You are on page 1of 37

PROPOSAL

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DAN POLA MAKAN DENGAN


KEJADIAN DISPESIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
CIKATOMAS TASIKMALAYA

Disusun oleh :

ADAM PRATAMA PUTRA


NIM. C1514201001

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TASIKMALAYA
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang

dilaksanakan oleh semua komponen yang bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat agar terwujud derajat

kesehatan masyarakat. Salah satu penyakit yang diakibatkan oleh pola hidup

yang tidak sehat adalah dispepsia, dispepsia adalah suatu kondisi yang sangat

umum dengan prevalensi tinggi di seluruh dunia yang dapat mempengaruhi

kualitas hidup pasien (Purnamasari, 2017).

Dispepsia sering terjadi pada masa dewasa, karena pada masa ini

dewasa umumnya cenderung kurang memperhatikan pola makan yang baik.

Selain itu kondisi dan fungsi saluran pencernaan sudah mulai mengalami

penurunan. Menurut Depkes (2016) dispepsia mempengaruhi sampai 40

persen orang dewasa setiap tahun dan sering didiagnosis sebagai dispepsia

fungsional. Diperkirakan sekitar 15-40% populasi di dunia memiliki keluhan

dispepsia kronis atau berulang; sepertiganya merupakan dispepsia organik

(struktural).

Prevalensi dispepsia di Indonesia, menempati urutan ke-15 dari 50

penyakit dengan pasien rawat inap terjadi di berbagai provinsi, salah satunya

adalah provinsi Jawa Barat. Dimana pada tahun 2015 kasus dispepsia mencapai

5374 kasus (1.98%) (Kemenkes RI, 2017). Kasus dispepsia yang terjadi di

1
2

Kabupaten Tasikmalaya cukup tinggi, dimana pada tahun 2016, kasus

dispepsia mencapai 19.390 kasus.

Etiologi dispepsia sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik, maupun

yang fungsional. Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala

heartburn atau pirosis, yang diduga karena penyakit refluks gastroesofageal,

tidak dimasukkan dalam sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2012).

Kondisi ini dianggap gangguan di dalam tubuh yang diakibatkan reaksi

tubuh terhadap lingkungan sekeliling (Mardalena, 2016). Gejala berupa

kepenuhan setelah makan, cepat kenyang, atau nyeri epigastrium atau terbakar

tanpa adanya penyebab struktural. Gejala-gejala ini dapat berdampingan

dengan gejala gangguan pencernaan fungsional, seperti gastroesophageal

reflux dan irritable bowel syndrome, serta kecemasan dan depresi (Loyd dan

Mc Clellan, 2011).

Selain itu, menurut Purnamasari (2017) berbagai faktor yang dapat

menyebabkan dispepsia diantaranya adalah umur, jenis kelamin, kebiasaan

merpkok, penggunaan Non Steroidal Anti Inflamantory Drugs (NSAID) dan

stress serta pola makan yang kurang baik. Kebiasaan makan yang salah akan

secara langsung akan mempengaruhi organ-organ pencernaan dan menjadi

pencetus penyakit dispepsia, pola makan seperti makanan dibakar, cepat saji,

berlemak, pedas, kopi, teh kebiasaan merokok, minum alkohol, kurang

olahraga juga berkontribusi pada dispepsia.


3

Dispepsia dapat terjadi baik laki-laki maupun perempuan, dimana jenis

kelamin tersebut merupakan kaakter dari keiaaan dan gaya hidup yang

dilakukan sehari-hari. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah

mencatat dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Yu

et al. (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan antara jenis

kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa perempuan memiliki

skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun pertama follow-up

dibandingkan laki-laki.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2015) didapatkan dari 61%

responden dengan jadwal makan yang tidak teratur terdapat 84% yang

mengalami sindrom dispepsia, sementara dari 39% responden yang memiliki

jadwal makan yang teratur terdapat 67% yang tidak mengalami sindrom

dispepsia, sehingga dapat disimpulkan mahasiswa yang memiliki pola makan

tidak teratur cenderung mengalami sindrom dispepsia lebih besar dibandingkan

mahasiswa yang memiliki pola makan yang teratur, dan terdapat hubungan

bermakna antara jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada

mahasiswa dengan nilai P=0,001.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Saputra (2012) mendapatkan

sebagian besar responden (51%) memiliki pola makan beresiko, sebagian besar

responden (76,5%) mengalami dispepsia dan tidak didapatkan hubungan antara

pola makan dengan kejadian dispepsia dengan p value = 0,731.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Cikatomas kasus

dispepsia pada tahun 2017 mencapai 185 kasus dimana kasus tersebut
4

merupakan posisi ke lima dari 10 besar penyakit di Puskesmas Cikatomas.

