Professional Documents
Culture Documents
PIDANA
SKRIPSI
Oleh:
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 190111100140
Oleh:
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 190.111.100.140
2
SKRIPSI
Skripsi Hukum ini telah diuji dan berhasil dipertahankan di Hadapan Majelis
Penguji Tugas Akhir dan Komprehensif Fakultas Hukum Universitas
Trunojoyo Madura Pada Hari Selasa, 15 Juni 2023
MAJELIS PENGUJI
PENGUJI (KETUA) PENGUJI 1
PENGUJI II PEMBIMBING
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura
3
PERNYATAAN KEASLIAN
Nim : 190111100140
Judul Skripsi :
Dengan ini saya menyatakan, bahwa skripsi hukum ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain, dan di dalamnya tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain,
kecuali yang secara tertulis di dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila suatu saat ada pihak lain yang melakukan klaim bahwa skripsi ini merupakan
plagiat karya ilmiah lain, dan dapat dibuktikan, saya bersedia menerima segala sanksi
yang akan diberikan oleh Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.
MOHAMMAD RIDHO
NIM. 19.01.111.00140
4
MOTTO
“Apa Yang Melewatkanku Tidak Akan Pernah Menjadi Takdirku, Apa Yang
Ditakdirkan Untukku Tidak Pernah Melewatkanku”
(Sayyidana Umar Bin Khattab )
“Niatkanlah Semua yang kamu lakukan bagian dari bentuk baktimu terhadap
orang tua maka akan allah mudahkan jalannya”
5
HALAMAN PERSEMBAHAN
Abstrak
6
Penuntutan merupakan salah satu sistem peradilan pidana. Terdapat perbedaan
penuntutan disetiap negara disesuaikan dengan mekanisme dan sistem hukum yang
dianut oleh negara tersebut. Indonesia menganut penuh peran jaksa dalam mekanisme
penuntutan perkara pidana. Namun dalam kedudukannya terdapat kekurangan konsep
penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Berbeda dengan negara korea selatan yang
diatur dalam Criminal Procedure Code South Of Korea yang mengatur mengenai
penarikan penuntutan dan Negara New South Wales yang melalui Procedure Art New
South Wales mengenal Penuntutan Pribadi (Joint Prosecution) Dalam sistem
peradilan pidananya. Dengan kekurangan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Acara Pidana maka perlunya formulasi penuntutan guna pembaharuan penuntutan
dalam Sistem Peradilan Pidana.Adapun Rumusan Masalah peulis dalam penelitian ini
adalah Kebijakan Formulasi Penuntutan Perkara Pidana Dalam Hukum Positif Di
Indonesia
Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian penelitian
normatif, Adapun pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu perubahan dan perlu implimentasi
melalui pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana dan melakukan
normalisasi penarikan penuntutan dan penuntutan pribadi (Joint Prosecution) dalam
hukum acara pidana demi memperkuat penuntutan pidana dan memperkuat peran
jaksa dalam sistem peradilan pidana. Pembentukan hukum penuntutan melalui
penarikan penuntutan dan penuntutan pribadi dalam dilakukan dengan melakukan
perubahan aturan hukum acara pidana dalam bentuk kodifikasi yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan diluar kodifikasi yaitu dengan Undang-Undang No
11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
7
ABSTRACT
Prosecution is one of the criminal justice systems. There are differences in
prosecution in each country according to the mechanism and legal system adopted by
the country. Indonesia fully embraces the role of the prosecutor in the mechanism of
prosecuting criminal cases. However, in its position there is a lack of prosecution
concept in the criminal justice system. In contrast to South Korea which is regulated
in the Criminal Procedure Code of South of Korea which regulates the withdrawal of
prosecution and the State of New South Wales which through the Procedure Art of
New South Wales recognises Joint Prosecution in its criminal justice system. With the
shortcomings contained in the Criminal Procedure Code, it is necessary to formulate
the prosecution in order to renew the prosecution in the Criminal Justice System. The
formulation of the problem in this study is the Policy of Criminal Case Prosecution
Formulation in Positive Law in Indonesia. This research method is carried out using
normative research research, the approaches taken are statutory approaches,
conceptual approaches, and comparative approaches. The results of this study
indicate that changes are needed and need to be implemented through reforming the
Criminal Procedure Code and normalising the withdrawal of prosecution and
private prosecution (Joint Prosecution) in criminal procedure law in order to
strengthen criminal prosecution and strengthen the role of prosecutors in the
criminal justice system. The formation of prosecution law through the withdrawal of
prosecution and private prosecution is carried out by amending the rules of criminal
procedure law in the form of codification, namely the Criminal Procedure Code and
outside the codification, namely Law No. 11 of 2021 concerning the Prosecutor's
Office of the Republic of Indonesia.
