You are on page 1of 98

KEBIJAKAN FORMULASI PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh:
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 190111100140

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
FAKULTAS HUKUM
2023
SKRIPSI

KEBIJAKAN FORMULASI PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN


PIDANA

Oleh:
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 190.111.100.140

Disetujui Ujian Akhir dan Komprehensif


Bangkalan, Juni 2023
Dosen Pembimbing
Dr. Syamsul Fathoni, SH., MH.
NIP. 197306052005011001

2
SKRIPSI

KEBIJAKAN FORMULASI PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN


PIDANA
Oleh:
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 190.111.100.140.

Skripsi Hukum ini telah diuji dan berhasil dipertahankan di Hadapan Majelis
Penguji Tugas Akhir dan Komprehensif Fakultas Hukum Universitas
Trunojoyo Madura Pada Hari Selasa, 15 Juni 2023
MAJELIS PENGUJI
PENGUJI (KETUA) PENGUJI 1

PENGUJI II PEMBIMBING
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura

Dr. Erma Rusdiana, S.H.,M.H

3
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Mohammad Ridho

Nim : 190111100140

Judul Skripsi :

“ Kebijakan Formulasi Penuntutan Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana ”

Dengan ini saya menyatakan, bahwa skripsi hukum ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain, dan di dalamnya tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain,
kecuali yang secara tertulis di dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila suatu saat ada pihak lain yang melakukan klaim bahwa skripsi ini merupakan
plagiat karya ilmiah lain, dan dapat dibuktikan, saya bersedia menerima segala sanksi
yang akan diberikan oleh Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

Bangkalan, Juni 2023

MOHAMMAD RIDHO
NIM. 19.01.111.00140

4
MOTTO

“Apa Yang Melewatkanku Tidak Akan Pernah Menjadi Takdirku, Apa Yang
Ditakdirkan Untukku Tidak Pernah Melewatkanku”
(Sayyidana Umar Bin Khattab )

“Niatkanlah Semua yang kamu lakukan bagian dari bentuk baktimu terhadap
orang tua maka akan allah mudahkan jalannya”

“ Sabar itu Sulit, Tapi Hadiahnya Selangit”

“Jika Kamu Belajar Tentang Ilmu Agama, Belajarlah Juga Tentang


Kemanusiaan. Agar Kamu Tidak Hanya Pandai Beribadah Namun Pandai
Menghormati Orang Lain”

5
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini disempembahakan untuk:


Atas berkat dan rahmat Allah SWT Tuhan dengan segala kerendahan hati saya
persembahkan skripsi ini kepada
“Keluarga tercinta khususnya kepada Ibu dan Almarhum Bapak serta saudara-
saudara saya yang dengan sepenuh hati membantu dan berjuang demi
keberlangsungan pendididkan yang saya jalani. Terimakasih sudah menjadi
pahlawan terhebat dalam hidup saya. Semoga terlimpah kasih dan sayang Allah
SWT kepada kalian”
“Aamiin”

Abstrak

6
Penuntutan merupakan salah satu sistem peradilan pidana. Terdapat perbedaan
penuntutan disetiap negara disesuaikan dengan mekanisme dan sistem hukum yang
dianut oleh negara tersebut. Indonesia menganut penuh peran jaksa dalam mekanisme
penuntutan perkara pidana. Namun dalam kedudukannya terdapat kekurangan konsep
penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Berbeda dengan negara korea selatan yang
diatur dalam Criminal Procedure Code South Of Korea yang mengatur mengenai
penarikan penuntutan dan Negara New South Wales yang melalui Procedure Art New
South Wales mengenal Penuntutan Pribadi (Joint Prosecution) Dalam sistem
peradilan pidananya. Dengan kekurangan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Acara Pidana maka perlunya formulasi penuntutan guna pembaharuan penuntutan
dalam Sistem Peradilan Pidana.Adapun Rumusan Masalah peulis dalam penelitian ini
adalah Kebijakan Formulasi Penuntutan Perkara Pidana Dalam Hukum Positif Di
Indonesia
Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian penelitian
normatif, Adapun pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu perubahan dan perlu implimentasi
melalui pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana dan melakukan
normalisasi penarikan penuntutan dan penuntutan pribadi (Joint Prosecution) dalam
hukum acara pidana demi memperkuat penuntutan pidana dan memperkuat peran
jaksa dalam sistem peradilan pidana. Pembentukan hukum penuntutan melalui
penarikan penuntutan dan penuntutan pribadi dalam dilakukan dengan melakukan
perubahan aturan hukum acara pidana dalam bentuk kodifikasi yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan diluar kodifikasi yaitu dengan Undang-Undang No
11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Kata Kunci: Penuntutan, Criminal Procedure Code, Kebijakan Formulasi

7
ABSTRACT
Prosecution is one of the criminal justice systems. There are differences in
prosecution in each country according to the mechanism and legal system adopted by
the country. Indonesia fully embraces the role of the prosecutor in the mechanism of
prosecuting criminal cases. However, in its position there is a lack of prosecution
concept in the criminal justice system. In contrast to South Korea which is regulated
in the Criminal Procedure Code of South of Korea which regulates the withdrawal of
prosecution and the State of New South Wales which through the Procedure Art of
New South Wales recognises Joint Prosecution in its criminal justice system. With the
shortcomings contained in the Criminal Procedure Code, it is necessary to formulate
the prosecution in order to renew the prosecution in the Criminal Justice System. The
formulation of the problem in this study is the Policy of Criminal Case Prosecution
Formulation in Positive Law in Indonesia. This research method is carried out using
normative research research, the approaches taken are statutory approaches,
conceptual approaches, and comparative approaches. The results of this study
indicate that changes are needed and need to be implemented through reforming the
Criminal Procedure Code and normalising the withdrawal of prosecution and
private prosecution (Joint Prosecution) in criminal procedure law in order to
strengthen criminal prosecution and strengthen the role of prosecutors in the
criminal justice system. The formation of prosecution law through the withdrawal of
prosecution and private prosecution is carried out by amending the rules of criminal
procedure law in the form of codification, namely the Criminal Procedure Code and
outside the codification, namely Law No. 11 of 2021 concerning the Prosecutor's
Office of the Republic of Indonesia.
Keywords: Prosecution, Criminal Procedure Code, Policy Formulation

8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT, karena atas limpahan dan keberkahan yang diberikan-Nya
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini yaitu “Kebijakan
Formulasi Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana”. Skripsi ini dituliskan untuk
menyelesaikan program study Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo
Madura untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis menyadari bahwa dalam kepenulisan ini tidak akan pernah selesai
tanpa dukungan dari pihak lain. Dengan ini maka penulis ucapkan terimakasih:
1. Kepada Allah SWT karena atas keberkahannya serta karunia yang diberikan

kepada penulis sehingga dipermudah dalam proses penyelesaian skripsi ini

hingga bisa menyelesaikan skripsi ini hingga tuntas.

2. Kepada Keluarga Besar Bapak (Alm. Ali Zaeni dan Sumirah) bapak dan ibu

yang penulis cintai dan hormati. Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa

terimakasih penulis yang telah banyak mendoakan, memberikan kepercayaan,

dukungan baik secara moril ataupun materi. Terimakasih atas segala curahan

kasih sayang kepada anak terakhirmu ini, semoga dengan hasil tugas akhir

dari pendidikan sarjana ini dapat menjadi pintu ke level berikutnya untuk

menaikan derajat martabat keluarga kecil terhebat ini.

3. Kepada 2 (Dua) Saudara Perempuan penulis yaitu Nurul Lativa S.T, Ika Nur

Winda Sari S.Pi dan Adik Perempuan saya yaitu Fadia Putri Zahro serta

Kakak Ipar Penulis Yaitu Lukman Jamal S.H.,M.H., CLA dan Syahrul Zaum

Spd.,Mpd. Sebagai rasa hormat dan terimakasih penulis yang tidak pernah

lelah memberikan support baik materi maupun immateri yang luar biasa untuk

9
adek bungsumu ini bisa bertahan untuk dapat menyelesaikan program study

ini.

4. Kepada Keluarga Besar Rumlah yang senantiasa memberikan dorongan dan

juga semangat agar Skripsi ini dapat selesai dengan tepat waktu

5. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Dr. Erma

Rusdiana, S.H., M.H dan seluruh jajaran serta dosen dan staf karyawan yang

telah banyak membantu, membimbing dalam proses belajar mengajar

mengembangkan potensi yang penulis miliki.

6. Kepada Dr. Syamsul Fatoni S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang

senantiasa dengan sabar membimbing untuk menyelesaikan tugas akhir ini

dengan baik dan benar. Berkat Arahan dan Bimbingan dari beliau saya bisa

menyelesaikan tugas akhir saya dengan tepat waktu

7. Kepada Firman Pribadi S.H .,M.H Selaku Dosen yang mengajar Perbandingan

Hukum Pidana yang selalu memberikan motivasi dan gagasan sehingga

terbentuknya gagasan dari Tugas Akhir yang saya selesaikan

8. Kepada temen temen SMP, MA, Kuliah, yang selalu menemani proses yang

dijalani oleh penulis. Pertama kepada Best Partner Kuliah (PEJUANG

S.H.,M.H) Desi Ratnasari dan Mohammad Ali Maksum yang selalu

memberikan support dan Motivasi selama di perantauan Pulau Madura ini.

Kedua kepada Temen-temen kelas G terkhusus (Komunitas Konco Ngopi)

yang senantiasi menjadi tempat diskusi serta bertukar ilmu selama proses

10
perkuliahan. Ketiga Kepada Roy Widya Pratama dan juga Ahmad

Ainurrahman yang merupakan Temen Akrab dan Diskusi Di kala

menyelesaikan Tugas akhir. Keempat Kepada Temen MA yaitu Adi

Sugiyanto dan Aulia Rahmi yang senantiasa memberikan Motivasi Serta Visi

Misi yang selalu sama walaupun instansi. Kepada Temen SMP yaitu Fauzan

Al Thoriq, Alfan Hadi Andana, Wildan Kurniawan selaku temen seperjuangan

dari masa SMP.

9. Kepada Unit Kegiatan Mahasiswa yang menjadi wadah Penulis berproses

selama proses perkuliahan. Pertama Fordishum, yang merupakan wadah bagi

penulis dalam melatih skill dan kemampuan dalam debat dan kepenulisan

yang diikuti penulis dari mahasiswa baru hingga akhir 2020. Kedua

Kommpas, yang merupakan wadah bagi penulis dalam mempelajari Mourt

Count dan yang berhubungan Dengan Pelatihan Berkas Perkara. Ketiga HMK

Pidana, yang merupakan wadah yang didapatkan penulis saat menempuh

konsentrasi pada menjelang semester akhir.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh Karena

itu, saya selaku penulis dari skripsi ini memohon maaf atas kesalahan yang terdapat

dalam penulisan skripsi ini, semoga kedapan tulisan ini mampu membawa perubahan

terhadap jalannya pemerintahan Indonesia kedepannya baik dalam segi pelayanan

maupun kebijakan peraturan perundang-undangan di masa mendatang.

Bangkalan, Juni 2023

11
MOHAMMAD RIDHO

NIM 190.111.100.140

DAFTAR ISI

12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum merupakan suatu aturan yang mengatur mengenai perilaku manusia. 1

Yang dimana dengan hal tersebut aturan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya

masyarakat. Salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban dan ketentraman

masyarakat dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik yang berada dalam

masyarakat, karena seyogyanya dalam masyarakat terdapat hak-hak yang saling

bersinggungan yang akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu ketertiban

dalam masyarakat.

Dalam proses terbentuknya hukum di suatu negara dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor salah satunya dari faktor budaya,moral, sejarah dan nilai-nilai agama

yang hidup di suatu masyarakat. Oleh karena adanya faktor tersebut maka terdapat

perbedaan hukum di setiap negara. Sistem hukum masing-masing negara juga

berbeda, yang juga Dipengaruhi oleh budaya, moral, sejarah, agama dan politik

hukum masing-masing negara. Untuk memahami sistem hukum suatu negara,

seseorang harus memahami dulu budaya atau budaya hukum masyarakat negara

tersebut.

1
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Radja Grafindo,
2016, hlm 12

13
Menurut Marc Ancel, terdapat lima (5) sistem hukum dunia, yakni

1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (atau disebut System

of Civil Law)

2. Sistem Anglo-American (atau disebut Common Law System)

3. Sistem Timur Tengah (Middle East System)

4. Sistem Timur Jauh (Far East System)

5. Sistem negara-negara sosial (Socialist Law System).2

Sistem hukum di Indonesia adalah civil law atau yang biasa dikenal juga

dengan sebutan Eropa Kontinental, sistem hukum yang juga digunakan di Belanda

Menjajah Indonesia selama ratusan tahun.3 Pada sistem Civil law ini merupakan

sistem hukum yang menganut sistem kodifikasi yang dapat diartikan sebagai

pembukuan hukum.4 Dengan demikian, sistem hukum Eropa kontinental adalah

Kodifikasi (kumpulan) ciri-ciri keberadaan berbagai ketentuan hukum Secara

sistemik, ini akan ditentukan oleh hakim pelaksanaan.

Sistem peradilan pidana terdiri dari beberapa tahap yakni tahap

penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pemeriksaan di

pengadilan. Dalam hukum acara pidana, ada proses yang disebut penuntutan dan

penelitian ini membatasi tentang ketentuan penuntutan terhadap pelaku tindak


2
Barda Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2008, Hal 16.
3
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007, Hal 69
4
Pontang Moerad B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2005, Hal 215.

14
pidana, yakni pihak yang mana saja yang berwenang dalam hal melakukan

penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam hal penuntutan setiap negara

juga memiliki lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan,

sama seperti halnya negara belanda, jerman, korea selatan dan Australia.