Pada tahun 2018 kasus dispepsia mencapai 565 kasus dan merupakan penyakit

tertinggi ke tiga dari 10 besar penyakit. Melihat dari data tersebut

mengindikasikan tinggi kasus dispepsia mengalami peningkatan

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 10 orang usia

50 tahun keatas didapatkan informasi bahwa sebanyak 4 orang pernah

mengalami dispepesia dan sebanyak 2 orang sedang menderita dispepesia,

kemudian sebanyak 4 orang tidak pernah atau tidak sedang mengalami

penyakit dispepsia. Wawancara selanjutnya terkait dengan pola makan

didapatkan informasi bahwa sebanyak 5 orang mengatakan pola makan tidak

teratur seperti menahan lapar dan saat makan pun responden mengatakan

dengan menu seadanya, untuk menahan lapar tersebut responden

mengkonsumsi goreng-gorengan, makanan pedas dan makanan asam. Disisi

lain terdapat responden yang biasa makan secara teratur setiap pagi, siang dan

sore hari. Makanan yang dikonsumsi seperti nasi dan sayuran serta kadang-

kadnag minum susu.

Terkait dengan masalah penyakit tersebut, maka perawat memiliki

peran dalam proses keperawatan yang merupakan proses pemecahan masalah,

yang harus dalam upaya memperbaiki atau memelihara klien sampai ke taraf

optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan

membantu memenuhi kebutuhan dasar klien, untuk membantu dalam

mengembangkan potensi klien dalam memelihara kesehatan sehingga tidak

tergantung pada orang lain (Doenges, 2000).


5

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan antara pola makan dan jenis kelamin dengan

kejadian dispepsia di Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun

2019.

B. Rumusan Masalah

Dispepsia merupakan penyakit asam labung yang banyak menyerang

usia dewasa, hal ini berkaitan pada masa tersebut cenderung kurang

memperhatikan pola makan yang baik seperti jadwal dan jenis makan yang

dikonsumsi. Selain itu, kasus dispepsia juga lebih sering terjadi pada wanita

karena kebiasaan makan yang pedas, gurih atau asam yang disenangi wanita.

Penelitian terkait hubungan jenis kelamin dan pola makan dengan kejadian

dispepsia masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang masalah

di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian bagaimana

hubungan antara jenis kelamin dan pola makan dengan kejadian dispepsia di

Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun 2019.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dan pola makan dengan

kejadian dispepsia di Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun

2019.
6

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi jenis kelamin dan pola makan pada penderita

dispepsia di Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun

2019.

b. Mengidentifikasi gambaran kejadian dispepsia di Puskesmas

Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun 2019.

c. Mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dan pola makan

dengan kejadian dispepsia di Puskesmas Cikatomas Kabupaten

Tasikmalaya tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukkan dalam rangka

mengembangkan Ilmu Penyakit Dalam khususnya penyakit dispepsia

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi perawat dalam

melakukan asuhan keparawatan pada pasien dengan dispepsia dengan

cara memberikan pendidikan kesehatan tentang pola makan yang

sehat.

b. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan atau data dasar bagi Puskesmas dalam mendeteksi dini

bagi masyarakat yang memiliki faktor resiko dispepsia, sebagai bahan


7

dalam pendidikan kesehatan bagi masyarakat serta melakukan asuhan

keperawatan yang efektif.

c. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat

mengenai pola makan yang sehat sehingga dapat mencegah penyakit

dispepsia.

d. Bagi Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya

Hasil penelitian ini dapat menajdi bahan pengembangan dalam bidang

pendidikan sebagai penerapan catur dharma Perguruan Tinggi.

e. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi peneliti

tentang dispepsia sehingga dapat menerapkan dan mengaplikasikan

ilmu yang diperoleh dilapangan.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dispepsia

1. Pengertian

Dispepsia adalah rasa nyeri atau tidak nyaman dibagian ulu hati.

Kondisi ini dianggap gangguan di dalam tubuh yang diakibatkan reaksi

tubuh terhadap lingkungan sekeliling. Reaksi ini menimbulkan gangguan

ketidakseimbangan metabolisme, dan seringkali menyerang individu usia

50 tahun keatas (Mardalena, 2016).

Dispepsia adalah sebuah turunan kata bahasa Yunani yang artinya

indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala

gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut

dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak

nyaman, atau distensi (Purnamasari, 2017). Prevalensi dispepsia bervariasi

antara 3% hingga 40%. Variasi dalam angka prevalensi ini berkaitan

dengan perbedaan dalam defenisi dispepsia pada penelitian-penelitian

tersebut (Yasser, 2004).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri

dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat

kenyang, dan sendawa. Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis

gejala maupun intensitas gejala tersebut dari waktu ke waktu

(Djojoningrat, 2012).

8
9

2. Etiologi

Etiologi dari penyakit dispepsia dapat berupa pola makan dan gaya

hidup, menurut Purnamasari (2017) mengatakan penyebab dispepsia

cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya. Untuk penyebab

organik dispepsia sangat banyak, namun sebagian besar kasus disebabkan

oleh penyakit ulkus peptikum, refluks gastroesofageal dan keganasan

(Talley dan Segal, 2008).