Keywords: Prosecution, Criminal Procedure Code, Policy Formulation
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT, karena atas limpahan dan keberkahan yang diberikan-Nya
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini yaitu “Kebijakan
Formulasi Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana”. Skripsi ini dituliskan untuk
menyelesaikan program study Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo
Madura untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis menyadari bahwa dalam kepenulisan ini tidak akan pernah selesai
tanpa dukungan dari pihak lain. Dengan ini maka penulis ucapkan terimakasih:
1. Kepada Allah SWT karena atas keberkahannya serta karunia yang diberikan
2. Kepada Keluarga Besar Bapak (Alm. Ali Zaeni dan Sumirah) bapak dan ibu
yang penulis cintai dan hormati. Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa
dukungan baik secara moril ataupun materi. Terimakasih atas segala curahan
kasih sayang kepada anak terakhirmu ini, semoga dengan hasil tugas akhir
dari pendidikan sarjana ini dapat menjadi pintu ke level berikutnya untuk
3. Kepada 2 (Dua) Saudara Perempuan penulis yaitu Nurul Lativa S.T, Ika Nur
Winda Sari S.Pi dan Adik Perempuan saya yaitu Fadia Putri Zahro serta
Kakak Ipar Penulis Yaitu Lukman Jamal S.H.,M.H., CLA dan Syahrul Zaum
Spd.,Mpd. Sebagai rasa hormat dan terimakasih penulis yang tidak pernah
lelah memberikan support baik materi maupun immateri yang luar biasa untuk
9
adek bungsumu ini bisa bertahan untuk dapat menyelesaikan program study
ini.
juga semangat agar Skripsi ini dapat selesai dengan tepat waktu
Rusdiana, S.H., M.H dan seluruh jajaran serta dosen dan staf karyawan yang
dengan baik dan benar. Berkat Arahan dan Bimbingan dari beliau saya bisa
7. Kepada Firman Pribadi S.H .,M.H Selaku Dosen yang mengajar Perbandingan
8. Kepada temen temen SMP, MA, Kuliah, yang selalu menemani proses yang
yang senantiasi menjadi tempat diskusi serta bertukar ilmu selama proses
10
perkuliahan. Ketiga Kepada Roy Widya Pratama dan juga Ahmad
Sugiyanto dan Aulia Rahmi yang senantiasa memberikan Motivasi Serta Visi
Misi yang selalu sama walaupun instansi. Kepada Temen SMP yaitu Fauzan
penulis dalam melatih skill dan kemampuan dalam debat dan kepenulisan
yang diikuti penulis dari mahasiswa baru hingga akhir 2020. Kedua
Count dan yang berhubungan Dengan Pelatihan Berkas Perkara. Ketiga HMK
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh Karena
itu, saya selaku penulis dari skripsi ini memohon maaf atas kesalahan yang terdapat
dalam penulisan skripsi ini, semoga kedapan tulisan ini mampu membawa perubahan
11
MOHAMMAD RIDHO
NIM 190.111.100.140
DAFTAR ISI
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yang dimana dengan hal tersebut aturan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya
masyarakat. Salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban dan ketentraman
dalam masyarakat.
beberapa faktor salah satunya dari faktor budaya,moral, sejarah dan nilai-nilai agama
yang hidup di suatu masyarakat. Oleh karena adanya faktor tersebut maka terdapat
berbeda, yang juga Dipengaruhi oleh budaya, moral, sejarah, agama dan politik
seseorang harus memahami dulu budaya atau budaya hukum masyarakat negara
tersebut.
1
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Radja Grafindo,
2016, hlm 12
13
Menurut Marc Ancel, terdapat lima (5) sistem hukum dunia, yakni
of Civil Law)
Sistem hukum di Indonesia adalah civil law atau yang biasa dikenal juga
dengan sebutan Eropa Kontinental, sistem hukum yang juga digunakan di Belanda
Menjajah Indonesia selama ratusan tahun.3 Pada sistem Civil law ini merupakan
sistem hukum yang menganut sistem kodifikasi yang dapat diartikan sebagai
pengadilan. Dalam hukum acara pidana, ada proses yang disebut penuntutan dan
14
pidana, yakni pihak yang mana saja yang berwenang dalam hal melakukan
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam hal penuntutan setiap negara
sama seperti halnya negara belanda, jerman, korea selatan dan Australia.