Penuntutan di setiap negara khususnya dalam perkara pidana memiliki

mekanisme berbeda-beda dalam melakukan kewenangan penuntutannya.

Kesamaannya diantara mereka terdapat beberapa kedudukan yang berada dalam

lingkup pejabat publik, yang bertanggungjawab dalam performa layanan

penuntutan. Menurut hukum acara pidana Indonesia, yang berwenang melakukan

penuntutan adalah jaksa penuntut umum. Oleh karena itu, hukum acara pidana

yang harus dilaksanakan oleh jaksa adalah terutama hukum acara pidana yang

mengatur soal penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana.

Pengaturan mengenai penuntutan dan kewenangan jaksa terdapat di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

disebut dengan KUHAP), yang mana dalam hal ini, penuntutan merupakan awal

dari suatu proses peradilan untuk mencapai suatu putusan hakim yang bersifat adil

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil bagi korban maupun pelaku

tindak pidana atas tindak pidana yang dilakukan, sebagaimana tujuan dari hukum

acara pidana yakni adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara

15
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa

suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat

dipersalahkan.5

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih

berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan kejahatan. Kejaksaan

merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara untuk

melakukan penuntutan dari segala perbuatan yang termasuk tindak pidana dan

kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,

kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.

Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah

menjadi Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang kejaksaan republik indonesia

selanjutnya disebut dengan (UU KEJAKSAAN), bahwa dalam Pasal 1 ayat (1)

ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut

Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”.6 Kejaksaan


5
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2019,
Hal 7.
6
Lihat Pasal 1 ayat 1 UU No 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

16
sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral

dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat

menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai

penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi

pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Namun terdapat beberapa

permasalahan berkaitan dengan Dominus Litis Dalam pelaksanaan kewenangan

penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan dengan lembaga penegak

hukum lainnya. Karena jaksa penuntut umum hanya memeriksa formal berkas

perkara saja, tidak mengetahui proses penyusunan berkas dan tata cara perolehan

alat bukti, menjadi problema apabila di persidangan terdakwa mencabut

keterangannya di BAP. Jaksa Penuntut Umum harus mempertanggungjawabkan

atau membuktikan surat dakwaannya. Sering juga terjadi bolak-balik berkas

perkara antara penyidik polri dan jaksa penuntut umum, maka dari adanya hal ini

seharusnya dalam adanya asas dominus litis yang bersifat mutlak dan mandiri

menjadikan penuntutan sebagai tugas yang utama dan menjadi satu yang tidak

terpisahkan, sehingga asas ini akan menguatkan dan memantapkan Jaksa sebagai

penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap perkara pidana yang

terjadi, dan hanya jaksalah yang secara proporsional dan profesional dapat

menentukan untuk diselesaikan tidaknya perkara pidana7.

7
Gede Putera Perbawa,”Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas Dominus Litis
Dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum” Arena Hukum
Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

17
Berbeda dengan kejaksaan korea selatan yang memberikan kewenangan

kejaksaan dalam melakukan mekanisme penuntutan perkara pidana atau yang

masuk ke dalam dominus litis (Criminal Procedure Code Republic Of South

Korea) pada pasal 255 ayat 1 yang bunyinya sebagai berikut:

“(1) A public prosecution may be withdrawn before a judge in the first


instance is rendered.
(2) A withdrawal of a public prosecution shall be made on a document
stating the reason: Provided, That as to withdrawal by the court, it may be
stated orally”.8
Terjemahannya:
1) Penuntutan umum dapat ditarik kembali sebelum putusan dijatuhkan pada
tingkat pertama.
2) Penarikan kembali penuntutan umum dilakukan atas suatu surat yang
menyatakan alasannya. “Asalkan penarikan oleh pengadilan dapat dinyatakan secara
lisan”.
Sedangkan dalam KUHAP tidak dikenal penarikan Penuntutan Umum

yang merupakan wewenang jaksa sebagai dominus litis, hal tersebut secara

implisit dalam pasal 144 ayat 1 Kuhap “Penuntut umum dapat mengubah surat

dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk

menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”.9 Maka dari

itu setelah penetapan hari sidang penuntut umum harus sudah menetapkan surat

dakwaan tersebut maka dari itu dalam Kuhap tidak diatur mengenai penarikan

penuntutan. Selanjutnya sebagai perbandingan pada Negara New South Wales

dalam Criminal Procedure Art New South Wales juga terdapat perbedaan dalam

sistematika penuntutannya. Dalam sistematika penuntutan dalam sistem peradilan


8
Lihat pasal 255 ayat 1 Criminal Procedure Code Republic Of South Korea
9
Lihat ketentuan pasal 144 ayat 1 Undang- Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana

18
pidana negara New South Wales terdapat aturan dalam Criminal Procedure Art

New South Wales pada pasal 174, 175, 176, 177, 178, 179. Hal tersebut berarti

menunjukkan bahwa penuntutan dalam perkara pidana Joint Prosecutors,

sebagaimana yang penulis kutip dalam bukunya Andi hamzah yang menyatakan

bahwa negara seperti inggris, Muangthai dan RRC bahwa hak penuntutannya juga

berada pada tangan setiap orang, terutama bagi orang yang dirugikan oleh delik

tersebut.10 Hal tersebut sejalan dengan ketentuan umum bagian 14 “A prosecution

or proceeding in respect of any offence under an Act may be instituted by any

person unless the right to institute the prosecution or proceeding is expressly

conferred by that Act on a specified person or class of persons.”.11 (Penuntutan

atau proses sehubungan dengan pelanggaran apa pun berdasarkan suatu tindakan

dapat dilembagakan oleh siapa pun kecuali hak untuk melembagakan penuntutan

atau proses secara tegas diberikan oleh tindakan itu pada orang atau kelas orang

tertentu).

Berbeda dengan indonesia yang Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah

yang melaksanakan kekuasaan negara untuk melakukan penuntutan dari segala

perbuatan yang termasuk tindak pidana dan kekuasaan negara tersebut

dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan

fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

1010
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2019,
Hal 16.
11
Lihat Bab II Ketentuan Umum Bagian 14

19
dan kekuasaan lainnya. Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP, memberikan

definisi mengenai penuntutan, yakni :

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan


perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.12

Dengan letak perbedaan terkait dengan sistematika yang diatur dan dianut

dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), Criminal Procedure Code

Republic Of South Korea) dan Criminal Procedure Art New South Wales.

Sehingga dengan melakuan metode perbandingan penulis selain membandingkan

perbedaan yang terjadi juga akhirnya dapat menemukan bentuk kebijakan

Formulasi bagi penuntutan perkara pidana di indonesia. Oleh karena itu penulis

menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul :

“KEBIJAKAN FORMULASI PENUNTUTAN DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk

mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga

12
Lihat ketentuan pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana

20
tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan

hasil seperti yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari

masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana Kebijakan Formulasi Penuntutan Perkara Pidana Dalam

Hukum Positif Di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis.

Tujuan tersebut berhubungan dengan permasalahan yang dirumuskan sebelumnya.

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1.Tujuan objektif

Untuk mengetahui secara jelas mengenai Bentuk Kebijakan Formulasi

Penuntutan Perkara Pidana Di Indonesia Dari Berbagai Perbandingan

Berdasarkan Criminal Procedure Code Republic Of South Korea dan juga

Criminal Procedure Art New South Wales

2. Tujuan subjektif

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan

hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh

gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

21
b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek

hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang

penuntutan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

Hukum Acara Pidana Korea Selatan (Criminal Procedure Code Republic Of

South Korea) dan Hukum Acara New South Wales (Criminal Procedure Art New

South Wales)

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat

memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh

terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1.Manfaat teoritis

a. Memberikan Bahan Masukkan dan wawasan yang dipergunakan dalam

kepenulisan tugas akhir ini di bidang hukum.

b. untuk memberikan sumbangan pemikiran terutama dalam pengembangan

ilmu hukum khususnya dalam hukum formiil yaitu hukum acara pidana

c. Untuk memahami lebih dalam mengenai dogmatika hukum terutama

berkaitan dengan hukum acara pidana khususnya berkaitan dengan

22
permasalahan terkait penuntutan hukum acara pidana.

2. Manfaat praktis

a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti

b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus

untuk mengetahui kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu

yang diperoleh.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan

kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang

diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam hal

penuntutan.

1.5 Keaslian Penelitian

Untuk menentukan orisinalitas suatu penelitian, maka penulis dapat

mencari dan membaca tulisan-tulisan terdahulu. Hal tersebut guna melihat dan

menemukan perbedaan yang terdapatnya. Sebagai penulis dalam penelitian

dengan judul “Kebijakan Formulasi Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana”.

Penelitian ini menitikberatkan perbandingan hukum terkait sistematika

penuntutan perkara pidana antara pengaturan di dalam Kuhap Indonesia atau UU

No 8 Tahun 1981 dengan Criminal Procedure Code Republic Of South Korea

atau UU No 9765 Tahun 2009 dan Negara Bagian di Australia yaitu New South

Wales dengan Criminal Procedure Art New South Wales atau UU No 209 Tahun

23
1986 . Dengan dibandingkan beberapa negara yang juga memiliki mekanisme

penuntutan yang berbeda akan ditemukan Kebijakan formulasi yang tepat untuk

melakukan Pembaharuan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di

Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan

Universitas Trunojoyo Madura, diketahui bahwa penelitian saya belum pernah

ditulis oleh peneliti lainnya.

Agar lebih mudah mengetahui penelitian sebelumnya dan penelitian yang

akan penulis lakukan, berikut disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1

memperlihatkan mengenai keaslian penelitian skripsi ini dan perbedaannya

dengan hasil penelitian sebelumnya, sebagaimana di bawah ini.

Tabel 1: Keaslian Penelitian dan Perbedaannya.


No Judul Rumusan Hasil Perbedaan
masalah dengan
penelitian
sebelumnya
1 Isyanna Tri 1. Apakah Dalam hasil Dalam
Setya persamaan penelitian di penelitian
Oktodari, dan dalam yang
Universitas perbedaan penelitian dilakukan oleh
Sebelas Maret, Pengaturan sebelumnya, Isyanna Tri
Skripsi, sistem Isyanna Tri Setya
Surakarta,Studi penuntutan Setya Oktodari,
Perbandingan perkara Oktodari terdapat
Hukum pidana menemukan perbedaan
Pengaturan menurut perbedaan dengan
Penuntutan hukum acara kewenangan penelitian
Perkara Pidana pidana di kejaksaan di yang penulis
Di Indonesia indonesia indonesia dan buat. Salah
Dengan dengan Swedia yaitu satu pembeda
Swedish Code Swedia Code dalam dengan

24
Of Judicial Of Judicial KUHAP penelitian
Procedure Procedure? kejaksaan yang penulis
2. Apakah tidak buat terdapat
kelebihan memiliki dalam metode
dan wewenang pendekatan
kelemahan menyidik penelitian
pengaturan perkara, dari yang dimana
sistem permulaan dalam
penuntutan hingga penelitian
perkara lanjutan, terdahulu
pidana berarti jaksa tersebut hanya
menurut atau penuntut menggunakan
Hukum umum di pendekatan
Acara Pidana indonesia komparatif
di Indonesia tidak pernah sedangkan
dan Swedish melakukan dalam
Code Of pemeriksaan penelitian
Judicial terhadap yang penulis
Procedure? tersangka buat ini selain
maupun menggunakan
terdakwa. pendekatan
Sedangkan di komparatif,
swedia jaksa penulis juga
penuntut menggunakan
umum tidak pendekatan
hanya perundang-
memiliki undangan
kewenangan dalam
dalam penelitian
penuntutan yang
tetapi dapat dilakukan.
langsung Maka dari itu
melakukan terdapat
penyidikan pembeda
terhadap antara
semua penelitian
perkara yang
tindak pidana dilakukan oleh
khusus dan isyanna.
umum.
2 Octoviani 1. Bagaimana Dalam Terdapat
Shella, ketentuan Penelitian pembeda

25
Universitas penuntutan Hukum yang diteliti antara
Bengkulu, Acara Pidana oleh penelitian
Skripsi, Indonesia dan Octoviani, tersebut
Bengkulu, Thailand? penulis dapat dengan
Perbandingan 2. Apa yang menjadi menemukan penelitian
Ketentuan kelebihan dan perbedaan yang
Penuntutan kekurangan dari serta dilakukan oleh
Menurut ketentuan kekurangan penulis jelas
Hukum Acara penuntutan menurut ketentuan berbeda. Di
Pidana Hukum Acara penuntutan mana dalam
Indonesia Dan Pidana Indonesia menurut penelitian
Thailand dan Thailand ? KUHAP dan tersebut,
Hukum Acara subjek negara
Pidana yang dijadikan
Thailand. sebagai bahan
Dalam hukum komparatif
acara pidana fnya adalah
thailand, negara
Penuntutan Swedia.
dapat Sementara
dilakukan dalam
oleh Orang penelitian
perseorangan yang
atau disebut dilakukan oleh
Private penulis, subjek
Prosecution negara yang
Sedangkan di dijadikan
KUHAP sebagai bahan
indonesia komparatifnya
tidak adalah Korea
mengenai Selatan dan
mengenai juga negara
penuntutan bagian di
yang diajukan Australia yaitu
oleh pihak New South
korban secara Wales.
langsung Berdasarkan
melainkan penjelasan
terdapat diatas maka
lembaga atau terdapat
instansi yang perbedaan
berwenang dengan