3. Gejala dispesia

Menurut Mardalena (2016) gejala klinis dari dispepsia diantaranya adalah

a. Adanya gas perut

b. Rasa penuh setelah makan

c. Perut menonjol

d. Cepat kenyang

e. Mual dan muntah

f. Tidak nafsu makan

g. Perut terasa panas.

h. Kembung setelah makan

i. Sering bersendawa

j. Nyeri ulu hati

k. Dada atau reguregitasi asam lambung ke mulut

l. Berlangsung lama dan sering jkambuh

m. Sering disertai ansitas dan depresi


10

Kemudian menurut Purnamasari (2017) sebagian besar penderita

dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan periode asimptomatik

diikuti episode relaps. Berdasarkan studi populasi pasien dispepsia

fungsional, 15-20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami

perbaikan gejala, dan 30-35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di

Cina, prognosis dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal;

kurang tidur dan status pernikahan buruk memiliki prognosis negatif,

sedangkan personalitas ekstrovert memiliki prognosis positif. Meskipun

dispepsia fungsional berlangsung kronis dan mempengaruhi kualitas

hidup, tetapi tak terbukti menurunkan harapan hidup.

4. Klasifikasi

Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural)

dan fungsional (non-organik). Pada dispepsia organik terdapat penyebab

yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer

Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease), kanker,

penggunaan alkohol atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai

dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau

berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan endoskopi

(Purnamasari, 2017). Begitupun menurut Mardalena (2015) klasifikasi

dispepsia terdiri dari :

a. Dispepsia organis

Kelainan organik yang dimaksudkan berupa kelainan struktural

seperti ulkus, gastritis, kanker, erosi. Sementara pada dispepsia


11

fungsional tidak ditemukan kelainan organik. Kondisi ini diduga

disebabkan oleh abnormalitas akomodasi gaster, hipersensitif viseral,

terlambatnya pengosongan lambung, gangguan saraf vagal dan faktor

psikologis.

b. Dispepsia fungsional

Dispepsia fungsional (ROMA III) didefinisikan sebagai

keluhan berupa rasa nyeri dan tidak nyaman di perut kanan atas, tanpa

didapatkan bukti adanya penyakit organik dan tidak berhubungan

dengan gangguan defekasi setidaknya 3 bulan, dalam jangka waktu 6

bulan terakhir.

5. Patofisiologi

Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga

kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan

faktor psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi. Studi di

Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan

rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi

(evaluasi depresi dengan Hamilton depression rating scale ): depresi

ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%), dan sangat berat

11 (10,9%). Dispepsia berkaitan juga dengan tidur. Hubungan antara

gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala

dispepsia dapat mengganggu tidur baik saat akan tidur maupun elanjutan

tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga berpotensi meningkatkan gejala pasien

dispepsia fungsional (Purnamasari, 2017)


12

6. Komplikasi

Komplikasi yang muncul pada dispepsia antara lain perdaragan

gastrointestinal, tenosis pilorus dan perforasi (Corwin, 2012)

7. Pencegahan

Menurut Mardalena (2016) pencegahan yang dapat dilakukan dari

penyakit dispepsia diantaranya adalah:

a. Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang

dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur. Tidak

mengkonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, makanan pedas,

makanan minuman yang mengandung alkohol dan berehenti merokok.

Gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

b. Hindari makanan bakmie yang berlebihan khususnya dalam keadaan

perut kosong karena air abu yang menguningkan bakmie sangat tajam

bagi lambung.

B. Faktor yang mempengaruhi dispepsia

1. Pola Makan

Pola makan merupakan suatu cara seseorang atau sekelompok orang

dalam memilih makanan tertentu dan mengonsumsinya akibat pengaruh

fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya sebagai bentuk perubahan gaya

hidup (Alamsyah, 2013). Pola konsumsi dipengaruhi oleh faktor demografi,

ekonomi, dan budaya yang menghasilkan karakteristik gaya hidup yang

berbeda-beda (Arisman, 2014)


13

Ada dua hal yang terkandung dalam pola makan yang sehat, yaitu

makanan yang sehat dan pola makannya. Makanan yang sehat yaitu

makanan yang di dalamnya terkandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh

tubuh (Hardani, 2002). Zat-zat yang dibutuhkan untuk tubuh, khususnya

untuk orang dewasa telah dibahas pada tinjauan sebelumnya. Pada

Pedoman Umum Gizi Seimbang dari direktorat gizi masyarakat RI,

terdapat 13 pesan dasar, yaitu:

a. Makanlah aneka ragam makanan

b. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi

c. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan

energi

d. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan

energi

e. Gunakan gara beryodium

f. Makanlah makanan sumber zat besi

g. Biasakan makan pagi

h. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya

i. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur

j. Hindari minum minuman beralkohol

k. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan

l. Bacalah label pada makanan yang dikemas


14

Hal yang penting diantaranya adalah memakan makanan tiga kali sehari

dengan porsi yang seimbang, makan jangan berlebihan, jangan lupa makan

pagi, dan setelah makan jangan langsung tidur (Hardani, 2002).

Menurut pedoman Gizi Seimbang untuk yang dikeluarkan oleh Kemenkes

RI (2014) yaitu :

a. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan

Secara umum sayur dan buah merupakan sumber berbagai

vitamin, mineral, dan serat pangan. Sebagian vitamin, mineral yang

terkandungdalam sayur dan buah berperan sebagai antioksidan atau

penangkal senyawa jahat dalam tubuh. Berbeda dengan sayur, buah

juga menyediakan karbohidrat terutama berupa fruktosa dan glukosa.