penuntutan adalah jaksa penuntut umum. Oleh karena itu, hukum acara pidana
yang harus dilaksanakan oleh jaksa adalah terutama hukum acara pidana yang
disebut dengan KUHAP), yang mana dalam hal ini, penuntutan merupakan awal
dari suatu proses peradilan untuk mencapai suatu putusan hakim yang bersifat adil
tindak pidana atas tindak pidana yang dilakukan, sebagaimana tujuan dari hukum
acara pidana yakni adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
15
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.5
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
melakukan penuntutan dari segala perbuatan yang termasuk tindak pidana dan
selanjutnya disebut dengan (UU KEJAKSAAN), bahwa dalam Pasal 1 ayat (1)
16
sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai
hukum lainnya. Karena jaksa penuntut umum hanya memeriksa formal berkas
perkara saja, tidak mengetahui proses penyusunan berkas dan tata cara perolehan
perkara antara penyidik polri dan jaksa penuntut umum, maka dari adanya hal ini
seharusnya dalam adanya asas dominus litis yang bersifat mutlak dan mandiri
menjadikan penuntutan sebagai tugas yang utama dan menjadi satu yang tidak
terpisahkan, sehingga asas ini akan menguatkan dan memantapkan Jaksa sebagai
terjadi, dan hanya jaksalah yang secara proporsional dan profesional dapat
7
Gede Putera Perbawa,”Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas Dominus Litis
Dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum” Arena Hukum
Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
17
Berbeda dengan kejaksaan korea selatan yang memberikan kewenangan
yang merupakan wewenang jaksa sebagai dominus litis, hal tersebut secara
implisit dalam pasal 144 ayat 1 Kuhap “Penuntut umum dapat mengubah surat
dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
itu setelah penetapan hari sidang penuntut umum harus sudah menetapkan surat
dakwaan tersebut maka dari itu dalam Kuhap tidak diatur mengenai penarikan
dalam Criminal Procedure Art New South Wales juga terdapat perbedaan dalam
18
pidana negara New South Wales terdapat aturan dalam Criminal Procedure Art
New South Wales pada pasal 174, 175, 176, 177, 178, 179. Hal tersebut berarti
sebagaimana yang penulis kutip dalam bukunya Andi hamzah yang menyatakan
bahwa negara seperti inggris, Muangthai dan RRC bahwa hak penuntutannya juga
berada pada tangan setiap orang, terutama bagi orang yang dirugikan oleh delik
atau proses sehubungan dengan pelanggaran apa pun berdasarkan suatu tindakan
dapat dilembagakan oleh siapa pun kecuali hak untuk melembagakan penuntutan
atau proses secara tegas diberikan oleh tindakan itu pada orang atau kelas orang
tertentu).
1010
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2019,
Hal 16.
11
Lihat Bab II Ketentuan Umum Bagian 14
19
dan kekuasaan lainnya. Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP, memberikan
Dengan letak perbedaan terkait dengan sistematika yang diatur dan dianut
Republic Of South Korea) dan Criminal Procedure Art New South Wales.
Formulasi bagi penuntutan perkara pidana di indonesia. Oleh karena itu penulis
12
Lihat ketentuan pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
20
tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan
hasil seperti yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari
Dalam penelitian ini terdapat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis.
1.Tujuan objektif
2. Tujuan subjektif
21
b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek
hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang
South Korea) dan Hukum Acara New South Wales (Criminal Procedure Art New
South Wales)
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat
memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini
1.Manfaat teoritis
ilmu hukum khususnya dalam hukum formiil yaitu hukum acara pidana
22
permasalahan terkait penuntutan hukum acara pidana.
2. Manfaat praktis
yang diperoleh.
diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam hal
penuntutan.
mencari dan membaca tulisan-tulisan terdahulu. Hal tersebut guna melihat dan
atau UU No 9765 Tahun 2009 dan Negara Bagian di Australia yaitu New South
Wales dengan Criminal Procedure Art New South Wales atau UU No 209 Tahun
23
1986 . Dengan dibandingkan beberapa negara yang juga memiliki mekanisme
penuntutan yang berbeda akan ditemukan Kebijakan formulasi yang tepat untuk
Indonesia.
24
Of Judicial Of Judicial KUHAP penelitian
Procedure Procedure? kejaksaan yang penulis
2. Apakah tidak buat terdapat
kelebihan memiliki dalam metode
dan wewenang pendekatan
kelemahan menyidik penelitian
pengaturan perkara, dari yang dimana
sistem permulaan dalam
penuntutan hingga penelitian
perkara lanjutan, terdahulu
pidana berarti jaksa tersebut hanya
menurut atau penuntut menggunakan
Hukum umum di pendekatan
Acara Pidana indonesia komparatif
di Indonesia tidak pernah sedangkan
dan Swedish melakukan dalam
Code Of pemeriksaan penelitian
Judicial terhadap yang penulis
Procedure? tersangka buat ini selain
maupun menggunakan
terdakwa. pendekatan
Sedangkan di komparatif,
swedia jaksa penulis juga
penuntut menggunakan
umum tidak pendekatan
hanya perundang-
memiliki undangan
kewenangan dalam
dalam penelitian
penuntutan yang
tetapi dapat dilakukan.
langsung Maka dari itu
melakukan terdapat
penyidikan pembeda
terhadap antara
semua penelitian
perkara yang
tindak pidana dilakukan oleh
khusus dan isyanna.
umum.