26
melakukan penelitian
penuntutan yang penulis
itu sendiri. lakukan.
3. Taufiq 1. Apakah Berdasarkan Dalam
Wibowo, persamaan dan Penelitian penelitian yang
Universitas perbedaan yang dilakukan oleh
Sebelas Maret pengaturan dilakukan Taufiq
Surkarta, kewenangan oleh Taufiq Wibowo ini,
Skripsi, kejaksaan dalam Wibowo, berbeda
Surakarta, penuntutan perkara Penulis dengan
studi pidana menurut menemukan penelitian yang
perbandingan Kitab Undang- Kelebihan dibuat oleh
hukum Undang Hukum Dengan penulis, yang
pengaturan Acara Pidana menganut dimana
kewenangan (KUHAP) dengan dua system perbedaanya
kejaksaan Hukum Acara penuntutan dalam
dalam Pidana Jepang sekaligus penelitian
penuntutan (Japan Criminal yaitu sebelumnya
perkara pidana Procedure Code) ? Mandatroy hanya
Menurut kitab 2. Apakah kelebihan Prosecutorial menjelaskan
undang- dan kelemahan dan persamaan dan
undang acara pengaturan Sistem Discretionary perbedaan
pidana(KUHA Penuntutan dalam Prosecutorial serta
P) dan menurut penuntutan perkara System dan kelemahan dan
hukum acara pidana menurut untuk kelebihan dari
jepang (Japan Kitab Undang- kelemahan kewenangan
Criminal Undang Hukum adalah kejaksaan
Procedure Acara Pidana penuntutan dalam
Code) (KUHAP) dengan pidana dapat penuntutan
Hukum Acara dihindari perkara pidana
Pidana Jepang dengan sedangkan
(Japan Criminal alasan alasan penelitian yang
Procedure Code) ? yang dibuat penulis
meringankan orientasinya
dan korban merupakan
memaafkan bentuk
tindak pidana kebijakan
tersebut formulasi guna
sehingga melakukan
menimbulkan pembaharuan
untuk terhadap
sebagian penuntutan

27
orang dengan
melakukan mengadopsi
tindak atau
pidana. melakukan
formulasi
menggunakan
pendekatan
perbandingan.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Berdasarkan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah

penulis uraikan, maka Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.13

1.6.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan

perbandingan (Comparative Approach) dan Pendekatan Konseptual

(Conceptual Approach). Pendekatan Perundang-undangan disini merupakan

metode yang digunakan dalam penelitian hukum dengan melakukan

pemahaman terhadap hirarki, dan Asas- asas dalam peraturan perundang-

undangan.14 Sedangkan Pendekatan Perbandingan adalah suatu metode dalam

13
Peter Mahmad Marzuki, Metode Penelitian Hukum (Edisi Revisi) (Jakarta: Predana Media
Group, 2011), hlm.98.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2016, hlm.137

28
penelitian hukum yang pada intinya membandingkan hukum suatu negara

dengan hukum negara lain, dengan menjadikan rekomendasi bagi penyusunan

atau perubahan perundang-undangan.15 Dan pendekatan Konseptual atau

(Conceptual Approach) pada pendekatan ini peneliti perlu merujuk kepada

prinsip-prinsip hukum atau doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum.16

Dalam penelitian hukum ini dengan menggunakan pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan perbandingan

(Comparative Approach) dan pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach), tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bentuk Kebijakan

Formulasi yang tepat sebagai langkah adanya pembentukan hukum khususnya

dalam hukum acara pidana terkait dengan penuntutan. Ditinjau dari melihat

regulasi terutama berkaitan dengan hukum acara atau Criminal Procedure

Code negara Korea Selatan dan New South Wales. Dengan tujuan bahwa

dapat melakukan perbandingan serta juga dapat dilakukannya Pembentukan

hukum terkait dengan penuntutan dalam sistem peradilan pidana di indonesia.

1.7 Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber-sumber bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian

yang dilakukan diantaranya:

15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm.173
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm. 178

29
A. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primair merupakan bahan hukum yang termasuk

golongan autoritatif.17 Bahan bahan hukum primer terdiri atas

perundang-undangan, catatan-catatan resmi yang pada dasarnya

mempunyai otoritas dari karya tersebut.18adapun yang penulis gunakan

adalah:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 Sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang RI No 11 Tahun 2021 tentang

Kejaksaan RI.

3. (Criminal Procedure Code Republic Of South Korea) atau

Undang-Undang No 9765 Tahun 2009

4. (Criminal Procedure Art New South Wales) Atau Undang-Undang

No 209 Tahun 1986.

B. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan semua bahan hukum yang bukan

dari dokumen-dokumen resmi yang dipublikasikan, meliputi buku-buku dan

juga komentar atas putusan pengadilan.19

17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm.181
18
Ibid.
19
Ibid.

30
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

hukum primer, seperti :

1. Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam

penelitian ini.

2. Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

C. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder,20 diantaranya:

1. Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini.

2. Kamus Hukum

1.8 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data

pada studi kepustakaan atau teknik dokumenter, studi dokumen merupakan

teknik pengumpulan data yang utama, karena pembuktian asumsi dasar

(hipotesis) penelitiannya didasarkan bersandar pada norma-norma hukum

positif, doktrin-doktrin atau ajaran hukum, hasil-hasil penelitian akademik,

maupun putusan-putusan pengadilan, yang kesemuanya berbasis pada

dokumen tertulis. Dengan demikian, studi dokumen pada dasarnya merupakan

kegiatan mengkaji berbagai informasi tertulis mengenai hukum, baik yang

20
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram, Mataram University Press, 2020, Hlm.64

31
telah dipublikasikan atau tidak dipublikasikan secara umum tetapi boleh

diketahui oleh pihak tertentu seperti pengajar hukum, peneliti hukum, praktisi

hukum dalam rangka kajian hukum, pengembangan dan pembangunan

hukum, serta praktik hukum. Dengan kata lain, Studi Dokumen (document

study) merupakan bentuk pengkajian informasi tertulis tentang beberapa

dokumen hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, yang tidak boleh

diketahui pihak tertentu.21

Oleh karena, Penulis mengumpulkan bahan dengan cara

mengumpulkan dokumen atau kepustakaan seperti membaca dan menelaah

dan penelusuran melalui media internet yang berkaitannya dengan penuntutan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Hukum

Acara Pidana Korea Selatan (Criminal Procedure Code Republic Of South

Korea) dan Hukum Acara Pidana New South Wales (Criminal Procedure Art

New South Wales).

1.8.1 Metode Analisis Bahan Hukum

Dalam Penelitian ini, penulis dalam melakukan perbandingan hukum

terkait penuntutan sehingga nantinya menghasilkan sebuah kesimpulan

sekaligus rekomendasi sekaligus rujukan untuk bentuk kebijakan Formulasi

dalam rangka pembaruharuan penuntutan pidana melalui metode

perbandingan hukum dengan meninjau dan mengamati Criminal Procedure

21
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram, Mataram University Press, 2020, hlm. 66

32
Code South Korea dan Criminal Procedure Code New South Wales sehingga

ditemukan aturan hukum yang dapat diterapkan dalam Formulasi Kebijakan

Penuntutan dalam sistem peradilan pidana.

Maka dengan demikian Metode Analisis Bahan Hukum yang penulis

gunakan adalah analisis secara deskriptif dengan menggunakan metode

interpretasi/penafsiran hukum untuk membangun suatu argumentasi hukum

sebagai suatu kesimpulan, yaitu berupa sebuah preskripsi (menyatakan yang

seharusnya sekaligus sebagai rekomendasi).22

1.9 Sistematika Kepenulisan

Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam

penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap–tiap bab dibagi dalam

sub-sub yang disesuaikan dengan lingkup pembahasannya.

Adapun sistematika penulisan hukum atau skripsi ini adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN, Pada bab ini diuraikan terkait latar

belakang diperlukannya penelitian tentang Kebijakan Formulasi

Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Selain juga, terdapat rumusan

masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; keaslian kepenulisan;

metode penelitian dan hal lainnya yang pada dasarnya menjadi landasan

atas dilakukannya penelitian ini.

22
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Op.Cit. hlm. 76

33
BAB II menjelaskan kajian teoritis, yang akan membahas dan

menjelaskan pengertian secara teoritis terkait dengan Penuntutan,

serta pengertian umum mengenai kebijakan Formulasi dan

Pengaturan Secara Umum mengenai Penuntutan Di Indonesia, Korea

Selatan dan Juga New South Wales

BAB III menjelaskan hasil Penelitian dan pembahasan. Dalam hal

ini penulis membahas dan menjawab permasalahan yang telah

ditentukan sebelumnya yaitu berkaitan dengan Kebijakan Formulasi

Penuntutan yang beberapa Aturannya yang digunakan menggunakan

Pendekatan Perbandingan Hukum dengan Negara Korea Selatan, dan

juga New South Wales

BAB IV Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat

tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas

rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang

didasarkan atas permasalahan yang diteliti.

BAB II
PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

2.1 Tinjauan Umum Terhadap Sistem Peradilan Pidana dan Kebijakan


Reformulasi
2.1.1 Pengertian dan Komponen Sistem Peradilan Pidana
A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

34
Sistem peradilan pidana berasal dari kata, “sistem” dan “peradilan

pidana”. Sistem dapat diartikan sebagai suatu rangkaian di antara sejumlah

unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan prioritas dari

Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk mencapai keadilan bagi kehidupan

masyarkaat. Apabila di kaji dalam aspek etimologis, terdapat arti dalam

makna Frase “Sistem” yang artinya terhimpun (antar) bagian atau komponen

yang semuanya saling berkolerasi dan beraturan dan merupakan satu satuan

yang kompleks. Sedangkan Istilah Peradilan Pidana merupakan suatu

mekanisme dalam pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk

menjatuhkan atau membebaskan seseorang dari dakwaan melakukan tindak

pidana.23

23
R. Sugiharto, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sekilas Sistem Peradilan Pidana Di Beberapa
Negara, Semarang: Unissula Press, 2012, hlm. 1

35
23

Dalam pandangan Muladi, pengertian system harus dilihat dalam

konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang

secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract

system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang

teratur yang satu sama yang lain saling ketergantungan. Sedangkan menurut

Kadish, pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut

pendekatan normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan

tersebut sekalipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain,

bahkan ketiganya saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur

keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.24

Sementara itu Geoffrey Hazard Jr. juga mengemukakan adanya tiga

pendekatan dalam sistem peradilan pidana yaitu pendekatan normatif,

pendekatan administratif dan pendekatan social. Pendekatan normatif

memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana

peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur

tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan

hukum semata mata. Pendekatan administratif memandang aparatur penegak

hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja,

24
Ibid, hlm. 1
24

baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.25

Muladi juga menyatakan, bahwa Sistem Peradilan Pidana di dalamnya

terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya, yaitu

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Koreksi (Lembaga

Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan

(totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran

yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berupa resosialisasi pelaku

tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan

kesejahteraan (jangka panjang).

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya

merupakan suatu open system, suatu sistem yang di dalam geraknya mencapai

tujuan baik tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang sangat

dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan

manusia, maka Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu

mengalami interface (interaksi, iterkoreksi dan interdepedensi) dengan

lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat: ekonomi, politik,

pendidikan, dan teknologi, serta subsistemsubsistem dari sistem peradilan

pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system). 26

25
Ibid, hlm. 2
26
Ibid, hlm. 2
25

Berikut ini beberapa pengertian sistem peradilan pidana sebagai

berikut:27

1. Indriyanto Seno Adji

Sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus

penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang

dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law

enforcement). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah

yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System.

2. Mardjono Reksodipoetro

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem

dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Menanggulangi

berarti di sini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-

batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar

dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat

“diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan

diputuskan serta mendapat pidana.

3. Muladi

Sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat

dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk
27
Ibid, hlm. 2-4
26

kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa

ketidakadilan.

4. Dalam Black Law Dictionary,

Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of court and

tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini

lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam

lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum

pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum

oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi

penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.

5. Remington dan Ohlin,

Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian

pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan

peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah

laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses

interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

6. Menurut Romli Atmasasmita

Sistem peradilan pidana sebagai suatu istilah yang menunjukkan

mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan

dasar pendekatan sistem.


27

Pendapat Romli Atmasasmita ini senada dengan pendapat Remington

dan Ohlin yang mengemukakan sebagai berikut:

Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem

terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana

sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-

undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakkan

hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-

undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantive maupun hukum acara

pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan

penegakkan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam

penegakkan hukum “in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan

pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut

memberikan kekuasaan pada pengambilan kebijakan dan memberikan dasar

hukum atas kebijakan yang diterapkan.

B. Komponen Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Berkaitan dengan komponen dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,

terdapat beberapa komponen atau unsur yang menjadi faktor penegakkan

hukum diantaranya, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga


28

Permasyarakatan dan Semua Komponen tersebut saling berkaitan dan

berhubungan satu sama lain.28

Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

A. Kepolisian

Kepolisian merupakan salah satu dari komponen Sistem

Peradilan Pidana yang merupakan lembaga yang berhadapan langsung

dengan masyarakat dan tindak pidana yang terjadi di dalamnya.

Mengenai pengertian Kepolisian dalam Undang-Undang No 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian dijelaskan dalam pasal 1 angka 1

“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berhubungan dengan

fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”.29 Berkaitan dengan fungsi kepolisian dijelaskan di dalam

pasal 2 Undang-Undang tersebut sebagaimana fungsi pemerintahan

negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dalam pasal 14 Undang-Undang tersebut juga menjelaskan

mengenai pelaksanaan tugas pokok diantaranya sebagai berikut:

28
Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII Press. Hal. 62
29
Lihat Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
29

1. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

2. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana

termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia.

3. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; sertal.

melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.30

B. Kejaksaan

Berdasarkan Pengertian dari Kejaksaan sebagaimana dijelaskan

dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 16 Tahun 2004

Sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No 11 Tahun

2021 Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Pemerintahan

yang bertugas melaksanakan kekuasaan kehakiman yang

melaksanakan kekuasaaan negara di bidang penuntutan berdasarkan

Undang-Undang. Di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana Pidana Pasal 14 KUHAP, yaitu :31

30
Lihat Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
31
Lihat Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
30

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat

(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka

penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah

status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai

surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi

untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

C. Pengadilan

Pengadilan Merupakan tempat berlangsungnya peradilan. Tugas

Pengadilan dalam perkara pidana adalah menerima, memeriksa dan memutus

perkara pidana yang diajukan kepadanya. Terdapat tingkatan dalam

pengadilan yang memiliki tingkatan dalam perkara pidana yang dimulai dari
31

Pengadilan negeri sebagai tingkat pertama yang terdapat di setiap kabupaten,

Pengadilan tinggi sebagai tingkatan lanjutan dari Pengadilan Negeri yang

berada di setiap provinsi di indonesia dan Mahkamah Agung sebagai tingkat

terakhir upaya hukum yang dapat dilakukan. Selain itu pengadilan juga harus

dapat Asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana yaitu asas peradilan

cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang telah diterapkankan

dalam KUHAP.

D. Lembaga Permasyarakatan

Dalam Undang-Undang 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah menjadi

Undang-Undang No 22 Tahun 2022 Tentang Permasyarakatan dijelaskan

bahwa “Permasyarakatan adalah Subsistem peradilan pidana yang

menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan,

anak dan warga binaan”.32 Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan pidana

yang dijatuhkan oleh Hakim berupa putusan pemidanaan khususnya pidana

penjara. Dalam hal ini Lembaga Permasyarakatan berperan eksekutor pidana

yang menjalankan fungsi penegakan hukum dan pelaksanaan harus sesuai

dengan tujuan pemidanaan.33

2.1.2. Pengertian Penuntutan dan Kebijakan Formulasi


A. Pengertian Penuntutan

Berdasarkan Ketentuan Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum


32
Lihat Ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 22 Tahun 2022 Tentang Permasyarakatan
33
Achmad Budi Waskito, “Implementasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Intergrasi”
Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. Maret 2018 hal 293
32

Acara Pidana, Pengertian Penuntutan terdapat dalam pasal 1 angka 7

dengan intinya penuntutan merupakan tindakan yang dilakukan oleh

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan untuk

diadili sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Terdapat beberapa pengertian penuntutan menurut para

ahli sebagai berikut:

a. Sudarto

Menurut Sudarto makna penuntutan adalah penyerahan

berkas perkara atas nama tersangka kepada pengadilan

sebagaimana hakim. Pada dasarnya hakim dapat memutus agar

perkara tersebut mendapatkan putusan yang inkrah.

b. Martiman Prodjohamidjaya

Menurut Pendapat dari Martiman, Penuntutan memiliki

beberapa arti yang cukup luas diantaranya dapat diartikan

sebagai tindakan yang dilakukan penuntut umum dalam

melakukan pelimpahan berkas perkara sebagai salah satu

tugasnya setelah berkas dari kepolisian selaku penyidik dan

kemudian dilimpahkan kepada pengadilan. Berkas yang hasil dari

proses penyidikan akan diserahkan kepada penuntut umum untuk

diproses lebih lanjut dengan surat dakwaan kepada pengadilan.

c. Atang Ranoemihardja

Penuntutan merupakan penyerahan berkas perkara pidana


33

kepada pengadilan negeri oleh penuntut umum agar berkas

tersebut dapat disidangkan dan mendapatkan putusan incraht.

B. Kebijakan Formulasi

Berkaitan dengan kebijakan formulasi maka akan membicarakan

tentang kebijakan hukum pidana atau biasa disebut dengan Politik

Hukum Pidana dan dalam literatur asing biasanya dikenal dengan Penal

Policy, Criminal Law Policy atau Staftrechtspolitiek.34 Pada dasarnya

politik hukum pidana merupakan kewenangan negara dalam

merumuskan atau melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan atau delik

tertentu sehingga perbuatan tersebut dapat dikagetorikan sebagai tindak

pidana, dan seseorang yang melanggar perbuatan tersebut mendapatkan

tindakan represif. 35

Dalam Penggunaan Hukum termasuk hukum pidana, untuk

mengatasi permasalahan sosial maka diperlukan kebijakan dibidang

penegakan hukum. Dalam penerapan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana, terdapat

beberapa tahap diantaranya:36

1. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif)


34
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm : 23-24
35
Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm 10.
36
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana, hlm 77
34

2. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif)

3. Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif)

Pengertian Kebijakan adalah Sekumpulan keputusan yang

diambil oleh pelaku atau sekelompok politik untuk mengapai tujuan dan

cara bagaimana mencapai tujuan itu. Pengambilan keputusan tersebut

harus menyangkut keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan

mengikat seluruh masyarakat.37

Menurut A. Mulder38, Kebijakan Hukum Pidana merupakan garis

kebijakan yang dapat menentukan:

A. Seberapa luas Ketentuan Pidana yang berlaku dapat diubah atau

di perbarui.

B. Upaya Preventif untuk mencegah tindak pidana terjadi.

C. Menentukan Bagaiaman Pelaksanaan dan tahapan sistem

peradilan pidana.

Kebijakan Legislatif merupakan kebijakan dalam menetapkan dan

merumuskan sesuatu di dalam suatu peraturan perundang-undangan atau

pada umunya disebut dengan kebijakan formulatif. 39 Pada umunya tahap

formulasi ini merupakan tahapan awal yang akan menentukan dan menjadi

penentu bagi tahapan selanjutnya yaitu tahapan aplikasi dan eksekusi yang

37
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.3
38
Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru)”, Jakarta, Kencana, 2017, Hal 27.
39
Barda Nawawi Arief, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung, Citra
AdityaBakti. hlm. 223
35

dimana poin pentingnya di bagian formulasi dapat menentukan kriminalisasi

terhadap perbuatan tertentu.40 Berkaitan dengan semua tahapan dalam

kebijakan hukum pidana berkaitan dengan satu sama lainnya yang dimana

semunya saling mendukung dan melengkapi namun dalam tahap formulasi

akan diketahui apakah aturan tersebut sesuai dengan tujuan hukum dan

memberikan kemanfaatan bagi masyarakat atau menciderai hukum itu

sendiri.

Pelaksanaan dari kebijakan formulasi ini terjadi pada saat

perancangan undang-undang yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi

pada saat itu, yang nantinya dapat menciptakan pembaharuan hukum

khususnya berkaitan dengan hukum pidana. Pada hakikatnya pembaharuan

merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan formulasi.

Terdapat beberapa makna serta hakikat dari pembaharuan hukum ditinjau

dari pendekatan kebijakan diantaranya menurut Barda Mawawi Arief:41

1. Sebagai kebijakan sosial, bermakna bahwa pembaharuan hukum ini

ada untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan

masalah sosial.

2. Bagian dari kebijakan kriminal. Untuk mengatasi permasalahan yang

berkaitan dengan kejahatan dengan tujuan sebagai upaya preventif

melindungi masyarakat.

40
Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahataan
Ekonomi di Bidang Perbankan , Malang: Bayumedia Publishing, hlm 21
41
Barda Mawawi Arief, Bunga Rampai…..op. cit. hlm 28
36

3. Sebagai kebijakan dalam penegakan hukum, dalam hal ini

pembaharuan hukum pidana sebagai upaya pembaharuan subtansi

hukum untuk mengefektifkan hukum pidana itu sendiri.

2.2 Regulasi Penuntutan dan Reformulasi


2.2.1 Pengertian dan Tujuan Reformulasi
Mengenai Pengertian Reformulasi Dalam Pembaharuan Kuhap dalam

hal ini mengacu kepada tujuan, model serta paradigma yang menjadi landasan

dalam hukum acara pidana. Reformulasi dalam KUHAP merupakan bentuk

kebijakan dalam menyusun rancangan dan subtansi yang berkaitan dengan

hukum acara pidana sebagaimana tujuannya tersebut untuk mencapai

kebenaran, keadilan dan ketertiban masyarakat berlandaskan kepada pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Sebelum melakukan Reformulasi

Kuhap terdapat tahapan Formulasi yaitu menentukan jenis norma yang dapat

dibuat atau dilakukan pembaharuan hukum khususnya dalam hal ini

merupakan Bentuk kebijakan yang nantinya dapat bermanfaat bagi penuntutan

dalam sistem peradilan pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Sendiri telah Berlaku

Sejak tahun 1981. Dalam Jangka waktu yang panjang itu sudah cukup untum

mengetahui serta memahami kelebihan dan kekurangan atas implementasi

dari KUHAP. Implementasi KUHAP sendiri bersifat imperatif, yaitu bahwa

hukum acara ini berlaku untuk semua kalangan mulai dari masyarakat sampai
37

dengan aparat hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan dan kewajiban

dalam ketentuan tersebut.42

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

telah memberikan pedekatan sistem pada peradilan pidana di Indonesia. Suatu

pendekatan sistem adalah pendekatan yang mempergunakan segenap unsur

yang terlibat di dalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan satu

sama lain, yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan Lembaga pemasyarakatan.

Terdapat Berbagai tujuan dilakukannya reformulasi dan pembaharuan

terhadap KUHAP diantarantya:

1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada pengecualian;

2. Bahwa pembaharuan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk

lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban

hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi

manusia, baik tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban demi

terselenggaranya negara hukum;


42
Dudung Indra, “PEMBAHARUAAN HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM RUU
KUHAP”  : Journal Ilmu Hukum, hal 80.
38

3. Bahwa berhubung beberapa konvensi internasional yang berkaitan

langsung dengan hukum acara pidana telah diratifikasi, maka hukum

acara pidana perlu disesuaikan dengan materi konvensi tersebut.

Selain itu kelemahan dari Kuhap juga sehingga harus dilakukan

pembaharuan hukum terutama berkaitan dengan subtansi dikarekanakan ada

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 Tentang Perluasaan

Objek Pra Peradilan yang mempengaruhi materi muatan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selain itu terdapat putusan

Mahkamah Konstitusi lainnya yang menyatakan dengan amar sebagai

berikut:43

1. Menyatakan bahwa Frasa “ Dan guna Menemukan Tersangkanya”

bertentangan dengan Konstitusional yaitu UUD NRI Tahun 1945 dan

tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Menyatakan Frase “Bukti Permulaan” sebagaimana dijelaskan dalam

pasal 1 angka 14 KUHAP bertentangan dengan konstitusional dan

mengubah makna menjadi “Sekurang-Kurangnya 2 (Dua) alat bukti”.

3. Menyatakan Frase “Melakukan Tindak Pidana” dan Frase lain “dalam

hal menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka dan terdakwa”.

Kedua bertentangan dengan konstitusional dan tidak mempunyai

kekuatan mengikat.
43
Bambang Dwi, “Tinjauan Tentang Pembaharuan KUHAP Sebagai Landasan Bekerjanya Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia”, Diponogoro Law Journal, Vol 5 Nomor 1, 2016, Semarang, hal 6
39

4. Menyatakan pasal 77 ayat a KUHAP bertentangan dengan konstitusi

dan sebaiknya dimaknai dengan “ Sebaiknya dalam hal tidak diterima

atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai

pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”.

2.2.2 Pengaturan Penuntutan Pidana Di Indonesia, Korea Selatan dan New South
Wales
A. Pengaturan Penuntutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Berdasarkan Pengertian Penuntutan Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981

sebagaimana dalam ketentuan umum pasal 1 angka 7 penuntutan pada intinya

merupakan tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk melimpahkan berkas

pidana ke pengadilan untuk diadili sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.44

Ketentuan pasal 1 angka 7 tersebut menegaskan bahwa penuntutan hanya dapat

dilakukan oleh seorang jaksa yang bertugas sebagai penuntut umum dalam

persidangan yang mewakili negara dan masyarakat untuk kepentingan masyarakat

guna menjadi ketertiban, sehingga wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut

umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan penuntutan

selain jaksa penuntut umum yang disebut dengan dominus litis (pemilik satu-

satunya).45 Berkaitan dengan kewenangan penuntutan dalam pasal 137 Kuhap

dijelaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan pidana di dalam

kompetensi relatif daerah hukumnya hingga pelimpahan perkara tersebut ke tahap

pengadilan. Proses penuntutan diawali dengan dilakukannya penyidikan oleh


44
Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
45
Andi Hamzah, Op. Cit, Halaman 13.
40

penyidik kepolisian untuk mengumpulkan barang bukti sehingga dapat ditemukan

tersangka suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 138 KUHAP, penuntut umum

setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik dan telah mempelajari dan

menelitinya, maka penuntut umum wajib memberitahukan kepada penyidik apakah

hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum dalam waktu tujuh hari dan apabila

hasil penyidikan tersebut ternyata belum lengkap, maka penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk

mengenai hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas

hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali

berkas perkara itu kepada penuntut umum. Setelah penuntut umum menerima atau

menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, penuntut umum

segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk

dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Persyaratan agar berkas perkara dapat

dilimpahkan ke pengadilan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 183 KUHAP

yakni harus memenuhi minimal 2 alat bukti. Berdasarkan Pasal 140 KUHAP, jika

penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan

maka secepatnya penuntut umum membuat surat dakwaan. Namun, penuntut umum

berhak mengeluarkan SP3 jika penuntut umum memutuskan untuk menghentikan

penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum segera

menuangkan hal tersebut ke dalam surat ketetapan, yang mana isi dari surat ketetapan

tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila tersangka tersebut ditahan wajib
41

untuk segera dibebaskan. Kemudian surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada

tersangka atau keluarga atau penasihat hukumnya, pejabat rumah tahanan, penyidik

dan hakim, dan apabila kemudian ternyata ditemukan ada alasan baru, penuntut

umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Alasan baru yang dimaksud

adalah adanya novum (bukti baru).

b. Penuntutan Pengaturan Penuntutan Dalam Criminal Procedure Code South Korea

berkaitan dengan penuntutan dalam Criminal Procedure Code South Korea

kewenangan penuntutan di pegang penuh oleh penuntut umum. Sebagaimana dalam

ketentuan pasal 246 Criminal Procedure Code “A Public Prosecution Shall Be

Instituted And Executed By a Public Prosecutor”. Yang pada intinya menunjukkan

kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Selain itu kewenangan

untuk memberhentikan penuntutan juga dimiliki oleh penuntut umum dengan

memperhatikan hal-hal yang terdapat dalam pasal 51 KUHP sebagaimana pasal 247

Criminal prosedure code “A public prosecutor may decide not to institute a public

prosecution, considering the matters under Article 51 of the Criminal Act”.