Sayur tertentu juga menyediakan karbohidrat, seperti wortel dan

kentang sayur. Sementara buah tertentu juga menyediakan lemak tidak

jenuh seperti buah alpokat dan buah merah. Oleh karena itu konsumsi

sayuran dan buah-buahan salah satu bagian penting dalam mewujudkan

gizi seimbang.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah

yang cukup turut berperan dalam menjaga kenormalan tekanan darah,

kadar gula dan kolesterol darah. mengendalikan tekanan darah.

Konsumsi sayur dan buah yang cukup juga menurunkan risiko sulit

buang air besar (BAB/Sembelit) dan kegemukan. Hal ini menunjukkan

bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang cukup turut berperan

dalam pencegahan penyakit tidak menular kronik. Konsumsi sayur dan


15

buah yang cukup merupakan salah satu indikator sederhana gizi

seimbang.

Semakin matang buah yang mengandung karbohidrat semakin

tinggi kandungan fruktosa dan glukosanya, yang dicirikan oleh rasa

yang semakin manis. Dalam budaya makan masyarakat perkotaaan

Indonesia saat ini, semakin dikenal minuman jus bergula. Dalam

segelas jus buah bergula mengandung 150-300 Kalori yang sekitar

separohnya dari gula yang ditambahkan.Selain itu beberapa jenis buah

juga meningkatkan risiko kembung dan asam urat. Oleh karena itu

konsumsi buah matang dan minuman jus bergula perlu dibatasi agar

turut mengendalikan kadar gula darah.

b. Biasakan mengonsumsi makanan sumber kalsium seperti ikan dan susu

Kepadatan tulang usia lanjut mulai berkurang sehingga

beresiko mengalami pengeroposan tulang/osteoporosis. Selain itu

sistim gigi geligi tidak sempurna dan rapuh sehingga untuk mencegah

kondisi yang lebih parah dianjurkan untuk mengkonsumsi pangan

sumber kalsium terutama dari ikan dan susu.

c. Biasakan mengonsumsi makanan berserat

Serat pangan sangat diperlukan oleh usia lanjut agar tidak

mengalami sembelit sehingga buang air besar menjadi lancar. Serat

pangan akan menghambat penyerapan gula dan cholesterol sehingga

membantu meningkatkan kesehatan usia lanjut. Usia lanjut dianjurkan

untuk mengonsumsi sumber karbohidrat yang masih banyak


16

mengandung serat (whole grains) dan mengonsumsi sayuran yang

banyak mengandung serat pangan.

d. Batasi mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi natrium.

Natrium merupakan elektrolit dalam tubuh yang mempunyai

peran yang sangat penting, namun apabila jumlah natrium dalam tubuh

meningkat akan mengakibatkan kondisi yang disebut hipernatriumia.

Pada kondisi tersebut akan terjadi ketidakseimbangan elektrolit di

dalam dan di luar sel yang akan mengakibatkan oedema. Oleh karena

itu kelompok usia lanjut harus berusaha mempertahankan kondisi

natrium darah tetap normal dengan cara mengonsumsi air sesuai dengan

kebutuhan dan mengonsumsi makanan yang rendah natrium. Kadar

natrium yang tinggi akan memicu terjadinya hipertensi.

e. Minumlah air putih sesuai kebutuhan

Sistem hidrasi pada usia lanjut sudah menurun sehingga kurang

sensitif terhadap kekurangan maupun kelebihan cairan. Akibat dehidrasi

pada usia lanjut adalah demensia, mudah lupa, kandungan Natrium

darah menjadi naik sehingga berisiko terjadi hipertensi. Sebaliknya bila

kelebihan cairan akan meningkatkan beban jantung dan ginjal.Oleh

karena itu kelompok usia lanjut perluair minum yang cukup (1500-

1600ml/hari).

f. Tetap melakukan aktivitas fisik

Sel-sel otot pada usia muda mempunyai kelenturan yang

optimal dan mulai menurun pada usia lanjut. Kontraksi dan relaksasi
17

otot menjadi berkurang akibatnya usia lanjut sering mengalami

kekakuan otot. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk melakukan

aktivitas fisik yang ringan seperti berjalan-jalan, bersepeda, berkebun

dan melakukan olah raga ringan seperti yoga, senam usia lanjut yang

berfungsi membantu kelenturan otot dan relaksasi otot. Aktivitas fisik

yang dilakukan usia lanjut akan menambah kesehatah jantung dan

kebugaran tubuh.

g. Batasi konsumsi gula, garam dan lemak

Banyak mengonsumsi makanan berkadar gula, garam, lemak

bagi kelompok usia lanjut meningkatkan risiko terhadap timbulnya

penyakit seperti hipertensi, stroke, penyakit jantung, kanker dan

penyakit kencing manis (diabetes melitus). Usia lanjut berisiko

mengalami gout (tinggi asam urat) oleh karena itu, konsumsi pangan

dengan kandungan purin tinggi seperti jeroan dan emping melinjo agar

dibatasi.

h. Biasakan sarapan pagi

Sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan

antara bangun pagi sampai jam 9 untuk memenuhi sebagian kebutuhan

gizi harian (15-30% kebutuhan gizi) dalam rangka mewujudkan hidup

sehat, aktif, dan produktif.

