menggendong Yoan, sedangkan wanita itu kian dekat dengan wajah yang disulut api dari neraka. Tampak membara dan mengerikan. Setelah jarak mereka dekat, terlihatlah wajah yang ternyata cantik itu, dan yang membuat kuping Kinasih gatel adalah dia memanggil Suharno dengan sebutan Mas juga. Apa dia ini. "Jadi kamu ngumpetin Yoan di kamar pacar kamu!" tuduhnya mematahkan keramahan yang di pasang Kinasih barusan. Mukanya langsung pias menghadapi Suharno dan wanita itu yang saling melontarkan tentakel amukan lewat matanya. Jadi dia mantan istrinya Suharno. Cantik, sexy, berkelas. Kelihatan sekali dari penampilannya. Bajunya itu bagus dan sepertinya memang mahal. Agh, Kinasih nggak punya spec untuk level baju yang dibilang bagus. Sebenarnya, baju murah pun bisa di bilang bagus, kan. "Rin, Yoan ini datang sendiri ke sini. Aku nggak nyulik dia, tau nggak!" jelas Suharno dengan nada tenang, kemudian menoleh ke arah Kinasih yang berdiri serba salah. Dia ingin masuk meninggalkan dua orang ini bicara, tapi suara Suharno mencegahnya. "Maaf ya Mbak, dia nggak tau apa-apa.” "Halah, pake basa-basi! Ngomong aja terus terang kalo dia ini pacar kamu, nggak usah sungkan, aku juga ALANA 27 nggak perduli!" ketusnya, dan Kinasih mengurut dada. Sayang banget, penampilan anggun, tapi kelakuan ragunan. "Rina, please ayo bicara di kamarku aja!" "Nggak mau! Aku ke sini mau jemput Yoana. Sekarang bawa dia ke mobil. Aku nggak sudi lama-lama di tempat kumuh ini!" ucapnya. Suharno hanya menghela nafas, sambil kemudian berjalan mengikuti wanita itu. "Sebentar ya, Mbak!" omongnya seolah-olah punya hutang penjelasan pada Kinasih. Gadis ini hanya kasih senyum untuk memberi semangat. Mantan istri galaknya minta ampun, pantas aja dicerai. Tanpa ambil pusing Kinasih akhirnya berjalan masuk ke kamarnya, tapi mendadak dia mendengar suara jeritan Yoan. "YOAN NGGAK MAU PULANG SAMA MAMA~!" kepala Kinasih melongok lagi, dan mendapati Yoan sudah terlepas dari gendongan bapaknya, menantang keras ibunya dengan wajah geram. "YOAN KANGEN BAPAK. YOAN MAU TINGGAL SAMA BAPAK!" sambungnya "YOAN!" bentak sang ibu tanpa rasa sungkan. “Rina, jangan membentak Yoan!" 28 KINASIH “Kamu selalu memanjakan Yoan sampai dia harus begini." "Rin, wajar jika dia kangen sama Bapaknya, kan." "Mas, kamu nggak nyadar ya kalau kamu tuh-" "RIN!" hardik Suharno seketika. "Jaga omonganmu di depan Yoan." ucapnya lagi, dan wanita bernama Rina itu menarik jatah oksigennya. "Yoan, Mama sudah nyariin kamu dari tadi, tau nggak?" "Yoan pengen sama Bapak. Mama sih nggak bisa ngerasain Yoan kangen, Yoan pengen ngobrol lagi sama Bapak." isaknya kemudian,tapi Suharno berjongkok. Kinasih terenyuh pada adegan itu. Suharno sudah menunjukkan sikap yang benar di depan anaknya. Dia terlihat sekali sangat mencintai anak perempuannya itu. Rumit. "Yoan pulang ya, sama Mama. Bapak janji besok ke rumah, dan kita bisa ngobrol." jelas pria itu dengan sabar, mengelus rambut Yoan dan memberikan senyum. Pantas saja Yoan jadi kangen sama Bapaknya. Mungkin karena sosoknya itu begitu hangat dan penuh kasih sayang. "Yoan pengen sekarang.” ALANA 29 "Yoan, Mama udah capek ini. Mendingan kita pulang, dan tidur. Besok Mama ada urusan penting, kamu bisa ngertiin Mama nggak sih?" "Yoan ngerti Ma, tapi Yoan kangen Bapak. Biarin Yoan bobok sini sama Bapak, trus besok Yoan pulang." “Yoan, besok pagi Bapak harus pergi pagi-pagi juga, dan mungkin nggak sempet nganter Yoan." jelas Suharno lagi Duh! Kinasih nyesek juga mendengarnya. Kenapa sih, mereka nggak mau mengalah demi Yoan, untuk semalam aja. "Yoan bisa dianterin sama Tante, Pak!" tunjuk Yoan pada Kinasih. Mendadak Rina dan Suharno itu menoleh ke arah Kinasih yang masih mengintip di balik pintu. Astaga, ketahuan nguping. Gadis ini memberikan senyum gugup, kemudian masuk dan menutup pintu. “TANTEEEEEE!" panggil suara kenes Yoan. Argh! Kinasih bingung harus gimana. Dia membuka pintu lagi, dan mendapati Yoan sudah berdiri di sana. "AKU NGGAK SUDI MAS, YOAN TINGGAL SAMA PACAR KAMU!" ucap Rina lagi menuduh. Suharno menghela nafas, "Rin, dia bukan pacarku, dia hanya tetanggaku. Itu saja." dan sekarang penjelasan itu terasa agak mencubit batin Kinasih. Iya sih, dia 30 KINASIH memang hanya tetangga, dan ketemu juga baru saja. Diantara mereka nggak ada hubungan apa-apa, selain hanya karena mereka ini adalah TLL; Tetangga Lima Langkah, itu aja. "AKU NGGAK PERCAYA!" Rina berkoar lagi, dan sepertinya penghuni kost yang lain sudah terpancing untuk keluar. Mereka melongok dari pintu-pintu mereka, dan Kinasih menjadi malu. Mereka akan berpikir, Kinasih menjadi pelakor diantara pria itu dan mantan istrinya. Kinasih semakin pusing. "Kalau nggak percaya, terserah kamu!" Suharno mendengus dan menghampiri Yoan yang berdiri menggandeng tangan Kinasih. "Yoan, dengerin apa yang dibilang Mama ya! Bapak janji besok, bapak ke rumah Yoan." Bocah kecil di samping Kinasih ini merengut kesal. Dia tidak mau menjawab sama sekali, malah akhirnya masuk ke kamar Kinasih, dan tidur di kasur itu lagi, mana sekarang dia menutup tubuhnya pakai selimut. "TUH KAN! Kamu ngajarin apa sama anak kamu, sampai dia lengket sama pacar kamu, Mas? Aku ini Mamanya, kenapa dia nggak mau dengerin aku?" Rina gusar melihat kelakuan Yoan. "Rin, ayok!" Suharno menarik tangan mantan istrinya itu pergi dari hadapan Kinasih yang terbengong- bengong sendirian. Malam ini sepertinya kisruh sekali, dan ALANA 31 Yoan bintiSuharno itu juga akhirnya bersarang di kamarnya. Bagaimana ini? Kinasih duduk di bangku, menghadapi bocah perempuan yang masih ber-camping di bawah selimutnya. Ini sedikit menegangkan karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sendiri. Suharno itu masih berembuk dengan mantan istrinya, di luar pagar, di dekat sedan pekat Civic yang berkilau di timpa lampu jalan yang kebetulan ada di atasnya. Mereka bicara sangat seru, sampai harus menggunakan bahasa tubuh yang meriah, ibarat sedang bermain teater di pinggir jalan. Kinasih hanya berpikir, apakah dulu mereka menikah berdasarkan cinta? Lalu ke manakah semua cinta itu kini menguap. Aish, kenapa harus bermonolog seperti ini? Memangnya perduli apa Kinasih sama hubungan mereka dulu. "Yo!" panggil Kinasih pada bocah perempuan yang dia yakini tidak tidur itu. Yoan menyembul dari bawah selimut dengan alur muka yang runyam. Bayangkan, bocah umur 8 tahun itu bisa menampilkan warna muka yang begitu suram dengan menghadapi semua ini. Kasihan! "Main game, yuk, di laptop!" ajak Kinasih untuk membubarkan kesan kisruh di hati bocah perempuan itu. Dia perlu dihibur sebentar. Yoan yang sedang bersimpuh di atas kasurnya , merapikan rambut pendeknya, dan berjalan dengan lututnya, kemudian turun, mendekati Kinasih yang menunggunya. 