Dijelaskan juga di pasal 254 Criminal Procedure Code bahwa penuntutan

umum dapat di mulai dengan pengajuan surat dakwaan kepada pengadilan negeri

yang sesuai dengan tempat terjadinya tindak pidana. Dalam penuntutan yang

dilakukan karena kasus merupakan delik aduan atau atas laporan seseorang maka

penuntut umum juga dapat menyelidiki dan juga menentukan bahwa dapat melakukan

penunututan umum atau tidak sebagaimana penjelasan pasal 257 Criminal Procedure
42

Code “In cases where a public prosecutor investigates a crime based on complaint

or accusation, he shall determine whether public prosecution shall be instituted or

not within three months after the complaint or accusation has been made”. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam penuntutan umum polisi juga memiliki wewenang untuk

melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana selain hal itu merupakan tugas

dari kepolisian.

C. Pengaturan Penuntutan Dalam Criminal Procedure Art New South Wales

Berkaitan dengan kewenangan penuntutan dalam Criminal Procedure Art

New South Wales bahwa penuntutan dapat dilakukan oleh jaksa agung atau direktur

penuntutan umum sebagaimana pasal 9 Criminal Procedure Art New South Wales

“Any Prosecution Or Proceedings Instituted By the Attorney General or the Director

of Public Prosecutions in Respect of Any offence (whether an indictable offence or a

summary offence) may be instituted in either the official name or the personal name

of the Attorney General or the Director of Public Prosecutions”. Bahkan dalam

penuntutan yang dalam tindak pidana khusus seperti korupsi penuntutan baru dapat

dilakukan ketika direktur penuntutan umum memberitahukan kepada Komisi

Independen Anti Korupsi atau biasa disebut ICAC (Independent Commission Against

Corruption).

Surat Dakwaan Sebelum Diajukan ke pengadilan harus ditandatangi oleh

pihak jaksa agung atau direktur penunututan umum dan juga dapat orang yang

bergerak atas nama jaksa agung atau direktur penuntutan umum. Selain itu surat
43

dakwaan harus diajukan dalam jangka 4 minggu dan dapat diperpanjang, Namun

apabila penuntut umum belum mengajukan dakwaan sesuai waktu yang telah di

tetapkan maka pengadilan dapat memilih beberapa tindakan sebagaimana dijelaskan

pada pasal 129 ayat 2 dan 4 Criminal Procedure Art “(2) An indictment is to be

presented within 4 weeks after the committal of the accused person for trial, except

as provided by this section.”

(4) If an indictment is not presented within the time required by this section, the

relevant court may:

a) proceed with the trial if an indictment has been presented, or

b) adjourn the proceedings, or

c) take such other action as it thinks appropriate in the circumstances of the case.

BAB III
44

FORMULASI PENUNTUTAN TERHADAP PERADILAN PIDANA DI


INDONESIA

3.1. Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana


3.1.1 Peran Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah

menjadi Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia yang pada intinya kejaksaan adalah lembaga yang melaksanakan

kekuasaan negara pada bidang penuntutan serta kewenangan lainnya

berdasarkan undang-undang.46 Dapat dipahami bahwa pada dasarnya

kejaksaan merupakan alat pemerintah untuk bertindak untuk melakukan

penuntutan dalam perkara pidana.

Dalam komponen sistem peradilan pidana khususnya dalam

penanganan perkara pidana, kejaksaan memiliki kewenangan dalam menguji

perkara pidana yang dinyatakan telah lengkap dihadapan hakim dalam rangka

melaksanakan penegakan hukum. Dalam melaksanakan proses penuntutan

dalam perkara pidana kejaksaan harus bebas dari intervensi pihak manapun

dan pengaruh kekuasaan lainnya sebagaimana prinsip dasar kejaksaan yang

tertuang dalam Trikrama Adhyaksa yaitu Satya Adhi Wicaksana yang

artinya:47

46
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaaan
Republik Indonesia
47
M. Junaidi, Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan, Yogyakarta, Suluh Media, 2018,
hlm 31
45

1. Satya, yang artinya kesetiaan yang bersumber dari rasa jujur.

Bermakna senantiasi bertingkah laku jujur baik kepada tuhan,

keluarga maupun sesama manusia.

2. Adhi, yang artinya Kesempurnaan. Bermakna dalam melakukan

tanggung jawabnya senantiasa memiliki rasa tanggung jawab

kepada Tuhan, Keluaga dan Sesama Manusia.

3. Wicaksana, Bijaksana. Bermakna dalam melakukan tanggung

jawabnya senantiasa memiliki kebijaksanaan dalam menerapkan

kekuasaaan dan kewenangannya.

Secara yuridis dalam Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP)

Terdapat perbedaan secara gramatikan berkaitan dengan jaksa dan penuntut

umum. Berdasarkan Pasal 6 huruf a KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut

umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap48. Sedangkan di dalam Pasal 6 huruf b KUHAP,

“Penuntut umum didefenisikan sebagai jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim”.49 Makna jaksa biasanya melekat kepada aspek jabatan, sedangkan

48
Lihat Ketentuan Pasal 6 huruf A Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
49
Lihat Ketentuan Pasal 6 huruf B Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
46

makna penuntut umum melekat peran dalam melakukan penuntutan dan

penetapan hakim. 50

Berdasarkan penjelasan diatas pada esensinya jaksa dalam hukum

acara pidana memiliki wewenang dan tugas diantaranya:

1. Melakukan penetapan dan putusan hakim sebagaimana telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Meminta kepada Pengadilan Negeri utuk memeriksa dan kemudian

menetapkan dapat atau tidaknya seseorang diekstradisikan dan

Jaksa menghadiri sidang tersebut dan memberikan pendapatnya.

3. Melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 284 ayat (2)

KUHAP atau melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu berdasarkan undang-undang.

4. Melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas/vrijspraak

berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan

kebenaran.

Selain itu dalam beberapa tindak pidana khusus seperti tindak pidana

korupsi kejaksaan juga memiliki kewenangan dalam melakukan penyadapan

50
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya,
PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 63.
47

yang merupakan bagian dari jaksa pada bidang intelijen dengan tujuan sebagai

berikut:51

1. Penyadapan Tindak Pidana Korupsi digunakan untuk kepentingan


peradilan pidana.
2. Untuk kepentingan intelijen negara.
3. Untuk menjaga kehormatan dan juga martabat peran hakim.
Lebih lanjut, terdapat wewenang jaksa yang dijelaskan dalam pasal

30C Undang-Undang 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

sebagai berikut:52

1. Menyelenggarakan kegiatan statistic kriminal dan Kesehatan


yustisial kejaksaan;
2. Turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu
demi terwujudnya keadilan;
3. Turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang
melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan
kompensasinya;
4. Melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk
pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi;
5. Dapat memberi keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi
tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang sedang
atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan
publik atas permintaan instansi yang berwenang;
6. Menjalin fungsi dan kewenangan di bidang keperdataan dan/atau
bidang publik lainnya sebagaimana diatur di dalam undang-undang;

51
Debby Jayanti, Usman, & Elly Sudarti. (2022). Kewenangan Jaksa Melakukan Penyadapan
Dalam Proses Peradilan Pidana. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 6(1), 673.
52
Lihat ketentuan pasal 30C Undang-Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
48

7. Melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda atau uang


pengganti;
8. Melakukan penyadaban berdasarkan undang-undang khusus yang
mengatur mengenai penyadapan.
Berkaitan dengan wewenang dan tugas jaksa maka harus terdapat

independensi dalam lembaga kejaksaan, Marwan Efenddy memberikan

pendapat sebagai berikut:53

1. Kejaksaan sebagai lembaga yang bergerak dalam penuntutan harus


bersifat netral dan tanpa adanya intervensi kekuasaan lain dalam
melaksanakan penuntutan dan kewenangan lainnya yang diberikan
oleh Undang-Undang.
2. Jaksa Agung yang pengangkatannya dilakukan oleh presiden harus
disetujui juga berdasarkan keputusan DPR.
3. Dalam melaksanakan tugas dalam penuntutan dan penegakan
hukum publik maka terdapat tanggung jawab untuk melapirkan
kepada DPR.
4. Jaksa Agung juga memiliki tanggung jawab mewakili negara
dalam kasus tertentu yang melibatkan negara yang masuk kepada
hukum publik maupun privat selama terdapat kuasa kepadanya.
5. Kejaksaan memiliki tanggung jawab kepada Mahkamah Agung
sebagai “ the last corner stone” dalam proses penegakan hukum.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam

sistem peradilan pidana terdapat beberapa sub yang salah satunya terdapat sub

penuntutan yang merupakan Dominis litis kejaksaan untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat, upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy)

pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan

masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat

(social welfare) yang diwujudkan dalam proses penegakan hukum pidana.

53
Marwan Effendy, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h. 159-160
49

3.1.2 Formulasi Hukum Terhadap Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana


Negara Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan konstitusi

Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945

yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.54

Dalam konteks negara hukum, hukum merupakan cerminan dari kehidupan

masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa hukum melekat dan tidak

terpisahkan dalam masyarakat. Selain itu dengan adanya hukum juga

representasi dari cita-cita yang masyarkaat kehendaki.55

Hukum pidana merupakan hukum yang berada dalam masyarakat yang

memiliki sanksi dan juga penegakan hukum yang kompleks yang diatur secara

khusus melalui Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) termasuk ke dalam Hukum pidana materiil berisi sekumpulan

peraturan yang menegaskan perbuatan apa yang dapat dihukum, dengan

hukuman apa menghukum seseorang, dan siapa yang dapat dihukum.

Sedangkan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termasuk

hukum pidana formil yang mengatur tata cara untuk menghukum seseorang

yang melanggar peraturan pidana.

Hukum Acara pidana memiliki tujuan sebagai pondasi melancarkan

proses penegakkan hukum dan digunakan sebagai alat untuk menjalankan

54
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
55
Samidjo. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armico, 1985, hal 147
50

kewenangan negara dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) juga menjamin dilakukannya penegakkan hukum yang sesuai

dengan hak asasi manusia. Dengan adanya eksistensi KUHAP sangat

dibutuhkan dalam memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah ada sejak tahun

1981, dalam prakteknya terdapat kekurangan serta kelemahan baik dari

pelaksanaannya, subtansi/materinya dan rumusannya sehingga dalam konsep

ini tertinggal dan perlu dilakukan pembaharuan hukum terhadap Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana agar nantinya bisa menjawab segala

permasalahan yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana.

Selain sebagai upaya untuk merespon dan menyesuaikan dengan

perkembangan sistem peradilan pidana, pembaharuan terhadap KUHAP juga

hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan perlindungan hak azasi manusia

dan kesatuan sistem yang dinamakan dengan proses peradilan pidana yang

terpadu (the integrated criminal justice system), bukan seakan- akan terpisah

satu dengan yang lain. Dari perspektif hak azasi manusia, KUHAP saat ini

sudah jelas tidak optimal dalam memberikan jaminan perlindungan dan

pemenuhan hak, baik dalam pengaturan norma maupun pelaksanaannya.

KUHAP dibahas dan disahkan pada konstalasi politik yang bernuansa

otoriter serta diselimuti tarik menarik kewenangan antar institusi yang begitu

kental. Konsekwensinya adalah perhatian terhadap hak warga negara, baik


51

sebagai tersangka dan/atau terdakwa, saksi maupun korban terabaikan atau

dikatakan belum optimal. Perlunya segera dilakukan pembaruan KUHAP

didasari dari perjalanan praktik penegakan hukum itu sendiri, khususnya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang belum memadai memberikan

perlindungan kepada tersangka/terdakwa, perkembangan sistem peradilan

pidana dan proses hukum yang adil (due proces of law). Selain itu, untuk

melakukan sinkronisasi aturan hukum acara pidana dengan dilakukan

ratifikasi dalam beberapa konvensi internasional tentang hukum acara pidana.

Berangkat dari permasalahan yang proses penyelesaiannya belum

memadai itulah maka diperlukan adanya hukum acara yang lebih komphensif

yang mendepankan asas keadilan dan kemanfaatan guna menjadikan sistem

peradilan pidana semakin baik kedepannya. Untuk itu,dalam pembaharuan

hukum acara pidana (KUHAP), sebaiknya proses pembentukan dan

penyusunannya dilakukan dengan me-menuhi beberapa kreteria, yang pertama

proses yang mengutamakan tiga prinsif, yaitu partisifasi, transparan dan

akuntabel, yang kedua substansi harus jelas, lugas dan sesuai dengan

dinamika perkembangan hukum da-lam masyarakat, dengan tujuan dibuat

untuk kepentingan masyarakat, bu-kan untuk kepentingan penguasa dan

kelompok tertentu.56

56
Suyudi, Aria, Mengais Harapan di Ujung Pengabdian, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta,
2009. Hal 14
52

Maka dengan adanya landasan tersebut untuk melakukan perbaikan

khususnya dalam hak-hak korban sebagaimana belum dioptimalkan seperti

yang telah dijelaskan di atas maka perlu konsep baru dalam bidang

penuntutan.