Sarapan sehat setiap pagi dapat diwujudkan dengan bangun pagi,

mempersiapkan dan mengonsumsi makanan dan minuman pagi

sebelum melakukan aktifitas harian. Sarapan yang baik terdiri dari


18

pangan karbohidrat, pangan lauk-pauk, sayuran atau buah-buahan dan

minuman. Bagi orang yang tidak biasa makan kudapan pagi dan

kudapan siang, porsi makanan saat sarapan sekitar sepertiga dari total

makanan sehari. Bagi orang yang biasa makan kudapan pagi dan

makanan kudapan siang, jumlah porsi makanan sarapan sebaiknya

seperempat dari makanan harian.

2. Usia

Semua survei yang dilakukan telah memeriksa orang dewasa dengan

usia 18 tahun atau lebih. Sementara sebagian besar survei menunjukkan

bahwa dispepsia tampaknya tidak terkait dengan kelompok usia tertentu,

beberapa studi telah mencatat beberapa kecenderungan. Dalam studi

terakhir, sub-tipe dispepsia tampaknya dikaitkan dengan kelompok usia

yang berbeda: reflux-like lebih umum pada orang dewasa paruh baya,

dysmotility-like lebih sering pada mereka yang berusia di bawah 59 tahun

dan gejala ulcer-like predominant lebih sering pada orang dewasa dengan

usia kurang dari 39 tahun (Mahadeva dan Goh, 2006).

Berbeda dengan Li et al. (2014), menurutnya prevalensi dispepsia

yang tertinggi ada pada siswa perempuan dan mahasiswa senior pada tahun

ke-empat program sarjana. Pengamatan klinis umum mengenai gejala

gastrointestinal yang meningkat seiring dengan usia telah dikonfirmasi oleh

studi berbasis populasi dan terkait pula dengan berkurangnya respon

sensorik dari jaringan usus.


19

Gejala refluks juga sangat terkait dengan usia. Hasil penelitian

menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok usia menengah dan

risiko menurun setelah itu. Risiko gejala sedang atau berat – tapi bukan dari

gejala ringan – nyata terlihat lebih tinggi pada subyek dengan usia antara 50

dan 69 tahun. Karena kebanyakan orang hanya melaporkan gejala ringan,

efek usia ini dapat diabaikan jika keparahan gejala tidak diperhitungkan

(Nocon et al, 2006).

3. Jenis Kelamin

Kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif

antara laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah

menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis

kelamin. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat

dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Jenis

kelamin perempuan ditemukan menjadi satu-satunya faktor risiko

independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018 orang Taiwan yang

menjadi peserta pemeriksaan kesehatan (Mahadeva dan Goh, 2006).

Yu et al. (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan

antara jenis kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa

perempuan memiliki skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun

pertama follow-up dibandingkan laki-laki, konsisten dengan hasil studi

cross-sectional di Taiwan. Pada penelitian Lydiard (2005) dalam Li et al.

(2014) dikatakan bahwa secara umum, angguan pencernaan fungsional

memiliki prevalensi lebih tinggi pada wanita. Drossman et al. (1993) dalam
20

Li et al. (2014) juga mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih

mampu untuk menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan

fungsional tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama

ditunjukkan kalau tidak ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia

antara pria dan wanita.

4. Kebiasaan Merokok

Merokok tidak hanya memiliki efek merusak yang sangat besar pada

organ kardiovaskular, otak, dan bronkus tetapi juga secara mendalam

mengubah fungsi semua bagian dari saluran pencernaan melalui berbagai

mekanisme. Salah satu efeknya berhubungan dengan mekanisme pada

sindroma dispepsia. Pentingnya peran rokok dalam mempotensiasi efek dari

NSAID mungkin muncul, tetapi hasil studi epidemiologi ini masih

kontroversial. Dalam salah satu studi berbasis populasi epidemiologi,

perokok dengan konsumsi harian lebih dari dua puluh batang memiliki

risiko 1,55 kali dari bukan perokok untuk mengembangkan dispepsia

(Massarrat, 2008).

Menurut Nandurkar (1998) dalam Massarrat (2008), dua penelitian

berbasis masyarakat sebelumnya gagal untuk menunjukkan hubungan antara

merokok dengan dispepsia, meskipun merokok telah terbukti menyebabkan

efek berbahaya pada mukosa lambung. Nikotin, komponen beracun yang

utama dalam tembakau, mempotensiasi cedera mukosa dengan menambah

asam dan sekresi pepsin, duodenogastric reflux, dan produksi radikal bebas.

Merokok juga merusak pertahanan mukosa dengan mengurangi sintesis


21

prostaglandin, sekresi lendir, dan sekresi faktor pertumbuhan epidermal.