32 KINASIH "Tante, Mama udah pulang belum?" tanyanya pelan "Udah kali." Jawab Kinasih singkat. "Yoan benci kalo Mama galak kayak gitu." Kinasih mengangguk, dan memberikan usapan di punggung Yoan. "Tapi dia tetap Mama kamu, Yoan." "Iya, Yoan tau." Bocah itu duduk di samping Kinasih, pada bangku yang tadi di tempati Bapaknya. Dia memperhatikan layar laptop yang masih gelap. “Mama tiap hari marah-marah terus kalo di rumah. Nggak pernah dia nggak marah. Kesel jadinya." Ungkapnya dengan nafas tersendat-sendat. Kinasih hanya tersenyum, "Mungkin memang begitu cara Mama Yoan menyayangi Yoan." “Agh, yang bener aja! Masa sayang kok kayak gitu. Sayang tuh ya, ngomongnya baik-baik aja. Emang Mamanya Tante dulu sayangin Tante begitu bentuknya?"” Kinasih nyengir. Nggak juga sih. Ibunya dulu sayang banget sama Kinasih, sampai berjuang mati-matian mencari nafkah untuk mereka. Kinasih punya kakak laki- laki yang sekarang sudah menikah dan tinggal di luar negri, tapi ibunya itu kini sudah tiada karena penyakit gagal ginjalnya, saat Kinasih SMP. Dia akhirnya tinggal bersama sang Bapak, sedangkan kakak laki-lakinya, Bagus, menolak tinggal bersama ibu tiri, memilih hidup sendiri di ALANA 33 Semarang bersama Bude, dan mbah Marto, meski sekarang sudah terlalu jauh. "Ya, setiap orang kan berbeda_ untuk menyampaikan perasaannya, Yo!" sedikit memberikan wejangan. "Nggak, Yoan nggak suka!" protes bocah ini dengan pendiriannya. "Ya, Tante nggak bisa ngomong banyak, takut salah. Tahu sendiri Mama Yoan itu tadi marahin Tante dan ngomong yang nggak-nggak." "lya, Tante. Ya udahlah, biarin aja. Yoan juga udah paham banget sama adatnya Mama. Itu yang bikin Bapak pergi dan nggak mau kembali ke rumah lagi." Yoan menekur sebentar, sampai sebuah ketukan di pintu yang terbuka itu mengagetkan mereka. Suharno sudah berdiri di sana, memamerkan wajah tenang. Sebelah tangannya berada di saku celana, sebelah lagi memanggil anaknya supaya mendekat. "Mama udah pulang, Pak?" tanya bocah itu memastikan "Udah. Sekarang ke kamar Bapak aja ya, jangan di sini. Mbak Kikin mau istirahat." 34 KINASIH "Yoan manggilnya Tante, Pak." Cengir bocah itu, lalu Suharno menatap Kinasih yang memasang wajah datar. "Tante Kikin, kami permisi dulu. Maaf udah ngerepotin Tante." Ujar pria itu sambil menampilkan gigi gingsulnya. Demi Tuhan, itu manis banget, dan bikin Kinasih spechless. Oke, ini berlebihan, dan Kinasih pasti hanya terpesona sesaat. Pria itu dan Yoan, berjalan menyebrangi lapangan badminton di depan kamar kost Kinasih, lalu sampai di kamar no.43 itu dengan selamat. Mereka masuk dan menutup pintu. Kemudian, Kinasih melakukan hal yang sama, menutup pintu. Dan menghempaskan diri di atas kasurnya. Sungguh peristiwa yang sangat mendebarkan. Hari ini Kinasih seperti mendapatkan sebuah pengalaman baru menghadapi kehidupan. Tidak gampang untuk menjalani sebuah kehidupan pernikahan, terlebih dengan dua karakter yang sama-sama kuat. Kinasih tak mampu berpikir banyak dan lebih memilih untuk membuat dirinya lelap. ALANA 35 2 Pagi harinya, Kinasih terbangun oleh sebuah ketukan di pintu. Waktu melirik jam dinding, ini masih belum jam enam. Sebenarnya dia sudah harus bangun, tapi badannya sedikit capek dan bangkit tidak bersemangat. "Tan~teee!" pangilan itu, Kinasih sudah tahu dan menarik dalam-dalam nafasnya. "Tante Kikin!" panggil Yoan lagi. Kinasih bangkit dari kasurnya dan berjalan ke arah pintu, tanpa memperhatikan penampilannya yang berantakan, dan pada saat dia membuka pintu itu— "Oh!" dia kaget karena ternyata Yoan bersama Bapaknya. Mereka berdiri dengan baju yang sudah rapi, dan pria itu—Suharno, dia tersenyum geli memperhatikan Kinasih yang memang masih membawa pesona bangun tidurnya ke depan pintu. BRAKH. Dia menutup pintu lagi, dan berlari ke kamar mandinya. Mengambil satu gayung air dan mengguyurkan ke wajahnya. Sebentar kemudian, 36 KINASIH menyambar sikat gigi dan mengoleskan odol, setelah itu dia menyikat dengan semangat. Beberapa detik kemudian, dia sudah ada di depan cermin, menyisir rambutnya yang berantakan. Barulah dia kembali ke arah pintu. Yoan cekikikan ketika melihat Kinasih sudah rapi saat membuka pintu. "Tante, kenapa sih?" ledeknya, tapi Kinasih malah mengacak rambut bocah perempuan itu dengan gugup. "Ada apa, Mas Harno?" tanya Kinasih kemudian Pria itu mengangguk sebentar, dan mendorong Yoan ke arahnya. "Nitip Yoan, aku harus segera ke Mojokerto, ada yang harus dikerjain di sana." Omongnya sambil melirik arloji silvernya. Pria ini bersikap seolah- olah mereka sudah kenal cukup lama. Kinasih mengerutkan kening. "Terus nanti gimana, Mas?" “Nanti, Mamanya yang jemput ke sini katanya." "Mas?" Kinasih menatap gusar. "Saya nggak mau, kalau nanti akhirnya kayak semalam lagi. Saya ini bukan apa-apa. Loh,Mas." Dia menegaskan posisinya, dan pria itu mengeratkan rahang. "Aku sudah wanti-wanti sama dia, kalau peristiwa semalam nggak boleh terulang lagi.” ALANA 37 Kinasih tidak tahu harus bilang apa, karena dia sendiri meragukannya. Mana mungkin perempuan kayak gitu di beri pengertian. Oh, Tuhan! "Gini aja,deh, Mas," menjeda sebentar kalimatnya, sambil memperhatikan Yoan yang sedang mendengarkan mereka bicara. "Saya antar Yoan ke sekolah aja, terus nanti biarin Mamanya jemput Yoan ke sekolah. Saya nggak mau lagi ketemua sama mantan istri Mas yang—" Kinasih menghentikan kalimatnya, sungkan menyebut galak, meski kenyataannya dia itu lebih dari sekedar galak. Perempuan bernama Rina itu, ganas. "O,gitu?"” Suharno mempertimbangkan, kemudian mengambil handphonenya. "Aku boleh tau nomer handphone kamu, nggak? Biar kalau ada apa-apa lagi, kamu bisa hubungi aku.” Omongnya. Apa nggak kebalik ya, atau ini hanya modus untuk mendapatkan nomer Kinasih. "O, boleh." Kinasih mengambil telepon genggamnya yang dia simpan di bawah bantal, lalu menyerahkannya pada Suharno. Pria itu mencatat nomernya sendiri di sana, kemudian mengembalikan lagi pada Kinasih. "Kamu bisa mengantar Yoan ke sekolah, setelah itu hubungi aku." "Oke!" Suharno menatap putrinya sebentar, dan mengusap kepalanya. "Jangan nakal lagi ya!" 38 KINASIH Yoan mengangguk, "Jangan kabur-kaburan lagi. Nanti kalau kangen Bapak, kamu tinggal telepon Bapak aja, trus nanti bapak dateng ke rumah. Jangan bikin Mama kamu pusing. Kasihan!" "lya, Pak!" jawab Yoan mantap. “Aku titip Yoan ya, Tante Kikin." Omongan itu jelas- jelas setengah meledek, soalnya bibirnya si wartawan yang pagi ini sudah mengurai rambut gondrong sebahunya itu lagi tadi sempat di pasang cengiran. Kinasih membalas dengan cengiran juga, dan mereka akhirnya tersenyum nggak jelas. "Kenapa jadi ikutan manggil Tante Kikin