Konsep baru tersebut dapat diadopsi melalui bentuk kebijakan

formulasi yang dapat didapatkan melakukan perbandingan hukum dan

meninjau hukum negara lain yang masih sesuai dengan koridor hukum negara

indonesia dan melakukan ratifikasi peraturan tersebut yang dapat dilakukan

sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam bidang penuntutan salah satunya

dengan melakukan kebijakan formulasi penarikan penuntutan dan penuntutan

pribadi dalam hal ini Joint Prosecution dalam sistem peradilan pidana di

indonesia

3.2 FORMULASI PENUNTUTAN DALAM HUKUM POSITIF


3.2.1. Penuntutan Pribadi dan Penarikan Penuntutan Dalam Pembaharuan
Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
Penuntutan merupakan salah satu mekanisme dalam hukum acara

pidana, yaitu penegak hukum dengan kewenangannya berdasarkan atas

Dominus litis melakukan penuntutan kepada terdakwa dalam proses pidana.

Perbedaan penuntutan pidana ditentukan berdasarkan sistem hukum yang

berbeda. Sistem hukum commow law memiliki konsep Rule Of Law dengan

menekankan kepada:57

57
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm.58
53

1.Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak


adanya suatu kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary
power), dalam artian seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar
hukum.
2.Kedudukan yang sama dalam menhadapi hukum (equality before the
law), ketentuan ini berlaku bagi orang biasa ataupun pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan
pengadilan.
Salah satu negara yang mempunyai sistem penuntutan yang berbeda

dengan indonesia adalah Negara New South Wales. Dalam negara New South

Wales yang dapat mengajukan penuntutan ke pengadilan adalah jaksa, orang

yang dirugikan (Korban) dan juga korban serta jaksa yang bersama sama

bertindak sebagai penuntut umum. Sedangkan di Indonesia, wewenang untuk

melakukan penuntutan hanya dimiliki oleh jaksa penuntut umum.

Pada negara New South Wales dalam pasal 30 Criminal Procedure

Code News South Wales yang menyatakan bahwa setiap orang yang berhak

melakukan penuntutan diantaranya:58

“The following persons shall have the power to file a criminal case in
Court :
(1) a public prosecutor;
(2) an injured person.
(orang-orang dibawah ini yang berhak mengajukan perkara pidana ke
pengadilan)
(1) Penuntut Umum
(2) Korban)”.

58
Lihat ketentuan Criminal Procedure Code Pasal 30 Undang-Undang
54

Lebih lanjut dalam pengertian mengenai penuntut umum juga

dijelaskan dalam pasal 3 Criminal Procedure Code New South Wales

(3): Prosecutor means either the public prosecutor or the injured


person who has instituted a criminal case in Court, or both. In case of
the Public Prosecutor and the injured person are joint prosecutors.
(3): Penuntut adalah penuntut umum atau orang yang dirugikan yang
telah mengajukan perkara pidana di pengadilan, atau keduanya, dalam
hal penuntut umum dan orang yang dirugikan adalah penuntut
bersama.
Berdasarkan dari pengertian diatas maka terdapat perbedaan dalam

kewenangan penuntut antara penuntut umum di Negara Indonesia dan Negara

New South Wales. Kewenangan yang diberikan oleh negara terhadap korban

untuk mengajukan perkara pidana kepada pengadilan disebut penuntutan

pribadi. Penuntutan pribadi adalah penuntutan yang dilakukan terhadap agen

negara di mana kerabat korban dan/atau organisasi non pemerintah (LSM)

berpartisipasi dalam proses pidana.59

Selain korban mempunyai wewenang dalam mengajukan perkara ke

pengadilan. Dalam Criminal Procedure Code pasal 30 juga dijelaskan bahwa

terdapat metode lain untuk korban melakukan penuntutan dengan bergabung

jaksa atau biasanya disebut sebagai joint prosecutor. Dalam metode ini dapat

memberikan lebih luas kepada korban untuk terlibat dan bergabung bersama

penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada pengadilan. Dengan

59
Veronica Michel-Luviano, “Access to Justice, Victims’ Rights, and Private Prosecution in Latin
America: The Cases of Chile, Guatemala, and Mexico”, Disertation in Partial Fulfilment of
Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, Minnesota, 2012, hlm. 127.
55

adanya aturan ini dalam Criminal Procedure Code New South Wales

memberikan kebebasan dalam berpartisipasi aktif dalam sistem peradilan

pidana. negara tetap memberikan wewenang terhadap Penuntut umum untuk

mengajukan mosi untuk menggabungkan diri dengan korban yang telah

mengajukan perkara pidana secara pribadi sehingga penuntut umum akan

mendampingi korban selama proses peradilan dengan memperhatikan

kerugian dan penderitaan yang dialami korban namun tidak mengabaikan hak

terdakwa.

Berdasarkan perbedaan kewenangan yang terjadi dapat dilihat bahwa

dengan adanya ketentuan penuntutan pribadi maka negara telah menentukan

otoritas untuk warga negaranya melakukan mengajukan perkara pidana.

Sedangkan dalam sistem peradilan pidana di indonesia negara cenderung

bersifat monopoli dengan kewenangan penuntutan yang berlaku pada saat ini.

Dalam pasal 174 ayat 1 Criminal Procedure Code New South Wales

menjelaskan lebih lanjut mengenai penuntutan pribadi:60

(174)If a person other than a police officer or public officer is


authorised under section 14 of this Act or under any other law to
commence proceedings for an offence against a person, the person
may commence the proceedings by issuing a court attendance notice,
signed by a registrar, and filing the notice in accordance with this
Division.
174 (Jika seseorang selain petugas polisi atau petugas publik diberi
wewenang berdasarkan bagian 14 dari Undang-Undang ini atau
berdasarkan lain untuk memulai proses penuntutan atas suatu
60
Lihat ketentuan Pasal 174 Criminal Procedure Code New South Wales
56

pelanggaran terhadap seseorang, orang tersebut dapat memulai proses


dengan mengeluarkan pemberitahuan kehadiran di pengadilan, yang
ditandatangani oleh panitera, dan mengajukan pemberitahuan tersebut
sesuai dengan bagian ini)

Dalam hal terjadinya penuntutan pribadi maka korban dapat

mengajutan pemberitahuan kepada pengadilan yang bersangkutan untuk

dilakukan pemeriksaaan terhadap suatu tindak pidana. Dalam keadaan dimana

suatu perkara pidana telah diajukan oleh Penuntut umum, Korban dapat

mengajukan permohonan berupa mosi untuk masuk ke dalam kasus untuk

melakukan penuntutan bersama. Mosi itu dapat diajukan kapanpun sebelum

Pengadilan tingkat Pertama memutus kasus tersebut. Berdasarkan penjelasan

diatas, Hukum Acara Pidana New South Wales memberi kesempatan pada

korban untuk ikut melakukan penuntutan terhadap kasus yang menimpa

dirinya dalam upaya memperjuangkan keadilan bagi dirinya sendiri dan

penuntut umum melaksanakan tugasnya dalam mencapai keadilan bagi

kepentingan umum.

Pengajuan mosi untuk melakukan penuntutan bersama dapat diajukan

selama belum dikeluarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dari

pengadilan tingkat pertama. Apabila korban telah mengajukan perkara pidana

yang merupakan tindak pidana non-compoundable offences atau tindak pidana

serius, maka penuntut umum dapat mengajukan mosi untuk bergabung dan

melakukan penuntutan bersama yang dapat diajukan kapan saja sebelum


57

perkara tersebut diajukan kepada pengadilan hal tersebut juga telah sesuai

dengan pasal 50 ayat 1-3 Criminal Procedure Code New South Wales:

(1) A court attendance notice must be in writing and be in the form


prescribed by the rules.
(2) The rules may prescribe one or more forms of court attendance
notice.
(3) A court attendance notice must do the following—
(a) describe the offence,
(b) briefly state the particulars of the alleged offence,
(c) contain the name of the prosecutor,
(d) require the accused person to appear before the Magistrate at a
specified date, time and place, unless a warrant is issued for the arrest
of the person or the person is refused bail,
(e) state, unless a warrant is issued for the arrest of the person or the
person is refused bail, that failure to appear may result in the arrest of
the person or in the matter being dealt with in the absence of the
person
(1) Pemberitahuan kehadiran di pengadilan harus dibuat secara tertulis
dan dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan.
(2) Peraturan dapat menetapkan satu atau lebih bentuk surat
pemberitahuan kehadiran di pengadilan.
(3) Pemberitahuan kehadiran di pengadilan harus melakukan hal-hal
berikut-
(a) menjelaskan pelanggaran,
(b) secara singkat menyatakan rincian pelanggaran yang dituduhkan,
(c) memuat nama jaksa,
(d) mewajibkan orang yang dituduh untuk hadir di hadapan Hakim
pada tanggal, waktu dan tempat yang ditentukan, kecuali surat perintah
surat perintah dikeluarkan untuk menangkap orang tersebut atau orang
tersebut ditolak jaminannya,
(e) menyatakan, kecuali jika surat perintah dikeluarkan untuk
penangkapan orang tersebut atau orang tersebut ditolak jaminannya,
58

bahwa kegagalan untuk dapat mengakibatkan penangkapan orang


tersebut atau masalah yang sedang ditangani tanpa kehadiran orang
tersebut.
Sedangkan pengaturan penuntutan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 1 butir 7 dan dalam BAB

IV tentang Penyidik dan Penuntut Umum Pasal 13 sampai dengan Pasal 15

KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP menyatakan bahwa :

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Berdasarkan pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana maka tugas penuntutan diberikan atas nama

negara untuk mengadakan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana dan

penuntut umum memonopoli proses penuntutan yang artinya tidak ada

lembaga yang berhak melakukan penuntutan selain lembaga kejaksaan

melalui penuntu umum atau dikenal dominus litis.

Proses penuntutan di negara indonesia diawali dengan dilakukannya

penyidikan terhadap suatu perkara pidana. Setelah terdapat bukti permulaan

yang cukup yaitu dua alat bukti yang ada dalam proses penyidikan dan telah

di tetapkan sebagai tersangka maka proses selanjutnya berkaitan dengan

penuntut umum sebagaimana dimulainya proses pra penuntutan yaitu proses


59

penelitian berkas perkara yang nantinya apakah berkas tersebut telah

dinyatakan lengkap atau tidak. Dalam jangka waktu 7 hari setelah berkas

perkara diajukan pada penuntut umum maka ketika dalam jangka tersebut

berkas perkara berkas tersebut dinyatakan belum lengkap, maka penuntut

umum dapat mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik agar dilengkapi

berkas perkara.

NO Aspek Perbedaan Criminal Procedure Kitab Undang-Undang


Code New South Hukum Acara Pidana
Wales Indonesia
1 Metode Penuntutan a. Penuntutan Penuntuan hanya dapat
dapat diajukan oleh penuntut
dilakukan umum yang memiliki
oleh penuntut kewenangan dalam
umum melakukan penuntutan
b. Penuntutan perkara pidana.
Diajukan
Bersama
antara Jaksa
Penuntut
Umum dan
Korban
c. Penuntutan
Diajukan
oleh Korban
2 Pembuktian Tidak terdapat aturan Dalam proses
yang mengatur terjadinya tindak
mengenai minimal pidana yang dapat di
alat bukti dalam proses maka harus
perkara pidana berdasarkan 2 alat
bukti permulaan.
60

Terdapat persamaan antara Penuntutan Perkara Pidana di Indonesia

dan New South Wales yaitu terdapatnya Prapenuntutan untuk penuntut umum

memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan sebagaimana pada pasal 36B

ayat 1 dan 2 Criminal Procedure Code New South Wales:

Disclosures by law enforcement or investigating officers


(1) Law enforcement or investigating officers for alleged offences
have a duty to disclose to prosecutors of the
alleged offences all relevant information, documents or other things
obtained during the investigation that
might reasonably be expected to assist the case for the prosecution or
the case for the accused person.
(2) The duty of disclosure continues until one of the following happens

(a) the prosecutor decides the accused person will not be prosecuted
for the alleged offence,
(b) the prosecution is terminated,
(c) the accused person is convicted or acquitted.
(Pengungkapan oleh penegak hukum atau petugas investigasi)
(1) Penegak hukum atau petugas investigasi atas dugaan pelanggaran
berkewajiban untuk mengungkapkan kepada jaksa penuntut atas
dugaan pelanggaran, semua informasi, dokumen atau hal lain yang
relevan yang diperoleh selama penyelidikan yang yang secara wajar
dapat diharapkan untuk membantu penuntutan atau kasus terdakwa.
(2) Kewajiban pengungkapan terus berlanjut sampai salah satu hal
berikut ini terjadi-
(a) jaksa penuntut memutuskan bahwa orang yang dituduh tidak akan
dituntut atas pelanggaran yang dituduhkan,
(b) penuntutan dihentikan,
(c) orang yang dituduh dihukum atau dibebaskan.
61

Dalam konteks pembaharuan hukum dalam khususnya dalam

pembaharuan hukum acara pidana dalam penuntutan adanya Joint Prosecutor

dapat dilaksanakan sebagai alternatif dalam penuntutan pidana. Adanya

Penuntutan Joint Prosecutor dapat dilakukan dengan melihat hak-hak korban

dengan mendampingi korban dan penggabungan antara penuntut umum dan

korban yang pelaksanaannya tetap menggunakan Criminal Justice System.