2 Octoviani 1. Bagaimana Dalam Terdapat
Shella, ketentuan Penelitian pembeda
25
Universitas penuntutan Hukum yang diteliti antara
Bengkulu, Acara Pidana oleh penelitian
Skripsi, Indonesia dan Octoviani, tersebut
Bengkulu, Thailand? penulis dapat dengan
Perbandingan 2. Apa yang menjadi menemukan penelitian
Ketentuan kelebihan dan perbedaan yang
Penuntutan kekurangan dari serta dilakukan oleh
Menurut ketentuan kekurangan penulis jelas
Hukum Acara penuntutan menurut ketentuan berbeda. Di
Pidana Hukum Acara penuntutan mana dalam
Indonesia Dan Pidana Indonesia menurut penelitian
Thailand dan Thailand ? KUHAP dan tersebut,
Hukum Acara subjek negara
Pidana yang dijadikan
Thailand. sebagai bahan
Dalam hukum komparatif
acara pidana fnya adalah
thailand, negara
Penuntutan Swedia.
dapat Sementara
dilakukan dalam
oleh Orang penelitian
perseorangan yang
atau disebut dilakukan oleh
Private penulis, subjek
Prosecution negara yang
Sedangkan di dijadikan
KUHAP sebagai bahan
indonesia komparatifnya
tidak adalah Korea
mengenai Selatan dan
mengenai juga negara
penuntutan bagian di
yang diajukan Australia yaitu
oleh pihak New South
korban secara Wales.
langsung Berdasarkan
melainkan penjelasan
terdapat diatas maka
lembaga atau terdapat
instansi yang perbedaan
berwenang dengan
26
melakukan penelitian
penuntutan yang penulis
itu sendiri. lakukan.
3. Taufiq 1. Apakah Berdasarkan Dalam
Wibowo, persamaan dan Penelitian penelitian yang
Universitas perbedaan yang dilakukan oleh
Sebelas Maret pengaturan dilakukan Taufiq
Surkarta, kewenangan oleh Taufiq Wibowo ini,
Skripsi, kejaksaan dalam Wibowo, berbeda
Surakarta, penuntutan perkara Penulis dengan
studi pidana menurut menemukan penelitian yang
perbandingan Kitab Undang- Kelebihan dibuat oleh
hukum Undang Hukum Dengan penulis, yang
pengaturan Acara Pidana menganut dimana
kewenangan (KUHAP) dengan dua system perbedaanya
kejaksaan Hukum Acara penuntutan dalam
dalam Pidana Jepang sekaligus penelitian
penuntutan (Japan Criminal yaitu sebelumnya
perkara pidana Procedure Code) ? Mandatroy hanya
Menurut kitab 2. Apakah kelebihan Prosecutorial menjelaskan
undang- dan kelemahan dan persamaan dan
undang acara pengaturan Sistem Discretionary perbedaan
pidana(KUHA Penuntutan dalam Prosecutorial serta
P) dan menurut penuntutan perkara System dan kelemahan dan
hukum acara pidana menurut untuk kelebihan dari
jepang (Japan Kitab Undang- kelemahan kewenangan
Criminal Undang Hukum adalah kejaksaan
Procedure Acara Pidana penuntutan dalam
Code) (KUHAP) dengan pidana dapat penuntutan
Hukum Acara dihindari perkara pidana
Pidana Jepang dengan sedangkan
(Japan Criminal alasan alasan penelitian yang
Procedure Code) ? yang dibuat penulis
meringankan orientasinya
dan korban merupakan
memaafkan bentuk
tindak pidana kebijakan
tersebut formulasi guna
sehingga melakukan
menimbulkan pembaharuan
untuk terhadap
sebagian penuntutan
27
orang dengan
melakukan mengadopsi
tindak atau
pidana. melakukan
formulasi
menggunakan
pendekatan
perbandingan.
penulis uraikan, maka Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
13
Peter Mahmad Marzuki, Metode Penelitian Hukum (Edisi Revisi) (Jakarta: Predana Media
Group, 2011), hlm.98.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2016, hlm.137
28
penelitian hukum yang pada intinya membandingkan hukum suatu negara
hukum.16
dalam hukum acara pidana terkait dengan penuntutan. Ditinjau dari melihat
Code negara Korea Selatan dan New South Wales. Dengan tujuan bahwa
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm.173
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm. 178
29
A. Bahan Hukum Primer
adalah:
Pidana.
Kejaksaan RI.
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm.181
18
Ibid.
19
Ibid.
30
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
1. Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam
penelitian ini.