sih?" protes Kinasih sebal. Wajahnya ditekuk kesal, tapi pria itu sepertinya menikmati sekali kesan jengkel Kinasih. Dia berjalan ke arah motornya, dan Kinasih membatin sendiri, menganggumi sosok Suharno yang memang sangat unik sekali menjadi seorang Bapak. Motor itu melaju pergi, meninggalkan kepulan asap knalpot yang tidak berarti. “Tante, Yoan lapar!" ucapnya tanpa sungkan, Astaga! Kinasih cuma memutar bola matanya. "Ayo, tapi Tante mandi dulu ya. Kita makan di luar aja nanti. Tante nggak mau kamu makan mie instan lagi, nggak bagus buat pencernaan kamu.” Yoan mengangguk nurut. ALANA 39 Kinasih membawa Yoan menggunakan motor matic Rita. Temannya itu, kebetulan lagi libur dan nggak ada kerjaan, jadinya seharian ini, dia bisa bebas. Kinasih belum punya dana khusus untuk mengajukan kredit motor, maklum gajinya sendiri selama menjadi dosen magang masih belum cukup untuk membayar uang muka kreditan. Ngenes banget, tapi dia nggak ngeluh dan menjalani semua ini apa adanya. "Yo, udah sampe nih!" Kinasih mengantarkan Yoan tepat di depan sekolah Yoan di salah satu sekolah swasta di daerah Manahan. Bocah itu menyerahkan helm ke arah Kinasih. "Makasih Tante!" serunya. Dia menggunakan seragam merah putih yang memang kemarin dia simpan di tasnya. Benar-benar sudah merencanakan untuk kabur menemui bapaknya. Sungguh bocah yang nekat. "Kalo ada apa-apa, hubungi Tante, ya!" ucap Kinasih sebelum menstarter motornya lagi "Iya Tante!" jawabnya, kemudian melambai. Kinasih memutar motornya dan menjauhkan diri dari depan pagar sekolah, menghilang ke arah Selatan. Hatinya benar-benar lega, karena akhirnya dia sudah terbebas dari Yoan. Bukan karena dia tidak suka pada bocah itu, tapi dia hanya merawa khawatir dengan hubungan kekeluargaan mereka yang seharusnya masih dijaga. Kinasih membicarakan masalah Suharno, dan 40 KINASIH mantan istrinya itu yang seharusnya nggak uring-uringan menghadapi kehidupan perceraian mereka yang tragis. Kasihan Yoan. Di lampu merah Proliman, Kinasih belok kanan ke arah Gilingan. Dia harus melewati terminal Tertonadi ke daerah Nusukan. Di sana dia harus bekerja, di sebuah tempat bimbingan belajar anak-anak SD sampai SMA, dan sore harinya menjadi pendidik di sekolah komputer. Jadwal hari ini lumayan padat, tapi mudah-mudahan nggak hujan. Pintanya dalam hati, sambil memakirkan motor di depan sebuah ruko berlantai lima. Suasananya sudah lumayan ramai. Di depan pintu dia berpapasan dengan pria itu, Bayu. Bayu Aryanto, sosok yang selama ini sudah dia jadikan mantan, tapi masih jadi bayangan buat Kinasih. Dalam arti, pria itu masih saja menggentayangi kegiatan Kinasih ke mana-mana. "Kamu tadi nganter siapa, Kin, ke Manahan?" tanyanya. Kinasih melirik. Tuh, kan, dia tahu. Kinasih nggak heran, soalnya dia itu memang begitu. Bayu itu memang type cowo yang rasa ingin tahunya tinggi sekali, sampai- sampai harus ngepoin mantan pacarnya ini, meski sebenarnya itu tidak penting dan buang-buang energi. Tapi nggak, dia itu menganggap itu, kegiatan sampingan, hobby baru, katanya ke Mas Imron si administrasi di tempat bimbel ini. ALANA 41 Sekarang Bayu memang satu tempat kerja. Dia juga mengajar bimbingan belajar, hanya untuk mata pelajaran bahasa Inggris, sedangkan Kinasih mengajar Matematika dan Fisika. "Kamu liat di mana, Mas Bay?" tanya Kinasih sambil naruh tasnya di sofa, melemparkan punggung di sana, dan menikmati hawa pendingin ruangan yang pas banget di atasnya. Bayu masih berdiri, bersandar di tembok. Mereka saling menatap' sebentar, kemudian membuang pandangan. Mas Imron cuma geleng kepala saja. "Ya, sekedar liat aja." Jawabnya. "Dia anak tetanggaku, yang nebeng dianterin sekolah. Orang tuanya nggak sempet nganterin, buru-buru kerja keluar kota." Jawab Kinasih. Dia memang harus menjawab dengan akurat, karena kalau tidak, Bayu akan mengejar jawabanterus sampai besok Subuh, dan seterusnya. “Tetanggamu, kan jomblo semua, Kin." "Agh,mbuh, Mas!" Kinasih langsung malas menanggapi, dia berdiri, nyangking tasnya dan bersiap masuk kelas. Beberapa muridnya pasti sudah ada yang datang, dan mending dia ngobrol sama anak SMP ketimbang Bayu. "Kin!" panggil Bayu mengejar. “Aku mau nyiapin materi dulu Mas!" ngeloyor pergi. 42 KINASIH Kinasih masuk ke dalam kelas yang sudah di huni tiga orang murid SMP. Mereka itu Ayu, Damar, dan Yulan, tapi waktu mau mengajak bicara, handphonenya bergetar di saku jasnya. Buru-buru dia duduk di bangku guru, dan menerima panggilan itu yang ternyata dari Si Wartawan Dekil itu. “Tante!" sapanya, masih menggoda. "Hm, apa, Pak Harno!" goda Kinasih ganti, dan bibirnya menyungging senyum. Ternyata suara pria itu enak juga kalau di dengerin di handphone. "“Eum, Yoan gimana?" tanyanya "Sudah saya antar ke sekolah.” "Ow, makasih, ya!" serunya sambil ngos-ngosan, kayaknya sambil jalan dan membawa tentengan satu ton. “Pak Harno lagi marathon?" tebak Kinasih sambil nyengir. "lya, ini udah tiga kilometer, Tante. Mau bantuin dorong nggak?" "Ish, dorong gimana?" "Dorong pake truck." "Nggak lucu." Balas Kinasih. Kok jadi begini ya pembicaraan mereka. Aneh nggak sih? Mereka kan baru ALANA 43 ketemu kemarin, terus sudah bisa ngobrol kayak teman lama, dan nggak tau kenapa Kinasih merasa santai saja. “Agh, nggak lucu ya." "Pak Harno udah sampe mana ini?" Kinasih mengalihkan pembicaraan. “Aku di Bandara, mau ke Mojokerto, Tante." "Kapan pulang?" uphs, kenapa harus tanya itu— Kinasih merem sebentar, mengutuki kebodohannya sendiri. Kenapa harus keceplosan itu, nanti dia kira Kinasih menanti kepulangan pria dekil itu. "Eh, kapan ya?" Kinasih diam tidak berkomentar. “Maunya kapan, Tante?" “Loh, kok tanya saya, Pak?" "Mungkin, saya tiga hari, Tante, di Mojokerto." "Ehm, ya.” Jawab Kinasih datar. "Kalau Yoan datang, aku titip ya, Tan!" "Boleh-boleh, asal nggak disatroni nenek sihir itu lagi aja, Pak!" "Nggak, dia udah saya bilangin jangan ke tempat saya lagi, kalau nggak, saya akan—" Suharno diam 44 KINASIH Dua detik kemudian masih diam, dan Kinasih sudah melihat kelasnya penuh. "Pak, saya harus mengajar dulu ya." "Oh iya, maaf mengganggu. Saya juga harus boarding pass. Sampai ketemu lagi ya." Kinasih menyimpan handphonenya di tas, dan berdiri menghadapi murid-muridnya. Dua hari kemudian, menjelang Maghrib, Kinasih bersiap pulang. Dia membereskan semua buku, dan melipat laptop di depannya. handphone di atas meja bergetar lagi. Ini sudah yang kesekian kali benda pintar itu menggeliat minta disentuh, tapi diabaikan karena masih sibuk mengajar. Di tengok sebentar, ternyata Bayu yang memanggil. Si Mantan ini bener-bener nggak bisa berhenti mengganggu, ketenangan Kinasih. "Ya, Mas Bay!" sahut perempuan ini. "Kin, aku ada di depan