Urgensi adanya penuntutan pribadi dalam hal ini Joint Prosecutor berkaitan

dengan mengaktifkan peran korban dalam tindak pidana. Sistem peradilan

pidana pada saat ini terlalu menfokuskan pelaku tanpa adanya memperhatikan

korban hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidak

berdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya

hukum yang cukup. Sistem peradilan pidana dewasa ini memang terlalu

“offender centered”, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi

korban dalam sistim ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan

simbolik.61

Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat hukum sering kali

dihadapkan pada kepentingan yang saling bertentangan antara kepentingan

korban dan kepentingan tersangka yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.62

61
Reksodiputro Mardjono, Hak Azasi Manusia dalam sistim Peradilan Pidana, PPK dan FH UI, Jakarta
62
Paraman Suparman, Pengaturan Hak Menggunakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 63
62

Dalam KUHAP mengenai asas hukum acara pidana juga

mengedepankan hak-hak tersangka dengan terdapat asas yang melindungi

tersangka diantaranya:

1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;

2. Praduga tidak bersalah;

3. Pelanggaran atas hak-hakim individu warga Negara (yaitu dalam hal

penangkapan, penahanan, pengeledahan, dan penyitaan) harus

didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah:

4. Seorang tersangka hendaknya diberitahu tentang persangkaan dan

pendakwaan terhadapnya;

5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan

penasihat hukum;

6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan.

Dalam penyelesaian perkara pidana terdapat hak untuk menuntut ganti

rugi yang seharusnya didapatkan oleh korban yang didapatkan ketika korban.

pelanggaran hukum pidana memiliki hak untuk mengajukan gugatan ganti

kerugian digabungkan melalui prosedur pidana (Pasal 98 ayat (1)KUHAP).

Pasal tersebut selengkapnya berisi: “Jika suatu perbuatan yang menjadi

dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan


63

negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas

permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti

kerugian kepada perkara pidana itu.”.63 jenis kerugian yang ditimbulkan dari

suatu kejahatan bersifat limitatif, yakni dibatasi pada kerugian bersifat

materiil berupa biaya-biaya atau pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh

pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 99 KUHAP) yang dikuatkan dalam

yurisprudensi MARI.64

Ketentuan tentang jenis kerugian ini tidak sesuai dengan aspirasi

Pasal 101 KUHAP yaitu “ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku

bagi gugatan ganti kerugian”. Hukum perdata tidak membatasi jenis dan

jumlah kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan (penggugat) apabila

kerugian tersebut benar-benar sesuai dengan prinsip kausalitas sebagaimana

diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata Kemungkinan gugatan pihak ketiga atau

korban kejahatan yang dapat digabungkan dengan perkara pidana.

Pemeriksaan dan putusan dikabulkan dan tidaknya permohonan ganti

kerugian bersifat asesoir, artinya putusan dikabulkan atau ditolaknya

permohonan ganti kerugian bergantung kepada putusan dikabulkan atau

ditolaknya permohonan ganti kerugian bergantung pada perkara pokok. yakni

perbuatan pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Putusan ganti

63
Lihat Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
64
MARI No. 976.K/Pid/1988,24 September
64

kerugian kepada pihak ketiga baru dapat eksekusi jika putusan pokoknya telah

memiliki kekuatan hukum yang tetap.65

Disamping kedudukan korban yang cenderung pasif didalam proses

peradilan pidana, sehingga menyebabkan ketentuan pasal 98 Ayat 1 KUHAP

tidak dapat dilaksanakan selama tidak ada permintaan tersendiri dari korban

selaku yang mengalami kerugian atas terjadinya suatu tindak pidana. Akan

tetapi hingga saat ini, jumlah pelaksanaan penggabungan perkara untuk ganti

kerugian terhitung cukup rendah. Hal ini disebabkan karena pihak korban

tidak memiliki pengetahuan soal adanya pengaturan tentang hal ini bahkan

karena posisi korban dalam peradilan pidana yang pasif dan hal ini diakibatk

kurangnya pengetahuan terhadap korban mengenai penggabungan perkara

gugatan ganti rugi, mereka yang senyatanya adalah pihak yang dirugikan

terkadang sampai tidak mendapat pemberitahuan soal kabar perkembangan

kasus yang menimpanya dan korban telah beranggapan bahwa pelaku tidak

akan mengganti kerugian akibat perbuatannya karena akan dijatuhi pidana.

Dalam proses penggabungan berkas perkara dalam pelaksanaan

sebagaimana penjelasan pasal 141 KUHAP terdapat beberapa syarat yang

harus diperhatikan oleh penuntut umum untuk melaksanakan penggabungan

perkara tersebut:

65
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, cet ke-3, Jilid II,
Jakarta, 1993, hlm. 604
65

Penuntut umum dapat melakukan pernggabungan perkara dan


membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau
hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama
dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Selain adanya syarat yang harus diperhatikan dalam proses

penggabungan berkas perkara, penuntut umum juga harus memperhatikan

limitasi waktu penggabungan perkara ganti kerugian sebagaimana yang

dijelaskan dalam pasal 98 Ayat 2 KUHAP: Permintaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum

penuntut umum . mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum

tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim

menjatuhkan putusan.

Dengan adanya ketentuan yang dimaksud diatas, penggabungan

perkara ganti kerugian dapat diajukan pada proses banding sebagaimana

dalam pasal 100 ayat 1 dan ayat 2:

(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan


perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung
dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan
permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi
66

tidak diperkenankan.
Dengan adanya klausalitas sebagaimana dijelaskan dalam ayat 2 maka

dalam hal ini Permintaan untuk menggabungkan pemeriksaan gugatan ganti

rugi dengan perkara pidana tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya

sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, dalam hal penuntut

umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim

menjatuhkan putusan. Pengadilan negeri akan menimbang tentang

kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar

gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh

pihak yang dirugikan tersebut. Putusan mengenai ganti kerugian dengan

sendirinya berkekuatan hukumtetap apabila putusan pidananya juga mendapat

kekuatan hukum tetap. Apabila terhadap putusan perkara pidana tidak

diajukan banding oleh penuntut umum, maka permintaan banding mengenai

putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Gugatan ganti kerugian tersebut

hanya dapat diajukan terhadap penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh

korban dan tidak termasuk ganti rugi imateriil. Selain itu, korban tidak dapat

melakukan upaya hukum terhadap putusan terhadap gugatan ganti kerugian

tersebut, karena hak untuk mengajukan upaya hukum ada pada penuntut

umum, bukan korban. Apabila terhadap putusan perkara pidana tidak diajukan

banding oleh penuntut umum, maka permintaan banding mengenai putusan

ganti rugi tidak diperkenankan.


67

Maka dari itu dalam ganti kerugian yang didapatkan oleh korban

masih belum dimaksimalkan dengan baik dikarenakan tidak semua proses

peradilan pidana memasuki banding.

Melihat dalam masalah penggabungan perkara pidana dengan gugatan

ganti kerugian terdapat beberapa kelebihan dan atau keuntungan yang telah

dirasakan manfaatnya yaitu merupakan jalan pintas yang dapat dimanfaatkan

oleh seseorang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapatkan

pembayaran ganti rugi, karena dengan mengenyampingkan prosedur

permohonan gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Hukum Acara Perdata,

seseorang oleh KUHAP telah dimungkinkan untuk menuntut ganti rugi

bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang bersangkutan.

Hal ini karena penggabungan kerugian ini, pelaksanaannya masih

bersifat pasif dikarenakan aturan yang telah ada yaitu Pasal 98 sampai dengan

Pasal 101 KUHAP tidak bersifat mengikat karena tergantung pada adanya

surat permohonan penggabungan guagatan ganti kerugian dalam perkara

pidana dari korban tindak pidana atau peran aktif pemohon.

Dengan adanya Kebijakan Formulasi berupa dualisme mekanisme

penuntutan yaitu dengan penuntutan sebagaimana merupakan wewenang

penuh yang dilakukan penuntut umum dan adanya kolaborasi antara korban

dan penuntut umum untuk melakukan Joint Prosecutor dengan melibatkan


68

lebih banyak peran korban didalam proses penuntutan dalam sistem peradilan

pidana.

Selain Kebijakan Formulasi berupa Joint Prosecutor dalam penuntutan

perkara pidana, terdapat bentuk formalasi yang diperlukan dapat sistem

penuntutan dalam peradilan pidana. Salah satunya adanya kebijakan formulasi

penarikan penuntutan dalam sistem peradilan pidana.

Penarikan Penuntutan tersendiri adalah penarikan penuntutan yang

dilakukan oleh Kejaksaan agung berlandasarkan pada kepentingan dan

perlindungan terhadap kepentingan umum.

Penarikan Penuntutan sendiri sebenarnya telah di adopsi dan

diterapkan oleh negara korea selatan melalui pengaturan dalam pasal 255

Criminal Procedure Art South Korea :

255 (Withdrawal of Public Prosecution)

(1) A public prosecution may be withdrawn before a judgment

in the first instance is rendered.

(2) A withdrawal of a public prosecution shall be made on a

document stating the reason: Provided, That as to withdrawal by the

court, it may be stated orally.

(Pasal 255 (Penarikan Penuntutan Umum)


69

(1) Penuntutan umum dapat dicabut sebelum putusan

pengadilan tingkat pertama dijatuhkan.

(2) Pencabutan penuntutan oleh penuntut umum dilakukan

dengan surat yang memuat alasannya: Dengan ketentuan, bahwa

mengenai penarikan penuntutan oleh pengadilan dapat dinyatakan

secara lisan.

Pada dasarnya penarikan penuntut pernah terjadi di Indonesia

khususnya dalam perkara yang terjadi pada yang terjadi pada Valencya Alias

Nengsy Lim yang berusia 45 Tahun pada perkara Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT). Dalam perkara tersebut Valencya dituntut satu tahun penjara

oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikarenakan melakukan kekerasan secara

psikis terhadap suaminya yang pada saat itu melakukan mabuk-mabukan

dengan memarahinya. Valencya didakwa dengan pasal 45 ayat (1) jo Pasal 5

huruf B Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga dan dituntut satu tahun penjara. Namun pada akhirnya

Kejaksaan Agung mengambil alih kasus tersebut dan melaksanakan

Eksaminasi Khusus dengan dilakukannya penarikan penuntutan dengan

dengan menarik tuntutan sebelumnya dan menuntut Valencya dengan

Tuntutan Bebas yang dilakukan saat pembacaan Replik di Pengadilan Negeri

Karawang.
70

Mengenai Penarikan penuntutan sebenarnya tidak terdapat ketentuan

didalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Namun

berdasarkan ketentuan sebagaimana pasal 35 ayat 1 huruf C Undang-Undang

No 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No 11

Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa agung dapat

melakukan mengesampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum atas

disebut asas oportunitas.

Tindakan mengesampingkan perkara yang dilakukan oleh jaksa agung

berdasarkan kepentingan umum biasanya juga disebut deponeering. 66


S.

Wojowasito menulis dalam Kamus Umum Bahasa Belanda-Indonesia, yang

menuliskan bahwa deponeren, deponeerde mempunyai arti menyimpan,

menaruh dan menitipkan67

Darmono juga menyatakan:

Hukum dibuat untuk keadilan dan kemanfaatan bukan semata-mata

untuk “menghukum”. Sehingga seorang tersangka, terduga maupun

tersangka, penetapannya dilakukan oleh hati nurani yang didasarkanpada

hati nurani dan akal budi dan yang lebih penting lagi keputusan hukum yang

ditetapkan untuk sebuah kepentingan besar.68

66
Andi Hamzah, 2009, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta hal 14
67
Ibiid, hal 48
68
Ibiid, Hal 49
71

Berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Jaksa Agung untuk

menarik perkara pada terdakwa Valencya dan menuntut bebas dalam agenda

pembacaan replik dapat dilihat dalam prespektif kewenangan negara dalam

melindungi hak dan kepentingan hukum seseorang dan terdapat tiga jenis

kepentingan yang diklasifikasikan wajib dilindungi diantaranya:

1. Kepentingan hukum perorangan, yaitu kepentingan hukum

yang melekat pada tiap individu diantaranya kepentingan

terhadap hak untuk hidup, kepentingan hukum atas hak

kebendaan, kepentingan terhadap harga diri dan

kepentingan hukum terhadap asusila.

2. Kepentingan hukum masyarakat, kepentingan hukum yang

terjadi yang melibatkan anggota masyarakat seperti

kepentingan hukum terhadap rasa aman dan tertib,

ketertiban di lalu lintas dan sebagainya.

3. Kepentingan hukum negara, merupakan kepentingan

hukum yang melibatkan negara seperti kepentingan hukum

terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan

hukum terhadap harkat martabat kepada negara dan

wakilnya.69

69
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal
16-17
72

Mengenai asas oportunitas terdapat dua paradigma yaitu asas

opportunitas positif dan asas oportunitas negatif:

a. Positif

Dalam asas opportunitas positif, orientasi penuntutan akan

dilakukan ketika memenuhi syarat formil dan dianggap

penting jika bersangkutan dengan kepentingan umum.

Dalam teori oppornitas positif kewenangan penuntutan

akan dilakukan ketika unsur kepentingan umum telah

terpenuhi.

b. Asas Opportunitas Negatif

Dalam paradigma Asas opportunitas negatif, orientasi

penuntut umum harus dilakukan terhadap setiap tindak

pidana dan dapat dilakukan penyimpangan ketika terdapat

kepentingan umum.70

Permasalahannya dalam perkara tersebut terdapat di kewenangan jaksa

agung dengan keberlakuan asas opportunitas atau yang disebut dengan

deponering yang pada umumnya harus dilakukan sebelum penuntut umum

mengajukan perkara ke pengadilan untuk diputus, bukan pada saat perkara

tersebut telah diajukan kepada pengadilan dan telah dibacakan tuntutan pidana

70
A. Karim Nasution, Makalah berjudul “Kepentingan Umum Sebagai Dasar Penyampingan Perkara”,
disampaikan dalam Simposium Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Ujung Pandang, 1981, hlm., 56-
58.
73

dengan satu tahun penjara terhadap terdakwa Valencya dan pada akhirnya

menarik perkara dan menuntut terdakwa dengan tuntutan bebas.