2. Kamus Hukum
20
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram, Mataram University Press, 2020, Hlm.64
31
telah dipublikasikan atau tidak dipublikasikan secara umum tetapi boleh
diketahui oleh pihak tertentu seperti pengajar hukum, peneliti hukum, praktisi
hukum, serta praktik hukum. Dengan kata lain, Studi Dokumen (document
dokumen hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, yang tidak boleh
Korea) dan Hukum Acara Pidana New South Wales (Criminal Procedure Art
21
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram, Mataram University Press, 2020, hlm. 66
32
Code South Korea dan Criminal Procedure Code New South Wales sehingga
penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap–tiap bab dibagi dalam
berikut:
metode penelitian dan hal lainnya yang pada dasarnya menjadi landasan
22
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Op.Cit. hlm. 76
33
BAB II menjelaskan kajian teoritis, yang akan membahas dan
BAB II
PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
34
Sistem peradilan pidana berasal dari kata, “sistem” dan “peradilan
unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan prioritas dari
makna Frase “Sistem” yang artinya terhimpun (antar) bagian atau komponen
yang semuanya saling berkolerasi dan beraturan dan merupakan satu satuan
pidana.23
23
R. Sugiharto, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sekilas Sistem Peradilan Pidana Di Beberapa
Negara, Semarang: Unissula Press, 2012, hlm. 1
35
23
konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang
secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract
teratur yang satu sama yang lain saling ketergantungan. Sedangkan menurut
tersebut sekalipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
24
Ibid, hlm. 1
24
baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berupa resosialisasi pelaku
merupakan suatu open system, suatu sistem yang di dalam geraknya mencapai
tujuan baik tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang sangat
25
Ibid, hlm. 2
26
Ibid, hlm. 2
25
berikut:27
penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang
2. Mardjono Reksodipoetro
berarti di sini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-
batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar
dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat
3. Muladi
pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat
dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk
27
Ibid, hlm. 2-4
26
ketidakadilan.
tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini
lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum
oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi
laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-
undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantive maupun hukum acara
A. Kepolisian
masyarakat.
28
Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII Press. Hal. 62
29
Lihat Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
29
undangan.30
B. Kejaksaan
30
Lihat Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
31
Lihat Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
30
g. Melakukan penuntutan;
C. Pengadilan
pengadilan yang memiliki tingkatan dalam perkara pidana yang dimulai dari
31
terakhir upaya hukum yang dapat dilakukan. Selain itu pengadilan juga harus
dapat Asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana yaitu asas peradilan
dalam KUHAP.
D. Lembaga Permasyarakatan
a. Sudarto
b. Martiman Prodjohamidjaya
c. Atang Ranoemihardja
B. Kebijakan Formulasi
Hukum Pidana dan dalam literatur asing biasanya dikenal dengan Penal
tindakan represif. 35
diambil oleh pelaku atau sekelompok politik untuk mengapai tujuan dan
di perbarui.
peradilan pidana.
formulasi ini merupakan tahapan awal yang akan menentukan dan menjadi
penentu bagi tahapan selanjutnya yaitu tahapan aplikasi dan eksekusi yang
37
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.3
38
Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru)”, Jakarta, Kencana, 2017, Hal 27.
39
Barda Nawawi Arief, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung, Citra
AdityaBakti. hlm. 223
35
kebijakan hukum pidana berkaitan dengan satu sama lainnya yang dimana
akan diketahui apakah aturan tersebut sesuai dengan tujuan hukum dan
sendiri.
masalah sosial.
melindungi masyarakat.
40
Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahataan
Ekonomi di Bidang Perbankan , Malang: Bayumedia Publishing, hlm 21
41
Barda Mawawi Arief, Bunga Rampai…..op. cit. hlm 28
36
hal ini mengacu kepada tujuan, model serta paradigma yang menjadi landasan
Kuhap terdapat tahapan Formulasi yaitu menentukan jenis norma yang dapat
Sejak tahun 1981. Dalam Jangka waktu yang panjang itu sudah cukup untum
hukum acara ini berlaku untuk semua kalangan mulai dari masyarakat sampai
37
dengan aparat hukum itu sendiri sesuai dengan ketentuan dan kewajiban
yang terlibat di dalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan satu
Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin
Objek Pra Peradilan yang mempengaruhi materi muatan dalam Kitab Undang-
berikut:43
kekuatan mengikat.
43
Bambang Dwi, “Tinjauan Tentang Pembaharuan KUHAP Sebagai Landasan Bekerjanya Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia”, Diponogoro Law Journal, Vol 5 Nomor 1, 2016, Semarang, hal 6
39
atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai
2.2.2 Pengaturan Penuntutan Pidana Di Indonesia, Korea Selatan dan New South
Wales
A. Pengaturan Penuntutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
merupakan tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk melimpahkan berkas
dilakukan oleh seorang jaksa yang bertugas sebagai penuntut umum dalam
umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan penuntutan
selain jaksa penuntut umum yang disebut dengan dominus litis (pemilik satu-
tersangka suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 138 KUHAP, penuntut umum
setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik dan telah mempelajari dan
hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum dalam waktu tujuh hari dan apabila
mengenai hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas
hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali
berkas perkara itu kepada penuntut umum. Setelah penuntut umum menerima atau
menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, penuntut umum
segera menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Persyaratan agar berkas perkara dapat
yakni harus memenuhi minimal 2 alat bukti. Berdasarkan Pasal 140 KUHAP, jika
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan
maka secepatnya penuntut umum membuat surat dakwaan. Namun, penuntut umum
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum segera
menuangkan hal tersebut ke dalam surat ketetapan, yang mana isi dari surat ketetapan
tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila tersangka tersebut ditahan wajib
41
untuk segera dibebaskan. Kemudian surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukumnya, pejabat rumah tahanan, penyidik
dan hakim, dan apabila kemudian ternyata ditemukan ada alasan baru, penuntut
umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Alasan baru yang dimaksud
memperhatikan hal-hal yang terdapat dalam pasal 51 KUHP sebagaimana pasal 247
Criminal prosedure code “A public prosecutor may decide not to institute a public
umum dapat di mulai dengan pengajuan surat dakwaan kepada pengadilan negeri
yang sesuai dengan tempat terjadinya tindak pidana. Dalam penuntutan yang
dilakukan karena kasus merupakan delik aduan atau atas laporan seseorang maka
penuntut umum juga dapat menyelidiki dan juga menentukan bahwa dapat melakukan
penunututan umum atau tidak sebagaimana penjelasan pasal 257 Criminal Procedure
42
Code “In cases where a public prosecutor investigates a crime based on complaint
not within three months after the complaint or accusation has been made”. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam penuntutan umum polisi juga memiliki wewenang untuk
melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana selain hal itu merupakan tugas
dari kepolisian.