kampus." "Kok?" "lya, kita makan malam bareng, yuk!" ajaknya "Mas, aku udah di tunggu sama Rita, dia baru jadian sama Aryo, dan kami nanti mau makan bareng. Dia sukuran ceritanya.” ALANA 45 Terdengar deheman pendek Bayu yang seperti keberatan, "Kenapa Mas?" "Kamu nih, ya aneh, orang baru jadian, kok malah mau kamu gangguin?" "Mereka yang ngajak, kok! Dan lagi, nggak aku aja, kali, Mas yang di ajak. Ada Merrie, sama Anjar. Kami cuma mau makan di Angkringan.” jelas Kinasih. Jari tangannya di tekan-tekan ke kening, mijat rasa pusing yang mendadak muncul. Mungkin juga kurang tidur. Nggak jelas kenapa, semalam kok Kinasih chatingan sama Pak Wartawan itu sampai jam dua dini hari, dan yang diobrolin itu random, tapi nggak sampai menyinggung masalah rumah tangga pria itu. Kinasih tahu diri kok, dan nggak mau mengusik semua itu. Hanya saja, mereka membicarakan masalah Yoan. Bocah kecil itu ternyata pintar melukis. Itu yang di kisahkan sang Bapak dengan rasa bangga. Dia sudah beberapa kali mengikuti lomba melukis dan memenangkannya. Kinasih pikir itu keren. Untuk anak perempuan seumuran Yoan, bisa mempunyai prestasi di masa kecilnya itu sedikit banyak akan membangun rasa percaya diri dalam perkembangan mentalnya. Kinasih tidak mempunyai prestasi apa-apa dulu. Masa kecilnya sudah begitu sulit dengan keadaan kisruh keluarganya. Bapak dan ibunya jarang bicara. Memang, mereka tidak bertengkar, tapi mereka saling mendiamkan, 46 KINASIH itu yang parah menurut Kinasih. Tidak ada keterbukaan, dan komunikasi yang baik diantara satu sama lain. Ini yang membuat Kinasih menjadi dewasa_ sebelum waktunya. Dia harus menjadi perantara diantara orang tuanya. Ketika ibunya ingin menagih sesuatu pada bapaknya, ibunya itu malah nyuruh Kinasih yang ngomong, atau sebaliknya. Itu terjadi kalau Bapak ada di rumah, mengingat sebenarnya bapaknya itu memang jarang pulang, jadi Kinasih nggak harus tiap hari jadi surat berjalan. Kinasih masih berumur sepuluh tahun, saat mereka mulai menemukan ketidakcocokkan. Mengenaskan, setelah duabelas tahun menikah akhirnya kadar perekat mereka menjadi kering, retak, dan terpreteli. "Kin!" sebut Bayu menyadarkan, "Ya udahlah Mas, tungguin sebentar ya." Kinasih segera memasukkan semua itu ke dalam tas, lalu beberapa menit kemudian sudah menampakkan diri di depan mobil SUV Bayu yang terparkir di depan gedung kampus. Bayu kelihatan senang waktu Kinasih mau di ajak pulang bareng. Itu sudah jadi keinginannya sejak dua hari lalu. Cowo ini ingin balikan lagi sama Kinasih. Apalagi sekarang ibunya sudah mau membuka hati untuk gadis yang dulu ditolaknya mentah-mentah itu. Ya, Bayu memang berasal dari keluarga yang terpandang, dengan kedua orang tua yang lengkap dan harmonis. Mereka kaya, ALANA 47 tapi ketika menghadapi seorang Kinasih, gadis sederhana, dengan kehidupan keluarga yang timpang, ibunya menunjukkan sikap kurang menerima. Bayu sedih dan frustasi karena semua itu. Dulu saat Kinasih masih kuliah, dan bekerja serabutan di toko baju di daerah Widuran, ibunya menganggap Kinasih cuma pesuruh alias pembantu, jadi kurang kompeten untuk menjadi calon istri anaknya. Soalnya, banyak yang ngantri mendapatkan cinta Bayu, dan mereka itu dari keluarga terpandang juga. Sikap itu yang membuat Kinasih kurang simpati juga sama mereka, dan memilih untuk menjauh, sampai akhirnya melihat Bayu berkencan dengan seorang gadis pilihan ibunya secara diam-diam, seketika itu juga Kinasih langsung mutusin hubungan secara sepihak. "Kita makan malam di rumahku aja ya, Kin." Bayu menoleh sebentar, saat Kinasih melihat ke arahnya. Kinasih kaget—"Kenapa harus di rumah Mas Bay?" dengan nada keberatan "Ibuku. Dia pengen ketemu kamu, katanya." Kepala Kinasih menunduk gusar. Kenapa jadi begini? Bukannya ibunya Bayu itu nggak suka sama dia. Mobil berhenti tepat di lampu merah. Suasana jadi canggung seketika. 48 KINASIH "Ibuku sudah mau nerima kamu, Kin." sambungnya lembut, tapi Kinasih masih belum berkomentar. Semakin gugup saja, membayangkan dirinya harus bertemu lagi dengan wanita yang biasa bicara dengan nada tinggi itu. Kepalanya semakin pusing. Sebenarnya, apa yang membuat dia berubah haluan dan mau menerima Kinasih lagi, padahal Kinasih masih tetap Kinasih yang dulu, yang berasal dari keluarga brokenhome, yang punya kakak gay dan menikah dengan pria Australia. Apa nantinya semua latar belakang ini tidak akan membuat keluarga Bayu jadi tambah malu. "Kin!" tegur Bayu sambil berusaha megang tangan perempuan di sampingnya. "Aku janji nggak akan menyerah buat kamu, Kin." Kinasih, menarik senyum datar. Omongan Bayu itu tetap saja nggak bisa menenangkan batinnya. Kinasih trauma dengan tudingan miring Ny.Wirayadi padanya. Tuk Tuk. Ketukan di jendela kaca di sampingnya itu membuat Kinasih menoleh. Seseorang bertengger di atas motor dengan pakaian serba hitam, termasuk helm dan jaketnya. Kinasih menarik badannya menjauh dari sisi kaca, mendekat pada Bayu. ALANA 49 "Mas!" ucapnya, dan Bayu bersikap protektif dengan melongok ke arah orang di luar sana. “Mau ngapain sih dia?" "“Nggak tau, Mas." Tapi pandangan Kinasih tetap ke sana, dan ketika sosok itu melepaskan helmnya, barulah perempuan ini bernafas lega. Orang itu Si Wartawan dekil itu, Suharno. Pria gondrong yang mukanya masih kusut itu melempar senyum ke = arahnya. Tapi, Kinasih memperhatikan cewe yang membonceng di belakangnya. Dia memeluk pinggang Suharno kuat-kuat. Lengket banget, kayak hak milik. Jelas-jelas itu bukan mantan istri laki-laki itu. Duh, siapa ya? THIN TIIMIIIN! Jeritan panjang klakson di belakangnya itu membuat mereka harus_ segera bergerak.Kinasih kembali ke joknya, dan Bayu menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan. "Siapa sih?” Bayu mulai penasaran, apalagi waktu melihat gelagat Kinasih yang masih belum bisa melepaskan pandangannya ke arah motor di sampingnya. "KIN!" sedikit menghardik, dan Kinasih menoleh sekilas. "Dia tetangga kostku, Mas.” Tapi kok, lagi-lagi Kinasih dibuat jantungan, waktu melihat motor itu masuk 50 KINASIH ke sebuah hotel. Tangannya mengepal spontan, dengan banyak asumsi aneh berhamburan. Kenapa mereka ke Hotel? Jangan-jangan..... "Mas, aku mau pulang aja. Anterin aku pulang sekarang! Aku nggak mau ketemu sama ibu kamu dulu. Aku belum siap di hina lagi." ucap Kinasih yang mendadak badmood. "Ih, kok gitu. Tadi katanya mau. Kita udah separo jalan, Kin. Tanggung!" rayu Bayu dengan wajah memohon. “Aku nggak mau, Mas! Pokoknya anterin aku pulang sekarang juga!" desak perempuan ini ngeyel. Nggak jelas kenapa hatinya kok kayak di remet-remet nggak karuan. Duh, kenapa Suharno sudah pulang dari Mojokerto, ya. Padahal, kemarin dia bilang baru besok dari