Guslandi dkk. mempelajari aliran darah mukosa lambung dan produksi

mukosa bikarbonat dalam tiga kelompok pasien dengan dispepsia: bukan

perokok, perokok ringan (<10 batang per hari), dan perokok berat (≥10

batang per hari). Mereka menunjukkan bahwa terjadi penurunan secara

statistik yang cukup signifikan pada aliran darah mukosa lambung dan

sekresi alkali pada perokok berat, tapi tidak terjadi di kelompok lain. Oleh

karena itu, masuk akal bahwa merokok dapat menyebabkan dispepsia

melalui dampaknya pada mukosa lambung.

5. Riwayat Penggunaan Non Steroidal Anti Inflamantory Drugs (NSAID)

Pada periode 1999-2003, 6.576 artikel mengenai reaksi obat yang

merugikan diterbitkan. Sebuah pencarian di PubMed dengan judul

'dispepsia' dan 'perangasangan kimiawi' menghasilkan sekitar 272 kutipan.

128 dari hasil tersebut diterbitkan dalam 10 tahun terakhir dan lebih dari

setengah (66/128) yang berkaitan dengan NSAID atau penggunaan aspirin

(Bytzer, 2009).

NSAID digunakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat dan

prevalensi penggunaan resep untuk NSAID adalah sekitar 10-15% pada

orang tua dengan usia lebih dari 65 tahun. Kerusakan mukosa lambung

karena NSAID merupakan masalah kesehatan utama. Rata-rata satu sampai

dua dari seratus pasien yang memakai NSAID selama satu tahun, dirawat di

rumah sakit karena masalah saluran cerna, paling sering ulkus. Ofman dan

rekan kerja melakukan meta-analisis dari dispepsia dan NSAID. Pada


22

kelompok yang diobati dengan NSAID 4,8% dari pasien mengalami

dispepsia sedangkan pada pasien yang mengkonsumsi plasebo hanya 2,3%.

Penggunaan dosis tinggi NSAID dan obat-obatan seperti indometasin,

meclofenamate, dan piroksikam dikaitkan dengan peningkatan risiko

dispepsia (Bytzer, 2009).

Mekanisme NSAID itu sendiri yaitu dengan menghambat enzim

cyclooxygenase (COX), yang pada gilirannya mengurangi sintesis endogen

sitoprotektif dari prostaglandin dan membuat mukosa rentan terhadap agen

berbahaya. Cedera mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh NSAID

bervariasi dari mikroskopik halus sampai cedera makroskopik. Perubahan

halus terjadi dalam bentuk disfungsi permeabilitas dengan difusi ion

hidrogen dan pergeseran ion natrium intraluminal. Komplikasi makroskopik,

khususnya erosi dan ulkus, dapat mempersulit gangguan mukosa yang tidak

diobati. Luka mukosa lambung akut yang diinduksi aspirin dapat terjadi

dalam waktu satu jam paparan (Mofleh dan Rashed, 2007).

6. Stress

Patofisiologi dari sindroma dispepsia tidak sepenuhnya jelas. Ada

beberapa hipotesis yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma

dispepsia, salah satunya adalah hipotesis psikologis. Hal tersebut

menunjukkan bahwa depresi, kecemasan, atau pun gangguan somatisasi

dapat menyebabkan gejala dispepsia. Model biopsychological mendalilkan

bahwa dispepsia dihasilkan dari interaksi timbal balik yang kompleks antara

faktor biologis, psikologis, dan sosial. Ada komorbiditas dua arah antara
23

dispepsia dan gangguan psikiatris, terutama mood dan gangguan kecemasan.

Penelitian secara patofisiologi menunjukkan hubungan antara proses

psikologis dengan gejala dan fungsi sensori-motor gastro- intestinal. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa gejala kejiwaan (depresi, kecemasan,

gangguan obsesif, sensitivitas interpersonal, psychoticism, dan permusuhan)

lebih tinggi pada kelompok sindroma dispepsia daripada kontrol, dan hasil-

hasil ini kompatibel dengan penelitian sebelumnya. Levy (2006) melaporkan

bahwa kecemasan, depresi, serangan panik, dan gangguan somatisasi sering

terdeteksi sebelum atau bersamaan dengan terjadinya gangguan fungsional

gastrointestinal (Faramarzi et al, 2012).

Dispepsia, GERD, dan IBS adalah kondisi gastrointestinal yang

umum baik di Cina maupun di seluruh dunia. Tingkat prevalensi yang

berbeda dari ketiga gangguan ini diamati pada populasi mahasiswa yang

dapat mencerminkan potensi berbeda dari asosiasi dengan faktor-faktor

terkait stres. Mahasiswa berada pada risiko yang lebih tinggi untuk

gangguan psikologis (Li et al, 2014). Ujian, sebagai contoh dari stressor

kehidupan nyata, menginduksi gejala dispepsia pada mahasiswa kedokteran

yang terkait dengan sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk kecemasan

(Talley dan Holtmann, 2007).


24

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Dispepsia merupakan rasa nyeri atau tidak nyaman dibagian ulu hati.