New South Wales bahwa penuntutan dapat dilakukan oleh jaksa agung atau direktur
penuntutan umum sebagaimana pasal 9 Criminal Procedure Art New South Wales
summary offence) may be instituted in either the official name or the personal name
penuntutan yang dalam tindak pidana khusus seperti korupsi penuntutan baru dapat
Independen Anti Korupsi atau biasa disebut ICAC (Independent Commission Against
Corruption).
pihak jaksa agung atau direktur penunututan umum dan juga dapat orang yang
bergerak atas nama jaksa agung atau direktur penuntutan umum. Selain itu surat
43
dakwaan harus diajukan dalam jangka 4 minggu dan dapat diperpanjang, Namun
apabila penuntut umum belum mengajukan dakwaan sesuai waktu yang telah di
pada pasal 129 ayat 2 dan 4 Criminal Procedure Art “(2) An indictment is to be
presented within 4 weeks after the committal of the accused person for trial, except
(4) If an indictment is not presented within the time required by this section, the
c) take such other action as it thinks appropriate in the circumstances of the case.
BAB III
44
perkara pidana yang dinyatakan telah lengkap dihadapan hakim dalam rangka
dalam perkara pidana kejaksaan harus bebas dari intervensi pihak manapun
artinya:47
46
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaaan
Republik Indonesia
47
M. Junaidi, Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan, Yogyakarta, Suluh Media, 2018,
hlm 31
45
48
Lihat Ketentuan Pasal 6 huruf A Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
49
Lihat Ketentuan Pasal 6 huruf B Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
46
penetapan hakim. 50
kebenaran.
Selain itu dalam beberapa tindak pidana khusus seperti tindak pidana
50
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya,
PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 63.
47
yang merupakan bagian dari jaksa pada bidang intelijen dengan tujuan sebagai
berikut:51
sebagai berikut:52
51
Debby Jayanti, Usman, & Elly Sudarti. (2022). Kewenangan Jaksa Melakukan Penyadapan
Dalam Proses Peradilan Pidana. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 6(1), 673.
52
Lihat ketentuan pasal 30C Undang-Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
48
sistem peradilan pidana terdapat beberapa sub yang salah satunya terdapat sub
53
Marwan Effendy, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h. 159-160
49
memiliki sanksi dan juga penegakan hukum yang kompleks yang diatur secara
hukum pidana formil yang mengatur tata cara untuk menghukum seseorang
54
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
55
Samidjo. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Armico, 1985, hal 147
50
hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan perlindungan hak azasi manusia
dan kesatuan sistem yang dinamakan dengan proses peradilan pidana yang
terpadu (the integrated criminal justice system), bukan seakan- akan terpisah
satu dengan yang lain. Dari perspektif hak azasi manusia, KUHAP saat ini
otoriter serta diselimuti tarik menarik kewenangan antar institusi yang begitu
pidana dan proses hukum yang adil (due proces of law). Selain itu, untuk
memadai itulah maka diperlukan adanya hukum acara yang lebih komphensif
akuntabel, yang kedua substansi harus jelas, lugas dan sesuai dengan
kelompok tertentu.56
56
Suyudi, Aria, Mengais Harapan di Ujung Pengabdian, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta,
2009. Hal 14
52
yang telah dijelaskan di atas maka perlu konsep baru dalam bidang
penuntutan.
meninjau hukum negara lain yang masih sesuai dengan koridor hukum negara
pribadi dalam hal ini Joint Prosecution dalam sistem peradilan pidana di
indonesia
berbeda. Sistem hukum commow law memiliki konsep Rule Of Law dengan
menekankan kepada:57
57
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm.58
53
dengan indonesia adalah Negara New South Wales. Dalam negara New South
yang dirugikan (Korban) dan juga korban serta jaksa yang bersama sama
Code News South Wales yang menyatakan bahwa setiap orang yang berhak
“The following persons shall have the power to file a criminal case in
Court :
(1) a public prosecutor;
(2) an injured person.