sana. Apa karena perempuan yang dibawanya masuk ke hotel itu ya. Tanpa sadar, Kinasih sudah dibuat pusing sama wartawan dekil itu. Kinasih berjalan agak cepat. Di belakang gadis itu, Bayu memasang muka semrawut—kecewa, karena gadis itu akhirnya menolak makan malam di rumahnya. Ya, memangnya siapa yang sudi jatuh ke lubang yang sama. Perempuan lain juga pasti akan mikir lebih dari sekali kalau jadi Kinasih. Kecuali kalau perempuan itu emang ALANA 51 nggak punya otak buat mikir, atau mungkin juga otaknya lagi keseleyo. Bayu menatap pasrah pada punggung mantan pacarnya yang menolak jalan berdampingan. Sakit hati, sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin perjuangannya untuk mendapatkan simpati dari gadis itu harus dimulai dari awal lagi. Kinasih itu jinak-jinak merpati, kalau para musisi jaman dulu_bilang. Menggambarkan sifat dan prilaku Kinasih itu memang nggak jauh dari species cantik itu. Aryo melambai ke arah Kinasih, tapi kemudian menurunkan tangannya lagi, waktu melihat Bayu yang sengit. Wajahnya itu seperti sedang mengancam semua orang di sekitarnya. Radiasinya membolongi muka mereka. Kinasih membalas panggilan Aryo, tapi dia tidak mendekat, tangannya sibuk mencari kunci dari dalam tas. "Ditungguin dari tadi, tuh sama Rita!" seru cowo itu "Huss, jangan berisik—SARU, udah malam!" ledek Kinasih, tanpa memperdulikan wajah Bayu yang cemberut. "Kamu ikut nggak, sih?" Rita nongol dari dalam kamarnya. Kinasih memenuhi dadanya dengan sejumput udara, dan menggeleng. 52 KINASIH “Aku lagi badmood, Rit. Sorry, ya!" "Nggak asik kamu, Kin." "Kalian pergi aja deh!" “Emang kenapa sih?" Rita concern sejenak, dengan menurunkan nada omongannya. "Badanku capek. Aku mau tidur aja kayaknya." Kinasih menguap nggak sengaja. “Halah, ngomong aja, nggak mau diganggu, ya Mas Bay!" Rita malah ganti nyindir ke Bayu. "Dia cuma nganterin aku, kok. Bentar lagi juga pulang. Iya, kan, Mas Bay!" seru Kinasih ganti, tapi Bayu melengos kecut—ngambek kayaknya. Bodo amat. "Jahat kamu, Kin. Kasihan kan udah nganterin Den Ayu Kinasih, masa nggak dikasih teh atau apa kek. Kamu, kan baru belanja stok dapur, Kin !" Rita emang bawel. Sampai urusan dapur di bawa ke depan rumah. "Nggak ada air panas. Males mau ngerebusnya." celetuk Kinasih. "Alasan!" nyinyir Rita lagi. Duh, nih kayaknya mau ngajakin berantem deh! Kinasih berdehem pendek "Rit!" Aryo akhirnya mengeksekusi pembicaraan pacar barunya itu dengan Kinasih, melihat gelagat Kinasih ALANA 53 yang kepalanya sudah berasap, kemudian dia menggeretnya masuk. Kinasih melirik Bayu, yang masih diam. Cowo ini baperan juga rupanya. "Kamu tunggu di sini ya, Mas! Jangan masuk!" dikte Kinasih sebelum menutup pintu, tapi— “Aku mau pulang aja, Kin. Besok pagi aku jemput kamu, ya." ucapnya sambil berdiri. "Jemput ke sini maksudnya, Mas?” “Iya.” "Apa nggak kejauhan, Mas?" “Nggak." jawabnya sambil terus menatap ke wajah Kinasih. Sumpah, masih belum ada senyum bersahabat di sana. Dua alisnya masih menyatu rembukan. “Oh, ya, udah, terserah Mas Bay aja, deh." Kinasih memang tidak menolak, dan hanya ingin tahu, sejauh apa Bayu akan meraihnya lagi nantinya. Jika semua ini memang sudah jalan hidupnya, Kinasih sebagai perempuan tidak akan terlalu jual mahal, tapi dia tetap merasa wajib untuk memikirkannya, kalau perlu, semedi barengan Mpu Sendok untuk mendapatkan wangsit. Takut nanti jodohnya jauh, tapi mudah-mudahan, nggak. Dia memang punya cita-cita ingin menikah sebelum 54 KINASIH umur 25 tahun. Baginya umur 25 tahun itu sudah keramat untuk kaum wanita yang masih melajang. Meski banyak di luaran sana yang berumur lebih dari 25 bahkan 30 masih belum pada nikah. Ya, itu memang urusan masing-masing, mungkin juga sudah jalannya memang begitu. Hidup tiap individu kan berbeda, tapi cita-cita membumbung boleh kan. Bayu berjalan pergi sebelum Kinasih menutup pintu kamarnya, tapi dia nggak langsung mandi seperti biasanya. Badannya capek banget, sampai harus terhempas ke kasur tanpa sadar. Suharno ke Hotel sama perempuan itu. Pikirannya ke sana lagi, dan jelasnya itu sedikit mengganggu suasana hatinya barusan. Masa sih, hanya karena melihat hal itu dia jadi badmood sampai nyaris gelut sama Rita karena kata-kataan. "Kin!" Kinasih mendengus pelan saat mendengar namanya disebut Rita di luar kamar. Mereka pasti mau memastikan lagi; apa Kinasih jadi ikut apa nggak. "Kin, ini aku, loh yang bayar." tegas Aryo. Dia memang punya penghasilan lumayan karena kerja di showroom mobil, ketimbang yang lainnya. Kinasih bangun lagi dari kasur. “Aku nggak ikut. Beneran aku capek." jawab Kinasih menghadapi tiga orang itu, tidak termasuk Marrie. Rita menarik tangan Kinasih dan menggoyangkannya. ALANA 55 "Kamu kenapa, sih sama Bayu, apa karena masalah sama Pak Wartawan itu dia jadi begini?" Rita kan memang mulutnya kayak kaleng rombeng. Pasti nyambungnya kemana-mana. Konslet. Aryo, nyubit lengan pacarnya sambil meringis. "Kamu tuh dasar, Rit. Mau tau aja urusan orang.” Aku, kan cuma nanya, Mas Aryo.” “Nanya tuh ya nggak gitu, pake etika, bukan pake otot!" "Ya, maaf ya, Kin." "Nggak papa, kalian pergi aja, deh sana, keburu malam. ntar makanannya abis!" "Kin, ini tuh Solo. Mana mungkin kuliner abis di kota ini. Please, deh!" Anjar ikutan ngomong, baru kedengaran suaranya dari kemarin. Kinasih sempet senyum saja merespon. "Ya udah, kita berangkat ya. Jaga basecamp ya!" Aryo menarik tangan Rita, dan ngeloyor pergi meninggalkan depan pintu kamar Kinasih. Sekarang benar-benar sepi. Kinasih merebahkan diri di kasur lagi sambil memeluk guling. Matanya terpejam untuk membuat rileks tubuhnya. 56 KINASIH Tok TokTok Astaga! Pintunya diketuk lagi. Kinasih berdecak kesal. Siapa sih? "Kin, buka bentar!" Rita. Agh, apa lagi sih! "Kin, aku nitip kunci!" seru Rita kemudian, mau nggak mau Kinasih bangkit lagi dari kasur, menemui temannya. “Aku takut, kalau nanti Ratih pulang, aku nggak ada di rumah. Kemarin kunci dia ilang, jadinya tinggal punyaku. Aku titip ya, Say!" omong Rita setelah Kinasih membuka pintu. Berhubung Rita senyum, Kinasih jadi tidak tega mau ngomel, mana dia kasih kedipan cantik lagi—genit, membuat Kinasih tarik nafas sebentar, antara kesel sama gemes. "Hm." sahut perempuan ini malas, dan tangannya menerima kunci itu dari tangan Rita. Setelah kunci diterima, dia langsung lari lagi. Hhhh, ada-ada aja! Keluh gadis ini sambil menutup pintu. Sekarang apa? Dia jadi malas untuk rebahan lagi, takut kalau-kalau nanti pintunya di ketuk lagi, malah kepalanya malah tambah pusing. Kinasih beranjak ke dapur, memasak air untuk mandi. Kayaknya enak kalau mandi air hangat. Badannya butuh di pijat soalnya. Lumayan untuk relaksasi darurat dengan menggunakan