Dalam kasus yang terjadi pada Valecya, terjadi ketidakadilan yang

dialami oleh terdakwa dengan timbulnya keresahan yang terjadi dalam

masyarakat dengan menuntut 1 tahun dan melanggar pasal 45 ayat (1) Jo

Pasal 5 huruf b Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Berdasarkan beberapa definisi tuntutan di atas yang terdapat dalam

KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa tuntutan adalah produk dari

penuntutan, kata tuntutan pidana tersebut juga dapat ditemui dalam Pasal 197

KUHAP butir (e), dengan sebutan Tuntutan Pidana dan bukan requisitoir. Jadi

menurut undang-undang tugas jaksa hanya melakukan penuntutan dan

melaksanakan putusan hakim. Requisitoir bebas dalam perkara pidana adalah

tidak mungkin.71

Dengan adanya pembaharuan hukum berupa penarikan penuntutan

yang diatur di hukum acara pidana khususnya KUHAP. Adanya penarikan

penuntutan dapat memperkuat asas dominus litis dalam mengendalikan

penuntutan yang hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung sebagai penuntut

umum tertinggi. Dengan adanya penarikan penuntutan juga mencerminkan

hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo.

71
3 O.C. Kaligis, 2010, Requisitoir Bebas Dalam Perkara Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, hal. 1
74

Adanya penarikan penuntuan dalam pembaharuan mekanisme

penuntutan dalam Kuhap juga harus dilandaskan pada sense of crisis dalam

penentuan penuntutan perkara pidana.

3.2.2 PENUNTUTAN PRIBADI DAN PENARIKAN PENUNTUTAN DALAM


HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu hukum tertulis

di indonesia yang memiliki peran secara signifikan dalam proses

pembangunan hukum, hal tersebut disebabkan karena peraturan perundang-

undangan merupakan produk utama dari hukum itu sendiri.

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang sangat

efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) karena kekuatan hukumnya

yang mengikat dan memaksa. Peraturan perundang-undangan juga

memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasan,

hukum adat, atau hukum yurisprudensi.72

Menurut A. Hamid Attamimi dalam konteks pembentukan hukum

terdapat 3 fungsi dari ilmu peraturan perudang-undanngan diantaranya:73

1. Untuk keperluan hukum dalam kehidupan masyarakat,


negara yang ssenantiasa berkembang
2. Untuk memfasilitasi hukum adat dan hukum tertulis.
3. Untuk memenuhi kebutuhan hukum tidak tertulis di
masyarakat.

72
Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007). hlm.14-15
73
Evi Noviawati, Landasan Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, (Ciamis: Universitas Galuh Ciamis, 2018), Vol 6, No 1, 2018, hlm.54
75

Pembentukan hukum nasional dimaksudkan adalah pembentukan

peraturan perundangundangan nasional yang merupakan produk pembentuk

undang-undang (badan legislatif) yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat dan diakui sebagai hukum. Hal ini terlihat dalam berbagai

kehidupan manusia yang sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam

masyarakat, namun belum ada peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Kondisi tersebut dapat dipahami karena kebutuhan manusia

beragam, cepat berubah dan berkembang, sedangkan peraturan perundang-

undangan tidak mungkin dapat menampung semua segi kehidupan manusia

selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya.74

Pembentukan hukum penarikan penuntutan dan Joint Prosecution

melalui Pembaharuan hukum acara pidana yang merupakan bentuk legitimasi

dan kepastian hukum harus memiliki pondasi yang kuat berupa landasan

filosofis, Sosiologi dan Yuridis.

Pertama, landasan filosifis: Penarikan penuntutan dan Joint

Prosecution sebagai pembaharuan hukum acara pidana upaya untuk mencapai

cita-cita bangsa Indonesia seperti tercantum di dalam Pembukaan Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) pada alinea

Keempat. Pembukaan UUD 1945 adalah staatsfundamentalnorm yang

menurut Darji Darmodiharjo adalah filsafat hukum Indonesia, dan Batang


74
Putera Asmoto, Ilmu Perundang-undangan; Teori dan Praktik di Indonesia,(Depok:Rajawali Pers,
2018), hlm.31-32
76

Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, karena dalam

batang tubuhnya ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori hukum

tersebut meletakkan dasar-dasar falsafah hukum positif Indonesia. 75 Dalam

konstitusional adanya penarikan penuntutan dan Joint Prosecution merupakan

bentuk dari Representasi kewajiban negara yang bentuknya bagian dari tujuan

negara sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD NRI 1945 yaitu

keadilan sosial. Dengan adanya penarikan penuntutan dan Joint Prosecution

bentuk keadilan yang dapat diterapkan oleh negara dalam bingkai sistem

peradilan pidana yang memberi peran mengenai korban dan haknya serta

keadilan yang dirasakan masyarakat khususnya dalam penegakan hukum.

Kedua, landasan sosiologis: Dalam konsep sosiologis hukum sebagai

manisfestasi dari cita-cita dan harapan yang dibuat dalam bentuk peraturan

perundang-undangan agar menciptakan keadilan dan juga memelihara

ketertiban dan keamanan. Dengan demikian adanya peraturan perundang-

undangan merupakan solusi yang komprehensif bagi gejalan gejala sosial

yang terdapat dalam masyarakat. Korelasinya bahwa dengan adanya

pembentukan hukum acara pidana dengan melakukan normalisasi penarikan

penuntutan dan Joint Procesetion sebagai bentuk dari mekanisme penuntutan

dalam sistem peradilan pidana di indonesia setidaknya dapat menjawab

75
Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Sri
Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum-Mempringati 70 Tahun
Prof.Dr.B.Arief Sidharta, SH, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.129 18.
77

keresahan masyakarat dalam sistem peradilan pidana di indonesia yang

orientasinya berkaitan dengan keadilan itu sendiri.

Ketiga, Landasan yuridis: menyangkut persoalan hukum yang

berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk

undang-undang yang baru. Dalam konsep landasan yuridis sebagai upaya

kepastian hukum maka perlunya dibuat legitimasi penarikan penuntutan dan

Joint Prosecution dalam Sistem Peradilan Pidana .

Pentingnya asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh A.

Hamid S. Attamimi, ialah untuk dapat melihat benang merah dari sistem

hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Asas-asas hukum ini juga dapat

dijadikan patokan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan agar tidak

melenceng dari cita hukum (rechtsidee) yang telah disepakati bersama.

Namun, secara teoritikal asas-asas hukum bukanlah aturan hukum

(rechtsregel), sebab asas-asas hukum tidak dapat diterapkan secara langsung

terhadap suatu peristiwa konkret dengan menganggapnya sebagai bagian dari

norma hukum. Meskipun demikian, asas-asas hukum tetap diperlukan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, sebab hukum tidak dapat

dimengerti karena asas-asas hukum. Terkait dengan pentingnya asas hukum


78

dalam pembentukan peraturan perundangundangan maka fungsi asas, antara

lain:

1) sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau pengujian


norma hukum;
2) untuk memudahkan kedekatan pemahaan terhadap hukum;
3) sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa
dalam memandang perilaku
Dalam melakukan pembentukan hukum melalui pembaharuan

perundang-undang harus melihat eksistensi dari asas-asas hukum yang

menjadi landasan dalam melakukan pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik sebagaimana dalam pasal 5 PPPU yaitu kejelasan tujuan,

kelembagaan atau organ yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi

muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan

rumusan dan keterbukaan.76 Adapun pemberlakuan asas pembentukan hukum

terhadap penuntutan perkara pidana dalam pembaharuan hukum acara pidana

di indonesia sebagai berikut:

Pertama, Asas kejelasan tujuan yang memiliki arti bahwa dalam

proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan

yang telah yang harus dicapai dengan adanya pembentukan aturan tersebut. 77

Maka dengan adanya pembentukan peraturan perundang-undangan yang

76
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

77
Ferri Irwan Febriansyah, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Jurnal Perspektif, Volume XXI No. 3 Tahun 2016, hlm. 223
79

mengatur pembaharuan penuntutan khususnya dalam penuntutan pribadi dan

penarikan penuntutan. Adanya penuntutan pribadi atau joint prosecutors

khususnya dalam mekanisme penuntutan perkara pidana bertujuan untuk

memberikan perlindungan khususnya kepada korban dalam memperoleh hak-

haknya dan meningkatkan peran aktif korban dalam sistem peradilan pidana

serta dapat dijadikan alternatif dualisme penuntutan yang dapat diterapkan

dalam peradilan pidana. Selain itu dalam penarikan penuntutan juga

memberikan perlindungan kepada korban dan haknya memperoleh keadilan di

depan hukum dengan memberikan penuntut umum hak penuh dalam

penggunaan dominus litis khusunya dalam kewenangan jaksa agung.

Kedua, Asas kelembagaan atau pejabat yang membentuk yang tepat.

Maka berkaitan dengan asas ini dalam melakukan pembentukan perundang-

undangan sebagai pembaharuan hukum acara pidana harus dilakukan oleh

lembaga yang berwenang dalam membentuk produk hukum yang sah dan

tidak dapat dibatalkan dan yang berwenang adalah lembaga legislatif

khususnya dalam hal ini adalah DPR.78

Ketiga, Asas kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini

dapat diartikan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan dalam melakukan pembaharuan hukum acara pidana harus

78
Ibid. hlm. 223-224
80

memperhatikan muatan dan berkesesuaian dengan jenis dan hierarki yang

berlaku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keempat, asas dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan asas ini, maka

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tentang hukum acara

pidana khususnya dalam pembaharuan mekanisme penuntutan pidana harus

dapat dilaksanakan. Hal ini karena hukum bersifat dinamis sehingga

diperlukan perubahan agar dapat berjalan dengan baik. Dalam penarikan

penuntutan formulasi tersebut dapat dilaksanakan sebagai hak khusus yang

dapat diberikan kepada jaksa agung sebagaimana yang telah terjadi pada

kasus Valencya. Sedangkan dalam hal penuntutan pribadi khususnya Joint

prosecution, masih dapat dilaksanakan karena tidak menghilangkan peran dari

penuntut umum selaku pemilik Dominus Litis dalam penuntutan pidana dan

akan memberikan manfaat khususnya keterlibatan peran korban dan proses

penuntutan pidana.

Kelima, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini memberikan

pengertian bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat karena

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam aspek kedayagunaan dan

kehasilgunaan maka perlunya pembaharuan hukum acara pidana dalam

lingkup penuntutan pidana dengan formulasi penarikan penuntutan dan Joint

Prosecution sebagai formulasi bagi pembaharuan penuntutan yang dapat


81

diterapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Maka dari itu

pembentukan hukum melalui formulasi penarikan penuntutan dan Joint

Prosecution diperlukan guna menciptakan keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum itu sendiri.

Keenam, Asas kejelasan rumusan. Bahwa dalam setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan dalam teknik penyusunannya harus memiliki

bahasa yang jelas dan mudah dipahami sehingga tidak multitafsir. Korelasinya

adalah bahwa dalam pembaharuan penuntutan melalui penarikan penuntutan

dan Joint Prosecution dalam proses penyusunannya harus jelas agar nantinya

tidak terjadi kekaburan hukum yang berkaitan dengan mekanisme penarikan

penuntutan dan Joint prosecution

Ketujuh, Asas Keterbukaan. Asas ini mengatakan bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara terbuka,

baik mulai dari perancangan, pembahasan, pengesahan dan penetapan atau

pengundangan.79

Dengan terpenuhinya landasan pembentukan hukum penarikan

penuntutan dan Joint Prosecution dalam pembaharuan hukum acara pidana

mengenai penuntutan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana maka

seharusnya dapat dilakukan pembaharuan hukum acara pidana yang dimana

79
Ibid, hlm. 224
82

mengadopsi Penarikan Penuntutan dan Joint Prosecution ke dalam

Kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


Indonesia mengatur mengenai ketentuan peralihan yang mengatur
pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sampai diadakan
perubahan dan tidak berlaku lagi, adapun ketentuan sebagai berikut:
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-
undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi”
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 284 ayat (2)

bahwasanya ketentuan dalam KUHAP diberlakukan untuk semua perkara

yang menjadi hukum formil yang menjadikan pedoman dalam pelaksanaan

peradilan pidana mulai dari proses penyidikan sampai pelaksanaan putusan

perkara pidana.

Dengan adanya Formulasi Penuntutan berupa Penarikan Penuntuan

dan Joint Prosecution diharapkan dapat menjadi pembaharuan hukum yang

berguna pada masa mendatang dan bermanfaat dalam mekanisme sistem

peradilan pidana di indonesia.


83

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Formulasi hukum terhadap penuntutan pidana berupa penuntutan

pribadi dan penarikan penuntutan dapat dilakukan sebagai upaya

pembaharuan hukum acara pidana khususnya mengenai penuntutan yang

mengedepankan tujuan hukum dan memenuhi asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan sebagaimana pada Pasal 5 Undang-Undang

PPPU, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat yang tepat, kesesuain

antara jenis, hierarki, dan materi umum, dapat dilaksanakan, kedayagunaan

dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Adapun bentuk

pembaharuan hukum terdapat penuntutan dapat diterapkan dalam hukum

positif di indonesia. Dengan melakukan perubahan dan pembaharuan terdapat

kodifikasi maupun undang-undang yang sudah ada. Dengan demikian, maka

Pembaharuan Hukum terkait dengan penarikan penuntutan dan penuntutan

pribadi dalam sistem pidana dapat diterapkan melalui pembaharuan kodifikasi

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-Undang

Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

4.2 Saran
Pembaharuan Penuntutan Pidana dengan mengadopsi adanya

penarikan penuntutan dan Joint Prosecution dalam sistem peradilan pidana


84

dapat dilakukan dengan melakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana. Maka agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi

proses perkembangan hukum acara pidana maka perlu formulasi penarikan

penuntutan dan Joint Prosecution dapat diterapkan dalam sistem penuntutan

perkara pidana di indonesia.


85

You might also like