Kondisi ini dianggap gangguan di dalam tubuh yang diakibatkan reaksi tubuh

terhadap lingkungan. Berbagai faktor yang dapat mempengaruihi kejadian

dispepsia diantaranya adalah pola makan, usia, jenis kelamin, kebiasaan

meorkok, riwayat penggunaan NSAID dan stress. Berdasarkan uraian tersebut,

maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagia

berikut:

variabel Independent Ada hubungan


variabel Dependent
Pola makan
Dispepsia
Jenis kelamin

Tidak ada
hubungan

Faktor confounding:
Usia
Kebiasaan merokok
Riwayat penggunaan NSAID
Stress

Keterangan :
: Variabel yang Diteliti
: Variabel yang Tidak diteliti
: Faktor penghubung
Gambar 3.1 Kerangka Konsep

24
25

B. Definisi Operasioal

Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel/
Definisi Alat Cara
Sub Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur ukur
Variabel
Jenis Perbedaan Kuesione Melihat 1. Laki-laki Nominal
kelamin biologis r jawaban 2. Perempuan
responden responden
yang dinilai
dari ciri-ciri
fisik
Pola makan kebiasaan Kuesione Melihat 3. Baik, 76%- Ordinal
pada yang r jawaban 100%
dilakukan oleh responden 4. Kurang
responden baik <76%
dalam (Arikunto,
mengkonsumsi 2010)
makanan
sehari-hari
Dispepsia Suatu keadaan Pemeriks Hasil 1. Ya, jika Ordinal
dimana aan tanda pemeriksa mengalami
responden dan an gejala
mengalami gejala dispepsia
gangguan 2. Tidak, jika
lambung dan tidak
telah mengalami
didiagnosis gejala
oleh petugas dispepsia
kesehatan

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian dispepsia di

Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun 2019.

2. Terdapat hubungan antara pola makan dengan kejadian dispepsia di

Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun 2019.


26
27

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif korelasi

dengan metode survey dengan pendekatan cross sectional karena penelitian

ini adalah mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian dispepsia

yang dilakukan pada satu waktu terhadap variabel yang diteliti. Hal ini

sejalan dengan yang dikemukakan Nursalam (2010) yang mengatakan bahwa

pendekatan cross sectional pengukuran data variabel bebas (independent) dan

variabel terikat (dependent) hanya satu kali pada satu saat.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh

peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2011). Populasi dalam penelitian ini masyarakat yang berkunjung ke

Puskesmas Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya pada periode bulan

Februari yang berjumlah 237 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan

diangap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Pengambilan

26
28

sampel penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling

dengan kriteria sebagai berikut:

1. Usia dewasa

2. Mampu berkomunikasi dengan baik

3. Bersedia menjadi responden

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas

Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya tahun 2019

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini mencakup beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap persiapan, tahap persiapan ini mencakup pengajuan judul,

outline, dan melakukan studi pendahuluan. Mulai dari bulan Desember

2019.

b. Tahap pelaksanaan, tahap pelaksanaan ini mencakup pengumpulan

data dengan cara memberikan kuesioner yang diberikan langsung

terhadap objek yang di teliti, serta melihat data register mulai dari

bulan Februari 2019

c. Tahap akhir, tahap akhir ini mencakup pengolahan data dan presentasi

tentang hasil penelitian mulai Januari 2019.


29

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang

berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2011). Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel Bebas (variable independent)

Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempunyai atau

yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono,

2011). Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin dan pola

makan.

2. Variabel Terikat (variable dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2007). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah dispepsia.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang

dibuat sendiri oleh peneliti sendiri. Instrumen tersebut terdiri dari

1. Sebanyak 1 pertanyaan untuk memperoleh variabel jenis kelamin

2. Sebanyak 15 pertanyaan untuk memperoleh kebiasaan pola makan

Sebelum dilakukan penelitian, instrumen pola makan tersebut akan

dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada 20 orang di Puskesmas Salopa.


30

1. Uji Validitas

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu kuesioner pola makan. Uji

validitas tersebut menggunakan rumus sebagai berikut :

N ( X Y )−( X ) (Y )
r=
√ {( N X ¿¿ 2)−( X ) 2 2
}{( N Y ¿¿ 2)− (Y ) }¿ ¿

Keterangan :

N : Jumlah responden

X : Skor pertanyaan nomor x

Y : Skor total

XY : Skor pertanyaan nomor x dikali skor total

(Arikunto, 2010)

Apabila r hitung lebih besar daripada r tabel maka pertamyaan tersebut

valid, namun apabila ada pertanyaan yang tidak valid maka akan dibuang.