air hangat, meski nggak bisa berendam, tapi cukuplah. Tok Tok Tok! Astaga si Rita ini emang keterlaluan, bolak balik gangguin orang. Matanya sengit melihat ke ALANA 57 arah pintu. Ditinggalkan sebentar air yang dia masak di ceret, dan bersiap menyemprot Rita supaya kapok nggak gangguin orang. "APA LAGI SEKARANG?" serbunya dengan dua tangan dipasang di patahan pinggangnya, wajahnya di buat lebih angker dari kuburan keramat, tapi— senyum absurd Suharno menyambarnya. Pria dengan rambut gondrong lusuh berantakan itu) memberi gesture serabutan di depan badannya. Kinasih yang tadinya masih terbawa emosi, kini menurunkan tangannya dari pinggang, kemudian menaikkan ke kepala,menggaruk di sana sebentar. Kenapa mendadak yang muncul Suharno. Apa ini sulapan? "Mas Harno?" "Kamu lagi kesel ya?" Seketika itu juga Kinasih melongo. Bukan karena apa-apa, tapi gadis ini seakan tersihir oleh suaran vibrasi tuan wartawan dekil ini yang mengena ke jantungnya, alhasil dia gemetaran dengan efek yang timbulkannya. Bulu kuduk Kinasih meremang saat mendengar ada perpaduan yang kental antara gesekan pita suara dan tekanan udara yang masuk melalui rongga pernafasannya. "Mbak Kikin lagi kesel sama saya?" dia menuduh dirinya sendiri sambil memiringkan posisi kepala agak ke kanan. 58 KINASIH “Ah..bukan! Maaf, itu tadi Rita ngerjain terus, jadinya saya—" "Ow.." sambutnya seolah perduli. Matanya menukik serius pada tutur kata gadis yang masih berdiri canggung di antara pintu yang setengah terbuka itu. "Eum, ada apa Mas?" tanya Kinasih kemudian memotong dua detik suasana canggung barusan. Pria itu menoleh ke sana sini, dan memperhatikan sekitar kostan ini yang sepi. "Pada ke mana semuanya, kok sepi?" "Eum, mereka pada pergi sukuran, ngerayain jadiannya Aryo sama Rita.” Lalu pria ini memberi kurva senyum yang labil, sebentar berganti dengan cengiran absurd. Tapi dia mengangguk, cukup memberi kesan kalau dia cukup terkesan. "Dasar anak muda!" ocehnya, sambil menarik nafas dalam-dalam. Oh, jadi dia memang merasa tua. Kinasih mengurut dada. "Mas Harno perlu bantuan saya?" tanya Kinasih lagi, "lya, saya boleh pinjam panci?" "Panci?" ulang Kinasih. ALANA 59 "Saya mau masak mie, tapi nggak punya panci. Maklum nggak sempet mikir beli panci." ujarnya dengan muka malu-malu ndeso. Duda sepertinya memang cenderung terlantar, apalagi dengan pola hidup yang serabutan. Untung di kamar kostan ini sudah disediakan ranjang sama lemari, juga meja. Kalau nggak, mungkin dia sudah jempalitan di lantai. "Ya, boleh. Sebentar saya ambilkan." Kinasih berjalan ke dapur dan membuka pintu lemari perabotan masaknya. "Panci buntut, kan Mas?" tanya Kinasih setengah kenceng. “Panci punya buntut?" pria itu mencandai Kinasih, “Iya kayaknya, yang biasa buat masak mie , sih, Mbak. Yang bisa dipegang buntutnya.” Imbuhnya, tanpa maksud jorok, tapi asumsinya jadi ngeres. Kan sama saja, jadinya. Kinasih kembali ke depan Suharno dengan membawa panci dan sendok sayurnya sekalian. Dia yakin benar, pria ini nggak punya apa-apa selain masalah. Kasihan. Diserahkannya panci itu langsung, dan si wartawan ini menerima dengan senyum. Kinasih mendadak lupa sama perkara hotel tadi dan mencoba bersikap ramah. "Saya pake dulu ya, Mbak. Apa Mbak Kikin mau saya masakin mie?" ujarnya menawarkan. 60 KINASIH "Nggak usah Mas, makasih!" tapi sebenarnya perut Kinasih lapar. Dia cukup gigit jari saja menyesali omongannya sendiri. "Ya, sudah. Maaf mengganggu. Monggo di lanjutkan lagi kegiatannya tadi. Saya masak dulu.” Suharno berbalik, meninggalkan Kinasih tanpa menuggu jawaban. Fiuuh! Sekali lagi Kinasih menutup pintu. Setengah berharap Suharno mau berbagi mie instan dengannya. Maklum anak kost memang begini—darurat makan, bencana kostional. Suara ceret melengking tinggi, menyadarkan Kinasih akan rencana mandinya. Sekitar jam sepuluh malam, terdengar suara orang batuk-batuk di luar sana. Kinasih agak terganggu, dan penasaran juga siapa yang batuk sampai membangunkan orang tidur. Setelah acara mandi tadi, Kinasih memang sengaja tidur lebih awal, untuk menjaga kondisi kesehatan tubuhnya. Tangannya menyibak tirai jendela sedikit, mengintip keluar dan melihat Suharno sedang duduk lesehan di depan kamar nomer 43 itu sambil merokok. Pria itu terlihat santai dengan memegang camera dan sesekali memeriksa notifikasi di handphone pintarnya. Lalu menghisap lagi rokok yang masih separuh ALANA 61 batang. Dia ini apa nggak sadar, ya. Sudah batuk ngiklik kayak begitu, masih saja merokok, ditambah lagi bibirnya yang penuh itu tampak menghitam karena_ nikotin. Investasi kok penyakit. Hidupnya memang tidak sehat, tapi kenapa tetap saja terlihat fit dan atletis dengan bentuk bahu dan lengan yang kekar. Meski tidak besar, tapi otot bisepnya itu terbentuk alami tanpa tratement. Kinasih menutup lagi tirai jendela, dan memutuskan untuk tidur, tapi mendadak handphonenya berbunyi di bawah bantal. Cepat-cepat dia merogoh dan melihat si penelepon. Suharno? Ngapain dia nelepon malam-malam begini. Astaga! Dia kan harusnya tau, lampu di kamar ini sudah dimatikan, dan itu artinya penghuninya sudah tidur, tapi kenapa nekat nelepon, kecuali dia tau kalau tadi Kinasih ngintip. Ragu-ragu Kinasih menerima panggilan masuk itu, dan membiarkan sura getaran hanphonenya berhenti sendiri, tapi dua detik kemudian, pesan masuk. -Mbak, sudah tidur ya?- Kinasih mendengus dan menyimpan lagi telepon pintarnya di bawah bantal. Rasanya kalau nanti ditanggapi, bisa sampai jam dua dini hari lagi. Kinasih nggak bisa mengikuti kebiasaan hidup pria itu. Sangat jauh dari ekspektasinya. Pria semacam Suharno tidak akan mungkin masuk dalam agenda hidupnya di masa depan. Tidak! Tegas Kinasih sambil menggeleng di atas bantalnya. 62 KINASIH Pagi-pagi sudah hujan. Kinasih menagih cahaya matahari saat membuka jendela, tapi justru yang dilihatnya adalah pria gondrong itu yang sedang mengelap motornya di depan teras kamarnya. Dia menoleh ke arah Kinasih dan melambai. Semalam itu, Kinasih memang tidur cukup nyenyak tanpa mimpi buruk. Sempat dia mendengar ketukan di pintu, tapi karena saking mengantuknya, dia tak bisa membuka kelopak mata. Diabaikan lambaian tangan Suharno dan beranjak ke kamar mandi. Sekitar jam setengah delapan, Kinasih sudah siap berangkat. Dia memasukkan laptop dan segala macamnya ke dalam tas, kemudian membuka pintu kamar. Diperhatikannya Suharno sudah sudah mengeluarkan motornya ke lapangan badminton. Pria itu sudah rapi pula dengan rambut yang terikat separuh. Cuek bebek. Apa memang seperti itu, gaya seorang wartawan lepas sepertinya. "Pagi, Mbak Kikin!" sapanya sambil memamerkan gingsulnya lagi. ALANA 63 “Pagi!" sapa Kinasih sambil mengunci pintu. "Sebentar Mbak, jangan di kunci dulu!" pria itu menahan. "Saya mau ngembaliin panci yang semalam." imbuhnya sambil kemudian berlari masuk ke kamarnya. Kinasih melihat arloji, dan cukup gelisah juga, karena tempat kerjanya cukup jauh dari sini. Pria itu kembali keluar dengan membawa panci, berbarengan dengan munculnya Rita di depan pintu kamar Aryo. Oh Tuhan, semalam dia kan membawa kunci kamar Rita— "Kembaliin kunciku dulu, Kin! Sialan kamu bikin aku tidur di tempat Aryo!” makinya, "Lha terus Aryo?" "Dia tidur di kamar Anjar." "Sorry!" sahut Kinasih sambil menerima panci dari Suharno. “Ada oleh-oleh sedikit dari Mojokerto Mbak!" "Hah, kok pake segala dikasih oleh-oleh sih,Mas!" “Aku mau juga, dong, Mas Harno!" celetuk Rita yang berjalan mendekat. "Ya, sebentar saya ambilkan." 64 KINASIH Pria itu kembali masuk ke kamarnya, dan keluar sambil membawa sebuah kantong kresek. "Ini tinggal terasi Rit!" Rita cemberut—"Kinasih di kasih krupuk ikan sama jenang, lha aku dikasih trasi. Pilih kasih kamu Mas!" tuduh perempuan bawel ini sengit. Dia menyambar kresek di tangan Kinasih dan menyomot satu bungkus krupuk ikan dari sana. "Ini buat aku aja ya, Kin." Kinasih hanya menatap serba salah ke arah Suharno yang menggeleng jengah. Dia kembali sibuk dengan mengecek spedometer motornya. "Rit, ini kuncinya." Kinasih memberikan kunci kamar Rita dan kembali ke kamar untuk menaruh pancinya. Dia membiarkan Rita membawa krupuk ikan pemberian Suharno itu dengan ikhlas. Ya hanya urusan makanan untuk apa rebutan. Dia toh, bisa membelinya sendiri kapan-kapan. Diam-diam Suharno memperhatikan sikap Kinasih yang kelihatan mengalah. Perempuan itu sejak pertama kali dilihatnya memang sudah menunjukkan gerak-gerik yang anggun, dan manis. Tidak neko-neko, dan sabar. Saat dia harus mengurus Yoan saja, semua itu sudah kelihatan sekali dia itu punya hati yang lembut. Suharno menyukai type wanita seperti itu, hanya saja Kinasih sudah ada yang punya. Semalam itu, kelihatan sekali dia langsung nempel ke arah pacarnya itu waktu Suharno mengetuk jendela ALANA 65 kaca mobilnya. Pria itu beruntung sekali mendapatkan Kinasih. Kinasih berjalan ke arah halte bus di pinggir jalan raya, waktu motor Suharno berhenti begitu saja. Pria itu membuka helm dan menghembus nafas sebentar. "Aku anterin, Mbak ke tempat kerjanya!" ujarnya menawarkan, raut wajahnya dibuat editorial sekali dengan memasang senyum yang paling simetris yang cocok dengan wajah gantengnya. Itu yang dia pikir selama ini. "Nggak apa-apa, Mas, saya nunggu bus aja." jawab Kinasih menggagalkan niat baik Suharno "Kenapa, Mbak? Motor saya butut ya." sedikit merendahkan diri Kinasih mengerutkan alis,tidak setuju di bilang cewe matre dalam ungkapan Suharno. "Tempat kerja saya agak jauh, nanti Mas Harno malah telat." jawabnya "Saya kerja bebas, tidak terikat waktu." sahut Suharno menyakinkan "Eum—" Kinasih berpikir “Ayolah, keburu_ telat loh!"§ memamerkan gingsulnya lagi, tapi met Kinasih yang masih ragu, pria ini menghela nafas. "Saya udah jinak, Mbak..." candanya tanpa senyum. Ini membuat Kinasih tak bisa menahan senyum. Gadis ini mau tidak mau mengangguk. 66 KINASIH Kinasih menerima ajakan pria ini, dan membonceng di belakangnya setelah menerima helm. "Mudah-mudahan polisinya masih pada tidur." Bisiknya, mengingat pria di depannya ini tidak mengenakan helm. "Ya, semoga masih pada mimpi." Timpal si wartawan ini ganti. Tapi baru beberapa meter motor itu melaju sebuah klakson panjang berteriak nyaris membangkitkan arwah nenek moyang Kinasih yang sudah di kubur puluhan tahun lalu. Dia menoleh, dan mendapati SUV hitam pekat Bayu berada tepat di belakangnya. Astaga, dia lupa kalau pagi ini Bayu akan menjemputnya. Bagaimana ini? Suharno menyeringai pias, ketika pundaknya ditepuk Kinasih untuk minggir ke sebelah kiri. Pelan-pelan dia turun, dan mencopot helmnya. "Maaf Mas, aku lupa kalo dia mau jemput." Ujarnya serba salah. Suharno mengambil helm itu dan meringis. "Nggak apa-apa. Udah sana!" usir pria ini. "Aku duluan ya!" ucapnya permisi, dan melesat begitu saja tanpa basa-basi lagi. Kinasih sempat melihat punggung yang kian menjauh itu dengan hati sedikit runyam. TIIIN TIIIIIN. Menjatuhkan bahu sebentar, dan berjalan mendekati mobil Bayu. Dia memberikan tatapan sinis sebelum masuk dan duduk di sebelah cowo itu. "Siapa dia?” Kinasih sudah bisa menebak, pertanyaan itu pasti terlontar dari mantan pacarnya ini. Bayu memang type ALANA 67 cowo yang cemburuan dan egois. "Tetangga kost." Jawab perempuan ini sambil memasang seatbelt. "Kamu nebeng sama dia, atau memang sedang menjalin hubungan sama cowo itu?" tanyanya dengan biji mata membulat sempurna. "Apa-apaan, sih, Mas Bay, nih? Dia kan Cuma menawarkan diri mengantar.” “Tapi kan kamu tau aku bakalan jemput kamu pagi ini!" sedikit naik nadanya, membuat Kinasih harus beringsut agak jauh. Sekarang dia mepet ke pintu mobil. “Aku lupa, Mas." Penjelasan itu hanya ditanggapi dengan dengusan. "Masa bisa lupa." Komentarnya "Ya sudah kalo nggak percaya.” “Aku bukannya nggak percaya, tapi—" mendengus kasar untuk kesekian kali, dan Kinasih tidak suka dengan kebiasaan Bayu yang satu ini, sedikit banyak seperti meremehkan. Kinasih memilih untuk diam, dan fokus ke arah depan. Dia tidak perduli dengan persepsi Bayu mengenai semua ini, karena yang jelas antara dirinya dan Mr. Wartawan itu tidak terjadi apa-apa. 68 KINASIH "Kenapa diam?" tanya Bayu setelah mereka hampir sampai di tempat kerja. Pagi ini mereka memang bekerja di tempat yang sama. "Nggak kenapa-napa." "Kamu—" omongan Bayu terpotong, karena Kinasih meliriknya sengit. “Aku nggak mau Mas Bay ngomong macam-macam mengenai aku. Apapun yang Mas Bay pikirkan, itu salah." Jelas Kinasih lagi “Memangnya kamu tau apa yang aku pikirkan?" Bayu meringis "Ya sedikit banyak aku tau, Mas." Kinasih menunduk Perjalanan ketempat kerja rasanya lebih lama dari biasanya, dan sumpek rasanya di benak Kinasih harus menghadapi situasi it ayu terus membicarakan masalah ibunya yang kekeuh ingin bertemu dengannya—secepat mungkin. Tidak jelas kenapa, tapi sepertinya ada sesuatu yang mendesak. Kinasih mulai takut memikirkan sesuatu yang mungkin dia akan hadapi. “Mau, ya." Bayu memohon, dan Kinasih hanya bisa mengangguk. Dia menyanggupi untuk bertemu dengan Ny. Wirayadi itu lagi. Ya, kata hatinya memang harus di ALANA 69 pastikan dulu kebenarannya. Selama ini dia tidak pernah salah berasumsi. "Tapi nggak nanti malam ya, Mas. Minggu aja, soalnya aku harus mengajar les private di rumah anak tetanggaku." "Ya, Minggu aja. Aku ngerti kok, Kin. Aku seneng kamu sudah mau menerima ajakanku." Bayu semringah senang, dan menjejeri Kinasih dengan hati setengah