(orang-orang dibawah ini yang berhak mengajukan perkara pidana ke
pengadilan)
(1) Penuntut Umum
(2) Korban)”.
58
Lihat ketentuan Criminal Procedure Code Pasal 30 Undang-Undang
54
New South Wales. Kewenangan yang diberikan oleh negara terhadap korban
jaksa atau biasanya disebut sebagai joint prosecutor. Dalam metode ini dapat
memberikan lebih luas kepada korban untuk terlibat dan bergabung bersama
59
Veronica Michel-Luviano, “Access to Justice, Victims’ Rights, and Private Prosecution in Latin
America: The Cases of Chile, Guatemala, and Mexico”, Disertation in Partial Fulfilment of
Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, Minnesota, 2012, hlm. 127.
55
adanya aturan ini dalam Criminal Procedure Code New South Wales
kerugian dan penderitaan yang dialami korban namun tidak mengabaikan hak
terdakwa.
bersifat monopoli dengan kewenangan penuntutan yang berlaku pada saat ini.
Dalam pasal 174 ayat 1 Criminal Procedure Code New South Wales
suatu perkara pidana telah diajukan oleh Penuntut umum, Korban dapat
diatas, Hukum Acara Pidana New South Wales memberi kesempatan pada
kepentingan umum.
selama belum dikeluarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dari
serius, maka penuntut umum dapat mengajukan mosi untuk bergabung dan
perkara tersebut diajukan kepada pengadilan hal tersebut juga telah sesuai
dengan pasal 50 ayat 1-3 Criminal Procedure Code New South Wales:
Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 1 butir 7 dan dalam BAB
pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
Tentang Hukum Acara Pidana maka tugas penuntutan diberikan atas nama
yang cukup yaitu dua alat bukti yang ada dalam proses penyidikan dan telah
dinyatakan lengkap atau tidak. Dalam jangka waktu 7 hari setelah berkas
perkara diajukan pada penuntut umum maka ketika dalam jangka tersebut
berkas perkara.
dan New South Wales yaitu terdapatnya Prapenuntutan untuk penuntut umum
memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan sebagaimana pada pasal 36B
Urgensi adanya penuntutan pribadi dalam hal ini Joint Prosecutor berkaitan
pidana pada saat ini terlalu menfokuskan pelaku tanpa adanya memperhatikan
hukum yang cukup. Sistem peradilan pidana dewasa ini memang terlalu
korban dalam sistim ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan
simbolik.61
korban dan kepentingan tersangka yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.62
61
Reksodiputro Mardjono, Hak Azasi Manusia dalam sistim Peradilan Pidana, PPK dan FH UI, Jakarta
62
Paraman Suparman, Pengaturan Hak Menggunakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam
Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 63
62
tersangka diantaranya:
pendakwaan terhadapnya;
penasihat hukum;
rugi yang seharusnya didapatkan oleh korban yang didapatkan ketika korban.
negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas
kerugian kepada perkara pidana itu.”.63 jenis kerugian yang ditimbulkan dari
materiil berupa biaya-biaya atau pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh
yurisprudensi MARI.64
Pasal 101 KUHAP yaitu “ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku
bagi gugatan ganti kerugian”. Hukum perdata tidak membatasi jenis dan
jumlah kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan (penggugat) apabila
diatur pada Pasal 1365 KUH Perdata Kemungkinan gugatan pihak ketiga atau
perbuatan pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Putusan ganti
63
Lihat Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
64
MARI No. 976.K/Pid/1988,24 September
64
kerugian kepada pihak ketiga baru dapat eksekusi jika putusan pokoknya telah
tidak dapat dilaksanakan selama tidak ada permintaan tersendiri dari korban
selaku yang mengalami kerugian atas terjadinya suatu tindak pidana. Akan
tetapi hingga saat ini, jumlah pelaksanaan penggabungan perkara untuk ganti
kerugian terhitung cukup rendah. Hal ini disebabkan karena pihak korban
tidak memiliki pengetahuan soal adanya pengaturan tentang hal ini bahkan
karena posisi korban dalam peradilan pidana yang pasif dan hal ini diakibatk
gugatan ganti rugi, mereka yang senyatanya adalah pihak yang dirugikan
kasus yang menimpanya dan korban telah beranggapan bahwa pelaku tidak
perkara tersebut:
65
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, cet ke-3, Jilid II,
Jakarta, 1993, hlm. 604
65
menjatuhkan putusan.
tidak diperkenankan.