2. Uji Reliabilitas

Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas, suatu instrumen dilakukan dengan

menganalisis konsistensi butir-butir atau item pertanyaan dengan teknik

consistency, yaitu pengujian dengan menganalisis konsistensi butir atau

pertanyaan yang ada hanya satu kali. Adapun rumus yang digunakan untuk

uji reliabilitas adalah sebagai berikut:

2rb
ri=
1+rb

Keterangan :

ri = reliabilitas internal seluruh instrumen

rb= korelasi product moment antara belahan ganjil dan genap


31

F. Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2010). Pengumpulan data ini terdiri dari :

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui langsung dari responden melalui

kuesioner untuk menilai jawaban responden yang berkaitan dengan faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian dispepsia. Adapun langkah yang

dilakukan

a. Mendapatkan izin dari program studi SI keperawatan

b. Mendapatkan izin penelitian dari Puskesmas Cikatomas

c. Setelah memperoleh ijin melakukan penelitian, peneliti melakukan

persiapan lapangan dengan membuat kerjasama dengan petugas atau

pihak terkait serta melakukan penjajakan untuk menentukan jadwal

pelaksanaan penelitian

d. Penyebaran kuesioner kepada masayarakat yang berkunjung ke

Puskesmas Cikatomas sesuai dengan kriteria sampel penelitian

2. Data Sekunder

Pengambilan data sekunder diperoleh dari catatan yang sudah

tersedia di Puskesmas Cikatomas berupa data jumlah kunjungan pasien dan

jumlah penyakit dispepsia.


32

G. Pengolahan Data

Setelah kuesioner diberikan kepada responden, kemudian dikumpulkan

kembali dan setelah itu dilakukan pengolahan data dengan tahap sebagai

berikut :

1. Editing

Peneliti pada tahap ini akan mengumpulkan hasil kuesioner,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap data-data tersebut,

pengecekan atau pemisahan identitas dan karakteristik yang diteliti serta

jawaban dalam tiap pertanyaan kuesioner.

2. Coding Data,

Peneliti pada tahap ini akan melakukan pemberian kode atau

mengubah data-data yang berbentuk huruf ke dalam bentuk angka sehingga

memudahkan menganalisis data. Pemberian kode dilakukan pada setiap

kategori dari tiap variabel. Seperti jenis kelamin kode1 dan perempuan

kode 2, Pola makan baik diberi kode 1 dan tidak baikkode 2, kejadian

dispepsia jika Ya kode 1 dan Tidak kode 2.

3. Entry Data

Peneliti pada tahap ini menggabungkan data-data yang telah

kategorikan dan kemudian dimasukkan ke dalam master tabel melalui

komputerisasi kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis univariat

yang menghasilkan distribusi frekuensi sederhana.


33

4. Tabulating Data

Peneliti pada tahap ini menggabungkan data-data yang sama agar

dapat dengan mudah dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dalam

bentuk tabulasi distribusi frekuensi.

H. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisis univariat yang dilakukan tehadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmojo, 2010). Hasil

pengkategorian dari variabel pola makan ditentukan dengan menggunakan

nilai yang diperoleh


skor= x 100
jumlah nilai keseluruhan

Selanjutnya untuk memberikan kategori variabel pola makan

menggunakan cut of point. Cut of point yang digunakan adalah

(Notoatmodjo, 2010):

a. Mean

Mean adalah ukuran rata-rata yang merupakan hasil dari jumlah

semua nilai pengukuran dibagi oleh banyaknya pengukuran.

Σ fx
X=
n

Keterangan :

X : Nilai rata-rata

Σ : Jumlah
34

f : Frekuensi

x :Hasil pengamatan

n : Jumlah pengamatan

b. Median

Bila suatu data telah disusun berurutan, kemudian dibagi dua sama

banyak, maka nilai yang terletak tepat ditengah membagi dua sama

banyak, itulah median.

Rumus median:

(n+ 1)
Me=
2
Keterangan:

Me = nilai median

n = banyak data atau pengamatan

c. Standar Deviasi

Standar deviasi adalah ukuran yang dapat dipakai untuk

mengetahui tingkat penyebaran nilai (data) terhadap rata-ratanya

diperoleh dengan rumus


2
∑ ( x−x )
SD = n−1
Keterangan :

x = skor responden

x =nilai rata-rata

n =jumlah sampel.
35

Apabila distribusi normal maka cut of point yang digunakan adalah

Mean dengan melihat hasil pembagian nilai skweakness dengan

standar error hasilnya -2 sampai 2 maka data berditribusi normal dan

cut of point menggunakan mean, namun apabila hasilnya < -2 sampai >

2 maka data berdistribusi tidak normal dan cut of point menggunakan

median/standar deviasi.

Pengkategorian dari variabel pola makan yaitu:

- Baik ≥ cut of point

- Tidak baik < cut of point

Kemudian untuk analisis univariat yang diperoleh dari tiap variabel

dengan ditribusi frekuensi dengan rumus sebagai berikut :

n
P= x 100 %
N

Dimana : n = Jumlah responden berdasarkan kategori

N = Jumlah seluruh responden

100% = bilangan tetap

P = Persentase

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoatmojo, 2010). Metode yang

digunakan untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut yaitu dengan

menggunakan uji statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu dengan

menggunakan uji Chi-Square


36

2
( f 0 −f h )
x =∑ 2
fh

Keterangan:

X2 = chi kuadrat

F0 = Frekuensi observasi

Fh = Frekuensi harapan

(Arikunto, 2010).

Uji statistik untuk menguji hubungan dua variabel dimana masing-

masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori dengan tingkat

signifikan 5% (nilai α = 0,05), dengan ketentuan sebagai berikut :

a) Jika p value ≤ α, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara

variabel bebas dan variabel terikat.

b) Jika p value> α, maka Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat.

You might also like