lega. Masih banyak kemungkinan sampai hari Minggu nanti, dan dia harus mewaspadai juga cowo-cowo yang berada di sekitar Kinasih, termasuk cowo yang tadi mengendarai motor itu. Dia ingin tahu siapa dia. Sore harinya Kinasih sudah stand bye di kamar kostnya, dan bersiap untuk pergi ke rumah anak muridnya yang masih duduk di kelas enam SD untuk mengajar les private semua mata pelajaran. Dia memang sengaja di leskan untuk menghadapi ujian nasional yang akan berlangsung dua bulan lagi. Kinasih semakin intens dengan kegiatannya, karena ini menyangkut nama baiknya sebagai pengajar. Setelah mengenakan pakaian yang pantas, dia keluar kamar. Dilihatnya sososk adik tirinya itu tengah berjalan membawa sebuah nampan yang ditutupi. Nita 70 KINASIH tampak dingin melirik kakaknya "Nit!" sapanya ragu, gadis itu menghela nafas. "Apa, mbak?" "Mau ke mana?" "Bukan urusan Mbak!" jawabnya ketus. "Hm," Kinasih mengangguk melihat adiknya berjalan masuk lagi ke dalam rumah. Marrie muncul dan berjalan mendekati Kinasih, kemudian menarik gadis itu masuk ke dalam kamar. “Ada apa?" tanya Kinasih. "Kalau mau pinjam uang, aku belum gajian." Ujarnya. PUK. Merrie menepuk pundak Kinasih sambil merengut. "Aku nggak pinjam uang, lagian uang aku lebih banyak dari uangmuy, Kin." Celetuknya. “Sombong!" sindir Kinasih sambil terkekeh "Eh, itu anak ibu kost dari tadi mondar-mandir nengokin kamar Mas Harno, tau nggak!" "Halah, gosip kamu ya!" tuding gadis ini "Nggak, beneran. Sumpah inyong, Kin. Dia tadi ngeliat Mas Harno pulang, terus bawa nampan itu ke sana, tapi ternyata Mas Harno udah keluar duluan buru-buru.” ALANA 71 Kinasih mengeryit. "Maksudnya, Mas Harno emang udah pulang, tapi terus pergi lagi gitu?” Marrie mengangguk, "Nita ada maksud sama Mas Harno kayaknya.” "Sssst, jangan menyebar gosip!" "Ish, aku nggak nyebar gosip tau nggak, ini fakta.” Kinasih menghempas tangan tidak perduli, kemudian berdiri. "Aku mau ngelesin Mayang sekarang. Ngobrolnya ntar lagi ya." Merrie ikutan berdiri menyandingi Kinasih. "Mas Harno itu sibuk terus, jarang ada di tempat." “Aku nggak tau." Jawab Kinasih "Kamu kan deket sama dia." Kinasih memberikan kerutan di kening menanggapi omongan Marrie. "Kamu jangan macem-macem, Mer. Jangan ngomongin aku yang nggak-nggak loh!" Merrie hanya mencibir. "Aku sih berharap antara kamu sama Mas wartawan itu ‘iya-iya’, Kin. Bukannya aku mendukung, tapi kelihatannya hubungan kamu sama Bayu itu udah nggak harmonis." 72 KINASIH Ya, memang beginilah kenyataannya, mereka semua nggak ada yang tahu, kalau Kinasih dan Bayu itu sudah putus. “Aku berangkat dulu, Mer!" "Oke!" Kinasih berjalan agak cepat meninggalkan kamar kostnya setelah mengunci pintu. Di pagar dia berpapasan dengan motornya mas wartawan itu, dan pria itu masih menyungging senyum. "Mau ke mana, Mbak Kikin?" "Ngajar Mas." “Ada jadwal ngajar lagi?" "Iya." Jawab Kinasih singkat “Saya antar?" “Cuma di dekat sini kok Mas." Kinasih berjalan melipir menghindari motor Suharno yang sudah setengah jalan melewati gerbang. "Ya udah kalo begitu." Sahutnya sambil nyelonong masuk, tanpa noleh lagi. Kinasih berdecak sebentar, sambil kemudian melanjutkan langkah. Dia agak cuek, atau ini hanya perasaan Kinasih aja. Ugh, rasanya dicuekin itu nggak nyaman ya, tapi Kinasih menarik semua rasa tidak nyaman itu dari orbit yang tidak tepat di dalam tubuhnya, yang nggak tau persis ALANA 73 di mana letaknya. Perasaan tidak nyaman itu lebih tepat di bilang sebagai pusaran angin di duodenumnya yang berebut mencari celah untuk keluar. Bilang saja, mau kentut. Kinasih melengos halus, saat satu lirikan super kilat itu menyambarnya. Ya, untuk apa dipikirkan. Suharno masih sempet meliriknya, tapi nggak ada ekspresi di sana. Greget. Mendadak dia harus minggir, waktu ada taxi berhenti di depannya begitu saja. Berniat pergi, tapi ketika pintu di buka, sepasang kaki mungil itu turun dengan lincahnya. Yoana binti Suharno itu muncul lagi, dan beruntung Bang Toyibnya juga ada di rumah. "Tante!" sapanya mantap, suaranya masih kenes, dan senyumnya itu masih bagus. "Eh, Yoan!" sapa Kinasih balik "Tante mau ke mana?” "Mau ngajar. Kamu, dari mana?" melihat gadis kecil itu membawa tas besar yang kelihatannya berat. Jangan bilang dia kabur dan mau tinggal di sini sama bapaknya yang jarang di rumah itu. Duh! "Yoan, dari tempat les." "Oh." "Bapak ada nggak, Tante?" "Ada." 74 KINASIH "Hm, Tante..." sebutnya "Apa?" Kinasih menjawab panggilan itu "Yoan mau kasih liat ke tante." " Liatin apa?" “Yoan melukis." “Hm, Yoan pintar melukis ya?" Gadis cantik itu mengangguk bangga, tapi KInasih memang sedang buru-buru. Dia berdecak sebentar sebelum memberikan statement... “Aku buru-buru, Yo. Gimana kalo nanti aja." "Iya sih...." sebentar berpikir. "Ya udah deh, ntar aja. Yoan mau ketemu Bapak dulu." Sambil memasuki pagar. Duh, repot bener sih nih anak, bawaannya sudah kayak orang mau pindahan. Kinasih menggeleng untuk kesekian kalinya. Sore ini tidak hujan, jadi jalanannya nggak basah. Kakinya melangkah setengah ngebut menuju rumah di ujung jalan. Rumah keluarga Saptono, yang punya dua orang anak perempuan yang cantik-cantik. Yang satu sudah di bangku SMK Farmasi, yang satu lagi masih SD. Kinasih mengajar Mayang yang kebetulan punya adat manja yang nggak ketulungan. Nggak perlu diceritain detail manja itu kayak gimana, yang jelas ngerepotin orang di sekitarnya. Kinasih masih bisa memaklumi level ALANA 75 kemanjaan Mayang, karena dia memang nggak ada di sekitar bocah itu setiap hari, setiap waktu, jadi dia nggak repot. Tapi yang harus di khawatirkan itu pembantunya, ibunya juga kakak perempuannya, dan satu lagi, bapaknya. "Itu Mbak Kikin, mbak Mayangnya sekarang nggak ada." pembantunya itu menjelaskan dengan sikap canggung. Perempuan asal Karang Anyar itu sebentar- sebentar menggigit bibirnya yang kering. "Ke mana ya?" Kinasih sedikit kecewa, bukan karena hari ini dia nggak dapat bayaran, tapi karena waktu belajar itu memang sangat mahal belakangan ini. Pikiran anak-anak sekarang itu sudah terkontaminasi gadget dan sebagainya. Tuntutan jaman yang membuat mereka mengenyampingkan hal primer seperti Jelas-jelas sudah mau ujian nasional, tapi masih main-main sama jam belajar. Itu sangat tidak bertanggung jawab sekali. Dia menyayangkan ini, dan tentu saja kecewa sekali. Keperduliannya itu dilandasi latar belakang hidupnya sendiri yang tidak pernah mendapatkan hal lebih seperti anak-anak jaman sekarang. Kinasih tidak pernah tau gadget, tidak pernah mendapatkan les private, atau waktu luang untuk bermain. Dia hanya tau belajar, dan membantu ibunya berjualan setelah bercerai dengan bapaknya. "Dia tadi pergi sama temennya, Mbak."

You might also like