Dengan adanya klausalitas sebagaimana dijelaskan dalam ayat 2 maka
gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
hanya dapat diajukan terhadap penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
korban dan tidak termasuk ganti rugi imateriil. Selain itu, korban tidak dapat
tersebut, karena hak untuk mengajukan upaya hukum ada pada penuntut
umum, bukan korban. Apabila terhadap putusan perkara pidana tidak diajukan
Maka dari itu dalam ganti kerugian yang didapatkan oleh korban
ganti kerugian terdapat beberapa kelebihan dan atau keuntungan yang telah
permohonan gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Hukum Acara Perdata,
bersifat pasif dikarenakan aturan yang telah ada yaitu Pasal 98 sampai dengan
Pasal 101 KUHAP tidak bersifat mengikat karena tergantung pada adanya
penuh yang dilakukan penuntut umum dan adanya kolaborasi antara korban
lebih banyak peran korban didalam proses penuntutan dalam sistem peradilan
pidana.
diterapkan oleh negara korea selatan melalui pengaturan dalam pasal 255
secara lisan.
khususnya dalam perkara yang terjadi pada yang terjadi pada Valencya Alias
Nengsy Lim yang berusia 45 Tahun pada perkara Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT). Dalam perkara tersebut Valencya dituntut satu tahun penjara
Dalam Rumah Tangga dan dituntut satu tahun penjara. Namun pada akhirnya
Karawang.
70
hati nurani dan akal budi dan yang lebih penting lagi keputusan hukum yang
66
Andi Hamzah, 2009, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta hal 14
67
Ibiid, hal 48
68
Ibiid, Hal 49
71
menarik perkara pada terdakwa Valencya dan menuntut bebas dalam agenda
melindungi hak dan kepentingan hukum seseorang dan terdapat tiga jenis
wakilnya.69
69
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal
16-17
72
a. Positif
terpenuhi.
kepentingan umum.70
tersebut telah diajukan kepada pengadilan dan telah dibacakan tuntutan pidana
70
A. Karim Nasution, Makalah berjudul “Kepentingan Umum Sebagai Dasar Penyampingan Perkara”,
disampaikan dalam Simposium Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Ujung Pandang, 1981, hlm., 56-
58.
73
dengan satu tahun penjara terhadap terdakwa Valencya dan pada akhirnya
penuntutan, kata tuntutan pidana tersebut juga dapat ditemui dalam Pasal 197
KUHAP butir (e), dengan sebutan Tuntutan Pidana dan bukan requisitoir. Jadi
tidak mungkin.71
penuntutan yang hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung sebagai penuntut
71
3 O.C. Kaligis, 2010, Requisitoir Bebas Dalam Perkara Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, hal. 1
74
penuntutan dalam Kuhap juga harus dilandaskan pada sense of crisis dalam
memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasan,
72
Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007). hlm.14-15
73
Evi Noviawati, Landasan Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, (Ciamis: Universitas Galuh Ciamis, 2018), Vol 6, No 1, 2018, hlm.54
75
dalam masyarakat dan diakui sebagai hukum. Hal ini terlihat dalam berbagai
dan kepastian hukum harus memiliki pondasi yang kuat berupa landasan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) pada alinea
Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, karena dalam
bentuk dari Representasi kewajiban negara yang bentuknya bagian dari tujuan
negara sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD NRI 1945 yaitu
bentuk keadilan yang dapat diterapkan oleh negara dalam bingkai sistem
peradilan pidana yang memberi peran mengenai korban dan haknya serta
manisfestasi dari cita-cita dan harapan yang dibuat dalam bentuk peraturan
75
Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Sri
Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum-Mempringati 70 Tahun
Prof.Dr.B.Arief Sidharta, SH, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.129 18.
77
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Hamid S. Attamimi, ialah untuk dapat melihat benang merah dari sistem
hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Asas-asas hukum ini juga dapat
lain:
undangan yang baik sebagaimana dalam pasal 5 PPPU yaitu kejelasan tujuan,
kelembagaan atau organ yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi
yang telah yang harus dicapai dengan adanya pembentukan aturan tersebut. 77
76
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
77
Ferri Irwan Febriansyah, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Jurnal Perspektif, Volume XXI No. 3 Tahun 2016, hlm. 223
79
haknya dan meningkatkan peran aktif korban dalam sistem peradilan pidana
lembaga yang berwenang dalam membentuk produk hukum yang sah dan
Ketiga, Asas kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini
78
Ibid. hlm. 223-224
80
dapat diberikan kepada jaksa agung sebagaimana yang telah terjadi pada
penuntut umum selaku pemilik Dominus Litis dalam penuntutan pidana dan
penuntutan pidana.
diterapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Maka dari itu
bahasa yang jelas dan mudah dipahami sehingga tidak multitafsir. Korelasinya
dan Joint Prosecution dalam proses penyusunannya harus jelas agar nantinya
pengundangan.79
79
Ibid, hlm. 224
82
perkara pidana.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Formulasi hukum terhadap penuntutan pidana berupa penuntutan
PPPU, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat yang tepat, kesesuain
4.2 Saran
Pembaharuan Penuntutan Pidana dengan mengadopsi adanya
Undang Hukum Acara Pidana. Maka agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi